You are on page 1of 36

Senin, 30 Maret 2009

Fonologi

Pengertian Fonologi adalah bagian tata bahasa atau bidang ilmu bahasa yang
menganalisis bunyi bahasa secara umum. Istilah fonologi, yang berasal dari gabungan
kata Yunani phone 'bunyi' dan 'logos' tatanan, kata, atau ilmu' dlsebut juga tata bunyi.
Bidang ini meliputi dua bagian.
Fonetik, yaitu bagian fonologi yang mempelajari cara menghasilkan bunyi bahasa
atau bagaimana suate bunyi bahasa diproduksi oleh alat ucap manusia.

Fonemik, yaitu bagian fonologi yang mempelajari bunyi ujaran menurut fungsinya
sebagai pembeda arti.

Bunyi ujaran yang bersifat netral, atau masih belum terbukti membedakan arti disebut
fona, sedang fonem ialah satuan bunyi ujaran terkecil yang membedakan arti. Variasi
fonem karena pengaruh lingkungan yang dimasuki disebut alofon. Gambar atau
lambang fonem dinamakan huruf. Jadi fonem berbeda dengan huruf.
Unluk menghasilkan suatu bunyi atau fonem, ada tiga unsur yang penting yaitu :
1. udara,
2. artikulator atau bagian alat ucap yang bergerak, dan
3. titik artikulasi atau bagian alat ucap yang menjadi titik sentuh artikulator.
Vokal dan Konsonan
Vokal adalah fonem yang dihasilkan dengan menggerakkan udara keluar tanpa
rintangan. Konsonan adalah fonem yang dihasilkan dengan menggerakkan udara
keluar dengan rintangan.
Yang dimaksud dengan rintangan dalam hal ini adalah terhambatnya udara keluar
oleh adanya gerakan atau perubahan posisi artikulator .
Diftong
Diftong adalah dua vokal beurutan yang diucapkan dalam satu kesatuan waktu.
Diftong dalam babasa Indonesia adalah ai ,au, dan oi.
Contoh :petai, lantai, pantai, santai, harimau, kerbau, imbau, pulau, amboi.
Fonem dan Pembuktiannya
Fonem adalah satuan bunyi terkecil yang berfungsi membedakan arti. Fonem dapat
dibuktikan melalui pasangan minimal. Pasangan minimal adalah pasangan kata dalam
satu bahasa yang mengandung kontras minimal.
Contoh :
- pola & rnembedakan /o/ dan→pula /u/
- barang & membedakan /b/ dan /p/→parang
Fonem dan Huruf
Bahasa Indonesia memakai ejaan fonemis, artinya setiap hunuf melambangkan satu
fonem. Namun demikian masih terdapat fonem-fonem yang dilambangkan dengan
diagraf (dua hunuf melambangkan satu fonem) seperti ny, ng, sy, dan kh.
Di samping itu ada pula diafon (satu huruf yang melambangkan dua fonem) yakni
huruf e yang digunakan untuk menyatakan e pepet dan e taling.
Huruf e melambangkan e pepet terdapat pada kata seperti : sedap, segar, terjadi. Huruf
e melambangkan e taling terdapat pada kata seperti : ember, tempe, dendeng
Diposkan oleh Widi Blog di 09.13
Label: Linguistik

FONOLOGI DAN BIDANG PEMBAHASANNYA


Pengertian Fonologi
Menurut Kridalaksana (2002) dalam kamus linguistik, fonologi adalah bidang dalam
linguistik yang menyelidiki bunyi-bunyi bahasa menurut fungsinya.

Bidang Pembahasannya
Fonologi mempunyai dua cabang kajian,

Pertama, fonetik yaitu cabang kajian yang mengkaji bagaimana bunyi-bunyi fonem
sebuah bahasa direalisasikan atau dilafalkan. Fonetik juga mempelajari cara kerja
organ tubuh manusia terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahasa. Chaer
(2007) membagi urutan proses terjadinya bunyi bahasa itu, menjadi tiga jenis fonetik,
yaitu:

a) fonetik artikulatoris atau fonetik organis atau fonetik fisiologi, mempelajari


bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi
bahasa serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan.

b) fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena
alam (bunyi-bunyi itu diselidiki frekuensi getaranya, aplitudonya,dan intensitasnya.

c) fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa


itu oleh telinga kita.

Dari ketiga jenis fonetik tersebut yang paling berurusan dengan dunia lingusitik
adalah fonetik artikulatoris, sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah
bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia. Sedangkan
fonetik akustik lebih berkenaan dengan bidang fisika, dan fonetik auditoris berkenaan
dengan bidang kedokteran.

Kedua, fonemik yaitu kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi
membedakan makna. Chaer (2007) mengatakan bahwa fonemik mengkaji bunyi
bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata. Misalnya bunyi [l], [a],
[b] dan [u]; dan [r], [a], [b] dan [u] jika dibandingkan perbedaannya hanya pada
bunyi yang pertama, yaitu bunyi [l] dan bunyi [r]. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kedua bunyi tersebut adalah fonem yang berbeda dalam bahasa
Indonesia, yaitu fonem /l/ dan fonem /r/.
Kedudukan Fonologi dalam Cabang-cabang Linguistik
Sebagai bidang yang berkosentrasi dalam deskripsi dan analisis bunyi-bunyi ujar,
hasil kerja fonologi berguna bahkan sering dimanfaatkan oleh cabang-cabang
linguitik yang lain, misalnya morfologi, sintaksis, dan semantik.

1. Fonologi dalam cabang Morfologi

Bidang morfologi yang kosentrasinya pada tataran struktur internal kata sering
memanfaatkan hasil studi fonologi, misalnya ketika menjelaskan morfem dasar
{butuh} diucapkan secara bervariasi antara [butUh] dan [bUtUh] serta diucapkan
[butuhkan] setelah mendapat proses morfologis dengan penambahan morfem sufiks
{-kan}.

2. Fonologi dalam cabang Sintaksis

Bidang sintaksis yang berkosentrasi pada tataran kalimat, ketika berhadapan dengan
kalimat kamu berdiri. (kalimat berita), kamu berdiri? (kalimat tanya), dan kamu
berdiri! (kalimat perintah) ketiga kalimat tersebut masing-masing terdiri dari dua kata
yang sama tetapi mempunyai maksud yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat
dijelaskan dengan memanfaatkan hasil analisis fonologis, yaitu tentang intonasi, jedah
dan tekanan pada kalimat yang ternyata dapat membedakan maksud kalimat, terutama
dalam bahasa Indonesia.

3. Fonologi dalam cabang Semantik

Bidang semantik, yang berkosentrasi pada persoalan makna kata pun memanfaatkan
hasil telaah fonologi. Misalnya dalam mengucapkan sebuah kata dapat divariasikan,
dan tidak. Contoh kata [tahu], [tau], [teras] dan [t∂ras] akan bermakna lain.
Sedangkan kata duduk dan didik ketika diucapkan secara bervariasi [dudU?],
[dUdU?], [didī?], [dīdī?] tidak membedakan makna. Hasil analisis fonologislah yang
membantunya.

Manfaat Fonologi dalam Penyusunan Bahasa


Ejaan adalah peraturan penggambaran atau pelambangan bunyi ujar suatu bahasa.
Karena bunyi ujar adalah dua unsur, yaitu segmental dan suprasegmental, ejaan pun
menggambarkan atau melambangkan kedua unsur bunyi tersebut.

Perlambangan unsur segmental bunyi ujar tidak hanya bagaimana melambangkan


bunyi-bunyi ujar dalam bentuk tulisan atau huruf, tetapi juga bagaimana menuliskan
bunyi-bunyi ujar dalam bentuk kata, frase, klausa, dan kalimat, bagaimana
memenggal suku kata, bagaimana menuliskan singkatan, nama orang, lambang-
lambang teknis keilmuan dan sebagainya. Perlambangan unsure suprasegmental bunyi
ujar menyangkut bagaimana melambangkan tekanan, nada, durasi, jedah dan intonasi.
Perlambangan unsure suprasegmental ini dikenal dengan istilah tanda baca atau
pungtuasi.
Tata cara penulisan bunyi ujar ini bias memanfaatkan hasil kajian fonologi,terutama
hasil kajian fonemik terhadap bahasa yang bersangkutan. Oleh karena itu, hasil kajian
fonemik terhahadap ejaan suatu bahasa disebut ejaan fonemis.

Materi fonologi bahasa indonesia - Presentation


Transcript
1. Fonologi Bahasa Indonesia
Oleh
Kasman, S.Pd.,M. Hum.
2. Fonologi
o Fonologi mencoba mengkaji dan menganalisis bunyi ujaran pada suatu
bahasa dengan cara mempelajari bagaimana bunyi ujaran tadi
dihasilkan oleh alat ucap manusia, bagaimana bunyi ujaran tadi sebagai
getaran udara, bagaimana bunyi ujaran tadi diterima oleh telinga
manusia, dan bagaimana bunyi ujaran itu dalam fungsinya sebagai
pembeda makna.

Cabang-Cabang Fonologi
Fonetikmerupakan cabang fonologi yang menyelidiki bunyi bahasa menurut
cara pelafalan, sifat-sifat akuistiknya, dan cara penerimaannya oleh telinga
manusia.
Ketika kita medeskripsikan bahwa bunyi [p] dalam bahasa Indonesia adalah
bunyi yang dilafalkan dengan menutup kedua bibir lalu melepaskannya
sehingga udara keluar dengan letupan. Deskripsi seperti itu adalah deskripsi
fonetis.

3. Fonetik digolongkan ke dalam 3 macam, yakni:


Fonetik artikulatorisadalah cabang ilmu fonetik yang mempelajari dan
menyelidiki bagaimana pengartikulasian bunyi-bunyi di dalam bahasa.
Fonetik akuistis adalah cabang ilmu fonetik yang menyelidiki bunyi bahasa
sebagai getaran udara.
Fonetis auditoris adalah cabang ilmu fonetik yang melakukan penyelidikan
tentang cara-cara penerimaan bunyi bahasa oleh telinga manusia.
4. Alat Bicara
Keterangan :
1. bibir atas (labium)
2. bibir bawah (labium)
3. gigi atas (dentes)
4. gigi bawah (dentes)
5. gusi (alveolum)
6. langit-langit keras (palatum)
7. langit-langit lunak (velum)
8. anak tekak(uvula)
9. ujung lidah (apika)
10. depan lidah
11. daun lidah (lamina)
12. tengah lidah (medium)
13. belakang lidah(dorso)
14. akar lidah (radika)
15. faring
16. rongga mulut
17. rongga hidung
18. epiglotis
19. pita suara
20. pangkal tenggorokan (laring)
21. trakea
5. Jenis-Jenis Bunyi
Konsonan
Konsonan adalah bunyi bahasa yang ketika dihasilkan mengalami hambatan-
hambatan pada daerah artikulasi tertentu.
Bunyi konsonan dapat digolongkan berdasarkan tiga kriteria: posisi pita suara,
tempat artikulasi, dan cara artikulasi.
# Berdasarkan posisi pita suara, bunyi bahasa dibedakan ke dalam dua macam,
yakni bunyi bersuara dan bunyi tak bersuara.
1. Bunyi bersuara terjadi apabila pita suara hanya terbuka sedikit, sehingga
terjadilah getaran pada pita suara itu.
Yang termasuk bunyi bersuara antara lain, bunyi /b/, /d/, /g/, /m/, /n/, /ñ/, /j/,
/z/, /r/, /w/ dan /y/.
2. Bunyi tak bersuara terjadi apabila pita suara terbuka agak lebar, sehingga
tidak ada getaran pada pita suara. Yang termasuk bunyi tak bersuara, antara
lain /k/, /p/, /t/, /f/, /s/, dan /h/.
6. # Berdasarkan tempat artikulasinya, kita mengenal empat macam konsonan,
yakni:
1. konsonan bilabial adalah konsonan yang terjadi dengan cara merapatkan
kedua belah bibir, misalnya bunyi /b/, /p/, dan /m/.
2. konsonan labiodental adalah bunyi yang terjadi dengan cara merapatkan
gigi bawah dan bibir atas, misalnya /f/.
3. konsonan laminoalveolar adalah bunyi yang terjadi dengan cara
menempelkan ujung lidah ke gusi, misalnya /t/ dan /d/.
4. konsonan dorsovelar adalah bunyi yang terjadi dengan cara menempelkan
pangkal lidah ke langit-langit lunak, misalnya /k/ dan /g/.
7. # Menurut cara pengucapanya/cara artikulasinya, konsonan dapat dibedakan
sebagai berikut:
1. bunyi letupan [plosive] yakni bunyi yang dihasilkan dengan menghambat
udara sama sekali ditempat artikulasi lalu dilepaskan, seperti [b], [p], [t], [d],
[k], [g], [?], dan lain-lain;
2. bunyi nasal adalah bunyi yang dihasilkan dengan menutup alur udara keluar
melalui rongga mulut tetapi dikeluarkan melalui rongga hidung ];η seperti
fonem [n, m, ñ,
3. bunyi lateral yakni bunyi yang dihasilkan dengan menghambat udara
sehingga keluar melalui kedua sisi lidah seperi [l];
4. bunyi frikatif yakni bunyi yang dihasilkan dengan menghambat udara pada
titik artikulasi lalu dilepaskan secara frikatif misanya [f], [s];
5. bunyi afrikatif yaitu bunyi yang dihasilkan dengan melepas udara yang
keluar dari paru-paru secara frikatif, misalnya [c] dan [z];
6. bunyi getar yakni bunyi yang dihasilkan dengan mengartikulasikan lidah
pada lengkung kaki gigi kemudian dilepaskan secepatnya dan diartikulasikan
lagi seprti [r] pada jarang.
8. Semivokal
Kualitas semi-vokal bukan hanya ditentukan oleh titik artikulasi, tetapi
ditentukan pula oleh bangun mulut atau sikap mulut, misalnya vokal [u] yang
merupakan vokal bundar. jika bangun mulut disempitkan lagi maka akan
menghasilkan bunyi yang tidak mencapai titik artikulasi sehingga
menghasilkan bunyi [ŵ]. Bunyi [ŵ] yang dimaksud adalah bunyi [ŵ] yang
bilabial dengan mendekatkan bibir dengan gigi atas tapi tidak sedemikian
dekat. Oleh karena itu, bunyi [ŵ] digolongkan sebagai bunyi semi-vokal.
Vokal
Menurut posisi lidah yang membentuk rongga resonansi, vokal-vokal
digolongkan:
a. Vokal tinggidepandengan menggerakkan bagian depan lidah ke langit-langit
sehingga terbentuklah rongga resonansi, seperti pengucapan bunyi [i].
b. Vokal tinggi belakang diucapkan dengan kedua bibir agak maju dan sedikit
membundar, misalnya /u/.
9. c. Vokal sedangdihasilkan dengan menggerakkan bagian depan dan belakang
lidah ke arah langit-langit sehingga terbentuk ruang resonansi antara tengah
lidah dan langit-langit, misalnya vokal [e].
d. Vokal belakang dihasilkan dengan menggerakkan bagian belakang lidah ke
arah langit-langit sehingga terbentuk ruang resonansi antara bagian belakang
lidah dan langit-langit, misalnya vokal [o].
e.vokal sedang tengah adalah vokal yang diucapkan dengan agak menaikkan
bagian / .∂tengah lidah ke arah langit-langit, misalnya Vokal /
f.vokal rendah adalah vokal yang diucapkan dengan posisi lidah mendatar,
misalnya vokal /a/.
10. Depan Tengah Belakang
Tinggi i u
Sedang e ∂ o
Rendah a
Tabel Vokal Bahasa Indonesia
11. Unsur Suprasegmental
Fonem yang berwujud bunyi seperti yang digambarkan pada bagian di atas
dinamakan fonem segmental. Fonem pada sisi lain dapat pula tidak bewujud
bunyi, tetapi merupakan aspek tambahan terhadap bunyi. Jika seseorang
berbicara, akan terdengar bahwa suku kata tertentu pada suatu kata mendapat
tekanan yang lebih nyaring dibandingkan dengan suku kata yang lain; bunyi
tertentu terdengar lebih panjang dibandingkan dengan bunyi yang lain; dan
vokal pada suku kata tertentu terdengar lebih tinggi dibandingkan dengan
vokal pada suku kata yang lain.
Tekanan atau Stres
Tekanan yang dimaksud dalam hal ini menyangkut keras lembutnya bunyi
yang diucapkan oleh manusia.
Nada
Nada berkenaan dengan tinggi rendahnya suatu bunyi.
12. Unsursuprasegmentalinikemudianmelahirkansistemejaansuatubahasatertentu.
Perhatikansistemejaanbahasa Indonesia berikutini!
13. Suku Kata
Suku kata adalah bagian kata yang diucapkan dalam satu hembusan napas dan
umumnya terdiri atas beberapa fonem. Kata seperti datang diucapkan dengan
dua hembusan napas, satu untuk da- dan satu lagi untuk tang.
Suku kata yang berakhir dengan vokal (K)V, disebut suku terbuka dan suku
yang berakhir konsonan (K)VK disebut suku tertutup.
14. TulisanFonetis
Di bawah ini akan dipaparkan tulisan fonetis menurut International Phonetic
Association.
∑ /e/ seperti pada kata bebas
∂ /e/ seperti pada beban.
e /e/ seperti pada tetapi.
a /a/ seperti pada hak.
I /i/ seperti pada gigit.
i /i/ seperti pada kata gigih.
⊃ s⊃r ⊃/o/ seperti pada kata b
o /o/ seperti pada toko.
U /u/ seperti pada sarung.
u /u/ seperti pada baru.
ñ /ny/ seperti pada kata nyonya.
η /ng/ seperti pada hangat.
15. Fonemik
Objek kajian fonemik adalah fonem dalam fungsinya sebagai pembeda makna
kata. Jika di dalam fonetik kita meneliti bunyi /l/ dan /r/ yang berbeda seperti
terdapat pada kata laba dan raba maka dalam fonemik kita meneliti apakah
perbedaan bunyi-bunyi itu berfungsi sebagai pembeda makna atau tidak.
Fonem, Fon, dan Alofon
Fonem adalah satuan terkecil bunyi bahasa yang bersifat membedakan arti
(distingtif). Dalam dunia Linguistik, satuan bahasa yang disebut fonem ditulis
di antara dua garis miring /…../.
Alofon merupakan variasi sebuah fonem atau anggota sebuah fonem.
Misalnya: fonem /i/ dalam bahasa Indonesia memiliki variasi fonem [i] dan
[I].
16. ProsedurPenemuanFonem
Istilahkontraslingkungansama (KLS) tidakberbedamaknanyadenganpasangan
minimal terutamadalampandanganFonologiStruktural (FS), yaknisama-
samamerupakanprosedurpenemuanfonem yang
mempunyaikonsepbahwaduabuahbunyibahasadapatdinyakatansebagaiduabuah
fonem yang berbedaapabilakeduanyaberadapadaleksikon yang
dibentukolehlingkunganbunyi yang samadankeduabunyiitulah yang
menyebabkanmaknadarisepasangleksikonituberbeda
(lihatPastikadalamMoeliono, 2004:86).
Salahsatucontohnyaadalahpasanganpagidanbagi.
17. Di samping KLS penemuansebuahfonemjugadapatdigunakan KLM,
seperticontoh yang diungkapkandari Pike (1947) berikutini:
laGa ’ranjangbayi’
laXa ’anjing’
aXal ’tikus’
18. Bandingkan data-data di bawah ini!
kanak-kanak[kana?-kana?] dan kekanak-kanakan[kekanak-kanakan]
buih : [buih] dan [buIh]
orang ]η ra⊃] dan [η : [ora
Di samping lingkungan yang sama, terdapat juga lingkungan yang hampir
sama, misalnya /liyar/ dan /luwar/. Bunyi [i] dan [u] pada data ini digolongkan
sebagai fonem yang berbeda karena terdapat pada oposisi leksikal liar dan
luar.
Penentuan fonem seperti yang dijelaskan oleh Uhlenbeck (dalam Subroto,
1991:15) tidak semata-mata berdasarkan oposisi pasangan minimal, melainkan
kita harus memperhatikan gejala sistematis mengenai terdapatnya kedua seri
alofon tersebut dalam pembentukan kata, misalnya alofon [a] pada kata lara
’sakit’ akan bervariasi dengan [A] pada kata lArAne ’sakitnya’, lArAmu
’sakitmu’ dalam bahasa Jawa.
19. Berbeda halnya dengan top dan stop dalam bahasa Inggris merupakan dua data
yang berdistribusi komplementer karena bunyi [t] pada posisi tertentu tidak
pernah ditempati bunyi [th] dan sebaliknya.
Fon merupakanbunyi-bunyi yang kongkret, bunyi-bunyi yang diartikulasikan
(diucapkan) atau bentuk kongkret dari sebuah fonem. Dalam hal ini, fonem
merupakan maujud abstrak yang direalisasikan menjadi fon.
Huruf-huruf yang digunakan untuk transkripsi di atas, tidak sama dengan
huruf yang digunakan dalam tata aksara suatu bahasa. Huruf-huruf yang
melambangi bunyi bahasa disebut grafem. Bunyi bahasa yang ditulis dalam
ortografis atau ejaan diapit oleh tanda lebih kecil dan lebih besar (< >).
Dengan demikian bisa jadi terdapat sebuah grafem yang melambangkan dua
fonem / dam bahasa Indonesia yang∂yang berbeda, seperti halnya fonem /e/
dan / dilambangkan dengan grafem <e>.
20. FonemAlofonGrafem Contoh
/e/ [e] esate
]Σ [ robek
∂/ ]∂/[ betul
Alofon Vokal
Fonem /i/.Fonem /i/ memiliki dua alofon, yakni [i] dan [I]. Fonem [i]
dilafalkan [i] apabila terdapat pada (1) suku kata terbuka, seperti gigi, ini, tali
dan (2) suku kata /, seperti simpang, minta,η tutup yang berakhir dengan
fonem /m, n, dan pinggul. Fonem /i/ dilafalkan [I] apabila terdapat pada suku
kata tutup, seperti pada kata banting, kirim, parit, dan lain-lain.
Fonem ]. Fonem /e/ dilafalkanΣ /e/.Fonemmemiliki dua alofon, yakni [e] dan
[ /e/ jika terdapat pada suku kata terbuka, serong, sore, besok . Fonem ] jika
terdapat pada suku kata tertutup akhir, misalnyaΣ /e/ dilafalkan [ nenek,
bebek, tokek.
21. / hanya memiliki∂/. Fonem /∂Fonem / ]. Alofon ini terdapat pada suku kata
tutup dan∂satu alofon, yakni [ suku kata terbuka, misalnya enam, entah, pergi,
bekerja, dan lain-lain.
Fonem /u/. Fonem /u/ memiliki dua alofon, yakni [u] dan [U]. Fonem /u/
dilafalkan [u] jika terdapat pada (1) suku kata terbuka, seperti upah, tukang,
bantu dan (2) suku kata tertutup yang berakhir dengan /m, n, dan /, misalnya
puncak, bungsu, rumput, dan lain-lain. Fonem /u/η dilafalkan [U] jika
terdapat pada suku kata tertutup dan suku kata itu tidak mendapat tekanan
yang keras, misalnya warung, bungsu, rumput dan lain-lain. Jika mendapatkan
tekanan yang keras, /fonem /u/ yang semula dilafalkan [U] akan menjadi [u],
misalnya pada kata pengampunan, kumpulan, simpulan, dan lain-lain.
Fonem /a/. Fonem /a/ hanya memiliki satu alofon, yakni [a] seperti pada kata
akan, dua, makan, jelas, dan lain-lain.
Fonem /o/. Fonem /o/ memiliki dua alofon, ]. Fonem /o/ dilafalkan [o] jika
terdapat pada⊃yakni: [o] dan [ suku kata terbuka, misalnya pada kata toko,
roda, biro, dan lain-lain. Fonem ] jika terdapat pada (1) suku kata tertutup,
misalnya⊃/o/ dilafalkan [ rokok, pojok, momok dan (2) suku kata terbuka
yang diikuti suku kata ], misalnya pepohonan, pertokoan, dan⊃yang
mengandung alofon [ lain-lain.
22. Alofon Konsonan
Fonem /p/. Fonem /p/ memiliki dua alofon, yakni [p] dan [p>]. Fonem /p/
dilafalkan [p] jika berada pada awal dan tengah suatu suku kata, seperti pada
kata: pintu, sampai, dan lain-lain. Fonem /p/ dilafalkan [p>] jika terdapat pada
akhir suku kata, seperti pada kata: tatap, sedap, tangkap, dan lain-lain.
Fonem /b/. Fonem /b/ hanya memiliki satu alofon, yakni [b] yang biasanya
terdapat di awal, tengah, dan akhir kata, misalnya baru, tambal, adab, dan lain-
lain.
Fonem /t/. Fonem memiliki dua alofon, yakni [t] dan [t>]. Fonem /t/ dilafalkan
/t/ apabila terdapat pada awal kata dan tengah kata, seperti: timpa dan
santai.Fonem /t/ dilapalkan /t>/ apabila terdapat pada akhir kata, seperti pada
kata: lompat dan tempat.
Fonem /d/. Fonem /d/ memiliki dua alofon, yakni [d] yang posisinya selalu di
awal suku kata, seperti pada kata: duta dan madu. Fonem /d/ dilafalkan [d>]
jika terdapat pada akhir kata, seperti pada kata: abad dan akad.
23. Fonem /k/. Fonem /k/ mempunyai tiga alofon, yakni alofon lepas [k], alofon
taklepas [k>], dan alofon hambat glotal tidak bersuara [?]. Alofon yang
pertama terdapat pada awal suku kata, seperti pada kata: kaki dan kurang.
Sedangkan alofon kedua terdapat di akhir suku kata, seperti pada kata: paksa
dan iklim. Alofon ketiga terdapat di akhir suku kata, seperti pada kata:
maklum dan rakyat.
Fonem /g/.Fonem /g/ hanya memiliki dua alofon, yaitu: [g] yang terdapat pada
awal suku kata, seperti: gula dan ragu. Pada akhir suku kata, fonem /g/
dilafalkan [k>], seperti pada kata: ajeg dan gudeg.
Fonem /f/. Fonem /f/ memiliki satu alofon, yakni [f] yang posisinya terdapat
pada awal atau akhir suku kata, seperti pada kata: fakultas dan munafik.
Fonem /s/. Fonem /s/ memiliki satu alofon, yakni [s] yang posisinya terdapat
pada awal atau akhir suku kata, seperti pada kata: sama dan pasti.
Fonem /z/. Fonem /z/ memiliki satu alofon, yakni [z] yang terdapat pada awal
suku kata, seperti: zat dan izin.
Fonem /š/. Fonem / š/ memiliki i satu alofon, yakni [š] yang terdapat pada
awal suku kata, seperti pada kata: syukur dan masyarakat.
24. Fonem /x/. Fonem /x/ memiliki satu alofon, yakni [x] yang terdapat pada awal
dan akhir suku kata, seperti pada kata: khas dan akhir.
Fonem /h/. Fonem /h/ memiliki dua alofon, yakni [h] dan [h>]. Alofon [h]
tidak bersuara, seperti pada kata: hari dan rumah. Sedangkan [h>] bersuara
seperti pada kata: tahu dan tuhan.
Fonem /c/. Fonem /c/ memiliki satu alofon, yakni [c], seperti pada kata: cari
dan cacing.
Fonem /j/. Fonem /j/ memiliki satu alofon, yakni [j], seperti pada kata juga dan
maju.
Fonem /m/. Fonem /m/ memiliki satu alofon, yakni [m], seperti pada kata:
makan dan sampai.
Fonem /n/. Fonem /n/ memiliki satu alofon, yakni [n], seperti pada kata: ikan
dan pantai.
Fonem /ñ/. Fonem /ñ/ memiliki satu alofon, yakni [ñ], seperti pada kata: ñiur
dan ñañian.
/.η Fonem / ], seperti pada kata: ñaraiη / memiliki satu alofon, yakni
[η Fonem / dan kal.η pa
25. Fonem /r/.Fonem /r/ memiliki satu alofon, yakni [r], seperti pada kata: raja dan
karya.
Fonem /l/.Fonem /l/ memiliki satu alofon, yakni [l], seperti pada kata: lama
dan palsu.
Fonem /w/.Fonem /w/ memiliki satu alofon, yakni [w], seperti pada kata:
waktu dan wafat.
Fonem /y/.Fonem /y/ memiliki satu alofon, yakni [y], seperti pada kata: yakin
dan yakin.
26. Perubahan Fonem
Pelafalan sebuah fonem dapat berbeda-beda karena tergantung pada
lingkungannya. ] dan⊃Misalnya bunyi /o/ jika pada silabe tertutup akan
dilafalkan [ jika berada pada silabe terbuka kan dilafalkan [o].Akan tetapi
perubahan pelafalan fonem dalam BI tidak bersifat fonetis. Berikut ini akan
dipaparkan beberapa macam perubahan fonem dalam BI.
Asimilasi dan Disimilasi
Asimilasi adalah peristiwa berubahnya sebuah bunyi menjadi bunyi yang lain
sebagai akibat adanya pengaruh bunyi dilingkungannya, sehinggga bunyi itu
menjadi sama atau mempunyai ciri-ciri yang sama dengan bunyi yang
mempengaruhinya seperti, /b/ pada kata sabtu lazim dilafalkan /p/. Perubahan
bunyi /b/ menjadi /p/ dalam hal ini disebabkan oleh adanya pengaruh fonem /t/
yang merupakan fonem hambat tak bersuara. Selain itu, perubahan fonem /b/
menjadi /p/ diklasifikasikan ke dalam asimilasi fonemis, karena perubahan itu
tidak mngakibatkan perubahan identitas fonem.
27. Asimilasi dikelompokkan menjadi tiga macam yaitu, asimilasi progresif,
asimilasi regresif dan asimilasi resiprokal. Pada asimilasi progresif, bunyi
yang diubah terletak di belakang bunyi yang mempengaruhinya. Pada
asimilasi regresif, bunyi yang diubah terletak di depan yang
mempengaruhinya. Sedangkan asimilasi resiprokal, perubahan itu terjadi pada
kedua bunyi yang saling mempengaruhi.
Disimilasi adalah perubahan yang terjadi bila bunyi yang sama berubah
menjadi tidak sama, misalnya kata cipta yang berasal dari bahasa Sangsekerta
citta. Bunyi /tt/ pada data terakhir berubah menjadi bunyi /pt/ dalam BI.
28. Arkifonem dan Kontraksi
Arkifonemadalah hilangnya kekontrasan dua fonem yang berbeda pada posisi
yang sama, misalnya [b] dan [p] pada kata jawab dan jawap. Kedua data
terakhir apabila dilekati akhiran {-an} bentuknya menjadi jawaban. Jadi, disini
ada arkifonem /B/ yang bisa direalisasikan menjadi [b] dan [p].
Kontraksi adalah penyingkatan atau pemendekan pelafalan suatu kata dalam
suatu bahasa, misalnya kata tidak tahu dilafalkan menjadi ndak tahu.
Metatesis dan Epentesis
Metatesis merupakan proses perubahan urutan fonem dalam suatu bahasa,
misalnya dalam bahasa Indonesia selain kita jumpai bentuk sapu terdapat pula
bentuk apus, selain kita jumpai bentuk jalur terdapat pula bentuk lajur, dan
lain-lain.
Epentesis merupakan penyisipan suatu fonem ke dalam suatu kata tertentu.
Bunyi yang disisipkan biasanya merupakan bunyi yang hormogan dengan
lingkungannya, misalnya fonem /m/ yang disisipkan pada kata sapi, fonem /m/
yang disisipkan pada kata kapak, dan lain-lain.

Fonologi adalah ilmu tentang perbendaharaan fonem sebuah bahasa dan distribusinya.
Hal-hal yang dibahas dalam fonologi antara lain sebagai berikut.

Bunyi Ujaran

Bila kita ditempatkan di tengah-tengah suatu lingkungan masyarakat yang


menggunakan suatu bahasa yang tak kita pahami sama sekali, serta mendengar
percakapan antar penutur-penutur bahasa itu, maka kita mendapat kesan bahwa apa
yang merangsang alat pendengar kita itu merupakan suatu arus-bunyi yang di sana-
sini diselingi perhentian sebentar atau lama menurut kebutuhan penuturnya. Bila
percakapan itu tarjadi antara dua orang atau lebih, akan tampak pada kita bahwa
sesudah seseorang menyelesaikan arus-bunyinya itu, maka yang lain akan
mengadakan reaksi . Reaksinya dapat berupa : mengeluarkan lagi arus-bunyi yang tak
dapat kita pahami itu, atau melakukan suatu tindakan tertentu.

Dari uraian di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa apa yang dalam pengertian
kita sehari-hari disebut bahasa itu meliputi dua bidang yaitu : bunyi yang dihasilkan
oleh alat-alat ucap dan arti atau makna yang tersirat dalam arus bunyi tadi; bunyi itu
merupakan getaran yang merangsang alat pendengar kita, serta arti atau makna adalah
isi yang terkandung di dalam arus bunyi yang menyebabkan adanya reaksi itu. Untuk
selanjutnya arus-bunyi itu kita namakan arus-ujaran.

Bila kita mengadakan pemotongan suatu arus-ujaran atas bagian-bagian atau segmen-
segmen, dan bagian-bagian itu dipotong-potong lagi dan seterusnya, akhirnya kita
sampai kepada unsur-unsur yang paling kecil yang disebut bunyi-ujaran . Tiap bunyi
ujaran dalam suatu bahasa mempunyai fungsi untuk membedakan arti. Bila bunyi-
ujaran itu sudah dapat membedakan arti maka ia disebut fonem ( phone = bunyi, -ema
= suatu akhiran dalam bahasa Yunani yang berarti mengandung arti ).

Bila kita melihat deretan kata-kata seperti: lari, dari, tari, mari, atau deretan lain
seperti: dari, daki, dasi, dahi, dan sebagainya, dengan jelas kita melihat bahwa bila
suatu unsur diganti dengan unsur lainnya akan terjadi pula akibat yang besar yaitu:
perubahan arti yang terkandung dalam kata itu. Ini dengan jelas menunjukkan bahwa
kesatuan-kesatuan yang kecil yang terjadi dari bunyi-ujaran itu mempunyai peranan
dalam membedakan arti.

1. Fonetik dan Fonemik

Bagian dari Tatabahasa yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa pada umumnya dalam
Ilmu Bahasa disebut fonologi .

a. Fonologi pada umumnya dibagi atas dua bagian yaitu Fonetik dan Fonemik

* Fonetik adalah ilmu yang menyelidiki dan menganalisa bunyi-bunyi ujaran yang
dipakai dalam tutur, serta mempelajari bagaimana menghasilkan bunyi-bunyi tersebut
dengan alat ucap manusia.
* Fonemik adalah ilmu yang mempelajari bunyi-ujaran dalam fungsinya sebagai
pembeda arti.

Jika dalam fonetik kita mempelajari segala macam bunyi yang dapat dihasilkan oleh
alat-alat ucap serta bagaimana tiap-tiap bunyi itu dilaksanakan, maka dalam fonemik
kita mempelajari dan menyelidiki kemungkinan-kemungkinan, bunyi-ujaran yang
manakah yang dapat mempunyai fungsi untuk membedakan arti.

b. Alat Ucap

Kita tidak akan memahami sebaik-baiknya segala macam bunyi-ujaran bila kita tidak
mengetahui sebaik-baiknya tetntang alat ucap yang menghasilkan bunyi-bunyi
tersebut. Sebab itu dalam Fonologi dipelajari juga bagian-bagian tubuh yang ada
sangkut-pautnya dengan menghasilkan bunyi-ujaran tersebut.

Bunyi-ujaran dihasilkan oleh berbagai macam kombinasi dari alat-ucap yang terdapat
dalam tubuh manusia. Ada tiga macam alat-ucap yang perlu untuk menghasilkan
suatu bunyi-ujaran, yaitu:

* Udara : yang dialirkan keluar dari paru-paru.


* Artikulator : bagian dari alat-ucap yang dapat digerakkan atau digeserkan untuk
menimbulkan suatu bunyi.
* Titik artikulasi : ialah bagian dari alat-ucap yang menjadi tujuan sentuh dari
artikulator.

Dalam menimbulkan bunyi-ujaran /k/ misalnya, dapat kita lihat kerja sama antara
ketiga faktor tersebut dia atas. Mula-mula udara mengalir keluar dari paru-paru,
sementara itu bagian belakang lidah bergerak ke atas serta merapat ke langit-langit
lembut. Akibatnya udara terhalang. Dalam hal ini belakang lidah menjadi
artikulatornya, karena belakang lidah merupakan alat-ucap yang bergerak atau
digerakkan, sedangkan langit-langit lembut menjadi titik artikulasinya, karena dia
tidak bergerak, dia menjadi tempat tujuan atau tempat sentuh belakang lidah.

Yang termasuk alat-ucap adalah: paru-paru (tempat asal aliran udara), tenggorokan, di
ujung atas tenggorokan ( laring ) terdapat pita suara. Ruang di atas pita suara hingga
ke perbatasan rongga hidung disebut faring . Alat-alat ucap yang terdapat dalam
rongga mulut adalah: bibir ( labium ), gigi ( dens ), lengkung kaki gigi ( alveolum ),
langit-langit keras ( palatum ), langit-langit lembut ( velum ), anak tekak ( uvula) ,
lidah, yang terbagi lagi atas beberapa bagian yaitu: ujung lidah ( apex ), lidah bagian
depan, lidah bagian belakang dan akar lidah.

Di samping rongga-rongga laring, faring dan rongga mulut sebagaimana telah


disebutkan di atas, rongga hidung juga memainkan peranan yang penting dalam
menghasilkan bunyi.

c. Pita Suara

Di ujung atas laring terdapatlah dua buah pita yang elastis yang disebut pita suara .
Letak pita suara itu horizontal. Antara kedua pita suara itu terdapat suatu celah yang
disebut glotis . Dalam menghasilkan suatu bunyi, pita suara itu dapat mengambil
empat macam sikap yang penting:

* Antara kedua pita suara terdapat celah ( glotis ). Celah ini pada suatu saat terbuka
lebar , serta udara yang mengalir keluar dari paru-paru tidak mendapat halangan
sehingga tidak terdengar geseran sedikitpun. Bunyi yang dihasilkan dengan posisi ini
adalah: /h/.
* Kebalikan dari posisi di atas adalah sikap di mana pita suara tertutup rapat . Udara
yang keluar dari paru-paru ditahan oleh pita suara yang tertutup rapat terbentang
tegang menutup laring. Bunyi yang dihasilkan dengan sikap ini adalah bunyi hamzah
( glotal stop ). Bunyi ini biasanya dilambangkan dengan /?/, atau dalam ejaan lama
dipergunakan tanda (').
* Posisi yang ketiga adalah bagian atas dari pita suara terbuka sedikit ; udara yang
keluar dapat juga menggetarkan pita suara. Segala macam bunyi-ujaran lainnya terjadi
dengan sikap pita suara ini. Bila udara yang keluar itu turut menggetarkan pita suara
maka terjadilah bunyi-ujaran yang bersuara ; bila pita suara tidak turut digetarkan
maka terjadilah bunyi-ujaran yang tak bersuara.
* Sikap yang keempat adalah bagian bawah dari pita suara terbuka sedikit . Dalam
sikap ini kekuatan udara itu hilang atau berkurang sehingga segala macam bunyi-
ujaran yang dihasilkan dengan sikap III berkurang juga. Peristiwa ini terjadi ketika
berbisik.

d. Vokal

Bila dalam menghasilkan suatu bunyi-ujaran, udara yang keluar dari paru-paru tidak
mendapat halangan sedikit juga, kita mendapat bunyi-ujaran yang disebut vokal .
Jenis dan macamnya vokal tidak tergantung dari kuat-lembutnya udara, tetapi
tergantung dari beberapa hal berikut:

1. Posisi bibir.

Yaitu bentuk bibir pada waktu mengucapkan suatu bunyi. Bibir dapat mengambil
posisi bundar atau rata.

* Bila bentuknya bundar terjadilah vokal bundar : o, u, a.


* Bila bentuknya rata terjadilah vokal tak bundar : i, e.

2. Tinggi-rendahnya lidah.

Lidah adalah bagian dari rongga mulut yang amat elastis. Jika ujung dan belakang
lidah dinaikkan, terjadilah bunyi yang disebut vokal belakang, misalnya: u, o, dan a.
Jika lidah rata, akan terjadi bunyi-ujaran yang disebut vokal pusat, yaitu e (pepet).

3. Maju-mundurnya lidah.

Yang menjadi ukuran maju mundurnya lidah adalah jarak yang terjadi antara lidah
dan alveolum. Apabila lidah itu dekat ke alveolum, bunyi-ujaran yang terjadi disebut
vokal atas, misalnya i dan u. Bila lidah diundurkan lagi, terjadilah bunyi yang disebut
vokal tengah, misalnya e. Bila lidah diundurkan sejauh-jauhnya, terjadilah bunyi yang
disebut vokal bawah, misalnya a.

Batasan : Vokal adalah bunyi-ujaran yang terjadi karena udara yang keluar dari paru-
paru tidak mendapat halangan.

4. Diftong.

Sebelum membicarakan jenis ujaran lain yang disebut konsonan, perlu dibicarakan
satu hal yang dalam Tatabahasa Tradisional disebut diftong. Menurut Tatabahasa
Tradisional, diftong adalah dua vokal berturutan yang diucapkan dalam suatu
kesatuan waktu¸ misalnya seperti yang terdapat dalam kata-kata ramai, pantai, pulau,
dan sebagainya. Urutan vokal seperti dalam kata dinamai, ditandai, dll. tidak termasuk
diftong, karena tiap-tiapnya diucapkan dalam kesatuan waktu yang berlainan.

Dalam tutur sehari-hari sering terjadi bahwa diftong itu dirubah menjadi satu bunyi
tunggal (monoftong), misalnya: kata-kata pantai, ramai, pulau berubah menjadi pante,
rame, pulo, dsb. Proses perubahan bunyi diftong menjadi monoftong dalam
Tatabahasa Tradisional disebut monoftongisasi. Sebaliknya dapat terjadi bahwa kata-
kata yang pada mulanya mengandung bunyi monoftong mengalami perubahan
menjadi diftong, misalnya kata-kata sentosa dan anggota dirubah menjadi sentausa
dan anggauta. Proses ini disebut diftongisasi.

Dalam Linguistik Modern pengertian diftong tidak digunakan lagi karena tidak sesuai
dengan hakekat dari bunyi-bunyi tersebut. Bila kita secara tegas mencatat bunyi-bunyi
tersebut dengan mempergunakan prinsip-prinsip Linguistik Modern, maka ada yang
ada hanya urutan-urutan konsonan-vokal. Secara fonetis kata-kata tersebut di atas
akan ditulis: /ramay/, /pantay/, /pulaw/, dan sebagainya.

5. Konsonan

Bila dalam menghasilkan suatu bunyi-ujaran, udara yang keluar dari paru-paru
mendapat halangan, maka terjadilah bunyi yang disebut konsonan . Halangan yang
dijumpai udara itu dapat bersifat sebagian yaitu dengan menggeserkan atau
mengadukkan arus udara itu.

Dengan memperhatikan bermacam-macam factor untuk menghasilkan konsonan,


maka kita dapat membagi konsonan-konsonan:

* Berdasarkan artikulator dan titik artikulasinya.


* Berdasarkan macam halangan udara yang dijumpai udara yang mengalir keluar.
* Berdasarkan turut-tidaknya pita suara bergetar.
* Berdasarkan jalan yang dilalui udara ketika keluar dari rongga-rongga ujaran.

Batasan : Konsonan adalah bunyi-ujaran yang terjadi karena udara yang keluar dari
paru-paru mendapat halangan.

1. Berdasarkan artikulator dan titik artikulasinya, konsonan-konsonan dapat dibagi


atas:
* Konsonan bi-labial, bunyi yang dihasilkan dengan mempertemukan kedua belah
bibir: /p/, /b/, /m/, dan /w/. Karena kedua belah bibir sama-sama bergerak, serta
keduanya juga menjadi titik sentuh dari bibir yang lainnya, maka sekaligus mereka
bertindak sebagai artikulator dan titik artikulasi.
* Konsonan labio-dental, adalah bunyi yang dihasilkan dengan mempertemukan gigi
atas sebagai titik artikulasi dan bibir bawah sebagai artikulatornya: /f/ dan /v/.
* Konsonan apiko-interdental, adalah bunyi yang terjadi dengan ujung lidah yang
bertindak sebagai artikulator dan daerah antar gigi sebagai titik artikulasinya: /t/
dan /n/.
* Konsonan apiko-alveolar, adalah bunyi yang dihasilkan oleh ujung lidah sebagai
artikulator dan lengkung kaki gigi sebagai titik artikulasinya: /d/ dan /n/.
* Konsonan palatal, adalah bunyi yang dihasilkan oleh bagian tengah lidah sebagai
artikulator dan langit-langit keras sebagai titik artikulasinya: /c/, /j/, dan /ny/.
* Konsonan velar, adalah bunyi yang dihasilkan oleh belakang lidah sebagai
artikulator dan langit-langit lembut sebagai titik artikulasinya: /k/, /g/, /ng/, dan /kh/.
* Hamzah (glottal stop), adalah bunyi yang dihasilkan dengan posisi pita suara
tertutup sama sekali, sehingga menghalangi udara yang keluar dari paru-paru. Celah
antara kedua pita suara tertutup rapat.
* Laringal, adalah bunyi yang terjadi karena pita suara terbuka lebar. Bunyi ini
dimasukkan dalam konsonan karena udara yang keluar mengalami gesekan.

2. Berdasarkan halangan yang dijumpai udara ketika keluar dari paru-paru, konsonan
dapat pula dibagi-bagi atas:

* Konsonan hambat (stop), merupakan konsonan yang terjadi karena udara yang
keluar dari paru-paru sama sekali dihalangi: /p/, /b/, /k/, /t/, /d/, dll. Dalam
pelaksanaannya, konsonan hambat dapat disudahi dengan suatu letusan; dalam hal ini
konsonan hambat itu disebut konsonan peletus atau konsonan eksplosif, misalnya
konsonan p dalam kata pukul, lapar. Atau konsonan hambat itu dapat dilaksanakan
dengan tidak ada letusan; maka hambat itu bersifat implosif, misalnya /t/ dalam kata
berat, parit, dll. Dengan cara sederhana dapat dikatakan bahwa hambat eksplosif
terdapat bila suatu konsonan hambat diikuti vokal, sedangkan konsonan hambat
implosif terjadi bila konsonan hambat itu tidak diikuti vokal.
* Frikatif (bunyi geser) , merupakan konsonan yang terjadi bila udara yang keluar dari
paru-paru digesekkan: /f/, /h/, dan /kh/.
* Spiran, merupakan konsonan yang terjadi bila udara yang keluar dari paru-paru
mendapat halangan berupa pengadukan diiringi bunyi desis: /s/, /z/, /sy/.
* Likuida, atau disebut juga lateral , merupakan bunyi yang dihasilkan dengan
mengangkat lidah ke langit-langit sehingga udara terpaksa diaduk dan keluat melalui
kedua sisi: /l/.
* Getar atau trill, adalah bunyi yang dihasilkan dengan mendekatkan lidah ke
alveolum atau pangkal gigi, kemudian lidah itu menjauhi alveolum lagi, dan
seterusnya terjadi berulang-ulang dengan cepat, sehingga udara yang keluar
digetarkan. Bunyi ini, yang dihasilkan dengan ujung lidah sebagai artikulator disebut
getar apikal . Di samping itu dalam Ilmu Bahasa dikenal pula semacam bunyi getar
lain yang mempergunakan anak tekak sebagai artikulatornya, dan yang bertindak
sebagai titik artikulasinya adalah belakang lidah. Konsonan getar macam ini disebut
getar uvular . Getar apikal dilambangkan dengan /r/, sedangkan getar uvular secara
fonetis dilambangkan dengan /R/.
3. Berdasarkan bergetar tidaknya pita suara, konsonan terbagi atas:

* Konsonan bersuara, jika pita suara turut bergetar: /b/, /d/, /n/, /g/, /w/, dan
sebagainya.
* Konsonan tak bersuara, jika pita suara tidak bergetar: /p/, /t/, /c/, /k/, dan
sebagainya.

4. Berdasarkan jalan yang diikuti arus udara ketika keluar dari rongga ujaran,
konsonan terbagi atas:

* Konsonan oral, jika udaranya keluar melalui rongga mulut: /p/, /b/, /k/, /d/, /w/ dan
sebagainya.
* Konsonan nasal, jika udaranya keluar melalui rongga hidung: /m/, /n/, /ny, /ng/.

d. Perubahan Fonem

Dalam pelaksanaan bunyi-bunyi ujaran, terjadilah pengaruh timbal-balik antara


bunyi-bunyi ujaran yang berdekatan. Karena adanya pengaruh timbal-balik itu
terjadilah perubahan-perubahan bunyi-ujaran; ada perubahan yang jelas kedengaran,
ada yang kurang jelas kedengaran perubahan yang tidak jelas misalnya fonem /a/ yang
berada dalam suku kata /a/ yang berada dalam suku kata terbuka kedengarannya lebih
nyaring bila dibandingkan dengan fonem /a/ yang terdapat dalam suku kata tertutup.
Bandingkan antara /a/ pada kata: pada, kata, rata , dengan pada kata: bedak, tidak,
sempat , dan lain-lain.

Perubahan-perubahan yang jelas kedengaran dan yang terpenting, yang biasa terdapat
dalam bahasa adalah:

1. Asimilasi dalam pengertian biasa berarti penyamaan . Dalam Ilmu Bahasa asimilasi
berarti proses di mana dua bunyi yang tidak sama disamakan atau dijadikan hamper
bersamaan. Asimilasi dapat dibagi berdasarkan beberapa segi, yaitu berdasarkan
tempat dari fonem yang diasimilasikan dan berdasarkan sifat asimilasi itu sendiri.

a. Berdasarkan tempat dari fonem yang diasimilasikan kita dapat membagi asimilasi
atas:

* Asimilasi progresif, bila bunyi yang diasimilasikan terletak sesudah bunyi yang
mengasimilasikan. Contoh dalam bahasa Indonesia sejauh ini belum dapat kami
temukan. Tetapi untuk memperjelas proses ini dapat diambil suatu contoh asing: Latin
Kuno: Colnis > Collis, dalam contoh di atas fonem /n/ diasimilasikan dengan fonem
/l/ yang mendahuluinya.

* Asimilasi regresif, bila bunyi yang diasimilasikan mendahului bunyi yang


mengasimilasikan, misalnya:

1. al salam (Arab) > assalam > asalam.


2. in + perfect > imperfect > imperfek
3. ad + similatio > assimilasi > asimilasi
4. in + moral > immoral > immoral, dan lain-lain.
b. Berdasarkan sifat asimilasi itu sendiri, kita dapat membedakan asimilasi atas:

* Asimilasi total, bila dua fonem yang disamakan itu dijadikan serupa benar:

1. ad + similatio > assimilasi > asimilasi


2. in + moral > immoral > imoral
3. al + salam > assalam > asalam

* Asimilasi parsial, bila kedua fonem yang disamakan hanya disamakan sebagian
saja, misalnya:

1. in + perfect > imperfect > imperfek


2. in + port > import > impor, dan lain-lain.

Dalam hal ini nasal apiko-alveolar dijadikan nasal bilabial, seduai dengan fonem /p/
yang bilabial, tetapi masih berbeda karena yang satu adalah nasal sedangkan yang lain
adalah konsonan hambat.

2. Disimilasi, Kebalikan dari asimilasi adalah disimilasi , yaitu proses di mana dua
bunyi yang sama dijadikan tidak sama. Contoh:

* kolonel > kornel


* lauk-lauk > lauk-pauk
* sayur-sayur > sayur-mayur

3. Suara bakti. Dalam mengucapkan kata-kata seperti gurauan, kepulauan, pakaian,


putra, putri, bahtra, dan lain sebagainya, terdengar bahwa dalam hubungan fonem-
fonem itu timbul lagi bunyi w atau atau y , antara u-a , dan antara i-a . Sedangkan
pada kata-kata putra, putrid, dan bahtra diselipkan bunyi e (pepet) antara t-r . Bunyi
ini sama sekali tidak mempunyai fungsi untuk membedakan arti; gunanya hanya
sebagai pelancar ucapan saja. Bunyi semacam itu disebut suara bakti .

Batasan: Suara bakti adalah bunyi yang timbul antara dua fonem, dan
mempunyaifungsi untuk melancarkan ucapan suatu kata.

e. Intonasi

Bila kita memperhatikan dengan cermat tutur bicara seseorang, maka arus ujaran
(bentuk bahasa) yang sampai ke telinga kita terdengar seperti berombak-ombak. Hal
ini terjadi karena bagian-bagian dari arus ujaran itu tidak sama nyaring diucapkan.
Ada bagian yang diucapkan lebih keras dan ada bagian yang diucapkan lebih lembut;
ada bagian yang diucapkan lebih tinggi dan ada bagian yang lebih rendah; ada bagian
yang diucapkan lambat-lambat dan ada bagian yang diucapkan dengan cepat. Di
samping itu disana-sini, arus ujaran itu masih dapat diputuskan untuk suatu waktu
yang singkat atau secara relatif lebih lama, dengan suara yang meninggi (naik),
merata, atau merendah (turun). Keseluruhan dari gejala-gejala ini yang terdapat dalam
suatu tutur disebut intonasi .

Berarti intonasi itu bukan merupakan suatu gejala tunggal, tetapi merupakan
perpaduan dari bermacam-macam gejala yaitu tekanan (stress), nada(pitch), durasi
(panjang-pendek), perhentian, dan suara yang meninggi, mendatar, atau merendah
pada akhir arus ujaran tadi. Intonasi dengan semua unsur pembentuknya itu disebut
unsur suprasegmental bahasa. Landasan intonasi adalah rangkaian nada yang diwarnai
oleh tekanan, durasi, perhentian dan suara yang menaik, merata, merendah pada akhir
arus ujaran itu.

Batasan: Intonasi adalah kerja sama antara nada, tekanan, durasi, dan perhentian-
perhentian yang menyertai suatu tutur, dari awal hingga ke perhentian terakhir.

Karena unsur yang terpenting dari intonasi adalah tekanan, nada, durasi, dan
perhentian, maka di bawah ini akan diberikan uraian singkat mengenai keempat
komponen itu.

1. Tekanan (Stress)

Yang dimaksud dengan tekanan (stress) adalah suatu jenis unsur suprasegmental yang
ditandai oleh keras-lembutnya arus ujaran . Arus ujaran yang lebih keras atau lebih
lembut ditentukan oleh amplitudo getaran, yang dihasilkan oleh tenaga yang lebih
kuat atau lebih lemah. Bila kita mengucapkan sepatah kata secara nyaring, misalnya
kata / perumahan/, akan terdengar bahwa dalam arus ujaran itu ada bagian yang lebih
keras diucapkan dari bagian yang lain. Baca selanjutnya...

2. Nada

Yang dimaksud dengan nada adalah suatu jenis unsur suprasegmental yang ditandai
oleh tinggi-rendahnya arus-ujaran.

Tinggi rendahnya arus-ujaran terjadi karena frekuensi getaran yang berbeda antar
segmen. Bila seseorang berada dalam kesedihan ia akan berbicara dengan nada yang
rendah. Sebaliknya bila berada dalam keadaan gembira atau marah, nada tinggilah
yang biasanya dipergunakan orang. Suatu perintah atau pertanyaan selalu disertai
nada yang khas. Nada dalam ilmu bahasa biasanya dilambangkan dengan angka
misalnya /2 3 2/ yang berarti segmen pertama lebih rendah bila dibandingkan dengan
segmen kedua, sedangkan segmen ketiga lebih rendah dari segmen kedua. Dengan
nada yang berbeda, bidang arti yang dimasukinya pun akan berbeda. Baca
selanjutnya...

3. Durasi

Yang dimaksud dengan durasi adalah suatu jenis unsur suprasegmental yang ditandai
oleh panjang pendeknya waktu yang diperlukan untuk mengucapkan sebuah segmen.

Dalam tutur, segmen-segmen dalam kata / tinggi / yaitu / ting / dan / gi / masing-
masingnya dapat diucapkan dalam waktu yang sama, tetapi dapat terjadi bahwa
seorang pembicara dapat mengucapkan segmen / ting / lebih lama dari segmen / gi /
atau sebaliknya. Baca selanjutnya...

4. Kesenyapan
Kesenyapan merupakan suatu proses yang terjadi selama berlangsungnya suatu tutur
atau suatu arus-ujaran, yang memutuskan arus-ujaran yang tengah berlangsung. Oleh
karena itu kesenyapan selalu berada dalam bidang tutur, minimal dalam bidang
kalimat.

Ada kesenyapan yang bersifat sementara atau berlangsung sesaat saja, yang
menunjukkan bahwa tutur itu masih akan dilanjutkan. Ada pula perhentian yang
sifatnya lebih lama, yang biasanya diikuti oleh suara yang menurun yang menyatakan
bahwa tutur atau bagian dari tutur itu telah mencapai kebulatan. Baca selanjutnya...

f. Huruf

Bagian terbesar dari sejarah umat manusia berada dalam kegelapan karena
perkembangan, perluasan, timbul-tenggelamnya bahasa-bahasa di muka bumi ini
tidak diketahui. Bangsa-bangsa dahulu kala tidak mengenal suatu cara untuk dapat
meninggalkan kepada kita riwayat hidup mereka. Sumber-sumber yang tertulis baru
saja diketahui, dan hanya meliputi beberapa ribu tahun saja.

Bukti-bukti tertulis itu dalam bentuk yang paling tua terdapat misalnya pada orang-
orang Indian Mexico berupa lukisan-lukisan. Suatu urutan lukisan menggambarkan
kepada kita suatu peristiwa tertentu. Cara ini biassa disebut piktograf. Piktograf itu
lambat laun dikembangkan sedemikian rupa hingga suatu lukisan dapat
menggambarkan pengertian-pengertian tertentu. Kata-kata yang berlainan tetapi
mempunyai bunyi yang sama juga dapat dilukiskan dengan tanda atau simbol yang
sama; sistem ini disebut ideograf atau logograf, yaitu suatu sistem dimana suatu kata
dilambangkan oleh suatu tanda, misalnya dalam huruf-huruf Tiongkok. Dalam sistem
kita yang modern ini masih dapat ditemukan sistem logograf ini, yaitu bila kita
melambangkan bilangan-bilangan memakai tanda-tanda: 1, 2, 3, 4, 5, dan sebagainya.

Dari sistem ideograf atau logograf itu kemudian diturunkan bermacam-macam


lambang yang mewakili suku kata saja. Contoh yang dapat dikemukakan adalah
huruf-huruf Jepang, Dewa Negari, Arab dan lain-lain. Untuk menunjukkan vokal
dalam huruf-huruf Arab dan Dewa Negari diberi tanda-tanda baru.perkembangan
yang paling akhir sebagai penyempurnaan dari sistem perlambangan atas suku kata
(silabis), adalah setiap bunyi dilambangkan dengan satu tanda. Sistem ini disebut
fonemis , misalnya aksara Latin, Yunani, Jerman, dan sebagainya.

Dengan bermacam-macam cara itulah orang dapat melukiskan bahasa dalam bentuk
lambang-lambang. Segala macam cara itu pada umumnya disebut huruf.

Di antara sekian macam sistem itu, huruf yang didasarkan atas satu lambang untuk
satu bunyi adalah sistem yang paling baik. Dan untuk selanjutnya pengertian huruf
yang akan dipakai adalah pengertian terakhir.

Jadi sejauh ini sekurang-kurangnya umat manusia telah mengenal 4 macam sistem
tulisan.

* Tulisan piktograf: urutan beberapa gambar untuk melukiskan suatu peristiwa,


misalnya pada orang Indian Mexico.
* Ideograf atau logograf: suatu tanda atau lambang mewakili sepatah kata atau
pengertian, misalnya huruf Cina.
* Tulisan silabis: suatu tanda untuk menggambarkan suatu suku kata, misalnya tulisan
Jepang, Dewa Negari, dan lain-lain.
* Tulisan fonemis: satu tanda untuk melambangkan satu bunyi, misalnya huruf Latin,
Yunani, Jerman dan lain-lain.

Batasan: Huruf adalah lambang atau gambaran dari bunyi .

Setiap sistem perlambangan bunyi-ujaran mempunyai urutan-urutan tertentu. Rentetan


urutan sistem Latin lain dari Yunani dan lain pula dari urutan sistem Rusia. Rentetan
huruf-huruf menurut sistem tertentu itu kita kenal dengan abjad atau alfabet . Jadi ada
alfabet Latin, ada alfabet Yunani dan lain-lain.

g. Ejaan

Dasar yang paling baik dalam melambangkan bunyi-ujaran atau bahasa adalah satu
bunyi-ujaran yang mempunyai fungsi untuk membedakan arti harus dilambangkan
dengan satu lambang tertentu. Dengan demikian pelukisan atas bahasa lisan itu akan
mendekati kesempurnaan, walaupun kesempurnaan yang dimaksud itu tentulah dalam
batas-batas ukuran kemanusiaan, masih bersifat relatif. Walaupun begitu literasi
(penulisan) bahasa itu belum memuaskan karena kesatuan intonasi yang bulat yang
menghidupkan suatu arus-ujaran itu hingga kini belum dapat diatasi. Sudah
diusahakan bermacam-macam tanda untuk tujuan itu tetapi belum juga memberi
kepuasan. Segala macam tanda baca untuk menggambarkan perhentian antara,
perhentian akhir, tekanan, tanda tanya, dan lain-lain adalah hasil dari usaha itu. Tetapi
hasil usaha itu belum dapat menunjukkan dengan tegas bagaimana suatu ujaran harus
diulang oleh yang membacanya. Segala macam tanda baca seperti yang disebut di atas
disebut tanda baca atau pungtuasi.

Walaupun sistem ejaan sekarang didasarkan atas sistem fonemis, yaitu satu tanda
untuk satu bunyi, namun masih terdapat kepincangan-kepincangan. Ada fonem yang
masih dilambangkan dengan dua tanda (diagraf), misalnya ng, ny, kh, dan sy. Jika kita
menghendaki kekonsekuenan terhadap prinsip yang dianut, maka diagraf-diagraf
tersebut harus dirubah menjadi monograf (satu fonem satu tanda). Di samping itu
masih terdapat kekurangan lain yang sangat mengganggu terutama dalam
mengucapkan kata-kata yang bersangkutan, yaitu ada dua fonem yang dilambangkan
dengan satu tanda saja yakni e (pepet) dan e (taling). Ini menimbulkan dualisme
dalam pengucapan.

Ejaan suatu bahasa tidak saja berkisar pada persoalan bagaimana melambangkan
bunyi-bunyi ujaran serta bagaimana menempatkan tanda-tanda baca dan sebagainya,
tetapi juga meliputi hal-hal seperti: bagaimana menggabungkan kata-kata, baik
dengan imbuhan-imbuhan maupun antara kata dengan kata. Pemotongan itu berguna
terutama bagaimana kita harus memisahkan huruf-huruf itu pada akhir suatu baris,
bila baris itu tidak memungkinkan kita menulils seluruh kata di sana. Apakah kita
harus memisahkan kata bunga menjadi bu – nga atau b – unga . Semuanya ini
memerlukan suatu peraturan umum, agar jangan timbul kesewenangan.

Batasan: Keseluruhan peraturan bagaimana menggambarkan lambang-lambang bunyi-


ujaran dan bagaimana inter-relasi antara lambang-lambang itu (pemisahannya,
penggabungannya) dalam suatu bahasa disebut ejaan.

h. Macam-Macam Ejaan

Sebelum tahun 1900 setiap peneliti bahasa Indonesia (pada waktu itu bahasa Melayu)
membuat sistem ejaannya sendiri-sendiri, sehingga tidak terdapat kesatuan dalam
ejaan. Pada tahun 1900, Ch. van Ophuysen mendapat perintah untuk menyusun ejaan
Melayu dengan mempergunakan aksara Latin. Dalam usahanya itu ia sekedar
mempersatukan bermacam-macam sistem ejaan yang sudah ada, dengan bertolak dari
sistem ejaaan bahasa Belanda sebagai landasan pokok. Dengan bantuan Engku
Nawawi gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim, akhirnya
ditetapkanlah ejaan itu dalam bukunya Kitab Logat Melajoe, yang terkenal dengan
nama Ejaan van Ophuysen atau ada juga yang menyebutnya Ejaan Balai Pustaka,
pada tahun 1901. Ejaan tersebut tidak sekali jadi tapi tatap mengalami perbaikan dari
tahun ke tahun dan baru pada tahun 1926 mendapat bentuk yang tetap.

Selama Kongres Bahasa Indonesia tahun 1938 telah disarankan agar ejaan itu lebih
banyak diinternasionalisasikan. Dan memang dalam perkembangan selanjutnya
terutama sesudah Indonesia merdeka dirasakan bahwa ada beberapa hal yang kurang
praktis yang harus disempurnakan. Sebenarnya perubahan ejaan itu telah
dirancangkan waktu pendudukan Jepang. Pada tanggal 19 Maret 1947 dikeluarkan
penetapan baru oleh Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan Suwandi (SK
No. 264/Bag.A/47) tentang perubahan ejaan bahasa Indonesia; sebab itu ejaan ini
kemudian terkenal dengan nama Ejaan Suwandi.

Sebagai dampak dalam keputusan di atas, bunyi oe tidak semuanya diganti dengan u.
Baru pada tahun 1949, menurut surat edaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
tanda oe mulai 1 Januari 1949 diganti dengan u.

Kongres Bahasa Indonesia II tahun 1954 kembali mempersoalkan masalah ejaan.


Sesuai dengan usul Kongres, kemudian dibentuk sebuah panitian dengan SK No.
44876 tanggal 19 Juli 1956. Panitia ini berhasil merumuskan patokan-patokan baru
pada tahun 1957. namun keputusan ini tidak dapat dilaksanakan karena ada usaha
untuk mempersamakan ejaan Indonesia dan Melayu. Sebab itu pada akhir tahun 1959
sidang perutusan Indonesia dan Melayu berhasil merumuskan suatu konsep ejaan
bersama yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu – Indonesia).
Tetapi konsep ejaan ini juga tidak jadi diumumkan karena perkembangan politik
kemudian.

Karena laju perkembangan pembangunan, maka dirasakan bahwa ejaan perlu


disempurnakan. Sebab itu, di tahun 1966 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Sarino Mangunpranoto dibentuk lagi sebuah Panitia Ejaan Bahasa Indonesia, yang
bertugas menyusun konsep baru, yang merangkum segala usaha penyempurnaan yang
terdahulu. Sesudah berkali-kali diadakan penyempurnaan, maka berdasarkan
Kepurusan Presiden No. 57 tahun 1972 diresmikan ejaan baru yang mulai berlaku
pada tanggal 17 Agustus 1972, yang dinamakan Ejaan Yang Disempurnakan (EYD).

i. Perubahan yang paling penting dalam EYD adalah:


Lama Yang Disempurnakan

* dj djalan j jalan
* j pajung y payung
* nj njonja ny nyonya
* sj* sjarat sy syarat
* tj tjakap c cakap
* ch* tarich kh tarikh

Kedua gabungan huruf ini sebenarnya tidak terdapat dalam ejaan lama. Di samping
itu diresmikan pula huruf-huruf berikut di dalam pemakaian:

* f maaf, fakir
* v valuta, universitas
* z zeni, lezat
* q, x huruf-huruf q dan x yang lazim digunakan dalam ilmu eksakta tetap dipakai.
Diposkan oleh Rahmat Hasmudi di 00.16

1. Bunyi Diftong

Dihasilkan dengan kualitas posisi lidah berubah,naik turun. Menurut Daniel


Jones dalam Yulianto(1988:39) ada 3 macam diftong :

1. Diftong naik (rishing diphthong), terjadi jika lidah naik saat


menghasilkannya. Saat mengucapkan vokal pertama lebih rendah
dibandingkan dengan vokal terakhir.

Diftong /ai/ pada pantai, /au/ pada pantau, /oi/ pada sepoi

2. Diftong turun (falling diphthong), saat menghasilkannya lidah bergerak


menurun. Tidak ditemukan dalam bahasa Indonesia, tetapi dalam bahasa
jawa.

Diftong /ua/ pada uadoh (sangat jauh), /uє/ pada uenteng (sangat ringan), /uo/
pada duawa (sangat panjang), /uә/ pada guedhe (sangat besar).

3. Diftong memusat (centring diphthong), arah lidah menuju lidah menuju


posisi saat menhasilkan vocal sedang-tengah (pusat). Terdapat dalam
bahasa Inggris. /iә/ pada ear (telinga), /ua/ pada poor (miskin),/єә/ pada
there (disana), /Oә/ pada floor (lantai)

4.

2. Klasifikasi Konsonan dan Alofonnya

Konsonan dihasilkan dengan cara merintangi udara saat pembentukanya.


Pembedaan konsonan ditentukan oleh tiga faktor : keadaan pita suara,
pendekatan alat-alat ucap, dan cara artikulasi.
a. Berdasarkan keadaan pita suara :

1. Konsonan bersuara (voice consonant), pita suara bergetar. Pita suara dalam
keadaan merapat dan merenggang, sehingga bunyi yang dihasilkan berat..
fonem konsonan bersuara /b/,/m/,/w/,/d/,/z/,/n/,/r/,/l/,/j/,/ň/,/y/,/g/,dan /ŋ/

2. Konsonan tak bersuara (voiceless consonant), pita suara lemah dalam


getarannya. Pita suara meranggang, sehingga udara mudah masuk.

Konsonan /p/,/f/,/t/,/s/./c/,/ś/,/k/,/x/,/?/,dan /h/. Bisa dibuktikan dengan cara


menutup lubang telinga rapat-rapat saat mengucapkan.

b. Berdasarkan daerah artikulasinya :

1. Konsonan bilabial, dihasilkan mempertemukan bibir bawah dengan bibir


atas. Konsonan /p/,/b/,/m/,/w/.

2. Konsonan labiodental, articulator adalah bibir bawah (labium) dengan titik


artikulasi gigi atas (dentum). Konsonan /f/,/v/

3. Konsonan apikodental, dihasilkan ujung lidah (apeks) dengan dentum (gigi


atas). Konsonan /n/,/t/,/d/

4. Konsonan apikoalveolar, antara ujung lidah dengan lengkung kaki gigi


(alveolum). Konsonan /t/,/d/,/l/,/r/

5. Konsonan laminoalveolar, daun lidah (lamina) menyentuh alveolum. /z/ dan


/s/

6. Konsonan palatal, tengah lidah (medium) menyentuh palatum (langit-langit


keras). Konsonan /c/,/j/,/ś/,/y/,/ň/

7. Konsonan velar, pangkal lidah (dorsum) dengan velum (langit-langit lunak).


Konsonan /k/,/g,/x/,/, dan / ŋ/

8. konsonan glottal, glotis dalam keadaa sempit (tertutup). Konsonan stop /?/,
dan /h/

c. Berdasarkan cara artikulasinya

1. Konsonan hambat (stop), yang dihasilkan dengan cara menutup arus udara
rapat sehingga udara terhenti seketika, lalu dilepaskan kembali secara tiba-
tiba. Tahap pertama (penutupan) disebut implosive, misal : /p/ pada atap
(stop implosif), dan /p/ pada paku (eksplosif)

Bunyi stop lain : /b/,/t/,/d/,/k/,/g/,/?/

2. Konsonan afrikatif (paduan), bunyi yang dihasilkan dengan cara arus udara
ditutup rapat, kemudian dilepas seara berangsur-angsur. Misal : /c/,/j/
3. Konsonan Frikatif (geser), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan menghambat
arus udara sehingga arus udara tetap dapat keluar. Misal :
/f/,/v/,/s/,/z/,/ś/,/x/

4. Konsonan tril (getar), dengan cara arus udara ditutup dn dibuka berulang-
ulang secara cepat. Misal : /r/

5. Konsonan lateral (samping), dengan cara arus udara ditutup sedemikian


rupa sehingga udara masih bisa keluar melalui salah satu atau kedua sisi-
sisi rongga mulut. Misal : /l/

6. konsonan nasal (hidung), arus udara yang lewat rongga mulut ditutup rapat,
sehingga dialirkan lewat rongga mulut. Misal /m/,/n/,/ň/, dan /ŋ/

3. Gugus Konsonan (kluster)

Gugus konsonan atau kluster merupakan deretan dua konsonan atau lebih yang
tergolong dalam satu suku kata yang sama (Moelyono dalam Yulianto,
1988:55). Tidak setiap konsonan yang berderet dapat dimasukkan gugus
konsonan/kluster. Pada kata makhluk/maXIU?/ bukan termasuk kluster, sebab
suku kata bentuk tersebut adalah makh/maX/ dan luk/lU?/. Sedangkan pada
kata mantra termasuk kluster sebab suku katanyta adalah man dan tra. /tr/ alam
satu kata.

Contoh lain : /pl/ pada plas-tik, /gr/ pada gra-fik, /ns/ trans-mi-gra-si /str/ pada
stra-te-gi, /skr/ pada skrip-si, /sw/ pada swa-la-yan, /dw/ pada dwi-fung-si

4. Suku Kata dan Polanya

Suku kata merupakan bagian kata yang diucapkan dalam satu hembusan nafas.
Suku kata umumnya terdiri atas beberapa fonem. Ada pula yang hanya terdiri
atas satu fonem. Ada pula suku kata yang bukan bagian dari kata, maksudnya
sebuah kata yang hanya terdiri atas satu suku kata. Kata yang demikian itu
disebut monosilabik.

Suku kata selalu ditandai adanya sebuah vokal. Vokal yang menandai suku
kata, dalam pengucapan selalu menampakkan kenyaringan/sonoritas. Vokal
inilah sebagai puncak suku kata. Konsonan yang mengawali vokal dalam suku
kata disebut tumpu suku (onset silaba) sedangkan konsonan yang mengakhiri
vokal disebut koda suku (koda silaba)

1. puncak suku : i-bu

2. puncak suku + koda suku : in-tan

3. tumpu suku + puncak suku : ti-kus

4. tumpu suku + puncak suku + koda suku : per-gi


Suku kata yang diakhiri dengan puncak suku/vokal disebut suku buka,
sedangkan suku kata yang diakhiri koda suku/konsonan disebut suku tutup.

Pola penyukuan tidak sama dengan pemenggalan kata. Penyukuan kata


berkaitan dengan kata sebagai satuan bunyi bahasa sedangkan pemenggalan
kata berhubungan dengan kata sebagai satuan tulisan. Pola suku kata lazimnya
ditandai dengan symbol “V’ dan “K” yang masing-masing menyatakan vokal
dan konsonan. Konsonan bahasa Indonesia dapat mengambil bentuk :

1. satu vokal (V) : i-bu,i-a

2. satu vokal dan satu konsonan (VK) : il-mu, ar-ti

3. satu konsonan dan satu vokal (KV) : ar-ti, pak-sa

4. satu konsonan, satu vokal, dan satu konsonan (KVK) : per-lu, sa-lam

5. dua konsonan dan dan satu vokal (KKV) : dra-ma

6. dua konsonan, satu vokal, dan satu konsonan (KKVK) : trak-tor

7. satu konsonan, satu vokal, dan dua vokal (KVKK) : teks-til

8. tiga konsonan dan satu vokal (KKKV) : stra-te-gi

9. tiga konsonan, satu vokal, dan satu konsonan (KKKVK) : struk-tur

10. dua konsonan,satu vokal, dan dua konsonan (KKVKK) : kom-pleks

11. satu konsonan, satu vokal, dan tiga konsonan (KVKKK) : korps

5. Bunyi segmental dan Suprasegmental

Bunyi segmental mengacu pada pengertian bunyi-bunyi yang dapat


disegmentasi/dipisah-pisahkan. Kata matang misalnya, dapat disegmentasi
menjadi /m/,/a/,/t/,/a/,/n/,/g/. Jelas bunyi-bunyi tersebut menunjukkan adanya
fonem. Dengan demikian, sebenarnya bunyi-bunyi bahasa yang telah
diuraikan sebelumnya adalah bunyi segmental.

Sedangkan bunyi suprasegmental tidak dapat disegmen-segmenkan karena


kehadiran bunyi ini selalu mengiringi, menindih, atau menemani bunyi
segmental. Bunyi suprasegmental dikelompokkan beberapa aspek :

(a) nada/pitch ( tinggi-rendah)

Dalam penuturan nada suara tidak fungsional/tidak membedakan makna.


Penuturan yang diucapkan secara berlagu, maknanya sama dengan ketika
diucapkan secara biasa.
[aku], [membaca], [buku] pengucapan dengan nada apapun tidak mengubah
makna.

(b) Tekanan/aksen

Tekanan dalam tuturan berfungsi membedakan maksud dalam tataran sintaksis


(kalimat), tetapi tidak membedakan makna dalam tataran kata (leksis).

Kata [menulis] ketika diucapkan pada silaba pertama [me] tetap sama
maknannya ketika diucapkan dengan tekanan pada silaba kedua atau ketiga.
Berbeda dengan kalimat Besok teman saya berangkat ke Surabaya, dapat
bermakna lima kemungkinan.

1. Besok teman saya berangkat ke Surabaya = maksudnya bukan hari ini atau
kemarin

2. Besok teman saya berangkat ke Surabaya = maksudnya bukan saudara saya


atau orang lain

3. Besok teman saya berangkat ke Surabaya = memang teman saya bukan


teman kamu

4. Besok teman saya berangkat ke Surabaya = memang benar-benar mau


berangkat

5. Besok teman saya berangkat ke Surabaya = berangkat ke Surabaya bukan


ke kota lain

(b) durasi

Tidak fungsional dalam dalam tataran kata. Kata [jatuh] diucapkan panjang-
pendek pada silaba pertama atau kedua sama saja [ja:tuh] atau [ja:tu:h]

Pada kalimat bermakna penyagatan. Awas, jatuh [ awa:s/jatu:h], dia sangat


perhatian padaku

(c) Jeda (kesenyapan)

Jeda ini terasa lebih fungsional bila dibanding dengan suprasegmental yang
lain.

1.a. Anak/pejabat yang nakal itu telah dimejahijaukan = yang nakal adalah
pejabat

b.Anak pejabat/yang nakal itu telah dimejahijaukan = yang nakal adalah anak
pejabat

2. a. Ia membeli buku/sejarah baru = yang baru sejarahnya

b. Ia membeli buku sejarah/baru = yang baru bukunya


Dalam penulisan untuk membedakan kekaburan makna frase-frase tersebut
diberi tanda penghubung (-)

1.a. Anak pejabat-yang nakal itu telah dimejahijaukan

b. Anak-pejabat yang nakal itu telah dimejahijaukan

2.a. Ia membeli buku sejarah-baru

b. Ia membeli buku-sejarah baru

(d) Intonasi

Dengan kajian intonasi, kalimat dalam bahasa Indonesia dibedakan menjadi


kalimat berita/deklaratif, kalimat tanya/interogatif, dan kalimat
perintah/imperatif

Kalimat deklaratif ditandai dengan intonasi datar-turun. Rumah sekarang


mahal

2 33/2 33/2 31,#

Kalimat interogatif dengan intonasi datar-naik, Rumah sekarang mahal ?

2 33/2 33/2 2-33,#

Kalimat imperative dengan intonasi datar-tinggi. Kamu sekarang ke sini!

2 33/2 33/3 33,#

6. Fonemik

Fonem adalah kesatuan bunyi terkecel suatu bahasa yang berfungsi membedakan
makna. Untuk mengetahuinya, maka harus membandingkan dengan bentuk-
bentuk lain.

Bentuk linguistic [palang] dapat dipisah menjadi [p],[a], [l],[a],[n],[g]. kelima


bentuk linguistic ini tidak mempunyai makna. Jika [p] diganti dengan bentuk lain,
misal [m] pada malang, [d] pada dalang, dan [g] pada galang, terbukti fonem [p]
berfungsi membedakan makna.

6.1 Fonemisasi dan Pasangan Minimal

Fonemisasi adalah prosedur menemukan fonem-fonem yang ada dalam suatu


bahasa. Fonemisasi bertujuan praktis menciptakan ejaan (ortografi) sebuah
bahasa.

Tahapan-tahapan fonemisasi : penyusunan (arranging), pembandingan


(comparing), dan penggabungan (combining).
Misal ditemukan kata-kata : baku, saku, buku, baru, dan baki disusun dan
dibandingkan, misal :

Baku baku baku baku

Saku buku baru baki

/b/ /s/ /a/ /u/ /k/ /r/ /u/ /i/

Pada penggabungan ditemukan fonem /b/,/s/,/a/,/u/,/i/,/k/,/r/.

Pasangan Minimal/minimal pairs adalah seperangkat kata yang memiliki jumlag


fonem sama, juga jenis fonem yang sama, kecuali fonem yang berbeda pada
urutan yang sama, sedangkan artinya berbeda.

Contoh : data babak cocok

dada bapak coco?

dana b, p k, ?

t,d,n

6.2 Distribusi Komplementer dan Variasi Bebas

Bunyi-bunyi yang secara fonetis mirip apabila berdistribusi komplementer


merupakan sebuah fonem. Contoh : bunyi /k/ pada paku dan/k/ pada maki seara
fonetis sama persis. Bunyi /k/ yang pertama tergolong velar belakang karena
dipengaruhi bunyi vokal /u/, dan bunyi /k/ yang kedua tergolong velar depan
karena dipengaruhi vokal /i/. juga pada /y/ pada yaitu dan yang.

Variasi bebas adalah bunyi-bunyi yang secara fonetis mirip, jika dapat saling
menggantikan dalam suatu kata dan tidak menyebabkan perubahan arti. Hal ini
merupakan sebuah fonem. Hal ini terdapat dalam bahasa-bahasa yang mempunyai
beberapa dialek.

Misal : telur patur lubang juang

telor pastor lobang joang

6.3 Fonem dan Distribusi Fonem

Terdapat enam fonem vokal (monoftong) dalam bahasa Indonesia :


/i/,/e/,/ә/,/u/,/a/dan,/o/

Terdapat diftong (vokal rangkap), yakni /ay/,/aw, dan /oy/ sedangkan konsonan
meliputi :
/y/,/w/,/l/,/p/,/b/,/f/,/m/,/t/,/d/,/c/,/j/,/s/,/z/,/r/,/n/,/ň/,/ś/,/?/,/k/,/g/,/X/,/ŋ/,dan /h/
Kasus /f/ dan /v/ dalam ejaan bahasa Indonesia kedua lambing/grafem ini
digunakan. Namun, kedua huruf/grafem itu melambangkan satu fonem, yaitu /f/.
Seperti kata ditulis fariasi atau variasi tidak akan menimbulkan perbedaan arti.
Sama halnya dengan /q/ dan /k/ yang dilambangkan dalam satu fonem /k/

g fonem
r
a
f
e
m
c
o
n
t
o
h
i /i/
i
b
u
,

b
a
I
k

a
l
o
f
o
n
uusa u
p,
agU
ŋI
U e є bebas, kәlєreŋ
e
ә є
o o
t
o
k
o
,
t
O
k
O
h
a a
a
p
a
,
p
a
k
s
a
O
a ay
i
p
a
n
t
a
i
a aw
u
p
u
l
a
u
o oy
i
a
m
b
o
i
y y
s
a
y
a
,

y
h
a
i
t
u
w w
s
e
w
a
y
h
l l
p
u
l
a
p p
a
t
a
p
F f

d
a
n

v
T
a
r
a
f
,

v
o
k
a
l
m m
m
a
t
i
t t
t
e
t
a
p
d d
p
a
d
a
c c
c
e
c
a
k
j j
j
u
g
a
S s
d
a
n

s
h
I
r
i
s
,
s
h
o
l
a
t
z z
A
z
i
s
,
z
a
m
a
n
r r
r
u
s
a
n n
m
a
n
t
a
p
n ň
y
n
y
a
n
y
i
s ś
y
s
y
a
r
a
t
T ?
i
d
a
k

a
d
a
(
z
e
r
o
)
m
a
?
a
f
=
m
a
a
f
K k

d
a
n

q
K
u
d
a
,

q
u
r
a
n
g g
g
a
d
u
n
g
k X
h
m
a
X
l
U
?
=
m
a
k
h
l
u
k
n ŋ
g
d
e
n
g
a
n
h h
P
i
h
a
k
,

t
a
h
u
(
p
a
h
a
m
)

ĥFonem-fonem dapat didistribusikan dengan lengkap (inisial/awal kata,


medial/tengah kata, dan final/akhir kata.

7. Proses Fonologis

Segala proses yang menyangkut terjadinya perubahan bunyi bahasa. Perubahan terjadi
pada kata dasar, maupun kata turunan akibat afiksasi ataupun proses morfologis
lainnya.

1. Asimilasi, adalah proses perubahan bunyi yang mengakibatkan mirip atau sama
dengan bunyi lain di dekatnya. Contoh : kata tentang dan tendang. /t./ pertama
diucapkan apikodental, sedangkan /t/ kedua diucapkan apikoalveolar karena
mengikuti bunyi /d/

2. Disimilasi, adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang sama atau mirip menjadi
bunyi yang tidak sama atau berbeda. Contoh : kata belajar berasal dari ber+ajar,
seharusnya berajar, karena ada dua bunyi /r/ maka disimilasi menjadi belajar

3. Modifikasi Vokal, perubahan bunyi vokal sebagai akibat dari pengaruh bunyi lain
yang mengikutinya. Contoh : kata balik. Vokal /i/yang diucapkan rendah. Tetapi
ketika mendapat akhiran-an menjadi balikan, tergolong /i/ tinggi. Perubahan ini
disebut metafoni

Kata toko dan tokoh. Bunyi vokal pertama /o/ dan vokal kedua /O/ karena silaba
kedua berbunyi /O/ pada tokoh, maka silaba /o/ pertama pada tokoh juga harus
berbunyi/O/. Perubahan ini disebut apofoni.

4. Zeroisasi, penghilangan bunyi fonemis sebagai upaya penghematan. Ada tiga


model

a. aferesis : penghilangan fonem pada awal kata Contoh : tapi untuk tetapi, peperment
menjadi permen.

b. apokop : penghilangan satu atau lebih fonem pada akhir kata. Misal : president
menjadi presiden

c. sinkop : penghilangan pada tengah kata. Contoh : baharu pada baru, dahulu pada
dulu

5. Metatesis, perubahan urutan bunyi fonbemis pada suatu kata, sehingga menjadi dua
bentuk kata yang bersaing. Contoh : kerikil menjadi kelikir, jalur menjadi lajur

6. Diftongisasi, perubahan bunyi monoftong menjadi diftong. Contoh: sentosa


menjadi sentausa, teladan menjadi tauladan

7. Monoftongisasi, perubahan dua bunyi vokal menjadi vokal tunggal. Contoh : ramai
menjadi rame, kalau menjadi kalo, petai menjadi pete

8. Anaptiksis, perubahan bunyi dengan jalan menambahkan bunyi vokal tertentu


untuk memperlancar uacapan. Ada tiga jenis :

a. protesis, penambahan pada awal kata. Contoh : mpu menjadi empu, ,mas menjadi
emas

b. epentesis, penambahan bunyi pada tengah kata. Misal : kapak menjadi kampak,
upama menjadi umpama, sajak menjadi sanjak

c. paragog adalah penambahan bunyi pada akhir kata. Contoh : ina menjadi inang,
hulubala menjadi hulubalang.

Diposkan oleh IMAM SUHAIRI di 07.57

You might also like