You are on page 1of 10

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Hak asasi manusia disingkat HAM, merupakan hak dasar yang secara kodrati melekat
pada diri manusia, bersifat universal dan langgeng, oleh karena itu harus dilindungi,
dihormati, dipertahankan, dan tidak boleh diabaikan, dikurangi, atau dirampas oleh
siapapun. Di Indonesia HAM dijamin dalam UUD 1945 pasal 27 tentang hak atas pekerjaan
dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan serta kemerdekaan berserikat untuk
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan.
Melanggar HAM seseorang bertentangan dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
Hak asasi manusia memiliki wadah organisasi yang mengurus permasalahan seputar hak
asasi manusia yaitu Komnas HAM. Kasus pelanggaran HAM di Indonesia memang masih
banyak yang belum terselesaikan/tuntas sehingga diharapkan perkembangan dunia HAM di
Indonesia dapat terwujud ke arah yang lebih baik. Salah satu tokoh HAM di Indonesia
adalah Munir yang tewas dibunuh di atas pesawat udara saat menuju Belanda dari
Indonesia.
Pada kenyataannya HAM seringkali disalahartikan, dilain sisi digunakan sebagai
tameng untuk membela kepentingan perorangan atau kelompok yang merasa dirugikan baik
secara moril maupun materil karena telah melakukan pelanggaran Undang-Undang
sehingga menyebabkan terjadinya pidana atau perdata, misal pemberlakukan hukuman mati
atau hukum cambuk, pelarangan kegiatan beberapa artis yang mempertontonkan aksi yang
mengandung unsur pornografi dan pornoaksi.
Istilah HAM selalu berbenturan dengan hukum yang berlaku di suatu negara,
misalnya hukuman mati. Beberapa pemikiran yang menyatakan tidak ada tempat yang
cocok untuk bertemunya HAM dengan pemberlakuan hukuman mati. Hal ini disebabkan,
pengertian HAM yang ”disalah-salahkan” untuk melindungi kepentingan seseorang atau
kelompok, misalnya pada kasus hukuman mati yang dijatuhkan pada Tibo Cs, atas nama
HAM mereka merasa tidak pantas untuk dihukum mati, malah kelompoknya sampai
mengadukan kasus tersebut ke Pengadilan Internasional. Padahal mereka sendirilah yang

1
telah melakukan pelanggaran HAM di Poso. Di saat membunuh dan membantai Tibo Cs
tidak merasa HAM juga milik para korban, tapi pada saat hukum ditegakkan merekalah
yang berteriak keras atas nama HAM.
Dalam makalah ini penulis tidak membahas hubungan antara HAM dan hukuman
mati, penulis akan mengangkat terjadinya beberapa kasus pelanggaran HAM berat yang
dilakukan oleh pemerintahan masa lalu.
Pada masa pemerintahan orde baru kerap terjadi pelanggaran hak azasi manusia
dengan dalih perbuatan subversif, pemberontak atau percobaan merubah Pancasila. Hal ini
mereka lakukan untuk melindungi kepentingan mereka dalam berkuasa di pemerintahan.
Kegiatan atau pernyataan dari kelompok tertentu yang nyata-nyata membahayakan
kekuasaan orde baru dianggap sebagai pemberontak. Lalu dengan alasan membela negara,
para elit tertentu memberikan perintah untuk melakukan penumpasan atau pemusnahan
massal. Pembantaian, pembunuhan dan pelarangan selalu didengung-dengunkan dengan
memanfaatkan media massa namun dipublikasikan dengan pemutarbalikkan fakta. Hukum
milik penguasa dan mereka yang menentang layak dieksekusi tanpa melalui proses hukum
yang berlaku di Indonesia. Hukum ibarat jaring laba-laba, menjerat yang lemah dan tak
berarti bagi yang kuat.
Pemerintah orde baru menggunakan kekuasaannya untuk melindungi kekuasaannya
juga. Banyak kasus pelanggaran HAM yang hingga sekarangpun tidak jelas bagaimana
akhirnya. Semua kasus seperti misteri yang dirangkum dalam kisah The X-Files. Belum ada
pemimpin pemerintahan setelah orde baru yang mau mengungkap kembali kasus HAM
berat. Apakah mereka juga terlibat atau malah demi melindungi teman sendiri. Padahal
Undang-undang pelanggaran HAM dan pengadilan HAM telah diterbitkan, segala macam
komisi HAM telah dibentuk namun belum juga ada satupun aktor intelektual yang berhasil
diseret ke pengadilan. Mungkin UU HAM dibentuk untuk sekedar menenangkan rakyat
atau hanya untuk membuat fakta menjadi cerita misteri dalam karangan fiksi. Penulis
berharap pemerintah tidak hanya sibuk urusi hukuman ringan bagi siapa saja yang menjadi
koruptor namun keadilan dalam HAM juga harus ditegakkan.

2
B. Identifikasi Masalah
Berawal dari latar belakang tersebut, penyusun mencoba menyampaikan
permasalahan Hak Azasi Manusia (HAM) dan pelanggarannya.

C. Tujuan Penulisan
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas Mata Kuliah Pendidikan
Kewarganegaraan di semester II.

D. Metode
Metode yang penyusun gunakan dalam makalah ini adalah metode pustaka, yaitu
penyusun menggali bahan-bahan dari buku dan media internet.

3
BAB II
PERMASALAHAN

Pada makalah ini, penulis akan mengemukakan bebarapa contoh permasalahan


tentang pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia pada masa berkuasanya Pemerintahan
Orde Baru. Kasus ini merupakan kasus lama yang hampir terlupakan dan tidak jelas
bagaimana ujung penyelesaiannya. Dengan mengangkat pokok pembahasan ini, kami
berharap dapat menyingkap kembali misteri apa sebenarnya yang terjadi sehingga
menyebabkan adanya pelanggaran HAM berat. Adapun kasus tersebut adalah :
1. Tragedi Talang Sari
Sebagaimana diketahui, dua puluh tahun lalu, tepatnya 7 Februari 1989, lebih dari
sekitar satu batalyon aparat keamanan menyerbu perkampungan Cihideung, Talangsari,
Lampung. Penyerbuan aparat keamanan di subuh hari, yang dilengkapi dengan senjata laras
panjang, bahan peledak seperti granat dan dua buah helikopter itu, mengakibatkan warga
Cihideung, Talangsari dan sekitar perkampungan tidak dapat menyelamatkan diri.
Lantaran terdesak pasukan Garuda Hitam pimpinan Kolonel Hendropriyono, warga
membentengi diri dengan senjata seadanya. Meski demikian, usaha perlawanan itu tidak
berarti. Akibat serangan membabi-buta aparat tersebut, ratusan warga sipil yang
kebanyakan perempuan dan anak-anak menemui maut, luka-luka dan hilang.

2. Tragedi Tanjung Priok


Mungkin sudah usang dalam ingatan kita peristiwa berdarah di Tanjung Priok yang
melibatkan petinggi militer saat itu Mayjen TNI Try Soetrisno, Pangdam V Jaya, yang
kemudian diangkat menjadi wakil Presiden RI era orde baru berdampingan dengan
Soeharto, kasus ini menjadi tanda tanya besar kesalahan apa sebenarnya yang terjadi.
Peristiwa ini merenggut puluhan korban meninggal akibat gempuran senjata otomatis
militer.

4
BAB III
PEMBAHASAN

Peristiwa Talang Sari tidak bisa dilihat sebagai kasus kejahatan biasa (ordinary
crime), tapi merupakan kejahatan luar biasa yang termasuk dalam kategori pelanggaran
berat hak asasi manusia (gross violation of human rights) sesuai UU 26 / 2000 tentang
Pengadilan HAM. Temuan tentang adanya dugaan terjadinya pelanggaran HAM berat
hanya dapat dilakukan oleh Komnas HAM pada fungsi Komnas sebagai lembaga
penyelidik dengan membentuk KPP HAM. Kekerasan militer yang terjadi dalam peristiwa
Talangsari merupakan tindakan eksesif yang dilakukan sebagai kelanjutan dari kebijakan-
kebijakan pemerintahan Suharto. Kebijakan tersebut amat terlihat sebelum terjadinya
penyerbuan aparat militer (ABRI) terhadap warga sipil di wilayah perkampungan
Talangsari. Lebih jauh, peristiwa ini diikuti dengan pernyataan pembenaran, penangkapan,
penyiksaan, penahanan dan pengadilan terhadap korban dan masyarakat yang dianggap
terkait dengan kasus tersebut.
Tuntutan para Jaksa terhadap seluruh korban umumnya adalah tuduhan makar ingin
mengganti Pancasila dengan Al-Qur’an dan Hadits dengan menggunakan UU
No.11/PNPS/1963 (UU Subversiv) terhadap seluruh korban peristiwa Lampung yang berada di
Lampung, Jakarta, Bandung, Jawa Tengah, Jawa Timur dan Nusa Tenggara Barat. Tuntutan ini,
patut diduga berkaitan dengan pernyataan Menkopolkam Soedomo di harian Pelita sepekan
setelah peristiwa lampung terjadi 14 Februari 2001, bahwa “Pelaku Kasus Lampung
Subversif”. Peristiwa Talang Sari terjadi akibat kecurigaan pemerintah terhadap Islam dan
kritik keras serta penolakan masyarakat terhadap kebijakan soal asas tunggal Pancasila yang
dihadapi oleh aparat dengan pembantaian.
Sepantasnya otak pembantaian ditangkap dan dijatuhi hukuman mati sesuai UU 26
tahun 2000 tentang Pengadilan HAM dan KUHP tentang pembunuhan berencana,
pemusnahan dan menghilangkan nyawa manusia dengan sengaja. Pengaruh sisa-sisa
kekuasan orde baru masih sangat kuat hingga masa pemerintahan sekarang. Sehingga
sangat sulit menjerat pelakunya, malahan aktor utamanya dipercayakan menjadi salah satu
pejabat negara yaitu Letjend Hendropriyono, Kepala BIN beberapa tahun yang lalu, dan
dengan kekuasaannya ia diduga merancang skenario pembunuhan aktivis HAM Munir yang

5
berusaha mengungkap kebusukan militer masa pemerintahan rezim Soeharto termasuk
kasus Talang Sari. Siapakah Munir? Dialah aktivis HAM yang tidak pernah takut dan
gentar untuk membela yang benar, segudang informasi pelanggaran HAM ada di memori
otaknya. Tidak peduli apapun pangkat dan jabatannya, yang salah harus
bertanggungjawab. Kematiannya tidak menyurutkan semangat Munir-Munir yang lain
untuk menyingkirkan kebusukan di muka bumi pertiwi ini.
Tak jauh beda dengan Kasus Talang Sari, tragedi Tanjung Priok juga menyisakan
duka yang sangat mendalam hingga sekarang, tidak hanya oleh keluarga para korban
namun seluruh umat Islam yang ada di negara ini. Berbagai alasan atas nama UU dan
Pancasila digelontorkan oleh para pelaku untuk melakukan pembantaian di Tanjung Priok.
Sikap paranoid rezim Soeharto yang berlebihan dan takut kehilangan kekuasaannya
mendoktrin antek-anteknya untuk menyingkirkan siapa saja yang coba-coba mengusik
telinganya. Jangankan bertindak, bersuara sajapun akan dibasmi.
Tumbangnya Soeharto dari kursi kekuasaan pada bulan Mei l998 membuka peluang
lebih lebar bagi perbaikan kondisi hak asasi manusia di Indonesia. Pemerintahan transisi di
bawah kepemimpinan Presiden BJ. Habibie nampaknya menjanjikan bagi perbaikan
kondisi hak asasi manusia. Langkah perbaikan itu antara lain, dimulai dengan pelepasan
para tahanan politik, pembuatan Undang-undang Hak Asasi Manusia, reformasi UU Politik
dan Pemilu, dan lain sebagainya. Pada masa ini para korban pelanggaran HAM Pemerintah
Soeharto, termasuk para korban Priok menuntut keadilan. Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia (KOMNAS HAM) tak terelakkan wajib menanggapi secara positif tuntutan
masyarakat. Dalam upaya untuk menegakkan keadilan bagi para korban Priok, dan
tentunya bagi masyarakat Indonesia yang cinta keadilan. KOMNAS HAM membentuk
Team Ad Hoc (atau lebih dikenal dengan KPP) penyelidik Pro Justisia kasus pelanggaran
HAM di Tanjung Priok. Hasil penyelidikan KPP kasus Tanjung Priok ini menyimpulkan,
bahwa pada peristiwa berdarah di Tanjung Priok pada tahun l984 itu memenuhi unsur-
unsur tindak pidana pelanggaran HAM berat, yaitu kejahatan terhadap kemanusiaan. Hasil
penyelidikan KOMNAS HAM tersebut kemudian diserahkan kepada Jaksa Agung untuk
ditindak-lanjuti dengan penyidikan dan penuntutan.
KPP kasus Tanjung Priok berhasil mengidentifikasi 33 (tiga puluh tiga) orang pejabat,
termasuk militer yang diduga bertanggungjawab berkenaan dengan tragedi berdarah di

6
Tanjung Priok. Di antara yang diduga bertanggungjawab itu adalah, Jenderal LB Moerdani,
dan Jenderal Try Soetrisno. Hampir tiga tahun berkas hasil penyelidikan KOMNAS HAM
itu ngendon di kantor Jaksa Agung. Dalam pada itu DPR sudah mengusulkan kepada
Presiden untuk membentuk pengadilan ad hoc HAM kasus Tanjung Priok. Dalam kurun
waktu hampir tiga tahun itu berbagai peristiwa terjadi. Jaksa Agung terus-menerus disorot
dan di demo oleh para korban dan masyarakat luas untuk segera menyelesaikan tugas
penyidikannya dan segera menyerahkan berkas perkara ke pengadilan Ham Ad hoc. Di
tengah tuntutan untuk menggelar pengadilan ham ad hoc itu terjadi Islah antara Jenderal
Try Soetrisno dengan sebagian korban pelanggaran Ham Tanjung Priok. Jelas Islah tersebut
merupakan sebuah tindakan di luar proses hukum. Karena itu tidak bisa dijadikan dasar
untuk menunda apalagi meniadakan proses pengadilan Ham Ad Hoc Tanjung Priok.
Akhirnya pihak Kejaksaan Agung harus memenuhi desakan dan tuntutan masyarakat, yaitu
menggelar pengadilan Ham Ad Hoc Tanjung Priok.
Dari 33 mantan aparat militer Orde Baru yang oleh KOMNASHAM diduga
bertanggungjawab berkenaan dengan tragedi Tanjung Priok, hanya 14 ( empat belas ) orang
oleh Jaksa Agung ditetapkan sebagai tersangka. Umumnya para tersangka itu adalah para
pelaku di lapangan yang pada saat peristiwa itu terjadi masih berpangkat rendah atau
perwira menengah. Jaksa Agung tidak memberikan penjelasan yang memadai mengapa
pihaknya hanya menetapkan 14 tersangka dari 33 orang yang diduga KOMNAS HAM
harus bertanggungjawab dalam peristiwa berdarah di Tanjung Priok. Berkenaan dengan itu
pimpinan KOMNAS HAM melayangkan surat pada Jaksa Agung menanyakan apakah
masih ada tersangka yang lain ? Jaksa Agung hanya menjawab tidak ada. Hal ini
menunjukkan sikap tertutup dan tidak akuntabel Jaksa Agung terhadap masyarakat. Padahal
dalam era reformasi negara hukum Indonesia Jaksa Agung sebagai institusi negara dituntut
untuk bersikap transparan dan akuntabel kepada masyarakat (publik). Apa lagi tragedi
Priok merupakan peristiwa kejahatan kemanusiaan yang memperoleh perhatian baik dari
masyarakat domestik maupun internasional. Karena itu sangat bisa difahami bila
masyarakat luas, khususnya para korban Priok meragukan kredibilitas Jasksa Agung dalam
menangani perkara ini. Bahkan terbentuk persepsi umum, bahwa dalam kasus Priok itu
Jaksa Agung menjalankan kebijakan impunity, yang berarti berpihak pada kepentingan
pelaku pelanggaran HAM.

7
Pengadilan Ham Ad Hoc Priok memeriksa dan mengadili para pelaku lapangan yang
berpangkat rendah. Sementara mereka yang berpangkat tinggi dan diduga banyak
mengetahui sisi kebijakan yang menimbulkan tragedi itu tetap tidak tersentuh. Dari sejak
penyidikan dan penuntutan proses peradilan Priok berjalan tersendat-sendat, terutama
karena kinerja Jaksa Agung. Ini tentu bukan semata-mata masalah tekhnis hukum. Tapi
karena faktor politik, yaitu tidak adanya komitmen yang sungguh-sungguh dari Pemerintah,
DPR sebagai komunitas perwakilan rakyat, dan tak sulit untuk dibantah tekanan tentara.
Hal itu dapat menjelaskan mengapa jalannya pengadilan Ham Ad Hoc Priok masih jauh
dari standar Internasional, yaitu imparsial, fair, obyektif, dan transparan, serta bebas dari
pengaruh politik.
Hingga sekarang kasus Tanjung Priok masih merupakan tragedi yang masih
menyisakan misteri. Orang yang seharusnya bertanggungjawab masih saja menghirup udara
bebas tanpa pernah berpikir bagaimana bau anyir darah manusia tak bersalah yang dibantai
dengan kebijakannya. Harusnya TNI menempa prajurit-prajurit yang setia, pemberani dan
berjiwa ksatria. Tapi kenapa yang keluar sosok Jenderal yang pengecut, berusaha
bersembunyi dibalik kekuasaan adik juniornya yang menjadi pemimpin sekarang. Rasa
kesetiakawanan untuk melindungi teman walaupun salah mungkin sudah di doktrin sejak
awal di dalam tubuh TNI.

8
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Negara Indonesia telah menjamin HAM di dalam UUD 1945 pasal 27, ini berarti
setiap warga negara siapapun orangnya, berpangkat, berharta tidak ada bedanya di mata
hukum. Setiap orang di dalam lingkup negara kesatuan Republik Indonesia berhak
dilindungi, mendapat pengayoman, bersuara secara lisan dan tulisan karena memang
menjadi hak dasar manusia itu sendiri, bagi siapa yang melanggar HAM harus ditindak
karena negara ini juga mengatur perlindungan HAM. Tragedi Talang Sari dan Tanjung
Priok merupakan contoh kasus pelanggaran HAM berat yang dilakukan aparat militer
waktu itu dengan dalih ingin merubah dasar negara (subversif). Namun penanganannya
masih saja mendapat halangan yang cukup berat sehingga menjadi misteri yang tak
terungkap oleh hukum. Ini menandakan demokrasi di Indonesia masih belum berjalan
maksimal walaupun dari segi hukum dalam kategori tertentu kita sudah selangkah lebih
maju. Untuk itu, diperlukan komitmen yang kuat antara masyarakat, Pemerintah sebagai
eksekutif dan lembaga terkait untuk kembali membersihkan sisa-sisa yang mengotori
demokrasi di Indonesia. Yang bersalah harus bertanggungjawab tanpa harus memandang
kawan atau saudara sendiri.

B. Saran
Pemilu sebagai simbol demokrasi di Indonesia baru saja dilaksanakan pada 9 April
lalu. Rakyat yang menentukan sendiri wakilnya untuk ikut bersuara mengatur negara ini.
Mudah-mudahan para caleg yang terpilih adalah benar-benar manusia terpilih yang
berjuang demi rakyat, untuk rakyat dan atas nama rakyat. Selayaknya para manusia terpilih
ini nantinya ikut bersama-sama menegakkan perjuangan rakyat demi supremasi hukum
yang seadil-adilnya. Di masa Pemerintahan ini dan akan datang, penulis berharap
Pemerintah tidak hanya fokus menegakkan hukum bagi para koruptor tapi juga harus
menaruh perhatian yang penuh bagi para pelanggar HAM tanpa memandang bulu,
walaupun teman dekat atau Calon Presiden sekalipun.

9
DAFTAR PUSTAKA

Buku Tanjung Priok Berdarah, Tanggungjawab Siapa: Kumpulan Fakta dan Data,
Yogyakarta: Gema Insani Press.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan Hak Asasi
Manusia.

( http://organisasi.org) di download tanggal 20 April 2009, pukul 14.15 Wib.

10

You might also like