You are on page 1of 18

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Bila kalangan Behavioris cenderung melihat otak sebagai penerima pasif terhadap
stimulus yang pada gilirannya akan menghasilkan respon maka penganut Gestaltis
memberi peran yang lebih aktif kepada otak. Menurut mereka otak bukanlah penerima
pasif dan gudang penyimpan informasi dari lingkungan semata, melainkan juga bereaksi
terhadap informasi sensoris yang masuk kemudian melakukan penataan yang membuat
informasi menjadi lebih bermakna. Fungsi otak dalam menata dan memberi makna pada
informasi sensoris ini merupakan sifat alami dan bukan fungsi yang dipelajari. Oleh
sebab itu, kaum Gestaltis cenderung dianggap Nativistik yang berpandangan bahwa
perkembangan individu itu semata-mata ditentukan oleh faktor-faktor yang dibawa sejak
lahir, dimana kemampuan otak mengorganisasikan pengalaman belajar tidak berasal dari
pengalaman melainkan lebih pada satu ciri sistem fisik yaitu kognisi.

Berkaitan dengan teori belajar dan metode pembelajaran, psikologi gestalt atau
disebut juga kaum kognitivisme dapat dianggap sebagai usaha untuk mengaplikasikan
field theory (teori medan) dari fisika ke problem psikologi. 1 Gestaltian berpendapat
bahwa otak adalah semacam medan penghubung yang kompleks. Medan penghubung
tersebut berupa sistem dalam kognisi yang terkait secara dinamis yang mempengaruhi
seluruh sistem tingkah laku seseorang. Tersebutlah nama Kurt Lewin (1890-1947) salah
seorang tokoh aliran psikologi gestalt yang memfokuskan diri pada bidang psikologi
sosial. Salah satu teorinya yang berjasa dalam dunia pendidikan baik di lapangan maupun
dalam pembelajaran di kelas adalah Teori Medan Kognisi. Menurut Edgar H. Schein,
Profesor of Management Emeritus MIT Sloan School of Management: "There is Nothing
So Practical as a Good Theory:" Lewin's Change Model Elaborated.”2

Makalah ini mencoba membahas secara ringkas Teori Medan Kognisi yang dicatat
sejarah sebagai sumbangan terbaik Kurt Lewin. Teori ini bersama-sama dengan teori-
teori belajar psikologi Gestalt lainnya telah menurunkan model-model pembelajaran
1
B.R. Hergenhahn, Theories of Learning, Terjemahan: Tri Wibowo B.S., (Jakarta: Prenada Media),
2008, h. 284.
2
http://www.a2zpsychology.com/articles/kurt_lewin's_change_theory.php, diakses pada 27
Oktober 2010.

5
terbaru dalam Model Pembelajaran Interaksi Sosial. Secara spesifik bahkan teori ini telah
dikembangkan dalam Model Pembelajaran Kontekstual (CTL) dimana materi ajar yang
disampaikan disesuaikan dengan situasi lingkungan dimana siswa berada.

B. Rumusan Masalah

Makalah ini membahas tentang teori belajar medan kognitif yang digagas leh Kurt
Lewin. Pembahasan dalam makalah ini memiliki beberapa rumusan masalah sebagai
berikut:

1. Siapa sebenarnya Kurt Lewin dan bagaimana sejarah hidupnya?


2. Aliran Psikologi apa yang menjadi konstruksi dasar bagi Teori Medan Kognisi?
3. Apa yang dimaksud dengan medan kognisi dan bagaimana teorinya?
4. Bagaimana menggunakan teori ini dalam tingkah laku belajar individu?

C. Tujuan Pembahasan

Secara terperinci tujuan pembahasan dalam makalah ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui siapa Kurt Lewin dan sejarah ringkas kehidupannya.


2. Untuk mengetahui dasar aliran psikologi yang melingkupi Teori Medan Kognisi
Kurt Lewin.
3. Untuk mengetahui seluk-beluk teori belajar medan kognitif Kurt Lewin.
4. Untuk mengetahui penggunaan teori ini dalam melihat tingkah laku belajar
individu.

D. Manfaat Pembahasan

Pembahasan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai:

1. Bahan diskusi pada matakuliah Teori Pembelajaran.


2. Bahan informasi dan telaah yang berguna bagi pengembangan pengetahuan dan
wawasan tentang teori belajar medan kognitif .
3. Bahan informasi dan bacaan bagi mahasiswa, guru ataupun calon guru dalam
pengembangan strategi belajar di kelas.

5
BAB II

TEORI BELAJAR MEDAN KOGNITIF KURT LEWIN

A. Biografi Kurt Lewin

Kurt Lewin (1890-1947) di sebut-sebut sebagai Bapak Psikologi Sosial karena


buah karya dan pemikiran-pemikirannya yang memiliki dampak yang mendalam
terhadap psikologi sosial terutama dalam masalah dinamika kelompok dan penelitian
tindakan. Namun demikian, buah karya dan pemikirannya tersebut juga sangat relevan
bagi para pendidik dalam dunia pendidikan.

Kurt Lewin lahir pada tanggal 9 September 1890 di desa Mogilno di Prusia
(sekarang bagian dari Polandia). Dia adalah anak ke-dua dari empat bersaudara. Dia
dibesarkan dalam keluarga Yahudi kelas menengah. Ayahnya memiliki sebuah toko
kelontong kecil dan pertanian. Mereka pindah ke Berlin ketika ia berusia 15 dan dia
terdaftar di Gymnasium. Pada tahun 1909 Kurt Lewin memasuki Universitas Frieberg
untuk belajar kedokteran. Dia kemudian dipindahkan ke Universitas Munich untuk
belajar biologi. Saat menjadi mahasiswa, ia mulai banyak terlibat dalam pergerakan kaum
sosialis. Perhatiannya pada masalah-masalah pergerakan sosial muncul dan
mendorongnya untuk berperan serta dalam memerangi anti-Semitisme, menuntut
demokratisasi bagi institusi Jerman, dan perbaikan bagi hak-hak kaum perempuan.
Bersama dengan rekan-rekan mahasiswanya, ia mengorganisasikan diri untuk memberi
pengajaran pada program pendidikan orang dewasa yaitu kelas para pekerja perempuan
dan laki-laki.

Gelar doktornya diambilnya di Universitas Berlin di mana ia mengembangkan


minat dalam bidang filsafat ilmu dan psikologi Gestalt. Gelar Ph.D. nya diberikan pada
1916, tapi pada saat itu ia sedang mengabdi pada militer Jerman. Dia bahkan terluka
dalam pertempuran. Pada tahun 1921 Kurt Lewin bergabung dalam Institusi psikologi
pada Universitas Berlin. Disana ia mengajar dan mengadakan seminar-seminar dalam
bidang filsafat dan psikologi. Dia merupakan dosen yang antusias yang menarik minat
para mahasiswa. Namanya mulai dikenal baik dalam dunia akademisi maupun publisistik.
Karyanya menjadi dikenal di Amerika dan dia diundang selama satu semester sebagai
profesor tamu di Stanford pada tahun 1930.

5
Pada tahun 1933 karena pertimbangan politik yang semakin memburuk di
Jerman ia dan istrinya juga anak perempuan mereka menetap di Amerika Serikat dan
menjadi warga negara Amerika pada tahun 1940. Pada 1933 Kurt Lewin untuk pertama
kali bekerja di Sekolah Ekonomi Cornell Home dan pada tahun 1935 ia mengajar di
University of Iowa. Pada tahun yang sama, koleksi paper pertamanya dalam Bahasa
Inggris yaitu A Dynamic Theory of Personality diterbitkan. Di Iowa ia terus
mengembangkan minatnya dalam bidang sosial dan melakukan penelitian di daerah itu.
University Iowa tetap menyimpan data base Kurt Lewin sampai tahun 1944.

Sejak tahun 1940, Kurt Lewin terlibat secara signifikan dalam berbagai
inisiatif penelitian terapan terkait dengan masalah perang. Hal ini termasuk menjelajahi
moral pasukan tempur, perang psikologis, dan reorientasi ketiadaan konsumsi makanan
saat pasokan makanan sedikit. Komitmen sosialnya senantiasa kuat dan ia banyak
diminta menjadi pembicara masalah-masalah minoritas dan hubungan antar-kelompok
tersebut. Dia ingin sekali mendirikan sebuah pusat penelitian bagi dinamika-dinamika
kelompok dan pada tahun 1944 mimpi ini terwujud dengan didirikannya Pusat Penelitian
Dinamika Kelompok di Massachussetts Institut of Technology (MIT). Pada saat yang
sama, Kurt Lewin juga terlibat dalam sebuah proyek untuk Kongres Yahudi Amerika di
New York yakni Komisi antar-hubungan Masyarakat. Hal itu membuat penelitian
tindakan (penelitian yang diarahkan pada penyelesaian masalah sosial) model Lewin
digunakan dalam sejumlah studi yang signifikan terkait prasangka agama dan ras.
Alhasil, pada tahun 1946, penanganan proyek ini telah membuahkan karya bersama para
tokoh dan pemimpin masyarakat juga para fasilitator kelompok. Dia dan rekan-rekannya
bisa mendapatkan dana dari kantor Naval Research untuk mendirikan Laboratorium
Pelatihan Nasional pada tahun 1947 di Bethel, Maine. Namun, Lewin meninggal karena
serangan jantung di Newtonville, Massachussetts dalam usia 56 tahun pada tanggal 11
Februari, 1947 sebelum Laboratorium didirikan.

B. Konstruksi Dasar Teori Medan Kognitif

Teori Medan atau Field Theory, merupakan salah satu teori yang termasuk
rumpun Cognitive-Gestalt-Field. Teori ini sama dengan Gestalt menekankan keseluruhan
dan kesatupaduan.3 Sebagai langkah awal, penting sekali mengenali pondasi yang

3
Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologis Proses Pendidikan, (Bandung: PT Remaja
Rosdakarya), 2005, h. 172.

5
mengkonstruksi teori ini. Menurut psikologi gestalt, keseluruhan itu berbeda dari
penjumlahan bagian-bagiannya atau membagi-bagi berarti mendistorsi.4 Kita tidak akan
dapat memahami atau menikmati pengalaman mendengarkan simfoni musik orchestra
dengan menganalisa konstribusi musisi-musisi yang bermain di dalamnya secara terpisah.
Atau kita juga tidak mungkin dapat menikmati keindahan sebuah lukisan bila melihat
bagian-bagiannya secara terpisah. Pada pokoknya, psikologi gestalt selalu memberi
penekanan pada totalitas atau keseluruhan, bukan pada bagian-bagian.5

Berbeda dengan kaum behavioral yang berpendapat bahwa belajar adalah


pengalaman empiris, maka menurut Gestaltis belajar adalah fenomena konitif.6 Kognisi
sendiri dipahami sebagai proses mental karena kognisi mencerminkan pemikiran dan
tidak dapat diamati secara langsung. Kognisi tidak dapat diukur secara langsung, namun
melalui perilaku yang ditampilkan dan dapat diamati. Oleh sebab itu belajar merupakan
proses mental dan aspek-aspek belajar adalah unik bagi spesies manusia.7
Ahli-ahli gestalt juga beranggapan bahwa benda-benda hidup berbeda dengan
mesin, selalu hidup dan saling mempengaruhi dengan lingkungannya. 8 Interaksi antara
individu dan lingkungan disebut sebagai perceptual field (medan persepsi). Setiap medan
persepsi memiliki organisasi, yang cenderung dipersepsikan oleh manusia sebagai figure
and ground. Oleh karena itu, Psikologi gestalt menekankan adanya pengorganisasian
proses-proses dalam persepsi, belajar dan problem solving dan juga mempercayai bahwa
setiap individu diarahkan untuk mengorganisasikan serpihan informasi yang bersumber
dari beragam cara atau proses.9 Pengorganisasian inilah yang kemudian mempengaruhi
makna yang dibentuk.
Gestaltian juga menganut pandangan yang berbeda dalam memandang problem
tubuh-pikiran. Mereka mengasumsikan adanya Isomorphism yakni adanya hubungan
antara aktivitas otak dengan kesadaran, antara pengalaman psikologis dengan proses yang
ada di dalam otak.10 Psikolog Gestalt berkali-kali menyatakan pendapatnya bahwa dunia
fenomenal (kesadaran) adalah ekspresi yang akurat dari situasi.11 Kesadaran pula yang
menjadikan semua informasi sensoris menjadi bermakna.

4
B.R. Hergenhahn, op.cit, h. 282.
5
B.R. Hergenhahn, Ibid, h. 284.
6
B.R. Hergenhahn, ibid, h. 291
7
Jeane Ellies, Human Learning, (New jersey: Pearson Prentice Hall), 2009, h. 192.
8
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pres), 2010, h. 242.
9
Jeane Ellies, op.cit, h. 153.
10
B.R. Hergenhahn, loc.cit, h. 287.
11
B.R. Hergenhahn, ibid, h. 287.

5
Dalam kaitannya dengan pokok-pokok teori belajar menurut aliran Gestalt,
disamping hukum-hukum pengamatan yang menentukan proses belajar, menurut aliran
ini insight adalah inti dari belajar. Insight dapat diartikan pemahaman atau pencerahan
sehingga seorang pelajar dapat menyelesaikan problem maupun tugas belajar. Maka
menurut aliran ini, remedial atau pengulang-ulangan materi bukan hal penting walaupun
belajar dengan insight dapat juga diulangi. Contoh: pengulang-ulangan dalam melakukan
latihan soal-soal UN membuat siswa mungkin dapat menjawab soal saat ujian
berlangsung namun belum tentu dia memahami subtansi soal sehinga bila soal berbeda
dengan rumus yang sama belum tentu dia dapat menyelesaikannya. Belajar dengan
insight membuat siswa memahami subtansi masalah hingga bila soal diulang dalam
format berbeda ia masih dapat menyelesaikannya.12

C. Teori Medan Kognitif


Menurut Kurt Lewin perilaku ditentukan oleh totalitas situasi yang
melingkupi seseorang. Dalam teori medannya, 'lapangan' didefinisikan sebagai the
totality of coexisting facts which are conceived of as mutually interdependent 13 (totalitas
fakta-fakta yang mengiringi dan dipahami saling tergantung atau terkait satu dengan yang
lainnya). Setiap individu berperilaku berbeda sesuai dengan persepsi diri dan
lingkungannya bekerja. Medan psikologis atau lifespace, di mana orang berperilaku harus
ditinjau, dalam rangka memahami perilaku itu sendiri. Penilaian seseorang berdasar
persepsi diri dan aspek lingkungan yang mendukungnya ini disebabkan karena otak
adalah sistem fisik, otak menciptakan medan yang memengaruhi informasi yang masuk
ke dalamnya, seperti medan magnet memengaruhi partikel logam. Medan kekuatan inilah
yang mengatur pengalaman sadar.14

Kurt Lewin (1892-1947) menaruh perhatian pada kepribadian dan psikologi


sosial. Lewin memandang bahwa masing-masing individu berada di dalam suatu medan
kekuatan, yang bersifat psikologis. Medan kekuatan psikologis dimana individu bereaksi
disebut sebagai ”Life Space”. Life Space mencakup perwujudan lingkungan dimana
individu bereaksi, misalnya: orang-orang yang ia jumpai, objek material yang ia hadapi,
12
Lihat Sumadi Suryabrata, loc.cit, h. 277-279.

13
Kurt Lewin, Field theory in social science; selected theoretical papers. D. Cartwright (ed.). (New
York: Harper & Row), 1951, h. 240.

14
B.R. Hergenhanh, op.cit, h. 285.

5
serta fungsi-fungsi kejiwaan yang ia miliki. Lewin berpendapat bahwa tingkah laku
merupakan hasil tindakan antar kekuatan-kekuatan, baik yang dari dalam diri individu
seperti; tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan maupun dari luar diri individu, seperti;
tantangan dan permasalahan.15

Dalam medan hidup ini ada sesuatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi untuk
mencapainya selalu ada barier atau hambatan. Individu memiliki satu atau sejumlah
dorongan dan berusaha mengatasi hambatan untuk mencapai tujuan tersebut. Apabila
individu telah berhasil mencapai tujuan, maka ia masuk ke dalam medan atau lapangan
psikologis baru yang di dalamnya berisi tujuan baru dengan hambatan-hambatan yang
baru pula. Demikian seterusnya individu keluar dari suatu medan dan masuk ke medan
psikologis berikutnya.16

Hall dan Lindzey merangkum poin utama Teori Medan Kognitif Lewin sebagai
berikut:17

1. Perilaku adalah fungsi dari medan yang ada pada saat perilaku tersebut terjadi.
2. Analisa tingkah laku dimulai dengan situasi sebagai keseluruhan dari komponen-
komponen tingkah laku yang terpisah dan berbeda.
3. Individu yang konkret dalam sebuah situasi nyata (konkret) dapat digambarkan
secara matematis.

Dalam teori ini, individu dan kelompok dapat dilihat dalam kacamata topologi
(menggunakan peta sebagai representasi). Individu berpartisipasi dalam serangkaian
ruang hidup seperti, keluarga, sekolah, kerja, masjid dan ini dibangun di bawah pengaruh
berbagai vektor. Tingkah laku atau gerak seseorang akan terjadi kalau ada kekuatan yang
cukup yang mendorongnya. Meminjam dari matematika dan fisika, Lewin menyebut
kekuatan itu dengan nama Vektor. Vektor digambar dalam bentuk panah, merupakan
kekuatan psikologis yang mengenai seseorang, cenderung membuatnya bergerak ke arah

15
Erlina A, Chatarina dkk, Psikologi Belajar (Semarang, Unnes Pers), 2006, h. 97.

16
Erlina A., ibid, h. 172.

17
Hall, C.S. and Lindzey, G. Theories of  Personality 3e, (New York: John Wiley and Sons), 1978,
h. 386.

5
tertentu. Arah dan kekuatan vektor adalah fungsi dari valensi positif dan negatif dari satu
atau lebih region dalam lingkungan psikologis. Jadi kalau satu region mempunyai valensi
positif misalnya berisi makanan yang diinginkan, vektor yang mengarahkan ke region itu
mengenai lingkaran pribadi. Kalau region yang kedua valensinya negatif misal berisi
anjing yang menakutkan, vektor lain yang mengenai lingkaran pribadi mendorong
menjauhi region anjing. Jika beberapa vektor positif mengenai dia, misalnya, jika
seseorang dalam kondisi sulit dan lapar sementara makanan harus disiapkan, atau orang
harus hadir dalam pertemuan penting sedang ia tidak punya waktu untuk makan siang,
hasil gerakannya (tingkah lakunya) merupakan jumlah dari semua vektor.

Kurt Lewin melihat needs (kebutuhan) sebagai kekuatan yang mendasar yang
menentukan perilaku fisiologis dan inilah yang disebut deskripsi fisik dari medan. Dalam
teori ini kita juga bisa melihat bagaimana Kurt Lewin berpertautkan pemahaman dari
topologi (lifespace misalnya), psikologi (kebutuhan, aspirasi), dan sosiologi (misalnya
medan gaya-motif yang jelas tergantung pada tekanan kelompok). Ketiganya saling
berhubungan dalam sebuah tingkah laku. Intinya, teori medan merupakan sekumpulan
konsep dimana seseorang dapat menggambarkan kenyataan psikologis.

Konsep-konsep teori medan telah diterapkan Lewin dalam berbagai gejala


psikologis dan sosiologis, termasuk tingkah laku bayi dan anak anak , masa adolesen,
keterbelakangan mental, masalah-masalah kelompok minoritas, perbedaan perbedan
karakter nasional dan dinamika kelompok.

D. Penggunaan Teori Medan dalam Belajar

1. Belajar sebagai perubahan sistem kognitif

Teori Medan (Field Theory) Lewin mengemukakan bahwa siswa dalam situasi
belajar berada dalam satu medan atau lapangan psikologis. 18 Dalam situasi belajar siswa
menghadapi suatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi selalu terdapat hambatan yaitu
mempelajari bahan belajar, maka timbullah motif untuk mengatasi hanbatan itu yaitu
dengan mempelajari bahan belajar tersebut. Apabila hambatan itu telah diatasi, artinya

18
Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: PT Rineka Cipta), 2006, h. 47.

5
tujuan belajar telah tercapai, maka ia akan masuk ke dalam medan baru dan tujuan baru,
demikian seterusnya.19

Menurut teori ini belajar berusaha mengatasi hambatan-hambatan untuk


mencapai tujuan. Kurikulum sekolah dengan segala macam tuntutannya, berupa kegiatan
belajar di dalam kelas, laboratorium, di workshop, di luar sekolah, penyelesaian tugas-
tugas, ujian-ulangan dan lain-lain, pada dasarnya merupakan hamb atan yang harus
diatasi.20
Menurut Lewin belajar terjadi akibat adanya perubahan struktur kognitif.
Perubahan kognitif adalah hasil dari dua macam kekuatan yaitu struktur medan kognitif
dan motivasi internal individu.21 Apabila seseorang belajar, maka dia akan tambah
pengetahuannya. Artinya tahu lebih banyak dari pada sebelum ia belajar. Ini berarti
ruang hidupnya lebih terdiferensiasi, lebih banyak subregion yang dimilikinya, yang
dihubungkan dengan jalur-jalur tertentu. Dengan kata lain orang tahu lebih banyak
tentang fakta-fakta dan saling berhubungan antara fakta-fakta itu.22
Perubahan struktur pengetahuan (struktur kognitif) dapat terjadi karena ulangan;
situasi mungkin perlu diulang-ulang sebelum strukturnya berubah. Akan tetapi yang
penting bukanlah bahwa ulangan itu terjadi, melainkan bahwa struktur kognitif itu
berubah. Dengan pengaturan masalah (problem) yang lebih baik, struktur mungkin dapat
berubah dengan ulangan yang sangat sedikit. Hal ini telah terbukti dalam ekserimen
mengenai insight. Terlalu banyak ulangan tidak menambah belajar; sebaliknya ulangan
itu mungkin menyebabkan kejenuhan psikologis (pychological satiation) yang dapat
membawa disorganisasi (kekacauan) dan dediferensiasi (kekaburan ) dalam sistem
kognitif.23
Perubahan dalam struktur kognitif ini untuk sebagian berlangsung dengan prinsif
pemolaan (patterning) dalam pengamatan, jadi disinilah lagi terbukti betapa pentingnya
pengamatan itu dalam belajar. Perubahan itu disebabkan oleh kekuatan yang telah
intrinsik ada dalam struktur kognitif. Tetapi struktur kognitif itu juga berubah-ubah
sesuai dengan kebutuhan yang ada pada individu. Disinilah terjadi belajar dengan
motivasi.24
19
Dimyati dan Mudjiono, ibid, h. 48.
20
Nana Syaodih Sukmadinata, loc.cit, h. 173.
21
Sugandi, Akhmad dkk, Teori Pembelajaran, (Semarang: Unnes Pers), 2006, h. 31.
22
Sumadi Suryabrata, loc.cit, h. 282.
23
Sumadi Suryabrata, ibid, h. 282-283.
24
Sumadi Suryabrata, ibid, h. 283.

5
2. Hadiah dan Hukuman menurut Kurt Lewin

Bila kaum Behavioral memandang hadiah dan hukuman sebagai The Law of
Effect and The Law of Reinforcement, maka Kurt Lewin menggambarkan situasi yang
mengandung hadiah atau hukuman sebagai situasi yang mengandung konflik. Hal ini
digambarkannya dalam topologi berikut:

a. Situasi yang mengandung hukuman

B
Hk Tg
P
(-) fHk Ftg (-)

Di dalam situasi yang digambarkan di atas, ribadi (P) harus melakukan pekerjaan
atau tugas yang tidak menyenangkan (Tg), karenanya ada kebutuhan untuk meninggalkan
tugas yang tidak menyenangkan itu. Supaya ia tetap mengerjakan tugas itu, ada ancaman
hukuman bila ia tidak menyelesaikan tugas tersebut (Hk). Sehingga dalam situasi seperti
ini lalu timbul konflik, yaitu si pribadi harus memilih diantara dua kemungkinan yang
tidak menyenangkan tersebut. Dalam situasi ini, malah ada kecenderungan pribadi
menghindarkan diri dari kedua kondisi yang tidak menyenangkan dirinya. Supaya pribadi
tidak meninggalkan medan itu maka harus dibuat barier (B); barier dalam kehidupan
nyata adalah kekuasaan atau pengawasan.

b. Situasi yang mengandung hadiah

B
Tg Hd
B P (-) (+)
fHd FTg

Dalam situasi yang mengandung hadiah, pribadi tidak perlu dimasukkan dalam
tembok pengawasan seperti yang digambarkan pada topologi yang mengandung
hukuman, karena sifat menariknya hadiah akan menahan pribadi untuk tetap berada
dalam medan. Akan tetapi barier (B) tetap diperlukan untuk mencegah supaya pribadi
jangan sampai memperoleh hadiah secara langsung tanpa mengerjakan tugas yang

5
seharusnya dikerjakan. Pengawasan dalam situasi ini masih diperlukan karena hadiah
(Hd) berhubungan dengan aktivitas menjalankan tugas (Tg) secara eksternal, maka selalu
ada kecenderungan untuk mencari jalan lebih singkat bahkan bila mungkin mendapatkan
hadiah tanpa mengerjakan tugasnya.

3. Masalah berhasil dan gagal

Kurt Lewin lebih setuju penggunaan istilah sukses dan gagal dari pada istilah
hadiah dan hukuman. Sebab apabila tujuan-tujuan yang akan kita capai itu adalah
intrinsik, maka kita lebih tepat menggunakan istilah berhasil atau gagal daripada
terminologi hadiah dan hukuman. Istilah hadiah dan hukuman lebih dekat pada
pendekatan nonpsikologis sedang istilah sukses dan gagal merupakan kajian dalam
pendekatan psikologis. Secara psikologis yang penting memang adalah bagaimana yang
dialami individu dalam menghadapi suatu problem. Suatu pengalaman sukses haruslah
dimengerti sesuai dengan apa yang telah dikerjakan atau dicapai oleh seseorang (pelajar).
Misalnya seorang pelajar yang merasa sukses karena naik kelas dengan nilai terbaik.
Namun ada pula yang tetap merasa sukses karena ia naik kelas walau tidak dengan nilai
terbaik.

4. Sukses memberi mobilisasi energi cadangan

Kurt Lewin beranggapan bahwa dinamika kepribadian itu dikarenakan oleh


adanya energi dalam diri seseorang yang disebut energi psikis. Energi psikis inilah yang
dipergunakan untuk berbagai aktivitas seperti mengamati, mengingat, berpikir dan
sebagainya. Dalam keadaan sehari-hari, hanya sedikit saja energi psikis yang
dipergunakan dan sisanya tersimpan sebagai energy cadangan. Apabila orang mendapat
pengalaman sukses, maka akan terjadi mobilisasi energi cadangan sehingga kemampuan
individu untuk menyelesaikan problem bertambah. Oleh sebab itu secara praktis sangat
dianjurkan untuk sebanyak mungkin memberikan kesempatan kepada para peserta didik
kita supaya mereka mendapatkan pengalaman sukses.

E. Evaluasi konsep Medan kognitif

Kritik terhadap teori Lewin dapat dikelompokkan dalam 5 topik yaitu :

5
1. Lewin tidak mengelaborasi pengaruh lingkungan luar atau lingkungan obyektif,
memang dikemukakan sifat bondaris antara lingkungan psikologis dengan
lingkungan obyektif yang permenable, namun hal ini tidak diikuti oleh penjelasan
dinamika bagaimana lingkungan luar itu mempengaruhi region-region atau
menjadi region baru.
2. Lewin kurang memperhatikan sejarah individu pada masa lalu sebagai penentu
tingkah laku. Ini merupakan resiko teori yang mementingkan masa kini dan masa
yang akan datang. Teori ini juga terlalu bersibuk diri dengan aspek-aspek yang
mendalam dari kepribadian sehingga mengabaikan tingkah laku motoris yang
nampak dari luar.
3. Lewin menyalahgunakan konsep ilmu alam dan konsep matematika. Memang
tidak mudah memahami jiwa dengan memakai rumus-rumus matematika. Bahkan
Lewin berani mengambil resiko dengan memakai istilah-istilah dalam matematika
dan fisika untuk dipakai dalam psikologi dengan makna yang sangat berbeda
dengan makna aslinya.
4. Penggunaan konsep-konsep topologi telah menyimpang dari arti sebenarnya.
Penggambaran topologis dan vaktorial dari Lewin tidak mengungkapkan sesuatu
yang baru tentang tingkah laku.
5. Banyak konsep dan konstruk yang tidak didefinisikan secara jelas sehingga
memberikan arti yang kabur.

BAB III

PENUTUP

5
A. Simpulan

Kurt Lewin (1890-1947) di sebut-sebut sebagai Bapak Psikologi Sosial


karena buah karya dan pemikiran-pemikirannya yang memiliki dampak yang mendalam
terhadap psikologi sosial terutama dalam masalah dinamika kelompok dan penelitian
tindakan. Namun demikian, buah karya dan pemikirannya tersebut juga sangat relevan
bagi para pendidik dalam dunia pendidikan. Salah satu buah pemikirannya yang masih
dapat dijadikan referensi guna merujuk perkembangan metode pembelajaran yang makin
beragam adalah Teori Medan kognitif yang lebih dikenal dengan Teori Medan.

Teori Medan dibangun berdasarkan prinsip-prinsip yang terdapat dalam


psikologi Gestalt. Konstribusi penting dari psikologi ini adalah kritiknya terhadap
pendekatan molekular yang tidak menyeluruh dari behaviorisme S-R. Ahli-ahli gestalt
juga beranggapan bahwa benda-benda hidup berbeda dengan mesin, selalu hidup dan
saling mempengaruhi dengan lingkungannya. Diantara prinsip penting dalam belajar ala
psikologi Gestal adalah adanya insight atau pemahaman dan pencerahan. Kemudian
Lewin menambah unsur baru dari teori belajar gestalt yang disebut sebagai Teori Medan
Kognitif. Menurut Lewin, individu berada dalam suatu medan kekuatan psikologis.
Individu bereaksi dengan life space (Ruang Hidup) yang mencakup perwujudan
lingkungan di mana siswa bereaksi dengan orang-orang yang ditemui, obyek material
yang dihadapi serta fungsi-fungsi kejiwaan yang dimiliki. Selain faktor-faktor yang
sifatnya personal, perilaku individu juga dipengaruhi oleh faktor-faktor yang bersifat
sosial lingkungan. Lewin berpendapat bahwa perilaku seseorang dipengaruhi oleh dua
faktor yaitu faktor yang bersifat pribadi dan faktor yang bersifat sosial

Inti dari teori ini adalah adanya Life space (LS) yang merupakan konstelasi
dari faktor-faktor yang menentukan baik individual maupun lingkungan. Perilaku
seseorang (B) dapat digambarkan sebagai fungsi dari Life space (LS) dimana LS terdiri
dari faktor personal (P) dan lingkungan (E). Jadi dalam bentuk persamaan maka
B= f(P,E). Life space terbentuk dari motif-motif, sikap dan hal lain yang merupakan
keunikan dari kepribadian seseorang ditambah dengan tekanan-tekanan sosial seperti
norma, hukum dan sebagainya. Life space ini terbagi atas area atau daerah-daerah yang
berbeda dimana lifespace ini merupakan semua kemungkinan yang dapat mempengaruhi
perilaku seseorang. Perilaku dikatakan sebagai pergerakan dalam life space yang

5
merupakan resultan dari kekuatan-kekuatan. Kombinasi kekuatan positif dan negatif akan
menentukan perilaku dari seseorang.

Belajar merupakan fenomena kognisi yang penekanannya lebih tertuju pada


proses mental dan bukan melulu pengalaman empiris. Disinilah letak perbedaan
mendasar antara kaum kognitivisme dengan behavioralisme. Menurut teori ini belajar
berusaha mengatasi hambatan-hambatan untuk mencapai tujuan. Kurikulum sekolah
dengan segala macam tuntutannya, berupa kegiatan belajar di dalam kelas, laboratorium,
di workshop, di luar sekolah, penyelesaian tugas-tugas, ujian, ulangan dan lain-lain, pada
dasarnya merupakan hambatan yang harus diatasi. Tantangan yang dihadapi dalam bahan
belajar membuat siswa bergairah untuk mengatasinya. Bahan belajar yang baru, yang
banyak mengandung masalah yang perlu dipecahkan membuat siswa tertantang untuk
mempelajarinya. Pelajaran yang memberi kesempatan pada siswa untuk menemukan
konsep-konsep, prnsip-prinsip, dan generalisasi akan menyebabkan siswa berusaha
mencari dan menemukan konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan generalisasi tersebut.
Bahan belajar yang telah diolah secara tuntas oleh guru sehingga tinggal menelan saja
kurang menarik bagi siswa. Penggunaan metode eksperimen, inkuiri, diskoveri juga
memberikan tantangan bagi siswa untuk belajar secara lebih giat dan sungguh-sungguh.

B. Implikasi

1. Bila teori-teori Behavioral menurunkan strategi belajar yang inovatif, dengan


pengkondisian dan rekayasa lingkungan, maka kaum gestaltian dan kognitivisme
mendekatkan kita pada strategi belajar inquiri (penemuan).
2. Belajar adalah proses mental karena itu menurut gagasan ini, belajar adalah
memuaskan secara personal dan tidak perlu didorong-dorong oleh penguatan
eksternal. Kelas yang berorientasi gestalt akan dicirikan oleh hubungan memberi
dan menerima antara murid dengan guru.
3. Bila dalam teori Thorndike belajar dan memahami terjadi secara bertahap atau
incremental, dalam teori ini belajar harus melalui insight.

C. Saran
1. Karena perilaku belajar dalam pandangan ini harus dilihat secara menyeluruh
bagian interaksi diri dengan lingkungannya, maka hendaknya guru memilih tema-

5
tema menarik, mengundang pertanyaan, yang sesuai dengan konteks kekinian
siswa seperti lewat metode pembelajaran kontekstual.
2. Dalam kelas yang berorientasi Gestalt, atensi (pengamatan) merupakan hal pokok
untuk belajar, karena itu langkah pertama guru dalam pembelajaran hendaknya
mencari upaya agar perhatian siswa tertuju padanya antara lain dengan cara:
menampilkan topik-topik menarik, guru sering-sering mengajukan pertanyaan
penyela ditengah-tengah pembahasan, menyegerakan waktu istirahat, memanej
tempat duduk siswa yang mengalami kesulitan dalam atensi belajar dengan
memberi tempat duduk mereka dekat dari guru.
3. Hendaknya para guru berupaya mencari jalan tengah diantara konsep belajar
behavioral dengan kognitivisme, dimana prinsip-prinsip inovatif dan rekayasa
lingkungan belajar, reward dan reinforcemen tetap dapat dikombinasikan dengan
prinsip dan Teori Medan dalam gestalt.

DAFTAR PUSTAKA

5
B.R. Hergenhahn, Theories of Learning, Terjemahan: Tri Wibowo B.S., (Jakarta:
Prenada Media), 2008.
Dimyati dan Mudjiono, Belajar dan Pembelajaran, (Jakarta: PT Rineka Cipta),
2006.

Erlina A, Chatarina dkk, Psikologi Belajar (Semarang, Unnes Pers), 2006.

Hall, C.S. and Lindzey, G. Theories of  Personality 3e, (New York: John Wiley and
Sons), 1978.

Jeane Ellies, Human Learning, (New jersey: Pearson Prentice Hall), 2009.

Kurt Lewin, Field theory in social science; selected theoretical papers. D.


Cartwright (ed.). (New York: Harper & Row), 1951.

Nana Syaodih Sukmadinata, Landasan Psikologis Proses Pendidikan, (Bandung:


PT Remaja Rosdakarya), 2005.
Sugandi, Akhmad dkk, Teori Pembelajaran, (Semarang: Unnes Pers), 2006.
Sumadi Suryabrata, Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Rajawali Pres), 2010.

Sumber internet:
http://www.a2zpsychology.com/articles/kurt_lewin's_change_theory.php, diakses
pada 27 Oktober 2010.

www.psychologymania.co.cc/.../kurt-lewin-teori-medan-field-theory.html, diakses
pada 27 Oktober 2010.

Smith, M. K. (2001) 'Kurt Lewin, groups, experiential learning and action


research', the encyclopedia of informal education, dalam
http://www.infed.org/thinkers/et-lewin.htm, di akses pada 27 Oktober
2010

TEORI BELAJAR MEDAN KOGNITIF


KURT LEWIN

5
Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Teori Pembelajaran

O
L
E
H

Ina Zainah Nasution (09 PEDI 1512)


Masruroh (09 PEDI 1500)
Muhammad Rahim (09 PEDI 1503)

Dosen Pembimbing:
Prof. Dr. Harun Sitompul, M.Pd

PASCASARJANA
IAIN SUMATERA UTARA
2010
TEORI BELAJAR MEDAN KOGNITIF
KURT LEWIN

5
DAFTAR ISI ............................................................................................... i
BAB I PENDAHULUAN............................................................................ 1
A. Latar Belakang Masalah................................................................ 1
B. Rumusan Masalah......................................................................... 2
C. Tujuan Pembahasan ..................................................................... 2
D. Manfaat Pembahasan.................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN.............................................................................. 3
A. Biografi Kurt Lewin...................................................................... 3
B. Konstruksi Dasar Teori Medan Kognitif....................................... 4
C. Teori Medan Kognitif.................................................................... 6
D. Penggunaan Teori Medan dalam Belajar...................................... 8
E. Evaluasi Teori Medan Kognitif..................................................... 12
BAB III PENUTUP...................................................................................... 13
A. Simpulan....................................................................................... 13
B. Implikasi........................................................................................ 14
C. Saran.............................................................................................. 15
DAFTAR PUSTAKA

You might also like