You are on page 1of 25

Perencanaan Jalan Tambang Awang Suwandhi, Ir., M.

Sc

PERENCANAAN JALAN TAMBANG

1. PENDAHULUAN
Setiap operasi penambangan memerlukan jalan tambang sebagai sarana infrastruktur yang
vital di dalam lokasi penambangan dan sekitar-nya. Jalan tambang berfungsi sebagai penghubung
lokasi-lokasi penting, antara lain lokasi tambang dengan area crushing plant, pengolahan bahan
galian, perkantoran, perumahan karyawan dan tempat-tempat lain di wilayah penambangan.
Konstruksi jalan tambang secara garis besar sama dengan jalan angkut di kota. Perbedaan
yang khas terletak pada permukaan jalannya (road surface) yang jarang sekali dilapisi oleh aspal
atau beton seperti pada jalan angkut di kota, karena jalan tambang sering dilalui oleh peralatan
mekanis yang memakai crawler track, misalnya bulldozer, excavator, crawler rock drill (CRD), track
loader dan sebagainya. Untuk membuat jalan angkut tambang diperlukan bermacam-macam alat
mekanis, antara lain:
¾ bulldozer yang berfungsi antara lain untuk pembersihan lahan dan pembabatan, perintisan
badan jalan, potong-timbun, perataan dll;
¾ alat garu (roater atau ripper) untuk membantu pembabatan dan meng-atasi batuan yang agak
keras;
¾ alat muat untuk memuat hasil galian yang volumenya besar;
¾ alat angkut untuk mengangkut hasil galian tanah yang tidak diperlukan dan membuangnya di
lokasi penimbunan;
¾ motor grader untuk meratakan dan merawat jalan angkut;
¾ alat gilas untuk memadatkan dan mempertinggi daya dukung jalan;
Seperti halnya jalan angkut di kota, jalan angkut di tambang pun harus dilengkapi
penyaliran (drainage) yang ukurannya memadai. Sistem penyaliran harus mampu menampung air
hujan pada kondisi curah hujan yang tinggi dan harus mampu pula mengatasi luncuran partikel-
partikel kerikil atau tanah pelapis permukaan jalan yang terseret arus air hujan menuju penyaliran.
Apabila jalan tambang melalui sungai atau parit, maka harus dibuat jembatan yang konstruksinya
mengikuti persyaratan yang biasa diterapkan pada konstruksi jembatan umum di jalan kota. Parit
yang dilalui jalan tambang mungkin dapat diatasi dengan pemasangan gorong-gorong (culvert),
kemudian dilapisi oleh campuran tanah dan batu sampai pada ketinggian jalan yang dikehendaki.

2. GEOMETRI JALAN ANGKUT


Fungsi utama jalan angkut secara umum adalah untuk menunjang kelancaran operasi
penambangan terutama dalam kegiatan pengangkutan. Medan berat yang mungkin terdapat
disepanjang rute jalan tambang harus diatasi dengan mengubah rancangan jalan untuk
meningkatkan aspek manfaat dan keselamatan kerja. Apabila perlu dibuat terowongan (tunnel)
atau jembatan, maka cara pembuatan dan konstruksinya harus mengikuti aturan-aturan teknik sipil
yang berlaku. Lajur jalan di dalam terowongan atau jembatan umumnya cukup satu dan alat
angkut atau kendaraan yang akan melewatinya masuk secara bergantian. Pada kedua pintu
terowongan ditugaskan penjaga (Satpam) yang mengatur kendaraan masuk secara bergiliran,
terutama bila terowongan cukup panjang.
Geometri jalan angkut yang harus diperhatikan sama seperti jalan raya pada umumnya,
yaitu: (1) lebar jalan angkut, (2) jari-jari tikungan dan super- elevasi, (3) kemiringan jalan, dan (4)
cross slope. Alat angkut atau truk-truk tambang umumnya berdimensi lebih lebar, panjang dan
lebih berat dibanding kendaraan angkut yang bergerak di jalan raya. Oleh sebab itu, geometri jalan
harus sesuai dengan dimensi alat angkut yang digunakan agar alat angkut tersebut dapat
bergerak leluasa pada kecepatan normal dan aman.

2.1. LEBAR JALAN ANGKUT


Jalan angkut yang lebar diharapkan akan membuat lalulintas pengangkutan lancar dan
aman. Namun, karena keterbatasan dan kesulitan yang muncul di lapangan, maka lebar jalan
minimum harus diperhitungan dengan cermat. Perhitungan lebar jalan angkut yang lurus dan belok
(tikungan) berbeda, karena pada posisi membelok kendaraan akan membutuhkan ruang gerak

Diklat Perencanaan Tambang Terbuka 1


Unisba, 12 – 22 Juli 2004
Perencanaan Jalan Tambang Awang Suwandhi, Ir., M.Sc

yang lebih lebar akibat jejak ban depan dan belakang yang ditinggalkan di atas jalan melebar. Di
samping itu, perhitungan lebar jalan pun harus mempertimbangkan jumlah lajur, yaitu lajur tunggal
untuk jalan satu arah atau lajur ganda untuk jalan dua arah.

¾ Lebar jalan angkut pada jalan lurus


Lebar jalan minimum pada jalan lurus dengan lajur ganda atau lebih, menurut Aasho Manual
Rural High Way Design, harus ditambah dengan setengah lebar alat angkut pada bagian tepi
kiri dan kanan jalan (lihat Gambar 1). Dari ketentuan tersebut dapat digunakan cara sederhana
untuk menentukan lebar jalan angkut minimum, yaitu menggunakan rule of thumb atau angka
perkiraan seperti terlihat pada Tabel 1, dengan pengertian bahwa lebar alat angkut sama
dengan lebar lajur.

Tabel 1
Lebar Jalan Angkut Minimum
JUMLAH LAJUR LEBAR JALAN
PERHITUNGAN
TRUCK ANGKUT MIN.
1 1 + (2 x ½) 2,00
2 2 + (3 x ½) 3,50
3 3 + (4 x ½) 5,00
4 4 + (5 x ½) 6,50

Dari kolom perhitungan pada Tabel 1 dapat ditetapkan rumus lebar jalan angkut minimum
pada jalan lurus. Seandainya lebar kendaraan dan jumlah lajur yang direncanakan masing-
masing adalah Wt dan n, maka lebar jalan angkut pada jalan lurus dapat dirumuskan sebagai
berikut:

L min = n.Wt + (n + 1) (½.Wt)………………………….(1)

di mana : L min = lebar jalan angkut minimum, m


n = jumlah lajur
Wt = lebar alat angkut, m

Dengan demikian, apabila lebar truck 773D-Caterpillar antara dua kaca spion kiri-kanan 5,076
m, maka lebar jalan lurus minimum dengan lajur ganda adalah sebagai berikut:
L min = n.Wt + (n + 1) (½.Wt)

= 2 (5,076) + (3) (½ x 5,076)

= 17,77 m ≈ 18 m

Diklat Perencanaan Tambang Terbuka 2


Unisba, 12 – 22 Juli 2004
Perencanaan Jalan Tambang Awang Suwandhi, Ir., M.Sc

CATERPILLAR

778 778
Tanggul

Parit

1/2 Wt Wt 1/2 Wt Wt 1/2 Wt

L min

Gambar 1. Lebar Jalan Angkut Dua Lajur Pada Jalan Lurus

¾ Lebar jalan angkut pada belokan


Lebar jalan angkut pada belokan atau tikungan selalu lebih besar daripada lebar jalan lurus.
Untuk lajur ganda, maka lebar jalan minimum pada belokan didasarkan atas:
• Lebar jejak ban;
• Lebar juntai atau tonjolan (overhang) alat angkut bagian depan dan belakang pada saat
membelok;
• Jarak antar alat angkut atau kendaraan pada saat bersimpangan;
• Jarak dari kedua tepi jalan.
Dengan menggunakan ilustrasi pada Gambar 2 dapat dihitung lebar jalan minimum pada
belokan, yaitu seperti terlihat di bawah ini:

di mana : Wmin= lebar jalan angkut minimum pada belokan, m


U = lebar jejak roda (center to center tires), m
Fa = lebar juntai (overhang) depan, m
Fb = lebar juntai belakang, m
Z = lebar bagian tepi jalan, m
C = jarak antar kendaraan (total lateral clearance), m

Misalnya akan dihitung lebar jalan membelok untuk dua lajur truck 773D-Caterpillar. Lebar
sebuah ban pada kondisi bermuatan dan bergerak pada jalan lurus adalah 0,70 m. Jarak
antara dua pusat ban 3,30 m. Pada saat membelok meninggalkan jejak di atas jalan selebar
0,80 m untuk ban depan dan 1,65 m untuk ban belakang. Bila jarak antar truck sekitar 4,50 m,
maka lebar jalan membelok adalah sebagai berikut:

Diklat Perencanaan Tambang Terbuka 3


Unisba, 12 – 22 Juli 2004
Perencanaan Jalan Tambang Awang Suwandhi, Ir., M.Sc

Fa
Z
U

Fb
Fa

Fb
U
W
Z

Gambar 2. Lebar Jalan Angkut Dua Lajur Pada Belokan

2.2. JARI–JARI TIKUNGAN DAN SUPERELEVASI


Pada saat kendaraan melalui tikungan atau belokan dengan kecepatan tertentu akan menerima
gaya sentrifugal yang menyebabkan kendaraan tidak stabil. Untuk mengimbangi gaya sentrifugal
tersebut, perlu dibuat suatu kemiringan melintang ke arah titik pusat tikungan yang disebut
superelevasi (e). Gaya gesek (friksi) melintang yang cukup berarti antara ban dengan permukaan
jalan akan terjadi pada daerah superelevasi. Implementasi matematisnya berupa koefisien gesek
melintang (f) yang merupakan per-bandingan antara besar gaya gesek melintang dengan gaya
normal.
• Jari-jari tikungan
Jari-jari tikungan jalan angkut berhubungan dengan konstruksi alat angkut yang digunakan,
khususnya jarak horizontal antara poros roda depan dan belakang. Gambar 3 memperlihatkan
jari-jari lingkaran yang dijalani oleh roda belakang dan roda depan berpotongan di pusat C
dengan besar sudut sama dengan sudut penyimpangan roda depan. Dengan demikian jari-jari
belokan dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

di mana : R = jari-jari belokan jalan angkut, m


W = jarak poros roda depan dan belakang, m
β = sudut penyimpangan roda depan, °

Namun, rumus di atas merupakan perhitungan matematis untuk mendapatkan lengkungan


belokan jalan tanpa mempertimbangkan faktor-faktor kecepatan alat angkut, gesekan roda ban
dengan permukaan jalan dan superelevasi. Apabila ketiga faktor tersebut diperhitungkan,
maka rumus jari-jari tikungan menjadi sebagai berikut:

Diklat Perencanaan Tambang Terbuka 4


Unisba, 12 – 22 Juli 2004
Perencanaan Jalan Tambang Awang Suwandhi, Ir., M.Sc

C
Gambar 3. Sudut Maksimum Penyimpangan Kendaraan

Di mana V, e, f dan D masing-masing adalah kecepatan (km/jam), super-elevasi (%), koefisien


gesek melintang dan besar derajat lengkung. Agar terhindar dari kemungkinan kecelakaan,
maka untuk kecepatan tertentu dapat dihitung jari-jari minimum untuk superelevasi maksimum
dan koefisien gesek maksimum.

VR adalah kecepatan kendaraan rencana dan hubungannya emak dan fmak terlihat pada Gambar
4, dimana titik-titik 1, 2 dan 3 pada kurva tersebut adalah harga emak 6%, 8% dan 10%. Untuk
pertimbangan perencanaan, digunakan emax = 10%. Dengan menggunakan rumus (5) dapat
dihitung jari-jari tikungan minimal (Rmin) untuk variasi VR dengan konstanta emax = 10%
serta harga fmax sesuai kurva pada Gambar 4. Hasil perhitungan terlihat pada Tabel 2.

Tabel 2
Jari-Jari Tikungan Minimum Untuk emak = 10%

VR, km/jam 120 100 90 80 60 50 40 30 20


Rmin, m 600 370 280 210 113 77 48 27 13

Diklat Perencanaan Tambang Terbuka 5


Unisba, 12 – 22 Juli 2004
Perencanaan Jalan Tambang Awang Suwandhi, Ir., M.Sc

0,20

0,18

Koefisien gesek melintang (f)


0,16

0,14

0,12

0,10

0,08
20 30 40 50 60 70 80 90 100 110 120

Kecepatan (V R), km/jam

Gambar 4. Kurva Koefisien Gesek Untuk emax 6%, 8% dan 10% (menurut AASHTO)

• Bentuk busur lengkungan pada tikungan


Badan jalan secara horizontal dapat terbagi dua bagian, yaitu: bagian yang lurus dan bagian
yang melengkung. Rancangan pada kedua bagian tersebut berbeda, baik ditinjau dari
konsistensi lebar jalannya maupun bentuk potongan melintangnya. Yang perlu diperhatikan
dalam merancang bagian jalan yang lurus adalah harus mempunyai panjang maksimum yang
dapat ditempuh dalam tempo sekitar 2,50 menit dengan pertimbangan keselamatan
pengemudi akibat kelelahan. Sedangkan pada bagian yang melengkung, biasanya digunakan
dua jenis rancangan, yaitu:

(a) Tikungan berbentuk lingkaran (FC)


Tikungan berbentuk lingkaran artinya bahwa diantara bentuk badan jalan yang lurus
terdapat tikungan yang lengkungannya dirancang cukup dengan sebuah jari-jari saja.
Bentuk tikungan FC ini biasanya dirancang untuk tikungan yang besar, sehingga tidak
terjadi perubahan panjang jari-jari (R ) sampai ke bentuk jalan yang lurus berikutnya.

PI

T E

L
TS ST

R ½∆ ½∆ R

O
Gambar 5. Komponen-komponen Tikungan “FC”
Parameter-parameter yang ditetapkan di dalam merancang tikungan FC meliputi
kecepatan (km/jam), sudut ∆ diukur dari Gambar(°) dan jari-jari (m). Sedangkan panjang
T, E dan L (lihat Gambar 5) dapat dihitung dengan persamaan sebagai berikut:

Diklat Perencanaan Tambang Terbuka 6


Unisba, 12 – 22 Juli 2004
Perencanaan Jalan Tambang Awang Suwandhi, Ir., M.Sc

T = R tan ½ ∆………………………….(8)

E = T tan ¼ ∆…………………………..(9)

L = 0,01744 ∆ R…………………………(10)

Batasan yang dipakai di Indonesia dengan menggunakan tikungan bentuk lingkaran (FC)
adalah sebagai berikut:

Tabel 3
Batas Tikungan Bentuk “FC”

VR , km/jam 120 100 80 60 50 40 30 20


Rmin, m 2500 1500 1100 700 400 300 130 60

(b) Tikungan berbentuk Spiral–Lingkaran–Spiral (S-C-S)


Tikungan S-C-S dirancang apabila jari-jari lingkarannya terlalu kecil dari harga pada Tabel 3,
sehingga diperlukan lengkungan peralihan. Lengkungan peralihan tersebut dinamakan “spiral”
yang berfungsi sebagai penghubung antara bagian jalan yang lurus dengan bentuk lingkaran.
Panjang lengkung peralihan (spiral) diperhitungkan dengan mempertimbangkan perubahan
gaya sentrifugal dari nol (pada bagian lurus) sampai bentuk lingkaran yang besarnya adalah:

Harga Ls dihitung menurut rumus Modifikasi Shortt sebagai berikut:

di mana : Ls = panjang lengkung spiral, m


VR = kecepatan rencana, km/jam
R = jari-jari lingkaran, m
C = perubahan percepatan, 0,3 – 1,0 m/det³ disarankan 0,4 m/det³
e = superelevasi, m/m

Dari Gambar 6 terlihat bahwa TS-SC atau CS-ST adalah panjang lengkung spiral atau
peralihan (Ls), sedangkan SC-CS adalah lengkung lingkaran dengan jari-jari Rc (Lc). Dengan
demikian panjang tikungan adalah:

Ltot = 2 Ls + Lc…………………………(13)

Parameter-parameter lain yang terdapat pada Gambar 6 dapat diterangkan sebagai berikut:

Diklat Perencanaan Tambang Terbuka 7


Unisba, 12 – 22 Juli 2004
Perencanaan Jalan Tambang Awang Suwandhi, Ir., M.Sc

PI

Ts Es

Ys

CS
{SC {
Xs

Rc Rc
k p θs
θs θs
{ ∆ {ST
TS

Gambar 6. Komponen-komponen Tikungan “S-C-S”

Xs = absis titik SC pada garis singgung jarak dari titik TS ke SC (jarak l lurus dari garis
lengkung peralihan).
Ys = ordinat titik SC pada garis tegak lurus garis singgung (jarak tegak l lurus ke titik
SC pada garis lengkung peralihan).
Ts = panjang garis singgung dari titik PI ke titik TS atau ke titik ST.
TS = titik antara garis lurus (singgung) dan spiral.
SC = titik antara spiral dan lingkaran.
Es = jarak dari PI ke busur lingkaran.
θs = sudut lengkung spiral.
Rc = jari-jari lingkaran.
p = pergeseran garis singgung terhadap spiral.
k = absis dari p pada garis singgung spiral.

Rumus-rumus yang digunakan adalah:

Diklat Perencanaan Tambang Terbuka 8


Unisba, 12 – 22 Juli 2004
Perencanaan Jalan Tambang Awang Suwandhi, Ir., M.Sc

• Superelevasi
Pada jalan yang membelok, badan jalan dimiringkan ke arah titik pusat belokan yang disebut
superelevasi. Superelevasi berhubungan erat dengan jari-jari belokan, kecepatan kendaraan
dan perubahan kecepatan (0,40 m/det³) seperti terlihat pada persamaan (12). Superelevasi
dicapai secara bertahap dari kemiringan normal pada bagian jalan yang lurus sampai ke
kemiringan penuh (superelevasi) pada bagian jalan yang lengkung (Gambar 7).

Gambar 7. Perubahan Kemiringan Melintang pada Tikungan

Pada tikungan tipe S-C-S, pencapaian superelevasi dilakukan secara linear dari bentuk normal
sampai titik TS kemudian awal lengkung peralihan sepanjang Ls dan akhirnya sampai pada
superelevasi penuh sepanjang Lc. Sedangkan pada tikungan tipe FC, pencapaian
superelevasi dilakukan secara linear, diawali dari bagian lurus sepanjang 2/3 LS sampai
dengan bagian lingkaran penuh 1/3 Ls. Metoda untuk mencapai superelevasi yaitu dengan
membuat diagram superelevasi, baik untuk tikungan tipe FC maupun S-C-S seperti terlihat
pada Gambar 7.a dan Gambar 7.b.

Kemiringan melintang atau kelandaian pada penampang jalan diantara tepi perkerasan luar
dan sumbu jalan sepanjang lengkung peralihan disebut landai relatif. Harga landai relatif
disesuaikan dengan kecepatan rencana (VR) dan jumlah lajur yang tersedia. Persamaan (22)
dipakai untuk menghitung landai relatif dan Tabel 4 merupakan hasil perhitungan landai relatif
dengan variasi kecepatan.

Diklat Perencanaan Tambang Terbuka 9


Unisba, 12 – 22 Juli 2004
Perencanaan Jalan Tambang Awang Suwandhi, Ir., M.Sc

di mana : 1/m = landai relatif, %


e = superelevasi, m/m’
en = kemiringan melintang normal, m/m’
B = lebar lajur, m
Ls = panjang lengkung peralihan, m (gunakan rumus 12)

Tabel 4
Landai Relatif Maksimum (untuk 2/2TB)

VR , km/jam 20 30 40 50 60 80
Kemiringan
1/50 1/75 1/100 1/115 1/125 1/150
Maksimum

Diklat Perencanaan Tambang Terbuka 10


Unisba, 12 – 22 Juli 2004
Perencanaan Jalan Tambang Awang Suwandhi, Ir., M.Sc

BAGIAN BAGIAN LENGKUNG PENUH BAGIAN


LURUS LURUS
TC Lc CT

2/3 Ls 1/3 Ls
sisi luar tikungan
e mak

e = 0%
enormal

en en en en
sisi dalam tikungan
e = 0% en e = 0%
en

en en

emak
emak

a. Tikungan tipe “FC”

BAGIAN BAGIAN
BAGIAN LENGKUNG LENGKUNG BAGIAN
LURUS PERALIHAN BAGIAN LENGKUNG PENUH PERALIHAN LURUS
Ls Lc Ls

TS SC sisi luar tikungan CS


e mak

e = 0%
enormal

en en en en
sisi dalam tikungan
e = 0% en e = 0% en

en en

emak emak

b. Tikungan tipe “S-C-S”

Gambar 8. Diagram Pencapaian Superelevasi


2.3. KEMIRINGAN JALAN ANGKUT
Kemiringan jalan berhubungan langsung dengan kemampuan alat angkut baik dalam pengereman
maupun dalam mengatasi tanjakan. Kemiringan jalan umumnya dinyatakan dalam persen (%).
Kemiringan jalan maksimum yang dapat dilalui dengan baik oleh alat angkut truck berkisar antara
10% – 15% atau sekitar 6° – 8,50°. Akan tetapi untuk jalan naik atau turun pada lereng bukit lebih
aman bila kemiringan jalan maksimum sekitar 8% (= 4,50°). Tabel 5 memperlihatkan kemiringan
atau kelandaian maksimum pada kecepatan truck yang bermuatan penuh di jalan raya mampu
bergerak dengan kecepatan tidak kurang dari separuh kecepatan semula tanpa harus
menggunakan gigi rendah.

Diklat Perencanaan Tambang Terbuka 11


Unisba, 12 – 22 Juli 2004
Perencanaan Jalan Tambang Awang Suwandhi, Ir., M.Sc

Tabel 5
Kemiringan Maksimum Vs Kecepatan (data dari Bina Marga 1)

VR , km/jam 120 110 100 80 60 50 40 < 40


Kemiringan
3 3 4 5 8 9 10 10
Maks, %

Gambar 9. Perbandingan Satuan Kemiringan

Pada jalan mendaki juga diperlukan adanya panjang kemiringan (kelandaian) kritis, yaitu suatu
jarak maksimum agar pengurangan kecepatan kendaraan tidak lebih dari separuh VR. Lama
perjalanan pada jarak kritis tidak lebih dari 1 menit.

Tabel 6
Jarak Miring Kritis (meter), data dari Bina Marga 2)

Kecepatan pada awal Kemiringan, %


tanjakan 4 5 6 7 8 9 10
80 km/ jam 630 460 360 270 230 230 200
60 km/ jam 320 210 160 120 110 90 80

2.4. CROSS SLOPE


Cross slope adalah sudut yang dibentuk oleh dua sisi permukaan jalan terhadap bidang horizontal.
Pada umumnya jalan angkut mem-punyai bentuk penampang melintang cembung (lihat Gambar
8). Dibuat demikian dengan tujuan untuk memperlancar penyaliran. Apabila turun hujan atau
sebab lain, maka air yang ada pada permukaan jalan akan segera mengalir ke tepi jalan angkut,
tidak berhenti dan mengumpul pada permukaan jalan. Hal ini penting karena air yang menggenang
pada permukaan jalan angkut akan membahayakan kendaraan yang lewat dan mempercepat
kerusakan jalan.

Diklat Perencanaan Tambang Terbuka 12


Unisba, 12 – 22 Juli 2004
Perencanaan Jalan Tambang Awang Suwandhi, Ir., M.Sc

b
α

a a

KETERANGAN :
1 Permukaan jalan angkut a Jarak horizontal
2 Bidang horizontal b Tinggi vertikal pada poros memanjang jalan
α Cross slope

Gambar 10. Penampang Melintang Jalan Angkut

Angka cross slope dinyatakan dalam perbandingan jarak vertikal (b) dan horizontal (a) dengan
satuan mm/m atau m/m’ (lihat rumus 22). Jalan angkut yang baik memiliki cross slope antara 1/50
sampai 1/25 atau 20 mm/m sampai 40 mm/m.

3. PERKERASAN JALAN ANGKUT


Perkerasan jalan adalah konstruksi yang dibangun di atas lapisan tanah dasar (sub-grade) yang
berfungsi untuk menopang beban lalulintas. Jenis konstruksi perkerasan jalan pada umumnya ada
tiga jenis, yaitu: (1) perkerasan lentur (flexible pavement), (2) perkerasan kaku (rigid pavement),
dan (3) perkerasan kombinasi lentur-kaku (composite pavement).
Perkerasan jalan angkut harus cukup kuat untuk menahan berat kendaraan dan muatan yang
melaluinya, dan permukaan jalannya harus dapat menahan gesekan roda kendaraan, pengaruh air
permukaan atau air limpasan (run off water) dan hujan. Bila perkerasan jalan tidak kuat menahan
beban kendaraan, maka jalan tersebut akan mengalami penurunan dan pergeseran, baik pada
bagian perkerasan jalan itu sendiri maupun pada tanah dasarnya (sub-grade), sehingga akan
menyebabkan jalan ber-gelombang, berlubang dan bahkan bisa rusak berat. Bila perkerasan
permukaan jalan (road surface) rapuh terhadap gesekan ban atau aliran air, maka akan
mengalami kerusakan yang pada mulanya terjadi lubang-lubang kecil, lama kelamaan menjadi
besar, dan akhirnya rusak berat.
Tujuan utama perkerasan jalan angkut adalah untuk membangun dasar jalan yang mampu
menahan beban pada poros roda yang diteruskan melalui lapisan fondasi, sehingga tidak
melampaui daya dukung tanah dasar (sub-grade). Dengan demikian perkerasan jalan angkut
dipengaruhi oleh faktor-faktor kepadatan lalulintas, sifat fisik dan mekanik bahan (material) yang
digunakan, dan daya dukung tanah dasar.

3.1. EVALUASI LAPISAN TANAH DASAR (SUB-GRADE)


Daya dukung lapisan tanah dasar merupakan bagian yang sangat penting di dalam merencanakan
tebal lapisan perkerasan jalan. Oleh sebab itu evaluasi lapisan sub-grade diarahkan untuk
memperoleh suatu estimasi harga atau ukuran daya dukung tanah yang caranya dapat dilakukan
di lapangan atau di laboratorium mekanika tanah. Faktor-faktor yang harus dipertimbangkan di
dalam mengestimasi ukuran kekuatan daya dukung lapisan tanah dasar antara lain:
™ kadar air,
™ kepadatan (compaction),
™ perubahan kadar air selama usia pelayanan,
™ variabilitas tanah dasar,
™ ketebalan lapisan perkerasan total yang dapat diterima oleh lapisan lunak yang ada di
bawah lapisan tanah dasar.
Adapun cara pengukuran daya dukung lapisan sub-grade dapat dilakukan dengan pengujian
California Bearing Ratio (CBR), Parameter Elastis dan Modulus Reaksi Tanah Dasar (k). Ketiga
pengujian tersebut umumnya dilaksanakan di laboratorium mekanika tanah dengan mengikuti
prodesur standardisasi yang ditetapkan oleh ASTM, AASHTO, SNI dan lain-lain.

Diklat Perencanaan Tambang Terbuka 13


Unisba, 12 – 22 Juli 2004
Perencanaan Jalan Tambang Awang Suwandhi, Ir., M.Sc

Yang sering digunakan dalam perkerasan jalan tambang adalah pengujian CBR yang
dikembangkan oleh California State High-way Department. Hasil pengujian CBR di laboratorium
mekanika tanah diplot ke dalam kurva CBR seperti terlihat pada Gambar 9. Hasil yang diharapkan
dari kurva CBR adalah ketebalan lapisan-lapisan perkerasan di atas sub-grade sesuai dengan
jenis-jenis tanah atau material yang digunakan untuk perkerasan jalan tersebut. Contoh
penggunaan kurva CBR diberikan sebagai berikut:
Suatu konstruksi jalan tambang akan dibuat di atas lapisan sub-grade berjenis lempung-lanauan dengan plastisitas
sedang (silty clay of medium plasticity) dengan harga CBR 5. Truck atau wheel loader yang melewati jalan tersebut
mempunyai berat maksimum 40.000 lbs. Disekitar jalan terdapat banyak pasir yang agak bersih dengan harga
CBR 15 yang dapat digunakan untuk lapisan diatasnya (sub-base). Diatas sub-base adalah lapisan permukaan
(road surface) yang dilapisi krakal yang baik (good gravel) dengan harga CBR 80. Berapa tebal lapisan sub-base
dan road surface agar daya dukung lapisan sub-grade stabil.
Jawaban:
Step A: Dari titik harga CBR lapisan sub-grade = 5 ditarik garis vertikal ke bawah hingga memotong kurva
lengkung berat kendaraan 40.000 lbs. Dari titik perpotongan tersebut ditarik garis horizontal ke arah ordinat
“ketebalan sub-base” dan diperoleh angka tebal 28 inci. Artinya, bahwa ketebalan permukaan jalan akhir
paling tidak harus 28 inci di atas sub-grade.
Step B: Kemudian pasir bersih dengan CBR 15 dipotongkan dengan kurva lengkung berat kendaraan 40.000 lbs.
Dari titik perpotongan tersebut ditarik garis horizontal ke arah ordinat “ketebalan sub-base” dan diperoleh
angka tebal 14 inci. Artinya, bahwa ketebalan material pasir bersih harus tetap 14 inci di bawah permukaan
jalan.
Step C: Perpotongan antara harga CBR krakal yang baik 80 dengan berat kendaraan 40.000 lbs menghasilkan
ketebalan lapisan 6 inci dari ordinat “ketebalan sub-base”. Krakal yang merupakan material dipermukaan
akhir jalan harus disebar-kan tetap 6 inci.

Dari contoh soal di atas diperoleh manfaat bahwa: (a) harga CBR sub-grade menentukan
ketebalan total lapisan perkerasan, (b) jumlah lapisan perkeras-an jalan paling tidak ada dua lapis
di atas sub-grade, dan (c) berat kendaraan berpengaruh terhadap penentuan ketebalan
perkerasan. Tabel 6 memperlihatkan daya dukung beberapa material.

3.2. MATERIAL PERKERASAN


Material perkerasan yaitu material yang digunakan untuk melapisi permukaan sub-grade.
Berdasarkan atas sifat dasarnya, material perkerasan diklasifikasikan menjadi empat kategori,
yaitu:
(1) material berbutir lepas; (3) aspal
(2) material pengikat; (4) beton semen

Diklat Perencanaan Tambang Terbuka 14


Unisba, 12 – 22 Juli 2004
Perencanaan Jalan Tambang Awang Suwandhi, Ir., M.Sc

CALIFORNIA BEARING RATIO (CBR)


at 0.1 inches penetration
2 3 4 5 6 7 8 9 10 15 20 25 30 40 50 60 70 80 100
0

< 100,000 lbs


GVW
10
4000
0
700

SUBBASE THICKNESS, INCHES


0
00
20 12

0 Wheel load, lbs


00

100,000 - 400,000 lbs


25
30

0
GVW

00
LEGEND FOR GROUP SYMBOLS

40
40 C : Clay

0
F : Fines (material less than 0.1 mm)

00
70
G : Gravel
H : High compressibility
50 L : Low to medium compressibility

00
> 400,000 lbs

00
M : Mo very fine sand, silt, rock flour
10
O : Organic
GVW

00 P : Poorly graded
60 Pt : Peat
00
12

S : Sand
W : Well graded

70

GP GW
GRAVEL GC
GF
Artificial soil
classification

SF
SAND SC
SP SW

OH CL
CH ML
CLAY & SILT
OL
MH

Flexible
Very poor Poor Fair Good Excellent
pavement

2 3 4 5 6 7 8 9 10 15 20 25 30 40 50 60 70 80 100

Gambar 11. Kurva Perkerasan Lentur Untuk Menentukan Tebal Perkerasan Semua
dengan Harga CBR Material

Tabel 6
Daya Dukung Material

Capacity in
Material
1,000 lb/sqft
Hard Sound Rock 120
Medium Hard Rock 80
Hard Pan Overlaying Rock 24
Compact Gravel and Boulder-Gravel Formations; Very Compact Sandy Gravel 20
Soft Rock 16
Loose Gravel and Sandy Gravel; Compact Sand and Gravelly Sand; Very Compact Sand-Inorganic Silt Soils 12
Hard Dry Consolidated Clay 10
Loose Coarse to Medium Sand; Medium Compact Fine Sand 8
Compact Sand-Clay Soils 6
Loose Fine Sand; Medium Compact Sand-Inorganic Silt Soils 4
Firm or Stiff Clay 3
Loose Saturated Sand Clay Soils, Medium Soft Clay 2

Diklat Perencanaan Tambang Terbuka 15


Unisba, 12 – 22 Juli 2004
Perencanaan Jalan Tambang Awang Suwandhi, Ir., M.Sc

Pada jalan tambang jarang sekali digunakan material aspal atau beton semen karena
pemanfaatan jalannya tidak terlalu lama atau selalu berpindah-pindah dalam tempo yang relatif
singkat mengikuti area penambangan. Namun, di lokasi perkantoran, fasilitas kesehatan atau
perumahan karyawan tetap digunakan material perkerasan dari aspal atau beton semen. Tabel 7
memperlihatkan karakteristik keempat jenis material perkerasan.
• Material berbutir
Material berbutir terdiri atas kerikil dari sungai atau agregat batuan hasil mesin pemecah batu
(crusher). Distribusi ukuran butir material tersebut harus mengikuti standar baku, baik ASTM,
AASHTO, NAASRA atau SNI, agardapat menghasilkan kestabilan secara mekanis dan dapat
dipadatkan. Dalam proses perkerasannya dapat pula ditambahkan aditif untuk menambah
kestabilan tanpa menambah kekakuan.
• Material terikat
Material terikat adalah material perkerasan yang dihasilkan dengan menambahkan semen,
kapur, atau zat cair lainnya dalam jumlah tertentu untuk menghasilkan bahan yang terikat.
Ikatan antar butir akan menghasilkan kuat tarik yang besar, sehingga diharapkan lapisan
perkerasan dapat menahan beban kendaraan dengan baik dan berumur pakai lama.
• Aspal
Aspal adalah kombinasi bitumen dengan agregat yang dicampur, dihamparkan dan dipadatkan
dalam kondisi campuran yang masih panas, sehingga terbentuk lapisan perkerasan. Kekuatan
aspal diperoleh dari gesekan antara partikel-agregat, viskositas bitumen pada saat pelaksana-
an perkerasan, kohesi dalam massa bitumen, dan adhesi antara bitumen dengan agregat.
Adapun kegagalan perkerasan aspal yang umum terjadi adalah akibat stabilitas yang kurang
sehingga terjadi deformasi permanen, atau akibat kelelahan sehingga terjadi retakan-retakan.
• Beton semen
Beton semen adalah agregat yang dicampur dengan semen PC secara basah. Lapisan beton
semen dapat digunakan sebagai lapisan fondasi bawah pada perkerasan lentur dan kaku dan
sebagai lapisan fondasi atas pada perkerasan kaku.
Sebagai lapisan fondasi bawah, beton semen dapat dituangkan begitu saja di atas lapisan sub-
grade yang jelek (poor sub-grade) tanpa digilas., Beton semen harus memiliki kuat tekan
minimum 5 MPa setelah 28 hari jika menggunakan campuran abubatu (flyash) dan jika tanpa
abubatu kuat tekan minimumnya 7 MPa.
Pada perkerasan kaku memang selalu menggunakan beton semen sebagai lapisan atau
landasan fondasi atas. Prinsip parameter perencanaan fondasi beton didasarkan atas kuat
lentur rencana 90 hari. Setelah 90 hari diestimasi bahwa kuat lentur fondasi cukup stabil pada
ketebalan perkerasan yang telah diperhitungkan.

Diklat Perencanaan Tambang Terbuka 16


Unisba, 12 – 22 Juli 2004
Perencanaan Jalan Tambang Awang Suwandhi, Ir., M.Sc

Tabel 7
Karekteristik dan Kategori Material Perkerasan
KARAK- KATEGORI MATERIAL PERKERASAN
TERISTIK BUTIRAN LEPAS TERIKAT ASPAL BETON SEMEN
Jenis Material • Batu pecah • Material yang dista-bilisasi • Baton aspal Beton semen
• Krikil/krakal dengan kapur • Aspal
• Agregat tanah • Material yang dista-bilisasi
• Material yang distabilisasi secara dengan semen
mekanis • Material yang dista-bilisasi
• Material yang dista-bilisasi dengan dengan kapur/flyash
bitumen • Material yang dista-bilisasi
• Material yang dista-bilisasi secara dengan abubatu
kimiawi
• Material yang dimodifikasi: semen,
kapur, abubatu dan flyash
Sifat dasar • Pembentukan kuat geser melalui • Pembentukan kuat geser • Pembentukan • Pembentukan
gaya interlock antar partikel melalui gaya interlock dan kuat geser kuat geser melalui
• Tidak ada gaya tarik yang berarti ikatan kimiawi melalui gaya ikatan kimiawi dan
• Terjadi gaya tarik yang berarti interlock antar interlock antar
partikel dan partikel
kohesi • Terjadi gaya tarik
• Terjadi gaya yang sangat
tarik yang berarti
berarti
• Peka
terhadap suku
Model • Deformasi terjadi akibat geser dan • Pembentukan retak melalui • Retak Retak terjadi akibat
keruntuhan kepadatan penyusutan, kelelahan dan terbentuk penyusutan,
• Disintegrasi terjadi melalui kelebihan beban akibat kelelahan dan erosi
perpecahan • Terjadi erosi dan pemuaian kelelahan dan dari lapisan fondasi
akibat ada air kelebihan bawah
beban
• Deformasi
tetap
Masukan • Modulus elastisitas • Modulus elastisitas • Modulus • Kuat lentur 90
parameter • Nisbah Poisson • Nisbah Poisson elastisitas atau 28 hari
untuk • Derajat anisotropi • Nisbah • Kuat tekan 28 hari
perenca-naan Poisson
Kriteria Spesifikasi material umum Hubungannya dengan Hubungannya Hubungannya
penampil-an kelelahan dengan dengan kelelahan
kelelahan dan kuat beton

3.3. LAPISAN PERKERASAN JALAN


Seperti telah disinggung sebelumnya bahwa terdapat tiga jenis konstruksi lapisan perkerasan,
yaitu lapisan perkerasan lentur, lapisan per-kerasan kaku dan lapisan perkerasan kombinasi
lentur-kaku. Setiap jenis lapisan perkerasan umumnya terdiri dari 2 – 3 susunan material di atas
lapisan tanah dasar (sub-grade). Lapis paling atas adalah lapis permukaan (surface course),
dibawahnya adalah lapis fondasi atas (base course) dan diantara base-course dengan sub-grade
adalah lapis fondasi bawah (sub-base course).

• Susunan lapisan perkerasan


Jenis-jenis susunan lapisan perkerasan yang terlah disebutkan di atas mempunyai fungsi yang
berbeda-beda di dalam merespon beban yang diterimanya. Rancangan konstruksinya
didasarkan atas kondisi alamiah lapisan tanah dasar, intensitas lalulintas yang akan
melaluinya, faktor lingkungan dan kondisi cuaca serta air tanah. Adapun fungsi dari masing-
masing lapisan dapat diuraikan sebagai berikut:

Diklat Perencanaan Tambang Terbuka 17


Unisba, 12 – 22 Juli 2004
Perencanaan Jalan Tambang Awang Suwandhi, Ir., M.Sc

a. Lapis permukaan
a Sebagai lapis perkerasan penahan beban roda yang mempunyai stabilitas tinggi untuk
menahan roda selama masa pelayanan
a Lapis kedap air, sehingga air hujan yang mengalir diatasnya tidak meresap kedalamnya
dan tidak pula melemahkan lapisan tersebut.
a Sebagai lapis aus (wearing course), artinya lapisan yang langsung menderita gesekan
akibat rem kendaraan, sehingga mengakibatkan keausan ban.
a Sebagai lapis yang menyebarkan beban ke lapisan bawah, sehingga dapat dipikul oleh
lapisan lain yang mempunyai daya dukung lebih jelek.

b. Lapis fondasi atas


a Merupakan bagian perkerasan untuk menahan gaya melintang dari beban roda dan
menyebarkannya ke lapisan dibawahnya.
a Sebagai lapis peresapan untuk lapisan dibawahnya.
a Sebagai bantalan bagi lapis permukaan.

c. Lapis fondasi bawah


a Merupakan bagian perkerasan untuk menyebarkan beban roda kendaraan ke tanah dasar.
a Untuk mengurangi tebal lapisan diatasnya karena material atau bahan untuk fondasi
bawah umumnya lebih murah dibanding perkerasan diatasnya, sehingga dapat
mengefisiensikan penggunaan material.
a Sebagai lapis peresapan agar air tanah tidak berkumpul di fondasi.
a Merupakan lapis pertama yang harus dikerjakan cepat agar dapat menutup lapisan tanah
dasar dari pengaruh cuaca, atau melemahkan daya dukung tanah dasar akibat selalu
menahan roda alat berat.
a Mencegah partikel-partikel halus dari tanah dasar naik ke lapis fondasi.

• Lapisan perkerasan lentur


Lapisan perkerasan lentur terdiri dari 3 lapisan di atas tanah dasar, yaitu lapis fondasi bawah,
lapis fondasi atas dan lapisan permukaan seperti terlihat pada Gambar 10. Dengan tiga
susunan lapisan tersebut, maka jalan diharapkan memiliki karakteristik sebagai berikut:
™ Bersifat elastis jika menerima beban, sehingga dapat memberi kenyaman-an bagi
pengguna jalan;
™ Pada umumnya menggunakan bahan pengikat aspal;
™ Seluruh lapisan ikut menanggung beban;
™ Penyebaran tegangan diupayakan tidak merusak lapisan tanah dasar;
™ Usia maksimum yang diharapkan adalah 20 tahun;
™ Selama usia tersebut diperlukan pemeliharaan secara berkala (routine maintenance).

LAPISAN PERMUKAAN (SURFACE COURSE )

LAPISAN FONDASI ATAS (BASE COURSE )

LAPISAN FONDASI BAWAH (SUBBASE COURSE )

LAPISAN TANAH DASAR (SUBGRADE )

Gambar 12. Susunan Lapisan Perkerasan Lentur

Untuk memperoleh kualitas jalan yang memadai agar sesuai dengan karakteristik di atas, maka
jenis material dan tebal lapisan masing-masing susunan lapisan harus diperhatikan. Tabel 8
memperlihatkan batas-batas minimum tebal lapisan perkerasan dan bahan yang digunakannya.

Diklat Perencanaan Tambang Terbuka 18


Unisba, 12 – 22 Juli 2004
Perencanaan Jalan Tambang Awang Suwandhi, Ir., M.Sc

Tabel 8
Batas-Batas Minimum Tebal Lapisan Perkerasan dan Bahan yang Digunakan

TEBAL
BAHAN
MINIMUM, cm

1. LAPIS PERMUKAAN
5 Lapis pelindung (butiran aspal)
5 Aspal makadam (LAPEN)
7,5 Aspal makadam (LAPEN)
7,5 LASBUTAG, LASTON
10 LASTON

2. LAPIS FONDASI ATAS


Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah
15
dengan kapur
Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah
20 *)
dengan kapur
10 LASTON
Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah
20
dengan kapur, fondasi makadam
15 LASTON
Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah
20
dengan kapur, fondasi makadam, LAPEN, LASTON
Batu pecah, stabilisasi tanah dengan semen, stabilisasi tanah
25
dengan kapur, fondasi makadam, LAPEN, LASTON
3. LAPIS FONDASI BAWAH
Apabila lapisan perkerasan ini menggunakan fondasi lapisan bawah, maka tebal
minimum adalah 10 cm
*) Batas 20 cm dapat diturunkan menjadi 15 cm bila fondasi bawahnya menggunakan material berbutir kasar.

• Lapisan perkerasan kaku


Lapisan perkerasan kaku maksudnya adalah lapisan permukaannya terbuat dari plat beton.
Metoda perencanaan untuk menentukan tebal lapisan perkerasan didasarkan pada perkiraan
sebagai berikut:

™ Kekuatan lapisan tanah dasar atau harga CBR atau angka Modulus Reaksi Tanah Dasar
(k);
™ Kekuatan beton yang digunakan untuk lapisan perkerasan;
™ Prediksi volume dan komposisi lalulintas selama usia rencana;
™ Ketebalan dan kondisi lapisan fondasi bawah (sub-base) yang diperlukan untuk menopang
konstruksi, lalulintas, penurunan akibat air dan perubahan volume lapisan tanah dasar
serta sarana perlengkapan daya dukung permukaan yang seragam di bawah dasar beton.

Terdapat dua jenis lapisan perkerasan kaku, yaitu (1) perkerasan beton semen dan (2)
perkerasan dengan permukaan aspal. Perkerasan beton semen didefinisikan sebagai
perkerasan yang mempunyai lapisan dasar beton dari Portland Cement (PC); sedangkan
perkerasan dengan permukaan aspal adalah salah satu dari jenis komposit. Adapun tipikal
susunan lapisan perkerasan kaku secara umum seperti terlihat pada Gambar 13.

Diklat Perencanaan Tambang Terbuka 19


Unisba, 12 – 22 Juli 2004
Perencanaan Jalan Tambang Awang Suwandhi, Ir., M.Sc

PLAT BETON (CONCRETE SLAB)

LAPISAN FONDASI BAWAH


(SUBBASE COURSE )

LAPISAN TANAH DASAR (SUBGRADE )

Gambar 13. Susunan Lapisan Perkerasan Kaku

4. ASPEK KESELAMATAN JALAN ANGKUT


Aspek-aspek teknis yang telah diuraikan sebelumnya, di samping diarahkan untuk meraih umur
layanan jalan sesuai yang direncanakan, juga harus memenuhi persyaratan keselamatan,
keamanan dan kenyamanan pengemudi. Beberapa aspek keselamatan sepanjang jalan angkut
yang akan diuraikan meliputi (1) jarak pandang yang aman, (2) rambu-rambu pada jalan angkut,
(3) lampu penerangan, dan (4) jalur pengelak untuk menghindari kecelakaan.

4.1. JARAK PANDANG YANG AMAN


Jarak pandang yang aman (safe sight distance) diperlukan oleh pengemudi (operator) untuk
melihat ke depan secara bebas pada suatu tikungan. Jika pengemudi melihat suatu penghalang
yang membahayakan, pengemudi dapat melakukan antisipasi untuk menghindari bahaya tersebut
dengan aman. Jarak pandang minimum sama dengan sama dengan jarak berhenti. Jarak pandang
terdiri dari (1) Jarak Pandang Henti (Jh) dan (2) Jarak Pandang Mendahului (Jd).
Jarak Pandang Henti adalah jarak minimum yang diperlukan oleh setiap pengemudi untuk
menghentikan kendaraannya dengan aman begitu melihat adanya halangan di depan. Ketinggian
mata pengemudi berkisar antara 4,00 – 4,90 m, sedangkan tinggi penghalang yang dapat
menimbulkan kecelakaan berkisar antara 0,15 – 0,20 m diukur dari permukaan jalan. Jarak
Pandang Henti berkaitan erat dengan kecepatan laju kendaraan, gesekan ban dengan jalan, waktu
tanggap dan gravitasi dan dapat diformulasikan sebagai berikut:

Persamaan (23) untuk jalan datar dan (24) untuk jalan dengan kemiringan tertentu,
di mana: VR = kecepatan rencana, km/jam
T = waktu tanggap, ditetapkan 2,50 detik
fp = koefisien gesek memanjang antara ban dengan perkerasan jalan,
menurut AASHTO = 0,28 – 0,45; menurut Bina Marga = 0,35 – 0,55
L = kemiringan jalan, %

Tabel 8 memperlihatkan panjang Jh minimum yang dihitung berdasarkan rumus (23) dengan
pembulatan-pembulatan.
Tabel 8
Jarak Pandang Henti (Jh ) Minimum
VR, km/jam 120 100 80 60 50 40 30 20
Jh min, m 250 175 120 75 55 40 27 16

Diklat Perencanaan Tambang Terbuka 20


Unisba, 12 – 22 Juli 2004
Perencanaan Jalan Tambang Awang Suwandhi, Ir., M.Sc

Jarak pandang lengkung horizontal


Jarak pandang pengemudi pada lengkung horizontal (di tikungan) adalah pandangan bebas
pengemudi dari halangan benda-benda di sisi jalan (daerah bebas samping). Daerah bebas
samping adalah ruang untuk menjamin kebebasan pandang di tikungan sehingga Jh terpenuhi.
Dengan demikian, daerah bebas samping dimaksudkan untuk memberikan kemudah-an
pandangan di tikungan dengan membebaskan objek-objek penghalang sejauh E meter diukur dari
garis tengah lajur dalam sampai objek penghalang pandangan (lihat Gambar 14 dan 15). Daerah
bebas samping dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut:

(1) Jika Jh < Lt :

(2) Jika Jh > Lt :

di mana : R = jari-jari tikungan, m


R’ = jari-jari sumbu lajur dalam, m
Jh = jarak pandang henti, m
Lt = panjang tikungan, m

Gambar14. Daerah Bebas Samping Tikungan (untuk Jh < Lt)

Gambar 15. Daerah Samping Tikungan (untuk Jh > Lt)

Diklat Perencanaan Tambang Terbuka 21


Unisba, 12 – 22 Juli 2004
Perencanaan Jalan Tambang Awang Suwandhi, Ir., M.Sc

Jarak pandang lengkung vertikal


Lengkung vertikal direncanakan untuk mengubah secara bertahap perubahan daru dua macam
kemiringan arah memanjang jalanpada setiap lokasi yang diperlukan. Hal ini dimaksudkan untuk
menyediakan Jarak Pandang Henti yang cukup demi keamanan dan kenyamanan. Lengkung
vertikal terdiri dari dua jenis, yaitu (1) Lengkung Cembung dan (2) Lengkung Cekung.

a. Lengkung vertikal cembung


Sketsa lengkung vertikal cembung dapat diilihat pada Gambar 16. Sementara pada Tabel
19., diperlihatkan ketentuan tinggi untuk lengkung cembung menurut Bina Marga (1997).

Tabel 9
Ketentuan Tinggi Untuk Jarak Pandang

Tinggi mata Tinggi objek


Untuk Jarak Pandang
(h1), m (h2), m
henti (Jh) 1,05 0,15
mendahului (Jd) 1,05 1,05

Gambar 16. Sketsa Lengkung Vertikal Cembung


Dengan menggunakan Gambar 16a dan 16b dapat ditentukan panjang lengkung parabola
pada lengkung vertikal cembung sebagai berikut:
(1) Jika Jh < L :

(2) Jika Jh > L :

di mana : L = panjang lengkung parabola, m


A = perbedaan kemiringan dua titik pengamatan, m
Jh = jarak pandang henti, m

Diklat Perencanaan Tambang Terbuka 22


Unisba, 12 – 22 Juli 2004
Perencanaan Jalan Tambang Awang Suwandhi, Ir., M.Sc

b. Lengkung vertikal cekung


Tidak ada dasar yang dapat digunakan untuk menentukan panjang lengkung cekung
vertikal ( L ), akan tetapi ada empat kriteria sebagai pertimbangan yang dapat digunakan,
yaitu:
™ Jarak sinar lampu besar kendaraan (Gambar 17a dan 17b)
™ Kenyamanan pengemudi
™ Ketentuan drainase
™ Penampilan secara umum

Gambar 17. Sketsa Lengkung Vertikal Cekung


Untuk memperhitungkan jarak berhenti dari kendaraan yang sedang bergerak dan secara
tiba-tiba dihentikan dapat digunakan grafik pada Gambar 18.

40 40
BATAS JARAK UNTUK
MENGHINDARI KEGAGALAN
35 0% 35 5%
=1 PENGEREMAN =
O PE OP
E
5% SL SL
5% %
30 = =1 30 10
1%

E
KECEPATAN, MILE/JAM
KECEPATAN, MILE/JAM

E =
OP OP PE
=

SL SL O
PE

SL
15%
O

1%
25 25
SL

E=
OP

=
0% SL

PE
=2
PE
O
O SL
20 SL 20
20%
E=
OP
% SL
15 = 25 15
PE
SLO
25%
PE =
10 10 SLO

5 BATAS JARAK UNTUK 5


MENGHINDARI KEGAGALAN
PENGEREMAN
0 0
0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500 0 50 100 150 200 250 300 350 400 450 500

JARAK BERHENTI, FT JARAK BERHENTI, FT

a. GVW KENDARAAN < 100.000 LBS b. GVW KENDARAAN : 100.000 – 200.000

Gambar 18. Kecepatan VS Jarak Berhenti pada Variasi Kemiringan

4.2. RAMBU-RAMBU PADA JALAN


Untuk lebih menjamin menjamin keamanan sehubungan dengan di-operasikannya suatu jalan
angkut, maka perlu kiranya dipasang rambu-rambu sepanjang jalan angkut tersebut terutama pada
tempat-tempat yang berbahaya. Rambu-rambu dipasang untuk keselamatan:
™ Pengemudi dan kendaraan itu sendiri;
™ Binatang yang ada di sekitar jalan angkut;
™ Masyarakat setempat yang biasa menggunakan jalan tambang;
™ Kendaraan lain yang mungkin lewat pada jalan tersebut;
™ Tanda adanya perempatan, pertigaan, persilangan dengan jalan umum, misalnya rel keret
api, dsb.

Diklat Perencanaan Tambang Terbuka 23


Unisba, 12 – 22 Juli 2004
Perencanaan Jalan Tambang Awang Suwandhi, Ir., M.Sc

4.2.1. LAMPU PENERANGAN JALAN


Lampu penerangan perlu dipasang apabila jalan angkut akan digunakan pada malam hari.
Pemasangan bisa dilakukan berdasarkan jarak maupun tingkat bahayanya. Lampu-lampu tersebut
dipasang antara lain pada:
™ Tikungan (belokan),
™ Perempatan atau pertigaan jalan,
™ Jembatan,
™ Tanjakan maupun turunan yang cukup tajam.

4.2.2. JALUR PENGELAK UNTUK MENGHINDARI KECELAKAAN


Untuk menghindari kecelakaan yang mungkin terjadi karena kendaraan slip, rem blong atau sebab
lain, maka pada jalur angkut perlu dibuat jalur pengelak (runaway precaution). Ditinjau dari daerah
datar sepanjang jalur memanjang yang tersedia, terdapat dua cara membuat jalur pengelak. Untuk
daerah yang sempit, misalnya jalan dibuat antara tebing dan jurang, maka dibuat lajur khusus
untuk mengelakkan kendaraan seperti terlihat pada Gambar 19. Sedangkan Gambar 20 adalah
bentuk jalur pengelak untuk daerah yang luas.

Gambar 19. Jalur Pengelak Untuk Daerah yang Sempit

Gambar 20. Jalur Pengelak Untuk Daerah yang Luas

Diklat Perencanaan Tambang Terbuka 24


Unisba, 12 – 22 Juli 2004
Perencanaan Jalan Tambang Awang Suwandhi, Ir., M.Sc

5. PENUTUP
Ketentuan-ketentuan yang sudah dipaparkan pada bab-bab terdahulu merupakan bahan
pertimbangan di dalam merancang jalan tambang. Ada kemungkinan pada pelaksanaan
pembuatan jalan tambang harus dirancang suatu perhitungan di luar ketentuan tersebut. Misalnya
dalam menentukan jari-jari tikungan minimum, di mana lebar truck tambang bisa mencapai 2 – 3
kali lipat lebar truck tronton sementara kecepatan rata-ratanya hanya berkisar 30 km/jam, maka
kemungkinan terjadi penyimpangan dari yang telah ditentukan oleh Bina Marga. Artinya adalah
perhitungan rancangan jalan tambang menjadi lebih sederhana, yaitu mengutamakan jari-jari
tikungan yang lebar dan aman untuk dua lajur tanpa harus mempertimbangkan secara serius
kecepatan trucknya. Berbeda dengan rancangan jalan angkut yang menghubungkan daerah di
luar konsesi tambang atau jalan yang dilalui oleh kendaraan umum menuju lokasi penambangan.
Untuk kondisi tersebut perhitungan yang telah diuraikan sebelumnya patut dilaksanakan.
Dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya dalam merancang jalan angkut tambang ekuivalen
dengan jalan umum dari Bina Marga. Pengalaman menunjukkan bahwa penyimpangan di dalam
merancang jalan di lokasi tambang umumnya terpaksa harus dilakukan karena:

Ö jalan tambang yang sering berpindah;


Ö dimensi alat angkut tambang besar, penetrasi terhadap badan jalan tinggi, sementara
kecepatan rendah;
Ö areal panambangan atau pit terbatas, sementara lalulintas alat angkut padat;
Ö jalan tambang hanya dipadatkan oleh buldozer dengan perkerasan seadanya dan tanpa
lapisan permukaan permanen, sehingga perawatan menjadi sangat intensif;
Ö akibat jalan yang selalu berubah, maka drainase jalan dibuat seperlunya.

Walaupun demikian, perhitungan untuk merancang jalan tambang tetap memperhatikan aspek
keselamatan kerja pengangkutan, yaitu dengan memasang rambu-rambu dan jalur pengelak.
Rambu-rambu lalulintas di jalan umum sebagian dapat diterapkan di sepanjang jalan tambang,
namun ada pula rambu-rambu yang bersifat khas lokasi tambang, misalnya “Dahulukan Alat-alat
Berat” , “Keep Right (Jalan disebelah kanan)”, “Gunakan Retarder”, atau rambu lain yang
disesuaikan dengan situasi tambang setempat.

REFERENSI
1. Anon., 1992, Caterpillar Performance Handbook, Caterpillar Inc, Peoria, Illinois.
2. Hays R. M, 1989, Dozer, “Surface Mining 2nd Edition”, B.A.Kennedy (Ed), Society for Mining,
Metallurgy, and Exploration, Inc., Colorado, pp.716–723.
3. Hays R. M., 1989, Truck, “Surface Mining 2nd Edition”, B.A.Kennedy (Ed), Society for Mining,
Metallurgy, and Exploration, Inc., Colorado, pp.672– 686.
4. Shirley L.H., 2000, Perencanaan Teknik Jalan Raya (Penuntun Praktis), Politeknik Negeri
Bandung-Jurusan Teknik Sipil, Bandung, 377 p.
5. Sunggono, K.H., 1995, Buku Teknik Sipil, Penerbit Nova, Bandung, pp 363 – 386.

Diklat Perencanaan Tambang Terbuka 25


Unisba, 12 – 22 Juli 2004

You might also like