You are on page 1of 18

c cc


  c

Label: ilmu pengetahuan

cc



Seperti yang Young Yun Kim paparkan dalam buku Komunikasi Antarbudaya karya Deddy
Mulyana, Manusia adalah makluk sosio-budaya yang memperoleh perilakunya lewat belajar.
Apa yang kita pelajari pada umumnya dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan sosial dan budaya.
Dari semua aspek belajar manusia, komunikasi merupakan aspek yang sangat penting dan paling
mendasar. Kita belajar dari banyak hal lewat respons-respons komunikasi terhadap rangsangan
dari lingkungan. Kita harus menyandi dan menyandi balik pesan-pesan dengan cara itu sehingga
pesan-pesan tersebut akan dikenali, diterima, dan direspons oleh individu-individu yang
berinteraksi berfungsi sebagai alat untuk menafsirkan lingkungan fisik dan sosial kita.
Komunikasi merupakan alat utama kita untuk memanfaatkan berbagai sumber daya lingkungan
dalam pelayanan kemanusiaan. Lewat komunikasi kita menyesuaikan diri dan hubungan dengan
lingkungan kita, serta mendapatkan keanggotaan dan rasa memiliki dalam berbagai kelompok
sosial yang mempengaruhi kita.

Komunikasi...adalah pembawa proses sosial. Ia adalah alat yang manusia untuk mengatur,
menstabilkan, dan memodifikasi kehidupan sosialnya.... Proses sosial bergantung pada
penghimpunan, pertukaran, dan penyampaian pengetahuan. Pada gilirannya pengetahuan
bergantung pada komunikasi (peterson, jensen, dan rivers, 1965: 16).
Dalam konteks yang luas ini, kita dapat merumuskan budaya sebagai paduan pola-pola yang
merefleksikan respons-respons komunikatif terhadap rangsangan dari lingkungan. Pola-pola
budaya ini pada gilirannya merefleksikan elemen-elemen yang sama dalam perilaku komunikasi
individu yang dilakukan mereka yang lahir dan diasuh dalam budaya itu. Le Vine (1973)
menyatakan fikiran ini ketika mendefinisikan budaya sebagai perangkat aturan terorganisasikan
mengenai cara-cara yang dilakukan individu-individu dalam masyarakat berkomunikasi satu
sama lain dan cara mereka berfikir tentang diri mereka dan lingkungan mereka.

Proses proses yang dilalui individu-individu untuk memperoleh aturan-aturan (budaya)


komunikasi dimulai pada masa awal kehidupan. Melalui proses sosialisasi dan pendidikan, pola-
pola budaya ditanamkan kedalam sistem saraf dan menjadi bagian kepribadian dan perilaku kita
(adler, 1976) . proses belajar yang teriternalisasikan ini memungkinkan kita untuk berinteraksi
dengan anggota-anggota budaya lainnya yang juga memiliki pola-pola komunikasi serupa.
Proses mmperoleh pola-pola demikian oleh individu-individu itu disebut enkulturasi (herskovits,
1966 : 24) atau istilah-istilah serupa lainnya seperti pelaziman budaya (cultural conditioning) dan
pemrograman budaya (cultural programming).

Lalu apa yang terjadi bila seseorang yang lahir dan terenkulturasi dalam suatu budaya tertentu
memasuki suatu budaya lain sebagai seorang imigran atau pengungsi untuk selamanya? Tidak
seperti para pengunjung sementara, imigran ini akan perlu membangun suatu hidup baru dan
menjadi anggota masyarakat pribumi. Kehidupannya serta fungsional akan bergantung pada
masyarakat pribumi; tidak akan mudah baginya untuk menjadi seorang pengamat dalam
masyarakat tersebut. Banyak tata cara komunikasi yang telah diperoleh imigran sejak masa
kanak-kanaknya yang mungkin tak berfungsi lagi dalam lingkungan yang barunya. Transaksi-
transaksi dalam kehidupan sehari-hari saja membutuhkan kemampuan berkomunikasi yang
menggunakan lambang-lambang dan aturan-aturan yang ada dalam sistem komunikasi
masyaraka pribumi.

Tidaklah mudah memahami perilaku-perilaku kehidupan yang sering tak diharapkan dan tak
diketahui bagi banyak orang pribumi, apalagi bagi para imigran.sebagai anggota baru dalam
budaya pribumi, imigran harus menghadapi banyak aspek kehidupan yang asing. Asumsi-asumsi
budaya tersembunyi dan respons-respons yang telah terkondisikan menyebabkan banyak
kesulitan-kesulitan kognitif, afektif, dan prilaku dalam penyesuaian diri engan budaya yang baru.
Seperti yang chutz (1960 : 108) kemukakan,´bagi orang asing,pola budaya kelompok yang
dimasukinya bukanlah merupakan tempat berteduh tami merupakan suatu arena petualangan,
bukan merupakan hal yang lazim tapi suatu topik penyelidikan yang meragukan, bukan suatu alat
untuk lepas dari situasi-situasi problematik tersendiri yang sulit dikuasai.´

Meskipun demikian, hubungan antara budaya dan individu, seperti yang terlihat pada
enkulturasi, membangkitkan kemampuan manusia yang besar untuk menyesuaikan dirinya
dengan keadaan. Secara bertahap imigran belajar menciptakan situasi-situasi dan relasi-relasi
yang tepat dalam masyarakat pribumi sejalan dengan berbagai transaksinya yang ia lakukan
dengan oran g-orang lain. Pada saatnya, imigran akan menggunakan cara-cara berprilaku
masyarakat pribumi untuk menyesuaikan diri dengan pola-pola yang diterima masyarakat
setempat;penyesuaian diri yang ia lakukan dengan lebih teliti. Perubahan-perubahan perilaku
juga terjadi ketika seorang imigran menyimpang dari pola-pola budaya lama yang dianutnya dan
mengganti pola-pola lama tersebut dengan pola-pola baru dalam budaya pribumi.

Proses enkulturasi kedua yang terjadi pada imigran ini disebut akulturasi (acculturation).
Akulturasi merupakan suatu proses yang dilakukan imigran untuk menyesuaikan diri dengan dan
memperoleh budaya pribumi, yang akhirnya mengarah pada asimilasi yang merupakan derajat
tertinggi akulturasi yang secara teoritis mungkin terjadi. Bagi kebanyakan imigran asimilasi
mungkin merupakan tujuan sepanjang hidup.

Dari sedikit paparan tulisan diatas begitu pentingnya peranan Akulturasi dan Komunikasi
maupun sebaliknya dalam berkomunikasi antarbudaya, maka penulis pun merasa perlu untuk
membuat karya ilmiah ini agar bisa menjelaskan lebih detil lagi tentang ³Akulturasi dan
Komunikasi´.

 
Masalah yang ingin dikemukakan disini adalah :

a. Apa faktor- faktor penting yang bisa memberi andil kepada potensi akulturasi yang besar?

b. Bagaimana peran komunikasi dalam mempermudah akulturasi?

   

Metode yang digunakan dalam penulisan karya ilmiah ini adalah :

Penulis mencoba mencoba untuk menguraikan dengan sejelas-jelasnya tentang persoalan diatas
agar mahasiswa/i yang mengambil mata kuliah ini ataupun yang memerlukan tulisan ini sebagai
bahan rujukan bisa memahaminya atau mengetahuinya.

! " #$%#


Penulis melakukan beberapa tehnik dalam proses ³Pengumpulan Data´ untuk melancarkan
pembuatan ³Tugas Akhir´ ini, diantaranya:

1. Melakukan studi pustaka berdasarkan sumber-sumber tertulis, seperti buku ( Sebagian besar
diambil dari buku Komunikasi Antarbudaya, karya Deddy Mulyana);

2. Mencari data yang relevan terhadap tema´, seperti internet;

Semua tehnik dalam proses ³Pengumpulan Data´ ini tentunya memiliki relevansi terhadap topik
yang penulis ambil.

&# # $'

1. Untuk dapat diketahui oleh pembaca tentang ³apa faktor- faktor yang bisa memberi andil
kepada potensi akulturasi yang besar´.

2. Untuk dapat diketahui oleh pembaca tentang ³peran komunikasi dalam mempermudah
akulturasi´
( ) $'

1. Untuk dapat digunakan sebagai bahan bacaan bagi mahasiswa/i yang memerlukan tulisan ini.

2. Sebagai materi pelajaran bagi mahasiswa/i yang mengambil mata kuliah ³Komunikasi
Antarbudaya´.


  cc c c

Thomas Glick (1997) akulturasi adalah proses pergantian budaya yang di set dalam gerakan dari
pertemuan sistem budaya yang autonom. Menghasilkan sebuah peningkatan persamaan antara
satu dengan yang lainnya.

Robert Redfield, Ralph Linton dan Melville Herskovits dalam american antropologist (1936)
akulturasi merupakan sebuah hasil ketika dua kelompok budaya dari individu-individu saling
bertukar perbedaan budaya, timbul dari keberlanjutan perjumpaan pertama. Dimana terjadi
perubahan dari pola asli kebudayaan dari kedua kelompok tersebut.
Dalam proses komunikasi pastinya mendasari proses akulturasi seorang imigran. Akulturasi
terjadi melalui identifikasi dan internalisasi lambang-lambang masyarakat pribumi yang
signifikan. Sebagaimana orang-orang pribumi memperoleh pola-pola budaya pribumi lewat
komunikasi seorang imigran pun memperoleh pola-pola budaya pribumi lewat komunikasi.
Seorang imigran akan mengatur dirinya untuk mengetahui dan diketahui dalam berhubungan
dengan orang lain.Dan itu dilakukannya lewat komunikasi.Proses trial and error selama
akulturasi sering mengecewakan dan menyakitkan. Dalam banyak kasus, bahasa asli imigran
sangat berbeda dengan bahasa asli masyarakat pribumi. Masalah-masalah komunikasi lainnya
meliputi masalah komunikasi nonverbal, seperti perbedaan-perbedaan dalam penggunaan dan
pengaturan ruang, jarak antar pribadi, ekspresi wajah, gerak mata,gerak tubuh lainnya,dan
persepsi tentang penting tidaknya prilaku nonverbal.

Bahkan bila seorang imigran dapat menggunakan pola-pola komunikasi verbal dan nonverbal
secara memuaskan, ia mungkin masih akan mengalami sedikit kesulitan dalam mengenal dan
merespons aturan-aturan komunikasi bersama dalam budaya yang ia masuki itu. Imigran sering
tidak sadar akan dimensi-dimensi budaya pribumi yang tersembunyi yang mempengaruhi apa
yang di persepsikan dan bagai mana mempersepsi, bagaimana menafsirkan pesan-pesan yang
diamati, dan bagaimana mengekspresikan pikiran dan prasaan secara tepat dalam konteks
relasional dan keadaan yang berlainan. Perbedaan-perbedaan lintas budaya dalam aspek-aspek
dasar komunikasi ini sulit diidentifikasi dan jarang dibicarakan secara terbuka. Perbedaan-
perbedaan tersebut sering merintangi timbulnya saling pengertian antar para imigran dan
anggota-anggota masyarakat pribumi.

Bila kita memandang akulturasi sebagai proses pengembangan kecakapan berkomunikasi dalam
sistem sosio-budaya pribumi, perlulah ditekankan fakta bahwa kecakapan berkomunikasi
sedemikian diperoleh melalui pengalaman-pengalaman berkomunikasi.Orang belajar
berkomunikasi dengan berkomunikasi. Melalui pengalaman-pengalaman berkomunikasi yang
teruss menerus dan beraneka ragam, seorang imigran secara bertahap memperoleh mekanisme
komunikasi yang ia butuhkan untuk menghadapi lingkungannya. Keccakapan berkomunikasi
yang telah diperoleh imigran lebih lanjut menentukan seluruh akulturasinya. Kecakapannya ini
terutama terletak pada kemampuan imigran untuk mengontrol perilakunya dan lingkungan
pribumi. Kecakapanimigran dalam berkomunikasi akan berfungsi sebagai seperangkat alat
penyesuaian diri yang membantu imigran memenuhi kebutuhan-kebutuhan dasarnya seperti
kebutuhan akan kelangsungan hidup dan kebutuhan akan ³rasa memiliki´ dan ³harga diri´
(maslow, 1970:47).Survei tentang imigran-imigran asal korea dan indocina di amerika serikat
dalam penyesuaian diri secara psikologis, sosial, dan ekonomis.
Oleh karena itu, proses akulturasi adalah suatu proses yang interaktif dan berkesinambungan
yang berkembang dalam dan melalui komunikasi seorang imigran dengan lingkungan sosio-
budaya yang baru. Kecakapan komunikasi yang diperolehnya, pada gilirannya menunjukkan
derajat akulturasi imigran tersebut. Derajat akulturasi imigran tidak hanya direfleksikan dalam,
tapi juga di permudah oleh, derajat kesesuaian antara pola-pola komunikasinya dan pola-pola
komunikasi masyarakat pribumi yang disetujui bersama. Ini tidak berarti bahwa setiap rincian
prilakukomunikasi seorang imigran dapat diamati untuk memahami akulturasinya, tidak pula
berarti bahwa semua aspek akulturasinya dapat dipahami melalui pola-pola komunikasinya.
Namun, dengan memusatkan perhatian pada beberapa variabel komunikasi yang penting dalam
proses akulturasi, kita dapat memperkirakan realiitas akulturasi pada suatu saat tertentu dan juga
meramalkan tahap akulturasi selanjutnya.

Vcc *Vcc 
  ccc c c

Dalam menganalisis akulturasi seorang imigran dari perspektif komunikasi terdapat pada
perspektif sistem yang dielaborasi oleh Ruben (1975). Dalam perspektif sistem, unsur dasar
suatu sistem komunikasi manusia teramati ketika orang secara aktif sedang berkomunikasi,
berusaha untuk, dan mengharapkan berkomunikasi dengan lingkungan. Sebagai suatu sistem
komunikasi terbuka, seseorang berinteraksi dengan lingkungan melalui dua proses yang saling
berhubungan komunikasi persona dan komunikasi sosial.

$#"" 

Komunikasi persona (atau intrapersona) mengacu kepada proses-proses mental yang dilakukan
orang untuk mengatur dirinya sendiri dalam dan dengan lingkungan sosio-budayanya,
mengembangkan cara-cara melihat, mendengar, memahami, dan merespon
lingkungan.´komunikasi persona dapat dianggap sebagai merasakan, memahami, dan berprilaku
terhadap objek-objek dan orang-orang dalam suatu lingkungan. Ia adalah proses yang dilakukan
individu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungannya´ (Ruben, 1975 : 168 ± 169). Dalam
konteks akulturasi, komunikasi persona, seorang imigran dapat dianggap sebagai pengaturan
pengalaman-pengalaman akulturasi kedalam sejumlah pola respon kognitif dan afektif yang
dapat diidentifikasikan dan konsisten dengan budaya pribumi atau yang secara potensial
memudahkan aspek-aspek akulturasi lainnya.

Salah satu variabel komunikasi persona terpenting dalam akulturasi adalah kompleksitas struktur
kognitif imigran dalam mempersepsi lingkungan pribumi. Selama fase-fase awal akulturasi,
persepsi seorang imigran atas lingkungan pribuminya relatif sederhana; persepsi imigran atas
lingkungannya yang asing itu menunjukkan stereotip-stereotip kasar. Namun, setelah imigran
mengetahui budaya pribumi lebih jauh, persepsinya menjadi lebih halus dan kompleks,
memungkinkannya menemukan banyak variasi dalam lingkungan pribumi.

Suatu variabel komunikasi persona lainnya dalam akulturasi adalah citra diri (self image)
imigran yang berkaitan dengan citra-citra imigran tentang lingkungannya.

$#"""

Komunikasi persona berkaitan dengan komunikasi sosial ketika dua atau lebih individu
berinteraksi, sengaja atau tidak. ³komunikasi adalah suatu proses yang mendasari
intersubjektivitas, suatu fenomena yang menjadi sebagai akibat simbolisasi publik dan
penggunaan serta penyebaran simbol´ (Ruben, 1975 : 171).melalui komunikasi sosial individu-
individu ³menyetel´ perasaan-perasaan, pikiran-pikiran, dan perilaku-perilaku antara yang satu
dengan yang lainnya. Komunikasi sosial dapat dikategorikan lebih jauh kedalam komunikasi
antarpersona dan komunikasi masa.komunikasi antarpersona terjadi melalui hubungan-hubungan
antarpersona, sedangkan komunikasi masa adalah suatu proses komunikasi sosial yang lebih
umum, yang dilakukan individu-individu untuk berinteraksi dengan lingkungan sosio-
budayanya, tanpa terlihat dalam hubungan-hubungan antarpersona dengan individu-individu
tertentu.
"# $#""

Kondisi- kondisi lingkungan merupakan hal yang mungkin secara signifikan mempengaruhi
perkembangan sosio±budaya yang akan dicapai imigran Suatu kondisi lingkungan yang sangat
berpengaruh pada komunikasi dan akulturasi imigran adalah adanya komunitas etniknya di
daerah setempat. Derajat pengaruh komunitas etnik atas perilaku imigran sangat bergantung pada
derajat ³kelengkapan kelembagaan´ komunitas tersebut dan kekuatannya untuk memelihara
budayanya yang khas bagi anggota-anggotanya (Taylor, 1979).


 c c

Pola-pola akulturasi tidaklah seragam diantara individu-individu tetapi beraneka ragam,


bergantung pada potensi akulturasi yang dimiliki imigran sebelum berimigrasi.

Kemiripan antar budaya asli (imigran) dan budaya pribumi mungkin merupakan faktor
terpenting yang menunjang potensi akulturasi.
Diantara faktor-faktor karakteristik-karakteristik demografik,usia pada saat berimigrasi dan latar
belakang pendidikan terbukti berhubungan dengan potensi akulturasi. Imigran yang lebih tua
mengalami lebih banyak kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan budaya yang baru dan
mereka lebih lambat dalam memperoleh pola-pola budaya baru (Kim, 1976). Latarbelakang
pendidikan imigran sebelum berimigrasimempermudah akulturasi (Kim, 1976, 1980.

Faktor-faktor yang memperkuat potensi akulturasi adalah faktor-faktor kepribadian seperti suka
berteman ,toleransi, mau mengambil resiko, keluesan kognitif, keterbukaan dan sebagainya
karakteristik-karakteristik kepribadian ini membantu imigran membentuk persepsi, perasaan dan
perilakunya yang memudahkan dalam lingkungan yang baru.

Disamping itu, `  imigran tentang budaya pribumi sebelum berimigrasi yang siperoleh
dari kunjungan yang sebelumnya, kontak-kontak antarpesona, dan lewat media massa, juga dapat
mempertinggi potensi akultrasi imigran.

c 
  ccc   cc c

Peran akulturasi banyak berkenaan dengan usaha menyesuaikan diri dengan, dan menerima pola-
pola dan aturan-aturan komunikasi dominan yang ada pada masyarakat pribumi. Kecakapan
komunikasi pribumi yang diperoleh pada gilirannya akan mempermudah semua aspek
penyesuain diri lainnya dalam masyarakat pribumi. Dan informasi tentang komunikasi imigran
memungkinkan kita meramalkan derajat dan pola akulturasinya.
Potensi akulturasi seorang imigran sebelum berimigrasi dapat memepermudah akulturasi ayang
dialaminya dalam masyarakat pribumi. Adapun faktor-faktor yang menentukan potensi akultrasi
adalah sebagai berikut:

1. Kemiripan antara budaya asli (imigran) dan budaya pribumi;

2. Usia pada saat berimigrasi;

3. Latar belakang pendidikan

4. Beberapa karakteristik kepribadian, seperti suka bersahabat dan toleransi;

5. Engetahuan tentang budaya pribumi sebelum berimigrasi.

Proses akulturasi akan segera berlangsung saat seorang imigran memasuki budaya pribumi.
Proses akulturasi akan terus berlangsung selama imigran mengadakan kontak langsung dengam
sistem sosio-budaya pribumi. Semua kekuatan akulturatif-komunikasi persona dan sosial,
lingkungan komunikasi dan potensi akulturasi mungkin tidak akan berjalan lurus dan mulus, tapi
akan bergerak majumenuju asimilasi yang secara hipotesis merupakan asimilasi yang sempurna.

Jika seorang imigran ingin mempertinggi kapasitas akulturatifnya dan secara sadar berusaha
mempermudah proses akulturasinya, maka ia harus menyadari pentingnya komunikasi sebagai
mekanisme penting untuk mencapai tujuan-tujuan tersebut. Dan memiliki suatu kecakapan
komunikasi dalam budaya pribumi, kecakapan kognitif, afektif, dan perilaku dalam berhubungan
dengan lingkungan pribumi.

Karena proses akulturasi adalah suatu proses interaktif ´mendorong dan menarik´ antara seorang
imigran dan lingkungan pribumi. Maka imigran tak akan pernah mendapatkan tujuan
akulturatifnya sendirian. Tapi anggota-anggota masyarakat pribumi dapat mempermudah
akulturasi imigran dengan menerima pelaziman budaya asli imigran, dengan memberikan situasi-
situasi komunikasi yang mendukung kepada imigran, dan dengan menyediakan diri secara sabar
untuk berkomunikasi antarbudaya dengan imigran. masyarakat pribumi dapat lebih aktif
membantu akulturasi imigran dengan mengadakan program-program latihan komunikasi. Dan
nantinya segala program latihan tersebut harus membantu imigran dalam memperoleh kecakapan
komunikasi.

$#""c#+c##"

Jika seseorang memasuki alam kebudayaan baru, timbul memacam

kegelisahan dalam dirinya. Kecenderungan dalam menghadapi sesuatu yang baru ini bersifat
alami dan normal. Tetapi perasaan itu dapat mengarah pada rasa takut,

tidak percaya diri, tekanan dan frustasi. Apabila hal demikian terjadi pada seseorang, maka
dikatakan ia sedang mengalami ³culture shock´, yakni masa khusus transisi serta perasaan-
perasaan unik yang timbul dalam diri orang setelah ia memasuki suatu kebudayaan baru. Orang
yang mengalami fenomena ³culture shock´ ini akan merasakan gejala-gejala fisik seperti pusing,
sakit perut, tidak bisa tidur, ketakutan yang berlebihan terhadap hal yang kurang bersih dan
kurang sehat, tidak berdaya dan menarik diri, takut ditipu, dirampok, dilukai, melamun,
kesepian, disorientasi dll.(Dodd, 1982:97-98). Karena sifatnya yang cenderung disorientasi,
³culture shock´, menghambat KAB yang efektif.
Tahap-Tahap ³Culture Shock´

Tahap-tahap yang dilalui seseorang dalam mengalami proses transisi tersebut telah diteliti oleh
beberapa ahli (Dodd, 1982:98) :

a. ³Harapan besar´ (³eager expectation´) :

Dalam tahap ini, orang tersebut merencanakan untuk memasuki kebudayaan kedua atau
kebudayaan baru. Rencana tersebut dibuatnya dengan bersemangat, walaupun ada perasaan was-
was dalam menyongsong kemungkinan yang bisa terjadi. Sekalipun demikian, ia dengan optimis
menghadapi masa depan dan perencanaan dilanjutkan.

b. ³Semua begitu indah´ ( everything is beautiful´) :

Dalam tahap ini segala sesuatu yang baru terasa menyenangkan. Walaupun mungkin beberapa
gejala seperti tidak bisa tidur atau perasaan gelisah dialami, tetapi rasa keingin ± tahuan dan
entusiasme dengan cepat dapat mengatasi

perasaan tersebut. Beberapa ahli menyebut tahap ini sebagai ³bula madu´.

Dari penelitian-penelitian diketahuui bahwa tahap ini biasanya berlangsung


beberapa minggu sampai enam bulan.

c. ³Semua tidak menyenangkan´ (³everything is awful´)

Masa bulan madu telah usai. Sekarang segala sesuatu telah terasa tidak menyenangkan. Setelah
beberapa lama, ketidak-puasan, ketidak-sabaran, kegelisahan mulai terasa. Nampaknya semakin
sulit untuk berkomunikasi dan segalanya terasa asing. Untuk mengatasi ras ini ada beberapa cara
yang ditempuh. Seperti dengan cara melawan yaitu dengan mengejek, memandang rendah dan
bertindak secara etnosentrik; kadang-kadang juga melakukan kekerasan dengan merusah benda-
benda secara fisik, sehingga dapat menimbulkan kesulitan hukum bagi dirinya sendiri. Tahap
selanjutnya melarikan diri dan mengadakan penyaringan serta pelenturan.

d. ³ Semua berjalan lancar´ (everything is ok)

Setelah beberap bulan berselang, orang tersebut menemukan dirinya dalam Keadaan dapat
menilai hal yang positif dan negatif secara seimbang. Akhirnya ia telah mempelajari banyak
tentang kebudayaan baru di luar kebudayaannya.

Dari pembahasan di atas, akulturasi tidak terjadi secara sama dalam

kehidupan setiap orang. Demikian pula sebagian orang bermotivasi untuk


berakulturasi, sebagian laginya tidak. Integrasi total berlangsung secara bertahap

pada beberapa factor. Nampaknya juga untuk masa depan, pluralisme kebudayaan masih akan
merupakan suatu kenyataan. Tantangan bagi setiap komunikator antar budaya ialah untuk
memahami dinamika kontak kebudayaan, perinsip-perinsip akulturasi, culture shock dan
menerapkannya pada hubungan-hubungan yang bermanfaat.
"$%#

Perbedaan kebudayaan dan gaya-gaya komunikasi berpotensi untuk menimbulkan masalah-


masalah dalam berkomunikasi lintas budaya. Tetapi tidak

saja perbedaan, melainkan juga lebih penting lagi adalah kesulitan untuk mengakui perbedaan
yang menyebabkan masalah serius dan mengancam kelancaran KAB. Maka kesadaran akan
variasi kebudayaan, ditambah dengan kemauan untuk menghargai variasi tersebut akan sangat
mendorong hubungan antar kebudayaan. Melalui pengalaman-pengalaman lintas budaya , kita
menjadi lebih terbuka dan toleran dalam menghadapi keganjilan-keganjilan budaya. Bila ini
ditunjang dengan studi formal tentang konsep budaya, kita tidak hanya memperolehpandangan-
pandangan baru untuk memperbaiki hubungan-hubungan kita dengan orang lain, namun kita pun
menjadi sadar akan dampak budaya asli kita pada diri kita. Pemahaman budaya dapat
mengurangi dampak gegar budaya (culture shock) dan meningkatkan pengalaman-pengalaman
antar budaya. Untuk memahami perbedaan-perbedaan budaya lebih efektif, penulisberpendapat
bahwa langkah pertama dalam proses ini adalah meningkatkan kesadaran budaya seseorang
secara umum. Orang harus memahami konsep budaya dan ciri-cirinya sebelum ia memperoleh
manfaat yang sebaik-baiknya. Disamping itu, dengan memahami µpotensi akulturasi dan peran
komunikasi dalam mempermudah akulturasi¶ dari pihak-pihak yang berkomunikasi akan
memudahkan berlangsungnya proses komunikasi dan dalam pencapaian makna di antara
keduanya.


Hendaknya pemahaman tentang penerapan Komunikasi Lintas Budaya ini tidak

hanya di lingkungan Sivitas Akademika saja, namun perlu diperluas kepada

masyarakat untuk menghindari konflik-koflik SARA yang dapat mengancam

ketenangan dan kenyamanan hidup bermasyarakat.

You might also like