You are on page 1of 16

KORUPSI, KOLUSI DAN NEPOTISME (KKN)

DALAM PERSPEKTIF ISLAM

DISUSUN OLEH
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I

PENDAHULUAN

Islam diturunkan Allah Swt adalah untuk dijadikan pedoman dalam


menata kehidupan umat manusia, baik dalam berkeluarga, bermasyarakat, dan
bernegara. Tidak ada sisi yang ter-alpakan (tidak diatur) oleh Islam. Aturan atau
konsep itu bersifat ‘mengikat’ bagi setiap orang yang mengaku muslim. Konsep
Islam juga bersifat totalitas dan komprihensif, tak boleh dipilah-pilah seperti yang
di zaman sekarang ini. Mengambil sebagian dan membuang bagian lainnya,
adalah sikap yang tercela dalam pandangan Islam (al-Baqarah : 85).

Salah satu aturan Islam yang bersifat individual, adalah mencari kehidupan
dari sumber-sumber yang halal. Islam mengajarkan kepada umatnya agar dalam
mencari nafkah kehidupan, hendaknya menempuh jalan yang halal dan terpuji
dalam pandangan syara`. Pintu-pintu rezeki yang halal terbuka sangat luas, tidak
seperti yang dibayangkan oleh banyak orang awam, bahwa di zaman modern ini
pintu rezeki yang halal sudah tertutup rapat dan tak ada jalan keluar dari sumber
yang haram. Anggapan ini amat keliru dan pessimistik. Tidak masuk akal, Allah
memerintahkan hamba-Nya mencari jalan hidup yang bersih sementara pintu halal
itu sendiri sudah tidak didapatkan lagi. Alasan di atas lebih merupakan hilah
(dalih) untuk menjustifikasi realitas masyarakat kita yang sudah menyimpang jauh
dan menghalalkan segala cara.

Dalam waktu yang sama, Allah swt melarang hambanya memakan


harta/hak orang lain secara tidak sah, apakah melalui pencurian, copet, rampok,
pemerasan, pemaksaan dan bentuk-bentuk lainnya. Dalam kaitan ini, Allah swt
berfirman dalam al-Qur`an:
"Dan janganlah kamu makan harta sesama kamu dengan cara yang
batil". (al-Baqoroh 188, dan An-Nisa`: 29).

Larangan dalam ayat di atas menunjukkan bahwa memakan barang atau harta
orang lain, baik bersifat individu atau harta orang banyak hukumnya haram.
Pelakunya diancam dengan dosa.

Kalau kita amati apa yang berlangsung sekarang, orang menggabungkan ketiga tindak
pidana atau pelanggaran ketentuan ini menjadi satu istilah, KKN. Dalam penggunaanya
ketiga hal ini seolah-oleh telah menjadi satu kata. Saya takut malah sudah menjadi suatu
slogan. Akan tetapi sebagai akibatnya pembahasan mengenai masalahnya sendiri
menjadi tidak fokus, sebagai konsep mengambang, dan secara operasional menyulitkan.
Kalau seseorang dituduh melakukan tindakan KKN, mana sebenarnya yang dituduhkan,
korupsi, kolusi atau nepotisme atau ketiga-tiganya atau dua. Ini tidak jelas. Sebagai suatu
tuduhan politis atau sosial saya kira tidak menjadi masalah, ketiganya merupakan
tindakan tercela yang ingin kita berantas.

Istilah KKN dianggap dimengerti semua orang, tetapi begitu dibahas lebih mendalam,
ternyata orang mempunyai konsep atau definisi yang berbeda satu dengan yang lain.
Tentu diskusi atas dasar konsep yang dikira mempunyai satu arti, padahal tidak, ini dapat
menjadi simpang siur. Ini hampir menjadi jaminan akan tidak adanya program atau
tindakan yang nyata untuk menghilangkannya.

Kecenderungan sekarang, nampaknya yang dimaksud masalah KKN adalah masalah


korupsi, kolusi dan nepotisme yang dilakukan oleh pak Harto dan keluarga serta
kroninya. Ini selain tidak lengkap juga rancu secara operasionalnya. Misalnya jawaban
terhadap pertanyaan siapa itu keluarga dan kroni pak Harto? Keluarga mungkin jelas,
tergantung kepada seberapa jauh akan di tarik hubungan darahnya. Akan tetapi
bagaimana dengan kroninya? Bagaimana kita membuat batas mana yang termasuk kroni
dan mana yang bukan? Apakah seperti kepemilikan saham perusahaan, kalau
kedekatannya sekian persen dianggap kroni yang kurang dari itu bukan. Ini tidak
gampang. Yang jelas, karena caci makian terus ke pada pak Harto dan keluarganya,
maka semua yang semula getol menunjukkan kedekatannya sekarang sibuk
menunjukkan kejauhannya. Yang berhasil menunjukkan kejauhannya dianggap bukan
kroninya, sedangkan yang tidak, atau karena tidak dipercaya atau karena tidak ikut
bicara, dimasukkan sebagai kroninya.

Selain itu juga terdapat masalah, bagaimana memulai proses peanganannya sehingga
masyarakat yakin bahwa seluruh masalah KKN akan diselesaikan secara tuntas.
Misalnya dimulai dengan mantan Presiden dan keluarganya, seperti sekarang terkesan
demikian. Ini baik. Akan tetapi perlu ada kejelasan bagi masyarakat, bagaimana program
penanganan ini secara keseluruhan, apakah ini tahap permulaan yang akan diikuti
dengan yang lain, bagaimana strategi pendekatannya, ini semua perlu kejelasan,
sehingga masyarakat mengetahui kesungguhan dari usaha ini. Saya yakin masyarakat
menghendaki hal ini. Penanganannya harus tuntas, terbuka dan adil. Karena masalahnya
rumit dan penanganannya memakan waktu, maka kejelasan strategi penanganan secara
keseluruhan perlu diumumkan agar masyarakat mengetahui dan dengan demikian
memahami sampai dimana dan mengapa demikian. Keterbukaan ini juga perlu agar
penganganan masalah KKN yang didasarkan atas tuntuan keadilan ini jangan sampai
menimbulkan ketidak adilan baru.
Selain itu, jelas tidak benar kalau masalah KKN itu hanya menyangkut pak Harto dengan
keluarga dan kroninya. Setiap tindakan korupsi, kolusi dan nepotisme oleh siapapun
harus dikategorikan sebagai masalah KKN. Kalau sudah ada kejelasan mengenai apa
yang dimaksud dengan KKN dengan definisi yang operasional dengan perincian
kriterianya, maka pelaksanaan ketentuan ini akan menjadi lebih jelas.

Kejelasan konsep atau definisi ini sangat penting, akan tetapi baru merupakan langkah
yang sangat awal untuk menentukan langkah berikutnya. Memang tanpa kejelasan ini
gerakan menghapus KKN hanya mendasarkan diri atas emosi bagi yang menuntut dan
politik bagi yang menangani . Penaggulangan masalah KKN sampai sekarang
nampaknya dilakukan atas dasar kedekatan atau kejauhan seseorang dengan penguasa.
Ini tidak menyelesaikan masalah atau membuat masalah baru. Tindakan untuk meminta
pertanggung jawaban pelaku pelanggaran ketentuan KKN dengan menyeret seseorang
ke Kejaksaan Agung untuk diperiksa atas dasar laporan yang tidak jelas dan
menggunakan dasar yang tidak jelas hanya sekedar memenuhi tuntutan masyarakat
saja, lebih untuk kepentingan kehumasan. Selain itu tindakan ini dapat menumbuhkan
ketidak adilan baru seperti melepas yang sebenarnya bersalah atau menindak yang
sebenarnya tidak bersalah.

Argumentasi perlunya suatu badan yang independen untuk menangani masalah KKN
adalah agar terjadi penanganan yang adil dan efektif dari masalah ini. Dalam keadaan
normal, sebenarnya penanganan oleh instansi penegak hukum yang ada - kejaksaan,
kepolisian dan kehakiman - telah akan menjamin independensi lembaga yang bertugas
menangani masalah ini dari campur tangan pemerintahan. Akan tetapi dalam keadaan
rendahnya kredibilitas dari lembaga-lembaga ini di mata masyarakat, maka ini menjadi
suatu masalah tersendiri. Ketidak jelasan arti KKN serta rendahnya kredibilitas lembaga-
lembaga penegak hukum menambah komplikasi upaya pemberantasan KKN betapapun
nyaringnya tuntutan masyarakat dan janji Pemerintah untuk memperhatikan tuntutan
tersebut.

Tanpa adanya kejelasan arti atau definisi dari masing-masing unsur KKN, tanpa adanya
program menyeluruh apa yang akan dilakukan, tindakan yang sporadis hanya
menumbuhkan kecurigaan-kecurigaan yang mungkin tidak perlu. Karena itu, dalam
keadaan masih belum kokohnya kredibilitas aparat penegakan hukum, penanganan KKN
harus didasarkan atas konsep yang jelas didefinisikan dengan kriteria atau batasan-
batasannya, strategi pendekatannya secara menyeluruh dengan pentahapannya, Semua
menyadari bahwa masalah ini sangat kompleks dan pelik, karena itu tidak akan selesai
secara cepat. Akan tetapi justru karena itu maka kejelasan semua ini dengan
pengumuman terbuka oleh Pemerintah mengenai hal-hal tadi harus dilakukan.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Korupsi

Ditinjau dari segi etimologi, korupsi berasal dari bahasa Inggris


corruption yang berasal dari akar kata corrupt yang berarti jahat, buruk, dan
rusak. Sedangkan menurut istilah, korupsi didefinisikan sebagai berikut:

a. Menurut Robert Klitgaard dalam bukunya Controlling Corruption, korupsi


adalah, "Tingkah laku menyimpang dari tugas resmi sebuah jabatan demi
keuntungan status atau uang yang menyangkut pribadi, kerabat atau
kroni".
Korupsi adalah perbuatan buruk atau tindakan menyelewengkan dana,
wewenang, waktu, dan sebagainya dengan tujuan untuk kepentingan
pribadi sehingga menyebabkan kerugian bagi pihak lain. Karena akibatnya
yang merugikan itu, maka korupsi digolongkan sebagai tindak pidana.
b. Korupsi adalah suatu perbuatan tidak jujur atau penyelewengan yang
dilakukan karena adanya suatu pemberian. Dalam prakteknya, korupsi
lebih dikenal sebagai menerima uang yang ada hubungannya dengan
jabatan tanpa ada catatan atau administrasinya. Sebagai balas jasa yang
diberikan oleh pejabat, disadari atau tidak, adalah berupa kelonggaran
aturan yang semestinya diterapkan secara ketat.

Berdasarkan beberapa definisi di atas dapat disimpulkan, bahwa korupsi


dalam perspektif ajaran Islam adalah identik dengan risywah, ghulul, dan at-
tajawuz fi isti'mal al-haqq, serta termasuk salah satu bentuk dari sikap khianat
yang diharamkan oleh Allah SWT karena korupsi berdampak negatif dan sangat
merugikan masyarakat luas. Di antaranya adalah:

1. Merusak akhlak dan moral bangsa


2. Mengacaukan sistem perekonomian dan hukum
3. Menggerogoti kesejahteraan rakyat dan menghambat pelaksanaan
pembangunan.
4. Merugikan dan bahkan menimbulkan dlarar (bahaya) bagi orang lain
5. Menyebabkan hilangnya berkah dari Allah SWT
6. Menyebabkan siksa neraka.

Sebagaimana telah disabdakan Rasulullah SAW :

‫ت فَالنَّا ُر أَوْ لَى بِ ِه (رواه البيهقي‬


ٍ ْ‫ُكلُّ َج َس ٍد نَبَتَ ِم ْن سُح‬

Artinya:
Setiap daging yang tumbuh dari sesuatu (makanan & minuman) yang haram,
maka lebih berhak masuk ke dalam neraka.

g. Anak-anak yang diberi makan dan minum dari hasil korupsi, susah dididik
menjadi anak yang shaleh, yang mau beribadah kepada Allah SWT serta berbakti
kepada kedua orang tua. Anak-anak seperti itu, cenderung mengabaikan ajaran
agama, menentang orang tua, mengkonsumsi obat-obatan terlarang,
mempraktekkan kehidupan free sex, suka tawuran, dan melakukan berbagai
kejahatan yang lain. Hal ini tidak lain karena mereka dibesarkan dari makanan dan
minuman yang dibeli dengan uang hasil korupsi yang secara tegas dilarang oleh
Allah. Sebagaimana telah difirmankan dalam surat an-Nisa' ayat 29:

ٍ ‫ َر‬fffَ‫ ا َرةً عَن ت‬fff‫ونَ تِ َج‬fff‫ ِل إِالَّ أَن تَ ُك‬fff‫والَ ُك ْم بَ ْينَ ُك ْم بِالبَا ِط‬fff
‫اء‬fff‫)النس‬29(‫اض‬ ْ ُ‫أْ ُكل‬fffَ‫وا الَ ت‬fff
َ ‫وا أَ ْم‬ ْ ُ‫ا الَّ ِذينَ آ َمن‬fffَ‫ا أَيُّه‬fffَ‫ي‬

Artinya:
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan
suka sama-suka di antara kamu. An-Nisa', 4: 29.

2. Jenis dan kategori korupsi adalah sebagai berikut:

a. Penyalah-gunaan wewenang

b. Penyelewengan dana, seperti dalam bentuk-bentuk sebagai berikut:


1). Pengeluaran fiktif

2). Manipulasi harga pembelian atau kontrak

3). Penggelapan dana atau pencurian langsung darikas.

ada lima bidang kegiatan yang dianggap sebagai sumber praktek korupsi, yaitu:

1). Proyek pembangunan fisik dan pengadaan barang.Hal ini menyangkut harga,
kualitas, dan komisi.

2). Bea dan cukai yang menyangkut manipulasi bea masuk barang dan
penyelundupan administratif.

3). Perpajakan, yang menyangkut proses penentuan besarnya pajak dan


pemeriksaan pajak.

4). Pemberian izin usaha, dalam bentuk penyelewengan komisi dan jasa serta
pungutan liar.

5). Pemberian fasilitas kredit perbankan dalam bentuk penyelewengan komisi dan
jasa serta pungutan liar.

A. Berdasarkan penjelasan di atas, maka pemberian imbalan di luar kontrak


yang telah disepakati karena kita menyetujui pembelian atau pengadaan
barang (kantor) dengan harga di atas harga yang wajar adalah termasuk
korupsi yang diharamkan oleh Allah SWT. Karena hal itu termasuk
manipulasi harga pembelian atau kontrak.

Sedangkan karyawan yang datang terlambat atau pulang lebih cepat dari
waktu yang telah ditentukan, dalam istilah yang populer tidak termasuk
dalam kategori korupsi karena tidak berupa penyalah-gunaan wewenang
atau penyelewengan dana. Sungguh pun demikian, hal itu termasuk
perbuatan yang tidak baik karena melanggar disiplin dan mengurangi
produktivitas kerja sehingga merugikan pihak lain.
B. Kolusi

Kolusi, ditinjau dari segi etimologi berasal dari bahasa Inggris collusion
yang berarti persekongkolan atau ‘kongkalikong’. Sedangkan menurut pasal 1 ayat
4 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999, Kolusi adalah permufakatan atau
kerjasama secara melawan hukum antar penyelenggara negara atau antara
penyelenggara negara dengan pihak lain yang merugikan orang lain, masyarakat,
bangsa atau negara.

Dua hal dalam risywah:

Seorang muslim hendaknya berusaha keras menjauhi praktik risywah


dalam hidupnya. Ini adalah prinsip yang hendaknya kita pegang teguh. Mengingat
janji "laknat" Rasul saw. bagi pelaku risywah itu. Bahkan sekalipun seorang
muslim menanggung risiko, akibat menolak praktik risywah tersebut.
Umpamanya, gara-gara menolak menyogok, seseorang tidak diterima menjadi
pegawai, padahal dia berhak untuk lulus. Atau urusannya menjadi terbengkalai,
karena tidak mau menyogok, dan sebagainya. Inilah sikap yang terbaik bila
memungkinkan.

Hanya saja ada alternatif lain. Jika seorang muslim tidak mampu
mengambil sikap yang "ahwath" di atas, dan ia terpaksa harus mengasi uang untuk
mendapatkan haknya, maka yang menanggung dosa dalam masalah ini adalah
pejabat yang menerima uang sogok tersebut. Demikian difatwakan oleh Syekh Dr.
Yusuf Al-Qardhawy. Akan tetapi sikap ini janganlah dilakukan kalau bukan
terpaksa.

Hukum "kolusi" menurut Islam


Yang dimaksud dengan kolusi di sini ialah persekongkolan antara dua
pihak untuk suatu perbuatan melanggar hukum dan merugikan orang lain.
Umpamanya seorang pejabat yang berwenang memutuskan pemenang sebuah
tender bersepakat dengan salah seorang pengaju tender agar tendernya yang
dimenangkan, maka kesepakatan itu disebut "kolusi". Begitu juga hakim di
pengadilan yang berkolusi dengan pihak-pihak yang berperkara, agar perkaranya
dimenangkan.

Dalam bahasa agamanya, kolusi bisa disebut dengan "risywah". Tetapi


dalam bahasa politiknya, kolusi sering disebut "al-mahsubiyah".

Bila kita membahas masalah kolusi dalam tinjauan hukum syara`, maka
kita dapt temukan beberapa nash yang secara langsung dan tegas berbicara tentang
masalah kolusi ini, diantaranya, firman Allah swt:

"Dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim dengan
tujuan memakan harta orang lain dengan cara yang tak sah, padahal kamu
mengetahui."

Dalam ayat di atas, praktik bersekongkol antara pihak yang berperkara


dengan penguasa/hakim dengan tujuan untuk memakan harta orang lain dengan
cara yang berdosa (tidak sah), adalah perbuatan terlarang dan diharamkan.

Di samping itu, kita juga dapat menemukan hadits Rasul saw. yang secara
tegas berbicara tentang kolusi dan korupsi, yaitu :
"Rasulullah -shallallahu `alaihi wasallam- melaknat orang yang
memberikan uang sogok (risywah), penerima sogok dan perantara keduanya
(calo)."

C. Nepotisme

Nepotisme berasal dari bahasa Perancis nepote yang berarti keponakan.


Istilah ini pada mulanya digunakan untuk menjelaskan praktek favoritisme yang
dilakukan oleh pimpinan Gereja Katolik Romawi (Paus dan para Kardinal) pada
abad pertengahan, yang memberikan jabatan-jabatan kepada sanak, famili,
keponakan atau orang-orang yang mereka sukai.

Berdasarkan pengertian bahasa di atas, maka Nepotisme dapat


didefinisikan sebagai berikut: “Nepotisme adalah suatu sikap atau tindakan
seorang pemimpin yang lebih mendahulukan keluarga dan sanak famili dalam
memberikan jabatan dan yang lain, baik dalam birokrasi pemerintahan maupun
dalam manajemen perusahaan swasta.

Pada umumnya, manusia mempunyai ikatan jiwa yang lebih kuat dengan
keluarga dan sanak famili dibanding dengan orang lain. Hal ini sesuai dengan
teori 'ashobiyah yang dikembangkan oleh Ibnu Khaldun. Oleh karena itu, sangat
wajar jika seorang pemimpin pemerintahan atau perusahaan swasta atau yang lain,
lebih senang memberikan jabatan-jabatan strategis kepada keluarga atau orang
yang disenanginya serta lebih mementingkan dan mengutamakan mereka dalam
segala hal dibanding dengan orang lain yang tidak mempunyai ikatan apa-apa. Hal
ini disebabkan oleh faktor-faktor sebagai berikut:

1. Kerabat memiliki rasa tanggung jawab yang lebih besar terhadap


pekerjaannya dibandingkan dengan orang lain.
2. Keluarga menaruh perhatian dan minat yang lebih besar dibandingkan
dengan orang lain.
3. Keluarga memiliki loyalitas dan kehandalan (dependability) yang lebih
tinggi dibandingkan dengan orang lain.
4. Jika keluarga yang diberi jabatan tertentu mampu melaksanakan tugas dan
tanggung jawab dengan baik, maka akan mendorong semangat kerja orang
lain.

Sepanjang keluarga atau orang yang disenanginya mempunyai


kemampuan dan profesionalisme serta bersifat amanah dalam memegang jabatan
yang diberikan kepadanya, maka tidak ada sesuatu yang perlu dipermasalahkan.
Permasalahannya adalah, bagaimana jika keluarga atau famili atau orang lain yang
disenanginya itu tidak mempunyai kemampuan dan profesionalisme, atau tidak
bersifat amanah dalam memegang jabatan yang diberikan kepadanya?

Menurut ajaran Islam, seorang pemimpin tidak boleh memberikan jabatan


—apalagi jabatan yang sangat strategis—kepada seseorang semata-mata atas
dasar pertimbangan hubungan kekerabatan atau kekeluargaan, padahal yang
bersangkutan tidak mempunyai kemampuan dan profesionalisme, atau tidak
bersifat amanah dalam memegang jabatan yang diberikan kepadanya, atau ada
orang lain yang lebih berhak dari padanya. Sebagaimana telah disabdakan oleh
Rasulullah dalam hadits shahih riwayat Imam al-Hakim dalam al-Mustadrak dari
sahabat Abdullah ibn Abbas, sebagai berikut:

ْ ‫لَّ َم َم ِن‬f‫ ِه َو َس‬f‫لَّى هللاُ َعلَ ْي‬f‫ص‬


‫تَ ْع َم َل َر ُجالً ِم ْن‬f‫اس‬ َ ِ‫وْ ُل هللا‬f‫ا َل َر ُس‬ffَ‫ا َل ق‬ffَ‫ا ق‬ff‫ض َي هللاُ َع ْنهُ َم‬ ٍ ‫ع َِن ا ْب ِن َعبَّا‬
ِ ‫س َر‬
ْ f‫ انَ ْال ُم‬fَ‫وْ لَهُ َوخ‬f‫ضى هلِل ِ ِم ْنهُ فَقَ ْد خَ انَ هللاَ َو َخانَ َر ُس‬
‫ؤ ِمنِ ْينَ (رواه‬f َ ْ‫صابَ ِة َم ْن هُ َو أَر‬
َ ‫ك ْال ِع‬
َ ‫صابَ ٍة َوفِ ْي تِ ْل‬
َ ‫ِع‬
‫الحاكم‬

"Barangsiapa memberikan jabatan kepada seseorang semata-mata karena


didasarkan atas pertimbangan keluarga, padahal di antara mereka ada
orang yang lebih berhak daripada orang tersebut, maka ia telah
berkhianat kepadaAllah, Rasulullah dan orang-orang yang beriman".

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa nepotisme yang


dilarang oleh ajaran Islam adalah nepotisme yang semata-mata didasarkan pada
pertimbangan keluarga atau sanak famili dengan tanpa memperhatikan
kemampuan dan profesionalisme serta sifat amanah seseorang yang akan diberi
jabatan. Adapun nepotisme yang disertai dengan pertimbangan kemampuan dan
profesionalisme serta sifat amanah seseorang yang akan diberi jabatan, maka hal
itu tidak dilarang.
BAB III

KESIMPULAN

Pertama, meningkatkan iman dan budaya malu. Dengan iman, setiap orang
meyakini bahwa ia selalu diawasi oleh Yang Mahakuasa. Wallahu maakum haitsu
kuntum (Allah bersamamu di mana saja kamu berada). Rasulullah SAW
mengingatkan; Iman dan malu kawan seiring. Bila salah satu (iman) terangkat,
malunya juga hilang. Karenanya, Rasulullah SAW menjelaskan, seseorang tidak
akan berzina bila ia beriman, seseorang tidak akan mencuri bila ketika itu ia
beriman.

Kedua, meningkatkan kualitas akhlak. Ini sendi keutuhan bangsa. Salah satu tugas
Rasulullah SAW adalah beliau diutus untuk memperbaiki akhlak manusia. Syauqi
Bey dalam salah satu syairnya; Suatu bangsa tetap utuh dan jaya selama masih
menjaga akhlaknya, namun bangsa itu akan hancur bersama kehancuran
akhlaknya.

Ketiga, penegakan hukum. Hukum harus tegas, tanpa diskriminasi dan adil
terhadap siapa pun yang melanggarnya.

Keempat, contoh teladan dari pemimpin. Hendaknya pemimpin memberi teladan


kepada yang dipimpin dan rakyatnya. Perbuatan, perkataan, dan sikap baik harus
dimulai dari pemimpin yang paling tinggi. Mulai gubernur hingga kepada desa.

Kelima, pengamalan syari'at Islam secara kaffah. Syari'at Islam merupakan terapi
untuk menanggulangi berbagai problema umat. Setiap orang beriman dan
bertakwa akan menjaga dirinya dari setiap kesalahan (dosa). Dia tidak hanya taat
kepada Allah dan RasulNya, tapi juga taat atas perintah dan larangan. Ia juga
patuh kepada kepada hukum positif yang berlaku, baik KUHP maupun UU
Nomor 31 tahun 1999 jo UU nomor 20 tahun 2001 tentang tindak pidana korupsi.

You might also like