You are on page 1of 16

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa

yang telah melimpahkan nikmat dan karunianya sehingga makalah ini

dapat selesai dengan lancar. Makalah ini merupakan salah satu tugas

dari mata kuliah Ekonomi Moneter yang berhubungan dengan materi

Inflasi.

Penulis menyadari bahwa karya tulis ini dapat selesai dengan

lancar berkat bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis

mengucapkan terima kasih kepada:

1. Tuhan Yang Maha Esa;

2. Bapak Tjardas selaku dosen mata kulaih Ekonomi Moneter

3. Orang tua kami yang telah memberikan dukungan dan

semangat kepada kami, serta berbagai pihak yang tidak bisa

kami sebutkan semua.

Penulis menyadari karya tulis ini masih jauh dari kesempurnaan.

Oleh karena itu kami menerima segala kritik dan saran yang bersifat

membangun. Akhirnya penulis berharap karya tulis ini dapat bermanfaat

untuk semua pihak, khususnya mahasiswa Perbanas ABFI Institute.


Jakarta, Juni 2010

Penulis

INFLASI TARGETING

A. Pengenalan Inflasi di Indonesia

Definisi inflasi

Inflasi adalah kecenderungan dari harga-harga untuk meningkat secara umum


dan terus menerus. Kenaikan harga dari satu atau dua barang saja tidak dapat disebut
inflasi kecuali bila kenaikan itu meluas (atau mengakibatkan kenaikan) kepada barang
lainnya. Kebalikan dari inflasi disebut deflasi.
 Indikator Inflasi :

 Indeks Harga Konsumen (IHK) merupakan indikator yang umum digunakan


untuk menggambarkan pergerakan harga. Perubahan IHK dari waktu ke waktu
menunjukkan pergerakan harga dari paket barang dan jasa yang dikonsumsi
masyarakat. Dilakukan atas dasar survei bulanan di 45 kota, di pasar tradisional
dan modern terhadap 283-397 jenis barang/jasa di setiap kota dan secara
keseluruhan terdiri dari 742 komoditas.
 Indeks Harga Perdagangan Besar merupakan indikator yang menggambarkan
pergerakan harga dari komoditi-komoditi yang diperdagangkan di suatu daerah.
 Disagregasi Inflasi :
1. Inflasi Inti
Yaitu inflasi yang dipengaruhi oleh faktor fundamental:
 Interaksi permintaan-penawaran
 Lingkungan eksternal: nilai tukar, harga komoditi internasional, inflasi
mitra dagang
 Ekspektasi Inflasi dari pedagang dan konsumen
2. Inflasi non Inti
Yaitu inflasi yang dipengaruhi oleh selain faktor fundamental. Dalam hal ini
terdiri dari :

a. Inflasi Volatile Food.


Inflasi yang dipengaruhi shocks dalam kelompok bahan makanan seperti
panen, gangguan alam, gangguan penyakit.
b. Inflasi Administered Prices
Inflasi yang dipengaruhi shocks berupa kebijakan harga Pemerintah,
seperti harga BBM, tarif listrik, tarif angkutan, dll
 Determinan Inflasi

Inflasi timbul karena adanya tekanan dari sisi supply (cost push inflation),
dari sisi permintaan (demand pull inflation), dan dari ekspektasi inflasi. Faktor-faktor
terjadinya cost push inflation dapat disebabkan oleh depresiasi nilai tukar, dampak
inflasi luar negeri terutama negara-negara partner dagang, peningkatan harga-harga
komoditi yang diatur pemerintah (administered price)1 , dan terjadi negative supply
shocks2 akibat bencana alam dan terganggunya distribusi. Faktor penyebab terjadi
demand pull inflation adalah tingginya permintaan barang dan jasa relatif terhadap
ketersediaannya. Dalam konteks makroekonomi, kondisi ini digambarkan oleh
output riil yang melebihi output potensialnya atau permintaan total (agregate
demand) lebih besar dari pada kapasitas perekonomian. Sementara itu, faktor
ekspektasi inflasi dipengaruhi oleh perilaku masyarakat dan pelaku ekonomi apakah
lebih cenderung bersifat adaptif atau forward looking. Hal ini tercermin dari perilaku
pembentukan harga di tingkat produsen dan pedagang terutama pada saat menjelang
hari-hari besar keagamaan (lebaran, natal, dan tahun baru) dan penentuan upah
minimum regional (UMR).

Grafik
B. Inflation Targeting Framework (ITF)
Definisi ITF:
ITF merupakan sebuah kerangka kebijakan moneter yang ditandai dengan
pengumuman kepada publik mengenai target inflasi yang hendak dicapai dalam beberapa
periode ke depan. Secara eksplisit dinyatakan bahwa inflasi yang rendah dan stabil
merupakan tujuan utama dari kebijakan moneter. Sesuai definisi di atas, sejak
berlakunya UU No. 23/1999 Indonesia sebenarnya dapat dikategorikan sebagai
"Inflation Targeting lite countries".

Alasan pemilihan ITF

1. Pemilihan kerangka kerja kebijakan moneter IT didasarkan atas beberapa


pertimbangan sebagai berikut :

 Memenuhi prinsip-prinsip kebijakan moneter yang sehat (sound).


 Sesuai dengan amanat UU No. 23/1999 tentang Bank Indonesia sebagaimana
telah diubah dengan UU No. 3/2004.
 Hasil riset menunjukkan semakin sulit pengendalian besaran moneter.
 Pengalaman empiris negara lain menunjukkan bahwa negara yang
menerapkan ITF berhasil menurunkan inflasi tanpa meningkatkan volatilitas
output.
 Dapat meningkatkan kredibilitas BI sebagai pengendali inflasi melalui
komitmen pencapaian target.

 Penerapan ITF bukan berarti bahwa bank sentral hanya menaruh perhatian
pada inflasi saja, dan tidak lagi memperhatikan pertumbuhan ekonomi maupun
kebijakan dan perkembangan ekonomi secara keseluruhan. Juga, ITF bukanlah
suatu kaidah yang kaku (rule) tetapi sebagai kerangka kerja menyeluruh
(framework) untuk perumusan dan pelaksanaan kebijakan moneter. Fokus ke
inflasi tidak berarti membawa perekonomian kepada kondisi yang sama sekali
tanpa inflasi (zero inflation).
 Inflasi rendah dan stabil dalam jangka panjang, justru akan mendukung
pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan (suistanable growth). Penyebabnya,
karena tingkat inflasi berkorelasi positif dengan fluktuasinya. Manakala inflasi
tinggi, fluktuasinya juga meningkat, sehingga masyarakat merasa tidak pasti
dengan laju inflasi yang akan terjadi di masa mendatang. Akibatnya, suku bunga
jangka panjang akan meningkat karena tingginya premi risiko akibat inflasi.
Perencanaan usaha menjadi lebih sulit, dan minat investasi pun menurun.
Ketidakpastian inflasi ini cenderung membuat investor lebih memilih investasi
asset keuangan jangka pendek ketimbang investasi riil jangka panjang. Itulah
sebabnya, otoritas moneter seringkali berargumentasi bahwa kebijakan yang anti
inflasi sebenarnya adalah justru kebijakan yang pro pertumbuhan.

 Sumber inflasi di Idonesia

Apabila ditelaah lebih lanjut, terdapat beberapa faktor utama yang menjadi
penyebab timbulnya inflasi di Indonesia, yaitu :

1. Jumlah uang beredar


Menurut sudut pandang kaum moneteris jumlah uang beredar adalah faktor utama
yang dituding sebagai penyebab timbulnya inflasi di setiap negara, tidak terkecuali
di Indonesia. Di Indonesia jumlah uang beredar ini lebih banyak diterjemahkan
dalam konsep narrow money ( M1 ). Hal ini terjadi karena masih adanya anggapan,
bahwa uang kuasi hanya merupakan bagian dari likuiditas perbankan. Sejak tahun
1976 presentase uang kartal yang beredar (48,7%) lebih kecil dari pada presentase
jumlah uang giral yang beredar (51,3%). Sehingga, mengindikasikan bahwa telah
terjadi proses modernisasi di sektor moneter Indonesia. Juga, mengindikasikan
bahwa semakin sulitnya proses pengendalian jumlah uang beredar di Indonesia,
dan semakin meluasnya monetisasi dalam kegiatan perekonomian subsistence,
akibatnya memberikan kecenderungan meningkatnya laju inflasi.
Menurut data yang dihimpun dalam Laporan Bank Dunia, menunjukan laju
pertumbuhan rata-rata jumlah uang beredar di Indonesia pada periode tahun 1980-
1992 relatif tinggi jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya. Dan,
tingkat inflasi Indonesia juga relatif tinggi dibandingkan dengan negara-negara
ASEAN lainnya (kecuali Filipina). Kenaikkan jumlah uang beredar di Indonesia
pada tahun 1970-an sampai awal tahun 1980-an lebih disebabkan oleh
pertumbuhan kredit likuiditas dan defisit anggaran belanja pemerintah.
Pertumbuhan ini dapat merupakan efek langsung dari kebijaksanaan Bank
Indonesia dalam sektor keuangan (terutama dalam hal penurunan reserve
requirement).

2. Defisit Anggaran Belanja Pemerintah


Seperti halnya yang umum terjadi pada negara berkembang, anggaran belanja
pemerintah Indonesia pun sebenarnya mengalami defisit, meskipun Indonesia
menganut prinsip anggaran berimbang. Defisitnya anggaran belanja ini banyak kali
disebabkan oleh hal-hal yang menyangkut ketegaran struktural ekonomi Indonesia,
yang acapkali menimbulkan kesenjangan antara kemauan dan kemampuan untuk
membangun.
Selama pemerintahan Orde Lama defisit anggaran belanja ini acapkali dibiayai dari
dalam negeri dengan cara melakukan pencetakan uang baru, mengingat orientasi
kebijaksanaan pembangunan ekonomi yang inward looking policy, sehingga
menyebabkan tekanan inflasi yang hebat. Tetapi sejak era Orde Baru, defisit
anggaran belanja ini ditutup dengan pinjaman luar negeri yang nampaknya relatif
aman terhadap tekanan inflasi.Dalam era pemerintahan Orde Baru, kebutuhan
terhadap percepatan pertumbuhan ekonomi yang telah dicanangkan sejak
Pembangunan Jangka Panjang
I, menyebabkan kebutuhan dana untuk melakukan pembangunan sangat besar.
Dengan mengingat bahwa potensi memobilisasi dana pembangunan dari
masyarakat (baik dari sektor tabungan masyarakat maupun pendapatan pajak) di
dalam negeri pada saat itu yang sangat terbatas (belum berkembang), juga
kemampuan sektor swasta yang terbatas dalam melakukan pembangunan,
menyebabkan pemerintah harus berperan sebagai motor pembangunan. Hal ini
menyebabkan pos pengeluaran APBN menjadi lebih besar daripada penerimaan
rutin. Artinya, peran pengeluaran
pemerintah dalam investasi tidak dapat diimbangi dengan penerimaan, sehingga
menimbulkan kesenjangan antara pengeluaran dan penerimaan negara, atau dapat
dikatakan telah terjadi defisit struktural dalam keuangan negara. Pada saat
terjadinya oil booming, era tahun 1970-an, pendapatan
pemeri ntah di sektor migas meningkat pesat, sehingga jumlah uang primer pun
semakin meningkat. Hal ini menyebabkan kemampuan pemerintah untuk
berekspansi investasi di dalam negeri semakin meningkat. Dengan kondisi tingkat
pertumbuhan produksi domestik yang relatif lebih lambat, akibat kapasitas produksi
nasional yang masih berada dalam keadaan under-employment, peningkatan
permintaan (investasi) pemerintah menyebabkan terjadi realokasi sumberdaya dari
masyarakat ke pemerintah., seperti yang terkonsep dalam analisis Keynes tentang
inflasi. Hal inilah yang menyebabkan timbulnya tekanan inflasi. Tetapi, sejak
berubahnya orientasi ekspor Indonesia ke komoditi non migas,
sejalan dengan merosotnya harga minyak bumi di pasar ekspor (sejak tahun 1982),
menyebabkan kemampuan pemerintah untuk membiayai pembangunan nasional
semakin berkurang pula, sehingga pemerintah tidak dapat lagi mempertahankan
posisinya sebagai penggerak (motor) pembangunan. Dengan kondisi seperti ini,
menyebabkan secara bertahap peran sebagai penggerak utama pembangunan
nasional beralih ke pihak swasta nasional, dengan demikian sumber tekanan inflasi
pun beralih dari pemerintah beralih ke non pemerintah (swasta). Tekanan inflasi
pada periode ini lebih disebabkan oleh meningkatnya tingkat agresifitas sektor
swasta dalam melakukan ekspansi usaha, yang didukung oleh perkembangan
sektor perbankan yang semakin ekspansif pula. Dengan kondisi
sumberdaya modal domestik yang masih saja relatif terbatas, maka pinjaman luar
negeri yang sifatnya non komersial maupun komersial pun semakin meningkat.
Akibatnya, tetap saja terjadi defisit anggaran belanja negara dan neraca
pembayaran, salah satu sebabnya karena pemerintah tetap saja harus
menyediakan infrastruktur dan suprastruktur pembangunan ekonomi yang
kebutuhannya semakin meningkat. Peran pemerintah ini dapat dimaklumi karena
kemampuan swasta nasional dalam pembangunan infrastruktur ekonomi masih
sangat terbatas.

 Sasaran Inflasi

1. Sasaran inflasi sebagai sasaran akhir kebijakan moneter ditetapkan oleh


Pemerintah setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia. Penetapan sasaran
inflasi tersebut mempertimbangkan pengaruhnya terhadap pertumbuhan
ekonomi (trade-off) dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
2. Pemerintah setelah berkoordinasi dengan BI telah menetapkan dan
mengumumkan sasaran inflasi IHK untuk tahun 2006, 2007, dan 2008
masing-masing sebesar 8% ±1%, 6%±1%, dan 5,0%±1%. (Berdasarkan
siaran pers : Rapat Koordinasi Bidang Makroekonomi tanggal 17 Maret
2006). Penetapan lintasan sasaran inflasi ini sejalan dengan keinginan untuk
mencapai sasaran inflasi jangka menengah panjang sebesar 3% agar
Indonesia mampu bersaing dengan negara-negara Asia lainnya
 Dampak inflasi

Inflasi memiliki dampak positif dan dampak negatif- tergantung parah atau
tidaknya inflasi. Apabila inflasi itu ringan, justru mempunyai pengaruh yang positif
dalam arti dapat mendorong perekonomian lebih baik, yaitu meningkatkan
pendapatan nasional dan membuat orang bergairah untuk bekerja, menabung dan
mengadakan investasi. Sebaliknya, dalam masa inflasi yang parah, yaitu pada saat
terjadi inflasi tak terkendali (hiperinflasi), keadaan perekonomian menjadi kacau dan
perekonomian dirasakan lesu. Orang menjadi tidak bersemangat kerja, menabung,
atau mengadakan investasi dan produksi karena harga meningkat dengan cepat. Para
penerima pendapatan tetap seperti pegawai negeri atau karyawan swasta serta kaum
buruh juga akan kewalahan menanggung dan mengimbangi harga sehingga hidup
mereka menjadi semakin merosot dan terpuruk dari waktu ke waktu.
Bagi masyarakat yang memiliki pendapatan tetap, inflasi sangat merugikan. Kita
ambil contoh seorang pensiunan pegawai negeri tahun 1990. Pada tahun 1990, uang
pensiunnya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, namun di tahun 2003 -atau
tiga belas tahun kemudian, daya beli uangnya mungkin hanya tinggal setengah.
Artinya, uang pensiunnya tidak lagi cukup untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Sebaliknya, orang yang mengandalkan pendapatan berdasarkan keuntungan, seperti
misalnya pengusaha, tidak dirugikan dengan adanya inflasi. Begitu juga halnya
dengan pegawai yang bekerja di perusahaan dengan gaji mengikuti tingkat inflasi.

Inflasi juga menyebabkan orang enggan untuk menabung karena nilai mata uang
semakin menurun. Memang, tabungan menghasilkan bunga, namun jika tingkat
inflasi di atas bunga, nilai uang tetap saja menurun. Bila orang enggan menabung,
dunia usaha dan investasi akan sulit berkembang. Karena, untuk berkembang dunia
usaha membutuhkan dana dari bank yang diperoleh dari tabungan masyarakat.

Bagi orang yang meminjam uang dari bank (debitur), inflasi menguntungkan, karena
pada saat pembayaran utang kepada kreditur, nilai uang lebih rendah dibandingkan
pada saat meminjam. Sebaliknya, kreditur atau pihak yang meminjamkan uang akan
mengalami kerugian karena nilai uang pengembalian lebih rendah jika dibandingkan
pada saat peminjaman.
Bagi produsen, inflasi dapat menguntungkan bila pendapatan yang diperoleh lebih
tinggi daripada kenaikan biaya produksi. Bila hal ini terjadi, produsen akan terdorong
untuk melipatgandakan produksinya (biasanya terjadi pada pengusaha besar).
Namun, bila inflasi menyebabkan naiknya biaya produksi hingga pada akhirnya
merugikan produsen, maka produsen enggan untuk meneruskan produksinya.
Produsen bisa menghentikan produksinya untuk sementara waktu. Bahkan, bila tidak
sanggup mengikuti laju inflasi, usaha produsen tersebut mungkin akan bangkrut
(biasanya terjadi pada pengusaha kecil).

Secara umum, inflasi dapat mengakibatkan berkurangnya investasi di suatu negara,


mendorong kenaikan suku bunga, mendorong penanaman modal yang bersifat
spekulatif, kegagalan pelaksanaan pembangunan, ketidakstabilan ekonomi, defisit
neraca pembayaran, dan merosotnya tingkat kehidupan dan kesejahteraan masyarakat

 Indikator Kebijakan Moneter

1. Dalam merumuskan kebijakan moneter, Bank Indonesia akan selalu


melakukan analisis dan mempertimbangkan berbagai indikator ekonomi,
khususnya prakiraan inflasi, pertumbuhan ekonomi, besaran-besaran moneter
dan perkembangan sektor ekonomi dan keuangan secara keseluruhan.
2. Demikian pula, Bank Indonesia akan selalu dan terus memperhatikan
langkah-langkah kebijakan ekonomi yang ditempuh Pemerintah. Langkah-
langkah koordinasi kebijakan yang selama ini telah berlangsung baik akan
terus diperkuat dan ditingkatkan.
3. Analisis dan prakiraan berbagai variabel ekonomi tersebut dipertimbangkan
untuk mengarahkan agar prakiraan inflasi ke depan sejalan dengan kisaran
sasaran inflasi yang telah ditetapkan.

 Respon Kebijakan Moneter

1. Tujuan dan bentuk respon kebijakan moneter adalah sbb:


 Respon (stance) kebijakan moneter ditetapkan untuk menjamin agar
pergerakan inflasi dan ekonomi ke depan tetap berada pada jalur
pencapaian sasaran inflasi yang telah ditetapkan (konsistensi).

 Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam kenaikan, penurunan,


atau tidak berubahnya BI Rate.

 Perubahan (kenaikan atau penurunan) BI Rate dilakukan secara


konsisten dan bertahap.

 Fungsi BI Rate sebagai sinyal kebijakan

 BI Rate adalah suku bunga instrumen sinyaling Bank Indonesia yang


ditetapkan pada RDG triwulan untuk berlaku selama triwulan berjalan
(satu triwulan), kecuali ditetapkan berbeda oleh RDG bulanan dalam
triwulan yang sama. Dengan demikian, rate rata-rate tertimbang hasil
lelang SBI pada setiap kali lelang SBI tidak lagi diinterpretasikan oleh
stakeholders sebagai sinyal kebijakan moneter Bank Indonesia.
 BI Rate diumumkan ke publik segera setelah ditetapkan dalam RDG
sebagai sinyal stance kebijakan moneter (yang lebih jelas dan tegas)
dalam merespon prospek pencapaian sasaran inflasi ke depan.
 BI Rate digunakan sebagai acuan dalam pelaksanaan operasi
pengendalian moneter untuk mengarahkan agar Rata-Rata Tertimbang
Suku Bunga SBI 1 bulan hasil lelang OPT (suku bunga instrumen
liquidity adjustment) berada di sekitar BI Rate. Selanjutnya suku
bunga SBI 1 bulan diharapkan mempengaruhi suku bunga PUAB dan
suku bunga jangka yang lebih panjang.

 Proses penetapan respon kebijakan moneter

 Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dalam RDG


triwulanan.
 Respon kebijakan moneter ditetapkan untuk periode satu triwulan ke
depan.
 Penetapan respon kebijakan moneter dilakukan dengan
memperhatikan efek tunda (lag) kebijakan moneter dalam
mempengaruhi inflasi.
 Dalam kondisi yang luar biasa, penetapan respon kebijakan moneter
dapat dilakukan dalam RDG bulanan.

 Dasar pertimbangan penetapan respon kebijakan

 BI Rate merupakan respon bank sentral terhadap tekanan inflasi ke


depan agar tetap berada pada sasaran yang telah ditetapkan.
Perubahan BI Rate dilakukan terutama jika deviasi proyeksi inflasi
terhadap targetnya (inflation gap) dipandang telah bersifat permanen
dan konsisten dengan informasi dan indikator lainnya.
 BI Rate ditetapkan oleh Dewan Gubernur secara diskresi dengan
mempertimbangkan:

1. Rekomendasi BI Rate yang dihasilkan oleh fungsi reaksi


kebijakan dalam model ekonomi untuk pencapaian sasaran
inflasi, dan
2. Berbagai informasi lainnya seperti leading indicators, survei,
informasi anekdotal, variabel informasi, expert opinion, asesmen
fakto risiko dan ketidakpastian serta hasil-hasil riset ekonomi dan
kebijakan moneter.
2. Respon kebijakan moneter dinyatakan dalam perubahan BI Rate (SBI tenor 1
bulan) secara konsisten dan bertahap dalam kelipatan 25 basis points (bps).
Dalam kondisi untuk menunjukkan intensi Bank Indonesia yang lebih besar
terhadap pencapaian sasaran inflasi, maka perubahan BI Rate dapat dilakukan
lebih dari 25 bps dalam kelipatan 25 bps.

 Operasi Pengendalian Moneter


1. Berbeda dengan pelaksanaan selama ini yang menggunakan uang primer,
sasaran operasional pengendalian moneter adalah BI Rate. Dengan langkah
ini, sinyal kebijakan moneter diharapkan dapat lebih mudah dan lebih pasti
dapat ditangkap oleh pelaku pasar dan masyarakat, dan karenanya diharapkan
pula dapat meningkat efektivitas kebijakan moneter.
2. Pengendalian moneter dilakukan dengan menggunakan instrumen: (i) Operasi
Pasar Terbuka (OPT), (ii) Instrumen likuiditas otomatis (standing facilities),
(iii) Intervensi di pasar valas, (iv) Penetapan giro wajib minimum (GWM),
dan (v) Himbauan moral (moral suassion).
3. Pengendalian moneter diarahkan pula agar perkembangan suku bunga PUAB
berada pada koridor suku bunga yang ditetapkan. Langkah ini dilakukan
untuk meningkatkan efektivitas pengendalian likuiditas sekaligus untuk
memperkuat sinyal kebijakan moneter yang ditempuh Bank Indonesia.

 Koordinasi dengan Pemerintah

1. Koordinasi dengan Pemerintah dimaksudkan agar kebijakan moneter Bank


Indonesia sejalan dengan kebijakan umum Pemerintah dibidang
perekonomian dengan tetap menjaga tugas dan wewenang masing-masing.
2. Koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah dalam penetapan sasaran
inflasi dilakukan sesuai dengan MoU yang telah disepakati antara Pemerintah
(cq. Menteri Keuangan) dengan Bank Indonesia, diantaranya adalah:

 Bank Indonesia menyampaikan usulan Sasaran Inflasi kepada


Pemerintah selambat-lambatnya bulan Mei pada tahun sebelum
periode sasaran inflasi berakhir.

 Dalam hal terjadi kondisi yang luar biasa sehingga Sasaran Inflasi
yang telah ditetapkan menjadi tidak realistis dan perlu direvisa, maka
Bank Indonesia menyampaikan usulan perubahan Sasaran Inflasi
setelah berkoordinasi dengan Bank Indonesia.
 Pentingnya keterlibatan Pemerintah dalam menetapkan inflasi didasarkan
pada pertimbangan beberapa faktor. Pertama, tidak semua sumber inflasi di
bawah kendali kebijakan Bank Indonesia. Kebijakan pemerintah turut
menyumbang inflasi, diantaranya adalah penetapan administered price, upah
minimum regional, gaji pegawai negeri, kebijakan di bidang produksi
sektoral, perdagangan domestik dan tata niaga impor. Kebijakan pemerintah
lainnya (misalnya di bidang politik, keamanan, dan penegakan hukum) juga
secara tidak langsung turut mempengaruhi inflasi. Kedua, kebersamaan
komitmen pengendalian inflasi antara Pemerintah dan Bank Indonesia di atas
kertas akan menjadikan sasaran inflasi lebih kredibel, karena menjadi "milik
bersama". Jika sasaran inflasi sangat kredibel, dalam arti Bank Indonesia dan
Pemerintah dinilai akan mampu mencapainya, para pelaku ekonomi akan
menyamakan perkiraan inflasi mereka dengan angka sasaran inflasi tersebut.
Bila kondisi ini terjadi, Pemerintah dan Bank Indonesia akan lebih mudah
menurunkan dan menstabilkan inflasi dalam jangka menengah dan panjang,
tanpa harus menelan biaya kebijakan yang terlalu besar.
 Sebagai tindak lanjut, Bank Indonesia bersama Pemerintah telah membentuk
tim penetapan sasaran, pemantauan, dan pengendalian inflasi (selanjutnya
disebut Tim Pengendalian Inflasi) yang beranggotakan beberapa departemen
teknis. Adapun tugas tim tersebut antara lain mencakup pemberian usul
mengenai sasaran inflasi, mengevaluasi sumber-sumber dan potensi tekanan
inflasi serta dampaknya terhadap pencapaian sasaran inflasi,
merekomendasikan pilihan kebijakan yang mendukung pencapaian sasaran
inflasi, serta melakukan diseminasi mengenai sasaran dan upaya pencapaian
sasaran inflasi kepada masyarakat. Diharapkan pembentukan Tim
Pengendalian Inflasi ini akan meningkatkan koordinasi antara otoritas
moneter dengan Pemerintah secara keseluruhan, sehingga sasaran inflasi
menjadi tujuan bersama yang credible dan achievable.
 Koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah juga dilakukan dalam
penetapan asumsi-asumsi makro untuk bahan penyusunan RAPBN, baik
melalui rapat koordinasi dengan Departemen Keuangan (dan instansi terkait)
maupun dalam pembahasan dengan DPR.
 Koordinasi Bank Indonesia dengan Pemerintah mengenai kebijakan di bidang
perekonomian lainnya dilakukan dalam Sidang Kabinet maupun pertemuan-
pertemuan lainnya sesuai dengan perkembangan dan permasalahan yang
terjadi.

 Transparansi

1. Kebijakan moneter dikomunikasikan secara berkesinambungan kepada


masyarakat untuk meningkatkan kredibilitas kebijakan moneter dalam
membentuk ekspektasi dan pencapaian sasaran inflasi.
2. Komunikasi kebijakan moneter mencakup pengumuman dan penjelasan
pencapaian sasaran inflasi, kerangka kerja dan langkah-langkah kebijakan
moneter yang telah dan akan ditempuh, jadwal RDG, serta hal-hal lain yang
ditetapkan oleh Dewan Gubernur.
3. Komunikasi kebijakan moneter dilakukan dengan cara termasuk dan tidak
terbatas pada siaran pers, konperensi pers (terutama segera setelah RDG
Triwulanan untuk menjelasankan respon kebijakan moneter), publikasi
(termasuk penerbitan "Laporan Kebijakan Moneter" atau "Inflation Report"),
maupun penjelasan langsung kepada masyarakat.
4. Komunikasi kebijakan moneter disampaikan kepada masyarakat luas
termasuk dan tidak terbatas pada media massa, pelaku ekonomi, kalangan
pakar dan akademisi.

 Akuntabilitas

1. Pertanggung-jawaban kebijakan moneter disampaikan kepada DPR untuk


meningkatkan kredibilitas Bank Indonesia dalam melaksanakan tugas dan
wewenang yang telah ditetapkan dalam UU.
2. Pertanggung-jawaban kebijakan moneter dilakukan dengan penyampaian
secara tertulis maupun penjelasan langsung atas Laporan Kebijakan Moneter
("Monetary Policy Report" atau "Inflation Report") secara triwulanan dan
aspek-aspek tertentu kebijakan moneter yang dipandang perlu.
3. Laporan Kebijakan Moneter disampaikan pula kepada Pemerintah dan
masyarakat luas untuk transparansi dan koordinasi.
4. Dalam hal sasaran inflasi untuk suatu tahun tidak tercapai, maka Bank
Indonesia menyampaikan usulan penjelasan kepada Pemerintah sebagai
bahan penjelasan Pemerintah bersama Bank Indonesia secara terbuka kepada
DPR dan masyarakat yang dilakukan paling lambat Februari tahun
berikutnya.

You might also like