You are on page 1of 7

KAPITALISME, NEOLIBERALISME, PERDAGANGAN BEBAS DAN

KEBIJAKAN PEMBANGUNAN : BERKAH ATAU MUSIBAH?


(STUDI KASUS PENDIDIKAN DI INDONESIA)

Pendahuluan
Arah kebijakan pembangunan pendidikan Indonesia dirumuskan merujuk
pada konvensi internasional mengenai pendidikan seperti Pendidikan Untuk
Semua (Education For All) oleh UNESCO, Konvensi Hak Anak (Convention on
the Right of Child) oleh UNHCR, Millenium Development Goals (MDGs) dan
World Summit on Sustainable Development oleh UNDP. Kebijakan pembangunan
pendidikan pada tahun 2007 hingga sekarang mencakup (i) pemerataan dan
perluasan akses pendidikan, (ii) peningkatan mutu dan relevansi pendidikan, dan
(iii) pemantapan good governance. Hal ini menunjukkan bahwa ada keterlibatan
aktor–aktor internasional yang merupakan bagian dari PBB yang terlibat dalam
kebijakan pembangunan pendidikan di Indonesia.
Keterlibatan aktor internasional tidak berhenti disini. bukan merupakah hal
baru apabila Indonesia banyak mendapatkan bantuan dana dari (1) pihak
Worldbank, IMF, Asian Development Bank (ADB) melalui program IMHERE,
DUE, QUE; (2) USAID melalui program MBS dan desentralisasi pendidikan
dasar; (3) aktor-aktor asing lainnya melalui kerjasama antara Universitas di
Indonesia dengan Perguruan Tinggi Asing, serta beasiswa ke luar negeri; (4)
aktor-aktor swasta baik internasional maupun domestik baik perusahaan nasional
maupun multinasional melalui program beasiswa, bursa kerja, bantuan dana ke
sekolah atau universitas.
Selain itu, mengingat kembali pada Desember 1995, negara-negara
anggota ASEAN juga mencapai kesepakatan untuk melakukan liberalisasi di
bidang jasa, salah satunya pendidikan. Kesepakatan itu tertuang di dalam Bangkok
Summit Declaration of 1995 dan Asean Framework Agreement on Services
(AFAS). Sebulan sebelumnya, yaitu pada November 1995, para pemimpin
negara-negara APEC juga mencapai kesepakatan yang dituangkan dalam Osaka
Action Agenda, sebagai implementasi dan Deklarasi Bogor yang ditandatangani
tahun 1994. Dengan demikian berkaitan, dengan perdagangan jasa ada 3 (tiga)
perjanjian/kesepakatan yang telah ditandatangani oleh Indonesia, yaitu General
Agreement of Trade in Services (GATS) dalam forum World Trade Organization
(WTO), AFAS dalam forum ASEAN, dan Osaka Action Agenda dalam forum
APEC.
Implementasi GATS sebagai instrumen internasional perdagangan bebas
yang dapat dilihat dari Indonesia yaitu sikap Indonesia yang sudah menawarkan
beberapa sektor pendidikan dalam putaran Hongkong yang terdiri dari:
(1) jasa pendidikan menengah teknikal dan vokasional;
(2) jasa pendidikan tinggi teknikal dan vokasional;
(3) jasa pendidikan tinggi;
(4) jasa pelatihan dan kursus bahasa;
(5) jasa pendidikan dan pelatihan sepakbola dan catur.
Oleh karena itu cukup wajar bahwa telah terjadi manajemen pendidikan
tinggi dengan bentuk-bentuk World Class University, Research University,
Entrepeneur University yang bermuara pada BHMN, BLU atau BHP, maupun
sekolah berstandar lokal, nasional dan internasional yang bermuara pada MBS
sebagai manajemen pendidikan dasar dan menengah. Manajemen pendidikan baru
ini terpengaruh ide New Public Management yang merupakan turunan dari ide
neoliberalisme yang merupakan bentuk baru dari sistem kapitalisme.

Berkah atau Musibah?


Sudah menjadi rahasia umum bahwa sekarang ini dengan adanya
manajemen pendidikan baru berdampak pada biaya masuk pendidikan dalam level
dasar, menengah dan tinggi cukup mahal dan tidak dapat diakses semua orang
walaupun ada mekanisme subsidi silang dan berbagai beasiswa. Apalagi
pendidikan dasar gratis, belum dapat terlaksana di semua wilayah di Indonesia
padahal wajib belajar 9 tahun telah menjadi program pemerintah sejak dulu.
Lantas dimanakah tanggung jawab negara sebagai institusi yang seharusnya
menjaga dan memenuhi hak-hak publik di bidang pendidikan? Bukankan
mencerdaskan kehidupan bangsa merupakan tujuan negara yang terdapat dalam
pembukaan UUD’45.
Belum lagi kurikulum yang berganti-ganti, menunjukkan sistem
pendidikan masih trial and error. Kurikulum ganti pun berdampak pada buku
paket baru yang harus dibeli masyarakat yang tentunya mengeluarkan biaya
kembali. Bahkan dengan adanya KTSP dimana sekolah menentukan sebagian
kurikulumnya sendiri akan berakibat pada ketidakrelevansian antara kurikulum
sekolah dengan kurikulum nasional yang dapat menyulitkan siswa disaat Ujian
Nasional. Aktor-aktor internasional dan swasta pun secara langsung maupun tidak
langsung dapat mempengaruhi kurikulum sehingga kurikulum berbasis kebutuhan
pasar (market based-oriented), sehingga pendidikan menjadi penyedia tenaga
kerja. Pasar atau sektor swasta merupakan icon dalam sistem kapitalisme, yang
tidak hanya terjadi di Indonesia namun bersifat global. Pertanyaan yang muncul
selanjutnya disini adalah mengapa negara malah menjadi penjaga pasar?
Memang, Weber, Schumpeter dan Dahl menyatakan bahwa kepentingan
individu dapat mempengaruhi kebijakan negara dan dianggap wajar. Sebaliknya,
Hegel dan Marx menggangap hal tersebut tidak wajar karena negara tidak
berpihak kepada rakyat, sehingga Marx menjelaskan berbagai model negara
seperti early structuralist, instrumentalist, structural relative autonomy,
participatory democratic. (Chilcote, 2000, 138 – 140)
Hal inilah apa yang disebut dengan kapitalisme dan kapitalisasi
pendidikan. Pendidikan Indonesia tergantung atau mengalami dependensi pada
aktor-aktor swasta (perusahaan) baik domestik maupun internasional serta aktor
internasional dalam bentuk IMF, WB, WTO, UNESCO, UNHCR, UNDP sebagai
makelar pendidikan, disebabkan anggaran pendidikan 20 % APBN tidak
terlaksana dan tidak ada kemandirian negara di bidang pendidikan. Aktor-aktor
tersebut tidak secara tulus memberikan bantuan atau hibah namun ada kompensasi
yang harus dibayar oleh Indonesia. IMF dan WB menjerat lewat Washington
Consensus dan SAPs. WTO menjerat lewat GATS. Rumusan-rumusan kebijakan
yang merupakan ―madu yang manis namun beracun‖ melalui UNESCO lewat
EFA, UNHCR lewat Konvensi Hak Anak, UNDP melalui MDGs sehingga
menyebabkan Indonesia menerima bantuan dana untuk mencapai standar-standar
sesuai agenda internasional.
Fakta diatas merupakan suatu gambaran keterkaitan antara kebijakan
pembangunan pendidikan di Indonesia, kapitalisasi pendidikan, neoliberalisme
dan perdagangan bebas. Tentu saja konsep pembangunan pendidikan khususnya
(i) pemerataan dan perluasan akses pendidikan; (ii) peningkatan mutu dan
relevansi pendidikan; adalah tidak tercapai, yang terjadi justru sebaliknya
pendidikan tetap tidak merata dan meluas aksesnya, mutu dan relevansi
pendidikan disesuaikan pasar. Artinya hal ini menjadi suatu petaka bagi
masyarakat dan negara Indonesia. Namun menjadi berkah bagi aktor-aktor
internasional yang berbasis kapitalis-neoliberal dan aktor-aktor swasta domestik
dan internasional, yang semuanya berusaha mengeruk keuntungan di bidang
pendidikan.

Ketergantungan: Suatu Kajian Teoritik


Dunia saat ini mengalami ketergantungan dalam berbagai bidang termasuk
pendidikan, sehingga problematika yang terjadi dalam level lokal maupun
nasional tidak lepas dari level global. Problematika pendidikan yang dialami di
suatu universitas atau sekolah seperti biaya mahal, kurikulum, ujian nasional, dan
sebagainya terjadi karena problematika sistem kapitalisme global dalam bentuk
baru yang disebut neoliberalisme.
Neoliberalism emphasizes freedom in terms of individual autonomy and pursuit of
material gain in the marketplace, Neoliberals favor banishing government from the
economic area. 'They would privatize the economy, free markets of regulations, and open
up the national economy to international trade and foreign investment and would cut
government social spending and welfare programs. In effect, they would favor them the
market over the state. (Chilcote, 2000, 153)

Ketergantungan ini dapat dijelaskan melalui teori dependensia. Cukup


banyak ilmuwan yang berpendapat tentang dependensia seperti Galtung,
Wallerstein, dll.
Dunia terdiri dari empat zona yaitu inti, semi pinggiran, pinggiran,dan
eksternal. Zona inti merupakan wilayah yang paling diuntungkan dari ekonomi
kapitalis, mengembangkan pemerintah pusat, birokrasi ekstensif dan militer yang
kuat. Zona Semi pinggiran adalah wilayah inti yang menurun atau pinggiran yang
berusaha meningkatkan posisinya. Pinggiran merupakan wilayah yang lemah dari
sisi pemerintah pusat atau dikontrol oleh negara lain, mengekspor bahan mentah
ke inti, dan terjadi ketidakseimbangan relasi perdagangan antara inti dan
pinggiran. Sedangkan eksternal merupakan zona yang mengembangkan sistem
ekonominya sendiri atau berada di luar sistem (Wallerstein, 1974). Dependensia
dapat dikaitkan dengan model-model kapitalisme yang dikatakan sukses.
Kesuksesan kapitalisme ini dapat diamati dalam tiga bentuk yaitu (1)
harsh capitalism ala Anglo-Amerika yang menekankan pada peran pasar; (2)
welfare state and social democracy capitalism ala Eropa Kontinental; (3) state-led
capitalism ala Asia Timur seperti Jepang dan Korea Selatan. (Lippit, 2005 : 5)
Bentuk pertama dan kedua dapat dikatakan sebagai zona inti. Bentuk ketiga yaitu
zona semi pinggiran. Sedangkan negara-negara berkembang seperti Indonesia
adalah negara pinggiran yang menerapkan sebenarnya juga sistem kapitalisme
namun menjadi korban.
Sebenarnya meskipun AS dikatakan sebagai negara maju atau zona inti,
tetap bermasalah dimana terjadi kesenjangan sosial yang cukup tinggi. Terbukti
dengan data bahwa 43,6 juta penduduk tidak mendapat jaminan kesehatan pada
tahun 2002 (sehingga saat ini Obama berusaha melakukan reformasi kesehatan—
penulis), 16,3% anak-anak hidup dalam kemiskinan. (US Department of
Commerce, 2003). Pada tahun 2004, lebih dari 28 juta orang angkatan kerja yang
berusia 18 sampai 64 tahun memperoleh pendapatan kurang dari $9.04 per jam
atau $18,800 per tahun. Pendapatan tersebut menandai garis kemiskinan federal.
(Business Week, 5/31/04: 61 dalam Lippit, 2005 : 6).
Bagaimanapun kapitalisme tetap bermasalah dimana-mana meskipun
menguntungkan bagi beberapa pihak khususnya pemilik modal. Marx memandang
hakikat kapitalisme dalam kerangka keterkaitan antara pemilik modal sebagai
sarana produksi dan pekerja. Pemilik modal membeli kekuatan pekerja dan
menggunakannya untuk menciptakan komoditas dengan nilai yang lebih besar
dibandingkan perlengkapan, bahan mentah dan kekuatan pekerja yang digunakan
untuk memproduksi. Nilai surplus inilah yang merupakan sumber keuntungan
pemilik modal. Sebaliknya, Wallerstein memandang hakikat kapitalisme dalam
produksi komoditas untuk perdagangan bebas di pasar dunia. Wallerstein
mengenali ragam yang luas metode pengawasan pekerja yang konsisten dalam
kapitalisme seperti pemilik modal yang memperkerjakan buruh. (Lippit, 2005 : 9)
Pasar adalah inti sistem kapitalis dan kapitalisme memerlukan pasar tenaga
kerja dalam produksi sebagaimana pasar produk sebagai hasilnya. (Lippit, 2005 :
10). Wajar, apabila pendidikan yang diharapkan dalam sistem kapitalisme adalah
pendidikan yang menyediakan pasar tenaga kerja yang murah bagi pemilik modal.
Aktor-aktor yang berkontribusi dalam pendanaan pendidikan berlaku
sebagai pemilik modal yang berinvestasi atau menanamkan modalnya, bila aktor
tersebut adalah perusahaan mutinasional dapat berbentuk Foreign Direct
Investment (FDI). Indonesia telah berhutang pada IMF dan World Bank
khususnya pasca krisis 1998 untuk mendanai pembangunan termasuk pendidikan,
sehingga harus terikat dengan Structural Adjustment Programs (SAPs), apalagi
ditambah dana hibah yang diberikan IMF dan WB yang berupa hibah bersyarat
atau hibah yang sebenarnya pinjaman.

Kesimpulan
Oleh karena itu, ketergantungan atau dependensi yang diciptakan oleh
sistem kapitalisme-neoliberalisme dengan instrumen perdagangan bebas termasuk
dalam bidang pendidikan yang dianggap perdagangan bidang jasa dengan
bungkus ide-ide kebijakan pembangunan pendidikan yang terkesan baik, telah
menyebabkan berbagai konsekuensi. Menjadi berkah bagi para individu pemilik
modal yang dapat berwujud aktor-aktor swasta dan aktor-aktor internasional baik
berbentuk agen-agen negara, lembaga internasional yang merupakan bagian dari
PBB maupun perusahaan multinasional. Namun, menjadi musibah bagi yang tidak
memiliki modal khususnya masyarakat dan negara berkembang termasuk
Indonesia. Bahkan masyarakat diharapkan menjadi pekerja murah bagi pemilik
modal dalam kapitalisme.
DAFTAR PUSTAKA
Chilcote, Ronald H. 2000. Theories of Comparative Political Economy Boulder.
CO: Westview Press

Lippit, Victor D Lippit. 2005. Capitalism. NY: Routledge

Wallerstein, Immanuel. 1974. The Modern World System I: Capitalist Agriculture


and the Origins of the European World-Economy in the Sixteenth Century.
New York: Academic Press.

You might also like