Professional Documents
Culture Documents
A. Pengertian
Decompensasi cordis adalah kegagalan jantung dalam upaya untuk mempertahankan peredaran darah
sesuai dengan kebutuhan tubuh.(Dr. Ahmad ramali.1994)
Dekompensasi kordis adalah suatu keadaan dimana terjadi penurunan kemampuan fungsi kontraktilitas
yang berakibat pada penurunan fungsi pompa jantung (Tabrani, 1998; Price, 1995).
B. Etiologi
Mekanisme fisiologis yang menyebabkan timbulnya dekompensasi kordis adalah keadaan-keadaan yang
meningkatkan beban awal, beban akhir atau yang menurunkan kontraktilitas miokardium. Keadaan yang
meningkatkan beban awal seperti regurgitasi aorta, dan cacat septum ventrikel. Beban akhir meningkat
pada keadaan dimana terjadi stenosis aorta atau hipertensi sistemik. Kontraktilitas miokardium dapat
menurun pada infark miokard atau kardiomiyopati.
Faktor lain yang dapat menyebabkan jantung gagal sebagai pompa adalah gangguan pengisisan ventrikel
(stenosis katup atrioventrikuler), gangguan pada pengisian dan ejeksi ventrikel (perikarditis konstriktif
dan temponade jantung). Dari seluruh penyebab tersebut diduga yang paling mungkin terjadi adalah
pada setiap kondisi tersebut mengakibatkan pada gangguan penghantaran kalsium di dalam sarkomer,
atau di dalam sistesis atau fungsi protein kontraktil (Price. Sylvia A, 1995).
C. Klasifikasi
Berdasarkan bagian jantung yang mengalami kegagalan pemompaan,gagal jantung terbagi atas gagal
jantung kiri,gagal jantung kanan,dan gagal jantung kongestif.
Pada gagal jantung kiri terjadi dyspneu d’effort,fatigue,ortopnea,dispnea nocturnal
paroksismal,batuk,pembesaran jantung,irama derap,ventricular heaving,bunyi derap S3 dan
S4,pernapasan cheyne stokes,takikardi,pulsusu alternans,ronkhi dan kongesti vena pulmonalis.
Pada gagal jantung kongestif terjadi manifestasi gabungan gagal jantung kiri dan kanan. New York Heart
Association (NYHA) membuat klasifikasi fungsional dalam 4 kelas :
2. Kelas 2;Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas lebih berat dari aktivitas sehari hari tanpa keluhan.
3. Kelas 3;Bila pasien tidak dapat melakukan aktivitas sehari hari tanpa keluhan.
4. Kelas 4;Bila pasien sama sekali tidak dapat melakukan aktivits apapun dan harus tirah baring.
D. Patofisiologi
Kelainan intrinsik pada kontraktilitas myokard yang khas pada gagal jantung akibat penyakit jantung
iskemik, mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel yang efektif. Kontraktilitas ventrikel kiri yang
menurun mengurangi curah sekuncup,dan meningkatkan volume residu ventrikel. Sebagai respon
terhadap gagal jantung,ada tiga mekanisme primer yang dapat di lihat :
• Meningkatnya beban awal akibat aktivasi system rennin angiotensin aldosteron, dan
• Hipertrofi ventrikel.
Ketiga respon kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah jantung.
Kelainan pada kerja ventrikel dan menurunnya curah jantung biasanya tampak pada keadaan
beraktivitas. Dengan berlanjutnya gagal jantung maka kompensasi akan menjadi semakin kurang efektif.
Meurunnya curah sekuncup pada gagal jantung akan membangkitkan respon simpatik kompensatorik.
Meningkatnya aktivitas adrenergic simpatik merangang pengeluaran katekolamin dari saraf saraf
adrenergic jantung dan medulla adrenal.Denyut jantuing dan kekuatan kontraksi akan meningkat untuk
menambah curah jantung.Juga terjadi vasokonstriksi arteria perifer untuk menstabilkan tekanan arteria
dan redistribusi volume darah dengan mengurangi aliran darah ke organ organ yang rendah
metabolismenya seperti kulit dan ginjal, agar perfusi ke jantung dan otak dapat dipertahankan.
Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan memulai serangkaian peristiwa :
6. Retansi natrium dan air pada tubulus distal dan duktus pengumpul.
Respon kompensatorik terakhir pada gagal jantung adalah hipertrofi miokardium atau bertambahnya
tebal dinding.Hipertrofi meningkatkan jumlah sarkomer dalam sel-sel miokardium;tergantung dari jenis
beban hemodinamik yang mengakibatkan gagal jantung,sarkomer dapat bertambah secara parallel atau
serial.Respon miokardium terhadap beban volume,seperti pada regurgitasi aorta,ditandai dengan
dilatasi dan bertambahnya tebal dinding.
Dampakdari cardiak output dan kongesti yang terjadi sisitem vena atau sisitem pulmonal antara lain :
• Lelah
• Angina
• Cemas
Tanda dan gejala yang disebakan oleh kongesti balikdari ventrikel kiri, antara lain :
• Dyppnea
• Batuk
• Orthopea
• Reles paru
• Edema perifer
• Hati membesar
F. Pemeriksaan penunjang
• Proyeksi A-P; konus pulmonalis menonjol, pinggang jantung hilang, cefalisasi arteria pulmonalis.
2. EKG
Irama sinus atau atrium fibrilasi, gel. mitral yaitu gelombang P yang melebar serta berpuncak dua serta
tanda RVH, LVH jika lanjut usia cenderung tampak gambaran atrium fibrilasi.
Didapatkan gradien tekanan antara atrium kiri dan ventrikel kiri pada saat distol. Selain itu dapat
dideteksi derajat beratnya hipertensi pulmonal. Dengan mengetahui frekuensi denyut jantung, besar
curah jantung serta gradien antara atrium kiri dan ventrikel kiri maka dapat dihitung luas katup mitral.
A. Pengkajian
1. Aktivitas dan Istirahat
• Gejala : Mengeluh lemah, cepat lelah, pusing, rasa berdenyut dan berdebar.
Mengeluh sulit tidur (ortopneu, dispneu paroksimal nokturnal, nokturia, keringat malam hari).
• Tanda: Takikardia, perubahan tekanan darah, pingsan karena kerja, takpineu, dispneu.
2. Sirkulasi
• Gejala: Menyatakan memiliki riwayat demam reumatik hipertensi, kongenital: kerusakan arteial septal,
trauma dada, riwayat murmur jantung dan palpitasi, serak, hemoptisisi, batuk dengan/tanpa sputum,
riwayat anemia, riwayat shock hipovolema.
• Tanda: Getaran sistolik pada apek, bunyi jantung; S1 keras, pembukaan yang keras, takikardia. Irama
tidak teratur; fibrilasi arterial.
3. Integritas Ego
• Tanda: menunjukan kecemasan; gelisah, pucat, berkeringat, gemetar. Takut akan kematian, keinginan
mengakhiri hidup, merasa tidak berguna, kepribadian neurotik.
4. Makanan / Cairan
• Tanda: Edema umum, hepatomegali dan asistes, pernafasan payah dan bising terdengar krakela dan
mengi.
5. Neurosensoris
• Tanda: Kelemahan
6. Pernafasan
7. Keamanan
8. Penyuluhan / pembelajaran
1. Kerusakan pertukaran gas b.d kongesti paru sekunder perubahan membran kapiler alveoli dan retensi
cairan interstisiil.
2. Penurunan curah jantung b.d penurunan pengisian ventrikel kiri, peningkatan atrium dan kongesti
vena.
C. Inetrvensi
1. Diagnosa Keperawatan 1. :
Kerusakan pertukaran gas b.d kongesti paru sekunder perubahan membran kapiler alveoli dan retensi
cairan interstisiil
Tujuan :
Mempertahankan ventilasi dan oksigenasi secara adekuat, PH darah normal, PO2 80-100 mmHg, PCO2
35-45 mm Hg, HCO3 –3 – 1,2
Tindakan
• Kaji kerja pernafasan (frekwensi, irama , bunyi dan dalamnya)
• Kolaborasi :
• Digoxin 1-0-0
• Furosemid 2-1-0
Rasional
• Untuk mengetahui tingkat oksigenasi pada jaringan sebagai dampak adekuat tidaknya proses
pertukaran gas.
• Kongesti yang berat akan memperburuk proses perukaran gas sehingga berdampak pada timbulnya
hipoksia.
• Meningkatkan kontraktilitas otot jantung sehingga dapat meguranngi timbulnya odem sehingga dapat
mecegah ganggun pertukaran gas.
Penurunan curah jantung b.d penurunan pengisian ventrikel kiri, peningkatan atrium dan kongesti vena.
Tujuan :
Stabilitas hemodinamik dapat dipertahanakan dengan kriteria : (TD > 90 /60), Frekwensi jantung normal.
Tindakan
• Pertahankan akses IV
• Kolaborasi :
• ISDN 3 X1 tab
• Spironelaton 50 –0-0
Rasional
• Untuk mengetahui perfusi darah di organ vital dan untuk mengetahui PCWP, CVP sebagai indikator
peningkatan beban kerja jantung.
• Untuk mengetahui jika terjadi penurunan kontraktilitas yang dapat mempengaruhi curah jantung.
• Kalium sebagai salah satu komponen terjadinya konduksi yang dapat menyebabkan timbulnya
kontraksi otot jantung.
http://blogger-blogspot-com.blogspot.com/2009/06/asuhan-keperawatan-pada-pasien-dengan_02.html
PENGERTIAN: Gagal jantung kongestif dimaksud adalah suatu sindroma klinik yang disebabkan oleh
berkurangnya volume pemompaan jantung untuk keperluan relatif tubuh, disertai hilangnya curah
jantung dalam mempertahankan aliran balik vena.
ETIOLOGI:
}Atrosklerosis koroner
PATOFISIOLOGI:
Bila curah jantung berkurang sistem saraf simpatis akan mempercepat frekuensi jantung untuk
mempertahankan curah jantung. Bila gagal maka volume sekuncup akan beradaptasi untuk
mempertahankan curah jantung. Pada gagal jantung terjadi kerusakan dan kekakuan serabut otot
jantung sehingga curah jantung normal tidak dapat dipertahankan. Dokumen lengkap CHF-I DAN CHF-II
(Klik juga disini).
Insidens : Gagal jantung dapat di alami oleh setiap orang dari berbagai usia. Misalnya neonatus dengan
penyakit jantung kongenital atau orang dewasa dengan penyakit jantung arterosklerosis, usia
pertengahan dan tua sering pula mengalami kegagalan jantung
Patofosiologi : Jantung yang normal dapat berespons terhadap peningkatan kebutuhan metabolisme
yang menggunakan mekanisme kompensasi yang bervariasi untuk mempertahankan kardiak output. Ini
mungkin meliputi: respons sistem syaraf simpatetik terhadap baro reseptor atau kemoreseptor,
pengencangan dan pelebaran otot jantung untuk menyesuikan terhadap peningkatan volume,
vasokonstyrinksi arteri renal dan aktivasi sistem renin angiotensin serta respon terhadap serum-serum
sodium dan regulasi ADH dari reabsorbsi cairan. Kegagalan mekanisme kompensasi di percepat oleh
adanya volume darah sirkulasi yang di pompakan untuk menentang peningkatan resisitensi vaskuler
oleh pengencangan jantung. Kecepatan jantung memperpendeka waktu pengisian ventrikel dan arteri
koronaria, menurunnya kardiak ouput menyebabkan berkurangnya oksigenasi pada
miokard.Peningkatan tekanan dinding pembuluh darah akibat dilatasi menyebabkan peningkatan
tunutan oksigen dan pembesaran jantung (hipertropi) terutama pada jantung iskemik atau kerusakan,
yang menyebabkan kegagalan mekanisme pemompaan. Kegaglan jantung dapat di nyatakan sebagai
kegagalan sisi kiri atau sisi kanan jantung. Kegagalan pada salah satu sisi jantung dapat berlanjut dengan
kegagalan pada sisi yang lain dan manifestasi klinis yang sering menampakan kegagalan pemompaan
total. Manifestasi klinis dari gagal jantung kanan adalah: edema, distensi vena, asites, penambahan
berat badan, nokturia, anoreksia, peningkatan tekanan atrium kanan, peningkatan tekanan vena
perifer.Manifestasi klinis dari gagal jantung sisi kiri adalah: dispnea on effort, orthopnea, sianosis,
batuuk, dahak berdarah, lemah, peningkatan tekanan pulmonari kapiler, peningkatan tekanan atrium
kiri.
Bila kebanyakan pembacaan tekanan diastole tetap pada atau di atas 90 mmHg setelah 6-12 bulan tanpa
terapi obat, maka orang itu di anggap hipertensi dan resiko tambahan bagi penyakit jantung koroner.
Secara sederhana di katakan peningkatan tekanan darah mempercepat arterosklerosis dan
arteriosklerosis sehingga ruptur dan oklusi vaskuler terjadi sekitar 20 tahun lebih cepat daripada orang
dengan normotensi. Sebagian mekanisme terlibat dalam proses peningkatan tekanan darah yang
mengkibatkan perubahan struktur di dalam pembuluh darah, tetapi tekanan dalam beberapa cara
terlibat langsung. Akibatnya, lebih tinggi tekanan darah, lebih besar jumlah kerusakan vaskular.
Dhf
ASKEP DHF
1.Pengertian
DHF (Dengue Haemoragic fever) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue sejenis virus yang
tergolong arbovirus dan masuk ke dalam tubuh penderita melalui gigitan nyamuk Aedes Aegypti
(betina). (Christantie Effendy, 1995).
2.Etiologi
Virus dengue tergolong dalam famili/suku/grup flaviviridae dan dikenal ada 4 serotipe. Dengue 1 dan 2
ditemukan di Irian ketika berlangsungnya perang dunia ke-III, sedangkan dengue 3 dan 4 ditemukan
pada saat wabah di Filipina tahun 1953 – 1954.
Virus dengue berbentuk batang, bersifat termolabil, sensitif terhadap inaktivasi oleh dietileter dan
natrium dioksikolat, stabil pada suhu 700 C. Dengue merupakan serotipe yang paling banyak beredar.
3.Patofisiologi
Fenomena patologis yang utama pada penderita DHF adalah meningkatnya permeabilitas dinding
kapiler yang mengakibatkan terjadinya perembesan plasma ke ruang ekstra seluler.
Hal pertama yang terjadi stelah virus masuk ke dalam tubuh adalah viremia yang mengakibatkan
penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal diseluruh tubuh, ruam atau
bintik-bintik merah pada kulit (petekie), hyperemia tenggorokan dan hal lain yang mungkin terjadi
seperti pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati (Hepatomegali) dan pembesaran limpa
(Splenomegali).
Adanya kebocoran plasma ke daerah ekstra vaskuler dibuktikan dengan ditemukannya cairan yang
tertimbun dalam rongga serosa yaitu rongga peritoneum, pleura, dan pericard yang pada otopsi
ternyata melebihi cairan yang diberikan melalui infus.
Setelah pemberian cairan intravena, peningkatan jumlah trombosit menunjukkan kebocoran plasma
telah teratasi, sehingga pemberian cairan intravena harus dikurangi kecepatan dan jumlahnya untuk
mencegah terjadinya edema paru dan gagal jantung, sebaliknya jika tidak mendapatkan cairan yang
cukup, penderita akan mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan kondisi yang buruk
bahkan bisa mengalami renjatan.
Jika renjatan atau hipovolemik berlangsung lama akan timbul anoksia jaringan, metabolik asidosis dan
kematian apabila tidak segera diatasi dengan baik. Gangguan hemostasis pada DHF menyangkut 3 faktor
yaitu : perubahan vaskuler, trombositopenia dan gangguan koagulasi.
Pada otopsi penderita DHF, ditemukan tanda-tanda perdarahan hampir di seluruh tubuh, seperti di kulit,
paru, saluran pencernaan dan jaringan adrenal.
4.Gambaran Klinis
Gambaran klinis yang timbul bervariasi berdasarkan derajat DHF dengan masa inkubasi anatara 13 – 15
hari, tetapi rata-rata 5 – 8 hari. Gejala klinik timbul secara mendadak berupa suhu tinggi, nyeri pada otot
dan tulang, mual, kadang-kadang muntah dan batuk ringan. Sakit kepala dapat menyeluruh atau
berpusat pada daerah supra orbital dan retroorbital. Nyeri di bagian otot terutama dirasakan bila otot
perut ditekan. Sekitar mata mungkin ditemukan pembengkakan, lakrimasi, fotofobia, otot-otot sekitar
mata terasa pegal.
Eksantem yang klasik ditemukan dalam 2 fase, mula-mula pada awal demam (6 – 12 jam sebelum suhu
naik pertama kali), terlihat jelas di muka dan dada yang berlangsung selama beberapa jam dan biasanya
tidak diperhatikan oleh pasien.
Ruam berikutnya mulai antara hari 3 – 6, mula – mula berbentuk makula besar yang kemudian bersatu
mencuat kembali, serta kemudian timbul bercak-bercak petekia. Pada dasarnya hal ini terlihat pada
lengan dan kaki, kemudian menjalar ke seluruh tubuh.
Pada saat suhu turun ke normal, ruam ini berkurang dan cepat menghilang, bekas-bekasnya kadang
terasa gatal. Nadi pasien mula-mula cepat dan menjadi normal atau lebih lambat pada hari ke-4 dan ke-
5. Bradikardi dapat menetap untuk beberapa hari dalam masa penyembuhan.
Gejala perdarahan mulai pada hari ke-3 atau ke-5 berupa petekia, purpura, ekimosis, hematemesis,
epistaksis. Juga kadang terjadi syok yang biasanya dijumpai pada saat demam telah menurun antara hari
ke-3 dan ke-7 dengan tanda : anak menjadi makin lemah, ujung jari, telinga, hidung teraba dingin dan
lembab, denyut nadi terasa cepat, kecil dan tekanan darah menurun dengan tekanan sistolik 80 mmHg
atau kurang.
5.Diagnosis
Patokan WHO (1986) untuk menegakkan diagnosis DHF adalah sebagai berikut :
a. Demam akut, yang tetap tinggi selama 2 – 7 hari kemudian turun secara lisis demam disertai gejala
tidak spesifik, seperti anoreksia, lemah, nyeri.
b. Manifestasi perdarahan :
4)Hematemesis, melena.
Renjatan biasanya terjadi pada saat demam turun (hari ke-3 dan hari ke-7 sakit ). Renjatan yang terjadi
pada saat demam biasanya mempunyai prognosis buruk.
DHF diklasifikasikan berdasarkan derajat beratnya penyakit, secara klinis dibagi menjadi 4 derajat
(Menurut WHO, 1986) :
a.Derajat I
Demam disertai gejala klinis lain, tanpa perdarahan spontan, uji tourniquet , trombositopenia dan
hemokonsentrasi.
b.Derajat II
Derajat I dan disertai pula perdarahan spontan pada kulit atau tempat lain.
c.Derajat III
Ditemukan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan daerah rendah (hipotensi), gelisah,
cyanosis sekitar mulut, hidung dan jari (tanda-tanda dini renjatan).
d.Renjatan berat (DSS) dengan nadi tak teraba dan tekanan darah tak dapat diukur.
7.Pemeriksaan Diagnostik
Laboratorium
Terjadi trombositopenia (100.000/ml atau kurang) dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat dan
meningginya nilai hematokrit sebanyak 20 % atau lebih dibandingkan nila hematokrit pada masa
konvalesen.
Pada pasien dengan 2 atau 3 patokan klinis disertai adanya trombositopenia dan hemokonsentrasi
tersebut sudah cukup untuk klinis membuat diagnosis DHF dengan tepat.
Juga dijumpai leukopenia yang akan terlihat pada hari ke-2 atau ke-3 dan titik terendah pada saat
peningkatan suhu kedua kalinya leukopenia timbul karena berkurangnya limfosit pada saat peningkatan
suhu pertama kali.
8.Diagnosa Banding
Gambaran klinis DHF seringkali mirip dengan beberapa penyakit lain seperti :
Dimana serangan demam lebih mendadak dan lebih pendek tapi suhu di atas 400C disertai ruam dan
infeksi konjungtiva ada rasa nyeri sendi dan otot.
b.Demam tyfoid
Biasanya timbul tanda klinis khas seperti pola demam, bradikardi relatif, adanya leukopenia, limfositosis
relatif.
c.Anemia aplastik
Penderita tampak anemis, timbul juga perdarahan pada stadium lanjut, demam timbul karena infeksi
sekunder, pemeriksaan darah tepi menunjukkan pansitopenia.
Purpura umumnya terlihat lebih menyeluruh, demam lebih cepat menghilang, tidak terjadi
hemokonsentrasi.
9.Penatalaksanaan
c.Minum banyak (2 – 2,5 liter/24 jam) dapat berupa : susu, teh manis, sirup dan beri penderita sedikit
oralit, pemberian cairan merupakan hal yang paling penting bagi penderita DHF.
d.Pemberian cairan intravena (biasanya ringer laktat, NaCl Faali) merupakan cairan yang paling sering
digunakan.
e.Monitor tanda-tanda vital tiap 3 jam (suhu, nadi, tensi, pernafasan) jika kondisi pasien memburuk,
observasi ketat tiap jam.
j.Monitor tanda-tanda dan renjatan meliputi keadaan umum, perubahan tanda-tanda vital, hasil
pemeriksaan laboratorium yang memburuk.
Pada kasus dengan renjatan pasien dirawat di perawatan intensif dan segera dipasang infus sebagai
pengganti cairan yang hilang dan bila tidak tampak perbaikan diberikan plasma atau plasma ekspander
atau dekstran sebanyak 20 – 30 ml/kg BB.
Pemberian cairan intravena baik plasma maupun elektrolit dipertahankan 12 – 48 jam setelah renjatan
teratasi. Apabila renjatan telah teratasi nadi sudah teraba jelas, amplitudo nadi cukup besar, tekanan
sistolik 20 mmHg, kecepatan plasma biasanya dikurangi menjadi 10 ml/kg BB/jam.
Transfusi darah diberikan pada pasien dengan perdarahan gastrointestinal yang hebat. Indikasi
pemberian transfusi pada penderita DHF yaitu jika ada perdarahan yang jelas secara klinis dan abdomen
yang makin tegang dengan penurunan Hb yang mencolok.
Pada DBD tanpa renjatan hanya diberi banyak minum yaitu 1½-2 liter dalam 24 jam. Cara pemberian
sedikit demi sedikit dengan melibatkan orang tua. Infus diberikan pada pasien DBD tanpa renjatan
apabila :
a.Pasien terus menerus muntah, tidak dapat diberikan minum sehingga mengancam terjadinya
dehidrasi.
10.Pencegahan
b.Memutuskan lingkaran penularan dengan menahan kepadatan vektor pada tingkat sangat rendah
untuk memberikan kesempatan penderita viremia sembuh secara spontan.
c.Mengusahakan pemberantasan vektor di pusat daerah penyebaran yaitu di sekolah, rumah sakit
termasuk pula daerah penyangga sekitarnya.
Yang lazim digunakan dalam program pemberantasan demam berdarah dengue adalah malathion untuk
membunuh nyamuk dewasa dan temephos (abate) untuk membunuh jentik (larvasida). Cara
penggunaan malathion ialah dengan pengasapan atau pengabutan. Cara penggunaan temephos (abate)
ialah dengan pasir abate ke dalam sarang-sarang nyamuk aedes yaitu bejana tempat penampungan air
bersih, dosis yang digunakan ialah 1 ppm atau 1 gram abate SG 1 % per 10 liter air.
b.Tanpa insektisida
Caranya adalah :
1)Menguras bak mandi, tempayan dan tempat penampungan air minimal 1 x seminggu (perkembangan
telur nyamuk lamanya 7 – 10 hari).
3)Membersihkan halaman rumah dari kaleng bekas, botol pecah dan benda lain yang memungkinkan
nyamuk bersarang.
Dalam asuhan keperawatan digunakan pendekatan proses keperawatan sebagai cara untuk mengatasi
masalah klien.
Proses keperawatan terdiri dari 5 tahap yaitu : pengkajian keperawatan, identifikasi, analisa masalah
(diagnosa keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi).
1.Pengkajian Keperawatan
Dalam memberikan asuhan keperawatan, pengkajian merupakan dasar utama dan hal penting dilakukan
oleh perawat. Hasil pengkajian yang dilakukan perawat terkumpul dalam bentuk data. Adapun metode
atau cara pengumpulan data yang dilakukan dalam pengkajian : wawancara, pemeriksaan (fisik,
laboratorium, rontgen), observasi, konsultasi.
a.Data subyektif
Adalah data yang dikumpulkan berdasarkan keluhan pasien atau keluarga pada pasien DHF, data
obyektif yang sering ditemukan menurut Christianti Effendy, 1995 yaitu :
1.)Lemah.
8.)Konstipasi (sembelit).
b.Data obyektif :
Adalah data yang diperoleh berdasarkan pengamatan perawat atas kondisi pasien. Data obyektif yang
sering dijumpai pada penderita DHF antara lain :
3)Tampak bintik merah pada kulit (petekia), uji torniquet (+), epistaksis, ekimosis, hematoma,
hematemesis, melena.
7)Pada renjatan (derajat IV) nadi cepat dan lemah, hipotensi, ekstremitas dingin, gelisah, sianosis
perifer, nafas dangkal.
2)Trombositopenia.
Pada hari ke- 2 dan ke- 3 terjadi leukopenia, netropenia, aneosinofilia, peningkatan limfosit, monosit,
dan basofil
4)Asidosis metabolik.
2.Diagnosa Keperawatan
Beberapa diagnosa keperawatan yang ditemukan pada pasien DHF menurut Christiante Effendy, 1995
yaitu :
c.Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan mual, muntah,
anoreksia.
d.Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dinding plasma.
f.Resiko terjadi syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan tubuh.
i.Kecemasan berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan perdarahan yang dialami pasien.
3.Perencanaan Keperawatan
Tujuan :
Intervensi :
Rasional : tanda vital merupakan acuan untuk mengetahui keadaan umum pasien.
Rasional : Peningkatan suhu tubuh mengakibatkan penguapan tubuh meningkat sehingga perlu
diimbangi dengan asupan cairan yang banyak.
Rasional : Dengan vasodilatasi dapat meningkatkan penguapan yang mempercepat penurunan suhu
tubuh.
Rasional : pemberian cairan sangat penting bagi pasien dengan suhu tinggi.
Tujuan :
Intervensi :
Rasional : Dengan melakukan aktivitas lain pasien dapat melupakan perhatiannya terhadap nyeri yang
dialami.
Tujuan :
Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan posisi yang
diberikan /dibutuhkan.
Intervensi :
1)Kaji keluhan mual, sakit menelan, dan muntah yang dialami pasien.
5)Catat jumlah / porsi makanan yang dihabiskan oleh pasien setiap hari.
Rasional : Antiemetik membantu pasien mengurangi rasa mual dan muntah dan diharapkan intake
nutrisi pasien meningkat.
d.Kurangnya volume cairan tubuh berhubungan dengan peningkatan permeabilitas dinding plasma.
Tujuan :
Intervensi :
1)Kaji keadaan umum pasien (lemah, pucat, takikardi) serta tanda-tanda vital.
Rasional : Menetapkan data dasar pasien untuk mengetahui penyimpangan dari keadaan normalnya.
2)Observasi tanda-tanda syock.
Rasional : Pemberian cairan IV sangat penting bagi pasien yang mengalami kekurangan cairan tubuh
karena cairan tubuh karena cairan langsung masuk ke dalam pembuluh darah.
Rasional : Asupan cairan sangat diperlukan untuk menambah volume cairan tubuh.
Tujuan :
Intervensi :
2)Kaji hal-hal yang mampu atau yang tidak mampu dilakukan oleh pasien.
3)Bantu pasien untuk memenuhi kebutuhan aktivitasnya sehari-hari sesuai tingkat keterbatasan pasien.
Rasional : Pemberian bantuan sangat diperlukan oleh pasien pada saat kondisinya lemah dan perawat
mempunyai tanggung jawab dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari pasien tanpa mengalami
ketergantungan pada perawat.
Rasional : Akan membantu pasien untuk memenuhi kebutuhannya sendiri tanpa bantuan orang lain.
f.Resiko terjadinya syok hypovolemik berhubungan dengan kurangnya volume cairan tubuh
Tujuan :
Intervensi :
Rasional : memantau kondisi pasien selama masa perawatan terutama pada saat terjadi perdarahan
sehingga segera diketahui tanda syok dan dapat segera ditangani.
Rasional : Perdarahan cepat diketahui dan dapat diatasi sehingga pasien tidak sampai syok hipovolemik.
Rasional : Untuk mengetahui tingkat kebocoran pembuluh darah yang dialami pasien sebagai acuan
melakukan tindakan lebih lanjut.
Rasional : Untuk menggantikan volume darah serta komponen darah yang hilang.
Intervensi :
Rasional : Tindakan aseptik merupakan tindakan preventif terhadap kemungkinan terjadi infeksi.
Rasional : Menetapkan data dasar pasien, terjadi peradangan dapat diketahui dari penyimpangan nilai
tanda vital.
Rasional : Untuk menghindari kondisi yang lebih buruk atau penyulit lebih lanjut.
Tujuan :
Intervensi :
3)Beri penjelasan untuk segera melapor bila ada tanda perdarahan lebih lanjut.
Rasional : Memotivasi pasien untuk mau minum obat sesuai dosis yang diberikan.
i.Kecemasan berhubungan dengan kondisi pasien yang memburuk dan perdarahan yang dialami pasien.
Intervensi :
Rasional : Sikap empati akan membuat pasien merasa diperhatikan dengan baik.
Rasional : Agar segala sesuatu yang disampaikan diajarkan pada pasien memberikan hasil yang efektif.
4.Implementasi
Pelaksanaan tindakan keperawatan pada klien anak dengan DHF disesuaikan dengan intervensi yang
telah direncanakan.
5.Evaluasi Keperawatan.
Hasil asuhan keperawatan pada klien anak dengan DHF sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan.
Evaluasi ini didasarkan pada hasil yang diharapkan atau perubahan yang terjadi pada pasien.
Adapun sasaran evaluasi pada pasien demam berdarah dengue sebagai berikut :
a.Suhu tubuh pasien normal (36- 370C), pasien bebas dari demam.
c.Kebutuhan nutrisi klien terpenuhi, pasien mampu menghabiskan makanan sesuai dengan porsi yang
diberikan atau dibutuhkan.
d.Keseimbangan cairan akan tetap terjaga dan kebutuhan cairan pada pasien terpenuhi.
f.Pasien akan mempertahankan sehingga tidak terjadi syok hypovolemik dengan tanda vital dalam batas
normal.
i.Kecemasan pasien akan berkurang dan mendengarkan penjelasan dari perawat tentang proses
penyakitnya.
Sumber:
3.Hendarwanto, (1996), Ilmu Penyakit Dalam, jilid I, edisi ketiga, FKUI ; Jakarta.
4.Doenges, Marilynn E, dkk, (2000), Penerapan Proses Keperawatan dan Diagnosa Keperawatan, EGC ;
Jakarta.