You are on page 1of 12

KESATUAN REALITAS

(Pemikiran Ibn Arabi, 1165-1240 M)


Dikutip dari Buku WACANA BARU FILSAFAT ISLAM
Penerbit Pustaka Pelajar, Jogjakarta, 2004
Bab II/ Metafisika, hal 138-156.
Penulis: A Khudori Soleh

Kesatuan realitas (wahdat al-wujûd) adalah salah satu


gagasan paling kontroversial dalam metafisika, khususnya
metafisika mistik. Pemikiran ini dicetuskan oleh Ibn Arabi.1 Akan
tetapi, menurut Kautsar Azhari Noer,2 Ibn Arabi sendiri,
sebenarnya, secara formal tidak pernah menggunakan kata-kata
wahdah al-wujûd dalam tulisan-tulisannya. Orang pertama yang
menggunakan istilah ini, meski tidak sebagai istilah teknis dan
independen, adalah Sadr al-Din al-Qunawi (w. 673/1274 M).
Hanya saja, ajaran-ajaran Ibn Arabi tentang realitas bisa
memberi pemaknaan kearah itu.

A. Riwayat Hidup.
Ibn Arabi, lengkapnya Muhammad ibn `Ali ibn Muhammad
ibn al-`Arabi al-Thai al-Tamimi,3 lahir di Mursia, Spanyol bagian
tenggara, 17 Ramadan 560 H/ 28 Juli 1165 M, pada masa
pemerintahan Muhammad ibn Sa`id ibn Mardanisy.4 Menurut
Affifi,5 Ibn Arabi berasal dari keluarga keturunan Arab yang
1
Tulisan ini tidak akan melibatkan diri dan tidak akan menambah jumlah orang yang
berpolemik ataupun menilai apakah wahdah al-wujud termasuk pantheisme atau tidak, tetapi
sekedar menyatakan bahwa ‘wahdah al-wujud’ (kesatuan realitas) adalah gagasan terpenting dari
metafisika Ibn Arabi.
Dalam perkembangan selanjutnya, gagasan wahdat al-wujud ini menjadi sebuah teori
‘besar’ tantang proses penciptaan semesta yang ditelorkan oleh Hamzah Fansuri dan Nuruddin
Sumatrani dengan istilah ‘martabat tujuh’; ahadiyah, wahdah, wahidiyah, alam arwah, alam
mitsal, alam ajsam dan insan. Lebih jelas masalah ini, lihat Simuh, Sufisme Jawa Transformasi
Tasawuf Islam ke Mistik, (Yogya, Bentang, 1989); Harun Hadiwiyono, Kebatinan Islam Abad
XVI, (Jakarta, Gunung Mulia, 1985). Tentang bagaimana proses dari Ibn Arabi dan Ibrahim Al-
Jilli sampai kepada Hamzah Fansuri, lihat Mastuki HS, ‘Neo-Sufisme di Nusantara
Kesinambungan dan Perubahan’, dalam Jurnal Ulum Alqur’an, edisi 6/VII/1997.
2
Azhari Noer, Ibn Arabi Wahdat al-Wujud dalam perdebatan, (Jakarta, Paramadina,
1995), 34 dan seterusnya.
3
Harus dibedakan dengan Ibn Arabi yang lain, yang bernama lengkap Abu Bakar
Muhammad ibn Abdillah ibn Arabi al-Ma`afiri (468-543 H/ 1076-1148 M). Ia juga tokoh muslim
yang lahir di Spanyol. Namun, yang ini bukan tokoh sufi, tapi seorang ahli hadis di Sevilla yang
kemudian menjadi hakim disana. Untuk referensi lihat, Kautsar Azhari Noer, Ibn al-Arabi, 17; J.
Robson, ‘Ibn al-Arabi’ dalam The Encylopaedia of Islam, New Edition, (London dan Laiden:
Luzac dan Brill, 1979), III, 707.
Akan tetapi, S. Husain Nasr menyebut nama lengkap Ibn Arabi tokoh sufi ini dengan
nama Ibn Arabi lain yang dianggap sebagai tokoh hadits diatas, dengan tahun lahir 570 H/ 1165
M. Lihat, Husain Nasr, Tiga Pemikir Islam, (Bandung, Risalah, 1986), 127.
4
Kautsar Azhari Noer, Ibn Arabi, 17.
5
Affifi, Filsafat Mistis Ibn Arabi, terj. Nandi Rahman, (Jakarta, Media Pratama, 1989),
1.
Metafisika/Pemikiran Ibn Arabi 2

saleh, dimana ayah dan tiga pamannya --dari jalur ibu-- adalah
tokoh sufi yang masyhur, dan ia sendiri digelari Muhy al-Dîn
(Penghidup Agama) dan al-Syaikh al-Akbar (Doktor Maximus),
karena gagasan-gagasannya yang besar terutama dalam bidang
mistik.6 Belum ada seorang tokoh muslim yang mencapai posisi
sebagaimana kedudukannya. Ibn Arabi meninggal di Damaskus
--dan di makamkan disana-- tanggal 22 Rabi al-Tsani 638 H/
Nopember 1240 M, dalam usia 78 tahun.7
Pendidikan Ibn Arabi dimulai di Seville, ketika ayahnya
menjabat di istana dengan pelajaran yang umum saat itu, al-
Qur’an, hadis, fiqh, teologi dan filsafat skolastik. Keberhasilan
pendidikan dan kecerdasan otaknya --juga kedudukan ayahnya--
mengantarkannya sebagai sekretaris gubernur Seville dalam
usia belasan.8 Yang perlu dicatat, bahwa kota Saville saat itu,
selain sebagai kota ilmu pengetahuan juga merupakan pusat
kegiatan sufisme dengan banyak guru sufi terkenal tinggal
disana. Kondisi keluarga dan lingkungan yang kondusif dan kaya
mempercepat pembentukan Ibn Arabi sebagai tokoh sufis yang
terpelajar, apalagi ia telah masuk thariqat sejak usia 20 tahun.9
Selama menetap di Saville, Ibn Arabi muda sering
melakukan kunjungan ke berbagai kota di Spanyol, untuk
berguru dan bertukar pikiran dengan para tokoh sufi maupun
sarjana terkemuka. Salah satu kunjungan yang paling
mengesankan adalah ketika bertemu dengan Ibn Rusyd (1126-
1198 M), dimana saat itu Ibn Arabi mengalahkan tokoh filosof
Paripatetik ini dalam perdebatan dan tukar fikiran;10 sesuatu
yang menunjukkan kecerdasan yang luar biasa dan luasnya
wawasan spiritual sufi muda ini. Juga, menurut Kautsar,11
menujukkan adanya hubungan yang kuat antara mistisisme dan
6
Arbery menggelari dengan ‘The greatest mystical genius of the Arab’ pada Ibn Arabi,
karena prestasi-prestasi yang dihasilkannnya. Lihat, Arbery, Sufism An Account of the Mystics of
Islam, (London, Unwin Paperback, 1975), 97.
7
Akan tetapi, menurut Taftazani, Ibn Arabi wafat dan dikebumikan di Hijaz, bukan di
Damascus. Lihat, Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, terj. A. Rafi Usman, (Bandung, Pustaka,
1985), 201. Namun, kebanyakan sumber dan bukti-bukti tidak mendukung pendapat ini.
Pendapat Taftazani ini, mungkin, terkaburkan oleh nama Ibn Arabi yang lain sebagaimana yang
terjadi pada Husain Nahr diatas, mengingat memang tidak jarang dijumpai nama yang sama
dalam satu persoalan.
8
Kautsar, Ibn Arabi, 18.
9
Ibn Arabi, Futuhât al-Makiyah, II, (Bairut, Dar al-Fikr, tt), 425. Diantara gurunya yang
sangat dikagumi adalah dua orang wanita; Yasmin Mursaniyah dari Marchena dan Fatimah
Qurthubiyah dari Kordova. Keduanya berpengaruh besar dalam pembentukan (pengarahan)
kepada kehidupannya. Tentang kehidupan kedua guru wanita ini, lihat Ibn Arabi, Sufi-Sufi
Andalusia, terj. Nasrullah (Bandung, Mizan, 1994).
10
Tentang dialok antara Ibn Arabi dengan Ibn Rusyid ini, lihat Futuhât, I, 153; Lihat
pula, Husain Nasr, Tiga Pemikir Islam, 128-129. Dengan demikian, dalam pertemuan tersebut
bukan Ibn Arabi berguru pada Ibn Rusyd, seperti yang dikatakan al-Qarni, meski diakui bahwa
pertemuan itu sendiri diatur oleh ayah Ibn Arabi atas permintaan Ibn Rusyd. Lihat al-Qarni,
Muhy al-Dîn Ibn al-Arabi, (Mesir, Haniah li al-kitab, 1987), 26.
11
Kautsar, Ibn Arabi, 18.
Metafisika/Pemikiran Ibn Arabi 3

filsafat dalam kesadaran metafisis Ibn Arabi. Pengalaman-


pengalaman visioner mistiknya berhubungan dan disokong oleh
pemikiran filosofisnya yang ketat. Ibn Arabi adalah seorang
mistikus sekaligus filosof paripatetik, sehingga bisa
memfilsafatkan pengalaman spiritualnya ke dalam suatu
pandangan dunia metafisis maha besar sebagaimana dilihat
dalam gagasannya tentang wahdat al-wujud.12
Selanjutnya, pengembaraannya semakin luas dan mulai
keluar dari semenanjung Iberia menuju Tunis (1193 M) untuk
berguru pada Ibn Qusi; tokoh sufi yang melakukan
pemberontakan pada dinasti Murabbitin.13 Kemudian pergi ke Fez
dan tinggal disana selama 4 tahun, terus ke Marrakesy, Almaria,
Bugia dan kembali ke Tunis (1202 M), setelah pada tahun 1199
M, pulang ke Kordova guna menghadiri pemakaman Ibn Rusyd.
Selama pengembaraan ini, ia sempat menelorkan beberapa
karya tulis, seperti Mawâqi’ al-Nujûm, Insya al-Dawair dan
lainnya. Akan tetapi, situasi religio-politis tidak mengizinkan Ibn
Arabi tinggal lama di Spanyol ataupun di Afrika utara, sehingga
ia melarikan diri ke Makkah (1201 M), karena --seperti tokoh sufi
lainnya-- dituduh menggerakkan makar terhadap pemerintah.14
Di Makkah sekitar 3 tahun, Ibn Arabi mempergunakan
waktunya untuk mempertajam ruhani dan menulis. Disini ia
mendapat ilham untuk menulis karya monumentalnya, al-
Futuhât al-Makkiyah, 15
disamping menyelesaikan karya-karya
kecil lainnya. Setelah itu, ia kembali mengembara ke berbagai
kota; Madinah, Yerusalem, Baghdad, Masul, Konya, Damascus,
Hebron, Kairo dan kembali ke Makkah (1207 M) karena tidak
aman di Mesir.16 Di tengah perjalanan ini, untuk ketiga kalinya17
ia diangkat sebagai murid Khidir untuk menerima rahasia-
rahasia Ilahiyah. Setahun di Makkah, Ibn Arabi berkunjung ke
Asia kecil melalui Aleppo dan Konya, kemudian ke Armenia dan
Baghdad, bertemu Syihabuddin Suhrawardi al-Zanzani (w.
630/1233 ), seorang tokoh sufi, penulis kitab Awârif al-Ma`ârif.18

12
Uraian tentang kenyataan bahwa Ibn Arabi adalah seorang mistikus sekaligus filosof
bisa dilihat pada Franz Rosenthal, Ibn Arabi between Philosophy and Mysticism, (Laiden, Brill,
1998), 1-35.
13
Ibn Arabi, Futuhât, IV, 129.
14
Kutsar, Ibn Arabi, 19.
15
Menurut Ibn Arabi, penulisan kitab ini didektekan langsung oleh Tuhan lewat ilham,
kata per kata. Lihat Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci Ilahi, terj. Rahmani Astuti,
(Bandung, Mizan, 1996), 319.
16
Ibn Arabi, Futuhât, IV, 560.
17
Pengangkatan ini, yang pertama di Seville (580/1184), kedua di Makkah (599/1202).
18
Suhrawardi ini bukan Suhrawardi al-Maqtul tokoh Filsafat Illuminasi (Syaikh al-
Isyraq) seperti yang dikatakan Husain Nasr, ¤alasa Hukuma al-Islam, 132. Suhrawardi tokoh
Emanasi telah dihukum mati tahun 587/1191 M; lebih jelas tentang ajarannya, lihat Husaien
Ziai, Suhrawardi dan Filsafat Illuminasi, terj. Afif Muhammad, (Bandung, Zaman Wacana
Mulia, 1998).
Metafisika/Pemikiran Ibn Arabi 4

Akhirnya, tahun 1224 M, Ibn Arabi menetap di Damascus,


memenuhi permintaan khalifah al-Malik al-`Adil (1227 M).
Kecuali kunjungan singkat ke Aleppo (1231 M), Ibn Arabi tidak
lagi melakukan pengembaraan. Ia mencurahkan seluruh
perhatiannya untuk membaca, menulis dan mengajar. Disini ia
menyelesaikan kitab monumentalnya, al-Futûhat al-Makkiyah,
dan menulis kitab lain yang terkenal; Fushûsh al-Hikam,19 di
samping kitab-kitab yang lain. Kedekatannya dengan
pemerintah menyebabkan ajarannya mudah dan cepat di terima
di masyarakat.20
Ibn Arabi termasuk tokoh yang sangat produktif. Menurut
Osman Yahia,21 Ibn Arabi meninggalkan tidak kurang dari 700
karya tulis, tetapi hanya 400 buah yang masih ada; meliputi
metafisika, kosmologi, psikologi, tafsir dan hampir setiap cabang
keilmuan, yang semua didekati dengan tujuan menjelaskan
makna esoterisnya. Karyanya yang terbesar adalah al-Futûhât
al-Makiyah, yang terdiri atas 37 jilid, 560 bab, 18.500 halaman
dalam edisi Osman Yahio. Yang lain adalah Fushûsh al-Hikam,
yang menurutnya diterima dari Rasul saw agar disebarkan
kepada manusia. Meski karya ini relatif pendek, tapi paling
banyak dikaji dan diberi komentar, karena paling sulit, paling
berpengaruh dan paling masyhur. Tidak kurang dari 100 buku
ditulis untuk mengomentari Fushûsh al-Hikam tersebut.

B. Antara Mistik dan Filsafat.


Ibn Arabi adalah tokoh mistik yang menuliskan
pengalaman ruhaninya lewat cara fikir filsafat. Mistik (sufisme)
adalah sebuah pencarian kebenaran lewat jalan experience
(penghayatan) dengan atas dasar cinta. Perbedaan sufisme
dengan filsafat, menurut Mutahhari,22 pertama, filsafat
meminjakkan argumennya pada postulat-postulatnya,
sementara mistik mendasarkan argumennya pada visi dan
19
Ibn Arabi, Fushûs al-Hikâm, (Bairut, Dar al-Kitab), I, 47. Menurut pengakuan Ibn
Arabi, kitab ini diberikan oleh Rasulullah. Secara lengkap, dalam mukaddimah kitab ini
dkatakan, ‘Aku mimpi melihat Rasul dalam kegembiraan pada hari-hari sepuluh terakhir bulan
Muharram, tahun 627 H, di pinggiran Damascus dan di tanggannya ada sebuah kitab. Beliau
berkata, ‘Ini kitab Fushûs Al-Hikâm. Ambillah...Sampaikan kepada masyarakat agar mereka
memanfaatkannya..’.
Kitab Fushûsh al-Hikam dianggap sebagai wasiat keruhanian, berisi 27 bab yan masing-
masing terspesialisasi untuk satu akidah kebatinan asasi menurut Islam. Kitab ini sendiri telah
banyak diberi komentar (syarah). Diantara yang terkenal, menurut Husain Nasr, adalah komentar
dari ¢adruddin Qanawi, Abdurrazaq Kasyani, daud Qaishari, Abdul Ghani dan Abdurrahman
Jami. Semua tokoh sufi abad-abad belakangan. Husain Nasr, Tiga pemikir Islam, 174.
20
Kautsar, Ibn Arabi, 24. Tentang riwayat hidup tokoh ini, secara panjang lebar bisa juga
dilihat pada Pendahuluan yang diberikan Austin pada karya Ibn Arabi, Sufi-sufi Andalusia, terj.
Nasrullah, (Bandung, Mizan, 1994).
21
Kautsar, Ibn Arabi, 25.
22
Mutahhari, Meniti Jalan Spiritual, terj. Nasrullah, (Bandung, Pustaka Hidayah, 1997),
23-4.
Metafisika/Pemikiran Ibn Arabi 5

intuisi serta kemungkinan mengemukakan berbagai teorinya


secara teoritis. Kedua, dalam mencapai tujuannya, filsafat
menggunakan rasio dan intelektualnya, sementara mistik
menggunakan kalbu dan jiwa suci serta upaya spiritual terus
menerus. Ini di lakukan karena rasio atau intelek dianggap
kurang memadai untuk menggapai kebenaran hakiki.
Ketiga, tujuan dalam filsafat adalah memahami alam
semesta. Filosof ingin mendapat gambaran tentang alam
semesta yang benar, sempurna, dan menyeluruh. Di mata
filsafat, capaian tertinggi manusia adalah mampu memahami
dunia sedemikian rupa sehingga --dalam eksistensi dirinya--
eksistensi dunia inipun tegak dan dia sendiri menjadi dunia.
Karena itu, filsafat sering didefinisikan sebagai, ‘dunia mental
manusia yang menjadi sama dengan dunia yang ada’.
Sementara itu, dalam mistik, persoalan intelek atau rasio tidak
begitu menarik. Seorang mistik ingin menjangkau hakekat
eksistensi, Allah sendiri. Ia ingin berjumpa dengan hakekat ini
dan mengamatinya. Menurut kaum mistik, capaian tertinggi
manusia adalah kembali kepada asal-usulnya guna menghindari
jarak antara dirinya dengan Tuhan serta menghilangkan sifat-
sifat kemanusiaan untuk berusaha hidup abadi dalam Diri Tuhan.
Dalam pandangan kaum sufisme, termasuk Ibn Arabi,
kebenaran ini terdiri atas tiga bagian, indera, rasio dan intuisi.23
Ibn Arabi mengakui bahwa indera dan rasio adalah sarana
penting untuk mencapai kebenaran. Akan tetapi, apa yang
dicapai indera dan rasio masih sangat terbatas. Indera hanya
mampu mengkaji sejauh apa yang tampak, yang kasat mata,
yang itu sangat rentan terhadap kesalahan. Begitu pula rasio,
meski dengan kekuatannya mampu menjangkau rahasia yang
ada dibalik alam indera, ia masih belum --atau tidak-- mampu
menjangkau yang transenden. Kekuatan indera maupun rasio
baru pada tahap mendekati yang hakiki, belum yang mencapai
hakiki. Atau menurut istilah Henry Bersogn,24 baru tahap
‘pengetahuan mengenai’ (knowledge about) belum
‘pengetahuan tentang’ (knowledge of). ‘Pengetahuan tentang’
adalah pengetahuan diskursif, pengetahuan simbol yang
diperoleh lewat perantara; indera atau rasio. ‘Pengetahuan

23
Tiga macam dan tingkat ilmu pengetahuan ini sama sebagaimana yang disampaikan al-
Ghazali dalam karya otobigrafi intelektualnya. Disana al-Ghazali membagi tingkatan ilmu
menjadi tiga; berdasarkan indera, rasio dan intuitif. Menurutnya, indera adalah sarana paling
rendah dalam kajian pengetahuan; diatas ilmu berdasarkan rasio dan diatasnya lagi adalah
intuitif. Al-Ghazali akhirnya memilih sufisme karena menganggap bahwa ilmu hasil mistik
inilah ilmu yang sebenarnya yang tidak mengenal keraguan dan tidak terbantahkan. Lihat Al-
Ghazali, Al-Munqid min al-Dlalâl, (Bairut, Maktabah As-Syaksiyah, tt).
24
Lihat Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, (Yogya, Tiara Wacana,
1996), 144-145.
Metafisika/Pemikiran Ibn Arabi 6

tentang’ adalah pengetahuan langsung, pengetahuan intuitif


yang diperoleh secara langsung.
Karena itu, bagi Ibn Arabi yang lebih sebagai sufis, tidak
ada jalan lain untuk bisa memahami realitas wujud yang hakiki
kecuali menyelami langsung lewat penghayatan (experence)
dalam mistik. Pengetahuan intuitif yang di peroleh lewat
experence inilah pengetahuan yang sebenarnya, pengetahuan
yang paling unggul dan pengetahuan yang terpercaya.25
Untuk mampu menangkap, menyelami serta memahami
rahasia dan hakekat wujud diatas, sebelumnya, seseorang
sefistik harus membersihkan jiwanya (qalb) untuk kemudian
menghadap pada Tuhan dengan penuh cinta dan rindu. Ibn Arabi
menetapkan lima tahapan secara gradual untuk pembersihan
hati ini.26 (1) Membersihkan jiwa dengan menjauhkan diri dari
segala perilaku dosa dan kemaksiatan disamping semakin rajin
dalam melakukan kebajikan; (2) Meninggalkan seluruh --
pengaruh-- dunia; menghentikan pemandangan terhadap aspek
fenomena dunia dan kesadaran terhadap aspek nyata yang
menjadi dasar fenomenanya; (3) Menjauhkan diri dari atribut-
atribut dan kaulitas-kualitas wujud kontingen dengan kesadaran
bahwa semua itu adalah kepunyaan Allah semata; (4)
Menghilangkan semua hal yang ‘selain Allah’, tetapi tidak
‘menghilangkan’ tindakan itu sendiri. Disini sang mistis
kehilangan --atau menghilangkan-- kesadaran dirinya sendiri
sebagai orang yang memandang. Tuhan sendirilah yang
memandang sekaligus dipandang; (5) Melepaskan atribut-atribut
Tuhan serta ‘hubungan-hubungan’ dari atribut-atribut tersebut.
Memandang Tuhan lebih sebagai essensi daripada ‘Sebab
Pertama’ dari realitas semesta.27
Jika seseorang telah mencapai derajat ittihad, kesatuan
diri dengan Tuhan, ia akan menerima ilmu langsung secara
25
Ibn Arabi, Fushûs al-Hikâm, I, 38-39.
26
Sebelumnya, al-Ghazali (1085-1111 M) menyebutkan tiga tahapan untuk mencapai
pengetahuan yang hakiki (intuitif); takhliyah (pensucian diri), tahliyah (penghiasan diri dengan
banyak melakukan kebajikan) dan tajliyah (tahap siap menerimaan tajalli). Lebih jelas tentang
bagaimana seseorang mesti menjalani tahapan-tahapan ini, lihat Al-Ghazali, Adâb fi al-Dîn,
(Bairut, Al-Maktabah As-Syakbiyah, tt).
27
Tahapan-tahapan mistis yang digunakan Ibn Arabi ini, tidak berbeda jauh, atau bahkan
mungkin sama dengan metode fenomenologi yang disampaikan Edmund Husserl (1859-1938 M),
yang melalui tiga tahapan reduksi; reduksi fenomenologis, reduksi aiditis dan reduksi
transendental. Menurut Husserl, reduksi fenomenologis adalah suatu bentuk pengamatan awal
dimana objek dipandang ‘apa adanya’ tapi penuh dengan ‘kecurigaan’. Objek dibiarkan tanpa
diberi statemen dan diletakkan didalam kesadaran. Jika berhasil, seseorang akan menemukan
fenomen yang sebenarnya; mengenal gejala dalam dirinya sendiri. Setelah itu masuk tahap
kedua; reduksi aidetis, penyaringan segala sesuatu yang bukan menjadi hakekat fenomena.
Reduksi kedua ini berusaha masuk dalam hakekat fenomen. Reduksi ketiga; transendental,
mengeluarkan segala yang tidak berhubungan dengan kesadaran murni, agar dengan objek
tersebut seseorang bisa mencapai dirinya sendiri. Jelasnya, moden ini diterapkan pada sobjek
sendiri dan pada perbuatannya, pada kesadaran murninya untuk menemukan yang hakekat.
Metafisika/Pemikiran Ibn Arabi 7

vertikal, dalam bentuk ilham.28 Pengetahuannya datang


langsung lewat pancaran Tuhan (emanasi) yang tampak dalam
batinnya. Begitu pula yang terjadi pada Ibn Arabi, sehingga
rujukan-rujukan dari tokoh sebelumnya hanya digunakan semata
demi untuk menerangkan dan mengibaratkan pengalaman-
pengalaman batinnya,29 bukan rujukan yang sesungguhnya,
yang dalam hal ini Ibn Arabi sendiri tidak pernah terpaku pada
salah satu tokoh filsafat. Menurut Husain Nasr,30 pemaparan Ibn
Arab banyak mengikuti Al-Hallaj (858-913 M) dan filsafat Ibn
Sina (980-1037 M). Juga mengikuti teori-teori Noe-Epidocles
yang dikembangkan oleh Ibn Massarah (w. 923 M), Neo-
Pithagoras yang di kembangkan kelompok Ikwan as-Shafa
maupun Neo-Platonisme. Sedemikian, sehingga menurut Affifi,31
pemikiran metafisika Ibn Arabi tampak tidak beraturan, tidak
konsisten dan banyak mengambil pikiran-pikiran filsafat
sebelumnya.

C. Essensi dan Eksistensi.


Menurut Ibn Arabi, eksistensi adalah ‘wujud’ dari essensi.
Sesuatu bisa dianggap wujud atau ada jika termanifestasikan
dalam apa yang disebut ‘tahapan wujud’ (marâthib al-wujûd),
yang terdiri atas 4 hal; (1) eksis dalam wujud sesuatu (wujûd al-
syai’ fî ainih), (2) eksis dalam pikiran atau konsepsi (wujûd al-
syai’ fî al-ilm), (3) eksis dalam ucapan (wujûd al-syai’ fî al-
alfazh), (4) eksis dalam tulisan (wujûd al-syai’ fî ruqûm). Segala
sesuatu dianggap wujud jika ada didalam salah satu empat
‘tahapan’ tersebut. Sesuatu yang tidak ada diantaranya tidak
bisa dianggap sebagai wujud, dan karena itu tidak bisa
dibicarakan.32
Selanjutnya, apa yang wujud itu, yang berarti punya
eksistensi, dalam perspektif ontologis Ibn Arabi, terbagi dalam
dua bagian; wujud mutlak dan wujud nisbi. Wujud mutlak adalah
suatu sesuatu yang eksis dengan dirinya sendiri dan untuk
dirinya sendiri, dan itu adalah Tuhan. Wujud nisbi adalah sesuatu
yang eksistensinya terjadi oleh dan untuk wujud lain (wujûd bi
al-ghair). Wujud nisbi ini terbagi dalam dua bagian; wujud bebas
dan wujud ‘bergantung’, yang disebut kedua ini berupa atribut-
atribut, kejadian-kejadian dan hubungan-hubungan yang bersifat
spesial dan temporal. Sementara itu, wujud nisbi bebas berupa

28
Ini bisa dilihat dari pengakuannya, misalnya, saat menulis kitab Futûh al-Makiyah
yang diklaim didektekan sendiri oleh Tuhan, kata per kata. Juga penulisan kitab Fushûsh Al-
Hikam yang diajarkan langsung oleh Rasulullah. Lihat catatan kaki diatas.
29
Husain Nasr, Tiga Pemikir, 144.
30
Ibid.
31
Affifi, Filsafat Mistis Ibn Arabi, 243 dan seterusnya.
32
Ibid, 20.
Metafisika/Pemikiran Ibn Arabi 8

substansi-substansi, dan ia terbagi dalam dua bagian; material


dan spiritual.33

Wujud
_______________________________

Nisbi Mutlak
________________________________

Bebas Bergantung
(substansi-substansi) (Atribut-atribut, kejadian-
kejadian, dan hubungan-
hubungan yang bersifat
spesial dan temporal)
_______________________

Material Spiritual

Namun, yang perlu dicatat, apa yang dianggap wujud nisbi


diatas tidak sepenuhnya ‘entitas temporal’ melainkan juga
‘entitas permanen’ (al-a`yân al-tsâbitah) sebagaimana wujud
mutlak. Dalam pandangan ibn Arabi, semua yang ada dalam
semesta ini, dalam semua keadaannya, telah ada dan persis
seperti apa yang ada dalam ilmu Tuhan, sedang ilmu Tuhan
sendiri adalah al-a`yân al-tsâbitah. Setiap urusan dan apa yang
ada dalam semesta tidak pernah keluar dari rencana yang telah
ditetapkan Tuhan sejak permulaan dalam ilmu-Nya.34
Entitas-entitas permanen (al-A`yân al-tsâbitah) diatas
tidak pernah meninggalkan kepermanenanya dan ketidak-
beruhannya, karena entitas-entitas tersebut selamanya ada
dalam ilmu Tuhan, ada secara kekal dalam ‘kebesarn-Nya’.
Namun, segala yang tampak riil dalam semesta ini juga tidak
lain adalah aktualisasi ‘entitas-entitas permanen’. Karena itu,
pada satu sisi, entitas-entitas yang ada dalam ilmu Tuhan tidak
berbeda dengan entitas-entitas yang tampak dalam semesta,
sebab apa yang terjadi dalam semesta adalah persis seperti apa
yang ada dalam ilmu-Nya. Akan tetapi, pada sisi yang lain,
entitas-entitas dalam ilmu Tuhan berbeda dengan entitas
semesta, karena yang pertama tidak berwujud konkrit, bebas
dari ruang dan waktu, sedang yang keduany berwujud konkrit,
dan terikat dengan ruang dan waktu. Yang pertama bersifat
potensial, ‘cetak biru’, sementara yang kedua bersifat aktual,
konkrit.35
33
Ibid, 21-24.
34
Ibn Arabi, Futûhât, IV, 128.
35
Kautsar A. Noor, Ibn Arabi, 120.
Metafisika/Pemikiran Ibn Arabi 9

Meski demikian, menurut Kautsar,36 dalam struktur


ontologis Ibn Arabi, ‘entitas-entitas permanen’ tidak juga sama
dan sederajat dengan Dzat Tuhan, tetapi ada ‘dibawahnya’.
Tepatnya, ia menempati posisi tengah antara Tuhan dan alam,
antara keabsolutan-Nya dan semesta, sehingga ia bersifat ‘aktif’
sekaligus ‘pasif’. Aktif dalam hubungannya dengan apa yang
lebih rendah darinya, yakni alam semesta, dan aktif dalam
hubungannya dengan yang lebih tinggi, yakni diri Tuhan. Tarik
menarik keduanya terjadi dalam apa yang disebut sebagai
proses penampakan diri (tajalli) Tuhan, yang berarti sama
dengan proses penciptaan semesta dalam konsep emanasi.
Dengan posisi tengah antara al-Haqq (Tuhan) dan al-khalq
(ciptaan), entitas-entitas permanen diatas adalah qadîm
sekaligus hadîts. Qadîm karena ia adalah objek ilmu Tuhan sejak
azali, ada dalam dan bersama ilmu Tuhan tanpa ada permulaan
dalam waktu. Tetapi qadîm-nya tidak sama dengan qidam Tuhan,
karena qadîm-nya entitas permanen berasal dari dan tergantung
pada qidam Tuhan. Sebaliknya, entitas permanen dianggap
hadîts karena ia muncul ‘kemudian’, mewujud dan
menampakkan diri dalam alam nyata, yang berkaitan dengan
ruang dan waktu.
Jalan tengah dan ‘sistem mendua’ (ambiguis) tersebut
juga berlaku pada soal perbuatan manusia, bahwa perbuatan
manusia adalah jabariyah sekaligus qadariyah. Yakni, bahwa
‘perbuatan manusia diciptakan oleh manusia, tetapi tidak oleh
manusia’ atau ‘perbuatan manusia diciptakan bukan oleh Tuhan
tetapi oleh Tuhan’. Seperti dikatakan Kautsar, ambiguitas dan
paradoksal-sikalitas radikal adalah ciri khas sistem berfikir Ibn
Arabi.

D. Wahdat al-Wujûd.
Dengan pemikiran bahwa alam semesta adalah aktuasasi
entitas-entitas permanen yang ada dalam ilmu Tuhan, maka bagi
Ibn Arabi, seluruh realitas yang ada ini, meski tampak beragam,
adalah hanya satu, yakni Tuhan sebagai satu-satunya realitas
dan realitas yang sesungguhnya. Apapun yang selain Dia tidak
bisa dikatakan wujud dalam makna yang sebenarnya. Jika
demikian, bagaimana kedudukan ontologis al-khalq (alam
ciptaan)? Apakah ia identik dengan Tuhan, atau alam ini tidak
mempunyai wujud sama sekali? Kenyataannya alam dan kita
ada secara konkrit.
Menghadapi persoalan tersebut, seperti sistem berfikirnya
yang paradoksal, jawaban Ibn Arabi bersifat ambiguis, bahwa
alam adalah Tuhan (al-Haqq) sekaligus bukan Tuhan, atau
menurut istilah Ibn Arabi sendiri, alam adalah ‘Dia dan bukan
36
Ibid, 121.
Metafisika/Pemikiran Ibn Arabi 10

Dia’ (Huwa lâ Huwa).37 Bagi Ibn Arabi, alam semesta adalah


penampakan (tajalli) Tuhan, dan dengan demikian, segala
sesuatu dan segala yang ada didalamnya adalah entifikasi-Nya.
Karena itu, Tuhan dan semesta, keduanya tidak bisa difahami
kecuali sebagai kesatuan antara kontradiksi-kontradiksi
ontologis. Kontradiksi-kontradiksi ini tidak hanya bersifat
horisontal tetapi juga vertikal. Hal ini tampak sebagaimana
uraian al-Qur`an, bahwa Tuhan adalah Yang Tersembunyi (al-
Bathîn) sekaligus Yang Tampak (al-dzahîr), Yang Esa (al-Wahîd)
sekaligus Yang Banyak (al-Katsîr), Yang Terdahulu (al-Qadîm)
sekaligus Yang Baru (al-Hadîts), Yang Ada (al-Wujûd) sekaligus
Yang Tiada (al-`Adam).38
Dalam pandangan Ibn Arabi, realitas adalah satu tetapi
mempunyai sifat yang berbeda; sifat ketuhanan sekaligus sifat
kemakhlukan, temporal sekaligus abadi, nisbi sekaligus
permanen, eksistensi sekaligus non-eksistensi.39 Dua sifat yang
bertentangan tersebut hadir secara bersamaan dalam segala
sesuatu yang ada di alam. Disini Ibn Arabi menggunakan prinsip
al-Jam’u bayn al-Addâd (kesatuan diantara pertentangan-
pertentangan), atau yang dalam filsafat Barat disebut
coincidentia oppositorum.
Untuk menjelaskan hubungan ontologis Tuhan dan
semesta tersebut, Ibn Arabi, antara lain, menggunakan simbol
cermin, alam semesta sebagai cermin bagi Tuhan. Simbol ini,
pertama, untuk menjelaskan sebab penciptaan alam, yakni
bahwa penciptaan ini adalah sarana untuk memperlihatkan diri-
Nya. Dia ingin memperkenalkan dirinya lewat alam. Dia adalah
‘harta simpanan’ (kanz makhfi) yang tidak bisa dikenali kecuali
lewat alam, sesuai dengan hadis Rasul yang menyatakan hal itu.
Kedua, untuk menjelaskan hubungan Yang Satu dengan yang
banyak dan beragam dalam semesta. Yakni bahwa Tuhan yang
bercermin adalah satu, tetapi gambar-Nya amat banyak dan
beragam sesuai dengan jumlah dan model cermin tersebut.40
Apa yang tampak dalam cermin adalah Dia, sama sekali bukan
selainnya, tetapi bukan Dia yang sesungguhnya.
Penggambaran diatas sejalan dengan penyatuan dua
paradigma tasybîh dan tanzîh yang digunakan Ibn Arabi. Dari
segi tasybîh, Tuhan sama dengan alam, karena alam tidak lain
adalah perwujudan dan aktualiasi sifat-sifat-Nya; dari segi tanzîh
Tuhan berbeda dengan alam, karena alam terikat oleh ruang dan
waktu sedang Tuhan adalah absolut dan mutlak. Secara tegas,

37
Ibn Arabi, Futûhât, II, 160.
38
Ibrahim Al-Jilli, Al-Insân al-Kâmil, I, 37-40. Al-Jilli, salah seorang murid terkemuka
yang banyak menjelaskn pemikiran Ibn Arabi, menguraikannya secara bagus dan mudah.
39
Ibn Arabi, Fushûsh, I, 19.
40
Ibid, I, 48-9.
Metafisika/Pemikiran Ibn Arabi 11

Ibn Arabi menyatakan ‘Huwa la Huwa’ (Dia bukan Dia --yang kita
bayangkan). Sedekat-dekat manusia menyatu (ittihad) dengan-
Nya, tetap tidak pernah benar-benar menyatu dengan Tuhan. Ia
hanya menyatu dengan asma-asma-Nya, menyatu dengan
‘bayangan-Nya’, bukan dengan Zat-Nya. Tuhan terlalu tinggi
untuk dicapai. Segala uraian tentang-Nya, adalah kebohongan,
pengkerdilan dan pembatasan.41

F. Penutup.
Dari segi epistemologis, tampaknya ada pergeseran atau
perkembangan pada sistem pemikiran Ibn Arabi. Awalnya
cenderung paripathetik, Aristotelian, ketika menyatakan bahwa
eksistensi adalah ‘patokan’ segala sesuatu. Kemudian berubah
menjadi Platonis, dengan pendapatnya bahwa wujud yang
sebenarnya bukan pada sesuatu yang tampak nyata dan konkrit
ini tetapi pada yang transenden dan itu hanya satu, yakni Tuhan.
Terakhir, berubah lagi menjadi paduan antara Platonis dan
Aristotelian, yakni bahwa realitas adalah perpaduan antara yang
transenden dan yang nyata (wahdat al-wujûd), meski dengan
pemikiran yang khas Arabian.
Pemikiran kesatuan realitas (wahdat al-wujûd) adalah
gagasan orisinal Ibn Arabi. Meski dasar-dasar gagasan ini
diambil dari pemikiran ittihâd (penyatuan manusia dengan
Tuhan) al-Hallaj (858-913 M), tetapi ia berbeda dengannya. (1)
Dalam teori al-Hallaj, persoalan yang ditekankan hanya
hubungan antara Tuhan (al-Lâhût) dan manusia (al-Nâsût),
bahwa sifat kemanusiaan hadir pada Tuhan dan sifat ketuhanan
hadir hanya pada manusia, tidak pada yang lain; dalam teori Ibn
Arabi menjadi lebih luas, yakni hubungan antara Tuhan (al-Haqq)
dan semesta (al-Khalq). (2) Dalam teori al-Hallaj masih ada
dualisme manusia dan Tuhan, dalam Ibn Arabi dualisme tersebut
tidak ada, kecuali dualisme semu, nisbi; yang ada hanya
keesaan.42 Yakni keesaan dengan dua wajah seperti satu mata
uang. Dari satu aspek, realitas itu adalah Yang Benar, Pelaku dan
Pencipta; dari aspek lain, ia adalah ciptaan, penerima dan
makhluk.43
Konsep ini selangkah lebih ‘berani’ dibanding gagasan
emanasi al-Farabi atau yang lain, karena dalam emanasi masih
ada jarak dan perbedaan antara Tuhan dan makhluk, baik dari
kualitas maupun kuantitas; sementara dalam wahdat al-wujûd
tidak ada lagi jarak diantara keduanya. Namun, itu bukan berarti
semesta identik dengan Tuhan. Alam tidak lain hanya
41
Al-Jilli, Al-Insân al-Kâmil, 25.
42
Afifi, ‘Ibn Arabi’, dalam MM. Syarif, A History of Muslim Philosophy, I, (Karachi,
PPC, 1983), 415-6.
43
Ibn Arabi, Fushûs al-Hikam, II, 8.
Metafisika/Pemikiran Ibn Arabi 12

perwujudan dari asma-asma-Nya sebagaimana diikrarkan dalam


syahadah Lailaha illallah. Yakni pengakuan bahwa mahluk-Nya
bukanlah Tuhan tetapi keberadaan-Nya juga tidak tersamai oleh
selain-Nya, sehingga tidak satupun wujud yang mandiri dan
lepas dari-Nya.44

44
Husain Nasr, Tiga Pemikir Islam, 146.

You might also like