Professional Documents
Culture Documents
Fonologi
Pengertian Fonologi adalah bagian tata bahasa atau bidang ilmu bahasa yang
menganalisis bunyi bahasa secara umum. Istilah fonologi, yang berasal dari gabungan
kata Yunani phone 'bunyi' dan 'logos' tatanan, kata, atau ilmu' dlsebut juga tata bunyi.
Bidang ini meliputi dua bagian.
Fonetik, yaitu bagian fonologi yang mempelajari cara menghasilkan bunyi bahasa
atau bagaimana suate bunyi bahasa diproduksi oleh alat ucap manusia.
Fonemik, yaitu bagian fonologi yang mempelajari bunyi ujaran menurut fungsinya
sebagai pembeda arti.
Bunyi ujaran yang bersifat netral, atau masih belum terbukti membedakan arti disebut
fona, sedang fonem ialah satuan bunyi ujaran terkecil yang membedakan arti. Variasi
fonem karena pengaruh lingkungan yang dimasuki disebut alofon. Gambar atau
lambang fonem dinamakan huruf. Jadi fonem berbeda dengan huruf.
Unluk menghasilkan suatu bunyi atau fonem, ada tiga unsur yang penting yaitu :
1. udara,
2. artikulator atau bagian alat ucap yang bergerak, dan
3. titik artikulasi atau bagian alat ucap yang menjadi titik sentuh artikulator.
Vokal dan Konsonan
Vokal adalah fonem yang dihasilkan dengan menggerakkan udara keluar tanpa
rintangan. Konsonan adalah fonem yang dihasilkan dengan menggerakkan udara
keluar dengan rintangan.
Yang dimaksud dengan rintangan dalam hal ini adalah terhambatnya udara keluar
oleh adanya gerakan atau perubahan posisi artikulator .
Diftong
Diftong adalah dua vokal beurutan yang diucapkan dalam satu kesatuan waktu.
Diftong dalam babasa Indonesia adalah ai ,au, dan oi.
Contoh :petai, lantai, pantai, santai, harimau, kerbau, imbau, pulau, amboi.
Fonem dan Pembuktiannya
Fonem adalah satuan bunyi terkecil yang berfungsi membedakan arti. Fonem dapat
dibuktikan melalui pasangan minimal. Pasangan minimal adalah pasangan kata dalam
satu bahasa yang mengandung kontras minimal.
Contoh :
- pola & rnembedakan /o/ dan→pula /u/
- barang & membedakan /b/ dan /p/→parang
Fonem dan Huruf
Bahasa Indonesia memakai ejaan fonemis, artinya setiap hunuf melambangkan satu
fonem. Namun demikian masih terdapat fonem-fonem yang dilambangkan dengan
diagraf (dua hunuf melambangkan satu fonem) seperti ny, ng, sy, dan kh.
Di samping itu ada pula diafon (satu huruf yang melambangkan dua fonem) yakni
huruf e yang digunakan untuk menyatakan e pepet dan e taling.
Huruf e melambangkan e pepet terdapat pada kata seperti : sedap, segar, terjadi. Huruf
e melambangkan e taling terdapat pada kata seperti : ember, tempe, dendeng
Diposkan oleh Widi Blog di 09.13
Label: Linguistik
Bidang Pembahasannya
Fonologi mempunyai dua cabang kajian,
Pertama, fonetik yaitu cabang kajian yang mengkaji bagaimana bunyi-bunyi fonem
sebuah bahasa direalisasikan atau dilafalkan. Fonetik juga mempelajari cara kerja
organ tubuh manusia terutama yang berhubungan dengan penggunaan bahasa. Chaer
(2007) membagi urutan proses terjadinya bunyi bahasa itu, menjadi tiga jenis fonetik,
yaitu:
b) fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena
alam (bunyi-bunyi itu diselidiki frekuensi getaranya, aplitudonya,dan intensitasnya.
Dari ketiga jenis fonetik tersebut yang paling berurusan dengan dunia lingusitik
adalah fonetik artikulatoris, sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah
bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia. Sedangkan
fonetik akustik lebih berkenaan dengan bidang fisika, dan fonetik auditoris berkenaan
dengan bidang kedokteran.
Kedua, fonemik yaitu kesatuan bunyi terkecil suatu bahasa yang berfungsi
membedakan makna. Chaer (2007) mengatakan bahwa fonemik mengkaji bunyi
bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata. Misalnya bunyi [l], [a],
[b] dan [u]; dan [r], [a], [b] dan [u] jika dibandingkan perbedaannya hanya pada
bunyi yang pertama, yaitu bunyi [l] dan bunyi [r]. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa kedua bunyi tersebut adalah fonem yang berbeda dalam bahasa
Indonesia, yaitu fonem /l/ dan fonem /r/.
Kedudukan Fonologi dalam Cabang-cabang Linguistik
Sebagai bidang yang berkosentrasi dalam deskripsi dan analisis bunyi-bunyi ujar,
hasil kerja fonologi berguna bahkan sering dimanfaatkan oleh cabang-cabang
linguitik yang lain, misalnya morfologi, sintaksis, dan semantik.
Bidang morfologi yang kosentrasinya pada tataran struktur internal kata sering
memanfaatkan hasil studi fonologi, misalnya ketika menjelaskan morfem dasar
{butuh} diucapkan secara bervariasi antara [butUh] dan [bUtUh] serta diucapkan
[butuhkan] setelah mendapat proses morfologis dengan penambahan morfem sufiks
{-kan}.
Bidang sintaksis yang berkosentrasi pada tataran kalimat, ketika berhadapan dengan
kalimat kamu berdiri. (kalimat berita), kamu berdiri? (kalimat tanya), dan kamu
berdiri! (kalimat perintah) ketiga kalimat tersebut masing-masing terdiri dari dua kata
yang sama tetapi mempunyai maksud yang berbeda. Perbedaan tersebut dapat
dijelaskan dengan memanfaatkan hasil analisis fonologis, yaitu tentang intonasi, jedah
dan tekanan pada kalimat yang ternyata dapat membedakan maksud kalimat, terutama
dalam bahasa Indonesia.
Bidang semantik, yang berkosentrasi pada persoalan makna kata pun memanfaatkan
hasil telaah fonologi. Misalnya dalam mengucapkan sebuah kata dapat divariasikan,
dan tidak. Contoh kata [tahu], [tau], [teras] dan [t∂ras] akan bermakna lain.
Sedangkan kata duduk dan didik ketika diucapkan secara bervariasi [dudU?],
[dUdU?], [didī?], [dīdī?] tidak membedakan makna. Hasil analisis fonologislah yang
membantunya.
Cabang-Cabang Fonologi
Fonetikmerupakan cabang fonologi yang menyelidiki bunyi bahasa menurut
cara pelafalan, sifat-sifat akuistiknya, dan cara penerimaannya oleh telinga
manusia.
Ketika kita medeskripsikan bahwa bunyi [p] dalam bahasa Indonesia adalah
bunyi yang dilafalkan dengan menutup kedua bibir lalu melepaskannya
sehingga udara keluar dengan letupan. Deskripsi seperti itu adalah deskripsi
fonetis.
Fonologi adalah ilmu tentang perbendaharaan fonem sebuah bahasa dan distribusinya.
Hal-hal yang dibahas dalam fonologi antara lain sebagai berikut.
Bunyi Ujaran
Dari uraian di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa apa yang dalam pengertian
kita sehari-hari disebut bahasa itu meliputi dua bidang yaitu : bunyi yang dihasilkan
oleh alat-alat ucap dan arti atau makna yang tersirat dalam arus bunyi tadi; bunyi itu
merupakan getaran yang merangsang alat pendengar kita, serta arti atau makna adalah
isi yang terkandung di dalam arus bunyi yang menyebabkan adanya reaksi itu. Untuk
selanjutnya arus-bunyi itu kita namakan arus-ujaran.
Bila kita mengadakan pemotongan suatu arus-ujaran atas bagian-bagian atau segmen-
segmen, dan bagian-bagian itu dipotong-potong lagi dan seterusnya, akhirnya kita
sampai kepada unsur-unsur yang paling kecil yang disebut bunyi-ujaran . Tiap bunyi
ujaran dalam suatu bahasa mempunyai fungsi untuk membedakan arti. Bila bunyi-
ujaran itu sudah dapat membedakan arti maka ia disebut fonem ( phone = bunyi, -ema
= suatu akhiran dalam bahasa Yunani yang berarti mengandung arti ).
Bila kita melihat deretan kata-kata seperti: lari, dari, tari, mari, atau deretan lain
seperti: dari, daki, dasi, dahi, dan sebagainya, dengan jelas kita melihat bahwa bila
suatu unsur diganti dengan unsur lainnya akan terjadi pula akibat yang besar yaitu:
perubahan arti yang terkandung dalam kata itu. Ini dengan jelas menunjukkan bahwa
kesatuan-kesatuan yang kecil yang terjadi dari bunyi-ujaran itu mempunyai peranan
dalam membedakan arti.
Bagian dari Tatabahasa yang mempelajari bunyi-bunyi bahasa pada umumnya dalam
Ilmu Bahasa disebut fonologi .
a. Fonologi pada umumnya dibagi atas dua bagian yaitu Fonetik dan Fonemik
* Fonetik adalah ilmu yang menyelidiki dan menganalisa bunyi-bunyi ujaran yang
dipakai dalam tutur, serta mempelajari bagaimana menghasilkan bunyi-bunyi tersebut
dengan alat ucap manusia.
* Fonemik adalah ilmu yang mempelajari bunyi-ujaran dalam fungsinya sebagai
pembeda arti.
Jika dalam fonetik kita mempelajari segala macam bunyi yang dapat dihasilkan oleh
alat-alat ucap serta bagaimana tiap-tiap bunyi itu dilaksanakan, maka dalam fonemik
kita mempelajari dan menyelidiki kemungkinan-kemungkinan, bunyi-ujaran yang
manakah yang dapat mempunyai fungsi untuk membedakan arti.
b. Alat Ucap
Kita tidak akan memahami sebaik-baiknya segala macam bunyi-ujaran bila kita tidak
mengetahui sebaik-baiknya tetntang alat ucap yang menghasilkan bunyi-bunyi
tersebut. Sebab itu dalam Fonologi dipelajari juga bagian-bagian tubuh yang ada
sangkut-pautnya dengan menghasilkan bunyi-ujaran tersebut.
Bunyi-ujaran dihasilkan oleh berbagai macam kombinasi dari alat-ucap yang terdapat
dalam tubuh manusia. Ada tiga macam alat-ucap yang perlu untuk menghasilkan
suatu bunyi-ujaran, yaitu:
Dalam menimbulkan bunyi-ujaran /k/ misalnya, dapat kita lihat kerja sama antara
ketiga faktor tersebut dia atas. Mula-mula udara mengalir keluar dari paru-paru,
sementara itu bagian belakang lidah bergerak ke atas serta merapat ke langit-langit
lembut. Akibatnya udara terhalang. Dalam hal ini belakang lidah menjadi
artikulatornya, karena belakang lidah merupakan alat-ucap yang bergerak atau
digerakkan, sedangkan langit-langit lembut menjadi titik artikulasinya, karena dia
tidak bergerak, dia menjadi tempat tujuan atau tempat sentuh belakang lidah.
Yang termasuk alat-ucap adalah: paru-paru (tempat asal aliran udara), tenggorokan, di
ujung atas tenggorokan ( laring ) terdapat pita suara. Ruang di atas pita suara hingga
ke perbatasan rongga hidung disebut faring . Alat-alat ucap yang terdapat dalam
rongga mulut adalah: bibir ( labium ), gigi ( dens ), lengkung kaki gigi ( alveolum ),
langit-langit keras ( palatum ), langit-langit lembut ( velum ), anak tekak ( uvula) ,
lidah, yang terbagi lagi atas beberapa bagian yaitu: ujung lidah ( apex ), lidah bagian
depan, lidah bagian belakang dan akar lidah.
c. Pita Suara
Di ujung atas laring terdapatlah dua buah pita yang elastis yang disebut pita suara .
Letak pita suara itu horizontal. Antara kedua pita suara itu terdapat suatu celah yang
disebut glotis . Dalam menghasilkan suatu bunyi, pita suara itu dapat mengambil
empat macam sikap yang penting:
* Antara kedua pita suara terdapat celah ( glotis ). Celah ini pada suatu saat terbuka
lebar , serta udara yang mengalir keluar dari paru-paru tidak mendapat halangan
sehingga tidak terdengar geseran sedikitpun. Bunyi yang dihasilkan dengan posisi ini
adalah: /h/.
* Kebalikan dari posisi di atas adalah sikap di mana pita suara tertutup rapat . Udara
yang keluar dari paru-paru ditahan oleh pita suara yang tertutup rapat terbentang
tegang menutup laring. Bunyi yang dihasilkan dengan sikap ini adalah bunyi hamzah
( glotal stop ). Bunyi ini biasanya dilambangkan dengan /?/, atau dalam ejaan lama
dipergunakan tanda (').
* Posisi yang ketiga adalah bagian atas dari pita suara terbuka sedikit ; udara yang
keluar dapat juga menggetarkan pita suara. Segala macam bunyi-ujaran lainnya terjadi
dengan sikap pita suara ini. Bila udara yang keluar itu turut menggetarkan pita suara
maka terjadilah bunyi-ujaran yang bersuara ; bila pita suara tidak turut digetarkan
maka terjadilah bunyi-ujaran yang tak bersuara.
* Sikap yang keempat adalah bagian bawah dari pita suara terbuka sedikit . Dalam
sikap ini kekuatan udara itu hilang atau berkurang sehingga segala macam bunyi-
ujaran yang dihasilkan dengan sikap III berkurang juga. Peristiwa ini terjadi ketika
berbisik.
d. Vokal
Bila dalam menghasilkan suatu bunyi-ujaran, udara yang keluar dari paru-paru tidak
mendapat halangan sedikit juga, kita mendapat bunyi-ujaran yang disebut vokal .
Jenis dan macamnya vokal tidak tergantung dari kuat-lembutnya udara, tetapi
tergantung dari beberapa hal berikut:
1. Posisi bibir.
Yaitu bentuk bibir pada waktu mengucapkan suatu bunyi. Bibir dapat mengambil
posisi bundar atau rata.
2. Tinggi-rendahnya lidah.
Lidah adalah bagian dari rongga mulut yang amat elastis. Jika ujung dan belakang
lidah dinaikkan, terjadilah bunyi yang disebut vokal belakang, misalnya: u, o, dan a.
Jika lidah rata, akan terjadi bunyi-ujaran yang disebut vokal pusat, yaitu e (pepet).
3. Maju-mundurnya lidah.
Yang menjadi ukuran maju mundurnya lidah adalah jarak yang terjadi antara lidah
dan alveolum. Apabila lidah itu dekat ke alveolum, bunyi-ujaran yang terjadi disebut
vokal atas, misalnya i dan u. Bila lidah diundurkan lagi, terjadilah bunyi yang disebut
vokal tengah, misalnya e. Bila lidah diundurkan sejauh-jauhnya, terjadilah bunyi yang
disebut vokal bawah, misalnya a.
Batasan : Vokal adalah bunyi-ujaran yang terjadi karena udara yang keluar dari paru-
paru tidak mendapat halangan.
4. Diftong.
Sebelum membicarakan jenis ujaran lain yang disebut konsonan, perlu dibicarakan
satu hal yang dalam Tatabahasa Tradisional disebut diftong. Menurut Tatabahasa
Tradisional, diftong adalah dua vokal berturutan yang diucapkan dalam suatu
kesatuan waktu¸ misalnya seperti yang terdapat dalam kata-kata ramai, pantai, pulau,
dan sebagainya. Urutan vokal seperti dalam kata dinamai, ditandai, dll. tidak termasuk
diftong, karena tiap-tiapnya diucapkan dalam kesatuan waktu yang berlainan.
Dalam tutur sehari-hari sering terjadi bahwa diftong itu dirubah menjadi satu bunyi
tunggal (monoftong), misalnya: kata-kata pantai, ramai, pulau berubah menjadi pante,
rame, pulo, dsb. Proses perubahan bunyi diftong menjadi monoftong dalam
Tatabahasa Tradisional disebut monoftongisasi. Sebaliknya dapat terjadi bahwa kata-
kata yang pada mulanya mengandung bunyi monoftong mengalami perubahan
menjadi diftong, misalnya kata-kata sentosa dan anggota dirubah menjadi sentausa
dan anggauta. Proses ini disebut diftongisasi.
Dalam Linguistik Modern pengertian diftong tidak digunakan lagi karena tidak sesuai
dengan hakekat dari bunyi-bunyi tersebut. Bila kita secara tegas mencatat bunyi-bunyi
tersebut dengan mempergunakan prinsip-prinsip Linguistik Modern, maka ada yang
ada hanya urutan-urutan konsonan-vokal. Secara fonetis kata-kata tersebut di atas
akan ditulis: /ramay/, /pantay/, /pulaw/, dan sebagainya.
5. Konsonan
Bila dalam menghasilkan suatu bunyi-ujaran, udara yang keluar dari paru-paru
mendapat halangan, maka terjadilah bunyi yang disebut konsonan . Halangan yang
dijumpai udara itu dapat bersifat sebagian yaitu dengan menggeserkan atau
mengadukkan arus udara itu.
Batasan : Konsonan adalah bunyi-ujaran yang terjadi karena udara yang keluar dari
paru-paru mendapat halangan.
2. Berdasarkan halangan yang dijumpai udara ketika keluar dari paru-paru, konsonan
dapat pula dibagi-bagi atas:
* Konsonan hambat (stop), merupakan konsonan yang terjadi karena udara yang
keluar dari paru-paru sama sekali dihalangi: /p/, /b/, /k/, /t/, /d/, dll. Dalam
pelaksanaannya, konsonan hambat dapat disudahi dengan suatu letusan; dalam hal ini
konsonan hambat itu disebut konsonan peletus atau konsonan eksplosif, misalnya
konsonan p dalam kata pukul, lapar. Atau konsonan hambat itu dapat dilaksanakan
dengan tidak ada letusan; maka hambat itu bersifat implosif, misalnya /t/ dalam kata
berat, parit, dll. Dengan cara sederhana dapat dikatakan bahwa hambat eksplosif
terdapat bila suatu konsonan hambat diikuti vokal, sedangkan konsonan hambat
implosif terjadi bila konsonan hambat itu tidak diikuti vokal.
* Frikatif (bunyi geser) , merupakan konsonan yang terjadi bila udara yang keluar dari
paru-paru digesekkan: /f/, /h/, dan /kh/.
* Spiran, merupakan konsonan yang terjadi bila udara yang keluar dari paru-paru
mendapat halangan berupa pengadukan diiringi bunyi desis: /s/, /z/, /sy/.
* Likuida, atau disebut juga lateral , merupakan bunyi yang dihasilkan dengan
mengangkat lidah ke langit-langit sehingga udara terpaksa diaduk dan keluat melalui
kedua sisi: /l/.
* Getar atau trill, adalah bunyi yang dihasilkan dengan mendekatkan lidah ke
alveolum atau pangkal gigi, kemudian lidah itu menjauhi alveolum lagi, dan
seterusnya terjadi berulang-ulang dengan cepat, sehingga udara yang keluar
digetarkan. Bunyi ini, yang dihasilkan dengan ujung lidah sebagai artikulator disebut
getar apikal . Di samping itu dalam Ilmu Bahasa dikenal pula semacam bunyi getar
lain yang mempergunakan anak tekak sebagai artikulatornya, dan yang bertindak
sebagai titik artikulasinya adalah belakang lidah. Konsonan getar macam ini disebut
getar uvular . Getar apikal dilambangkan dengan /r/, sedangkan getar uvular secara
fonetis dilambangkan dengan /R/.
3. Berdasarkan bergetar tidaknya pita suara, konsonan terbagi atas:
* Konsonan bersuara, jika pita suara turut bergetar: /b/, /d/, /n/, /g/, /w/, dan
sebagainya.
* Konsonan tak bersuara, jika pita suara tidak bergetar: /p/, /t/, /c/, /k/, dan
sebagainya.
4. Berdasarkan jalan yang diikuti arus udara ketika keluar dari rongga ujaran,
konsonan terbagi atas:
* Konsonan oral, jika udaranya keluar melalui rongga mulut: /p/, /b/, /k/, /d/, /w/ dan
sebagainya.
* Konsonan nasal, jika udaranya keluar melalui rongga hidung: /m/, /n/, /ny, /ng/.
d. Perubahan Fonem
Perubahan-perubahan yang jelas kedengaran dan yang terpenting, yang biasa terdapat
dalam bahasa adalah:
1. Asimilasi dalam pengertian biasa berarti penyamaan . Dalam Ilmu Bahasa asimilasi
berarti proses di mana dua bunyi yang tidak sama disamakan atau dijadikan hamper
bersamaan. Asimilasi dapat dibagi berdasarkan beberapa segi, yaitu berdasarkan
tempat dari fonem yang diasimilasikan dan berdasarkan sifat asimilasi itu sendiri.
a. Berdasarkan tempat dari fonem yang diasimilasikan kita dapat membagi asimilasi
atas:
* Asimilasi progresif, bila bunyi yang diasimilasikan terletak sesudah bunyi yang
mengasimilasikan. Contoh dalam bahasa Indonesia sejauh ini belum dapat kami
temukan. Tetapi untuk memperjelas proses ini dapat diambil suatu contoh asing: Latin
Kuno: Colnis > Collis, dalam contoh di atas fonem /n/ diasimilasikan dengan fonem
/l/ yang mendahuluinya.
* Asimilasi total, bila dua fonem yang disamakan itu dijadikan serupa benar:
* Asimilasi parsial, bila kedua fonem yang disamakan hanya disamakan sebagian
saja, misalnya:
Dalam hal ini nasal apiko-alveolar dijadikan nasal bilabial, seduai dengan fonem /p/
yang bilabial, tetapi masih berbeda karena yang satu adalah nasal sedangkan yang lain
adalah konsonan hambat.
2. Disimilasi, Kebalikan dari asimilasi adalah disimilasi , yaitu proses di mana dua
bunyi yang sama dijadikan tidak sama. Contoh:
Batasan: Suara bakti adalah bunyi yang timbul antara dua fonem, dan
mempunyaifungsi untuk melancarkan ucapan suatu kata.
e. Intonasi
Bila kita memperhatikan dengan cermat tutur bicara seseorang, maka arus ujaran
(bentuk bahasa) yang sampai ke telinga kita terdengar seperti berombak-ombak. Hal
ini terjadi karena bagian-bagian dari arus ujaran itu tidak sama nyaring diucapkan.
Ada bagian yang diucapkan lebih keras dan ada bagian yang diucapkan lebih lembut;
ada bagian yang diucapkan lebih tinggi dan ada bagian yang lebih rendah; ada bagian
yang diucapkan lambat-lambat dan ada bagian yang diucapkan dengan cepat. Di
samping itu disana-sini, arus ujaran itu masih dapat diputuskan untuk suatu waktu
yang singkat atau secara relatif lebih lama, dengan suara yang meninggi (naik),
merata, atau merendah (turun). Keseluruhan dari gejala-gejala ini yang terdapat dalam
suatu tutur disebut intonasi .
Berarti intonasi itu bukan merupakan suatu gejala tunggal, tetapi merupakan
perpaduan dari bermacam-macam gejala yaitu tekanan (stress), nada(pitch), durasi
(panjang-pendek), perhentian, dan suara yang meninggi, mendatar, atau merendah
pada akhir arus ujaran tadi. Intonasi dengan semua unsur pembentuknya itu disebut
unsur suprasegmental bahasa. Landasan intonasi adalah rangkaian nada yang diwarnai
oleh tekanan, durasi, perhentian dan suara yang menaik, merata, merendah pada akhir
arus ujaran itu.
Batasan: Intonasi adalah kerja sama antara nada, tekanan, durasi, dan perhentian-
perhentian yang menyertai suatu tutur, dari awal hingga ke perhentian terakhir.
Karena unsur yang terpenting dari intonasi adalah tekanan, nada, durasi, dan
perhentian, maka di bawah ini akan diberikan uraian singkat mengenai keempat
komponen itu.
1. Tekanan (Stress)
Yang dimaksud dengan tekanan (stress) adalah suatu jenis unsur suprasegmental yang
ditandai oleh keras-lembutnya arus ujaran . Arus ujaran yang lebih keras atau lebih
lembut ditentukan oleh amplitudo getaran, yang dihasilkan oleh tenaga yang lebih
kuat atau lebih lemah. Bila kita mengucapkan sepatah kata secara nyaring, misalnya
kata / perumahan/, akan terdengar bahwa dalam arus ujaran itu ada bagian yang lebih
keras diucapkan dari bagian yang lain. Baca selanjutnya...
2. Nada
Yang dimaksud dengan nada adalah suatu jenis unsur suprasegmental yang ditandai
oleh tinggi-rendahnya arus-ujaran.
Tinggi rendahnya arus-ujaran terjadi karena frekuensi getaran yang berbeda antar
segmen. Bila seseorang berada dalam kesedihan ia akan berbicara dengan nada yang
rendah. Sebaliknya bila berada dalam keadaan gembira atau marah, nada tinggilah
yang biasanya dipergunakan orang. Suatu perintah atau pertanyaan selalu disertai
nada yang khas. Nada dalam ilmu bahasa biasanya dilambangkan dengan angka
misalnya /2 3 2/ yang berarti segmen pertama lebih rendah bila dibandingkan dengan
segmen kedua, sedangkan segmen ketiga lebih rendah dari segmen kedua. Dengan
nada yang berbeda, bidang arti yang dimasukinya pun akan berbeda. Baca
selanjutnya...
3. Durasi
Yang dimaksud dengan durasi adalah suatu jenis unsur suprasegmental yang ditandai
oleh panjang pendeknya waktu yang diperlukan untuk mengucapkan sebuah segmen.
Dalam tutur, segmen-segmen dalam kata / tinggi / yaitu / ting / dan / gi / masing-
masingnya dapat diucapkan dalam waktu yang sama, tetapi dapat terjadi bahwa
seorang pembicara dapat mengucapkan segmen / ting / lebih lama dari segmen / gi /
atau sebaliknya. Baca selanjutnya...
4. Kesenyapan
Kesenyapan merupakan suatu proses yang terjadi selama berlangsungnya suatu tutur
atau suatu arus-ujaran, yang memutuskan arus-ujaran yang tengah berlangsung. Oleh
karena itu kesenyapan selalu berada dalam bidang tutur, minimal dalam bidang
kalimat.
Ada kesenyapan yang bersifat sementara atau berlangsung sesaat saja, yang
menunjukkan bahwa tutur itu masih akan dilanjutkan. Ada pula perhentian yang
sifatnya lebih lama, yang biasanya diikuti oleh suara yang menurun yang menyatakan
bahwa tutur atau bagian dari tutur itu telah mencapai kebulatan. Baca selanjutnya...
f. Huruf
Bagian terbesar dari sejarah umat manusia berada dalam kegelapan karena
perkembangan, perluasan, timbul-tenggelamnya bahasa-bahasa di muka bumi ini
tidak diketahui. Bangsa-bangsa dahulu kala tidak mengenal suatu cara untuk dapat
meninggalkan kepada kita riwayat hidup mereka. Sumber-sumber yang tertulis baru
saja diketahui, dan hanya meliputi beberapa ribu tahun saja.
Bukti-bukti tertulis itu dalam bentuk yang paling tua terdapat misalnya pada orang-
orang Indian Mexico berupa lukisan-lukisan. Suatu urutan lukisan menggambarkan
kepada kita suatu peristiwa tertentu. Cara ini biassa disebut piktograf. Piktograf itu
lambat laun dikembangkan sedemikian rupa hingga suatu lukisan dapat
menggambarkan pengertian-pengertian tertentu. Kata-kata yang berlainan tetapi
mempunyai bunyi yang sama juga dapat dilukiskan dengan tanda atau simbol yang
sama; sistem ini disebut ideograf atau logograf, yaitu suatu sistem dimana suatu kata
dilambangkan oleh suatu tanda, misalnya dalam huruf-huruf Tiongkok. Dalam sistem
kita yang modern ini masih dapat ditemukan sistem logograf ini, yaitu bila kita
melambangkan bilangan-bilangan memakai tanda-tanda: 1, 2, 3, 4, 5, dan sebagainya.
Dengan bermacam-macam cara itulah orang dapat melukiskan bahasa dalam bentuk
lambang-lambang. Segala macam cara itu pada umumnya disebut huruf.
Di antara sekian macam sistem itu, huruf yang didasarkan atas satu lambang untuk
satu bunyi adalah sistem yang paling baik. Dan untuk selanjutnya pengertian huruf
yang akan dipakai adalah pengertian terakhir.
Jadi sejauh ini sekurang-kurangnya umat manusia telah mengenal 4 macam sistem
tulisan.
g. Ejaan
Dasar yang paling baik dalam melambangkan bunyi-ujaran atau bahasa adalah satu
bunyi-ujaran yang mempunyai fungsi untuk membedakan arti harus dilambangkan
dengan satu lambang tertentu. Dengan demikian pelukisan atas bahasa lisan itu akan
mendekati kesempurnaan, walaupun kesempurnaan yang dimaksud itu tentulah dalam
batas-batas ukuran kemanusiaan, masih bersifat relatif. Walaupun begitu literasi
(penulisan) bahasa itu belum memuaskan karena kesatuan intonasi yang bulat yang
menghidupkan suatu arus-ujaran itu hingga kini belum dapat diatasi. Sudah
diusahakan bermacam-macam tanda untuk tujuan itu tetapi belum juga memberi
kepuasan. Segala macam tanda baca untuk menggambarkan perhentian antara,
perhentian akhir, tekanan, tanda tanya, dan lain-lain adalah hasil dari usaha itu. Tetapi
hasil usaha itu belum dapat menunjukkan dengan tegas bagaimana suatu ujaran harus
diulang oleh yang membacanya. Segala macam tanda baca seperti yang disebut di atas
disebut tanda baca atau pungtuasi.
Walaupun sistem ejaan sekarang didasarkan atas sistem fonemis, yaitu satu tanda
untuk satu bunyi, namun masih terdapat kepincangan-kepincangan. Ada fonem yang
masih dilambangkan dengan dua tanda (diagraf), misalnya ng, ny, kh, dan sy. Jika kita
menghendaki kekonsekuenan terhadap prinsip yang dianut, maka diagraf-diagraf
tersebut harus dirubah menjadi monograf (satu fonem satu tanda). Di samping itu
masih terdapat kekurangan lain yang sangat mengganggu terutama dalam
mengucapkan kata-kata yang bersangkutan, yaitu ada dua fonem yang dilambangkan
dengan satu tanda saja yakni e (pepet) dan e (taling). Ini menimbulkan dualisme
dalam pengucapan.
Ejaan suatu bahasa tidak saja berkisar pada persoalan bagaimana melambangkan
bunyi-bunyi ujaran serta bagaimana menempatkan tanda-tanda baca dan sebagainya,
tetapi juga meliputi hal-hal seperti: bagaimana menggabungkan kata-kata, baik
dengan imbuhan-imbuhan maupun antara kata dengan kata. Pemotongan itu berguna
terutama bagaimana kita harus memisahkan huruf-huruf itu pada akhir suatu baris,
bila baris itu tidak memungkinkan kita menulils seluruh kata di sana. Apakah kita
harus memisahkan kata bunga menjadi bu – nga atau b – unga . Semuanya ini
memerlukan suatu peraturan umum, agar jangan timbul kesewenangan.
h. Macam-Macam Ejaan
Sebelum tahun 1900 setiap peneliti bahasa Indonesia (pada waktu itu bahasa Melayu)
membuat sistem ejaannya sendiri-sendiri, sehingga tidak terdapat kesatuan dalam
ejaan. Pada tahun 1900, Ch. van Ophuysen mendapat perintah untuk menyusun ejaan
Melayu dengan mempergunakan aksara Latin. Dalam usahanya itu ia sekedar
mempersatukan bermacam-macam sistem ejaan yang sudah ada, dengan bertolak dari
sistem ejaaan bahasa Belanda sebagai landasan pokok. Dengan bantuan Engku
Nawawi gelar Soetan Ma'moer dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim, akhirnya
ditetapkanlah ejaan itu dalam bukunya Kitab Logat Melajoe, yang terkenal dengan
nama Ejaan van Ophuysen atau ada juga yang menyebutnya Ejaan Balai Pustaka,
pada tahun 1901. Ejaan tersebut tidak sekali jadi tapi tatap mengalami perbaikan dari
tahun ke tahun dan baru pada tahun 1926 mendapat bentuk yang tetap.
Selama Kongres Bahasa Indonesia tahun 1938 telah disarankan agar ejaan itu lebih
banyak diinternasionalisasikan. Dan memang dalam perkembangan selanjutnya
terutama sesudah Indonesia merdeka dirasakan bahwa ada beberapa hal yang kurang
praktis yang harus disempurnakan. Sebenarnya perubahan ejaan itu telah
dirancangkan waktu pendudukan Jepang. Pada tanggal 19 Maret 1947 dikeluarkan
penetapan baru oleh Menteri Pengajaran, Pendidikan dan Kebudayaan Suwandi (SK
No. 264/Bag.A/47) tentang perubahan ejaan bahasa Indonesia; sebab itu ejaan ini
kemudian terkenal dengan nama Ejaan Suwandi.
Sebagai dampak dalam keputusan di atas, bunyi oe tidak semuanya diganti dengan u.
Baru pada tahun 1949, menurut surat edaran Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
tanda oe mulai 1 Januari 1949 diganti dengan u.
* dj djalan j jalan
* j pajung y payung
* nj njonja ny nyonya
* sj* sjarat sy syarat
* tj tjakap c cakap
* ch* tarich kh tarikh
Kedua gabungan huruf ini sebenarnya tidak terdapat dalam ejaan lama. Di samping
itu diresmikan pula huruf-huruf berikut di dalam pemakaian:
* f maaf, fakir
* v valuta, universitas
* z zeni, lezat
* q, x huruf-huruf q dan x yang lazim digunakan dalam ilmu eksakta tetap dipakai.
Diposkan oleh Rahmat Hasmudi di 00.16
1. Bunyi Diftong
Diftong /ai/ pada pantai, /au/ pada pantau, /oi/ pada sepoi
Diftong /ua/ pada uadoh (sangat jauh), /uє/ pada uenteng (sangat ringan), /uo/
pada duawa (sangat panjang), /uә/ pada guedhe (sangat besar).
4.
1. Konsonan bersuara (voice consonant), pita suara bergetar. Pita suara dalam
keadaan merapat dan merenggang, sehingga bunyi yang dihasilkan berat..
fonem konsonan bersuara /b/,/m/,/w/,/d/,/z/,/n/,/r/,/l/,/j/,/ň/,/y/,/g/,dan /ŋ/
8. konsonan glottal, glotis dalam keadaa sempit (tertutup). Konsonan stop /?/,
dan /h/
1. Konsonan hambat (stop), yang dihasilkan dengan cara menutup arus udara
rapat sehingga udara terhenti seketika, lalu dilepaskan kembali secara tiba-
tiba. Tahap pertama (penutupan) disebut implosive, misal : /p/ pada atap
(stop implosif), dan /p/ pada paku (eksplosif)
2. Konsonan afrikatif (paduan), bunyi yang dihasilkan dengan cara arus udara
ditutup rapat, kemudian dilepas seara berangsur-angsur. Misal : /c/,/j/
3. Konsonan Frikatif (geser), yaitu bunyi yang dihasilkan dengan menghambat
arus udara sehingga arus udara tetap dapat keluar. Misal :
/f/,/v/,/s/,/z/,/ś/,/x/
4. Konsonan tril (getar), dengan cara arus udara ditutup dn dibuka berulang-
ulang secara cepat. Misal : /r/
6. konsonan nasal (hidung), arus udara yang lewat rongga mulut ditutup rapat,
sehingga dialirkan lewat rongga mulut. Misal /m/,/n/,/ň/, dan /ŋ/
Gugus konsonan atau kluster merupakan deretan dua konsonan atau lebih yang
tergolong dalam satu suku kata yang sama (Moelyono dalam Yulianto,
1988:55). Tidak setiap konsonan yang berderet dapat dimasukkan gugus
konsonan/kluster. Pada kata makhluk/maXIU?/ bukan termasuk kluster, sebab
suku kata bentuk tersebut adalah makh/maX/ dan luk/lU?/. Sedangkan pada
kata mantra termasuk kluster sebab suku katanyta adalah man dan tra. /tr/ alam
satu kata.
Contoh lain : /pl/ pada plas-tik, /gr/ pada gra-fik, /ns/ trans-mi-gra-si /str/ pada
stra-te-gi, /skr/ pada skrip-si, /sw/ pada swa-la-yan, /dw/ pada dwi-fung-si
Suku kata merupakan bagian kata yang diucapkan dalam satu hembusan nafas.
Suku kata umumnya terdiri atas beberapa fonem. Ada pula yang hanya terdiri
atas satu fonem. Ada pula suku kata yang bukan bagian dari kata, maksudnya
sebuah kata yang hanya terdiri atas satu suku kata. Kata yang demikian itu
disebut monosilabik.
Suku kata selalu ditandai adanya sebuah vokal. Vokal yang menandai suku
kata, dalam pengucapan selalu menampakkan kenyaringan/sonoritas. Vokal
inilah sebagai puncak suku kata. Konsonan yang mengawali vokal dalam suku
kata disebut tumpu suku (onset silaba) sedangkan konsonan yang mengakhiri
vokal disebut koda suku (koda silaba)
4. satu konsonan, satu vokal, dan satu konsonan (KVK) : per-lu, sa-lam
11. satu konsonan, satu vokal, dan tiga konsonan (KVKKK) : korps
(b) Tekanan/aksen
Kata [menulis] ketika diucapkan pada silaba pertama [me] tetap sama
maknannya ketika diucapkan dengan tekanan pada silaba kedua atau ketiga.
Berbeda dengan kalimat Besok teman saya berangkat ke Surabaya, dapat
bermakna lima kemungkinan.
1. Besok teman saya berangkat ke Surabaya = maksudnya bukan hari ini atau
kemarin
(b) durasi
Tidak fungsional dalam dalam tataran kata. Kata [jatuh] diucapkan panjang-
pendek pada silaba pertama atau kedua sama saja [ja:tuh] atau [ja:tu:h]
Jeda ini terasa lebih fungsional bila dibanding dengan suprasegmental yang
lain.
1.a. Anak/pejabat yang nakal itu telah dimejahijaukan = yang nakal adalah
pejabat
b.Anak pejabat/yang nakal itu telah dimejahijaukan = yang nakal adalah anak
pejabat
(d) Intonasi
6. Fonemik
Fonem adalah kesatuan bunyi terkecel suatu bahasa yang berfungsi membedakan
makna. Untuk mengetahuinya, maka harus membandingkan dengan bentuk-
bentuk lain.
dana b, p k, ?
t,d,n
Variasi bebas adalah bunyi-bunyi yang secara fonetis mirip, jika dapat saling
menggantikan dalam suatu kata dan tidak menyebabkan perubahan arti. Hal ini
merupakan sebuah fonem. Hal ini terdapat dalam bahasa-bahasa yang mempunyai
beberapa dialek.
Terdapat diftong (vokal rangkap), yakni /ay/,/aw, dan /oy/ sedangkan konsonan
meliputi :
/y/,/w/,/l/,/p/,/b/,/f/,/m/,/t/,/d/,/c/,/j/,/s/,/z/,/r/,/n/,/ň/,/ś/,/?/,/k/,/g/,/X/,/ŋ/,dan /h/
Kasus /f/ dan /v/ dalam ejaan bahasa Indonesia kedua lambing/grafem ini
digunakan. Namun, kedua huruf/grafem itu melambangkan satu fonem, yaitu /f/.
Seperti kata ditulis fariasi atau variasi tidak akan menimbulkan perbedaan arti.
Sama halnya dengan /q/ dan /k/ yang dilambangkan dalam satu fonem /k/
g fonem
r
a
f
e
m
c
o
n
t
o
h
i /i/
i
b
u
,
b
a
I
k
a
l
o
f
o
n
uusa u
p,
agU
ŋI
U e є bebas, kәlєreŋ
e
ә є
o o
t
o
k
o
,
t
O
k
O
h
a a
a
p
a
,
p
a
k
s
a
O
a ay
i
p
a
n
t
a
i
a aw
u
p
u
l
a
u
o oy
i
a
m
b
o
i
y y
s
a
y
a
,
y
h
a
i
t
u
w w
s
e
w
a
y
h
l l
p
u
l
a
p p
a
t
a
p
F f
d
a
n
v
T
a
r
a
f
,
v
o
k
a
l
m m
m
a
t
i
t t
t
e
t
a
p
d d
p
a
d
a
c c
c
e
c
a
k
j j
j
u
g
a
S s
d
a
n
s
h
I
r
i
s
,
s
h
o
l
a
t
z z
A
z
i
s
,
z
a
m
a
n
r r
r
u
s
a
n n
m
a
n
t
a
p
n ň
y
n
y
a
n
y
i
s ś
y
s
y
a
r
a
t
T ?
i
d
a
k
a
d
a
(
z
e
r
o
)
m
a
?
a
f
=
m
a
a
f
K k
d
a
n
q
K
u
d
a
,
q
u
r
a
n
g g
g
a
d
u
n
g
k X
h
m
a
X
l
U
?
=
m
a
k
h
l
u
k
n ŋ
g
d
e
n
g
a
n
h h
P
i
h
a
k
,
t
a
h
u
(
p
a
h
a
m
)
7. Proses Fonologis
Segala proses yang menyangkut terjadinya perubahan bunyi bahasa. Perubahan terjadi
pada kata dasar, maupun kata turunan akibat afiksasi ataupun proses morfologis
lainnya.
1. Asimilasi, adalah proses perubahan bunyi yang mengakibatkan mirip atau sama
dengan bunyi lain di dekatnya. Contoh : kata tentang dan tendang. /t./ pertama
diucapkan apikodental, sedangkan /t/ kedua diucapkan apikoalveolar karena
mengikuti bunyi /d/
2. Disimilasi, adalah perubahan bunyi dari dua bunyi yang sama atau mirip menjadi
bunyi yang tidak sama atau berbeda. Contoh : kata belajar berasal dari ber+ajar,
seharusnya berajar, karena ada dua bunyi /r/ maka disimilasi menjadi belajar
3. Modifikasi Vokal, perubahan bunyi vokal sebagai akibat dari pengaruh bunyi lain
yang mengikutinya. Contoh : kata balik. Vokal /i/yang diucapkan rendah. Tetapi
ketika mendapat akhiran-an menjadi balikan, tergolong /i/ tinggi. Perubahan ini
disebut metafoni
Kata toko dan tokoh. Bunyi vokal pertama /o/ dan vokal kedua /O/ karena silaba
kedua berbunyi /O/ pada tokoh, maka silaba /o/ pertama pada tokoh juga harus
berbunyi/O/. Perubahan ini disebut apofoni.
a. aferesis : penghilangan fonem pada awal kata Contoh : tapi untuk tetapi, peperment
menjadi permen.
b. apokop : penghilangan satu atau lebih fonem pada akhir kata. Misal : president
menjadi presiden
c. sinkop : penghilangan pada tengah kata. Contoh : baharu pada baru, dahulu pada
dulu
5. Metatesis, perubahan urutan bunyi fonbemis pada suatu kata, sehingga menjadi dua
bentuk kata yang bersaing. Contoh : kerikil menjadi kelikir, jalur menjadi lajur
7. Monoftongisasi, perubahan dua bunyi vokal menjadi vokal tunggal. Contoh : ramai
menjadi rame, kalau menjadi kalo, petai menjadi pete
a. protesis, penambahan pada awal kata. Contoh : mpu menjadi empu, ,mas menjadi
emas
b. epentesis, penambahan bunyi pada tengah kata. Misal : kapak menjadi kampak,
upama menjadi umpama, sajak menjadi sanjak
c. paragog adalah penambahan bunyi pada akhir kata. Contoh : ina menjadi inang,
hulubala menjadi hulubalang.