Professional Documents
Culture Documents
World Trade Organization (WTO) atau Organisasi Perdagangan Dunia merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antar
negara. Sistem perdagangan multilateral WTO diatur melalui suatu persetujuan yang berisi aturan-aturan dasar perdagangan internasional sebagai hasil perundingan yang telah
ditandatangani oleh negara-negara anggota. Persetujuan tersebut merupakan kontrak antar negara-anggota yang mengikat pemerintah untuk mematuhinya dalam pelaksanaan
kebijakan perdagangannya. Walaupun ditandatangani oleh pemerintah, tujuan utamanya adalah untuk membantu para produsen barang dan jasa, eksportir dan importer dalam
kegiatan perdagangan. Indonesia merupakan salah satu negara pendiri WTO dan telah meratifikasi Persetujuan Pembentukan WTO melalui UU NO. 7/1994.
WTO secara resmi berdiri pada tanggal 1 Januari 1995 tetapi sistem perdagangan itu sendiri telah ada setengah abad yang lalu. Sejak tahun 1948, General Agreement on Tariffs
and Trade (GATT) - Persetujuan Umum mengenai Tarif dan Perdagangan telah membuat aturan-aturan untuk sistem ini. Sejak tahun 1948-1994 sistem GATT memuat peraturan-
peraturan mengenai perdagangan dunia dan menghasilkan pertumbuhan perdagangan internasional tertinggi.
Pada awalnya GATT ditujukan untuk membentuk International Trade Organization (ITO), suatu badan khusus PBB yang merupakan bagian dari sistem Bretton Woods (IMF dan
bank Dunia). Meskipun Piagam ITO akhirnya disetujui dalam UN Conference on Trade and Development di Havana pada bulan Maret 1948, proses ratifikasi oleh lembaga-
lembaga legislatif negara tidak berjalan lancar. Tantangan paling serius berasal dari kongres Amerika Serikat, yang walaupun sebagai pencetus, AS tidak meratifikasi Piagam
Havana sehingga ITO secara efektif tidak dapat dilaksanakan. Meskipun demikian, GATT tetap merupakan instrument multilateral yang mengatur perdagangan internasional.
Hampir setengah abad teks legal GATT masih tetap sama sebagaimana pada tahun 1948 dengan beberapa penambahan diantaranya bentuk persetujuan “plurilateral” (disepakati
oleh beberapa negara saja) dan upaya-upaya pengurangan tariff. Masalah-masalah perdagangan diselesaikan melalui serangkaian perundingan multilateral yang dikenal dengan
nama “Putaran Perdagangan” (trade round), sebagai upaya untuk mendorong liberalisasi perdagangan internasional.
III. Putaran-putaran perundingan
Pada tahun-tahun awal, Putaran Perdagangan GATT mengkonsentrasikan negosiasi pada upaya pengurangan tariff. Pada Putaran Kennedy (pertengahan tahun 1960-an)
dibahas mengenai tariff dan Persetujuan Anti Dumping (Anti Dumping Agreement).
Putaran Tokyo (1973-1979) meneruskan upaya GATT mengurangi tariff secara progresif. Hasil yang diperoleh rata-rata mencakup sepertiga pemotongan dari bea impor/ekspor
terhadap 9 negara industri utama, yang mengakibatkan tariff rata-rata atas produk industri turun menjadi 4,7%. Pengurangan tariff, yang berlangsung selama 8 tahun, mencakup
unsur “harmonisasi” – yakni semakin tinggi tariff, semakin luas pemotongannya secara proporsional. Dalam isu lainnya, Putaran Tokyo gagal menyelesaikan masalah produk
utama yang berkaitan dengan perdagangan produk pertanian dan penetapan persetujuan baru mengenai “safeguards” ( emergency import measures). Meskipun demikian,
serangkaian persetujuan mengenai hambatan non tariff telah muncul di berbagai perundingan, yang dalam beberapa kasus menginterpretasikan peraturan GATT yang sudah ada.
Selanjutnya adalah Putaran Uruguay (1986-1994) yang mengarah kepada pembentukan WTO. Putaran Uruguay memakan waktu 7,5 tahun. Putaran tersebut hampir mencakup
semua bidang perdagangan. Pada saat itu putaran tersebut nampaknya akan berakhir dengan kegagalan. Tetapi pada akhirnya Putaran Uruguay membawa perubahan besar bagi
sistem perdagangan dunia sejak diciptakannya GATT pada akhir Perang Dunia II. Meskipun mengalami kesulitan dalam permulaan pembahasan, Putaran Uruguay memberikan
hasil yang nyata. Hanya dalam waktu 2 tahun, para peserta telah menyetujui suatu paket pemotongan atas bea masuk terhadap produk-produk tropis dari negara berkembang,
penyelesaian sengketa, dan menyepakati agar para anggota memberikan laporan reguler mengenai kebijakan perdagangan. Hal ini merupakan langkah penting bagi peningkatan
transparansi aturan perdagangan di seluruh dunia.
Hasil dari Putaran Uruguay berupa the Legal Text terdiri dari sekitar 60 persetujuan, lampiran (annexes), keputusan dan kesepakatan. Persetujuan-persetujuan dalam WTO
mencakup barang, jasa, dan kekayaaan intelektual yang mengandung prinsip-prinsip utama liberalisasi.
Persetujuan-persetujuan di atas dan annexnya berhubungan antara lain dengan sektor-sektor di bawah ini:
Pertanian
Sanitary and Phytosanitary/ SPS
Badan Pemantau Tekstil (Textiles and Clothing)
Standar Produk
Tindakan investasi yang terkait dengan perdagangan (TRIMs)
Tindakan anti-dumping
Penilaian Pabean (Customs Valuation Methods)
Pemeriksaan sebelum pengapalan (Preshipment Inspection)
Ketentuan asal barang (Rules of Origin)
Lisensi Impor (Imports Licencing)
Subsidi dan Tindakan Imbalan (Subsidies and Countervailing Measures)
Tindakan Pengamanan (safeguards)
Persetujuan Bidang Pertanian (Agreement on Agriculture/ AoA) yang berlaku sejak tanggal 1 Januari 1995 bertujuan untuk melakukan reformasi kebijakan perdagangan di bidang
pertanian dalam rangka menciptakan suatu sistem perdagangan pertanian yang adil dan berorientasi pasar. Program reformasi tersebut berisi komitmen-komitmen spesifik untuk
mengurangi subsidi domestik, subsidi ekspor dan meningkatkan akses pasar melalui penciptaan peraturan dan disiplin GATT yang kuat dan efektif.
Persetujuan tersebut juga meliputi isu-isu di luar perdagangan seperti ketahanan pangan, perlindungan lingkungan, perlakuan khusus dan berbeda ( special and differential
treatment – S&D) bagi negara-negara berkembang, termasuk juga perbaikan kesempatan dan persyaratan akses untuk produk-produk pertanian bagi negara-negara tersebut.
Dalam Persetujuan Bidang Pertanian dengan mengacu pada sistem klasifikasi HS ( harmonized system of product classification), produk-produk pertanian didefinisikan sebagai
komoditi dasar pertanian (seperti beras, gandum, dll.) dan produk-produk olahannya (seperti roti, mentega, dll.) Sedangkan, ikan dan produk hasil hutan serta seluruh produk
olahannya tidak tercakup dalam definisi produk pertanian tersebut.
Persetujuan Bidang Pertanian menetapkan sejumlah peraturan pelaksanaan tindakan-tindakan perdagangan di bidang pertanian, terutama yang menyangkut akses pasar, subsidi
domestik dan subsidi ekspor. Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, para anggota WTO berkomitmen untuk meningkatkan akses pasar dan mengurangi subsidi-subsidi yang
mendistorsi perdagangan melalui skedul komitmen masing-masing negara. Komitmen tersebut merupakan bagian yang tak terpisahkan dari GATT.
A. Akses Pasar
Dilihat dari sisi akses pasar, Putaran Uruguay telah menghasilkan perubahan sistemik yang sangat signifikan: perubahan dari situasi dimana sebelumnya ketentuan-ketentuan non-
tarif yang menghambat arus perdagangan produk pertanian menjadi suatu rezim proteksi pasar berdasarkan pengikatan tarif beserta komitmen-komitmen pengurangan subsidinya.
Aspek utama dari perubahan yang fundamental ini adalah stimulasi terhadap investasi, produksi dan perdagangan produk pertanian melalui: (i) akses pasar produk pertanian yang
transparan, prediktabel dan kompetitif, (ii) peningkatan hubungan antara pasar produk pertanian nasional dengan pasar internasional, dan (iii) penekanan pada mekanisme pasar
yang mengarahkan penggunaan yang paling produktif terhadap sumber daya yang terbatas, baik di sektor pertanian maupun perekonomian secara luas.
Umumnya tarif merupakan satu-satunya bentuk proteksi produk pertanian sebelum Putaran Uruguay. Pada Putaran Uruguay, yang disepakati adalah ”diikatnya” tarif pada tingkat
maksimum. Namun bagi sejumlah produk tertentu, pembatasan akses pasar juga melibatkan hambatan-hambatan non-tarif. Putaran Uruguay bertujuan untuk menghapuskan
hambatan-hambatan tersebut. Untuk itu disepakati suatu paket ”tarifikasi” yang diantaranya mengganti kebijakan-kebijakan non-tarif produk pertanian menjadi kebijakan tarif yang
memberikan tingkat proteksi yang sama.
Negara anggota dari kelompok negara maju sepakat untuk mengurangi tarif mereka sebesar rata-rata 36% pada seluruh produk pertanian, dengan pengurangan minimum 15%
untuk setiap produk, dalam periode enam tahun sejak tahun 1995. Bagi negara berkembang, pengurangannya adalah 24% dan minimum 10% untuk setiap produk. Negara
terbelakang diminta untuk mengikat seluruh tarif pertaniannya namun tidak diharuskan untuk melakukan pengurangan tarif.
B. Subsidi Domestik
Subsidi domestik dibagi ke dalam dua kategori. Kategori pertama adalah subsidi domestik yang tidak terpengaruh atau kalaupun ada sangat kecil pengaruhnya terhadap distorsi
perdagangan (sering disebut sebagai Green Box) sehingga tidak perlu dikurangi. Kategori kedua adalah subsidi domestik yang mendistorsi perdagangan (sering disebut sebagai
Amber Box) sehingga harus dikurangi sesuai komitmen.
Berkaitan dengan kebijakan yang diatur dalam Green Box terdapat tiga jenis subsidi lainnya yang dikecualikan dari komitmen penurunan subsidi yaitu kebijakan pembangunan
tertentu di negara berkembang, pembayaran langsung pada program pembatasan produksi (blue box), dan tingkat subsidi yang disebut de minimis.
C. Subsidi Ekspor
Hak untuk memberlakukan subsidi ekspor pada saat ini dibatasi pada: (i) subsidi untuk produk-produk tertentu yang masuk dalam komitmen untuk dikurangi dan masih dalam
batas yang ditentukan oleh skedul komitmen tersebut; (ii) kelebihan pengeluaran anggaran untuk subsidi ekspor ataupun volume ekspor yang telah disubsidi yang melebihi batas
yang ditentukan oleh skedul komitmen tetapi diatur oleh ketentuan ”fleksibilitas hilir” (downstream flexibility); (iii) subsidi ekspor yang sesuai dengan ketentuan S&D bagi negara-
negara berkembang; dan (iv) Subsidi ekspor di luar skedul komitmen tetapi masih sesuai dengan ketentuan anti-circumvention. Segala jenis subsidi ekspor di luar hal-hal di atas
adalah dilarang.
KTM ke-4 (9-14 Nopember 2001) yang dihadiri oleh 142 negara. Menghasilkan dokumen utama berupa Deklarasi Menteri (Deklarasi Doha) yang menandai diluncurkannya putaran
perundingan baru mengenai perdagangan jasa, produk pertanian, tarif industri, lingkungan, isu-isu implementasi, Hak Atas Kekayaan Intelektual (HAKI), penyelesaian sengketa
dan peraturan WTO.
Deklarasi tersebut mengamanatkan kepada para anggota untuk mencari jalan bagi tercapainya konsensus mengenai Singapore Issues yang mencakup isu-isu: investasi, kebijakan
kompetisi (competition policy), transparansi dalam pengadaan pemerintah (goverment procurement), dan fasilitasi perdagangan. Namun perundingan mengenai isu-isu tersebut
ditunda hingga selesainya KTM V WTO pada tahun 2003, jika terdapat konsensus yang jelas (explicit concensus) dimana para anggota menyetujui dilakukannya perundingan.
Deklarasi juga memuat mandat untuk meneliti program-program kerja mengenai electronic commerce, negara-negara kecil (small economies), serta hubungan antara
perdagangan, hutang dan alih teknologi.
Deklarasi Doha juga telah memberikan mandat kepada para anggota WTO untuk melakukan negosiasi di berbagai bidang, termasuk isu-isu yang berkaitan dengan pelaksanaan
persetujuan yang ada. Perundingan dilaksanakan di Komite Perundingan Perdagangan ( Trade Negotiations Committee/TNC) dan badan-badan dibawahnya (subsidiaries body).
Selebihnya, dilakukan melalui program kerja yang dilaksanakan oleh Councils dan Commitee yang ada di WTO.
Mengenai perlakuan khusus dan berbeda” (special and differential treatment), Deklarasi tersebut telah mencatat proposal negara berkembang untuk merundingkan Persetujuan
mengenai Perlakuan khusus dan berbeda (Framework Agreement of Special and Differential Treatment/S&D ), namun tidak mengusulkan suatu tindakan konkrit mengenai isu
tersebut. Para menteri setuju bahwa masalah S&D ini akan ditinjau kembali agar lebih efektif dan operasional.
Mandat lain yang sama pentingnya adalah kemajuan dalam hal akses pasar, pengurangan substansial dalam hal program dukungan/subsidi domestik yang mengganggu
perdagangan (trade-distorting domestic suport programs), serta memperbaiki perlakukan khusus dan berbeda di bidang pertanian bagi negara-negara berkembang.
Paragraf 13 dari Deklarasi KTM Doha juga menekankan mengenai kesepakatan agar perlakuan khusus dan berbeda untuk negara berkembang akan menjadi bagian integral dari
perundingan di bidang pertanian. Dicatat pula pentingnya memperhatikan kebutuhan negara berkembang termasuk pentingnya ketahanan pangan dan pembangunan pedesaan.
Perundingan untuk isu pertanian diwarnai dengan munculnya joint paper AS-UE, proposal Group 20 (yang menentang proposal gabungan AS-UE) dan proposal Group 33 (yang
memperjuangkan konsep special product dan special safeguard mechanism).
Secara singkat, joint paper AS-UE antara lain memuat proposal yang menghendaki adanya penurunan tarif yang cukup signifikan di negara berkembang, tetapi tidak menginginkan
adanya pengurangan subsidi dan tidak secara tegas memuat komitmen untuk menurunkan tarif tinggi (tariff peak) di negara maju.
Sebaliknya, negara berkembang yang tergabung dalam Group 20 menginginkan adanya penurunan subsidi domestik (domestik support) dan penghapusan subsidi ekspor
pertanian di negara-negara maju, sebagaimana dimandatkan dalam Deklarasi Doha.
Sementara itu, kelompok negara-negara berkembang lainnya yang tergabung dalam Group 33 (group yang dimotori Indonesia dan Filipina) mengajukan proposal yang
menghendaki adanya pengecualian dari penurunan tarif, dan subsidi untuk Special Products (SPs) serta diberlakukannya Special Safeguard Mechanism (SSM) untuk negara-
negara berkembang.
Setelah gagalnya KTM V WTO di Cancun, Meksiko pada tahun 2003, Sidang Dewan Umum WTO tanggal 1 Agustus 2004 berhasil menyepakati Keputusan Dewan Umum tentang
Program Kerja Doha, yang juga sering disebut sebagai Paket Juli. Pada kesempatan tersebut berhasil disepakati kerangka ( framework) perundingan lebih lanjut untuk DDA (Doha
Development Agenda) bagi lima isu utama yaitu perundingan pertanian, akses pasar produk non-pertanian (NAMA), isu-isu pembangunan dan impelementasi, jasa, serta Trade
Facilitation dan penanganan Singapore issues lainnya.
Keputusan Dewan Umum WTO melampirkan Annex A sebagai framework perundingan lebih lanjut untuk isu pertanian. Keputusan untuk ketiga pilar perundingan sektor pertanian
(subsidi domestik, akses pasar dan subsidi ekspor) adalah:
Subsidi domestik
Negara maju harus memotong 20% dari total subsidi domestiknya pada tahun pertama implementasi perjanjian pertanian.
Pemberian subsidi untuk kategori blue box akan dibatasi sebesar 5% dari total produksi pertanian pada tahun pertama implementasi.
Negara berkembang dibebaskan dari keharusan untuk menurunkan subsidi dalam kategori de minimis asalkan subsidi tersebut ditujukan untuk membantu petani kecil dan miskin.
Subsidi ekspor
Semua subsidi ekspor akan dihapuskan dan dilakukan secara paralel dengan penghapusan elemen subsidi program seperti kredit ekspor, garansi kredit ekspor atau program
asuransi yang mempunyai masa pembayaran melebihi 180 hari.
Memperketat ketentuan kredit ekspor, garansi kredit ekspor atau program asuransi yang mempunyai masa pembayaran 180 hari atau kurang, yang mencakup pembayaran bunga,
tingkat suku bunga minimum, dan ketentuan premi minimum.
Implementasi penghapusan subsidi ekspor bagi negara berkembang yang lebih lama dibandingkan dengan negara maju.
Hak monopoli perusahaan negara di negara berkembang yang berperan dalam menjamin stabilitas harga konsumen dan keamanan pangan, tidak harus dihapuskan.
Aturan pemberian bantuan makanan (food aid) diperketat untuk menghindari penyalahgunaannya sebagai alat untuk mengalihkan kelebihan produksi negara maju.
Beberapa aturan perlakuan khusus dan berbeda (S&D) untuk negara berkembang diperkuat.
Akses Pasar
Untuk alasan penyeragaman dan karena pertimbangan perbedaan dalam struktur tarif, penurunan tarif akan menggunakan tiered formula.
Penurunan tarif akan dilakukan terhadap bound rate.
Paragraf mengenai special products (SP) dibuat lebih umum dan tidak lagi menjamin jumlah produk yang dapat dikategorikan sebagai sensitive product. Negara berkembang dapat
menentukan jumlah produk yang dikategorikan sebagai special products berdasarkan kriteria food security, livelihood security, dan rural development.
Dunia juga masuk secara monolitik ke dalam sistem perekonomian neo-liberal yang terlembagakan ke dalam perjanjian-perjanjian internasional, khususnya ke dalam organisasi
World Trade Organization (WTO). Jika ditilik secara intensif, maka kita melihat bagaimana azas neoliberalisme mendominasi dalam spirit WTO di mana praktis lembaga tersebut
telah menjadi ’wasit’ dalam proses globalisasi. Ini mengingat jargon the borderless world yang mereka implementasikan dalam aturan WTO. Yakni semua negara yang telah
meratifikasikan pelbagai aturan yang tercantum dalam WTO, antara lain terpenting bahwa semua negara harus menghilangkan semua hambatan perdagangan – baik tarif maupun
nontarif – dengan jadwal keharusan pelaksanaannya yang sangat ketat beserta sanksi yang keras jika sebuah negara tak mentaatinya.
Dengan begitu, berarti semua negara nantinya tanpa kecuali harus siap bersaing secara bebas dalam perdagangan internasional. Dengan harga dan kualitas barang dan jasa yang
mereka hasilkan, mereka harus bersaing tanpa perlindungan (proteksi tariff maupun non-tarif) dan subsidi apa pun kecuali untuk hal-hal yang sangat terbatas, misalnya bantuan
untuk pelatihan bagi kalangan SME (small and medium enterprises). Juga dalam ’era WTO’ ini, berarti azas neoliberalisme cenderung mengabaikan keragaman kemampuan
antara negara dalam level of playing field. Padahal dengan prinsip tersebut, bahwa persaingan hanya akan menghasilkan kemakmuran bersama (prinsip pareto optimality/positive
some game) jika diciptakan suatu kesamaan level dalam kemampuan masing-masing peserta/pelaku kegiatan ekonomi. Ini justru oleh Adam Smith sendiri -- Bapak/Pendiri
Ekonomi Modern – harus dipertimbangkan dalam menciptakan persaingan antara pelaku ekonomi baik tingkat perusahaan maupun negara. Dengan kata lain, seperti layaknya
dalam dunia pertinjuan dengan adanya kelas-kelas yang dipertandingkan (yang sama levelnya: ringan, terbang dan berat), maka dalam alam globalisasi ekonomi yang dipimpin
WTO dan Negara Industri, dengan demikian akan cenderung diabaikan. Dengan suasana ini memang secara positif masing-masing negara mempersiapkan semaksimal mungkin
agar pada saatnya mampu memasuki dalam era persaingan global yang keras tersebut. Ini antara lain terlihat kesibukan para pelaku ekonomi dan politik menyambutnya dengan
pelbagai kegiatan, baik di tingkat mikro (peningkatan kapabilitas SDM, manajerial, permodalan, teknologi, informasi) maupun makro (demokratisasi politik, penegakan supremasi
hukum, penghormatan HAM, deregulasi ekonomi, reformasi birokrasi).
Semua negara mau tak mau menerima Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) menjadi badan supra nasional yang mampu memaksa negara manapun mencabut semua
hambatan tarif dan non-tarif. Termasuk mencabut subsidi untuk orang miskin dan sektorsektor ekonomi yang sensitif seperti pertanian. Dalam konteks tersebut, pemerintahan di
negara-negara sedang berkembang – dengan euforia demokrasi dan politik – makin dilemahkan. Elite bisnis, LSM, politik, maupun pemerintahan di negara-negara sedang
berkembang makin mewakili kepentingan kaum metropolis di negara-negara industry maju daripada memperjuangkan rakyatnya yang semakin lemah baik secara ekonomi
maupun politik.
Secara kronologis, terbentuknya WTO awalnya dilatarbelakangi oleh perjuangan NSB. Tujuannya agar mereka dapat memperbaiki kondisi ekonominya yang terbelakang akibat
bertumpu pada ekspor bahan mentah. Itu dilakukan pasca-Konferensi Asia Afrika tahun 1955 di Bandung yang dipelopori Indonesia, India, dan Alzajair. Kemudian terjadi
serangkaian putaran perundingan Utara-Selatan yang merumuskan komitmen negara-negara industri maju untuk membuka pasarnya terhadap produk olahan negara-negara
sedang berkembang setelah merealisasikan minimal satu persen produk domestik bruto (PDB) dari negaranegara industri maju untuk pembangunan negara-negara sedang
berkembang dalam rangka development decade Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). Tak dinyana, terjadi kejaiban Asia. Negara-negara industri baru Asia seperti Jepang, Korea-
selatan, Taiwan, Singapura, Malaysia, Thailand, dan Indonesia berhasil menguasai pasar Amerika Serikat (AS) sesuai dengan level teknologinya masing masing.
Sementara itu, AS mengalami double crisis (krisis neraca anggaran dan perdagangan) secara kolosal hingga masa pemerintahan Ronald Reagan dengan besaran mencapai 500
miliar dolar AS. AS praktis menjadi negara pengutang terbesar di dunia terhadap perusahaan asing ( foreign direct investment, FDI ) terutama terhadap negaranegara industri baru
Asia. Pemerintah Bill Clinton kemudian melancarkan dual track policy. Di satu pihak berusaha melakukan perbaikan ke dalam agar daya saing industrinya dapat unggul kembali --
terutama menghadapi serbuan produk egara-negara industri baru Asia -- di lain pihak membalikkan putaran perundingan Utara-Selatan menjadi strategi untuk menyelesaikan krisis
internal AS dari luar. Dalam perundingan di Maroko berhasil dibentuk WTO yang menjamin agar produk-produk unggulan AS khususnya dan NIM pada umumnya bebas masuk ke
pasar egara-negara sedang berkembang. Kemudian diciptakanlah isu borderless dalam rangka ‘’globalisasi untuk kemakmuran dunia’’ yang pengendaliannya berada di tangan
WTO -- di samping sebelumnya telah ada IMF (untuk bantuan moneter) dan Bank Dunia (untuk bantuan program pembangunan). Jadilah trio global superbody (WTO-IMF-WB)
sebagai aat ampuh AS dalam menegakkan imperiumnya di dunia lewat proses globalisasi. Memang, dengan tidak netralnya isu globalisasi bukan alibi untuk memaafkan
kebobrokan pemerintahan, bisnis, dan politik yang dilakukan elite bangsa sendiri. Tapi kita memerlukan pengembangan wacana ‘’sinergi peradaban”, bukannya clash of civilization
ala Huntington.
Tujuan TRIPs
TRIPs bertujuan untuk melindungi dan menegakkan hukum hak milik intelektual guna mendorong timbulnya inovasi, pengalihan, serta penyebaran teknologi, diperolehnya manfaat
bersama pembuat dan pemakai pengetahuan teknologi, dengan cara yang menciptakan kesejahteraan sosial dan ekonomi serta berkeseimbangan antara hak dan kewajiban
(Pasal 7 TRIPs). Untuk itu perlu dikurangi gangguan dan hambatan dalam perdagangan intemasional,dengan mengingat kebutuhan untuk meningkatkan perlindungan yang efektif
dan memadai terhadap hak milik intelektual, serta untuk menjamin agar tindakan dan prosedur untuk menegakkan hak milik intelektual tidak kemudian menjadi penghalang bagi
perdagangan yang sah.