Professional Documents
Culture Documents
A. Riwayat Hidup.
Ibn Arabi, lengkapnya Muhammad ibn `Ali ibn Muhammad
ibn al-`Arabi al-Thai al-Tamimi,3 lahir di Mursia, Spanyol bagian
tenggara, 17 Ramadan 560 H/ 28 Juli 1165 M, pada masa
pemerintahan Muhammad ibn Sa`id ibn Mardanisy.4 Menurut
Affifi,5 Ibn Arabi berasal dari keluarga keturunan Arab yang
1
Tulisan ini tidak akan melibatkan diri dan tidak akan menambah jumlah orang yang
berpolemik ataupun menilai apakah wahdah al-wujud termasuk pantheisme atau tidak, tetapi
sekedar menyatakan bahwa ‘wahdah al-wujud’ (kesatuan realitas) adalah gagasan terpenting dari
metafisika Ibn Arabi.
Dalam perkembangan selanjutnya, gagasan wahdat al-wujud ini menjadi sebuah teori
‘besar’ tantang proses penciptaan semesta yang ditelorkan oleh Hamzah Fansuri dan Nuruddin
Sumatrani dengan istilah ‘martabat tujuh’; ahadiyah, wahdah, wahidiyah, alam arwah, alam
mitsal, alam ajsam dan insan. Lebih jelas masalah ini, lihat Simuh, Sufisme Jawa Transformasi
Tasawuf Islam ke Mistik, (Yogya, Bentang, 1989); Harun Hadiwiyono, Kebatinan Islam Abad
XVI, (Jakarta, Gunung Mulia, 1985). Tentang bagaimana proses dari Ibn Arabi dan Ibrahim Al-
Jilli sampai kepada Hamzah Fansuri, lihat Mastuki HS, ‘Neo-Sufisme di Nusantara
Kesinambungan dan Perubahan’, dalam Jurnal Ulum Alqur’an, edisi 6/VII/1997.
2
Azhari Noer, Ibn Arabi Wahdat al-Wujud dalam perdebatan, (Jakarta, Paramadina,
1995), 34 dan seterusnya.
3
Harus dibedakan dengan Ibn Arabi yang lain, yang bernama lengkap Abu Bakar
Muhammad ibn Abdillah ibn Arabi al-Ma`afiri (468-543 H/ 1076-1148 M). Ia juga tokoh muslim
yang lahir di Spanyol. Namun, yang ini bukan tokoh sufi, tapi seorang ahli hadis di Sevilla yang
kemudian menjadi hakim disana. Untuk referensi lihat, Kautsar Azhari Noer, Ibn al-Arabi, 17; J.
Robson, ‘Ibn al-Arabi’ dalam The Encylopaedia of Islam, New Edition, (London dan Laiden:
Luzac dan Brill, 1979), III, 707.
Akan tetapi, S. Husain Nasr menyebut nama lengkap Ibn Arabi tokoh sufi ini dengan
nama Ibn Arabi lain yang dianggap sebagai tokoh hadits diatas, dengan tahun lahir 570 H/ 1165
M. Lihat, Husain Nasr, Tiga Pemikir Islam, (Bandung, Risalah, 1986), 127.
4
Kautsar Azhari Noer, Ibn Arabi, 17.
5
Affifi, Filsafat Mistis Ibn Arabi, terj. Nandi Rahman, (Jakarta, Media Pratama, 1989),
1.
Metafisika/Pemikiran Ibn Arabi 2
saleh, dimana ayah dan tiga pamannya --dari jalur ibu-- adalah
tokoh sufi yang masyhur, dan ia sendiri digelari Muhy al-Dîn
(Penghidup Agama) dan al-Syaikh al-Akbar (Doktor Maximus),
karena gagasan-gagasannya yang besar terutama dalam bidang
mistik.6 Belum ada seorang tokoh muslim yang mencapai posisi
sebagaimana kedudukannya. Ibn Arabi meninggal di Damaskus
--dan di makamkan disana-- tanggal 22 Rabi al-Tsani 638 H/
Nopember 1240 M, dalam usia 78 tahun.7
Pendidikan Ibn Arabi dimulai di Seville, ketika ayahnya
menjabat di istana dengan pelajaran yang umum saat itu, al-
Qur’an, hadis, fiqh, teologi dan filsafat skolastik. Keberhasilan
pendidikan dan kecerdasan otaknya --juga kedudukan ayahnya--
mengantarkannya sebagai sekretaris gubernur Seville dalam
usia belasan.8 Yang perlu dicatat, bahwa kota Saville saat itu,
selain sebagai kota ilmu pengetahuan juga merupakan pusat
kegiatan sufisme dengan banyak guru sufi terkenal tinggal
disana. Kondisi keluarga dan lingkungan yang kondusif dan kaya
mempercepat pembentukan Ibn Arabi sebagai tokoh sufis yang
terpelajar, apalagi ia telah masuk thariqat sejak usia 20 tahun.9
Selama menetap di Saville, Ibn Arabi muda sering
melakukan kunjungan ke berbagai kota di Spanyol, untuk
berguru dan bertukar pikiran dengan para tokoh sufi maupun
sarjana terkemuka. Salah satu kunjungan yang paling
mengesankan adalah ketika bertemu dengan Ibn Rusyd (1126-
1198 M), dimana saat itu Ibn Arabi mengalahkan tokoh filosof
Paripatetik ini dalam perdebatan dan tukar fikiran;10 sesuatu
yang menunjukkan kecerdasan yang luar biasa dan luasnya
wawasan spiritual sufi muda ini. Juga, menurut Kautsar,11
menujukkan adanya hubungan yang kuat antara mistisisme dan
6
Arbery menggelari dengan ‘The greatest mystical genius of the Arab’ pada Ibn Arabi,
karena prestasi-prestasi yang dihasilkannnya. Lihat, Arbery, Sufism An Account of the Mystics of
Islam, (London, Unwin Paperback, 1975), 97.
7
Akan tetapi, menurut Taftazani, Ibn Arabi wafat dan dikebumikan di Hijaz, bukan di
Damascus. Lihat, Taftazani, Sufi Dari Zaman ke Zaman, terj. A. Rafi Usman, (Bandung, Pustaka,
1985), 201. Namun, kebanyakan sumber dan bukti-bukti tidak mendukung pendapat ini.
Pendapat Taftazani ini, mungkin, terkaburkan oleh nama Ibn Arabi yang lain sebagaimana yang
terjadi pada Husain Nahr diatas, mengingat memang tidak jarang dijumpai nama yang sama
dalam satu persoalan.
8
Kautsar, Ibn Arabi, 18.
9
Ibn Arabi, Futuhât al-Makiyah, II, (Bairut, Dar al-Fikr, tt), 425. Diantara gurunya yang
sangat dikagumi adalah dua orang wanita; Yasmin Mursaniyah dari Marchena dan Fatimah
Qurthubiyah dari Kordova. Keduanya berpengaruh besar dalam pembentukan (pengarahan)
kepada kehidupannya. Tentang kehidupan kedua guru wanita ini, lihat Ibn Arabi, Sufi-Sufi
Andalusia, terj. Nasrullah (Bandung, Mizan, 1994).
10
Tentang dialok antara Ibn Arabi dengan Ibn Rusyid ini, lihat Futuhât, I, 153; Lihat
pula, Husain Nasr, Tiga Pemikir Islam, 128-129. Dengan demikian, dalam pertemuan tersebut
bukan Ibn Arabi berguru pada Ibn Rusyd, seperti yang dikatakan al-Qarni, meski diakui bahwa
pertemuan itu sendiri diatur oleh ayah Ibn Arabi atas permintaan Ibn Rusyd. Lihat al-Qarni,
Muhy al-Dîn Ibn al-Arabi, (Mesir, Haniah li al-kitab, 1987), 26.
11
Kautsar, Ibn Arabi, 18.
Metafisika/Pemikiran Ibn Arabi 3
12
Uraian tentang kenyataan bahwa Ibn Arabi adalah seorang mistikus sekaligus filosof
bisa dilihat pada Franz Rosenthal, Ibn Arabi between Philosophy and Mysticism, (Laiden, Brill,
1998), 1-35.
13
Ibn Arabi, Futuhât, IV, 129.
14
Kutsar, Ibn Arabi, 19.
15
Menurut Ibn Arabi, penulisan kitab ini didektekan langsung oleh Tuhan lewat ilham,
kata per kata. Lihat Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci Ilahi, terj. Rahmani Astuti,
(Bandung, Mizan, 1996), 319.
16
Ibn Arabi, Futuhât, IV, 560.
17
Pengangkatan ini, yang pertama di Seville (580/1184), kedua di Makkah (599/1202).
18
Suhrawardi ini bukan Suhrawardi al-Maqtul tokoh Filsafat Illuminasi (Syaikh al-
Isyraq) seperti yang dikatakan Husain Nasr, ¤alasa Hukuma al-Islam, 132. Suhrawardi tokoh
Emanasi telah dihukum mati tahun 587/1191 M; lebih jelas tentang ajarannya, lihat Husaien
Ziai, Suhrawardi dan Filsafat Illuminasi, terj. Afif Muhammad, (Bandung, Zaman Wacana
Mulia, 1998).
Metafisika/Pemikiran Ibn Arabi 4
23
Tiga macam dan tingkat ilmu pengetahuan ini sama sebagaimana yang disampaikan al-
Ghazali dalam karya otobigrafi intelektualnya. Disana al-Ghazali membagi tingkatan ilmu
menjadi tiga; berdasarkan indera, rasio dan intuitif. Menurutnya, indera adalah sarana paling
rendah dalam kajian pengetahuan; diatas ilmu berdasarkan rasio dan diatasnya lagi adalah
intuitif. Al-Ghazali akhirnya memilih sufisme karena menganggap bahwa ilmu hasil mistik
inilah ilmu yang sebenarnya yang tidak mengenal keraguan dan tidak terbantahkan. Lihat Al-
Ghazali, Al-Munqid min al-Dlalâl, (Bairut, Maktabah As-Syaksiyah, tt).
24
Lihat Kattsoff, Pengantar Filsafat, terj. Soejono Soemargono, (Yogya, Tiara Wacana,
1996), 144-145.
Metafisika/Pemikiran Ibn Arabi 6
28
Ini bisa dilihat dari pengakuannya, misalnya, saat menulis kitab Futûh al-Makiyah
yang diklaim didektekan sendiri oleh Tuhan, kata per kata. Juga penulisan kitab Fushûsh Al-
Hikam yang diajarkan langsung oleh Rasulullah. Lihat catatan kaki diatas.
29
Husain Nasr, Tiga Pemikir, 144.
30
Ibid.
31
Affifi, Filsafat Mistis Ibn Arabi, 243 dan seterusnya.
32
Ibid, 20.
Metafisika/Pemikiran Ibn Arabi 8
Wujud
_______________________________
Nisbi Mutlak
________________________________
Bebas Bergantung
(substansi-substansi) (Atribut-atribut, kejadian-
kejadian, dan hubungan-
hubungan yang bersifat
spesial dan temporal)
_______________________
Material Spiritual
D. Wahdat al-Wujûd.
Dengan pemikiran bahwa alam semesta adalah aktuasasi
entitas-entitas permanen yang ada dalam ilmu Tuhan, maka bagi
Ibn Arabi, seluruh realitas yang ada ini, meski tampak beragam,
adalah hanya satu, yakni Tuhan sebagai satu-satunya realitas
dan realitas yang sesungguhnya. Apapun yang selain Dia tidak
bisa dikatakan wujud dalam makna yang sebenarnya. Jika
demikian, bagaimana kedudukan ontologis al-khalq (alam
ciptaan)? Apakah ia identik dengan Tuhan, atau alam ini tidak
mempunyai wujud sama sekali? Kenyataannya alam dan kita
ada secara konkrit.
Menghadapi persoalan tersebut, seperti sistem berfikirnya
yang paradoksal, jawaban Ibn Arabi bersifat ambiguis, bahwa
alam adalah Tuhan (al-Haqq) sekaligus bukan Tuhan, atau
menurut istilah Ibn Arabi sendiri, alam adalah ‘Dia dan bukan
36
Ibid, 121.
Metafisika/Pemikiran Ibn Arabi 10
37
Ibn Arabi, Futûhât, II, 160.
38
Ibrahim Al-Jilli, Al-Insân al-Kâmil, I, 37-40. Al-Jilli, salah seorang murid terkemuka
yang banyak menjelaskn pemikiran Ibn Arabi, menguraikannya secara bagus dan mudah.
39
Ibn Arabi, Fushûsh, I, 19.
40
Ibid, I, 48-9.
Metafisika/Pemikiran Ibn Arabi 11
Ibn Arabi menyatakan ‘Huwa la Huwa’ (Dia bukan Dia --yang kita
bayangkan). Sedekat-dekat manusia menyatu (ittihad) dengan-
Nya, tetap tidak pernah benar-benar menyatu dengan Tuhan. Ia
hanya menyatu dengan asma-asma-Nya, menyatu dengan
‘bayangan-Nya’, bukan dengan Zat-Nya. Tuhan terlalu tinggi
untuk dicapai. Segala uraian tentang-Nya, adalah kebohongan,
pengkerdilan dan pembatasan.41
F. Penutup.
Dari segi epistemologis, tampaknya ada pergeseran atau
perkembangan pada sistem pemikiran Ibn Arabi. Awalnya
cenderung paripathetik, Aristotelian, ketika menyatakan bahwa
eksistensi adalah ‘patokan’ segala sesuatu. Kemudian berubah
menjadi Platonis, dengan pendapatnya bahwa wujud yang
sebenarnya bukan pada sesuatu yang tampak nyata dan konkrit
ini tetapi pada yang transenden dan itu hanya satu, yakni Tuhan.
Terakhir, berubah lagi menjadi paduan antara Platonis dan
Aristotelian, yakni bahwa realitas adalah perpaduan antara yang
transenden dan yang nyata (wahdat al-wujûd), meski dengan
pemikiran yang khas Arabian.
Pemikiran kesatuan realitas (wahdat al-wujûd) adalah
gagasan orisinal Ibn Arabi. Meski dasar-dasar gagasan ini
diambil dari pemikiran ittihâd (penyatuan manusia dengan
Tuhan) al-Hallaj (858-913 M), tetapi ia berbeda dengannya. (1)
Dalam teori al-Hallaj, persoalan yang ditekankan hanya
hubungan antara Tuhan (al-Lâhût) dan manusia (al-Nâsût),
bahwa sifat kemanusiaan hadir pada Tuhan dan sifat ketuhanan
hadir hanya pada manusia, tidak pada yang lain; dalam teori Ibn
Arabi menjadi lebih luas, yakni hubungan antara Tuhan (al-Haqq)
dan semesta (al-Khalq). (2) Dalam teori al-Hallaj masih ada
dualisme manusia dan Tuhan, dalam Ibn Arabi dualisme tersebut
tidak ada, kecuali dualisme semu, nisbi; yang ada hanya
keesaan.42 Yakni keesaan dengan dua wajah seperti satu mata
uang. Dari satu aspek, realitas itu adalah Yang Benar, Pelaku dan
Pencipta; dari aspek lain, ia adalah ciptaan, penerima dan
makhluk.43
Konsep ini selangkah lebih ‘berani’ dibanding gagasan
emanasi al-Farabi atau yang lain, karena dalam emanasi masih
ada jarak dan perbedaan antara Tuhan dan makhluk, baik dari
kualitas maupun kuantitas; sementara dalam wahdat al-wujûd
tidak ada lagi jarak diantara keduanya. Namun, itu bukan berarti
semesta identik dengan Tuhan. Alam tidak lain hanya
41
Al-Jilli, Al-Insân al-Kâmil, 25.
42
Afifi, ‘Ibn Arabi’, dalam MM. Syarif, A History of Muslim Philosophy, I, (Karachi,
PPC, 1983), 415-6.
43
Ibn Arabi, Fushûs al-Hikam, II, 8.
Metafisika/Pemikiran Ibn Arabi 12
44
Husain Nasr, Tiga Pemikir Islam, 146.