Professional Documents
Culture Documents
Oleh:
DR. H. Yoyon Bahtiar Irianto, M.Pd.
(Adpend-FIP-UPI, email: abah_jbi@hotmail.com)
Abstrak
Sudah sepuluh tahun reformasi pendidikan dilakukan, dan hampir seluruh
kebijakan pembaharuan pendidikan telah diupayakan, namun sepertinya seluruh tatanan
hidup dan kehidupan masyarakat malah berubah ke arah yang tidak menentu. Secara tidak
disadari, kehidupan masyarakat malah melunturkan sendi-sendi keimanan yang nya turut
mempengaruhi kualitas kelangsungan peradaban bangsa. Penyebab utamanya tidak lain
pendidikan karakter bangsa yang ‘amburadul’. Karena itu, sejalan dengan Renstra
Kemendiknas 2010-2014 yang telah mencanangkan penerapan pendidikan karakter, maka
diperlukan kerja keras semua pihak, terutama terhadap program-program yang memiliki
kontribusi besar terhadap peradaban bangsa harus benar-benar dioptimalkan. Namun,
penerapan pendidikan karakter di sekolah memerlukan pemahaman tentang konsep, teori,
metodologi dan aplikasi yang relevan dengan pembentukan karakter (character building)
dan pendidikan karakter (character education). Permasalahan yang perlu diungkap antara
lain: Bagaimana kiprah pendidikan dalam peradaban bangsa? Apa makna pendidikan
moral-nilai-ahlaq dan karakter? Bagaimana peranan yang perlu dilakukan sekolah?
Bagaimana strategi implementasinya dalam konteks pembelajaran di persekolahan?
Dari pengalaman ada dua pendekatan dalam pendidikan karakter, yaitu: (1)
Karakter yang diposisikan sebagai mata pelajaran tersendiri; dan (2) Karakter yang built-
in dalam setiap mata pelajaran. Sampai saat ini, pendekatan pertama ternyata lebih efektif
dibandingkan pendekatan kedua. Salah satu alasannya ialah karena para guru
mengajarkan masih seputar teori dan konsep, belum sampai ke ranah metodologi dan
aplikasinya dalam kehidupan. Idealnya, dalam setiap proses pembelajaran mencakup
aspek konsep (hakekat), teori (syare’at), metode (tharekat) dan aplikasi (ma’rifat). Jika
para guru sudah mengajarkan kurikulum secara komprehensif melalui konsep, teori,
metodologi dan aplikasi setiap bidang studi, maka kebermaknaan yang diajarkannya akan
lebih efektifi dalam menunjang pendidikan karakter.
Strategi pembelajaran yang berkenaan dengan moral knowing akan lebih banyak
belajar melalui sumber belajar dan nara sumber. Pembelajaran moral loving akan terjadi
pola saling membelajarkan secara seimbang di antara siswa. Sedangkan pembelajaran
moral doing akan lebih banyak menggunakan pendekatan individual melalui
pendampingan pemanfaatan potensi dan peluang yang sesuai dengan kondisi lingkungan
siswa. Ketiga strategi pembelajaran tersebut sebaiknya dirancang dengan sistematis agar
para siswa dan guru dapat memanfaatkan segenap nilai-nilai dan moral yang sesuai
dengan potensi dan peluang yang tersedia di lingkungannya. Dengan demikian, hasil
pembelajarannya ialah terbentuknya tabi’at reflektif dalam arti para siswa memiliki
pengetahuan, kemauan dan keterampilan dalam berbuat kebaikan.
Melalui pemahaman yang komprehensif ini diharapkan dapat menyiapkan pola-
pola manajemen pembelajaran yang dapat menghasilkan anak didik yang memiliki
karakter yang kuat dalam arti memiliki ketangguhan dalam keilmuan, keimanan, dan
perilaku shaleh, baik secara pribadi maupun sosial.
Kata kunci: moral, value, ahlaq, character building, character education, tabi’at reflektif.
A. Permasalahan
“Nelengnengkung-nelengnengkung, geura gede geura jangkung, geura sakola sing jucung,
sangkan bisa makayakeun Indung (Nelengnengkung-nelengnengkung, cepatlah besar cepatlah
tinggi, cepatlah selesaikan sekolah, agar dapat memuliakan Sang Ibu)”
“Ku lihat Ibu Pertiwi, sedang bersusah hati, air matanya berlinang…..hutan gunung sawah
lautan, simpanan kekayaan, kini Ibu sedang lara…..”
Itulah penggalan-penggalan “dangding” (syair) pada saat Sang Ibu mengayun saya
(anak). Dengan segenap kasih sayang, harapan, dan do’a, Sang Ibu berusaha membesarkan
saya agar menjadi gede dan tinggi, dan berharap kembali memuliakan Sang Ibu yang
mengadung, membesarkan dan mendidiknya, serta sang Ibu Pertiwi yang telah memberi
saya lahan kehidupan. Sekarang, sang Ibu sedang bersedih karena anak-anaknya walaupun
telah besar dan tinggi namun hasil dari sekolah tidak sesuai dengan harapan dan cita-cita
Sang Ibu. Apa yang dilakukan sekolah terhadap anak-anaknya sehingga tidak semua cita-
cita dan harapan Sang Ibu dapat dipenuhi oleh sekolah? Padahal, hampir seluruh kebijakan
yang terkait dengan pembaharuan pendidikan diarahkan sesuai dengan standar pendidikan
yang telah ditetapkan. Namun, sepertinya seluruh tatanan hidup dan kehidupan masyarakat
malah berubah ke arah yang tidak menentu.
Ketidakmenentuan yang paling berbahaya ialah lunturnya keimanan sebagai
masyarakat yang agamis. Penurunan budi pekerti, maraknya penyalahgunaan narkoba,
kriminalitas, sex bebas dan tuna-susila, meningkatnya pengangguran, kemiskinan dan
derajat kesehatan masyarakat yang buruk, turut mempengaruhi kualitas kelangsungan
peradaban masyarakat di masa depan. Penyebab utamanya tidak lain adalah pendidikan
karakter bangsa yang ‘amburadul’. Walaupun visi, misi, prinsip, tujuan, strategi, program
pembangunan pendidikan dirumuskan dengan sangat hebat, namun tidak ada maknanya
manakala hasil-hasil pendidikan tidak dapat meningkatkan kualitas hidup bermasyarakat
dan berbangsa. Apabila pembangunan pendidikan dilaksanakan seperti itu terus-menerus,
maka bangsa ini selamanya tidak akan mendapat hidayah untuk bangkit menuju kehidupan
yang lebih baik.
Gambaran di atas bukan hanya sekedar cerita, bahwa permasalahan mendasar bagi
pendidikan ialah bagaimana menyiapkan generasi yang cerdas dan memiliki karakter yang
kuat untuk membangun bangsanya ke arah yang lebih baik. Oleh karena itu, sejalan dengan
Rencana Strategis Kemendiknas 2010-2014 yang telah mencanangkan visi penerapan
pendidikan karakter,1 maka diperlukan kerja keras semua pihak, terutama terhadap
program-program yang memiliki kontribusi besar terhadap peradaban bangsa harus benar-
benar dioptimalkan. Namun demikian, visi penerapan pendidikan karakter di lingkungan
satuan-satuan pendidikan memerlukan pemahaman yang jelas tentang konsep, teori,
metodologi dan aplikasi yang relevan dengan pembentukan karakter (character building)
dan pendidikan karakter (character education). Bagaimana kiprah pendidikan dalam
peradaban bangsa? Apa makna pendidikan moral-nilai-ahlaq dan karakter? Bagaimana
peranan yang perlu dilakukan sekolah? Bagaimana strategi implementasinya dalam
konteks pembelajaran di persekolahan? Melalui pemahaman yang komprehensif ini
diharapkan dapat menyiapkan pola-pola pembelajaran untuk menghasilkan anak didik
yang memiliki ketangguhan keilmuan, keimanan, dan keshalehan pribadi maupun sosial.
Insan-insan yang shaleh ini sangat diperlukan untuk menjadi ‘kader’ yang siap ‘berjihad’
membangun kembali bangsanya agar bangkit dari keterpurukan. Tanpa pijakan dan
pemahaman tentang konsep, teori, metode yang jelas dan komprehensif tentang pendidikan
karakter, maka misi pendidikan karakter pada sekolah-sekolah akan menjadi sia-sia.
masa mendatang. Jika kebijakan dalam pendidikan harus dibuat, menunjukkan bahwa
dalam praktek-praktek pendidikan ada sesuatu yang salah atau kurang bermanfaat. Dengan
kata lain, kesalahan atau dalam pelaksanaan pendidikan harus dapat ditemukan, dianalisis,
disintesa, kemudian dipraktekkan kembali sampai menunjukan hasil yang lebih
bermanfaat.
Berdasarkan amanat undang-undang,7 pendidikan harus dilihat sebagai human
investment dalam bidang sosial-budaya, ekonomi dan politik. Dalam perspektif sosial-
budaya, pendidikan menjadi faktor determinan dalam mendorong percepatan mobilitas
vertikal dan horisontal masyarakat yang mengarah pada pembentukan konstruksi sosial
baru yang terdiri atas lapisan masyarakat kelas menengah terdidik, yang menjadi elemen
penting dalam memperkuat daya rekat sosial (social cohesion). Pendidikan dapat menjadi
wahana strategis untuk membangun kesadaran kolektif (collective conscience) sebagai
warga mengukuhkan ikatan-ikatan sosial, dengan tetap menghargai keragaman budaya, ras,
suku-bangsa, dan agama, sehingga dapat memantapkan keutuhan nasional.8 Dalam
perspektif ekonomi, pendidikan mutlak diperlukan guna menopang pengembangan
education for the knowledge economy (EKE).9 Satuan pendidikan harus pula berfungsi
sebagai pusat penelitian dan pengembangan yang menghasilkan produk-produk unggulan
yang mendukung knowledge based ekonomy (KBE). Oleh karena itu, pendidikan harus
mampu melahirkan lulusan-lulusan yang memiliki pengetahuan, teknologi, dan
keterampilan teknis yang memadai, serta memiliki kapasitas dan kapabilitas kemampuan
berwirausaha untuk meningkatkan daya saing nasional dan membangun kemandirian
bangsa. Sedangkan dalam perspektif politik, pendidikan harus mampu mengembangkan
kapasitas dan kapabilitas individu untuk menjadi warganegara yang baik (good citizens),
yang memiliki tingkat kesadaran tinggi terhadap hak, kewajiban, tugas dan tanggung jawab
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Alfred & Carter10 menegaskan
bahwa visi dan idealisme itu haruslah merujuk dan bersumber pada paham ideologi
nasional, yang dianut oleh seluruh komponen bangsa.
Dengan demikian, pendidikan dalam dimensi yang integratif merupakan usaha
seluruh komponen masyarakat dan bangsa untuk menumbuhkembangkan kekuatann
kolektif (collective power) dengan meletakkan landasan sosial-budaya, ekonomi dan
politik yang kokoh bagi terciptanya masyarakat sipil (civil society) yang memiliki
kekokohan budaya dan karakter tanpa menutup diri dari perkembangan jaman.
tinggi oleh kaum Muslim. Jika perilaku kaum Muslim sudah tidak merujuk lagi pada Al-
Qur’an dan Sunnah, dapat dikatagorikan kaum yang tidak berahlaq sekaligus dapat disebut
kaum yang tidak bermoral. Dalam terminologi tasawuf, pendidikan ahlaq bertujuan
menanamkan karakter-karakter yang melekat pada zat, sifat, asma dan af’al Tuhan YME
pada perilaku siswa.11 Namun dalam implementasinya masih sama halnya dengan
pendidikan moral. Walaupun beberapa lembaga pendidikan sudah menyatakan berbasis
moral dan ahlaq, tetapi masih berbanding lurus dengan naiknya angka kriminalitas dan
denkadensi moral di kalangan anak sekolah. Sedangkan pendidikan karakter merupakan
upaya pembimbingan perilaku siswa agar mengetauhi, mencintai dan melakukan kebaikan.
Fokusnya pada tujuan-tujuan etika melalui proses pendalaman apresiasi dan pembiasaan.
Secara teoritis, karakter seseorang dapat diamati dari tiga aspek, yaitu: mengetahui
kebaikan (knowing the good), mencintai kebaikan (loving the good), dan melakukan
kebaikan (doing the good).12
Pendidikan karakter sesungguhnya bukan sekedar mendidik benar dan salah, tetapi
mencakup proses pembiasaan (habituation) tentang perilaku yang baik sehingga siswa
dapat memahami, merasakan, dan mau berperilaku baik. Sehingga tebentuklah tabi’at
yang baik. Menurut ajaran Islam, pendidikan karakter identik dengan pendidikan ahlaq.
Walaupun pendidikan ahlaq sering disebut tidak ilmiah karena terkesan bukan sekuler,
namun sesungguhnya anatara karakter dengan spiritualitas memiliki keterkaitan yang erat.
Dalam prakteknya, pendidikan ahlaq berkenaan dengan kriteria ideal dan sumber karakter
yang baik dan buruk, sedangkan pendidikan karakter berkaitan dengan metode, strategi,
dan teknik pengajaran secara operasional.
Unsur-unsur ideal dalam pendidikan karakter berkenaan dengan moral knowing,
moral loving dan moral doing (acting).13 Moral knowing berkenaan dengan kesadaran
(awareness), nilai-nilai (values), sudut pandang (perspective taking), logika (reasoning),
menentukan sikap (decision making), dan pengenalan diri (self knowledge). Moral loving
berkenaan dengan kepercayaan diri (self esteem), kepekaan terhadap orang lain (emphaty),
mencintai kebenaran (loving the good), pengendalian diri (self control), dan kerendahan
hati (humility). Moral doing berkenaan dengan perwujudan dari moral knowing dan moral
loving yang berbentuk tabi’at reflektif dalam perilaku keseharian.
Prinsip-prinisip dalam penerapan pendidikan karakter, Character Education
Quality Standards merekomendasikan sebelas prinsip untuk dijadikan panduan masyarakat
dunia untuk dijadikan landasan pendidikan karakter yang efektif.14 Unsur-unsur dan
prinsip-prinsip tersebut sebetulnya dalam ajaran Islam berkenaan dengan nilai-nilai dan
moral mengenai mukasyafah, musyahadah, dan muqarabah, dalam bentuk tahaqquq,
ta’alluq, dan takhalluq.15 Jadi, tidak ada bedanya dengan konsep dan teori yang
dikembangkan di dunia barat. Mengapa kita tidak kembali ke nilai-nilai dan moral yang
diajarkan agama? Bukankah ajaran agama sudah tidak diragukan lagi kebenarannya?
character).17 Dengan bahasa sederhana adalah merubah manusia menjadi lebih baik dalam
pengetahun, sikap dan keterampilan. Namun, pada prakteknya lebih ditekankan pada aspek
prestasi akademik (academic achievement), sehingga mengabaikan pembentukan karakter
siswa. Walaupun dalam teori sosiologi menyebutkan bahwa pembentukan karakter menjadi
tugas utama keluarga, namun sekolah pun ikut bertanggung terhadap kegagalan
pembentukan karakter di kalangan para siswanya, karena proses pembudayaan menjadi
tanggungjawab sekolah. Pendidikan karakter bagi sekolah bukan lagi sebagai sebuah opsi,
tetapi suatu keharusan yang tak terhindarkan.18 Saya setuju dengan pandangan itu, karena
pendidikan di mana pun akan berkenaan dengan tugas olah pikir (pengetahuan), olah rasa
(apresiasi), dan olah raga (keterampilan) dalam konteks kehidupan psikologis, sosial dan
kultural. Dari konteks inilah nilai-nilai (value), lingkungan, dan spiritual akan menjadi
bahan untuk membentuk karakter anak didik. Perhatikan Gambar-1 berikut.
Gambar-1
Posisi Karakter dalam Ranah Pendidikan
sekolah berbasis ahlaq,19 terdapat dua pendekatan dalam proses pendidikan karakter, yaitu:
(1) Ahlaq yang diposisikan sebagai mata pelajaran tersendiri; dan (2) Ahlaq yang built-in
dalam setiap mata pelajaran. Sampai saat ini, pendekatan pertama ternyata lebih efektivitas
dibandingkan pendekatan kedua. Salah satu alasan pendekatan kedua kurang efektif,
karena para guru mengajarkan masih seputar teori dan konsep, belum sampai ke ranah
metodologi dan aplikasinya dalam kehidupan. Idealnya, dalam setiap proses pembelajaran
mencakup aspek konsep, teori, metode dan aplikasi. Sama halnya dalam pengajaran dalam
ajaran Islam yang mensyaratkan unttuk memahami hakekat, syare’at, tharekat, dan
ma’rifat dari setiap aspek yang dipelajarinya. Atau dalam pandangan nilai dan moral
tentang kepribadian harus memahami zat, sifat, asma dan af’al-nya. Jika para guru sudah
mengajarkan kurikulum secara komprehensif melalui konsep, teori, metodologi dan
aplikasi setiap mata pelajaran atau bidang studi, maka kebermaknaan yang diajarkannya
akan lebih efektifi dalam menunjang pendidikan karakter. Perhatikan Gambar-2 berikut.
Gambar-2
Pendekatan dan Muatan Kurikulum Pendidikan Karakter
Berdasarkan ilustrasi di muka, maka siswa pada dasarnya “teu harta...teu harti,
mung gitek nu rupi-rupi” dalam arti miskin dari sisi pendapatan (harta) dan pengetahuan
(harti), namun memiliki potensi (gitek) yang beraneka-ragam (rupi-rupi). Merujuk
karakteristik ini maka kegiatan memotivasi siswa menggunakan pendekatan kelompok.
Pembelajaran yang berkenaan dengan moral knowing akan lebih banyak belajar melalui
sumber belajar dan nara sumber. Pembelajaran yang berkenaan dengan moral loving akan
terjadi pola saling membelajarkan secara seimbang di antara siswa. Sedangkan
pembelajaran yang berkenaan dengan moral doing akan lebih banyak menggunakan
pendekatan individual melalui pendampingan pemanfaatan potensi dan peluang yang
sesuai dengan kondisi lingkungan siswa. Ketiga pola pembelajaran tersebut sebaiknya
dirancang dengan sistematis agar para siswa dan guru/tutor/pendamping dapat
memanfaatkan segenap nilai-nilai dan moral yang sesuai dengan potensi dan peluang yang
tersedia di lingkungannya. Dengan demikian, hasil pembelajarannya ialah terbentuknya
tabi’at reflektif dalam arti para siswa memiliki pengetahuan, kemauan dan keterampilan
dalam berbuat kebaikan. Keterkaitan antara kondisi peserta didik, pola pembelajaran, dan
hasil pembelajaran dapat diilustrasikan pada Gambar-3 berikut.
MURID/SISWA/MAHASISWA
(dengan segala potensinya)
Gambar-4
Strategi Manajemen Pembelajaran Pendidikan Karakter
Langkah ke-1, dimaksudkan agar siswa memahami secara benar dan menyeluruh
tentang potensi diri dan peluang yang ada di lingkungan sekitarnya. Potensi diri difokuskan
kepada nilai dan moral yang dapat didayagunakan untuk belajar, berhubungan dan
berusaha. Sedangkan peluang yang ada di lingkungan dijadikan sumber motivasi agar
siswa mau melibatkan diri secara aktif dalam proses pembelajaran atau merekayasa sendiri
proses pembelajaran yang dibutuhkannya. Potensi diri dan peluang yang ada di lingkungan
sekitar meliputi segenap nilai dan moral yang ada dan diperkirakan dapat dicapai dan
didayagunakan untuk pembelajaran dan penerapan hasil pembelajaran yang diikutinya.
Berdasarkan pemahaman ini, peserta didik difasilitasi untuk memiliki dan mengembangkan
kerangka atau pola pikir yang komprehensif tentang pendayagunaan dan pengembangan
potensi diri dan peluang yang ada di lingkungan sekitarnya bagi perilakunya
kesehariannya. Dalam tahapan ini tujuan pembelajaran di arahkan pada kompetensi dalam
membedakan nilai-nilai ahlaq mulia dan ahlaq tercela, memahami secara logis tentang
pentingnya ahlaq mulia dan bahayanya ahlaq tercela dalam kehidupan, mengenal sosok
manusia yang berahlaq mulia untuk diteladai dalam kehidupan. Kegiatan utama guru pada
tahap ini adalah: (1) merancang proses pembelajaran yang diarahkan pada pemahaman
tentang klarifikasi nilai (value clarification), dan (2) membekalinya berbagai alat
(instrument) dan media yang dapat digunakan secara mandiri baik secara individual
ataupun kelompok.
Langkah ke-2, diarahkan pada kepemilikan kepekaan kemampuan dalam
mendayagunakan dan mengembangkan potensi diri dan peluang yang ada di lingkungan
sekitarnya. Kompetensi dalam arti nilai-nilai dan moral yang dituntut untuk dimiliki oleh
para siswa yang sesuai dengan kondisi dan peluang yang dihadapinya. Berbagai
kompetensi itu perlu dikaji dan diapresiasi oleh para siswa sampai mereka memiliki cukup
pilihan dalam menetapkan keputusan kompetensi mana yang paling dibutuhkan sesuai
kondisi potensi dan peluang yang sedang dihadapinya. Tahapan ini dimaksudkan untuk
menumbuhkan rasa cinta dan rasa butuh terhadap nilai-nilai ahlaq mulia. Sasarannya ialah
dimensi-dimensi emosional siswa yaitu qolbu dan jiwa, sehingga tumbuh kesadaran,
keinginan, kebutuhan dan kemauan untuk memiliki dan mempraktekan nilai-nilai ahlaq
tersebut. Melalui tahap ini pun siswa diharapkan mampu menilai dirinya sendiri
(muhasabah), semakin tahu kekurangan-kekurangannya. Proses pembelajaran yang perlu
dikembangkan oleh guru ialah belajar menemukan (learning discovery) sehingga nilai-nilai
dan moral yang dipelajari itu dapat dihayati. Proses penemuan dan penghayatan itu akan
membentuk kedalaman apresiasi, sehingga nilai-nilai dan moral yang dimilikinya itu
benar-benar dibutuhkan dalam kehidupannya.
Langkah ke-3, merupakan muara penerapan kompetensi-kompetensi yang telah
dimiliki para siswa melalui proses pembelajaran pada tahapan sebelumnya. Arah
pembelajaran pada tahap ini adalah pendampingan kemandirian siswa agar memiliki
kesempatan untuk menerapkan nilai-nilai dan moral dalam perilaku keseharian sampai
berbentuk tabi’at reflektif pribadi. Ruang lingkup nilai dan moral yang perlu dikuasai
murid pada tahap ini erat kaitannya dengan instrumen pendukung dalam berperilaku bagi
para siswa. Pendampingan terutama diarahkan untuk menguatkan kemampuan mereka
tentang nilai dan moral dalam berperilaku sehingga berdampak positif terhadap sikap dan
kemandiriannya di lingkungan hidup dan kehidupannya.
F. Kesimpulan
Pada bagian ahir tulisan ini, saya ingin menegaskan kembali sekolah memiliki
tanggungjawab dalam membentuk karakter bangsa, memiliki tugas dalam menyiapkan
potensi diri dan peluang lingkungan agar siswa memiliki pengetahuan yang luas, memiliki
kedalaman apresiasi, dan terampil dalam membiasakan perilaku-perilaku yang sesuai
nengan nilai-nilai, moral dan ahlaq yang dianut masyarakat dan bangsanya yang beradab.
Pembangunan pendidikan yang sedang kita lakukan seharusnya menyentuh paradigma
sistem pendidikan yang universal. Pembangunan pendidikan yang tidak berbasis
pendidikan karakter telah terbukti hanya menghasilkan SDM yang bersifat mekanis dan
kurang kreatif. Oleh karena itu, tidak ada pilihan lain untuk secepatnya mempersiapkan
generasi yang sesuai dengan peradaban yang diinginkan, yaitu generasi yang serba siap
dalam menghadapi segala tantangan kehidupan di masa depan. Generasi yang serba siap
tersebut, harus diupayakan secara sistematis, terutama dalam membentuk tabi’at reflektif
yang bercirikan: (1) Besarnya rasa memiliki warga negara (termasuk kelembagaannya)
terhadap nilai-nilai, moral dan ahlaq yang dianut masyarakat dan bangsa yang beradab; (2)
Kepercayaan diri warga negara terhadap potensi diri, sumber daya dan kemampuan untuk
menerapkan nilai-nilai, moral dan ahlaq dalam membangun pribadi, masyarakat, bangsa
dan negaranya; (3) Besarnya kemandirian atau keswadayaan warga negara baik sebagai
penggagas, pelaksana maupun pemanfaat dari hasil-hasil dalam menerapkan nilai-nilai,
moral dan ahlaknya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Melalui
pola-pola manajemen pembelajaran yang dirancang secara komprehensif dan sistematis di
lingkungan sekolah diharapkan dapat menghasilkan generasi-generasi yang memiliki
ketangguhan dalam keilmuan, keimanan, dan perilaku shaleh, baik secara pribadi maupun
sosial. Insan-insan yang shaleh ini sangat diperlukan untuk menjadi ‘kader-kader tenaga
pembangunan’ yang siap ‘berjihad’ membangun kembali masyarakat dan bangsanya agar
bangkit dari keterpurukan.
G. Referensi
1. Kementrian Pendidikan Nasional, Rencana Strategis Departemen Pendidikan Nasional Tahun 2010-
2014: Rancangan RPJMN tahun 2010-2014, (Jakarta: Biro Perencanaan Setjen Kemendiknas, 2010).
2. Ivan Illich, dalam INFED (Ideas-Thinking-Practice): http://www.infed.org/thinkers/et-illic.htm
3. Everet Reimer dalam Amazon.co.uk:
http://www.amazon.co.uk/Books/s?ie=UTF8&rh=n%3A266239%2Cp_27%3AEverett+Reimer&field-
author=Everett+Reimer&page=1
4. Nicolas Hans, dalam Plaxo:
http://www.plaxo.com/profile/show/8590144815?pk=e3a7ac34e0206b1388c4a0970d7e14821dface93
5. Al-Qur’an Surat (QS) Muhammad:12
6. Al-Qur’an Surat (QS) Al-A’raf:179)
7. Lihat UU.No.20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal (l)
8. Yoyon Bahtiar Irianto, “Perencanaan Pendidikan Tingkat Kabupaten/Kota: Studi Evaluatif Tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Pendidikan di Kabupaten Bandung Menuju Tahun 2025”, Disertasi,
(Bandung: SPS UPI, 2009), hal.58.
9. Yoyon Bahtiar Irianto, ibid, hal.60 dan dapat pula dilihat pada: www.amazon.com/Leading-Learning-
Organization-Communication-Competencies/dp/0791443671
10. Alfred & Carter dalam: www.smc.edu/policies/pdf/EduPlan.7_04.pdf
11. Yoyon Bahtiar Irianto, Pembangunan Manusia dan Pembaharuan Pendidikan, (Bandung: Laboratorium
Administrasi Pendidikan UPI, 2006), hal.143
12. Thomas Lickona, The Return of Character Education, (Journal of Educational Leadership,
Vol.3/No.3/November 1993, hal.6-11), dalam: http://www.ascd.org/publications/educational-
leadership/nov93/vol51/num03/The-Return-of-Character-Education.aspx
13. Thomas Lickona, ibid.
14. Tom Lickona; Eric Schaps & Catherine Lewis, “Eleven Principles of Effective Character Education”,
The Character Education Partnership, dalam: http://www.cortland.edu/character/articles/prin_iii.htm
15. Muhammad Taqi Mishbah Yazdi, Buku Daras Filsafat Islam, (Bandung: Mizan, 2003).
16. Aristotle’s dalam Edward J. Power, Philosophy of Education: Studies in Philosophies, Schooling, and
Educational Policies, (New Jersey: Prentice-Hall, Inc. 1982), atau dapat dilihat pada:
http://en.wikipedia.org/wiki/Aristotle