You are on page 1of 6

HACHIKO: A DOG’S STORY

Sebuah Refleksi (Iman Kristen) tentang


Kasih dan Kesetiaan
 

oleh: Denny Teguh Sutandio


 
 
 
Pendahuluan
Hachiko: A Dog’s Story merupakan sebuah film Amerika (mulai diputar pada tahun 2009)
yang merupakan karya sutradara Lasse Hallström dan dibintangi oleh Richard Gere dan Joan
Allen. Film ini diadaptasi dari cerita/fakta nyata di Jepang. Berikut keterangan singkat tentang
anjing yang bernama Hachiko tersebut dari situs Wikipedia:
Hachikō ( ハチ公 ) (10 November 1923-8 Maret 1935) adalah seekor anjing jantan jenis
Akita Inu kelahiran Ōdate, Prefektur Akita. Ia terus dikenang sebagai lambang kesetiaan
anjing terhadap majikan. Setelah majikannya meninggal, Hachikō terus menunggu
majikannya yang tidak kunjung pulang di Stasiun Shibuya, Tokyo.
Julukan baginya adalah Hachikō Anjing yang Setia ( 忠 犬 ハ チ 公 Chūken Hachikō).
Patung Hachikō di depan Stasiun Shibuya telah menjadi salah satu marka tanah di Shibuya.
Sewaktu membuat janji untuk bertemu di Shibuya, orang sering berjanji untuk bertemu di
depan patung Hachikō.[1]
 
 
 
 
Plot Cerita[2]
Film karya sutradara Lasse Hallström ini dimulai dengan adegan siswa-siswa yang
memperkenalkan siapa tokoh pujaan mereka di depan kelas. Di awal film itu dikisahkan seorang
siswi baru menceritakan tokoh pujaannya dan kemudian disusul dengan seorang siswa yang
bernama Ronnie yang menceritakan tokoh pujaannya yang adalah seekor anjing yang bernama
Hachiko. Di akhir film ini, kita mendapatkan informasi bahwa Ronnie adalah seorang cucu dari
seseorang yang memelihara Hachiko, yaitu kakek Parker Wilson (dibintangi Richard Gere).
Kembali, anak ini kemudian menceritakan bahwa anak anjing (puppy) Hachiko yang tidak
diketahui asal-usulnya ini ternyata tiba di Amerika dari Jepang. Di tengah jalan di Amerika,
Hachiko terlepas dari kandangnya. Setelah itu, Hachiko kemudian berhenti di depan Parker
Wilson dan seketika itu juga, Parker menyukai Hachiko. Kemudian, Parker mencoba
menyerahkan anak anjing ini kepada petugas stasiun, namun sayangnya petugas itu tidak mau
merawatnya. Akhirnya, Parker terpaksa membawa Hachiko ke rumah Parker. Karena
mengetahui bahwa istrinya, Cate (dibintangi Joan Allen) tidak menyukai anjing, maka Parker
menyembunyikan Hachiko ini di ruang kerja Parker, namun sayangnya, Hachiko keluar dari
ruang kerja itu dan menemui Parker dan istrinya yang sedang berduaan di tempat tidur mereka di
kamar di lantai atas. Spontan, si istri kaget dan kemudian dengan terpaksa, Parker berjanji akan
mengembalikan Hachiko ke pemiliknya. Namun, pemiliknya tidak ditemukan. Akhirnya, Parker
membawa Hachiko pulang kembali ke rumah Parker dan meletakkan Hachiko di gudang
miliknya di depan rumahnya. Tak disangka, anak perempuan dari Parker menyukai Hachiko.
Beberapa waktu kemudian, Parker mulai melatih anak anjing ini bermain bola. Dan di saat itu,
Cate dan anak perempuannya melihat betapa Parker menyukai anak anjing itu, sehingga ketika
ada orang yang menelpon istrinya hendak memungut Hachiko, si istri langsung menjawab telpon
tersebut bahwa Hachiko sudah diambil pemiliknya.
 
Meskipun demikian, Parker heran Hachi menolak untuk melakukan kebiasaan normal
seekor anjing seperti mengejar dan memungut bola. Ken Fujiyoshi, temannya memberi tahu
bahwa Hachi hanya akan mau mengambil bola untuk alasan yang istimewa. Suatu pagi, ketika
Parker berangkat kerja, Hachi menyelinap ke luar, dan mengikutinya hingga sampai di stasiun
kereta api. Hachi menolak ketika disuruh pulang hingga Parker harus mengantarkannya pulang
ke rumah. Sore itu, Hachi kembali pergi ke stasiun, dan menunggu hingga kereta api yang
dinaiki tuannya datang. Parker akhirnya menyerah, dan membiarkan Hachi mengantarnya ke
stasiun setiap hari. Setelah kereta api tuannya berangkat, Hachi pulang sendiri ke rumah, tapi
ketika hari sudah sore, ia kembali lagi ke stasiun untuk menjemput. Kebiasaan Hachi mengantar
dan menjemput Parker berlangsung beberapa lama. Kebiasaan ini juga mengajar orang-orang di
sekeliling stasiun tersebut yaitu Jasjeet, pedagang hot dog di sekitar stasiun yang menjadi
langganan Parker Wilson (dibintangi oleh: Eric Avari) dan pemilik toko daging itu tentang arti
kesetiaan. Namun pada suatu siang, Hachi menolak mengantar Parker yang ingin berangkat
mengajar. Parker akhirnya berangkat sendirian, tapi Hachi mengejarnya sambil membawa bola.
Parker terkejut, tapi senang Hachi akhirnya mau diajak bermain bola. Parker tidak ingin
terlambat mengajar, dan pergi juga walaupun dilarang Hachi uang terus menggonggong. Siang
itu, Parker yang mengajar sambil memegang bola milik Hachi, terjatuh tak sadarkan diri, dan
meninggal dunia. Di stasiun, Hachi dengan sabar menunggu kedatangan kereta api yang biasanya
dinaiki tuannya ketika pulang, namun tuannya tidak juga pulang. Dia menunggu, dan menunggu
hingga Michael, menantu Parker membawanya pulang. Keesokan harinya, Hachi kembali ke
pergi ke stasiun dan menunggu tuannya. Ia menunggu sepanjang hari dan sepanjang malam.
Setelah suaminya meninggal, Cate menjual rumah mereka, dan memberikan Hachi untuk
dipelihara oleh anak perempuan Cate yang bernama Andy Wilson (dibintangi oleh: Sarah
Roemer). Hachi pindah ke rumah Andy yang tinggal bersama suami bernama Michael
(dibintangi oleh: Robbie Sublett). Keduanya memiliki bayi bernama Ronnie (dibintangi oleh:
Kevin DeCoste). Hachi tak lama kemudian lari untuk pulang ke rumah tempat tinggalnya dulu.
Ia lalu kembali menunggu tuannya yang tidak kunjung pulang di stasiun. Hachi selalu duduk
menunggu di tempat ia biasa menunggu. Penjual makanan di stasiun bernama Jas merasa
kasihan, dan memberinya makan hot dog. Andy mencari-cari Hachi, dan menemukannya di
stasiun. Hachi diajak pulang, namun keesokan harinya dibiarkan untuk kembali pergi ke stasiun.
 
Hachi mulai tidur di gerbong kereta yang rusak. Ia berjaga menunggu tuannya sewaktu
siang, dan hidup dari makanan dan air yang diberikan oleh Jas dan seorang tukang daging. Pada
satu hari, wartawan surat kabar bernama Teddy ingin tahu soal asal usul Hachi. Ia bertanya
apakah dirinya dibolehkan menulis cerita tentang anjing itu. Setelah membaca artikel di surat
kabar, orang-orang mulai mengirimi Carl uang, dengan pesan agar uang tersebut dibelikan
makanan untuk Hachi. Ken sahabat Parker membaca artikel yang ditulis Carl, dan menyatakan
kesediaan untuk membayari biaya hidup Hachi. Walaupun Parker sudah setahun meninggal
dunia, Ken menyadari Hachi masih ingin dan merasa harus menunggu kepulangan tuannya, serta
berharap tuannya masih hidup.
 
Tahun demi tahun berlalu, dan Hachi masih tetap menunggu di stasiun. Ketika
mengunjungi makam Parker, Cate bertemu dengan Ken, dan mengaku dirinya masih merasa
kehilangan suaminya yang sudah meninggal sepuluh tahun lalu. Cate lalu pergi ke stasiun tempat
Hachi menunggu. Ia terkejut melihat Hachi yang sudah tua, kotor, dan lemah, namun terus setia
menunggu tuannya. Ketika kembali ke rumah, Cate bercerita soal Hachi kepada Ronnie yang
sudah berusia 10 tahun. Malam itu, Hachi menunggu di tempatnya biasa menunggu, tempatnya
berbaring dan jatuh terlelap, bermimpi bertemu Parker.
 
Selesai sudah laporan Ronnie tentang Hachi kepada teman-temannya sekelas. Kesetiaan
Hachi menunggu Parker, kakek Ronnie, menjadikan Hachi sebagai pahlawan selama-lamanya di
mata Ronnie. Sore itu, Ronnie berjalan-jalan bersama seekor anak anjing Akita di tempat
kakeknya pernah berjalan-jalan bersama Hachi.
 
 
 
 
Refleksi Iman Kristen
Terus terang saya sudah membeli DVD film ini beberapa bulan yang lalu, namun saya
belum menontonnya. Tetapi setelah mendengar beberapa teman saya baik secara langsung
maupun tidak langsung (melalui status di Facebook), saya akhirnya tergerak menonton DVD
film ini tadi pagi (Minggu, 16 Mei 2010). Pada saat dan setelah melihat film ini, hati saya
tersentuh dan kemudian mulai terpikir hal-hal mengenai kasih dan kesetiaan. Mari kita
merenungkan dua poin penting ini dari perspektif iman Kristen.
 
 
Pertama, KASIH. Dunia kita hari-hari ini sibuk berkoar-koar tentang kasih dan tentunya
definisi kasih yang mereka gembar-gemborkan bukanlah kasih sejati. Mengapa? Karena mereka
hanya pintar bersuara tentang kasih namun kasih mereka tidak ada sumbernya. Dengan kata lain,
kasih mereka terlepas dari Sumber Kasih. Mereka menawarkan kasih versi manusia berdosa
yang menolak kasih dari Allah yang adalah Kasih. Sebuah logika yang lucu sich, hehehe… So,
apa itu kasih? Kasih bukan hanya suatu perasaan atau perkataan, karena perasaan atau perkataan
itu hanya sementara sifatnya. Sebuah judul buku dari Gary Chapman, Ph.D. menjelaskan kepada
kita tentang kasih, yaitu: Love is a Verb. Ya, kasih adalah sebuah kata kerja. Kasih bukan hanya
dikatakan, tetapi diperbuat. Kalau mau ditelusuri lebih tajam, kasih bukan hanya sekadar
tindakan, namun keluar dari hati yang terdalam. Itulah yang telah diteladankan oleh Allah yang
adalah Kasih kepada umat-Nya. Karena mengasihi umat-Nya yang berdosa (dan tidak ingin
mereka binasa akibat dosa), Allah menyediakan jalan keluar dengan mengutus Putra Tunggal-
Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dan menyelamatkan mereka dari dosa-dosa mereka
agar mereka dapat hidup bagi Kristus. Kasih inilah yang membangkitkan dan mendorong kita
untuk terus-menerus mengasihi Allah yang telah menebus dan menyelamatkan kita. Kita
mengasihi Allah dengan menyangkal diri, yaitu: menyukai apa yang Tuhan suka dan membenci
apa yang Tuhan benci (mengutip perkataan Pdt. Dr. Stephen Tong). Hal ini juga nampak pada
film Hachiko. Hachiko yang telah ditemukan oleh Prof. Parker Wilson dan diajari bermain bola
(bahkan Parker melatih Hachiko kecil untuk bermain bola dengan memeragakan dirinya sendiri
seperti anjing yang mengambil bola dengan menggigitnya dengan mulut) meresponi cinta kasih
Prof. Parker dengan mengikuti terus Prof. Parker bahkan pada saat pesta pernikahan anak
perempuannya, Andy. Ironisnya, istri Parker, Cate tidak seperti Hachiko ini. Ini menjadi
pelajaran bagi kita. Ini bukan sekadar pelajaran balas budi, tetapi pelajaran sebuah tindakan kasih
karena telah dikasihi. Seekor anjing bisa mengerti bagaimana mengasihi tuannya yang telah
terlebih dahulu mengasihi dan merawatnya. Namun sayangnya manusia yang katanya
mengklaim memiliki rasio/pikiran (sedangkan binatang hanya mengandalkan insting) tidak
memiliki reaksi seperti yang ditunjukkan Hachiko, malah bahkan ada yang lebih parah dari
Hachiko. Bagaimana tidak, banyak orang Kristen bahkan yang mengklaim diri sedang “melayani
Tuhan” atau anak seorang aktivis gereja tidak menunjukkan cinta kasih kepada Allah lebih dari
segalanya. Orang ini di dalam gereja memuji Tuhan, “I love You, Jesus”, namun setelah pulang
dari gereja, kata-kata yang di“iman”inya selama ini, “I love You, Myself” dan mencari pasangan
hidup yang jelas-jelas tidak seiman (namun masih berargumentasi, “cocok” dan “bergumul”).
Dari sini, kita makin sadar, yang sebenarnya layak dan pantas disebut hewan itu siapa: Hachiko
ini atau justru beberapa (bahkan mungkin banyak) orang “Kristen” yang gembar-gembor
mengklaim diri “melayani Tuhan”? Yang diberi rasio oleh Tuhan untuk berpikir malah tidak
dipergunakan dengan bertanggungjawab, sebaliknya yang tidak diberi rasio oleh Tuhan malah
lebih “mulia” dari yang diberi rasio oleh Tuhan. Biarlah ini menjadi refleksi bagi kita masing-
masing. Jangan berani mengatakan bahwa kita mencintai Allah kalau di dalam iman dan
kehidupan kita sehari-hari, kita masih men-Tuhan-kan diri dan nafsu kita sendiri dengan
segudang argumentasi “rohani”. Kalau kita berani mengklaim diri mencintai Allah, maka
tunjukkan itu dengan men-Tuhan-kan dan me-Raja-kan Kristus di dalam iman, hati, rasio,
perkataan, dan perbuatan kita sehari-hari. Kita tunduk mutlak akan apa yang Alkitab ajarkan dan
perintahkan. Kalau Alkitab mengajar kita untuk mencari pasangan hidup yang seiman, ya,
taatilah. Itu tandanya kita benar-benar mencintai Allah. Jangan sampai kita gembar-gembor
menyanyi bahwa kita mencintai Yesus, tetapi firman-Nya yang mengajar untuk mencari
pasangan yang seiman dilanggar. Bagaimana dengan Anda? Sudah layakkah Anda mengatakan
bahwa kita mencintai Allah? Jika Anda mengatakan sudah layak, maka kiranya Tuhan menuntun
kita untuk berbuat/mengasihi-Nya sebagai wujud kasih yang telah Ia berikan kepada Anda.
 
 
Kedua, KESETIAAN. Kasih sejati ditunjukkan dengan kesetiaan. Seorang yang mengasihi
Tuhan dan orang lain yang dia cintai pasti setia dengan Tuhan dan orang lain/pasangannya itu.
Hal ini juga nampak pada film Hachiko ini. Hachiko yang telah dikasihi Prof. Parker mengasihi
tuannya dengan setia mengikut ke mana tuannya pergi. Bahkan Hachiko rela mengantar tuannya
setiap pagi ke stasiun untuk bekerja dan pada sore hari menunggu tuannya di stasiun dari pulang
kerja. Bahkan sesudah Prof. Parker meninggal, selama 9 tahun tanpa absen, Hachiko tetap setia
menunggu kepulangan tuannya dari stasiun meskipun dia harus menggigil kedinginan dan
mengharapkan bantuan dari Jasjeet dan tukang daging. Saya kagum dengan Hachiko. Anjing bisa
setia kepada tuannya. Anjing yang katanya lebih banyak menggunakan insting lebih “mulia”
daripada manusia yang katanya dikaruniai rasio untuk berpikir bisa setia kepada tuannya yang
telah mengasihi dan merawatnya, namun banyak manusia justru gemar tidak setia alias
berselingkuh. Kepada tuannya yang adalah seorang manusia, seekor anjing bisa setia sampai 9
tahun bahkan sampai anjing ini meninggal, namun tidak demikian halnya dengan banyak
manusia hari-hari ini. Dengan Tuhan yang mencipta, memelihara, dan menebus umat-Nya,
banyak orang Kristen tidak setia. Dengan pasangan hidupnya yang juga sama-sama manusia,
banyak manusia juga tidak setia. Manusia bisa berselingkuh dari pacar atau pasangan
(suami/istri)nya dengan berbagai macam rasionalisasi. Biasanya kita menjumpai banyak cowok
yang suka berselingkuh dari pacarnya, namun fakta juga mengajar kita bahwa ada juga cewek
yang suka berselingkuh dari pacar/pasangannya. Di dunia artis, kita telah memiliki contoh
praktis, di mana si istri menceraikan suaminya karena ada “orang ketiga” dan fakta menunjukkan
bahwa si istri memang perempuan tidak beres. Saya pribadi telah menemukan dua contoh nyata
dan dua contoh ini uniknya dialami oleh sepupu saya sendiri (kakak laki-laki dan adik laki-laki
sepupu saya). Mereka memiliki cerita yang sama, yaitu ditinggal selingkuh oleh pacarnya. Adik
laki-laki sepupu saya dikhianati pacarnya karena pacarnya berada jauh dari adik laki-laki sepupu
saya dan pacarnya ini sudah dirayu oleh cowok lain. Ketika mau putus, si pacar mengatakan
kepada adik sepupu laki-laki saya, “Ko, kamu masih cinta sama aq?” Pertanyaan klise yang
berujung pada putus. Kakak laki-laki sepupu saya juga demikian. Waktu kakak laki-laki saya
mengunjungi rumah pacarnya, di rumah pacarnya sudah ada cowok yang bertamu dan jelas
kelihatan bahwa pacarnya selingkuh dan si pacar lebih memilih cowok itu ketimbang kakak laki-
laki saya. Anehnya, setelah menikah, si pacar ini masih menghubungi kakak laki-laki sepupu
saya ini. Dan yang lebih parah lagi, dua cewek yang saya ceritakan di atas beragama “Kristen”
(tepatnya: Kristen Katolik). Kekristenan bukan menjadi saksi dan berkat bagi orang di
sekitarnya, tetapi justru menjadi batu sandungan bagi yang lain. Ini menjadi pelajaran berharga
bagi kita.
 
Dunia kita sudah anti terhadap kesetiaan, bagaimana dengan Kekristenan sejati? Sebelum
kita masuk ke dalam konsep kesetiaan Kristen, maka kita perlu meneladani Pribadi Kristus.
Kristus adalah Pribadi Allah yang setia mengemban tugas mulia dari Bapa untuk menebus dosa-
dosa manusia. Di dalam menunaikan tugasnya ini, Ia pasti mendapat tantangan, ancaman, dan
tipuan, bahkan yang paling menyakitkan, Ia “ditipu” oleh salah satu “murid”-Nya, yaitu Yudas
Iskariot yang di kemudian hari menjual Kristus untuk disalib. Kesemuanya itu tidak menghalangi
Kristus dalam menunaikan mandat dari Bapa bahkan Ia telah menuntaskan semua tugas yang
diemban dari Bapa. Meneladani Kristus, orang Kristen yang telah menerima anugerah Allah
melalui keselamatan, pengampunan dosa, iman, dan kehidupan kekal di dalam Kristus secara
cuma-cuma seharusnya menunjukkan cinta kasihnya kepada Allah dengan setia kepada-Nya:
setia mengikuti dan taat firman-Nya. Orang Kristen harus setia kepada Allah, mengikuti dan taat
mutlak kepada kehendak-Nya di dalam seluruh aspek kehidupannya. Kesetiaan itu diuji dengan
berbagai macam penderitaan yang mengancam. Orang yang mengaku beriman kepada Kristus
pasti menderita aniaya (Mat. 10:38; 16:24) dan kesetiaan kita kepada Kristus diuji melaluinya.
Jika kita hanya mengaku Kristus di dalam mulut kita, itu akan ketahuan tatkala penderitaan
datang menerpa kita, kita pasti langsung mengomel bahkan murtad. Tidak usah jauh-jauh, atas
nama “kasih” (“toleransi”), beberapa pemimpin gereja telah mengompromikan iman mereka dan
telah berzinah rohani, lalu mengajar bahwa keselamatan tidak hanya ada di dalam Yesus Kristus.
Ketika penderitaan dan pluralitas menyerang Kekristenan, beberapa (atau bahkan mungkin
banyak) orang “Kristen” dan pemimpin gereja bersiap-siap untuk berzinah rohani. Namun bagi
kita yang sungguh-sungguh setia kepada Kristus, maka tatkala penderitaan datang menerpa, kita
tetap teguh beriman, bukan karena kehebatan kita, tetapi karena anugerah pemeliharaan-Nya atas
umat pilihan-Nya.
 
Kedua, selain setia kepada Tuhan, kita juga harus setia kepada pasangan kita baik calon
pacar, pacar, maupun istri/suami kita. Konsep dunia baik melalui contoh para artis dan lagu
“Putus Nyambung” sudah meracuni pikiran dan sikap kita tentang makna komitmen. Bagi
banyak orang dunia, pacaran dan pernikahan hanyalah senang-senang saja, sehingga tidak heran,
putus nyambung dan perceraian begitu akrab di telinga mereka. Perzinahan telah menjadi
kegemaran mereka. Kekristenan harus tampil beda dari dunia. Orang Kristen harus menunjukkan
bahwa mereka adalah pengikut Kristus yang TIDAK akan mau berzinah dengan pasangannya.
Mereka akan menjaga jarak jika salah satu mereka didekati oleh lawan jenis. Contoh jika seorang
cowok dan cewek lagi berhubungan dekat untuk menjadi pacar (ataupun sudah jadian), maka
jika ada cowok lain yang mencoba mendekati si cewek ini dengan alasan apa pun, si cewek harus
cepat berhati-hati. Si cewek harus bisa menempatkan diri khususnya dengan lawan jenis. Jika si
cewek menganggap teman lawan jenisnya hanya sebagai teman dan tidak ada rasa apa pun, maka
si cewek harus berani menjaga sikap. Jangan sampai sudah pacaran, si cewek masih gemar
berjalan berdua dengan teman lawan jenisnya (bukan pacar), lalu ketika ditanya sang pacar, si
cewek selalu berkelit, “Itu hanya teman” (padahal dalam hati, si cewek juga naksir si cowok ini).
Ini bukan masalah cemburuan, tetapi ini masalah komitmen. Kalau Anda sebagai anak muda
sudah berani menjalin sebuah komitmen serius (masa pedekate/PDKT, pacaran, atau bahkan
pernikahan), ya, jalankan komitmen itu, setialah, dan jangan menyakiti hati pasangan Anda.
Kalau Anda ingin pasangan Anda setia, maka Anda terlebih dahulu harus membuktikan
kesetiaan Anda. Jangan suka menuntut orang lain untuk setia kepada Anda. Anda yang harus
pertama kali setia dengan pasangan Anda. Anak muda dunia telah meracuni banyak anak muda
Kristen, biarlah kita sebagai anak muda Kristen yang takut akan Tuhan tidak mau dipengaruhi
oleh konsep-konsep tersebut.
 
 
Film Hachiko adalah salah satu film langka yang diproduksi oleh Amerika Serikat
(diadaptasi dari film Jepang) yang mengajarkan banyak pengajaran berharga. Melalui film ini,
biarlah kita diingatkan kembali tentang makna kasih dan kesetiaan yang telah kita pelajari
sebelumnya dari sumber aslinya, yaitu pribadi Kristus dan Alkitab.
 
 
Di dunia yang anti-Tuhan, anti-konsep, dan anti-komitmen ini, dari Sorga, Allah melihat,
masih adakah orang yang mengasihi-Nya dan setia? Masihkah orang Kristen yang mengaku
mengikut Kristus mencintai-Nya dengan menjalankan kesetiaan baik kepada Allah dan
pasangannya? Tuhan tidak menginginkan perkataan yang kita ucapkan bahwa kita mengasihi-
Nya dan setia. IA menginginkan sikap hati dan tindakan kita di dalam menjalankan apa yang
telah kita pelajari dan mengerti. Manusia tak mengetahui motivasi hati Anda, hanya Allah saja
yang mengetahui motivasi hati Anda yang terdalam. Biarlah kita masing-masing
mengintrospeksi diri kita masing-masing di hadapan Allah yang Mahatahu. Amin. Soli Deo
Gloria…
 
 

[1]
Kisah selengkapnya baca di: http://id.wikipedia.org/wiki/Hachik%C5%8D
[2]
Diringkas sendiri dan diambil dari: http://id.wikipedia.org/wiki/Hachiko:_A_Dog%27s_Story

“Tidak mau meminta nasihat dalam keputusan-keputusan berat


merupakan tanda kesombongan dan ketidakdewasaan. Selalu ada orang
yang mengenal Alkitab, sifat manusia, dan karunia serta keterbatasan
kita sendiri, lebih baik daripada kita.”
(Prof. J. I. Packer, D.Phil., Mengenal Allah, hlm. 305)

You might also like