You are on page 1of 15

TUGAS ETIKA BISNIS

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY

STEVEN TALENTA EPAVRODITUS


0806305090

FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS UDAYANA
2010

1
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena dengan karuniaNya penulis dapat
menyelesaikan paper ini. Tujuan penulisan paper ini adalah untuk menambah pengetahuan kepada
pembaca tentang tanggung jawab sosial perusahaan, agar pembaca lebih memahami mengenai
tanggung jawab perusahaan itu sendiri secara umum.

Paper ini berisi beberapa informasi tentang konsep tanggung jawab perusahaan, yang penulis
harapkan dapat memberikan informasi kepada para pembaca. Yang membedakan antara konsep
tanggung jawab perusahaan dulu dengan sekarang.

Akhir kata, penulis menyadari paper ini jauh dari sempurna, oleh karenanya kritik dan saran
dari pembaca dan pemakai paper ini, penulis akan terima dengan senang hati. Sedangkan segala
kekurangan dan kesalahan yang terdapat dalam paper ini sepenuhnya bersumber dan menjadi tanggung
jawab penulis.

Jimbaran, 03 Maret 2010

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR 2
DAFTAR ISI 3
BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG 4
B. TUJUAN 5
C. RUMUSAN MASALAH 6
BAB II ISI
1. SEJARAH CSR 7
2. FAKTOR PENDORONG PELAKSANAAN CSR 8
3. CSR SEBAGAI KEWAJIBAN PERUSAHAAN 8
4. CSR DAN KEUNTUNGANNYA BAGI PERUSAHAAN 9
5. HUBUNGAN CSR DENGAN PEMERINTAH 10
6. CSR DAN COMMUNITY DEVELOPMENT 10
7. PIHAK PEMANGKU KEPENTINGAN PROGRAM CSR 11
8. PENENTUAN BIDANG CSR DAN PELAKSANAANNYA 12
BAB III PENUTUP
KESIMPULAN 14
DAFTAR PUSTAKA 15

3
BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
TANGGUNG jawab sosial perusahaan atau CSR (corporate social responsibility) kini jadi frasa
yang semakin populer dan marak diterapkan perusahaan di berbagai belahan dunia. Menguatnya
terpaan prinsip good corporate governance seperti fairness, transparency, accountability, dan
responsibility telah mendorong CSR semakin menyentuh “jantung hati” dunia bisnis. Di tanah air,
debut CSR semakin menguat terutama setelah dinyatakan dengan tegas dalam UU PT No. 40 Tahun
2007 yang belum lama ini disahkan DPR. Disebutkan bahwa PT yang menjalankan usaha di bidang
dan/atau bersangkutan dengan sumber daya alam wajib menjalankan tanggung jawab sosial dan
lingkungan (Pasal 74 ayat 1).
Ketika suatu perusahaan beroperasi, maka melekatlah tuntutan dan tanggung jawab bagi perusahaan
yang bersangkutan akan komunitas lokal yang ada di sekitarnya (stake holder). Bagaimana pun,
kelangsungan perusahaan bergantung dari dukungan banyak pihak. Selain komunitas internal seperti
pemegang saham, karyawan, keluarga karyawan, perhatian pada masyarakat sekitar juga ternyata
membawa dampak positif bagi perusahaan.

4
B. TUJUAN

Tujuan dari penyusunan paper ini adalah untuk mengetahui dan memahami sejarah CSR, faktor
pendorong CSR, kewajiban dan keuntungan perusahaan dari pelaksanaan CSR, hubungan pelaksanaan
CSR dengan pemerintah, perbedann CSR dengan community development, penentuan pihak yang
menjadi prioritas keuntungan program CSR, serta penentuan di dalam bidang-bidang CSR.

5
C. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan tujuan dari penulisan paper ini, maka dapat dirumuskan permasalahannya:
1. Bagaimana sejarah CSR?
2. Faktor-faktor apa saja yang mendorong pelaksanaan CSR?
3. Apakah CSR merupakan kewajiban bagi perusahaan?
4. Apa keuntungan yang didapat perusahaan dari pelaksanaan CSR?
5. Apa hubungan antara pelaksanaan CSR dengan kewajiban pihak lain, seperti pemerintah?
6. Apakah CSR sama dengan community development?
7. Bagaimana menentukan pihak yang menjadi pemangku kepentingan program CSR?
8. Bagaimana menentukan bidang-bidang program CSR yang akan dilaksanakan?
Dan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai perumusan masalah ini, selanjutnya akan dijabarkan
melalui isi dari paper ini.

6
BAB II

1. SEJARAH CSR

Pengertian CSR sangat beragam. Intinya, CSR adalah operasi bisnis yang berkomitmen tidak hanya
untuk meningkatkan keuntungan perusahaan secara finansial, tetapi untuk pembangunan sosial-
ekonomi kawasan secara holistik, melembaga, dan berkelanjutan. Beberapa nama lain yang memiliki
kemiripan dan bahkan sering diidentikkan dengan CSR adalah corporate giving, corporate
philanthropy, corporate community relations, dan community development.
Ditinjau dari motivasinya, keempat nama itu bisa dimaknai sebagai dimensi atau pendekatan CSR. Jika
corporate giving bermotif amal atau charity, corporate philanthropy bermotif kemanusiaan dan
corporate community relations bernapaskan tebar pesona, community development lebih bernuansa
pemberdayaan.
Dalam konteks global, istilah CSR mulai digunakan sejak tahun 1970-an dan semakin populer terutama
setelah kehadiran buku Cannibals with Forks: The Triple Bottom Line in 21st Century Business (1998)
karya John Elkington.
Mengembangkan tiga komponen penting sustainable development, yakni economic growth,
environmental protection, dan social equity yang digagas the World Commission on Environment and
Development (WCED) dalam Brundtland Report (1987), Elkington mengemas CSR ke dalam tiga
fokus: 3P (profit, planet, dan people). Perusahaan yang baik tidak hanya memburu keuntungan
ekonomi belaka (profit), tetapi memiliki kepedulian terhadap kelestarian lingkungan (planet) dan
kesejahteraan masyarakat (people).
Di Indonesia, istilah CSR semakin populer digunakan sejak tahun 1990-an. Beberapa perusahaan
sebenarnya telah lama melakukan CSA (corporate social activity) atau aktivitas sosial perusahaan.
Walaupun tidak menamainya sebagai CSR, secara faktual aksinya mendekati konsep CSR yang
merepresentasikan bentuk “peran serta” dan “kepedulian” perusahaan terhadap aspek sosial dan
lingkungan.
Melalui konsep investasi sosial perusahaan seat belt, sejak tahun 2003 Departemen Sosial tercatat
sebagai lembaga pemerintah yang aktif dalam mengembangkan konsep CSR dan melakukan advokasi
kepada berbagai perusahaan nasional. Kepedulian sosial perusahaan terutama didasari alasan

7
bahwasannya kegiatan perusahaan membawa dampak (baik maupun buruk) bagi kondisi lingkungan
dan sosial-ekonomi masyarakat, khususnya di sekitar perusahaan beroperasi.
Selain itu, pemilik perusahaan sejatinya bukan hanya shareholders atau para pemegang saham,
melainkan pula stakeholders, yakni pihak-pihak yang berkepentingan terhadap eksistensi perusahaan.
Stakeholders dapat mencakup karyawan dan keluarganya, pelanggan, pemasok, masyarakat sekitar
perusahaan, lembaga-lembaga swadaya masyarakat, media massa, dan pemerintah selaku regulator.
Jenis dan prioritas stakeholders relatif berbeda antara satu perusahaan dan lainnya, bergantung pada
core bisnis perusahaan yang bersangkutan (Supomo, 2004).

2. FAKTOR PENDORONG PELAKSANAAN CSR


Secara umum dibedakan menjadi faktor eksternal dan internal. Faktor eksternal terutama berkaitan
dengan kritik organisasi masyarakat sipil terhadap kinerja sosial dan lingkungan perusahaan. Sejarah
hubungan antara perusahaan dan masyarakat mencatat banyak peristiwa tragis yang disebabkan operasi
perusahaan. Organisasi masyarakat sipil memprotes kinerja yang buruk, yang kemudian ditanggapi
oleh perusahaan. Tanggapan defensif serta kamuflase hijau memperumit masalah, sedang yang positif
menghasilkan perkembangan CSR.
Institusi pembiayaan yang kian kritis menanamkan investasi memperkuat kecenderungan CSR.
Demikian pula konsumen yang juga bersedia membayar “green premium” untuk produk-produk
tertentu yang dihasilkan perusahaan berkinerja sosial dan lingkungan baik. Terakhir, pasar tenaga kerja
yang menunjukkan adanya pergeseran pilihan dengan mempertimbangkan reputasi perusahaan.
Gabungan faktor-faktor eksternal itu membuat perusahaan yang menjalankan CSR dengan sungguh-
sungguh lebih berkemungkinan bertahan di tengah kompetitifnya iklim dunia usaha.
Faktor internal, misalnya, kepemimpinan puncak manajemen perusahaan yang melihat CSR merupakan
sumber peluang memperoleh keunggulan kompetitif (responsibility is opportunity). Cukup banyak
pengamat yang berpendapat bahwa faktor internal sebagai pendorong CSR semakin kuat berperan di
masa datang.

3. CSR SEBAGAI KEWAJIBAN PERUSAHAAN


Ada dua pendirian mengenai hal ini: kubu mandatori (yang mewajibkan) dan voluntari (yang
menginginkan tetap bersifat sukarela). Literatur-literatur yang ada menyebutkan kedua kubu masing-
masing memiliki kelebihan dan kekurangan.

8
Tanggung jawab sendiri adalah konsep yang mandatori, yang berarti harus dilaksanakan. Menyatakan
tanggung jawab sebagai sukarela sebetulnya contadictio in terminis atau pertentangan istilah. Namun,
kubu voluntari berkeyakinan perusahaan wajib menjalankan ketetapan-ketetapan hukum yang berlaku
di mana operasinya dijalankan, dan CSR merupakan kerangka aktivitas yang beyond compliance.
Kalau konsep dan prakteknya diartikan sebagai manajemen dampak, maka yang dilakukan oleh
perusahaan di dalam atau yang melampaui ketentuan hukum dapat didefinisikan sebagai CSR.
Perkembangan wacana terkini tampaknya tengah menempatkan kubu voluntari di posisi terdepan,
dengan dikembangkannya berbagai standar yang bisa diadopsi secara sukarela atas basis kehendak
menjadi lebih kompetitif. Sedang pendukung kubu mandatori kini memperjuangkan masuknya seluruh
manajemen dampak dalam kerangka hukum dan menamakan perjuangannya sebagai corporate
accountability movement

4. CSR DAN KEUNTUNGANNYA BAGI PERUSAHAAN


Masih berlangsung perdebatan antara yang menyatakan CSR hanya menambah beban perusahaan dan
yang meyakini kinerja sosial penting dan berhubungan positif dengan keuntungan finansial. Pendapat
tidak menguntungkan biasanya mengikuti pendirian Milton Friedman atau, baru-baru ini, David
Henderson, yang melabel CSR sebagai misguided virtue atau kebaikan yang salah alamat. Friedman
dan Henderson berpendirian bahwa tanggung jawab berada di pundak individu, bukan perusahaan.
Sebaliknya kalangan yang melihat kekuasaan bisnis kini sudah sangat besar, tidak setuju perusahaan
tak dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap tindakan organisasinalnya. Kebijaksanaan universal
menyetujui bahwa tanggung jawab membesar bersamaan dengan kekuasaannya, sebab itu perusahaan
tidak lagi dapat mengelak.
Sejumlah besar penelitian telah membuktikan kinerja sosial dan kinerja finansial perusahaan sungguh
berkorelasi positif. Dan karenanya perdebatan mengenai keuntungan menjalankan CSR sesungguhnya
dapat dianggap sudah berakhir. Penelitian Marc Orlitzky, Frank Schmidt, dan Sara Rynes pada 2003,
menggunakan data 52 penelitian sebelumnya dengan jumlah kasus 33.878 perusahaan yang merentang
selama 30 tahun, merupakan bukti terkuat hingga saat ini. Kalau pun ada yang membuktikan
sebaliknya, bahwa tidak ada kaitan erat antara kinerja sosial dengan kinerja finansial perusahaan,
kesimpulannya hanya didasarkan pada kasus-kasus anekdotal berskala kecil.
Telah ditunjukkan oleh banyak studi kasus, perusahaan memperoleh banyak keuntungan bila
keberadaan jangka panjangnya terjamin. Keberlangsungan perusahaan ini erat berkait dengan reputasi,

9
yang diperoleh melalui hubungan baik dengan seluruh pemangku kepentingan.
Di era ini hampir mustahil perusahaan menggunakan perlindungan kekuatan-kekuatan represif tanpa
mengorbankan reputasinya. CSR menjadi pilihan menjaga keberlanjutan eksistensi perusahaan melalui
reputasi yang baik; dan bukan hubungan dengan kekuatan represif.
Bayangkan bagaimana bila perusahaan hanya mementingkan keuntungan finansial jangka pendek dan
mengorbankan aspek sosial dan lingkungan. Ketidakpedulian terhadap aspek sosial akan menuai protes
masyarakat yang bisa mengganggu operasinya (semisal demonstrasi atau boikot). Terhadap aspek
lingkungan, selain reaksi masyarakat, disinsentif juga diterima disinsentif dari pemerintah. Akibatnya,
selain biaya operasi membengkak, reputasi perusahaan tercoreng dan pada gilirannya dicerminkan
dengan turunnya nilai saham. Implikasi berikut yang mengancam adalah keengganan investor
membiayai proyek baru. Dari sudut pandang ini, CSR dengan triple bottom line-nya tentu adalah
investasi sangat berharga.

5. HUBUNGAN CSR DENGAN PEMERINTAH


Kasus-kasus yang ditemukan di Indonesia menunjukkan, curahan investasi sosial perusahaan dapat
menimbulkan moral hazardberupa perilaku korup lembaga-lembaga pemerintah. Misalnya, ketika
diketahui perusahaan tertentu hendak membangun jalan dari titik A hingga B, pemerintah daerah
setempat juga mengajukan anggaran untuk pekerjaan yang sama. Ruas jalan yang dibangun dengan
sumberdaya dari perusahaan, nyatanya diakui sebagai proyek pembangunan pemerintah daerah.
Pelaksanaan CSR semesti tidak demikian. Bahkan, CSR seyogyanya mendorong perwujudan kondisi
tanpa korupsi (dan cici-ciri lain good governance, seperti transparansi) di tubuh perusahaan maupun
pemerintahan dan masyarakat.
CSR harus berupaya meminimumkan dampak negatif keberadaan perusahaan. Apabila perusahaan
hendak menjalankan program sosial, itu dilakukan dengan transparansi maksimum. Dan karena CSR
adalah manajemen dampak operasi, batasannya terlebih dulu harus didefinisikan agar perusahaan tidak
memikul beban lebih berat dari yang seharusnya ditanggung. Yang juga penting adalah membuat
kesepakatan dengan seluruh pemangku kepentingan berkenaan dengan tanggung jawab masing-masing
pihak. Termasuk tanggung jawab pemerintah terhadap masyarakat dan perusahaan.

6. CSR DAN COMMUNITY DEVELOPMENT


Praktik paling terkenal dari CSR adalah Comdev, walau keduanya tidaklah dapat disamakan. Comdev

10
didefinisikan sebagai upaya sistematik meningkatkan kemampuan masyarakat, terutama kelompok-
kelompok paling tidak beruntung, dalam pemenuhan kebutuhan berdasar potensi seluruh sumberdaya
yang dapat diaksesnya.
Masyarakat yang ada di wilayah dampak adalah pemangku kepentingan CSR yang dapat disebut
terpenting. Di dalamnya terdapat kelompok-kelompok yang karena aspek struktural, kultural, atau
penyebab lain, berada di posisi kurang beruntung. Kelompok ini adalah yang paling rentan menghadapi
berbagai kondisi, termasuk kemungkinan dampak negatif perusahaan. Karenanya menjadi penting
memetakan kelompok masyarakat ini, kemudian dibuat program khusus (Comdev) untuk mengurangi
kerentanan tersebut. Alyson Warhurst berpendapat, hubungan CSR dan masyarakat terwujud dalam
empat hal utama: Comdev, pengikutsertaan (pemrioritasan) kesempatan kerja dan usaha, pembiayaan
sesuai kerangka legal, dan tanggapan atas harapan kelompok kepentingan.
Pengkategorian Warhust memperjelas bahwa Comdev merupakan salah satu komponen sangat penting
CSR.

7. PIHAK PEMANGKU KEPENTINGAN PROGRAM CSR


CSR adalah manajemen dampak, hingga pihak yang menjadi pemangku kepentingan utama adalah
mereka yang berada di wilayah dampak. Para pihak ini menerima dampak-dampak (positif dan negatif)
yang berbeda, hingga perusahaan harus secara pasti mengetahui dan bagaimana tiap kelompok yang
terkena.
Masyarakat yang sudah sangat terbuka biasanya dapat menyampaikan secara langsung dampak yang
diterima dan menegosiasikan apa seharusnya dilakukan oleh perusahaan. Untuk konteks Indonesia,
perusahaan masih dituntut berada di posisi lebih proaktif. Langkah awal adalah Analisis Mengenai
Dampak Lingkungan (Amdal), sebagai kewajiban yang tak sekadar administratif belaka, tetapi benar-
benar menjadi alat komprehensif mengetahui secara dampak operasi perusahaan.
Kalau Amdal dianggap belum memadai, perusahaan perlu melakukan pemetaan pemangku kepentingan
(stakeholder mapping). Lewat pemetaan ini terekam pihak-pihak mana yang berkepentingan; apa saja
kepentingannya; dan bagaimana kepentingan itu diintegrasikan dalam operasi perusahaan.
Di kebanyakan kasus perusahaan tidak dapat melakukan pemetaan sendirian, melainkan dibantu
fasilitator seperti Ornop, universitas, atau lembaga konsultan yang kredibel. Penelitian-penelitian
tentang teori pemangku kepentingan menyediakan pedoman berharga bagi pekerjaan ini. Secara umum
dinyatakan pemangku kepentingan adalah mereka yang memiliki power (kekuatan mempengaruhi

11
jalannya operasi perusahaan), legitimacy (dukungan anggota kelompok atau norma tertentu), urgency
(dimensi waktu dari tuntutan, yang bila tidak dipenuhi segera berdampak buruk), serta proximity
(kedekatan geografis).

8. PENENTUAN BIDANG-BIDANG PROGRAM CSR DAN PELAKSANAANYA


Program-program CSR akan jatuh pada salah satu kategori: meminimumkan dampak negatif (termasuk
pengkompensasiannya) atau memaksimumkan dampak positif. Pengkategorian ini lebih jauh diuraikan
berdasar pemangku kepentingannya. Artinya, program CSR perusahaan dibuat berdasar kepentingan
sahih kelompok tertentu, yang didekati (langsung atau melalui fasilitator) untuk mengetahui
pandangannya tentang apa yang seharusnya dilakukan.
Menjadi mudah apabila perusahaan telah melakukan pemetaan pemangku kepentingan terlebih dahulu.
Hasil pemetaaan menjadi urutan prioritas program CSR untuk tiap pemangku kepentingan. Langkah
berikut, perusahaan melakukan penyesuaikan dengan kebijakan dan ketersediaan sumberdaya; serta
merundingkan mekanisme berbagi sumberdaya (resource matching) antara semua pihak, termasuk
masyarakat. Setelah prioritas dan ketersediaan sumberdaya diketahui, dilakukan penyusunan program
jangka panjang hingga pendek. Sedang organisasi pelaksananya dibuat dengan memasukkan masing-
masing pemangku kepentingan, untuk memastikan program yang disusun dilaksanakan sesuai rencana.
Bila dikatakan kalau pelaksanaan CSR itu dilakukan langsung oleh perusahaan, maka jawaban
yang paling tepat adalah kondisonal, tergantung kapasitas perusahaan dan seluruh pemangku
kepentingannya: dikerjakan sendiri, dilaksanakan bersama mitra, atau diserahkan ke pihak tertentu.
Biasanya yang melakukan sendiri mendasarkan pertimbangan adanya kontrol penuh atau karena belum
mamadainya kapasitas manajerial dan teknis para pemangku kepentingan. Di ekstrem lain, perusahaan
mungkin berpendapat tidak memiliki kompetensi melakukan kegiatan-kegiatan CSR sendiri, hingga
lebih baik diserahkan (disubkontrakkan) ke pihak yang lebih mampu.
Masing-masing pendekatan punya kekurangan dan kelebihan. Namun di berbagai literatur pendekatan
kemitraan (terutama kemitraan tiga sektor) digambarkan sebagai yang paling besar kemungkinan
keberhasilannya. Penyebabnya adalah sifat berbagi sumberdaya dari pendekatan ini serta
dipersyaratkannya kontrol dan transparansi. Pendekatan ini dapat pula meminimumkan duplikasi
dengan program pembangunan pemerintah atau pekerjaan dampingan organisasi masyarakat sipil.
Dilihat dari regulasi yang berlaku di Indonesia, saat ini sudah terdapat beberapa regulasi yang
dapat dijadikan acuan pelaksanaan CSR antara lain ; UUD Pasal 33 UUD 1945, UU No. 23/1997

12
Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup, UU No. 22/2001 Tentang Minyak dan Gas Bumi, UU No.
25/2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 40/2007 Tentang Perseroaan Terbatas, Peraturan Mentri
BUMN No. 5/2007 Tentang Program Kemitraan BUMN dengan Usaha Kecil dan Program Bina
Lingkungan. Dalam berbagai peraturan ini, pada dasarnya telah tersirat berbagai upaya yang harus
dilakukan baik oleh pemerintah maupun korporasi untuk melakukan pengembangan masyarakat dan
lingkungan, baik pada aspek sosial, pendidikan, ekonomi, kesehatan maupun lingkungan.
Pertanyaan mengenai mengapa CSR penting, tidak cukup dijawab dengan menyatakan bahwa CSR
telah diamanatkan UU. Jika CSR dianggap penting karena UU, perusahaan cenderung terpaksa dan
setengah hati melaksanakan CSR. Harus ada pemahaman filosofis dan komitmen etis tentang CSR.
Pentingnya CSR dilandasi oleh kesadaran perusahaan terhadap fakta tentang adanya jurang yang
semakin menganga antara kemakmuran dan kemelaratan, baik pada tataran global maupun nasional.
Oleh karena itu diwajibkan atau tidak, CSR harus merupakan komitmen dan kepedulian murni dari
para pelaku bisnis untuk ambil bagian mengurangi nestapa kemanusiaan.

13
BAB III

KESIMPULAN

Corporate Social Responsibility merupakan merupakan komitmen dari bisnis atau perusahaan
untuk berprilaku etis dan berkontribusi terhadap pembangunan ekonomi yang berkelanjutan, seraya
meningkatkan kualitas hidup karyawan dan keluargannya, komunitas lokal dan masyarakat luas, atau
hal ini yang lebih dikenal dengan paradigma stakeholder perusahaan. Kalau pada prinsipnya dulu, saat
paradigmanya masih mengarah ke shareholder, dimana CEO berorientasi pada kepentingan pemegang
saham, disni pihak manajemen sebagai pemegang mandat berusaha untuk memperoleh keuntungan
yang sebsar-besarnya demi kepuasan pemegang saham saja. Tetapi paradigma itu sudah beralih pada
pendekatan stakeholder, yaitu bahwa bisnis harus dijalankan sedemikian rupa agar hak dan kepentingan
semua pihak yang terkait dengan suatu kegiatan bisnis dijamin, diperhatikan, dan dihargai.
CSR sendiri sangat penting untuk dilakukan, karena perusahaan merupakan suatu bagian dari
komunitas masyarakat, yang pada dasarnya merupakan suatu sistem yang terdiri dari elemen-elemen
yang menunjang sistem perusahaan terebut dalam lingkup internal. CSR diperlukan untuk menciptakan
keseimbangan dan keberlanjutan hidup dan hubungan kemitraan yang saling timbal balik antara
perusahaan dan stakeholder. Tanpa dukungan dan jalinan kemitraan dengan stakeholder lainnya,
dipastikan dalam waktu dekat, perusahaan mengalami kerugian secara sosial dan ekonomi, akibat
berbagai tekanan dan claim yang menyudutkan keberadaan, keberlanjutan dan reputasi perusahaan.

14
DAFTAR PUSTAKA

1. www.csrindonesia.com
2. www.kompas.com
3. www.tekmira.esdm.go.id
4. www.portalhr.com
5. id.wikipedia.org
6. www.megawati-institute.org

15

You might also like