Professional Documents
Culture Documents
dapat selesai dengan lancar. Makalah ini merupakan salah satu tugas
Inflasi.
Oleh karena itu kami menerima segala kritik dan saran yang bersifat
Penulis
INFLASI TARGETING
Definisi inflasi
Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation),
dari sisi permintaan (demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi. Faktor-faktor
terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak
inflasi luar negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga
komoditi yang diatur pemerintah (administered price)1 , dan terjadi negative supply
shocks2 akibat bencana alam dan terganggunya distribusi. Faktor penyebab terjadi
demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap
ketersediaannya. Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh
output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate
demand) lebih besar dari pada kapasitas perekonomian. Sementara itu, faktor
ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi apakah
lebih cenderung bersifat adaptif atau forward looking. Hal ini tercermin dari perilaku
pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang
hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun baru) dan penentuan upah
minimum regional (UMR).
Grafik
B. Inflation Targeting Framework (ITF)
Definisi ITF:
ITF merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan
pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa
periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil
merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter. Sesuai definisi di atas, sejak
berlakunya UU No. 23/1999 Indonesia sebenarnya dapat dikategorikan sebagai
"Inflation Targeting lite countries".
Penerapan ITF bukan berarti bahwa bank sentral hanya menaruh perhatian
pada inflasi saja, dan tidak lagi memperhatikan pertumbuhan ekonomi maupun
kebijakan dan perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Juga, ITF bukanlah
suatu kaidah yang kaku (rule) tetapi sebagai kerangka kerja menyeluruh
(framework) untuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Fokus ke
inflasi tidak berarti membawa perekonomian kepada kondisi yang sama sekali
tanpa inflasi (zero inflation).
Inflasi rendah dan stabil dalam jangka panjang, justru akan mendukung
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (suistanable growth). Penyebabnya,
karena tingkat inflasi berkorelasi positif dengan fluktuasinya. Manakala inflasi
tinggi, fluktuasinya juga meningkat, sehingga masyarakat merasa tidak pasti
dengan laju inflasi yang akan terjadi di masa mendatang. Akibatnya, suku bunga
jangka panjang akan meningkat karena tingginya premi risiko akibat inflasi.
Perencanaan usaha menjadi lebih sulit, dan minat investasi pun menurun.
Ketidakpastian inflasi ini cenderung membuat investor lebih memilih investasi
asset keuangan jangka pendek ketimbang investasi riil jangka panjang. Itulah
sebabnya, otoritas moneter seringkali berargumentasi bahwa kebijakan yang anti
inflasi sebenarnya adalah justru kebijakan yang pro pertumbuhan.
Apabila ditelaah lebih lanjut, terdapat beberapa faktor utama yang menjadi
penyebab timbulnya inflasi di Indonesia, yaitu :
Sasaran Inflasi
Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif- tergantung parah atau
tidaknya inflasi. Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif
dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan
pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan
mengadakan investasi. Sebaliknya, dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat
terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi), keadaan perekonomian menjadi kacau dan
perekonomian dirasakan lesu. Orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung,
atau mengadakan investasi dan produksi karena harga meningkat dengan cepat. Para
penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum
buruh juga akan kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup
mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.
Bagi masyarakat yang memiliki pendapatan tetap, inflasi sangat merugikan. Kita
ambil contoh seorang pensiunan pegawai negeri tahun 1990. Pada tahun 1990, uang
pensiunnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun di tahun 2003 -atau
tiga belas tahun kemudian, daya beli uangnya mungkin hanya tinggal setengah.
Artinya, uang pensiunnya tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sebaliknya, orang yang mengandalkan pendapatan berdasarkan keuntungan, seperti
misalnya pengusaha, tidak dirugikan dengan adanya inflasi. Begitu juga halnya
dengan pegawai yang bekerja di perusahaan dengan gaji mengikuti tingkat inflasi.
Inflasi juga menyebabkan orang enggan untuk menabung karena nilai mata uang
semakin menurun. Memang, tabungan menghasilkan bunga, namun jika tingkat
inflasi di atas bunga, nilai uang tetap saja menurun. Bila orang enggan menabung,
dunia usaha dan investasi akan sulit berkembang. Karena, untuk berkembang dunia
usaha membutuhkan dana dari bank yang diperoleh dari tabungan masyarakat.
Bagi orang yang meminjam uang dari bank (debitur), inflasi menguntungkan, karena
pada saat pembayaran utang kepada kreditur, nilai uang lebih rendah dibandingkan
pada saat meminjam. Sebaliknya, kreditur atau pihak yang meminjamkan uang akan
mengalami kerugian karena nilai uang pengembalian lebih rendah jika dibandingkan
pada saat peminjaman.
Bagi produsen, inflasi dapat menguntungkan bila pendapatan yang diperoleh lebih
tinggi daripada kenaikan biaya produksi. Bila hal ini terjadi, produsen akan terdorong
untuk melipatgandakan produksinya (biasanya terjadi pada pengusaha besar).
Namun, bila inflasi menyebabkan naiknya biaya produksi hingga pada akhirnya
merugikan produsen, maka produsen enggan untuk meneruskan produksinya.
Produsen bisa menghentikan produksinya untuk sementara waktu. Bahkan, bila tidak
sanggup mengikuti laju inflasi, usaha produsen tersebut mungkin akan bangkrut
(biasanya terjadi pada pengusaha kecil).
Dalam hal terjadi kondisi yang luar biasa sehingga Sasaran Inflasi
yang telah ditetapkan menjadi tidak realistis dan perlu direvisa, maka
Bank Indonesia menyampaikan usulan perubahan Sasaran Inflasi
setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
Pentingnya keterlibatan Pemerintah dalam menetapkan inflasi didasarkan
pada pertimbangan beberapa faktor. Pertama, tidak semua sumber inflasi di
bawah kendali kebijakan Bank Indonesia. Kebijakan pemerintah turut
menyumbang inflasi, diantaranya adalah penetapan administered price, upah
minimum regional, gaji pegawai negeri, kebijakan di bidang produksi
sektoral, perdagangan domestik dan tata niaga impor. Kebijakan pemerintah
lainnya (misalnya di bidang politik, keamanan, dan penegakan hukum) juga
secara tidak langsung turut mempengaruhi inflasi. Kedua, kebersamaan
komitmen pengendalian inflasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia di atas
kertas akan menjadikan sasaran inflasi lebih kredibel, karena menjadi "milik
bersama". Jika sasaran inflasi sangat kredibel, dalam arti Bank Indonesia dan
Pemerintah dinilai akan mampu mencapainya, para pelaku ekonomi akan
menyamakan perkiraan inflasi mereka dengan angka sasaran inflasi tersebut.
Bila kondisi ini terjadi, Pemerintah dan Bank Indonesia akan lebih mudah
menurunkan dan menstabilkan inflasi dalam jangka menengah dan panjang,
tanpa harus menelan biaya kebijakan yang terlalu besar.
Sebagai tindak lanjut, Bank Indonesia bersama Pemerintah telah membentuk
tim penetapan sasaran, pemantauan, dan pengendalian inflasi (selanjutnya
disebut Tim Pengendalian Inflasi) yang beranggotakan beberapa departemen
teknis. Adapun tugas tim tersebut antara lain mencakup pemberian usul
mengenai sasaran inflasi, mengevaluasi sumber-sumber dan potensi tekanan
inflasi serta dampaknya terhadap pencapaian sasaran inflasi,
merekomendasikan pilihan kebijakan yang mendukung pencapaian sasaran
inflasi, serta melakukan diseminasi mengenai sasaran dan upaya pencapaian
sasaran inflasi kepada masyarakat. Diharapkan pembentukan Tim
Pengendalian Inflasi ini akan meningkatkan koordinasi antara otoritas
moneter dengan Pemerintah secara keseluruhan, sehingga sasaran inflasi
menjadi tujuan bersama yang credible dan achievable.
Koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah juga dilakukan dalam
penetapan asumsi-asumsi makro untuk bahan penyusunan RAPBN, baik
melalui rapat koordinasi dengan Departemen Keuangan (dan instansi terkait)
maupun dalam pembahasan dengan DPR.
Koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah mengenai kebijakan di bidang
perekonomian lainnya dilakukan dalam Sidang Kabinet maupun pertemuan-
pertemuan lainnya sesuai dengan perkembangan dan permasalahan yang
terjadi.
Transparansi
Akuntabilitas