You are on page 1of 7

PELAKSANAAN TUGAS POKOK DAN FUNGSI KEPOLISIAN DALAM

PANTAUAN KOMUNITAS PERS DI INDONESIA

Oleh. Sunartoi

Prolog
Kepolisian adalah segala hal ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga polisi.
Demikian dinyatakan dalam Undang-undang RI Nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara RI. Fungsi kepolisian merupakan salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang
pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat (Pasal 2). Kepolisian bertujuan untuk
mewujudkan keamanan dalam negeri yang meliputi terpeliharanya keamanan dan ketertiban
masyarakat, tertib dan tegaknya hukum, terselenggaranya perlindungan, pengayoman dan
pelayanan kepada masyarakat serta terbinanya ketenteraman masyarakat dengan menjunjung
tinggi hak asasi manusia (Pasal 4).
Fungsi dan tujuan kepolisian semacam itu kemudian dijabarkan lebih lanjut dalam
tugas pokok kepolisian yang meliputi: (1) memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat;
(2) menegakkan hukum; dan (3) memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan
kepada masyarakat (Pasal 13).
Dalam melaksanakan tugas pokoknya tersebut, Pasal 14 menyatakan, kepolisian
bertugas untuk: (a) melaksanakan pengaturan, penjagaan, pengawalan dan patroli terhadap
kegiatan masyarakat dan pemerintah sesuai kebutuhan; (b) menyelenggarakan segala
kegiatan dalam menjamin keamanan, ketertiban dan kelancaran lalu lintas di jalan; (c)
membina masyarakat untuk meningkatkan partisipasi masyarakat, kesadaran hukum
masyarakat serta ketaatan warga masyarakat terhadap hukum dan peraturan perundang-
undangan; (d) turut serta dalam pembinaan hukum nasional; (e) memelihara ketertiban dan
menjamin keamanan umum; (f) melakukan koordinasi, pengawasan dan pembinaan teknis
terhadap kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil dan bentuk-bentuk pengamanan
swakarsa; (g) melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai
dengan hukum acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya; (h)
menyelenggarakan identifikasi kepolisian, kedokteran kepolisian, laboratorium forensik dan
psikologi kepolisian untuk kepentingan tugas kepolisian; (i) melindungi keselamatan jiwa
raga, harta benda, masyarakat dan lingkungan hidup dari gangguan ketertiban dan/atau
bencana termasuk memberikan bantuan dan pertolongan dengan menjunjung tinggi hak asasi
manusia; (j) melayani kepentingan warga masyarakat untuk sementara sebelum ditangani
oleh instansi dan/atau pihak yang berwenang; (k) memberikan pelayanan kepada masyarakat
sesuai dengan kepentingannya dalam lingkup tugas kepolisian; (l) melaksanakan tugas lain
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Selanjutnya Pasal 15 menjelaskan bahwa dalam menjalankan tugasnya tersebut
kepolisian berwenang untuk: (a) menerima laporan dan/atau pengaduan; (b) membantu
menyelesaikan perselisihan warga masyarakat yang dapat mengganggu ketertiban umum; (c)
mencegah dan menanggulangi tumbuhnya penyakit masyarakat; (d) mengawasi aliran yang
dapat menimbulkan perpecahan atau mengancam persatuan dan kesatuan bangsa; (e)
mengeluarkan peraturan kepolisian dalm lingkup kewenangan administratif kepolisian; (f)
melaksakan pemeriksaan khusus sebagai bagian dari tindakan kepolisian dalam rangka
pencegahan; (g) melakukan tindakan pertama di tempat kejadian; (h) mengambil sidik jari
dan identitas lainnya serta memotret seseorang; (i) mencari keterangan dan barang bukti; (j)
menyelenggarakan Pusat Informasi Kriminal Nasional; (k) mengeluarkan surat izin dan/atau
surat keterangan yang diperlukan dalam rangka pelayanan masyarakat; (l) memberikan
bantuan pengamanan dalam sidang dan pelaksanaan putusan pengadilan, kegiatan instansi
lain, serta kegiatan masyarakat; (m) menerima dan menyimpan barang temuan untuk
sementara waktu.
Semua wewenang di atas masih ditambahkan beberapa wewenang lainnya, antara
lain: (a) memberikan izin dan mengawasi kegiatan keramaian umum dan kegiatan masyarakat
lainnya; (b) menyelenggarakan registrasi dan identifikasi kendaraan bermotor; (c)
memberikan surat izin mengemudi kendaraan bermotor; (d) menerima pemberitahuan tentang
kegiatan politik; (e) memberikan izin dan melakukan pengawasan senjata api, bahan peledak
dan senjata tajam; (f) memberikan izin operasional dan melakukan pengawasan terhadap
badan usaha di bidang jasa pengamanan; (g) memberikan petunjuk, mendidik dan melatih
aparat kepolisian khusus dan petugas pengamanan swakarsa dalam bidang teknis kepolisian;
(h) melakukan kerja sama dengan kepolisian negara lain dalam menyidik dan memberantas
kejahatan internasional; (i) melakukan pengawasan fungsional kepolisian terhadap orang
asing yang berada di wilayah Indonesia dengan koordinasi instansi terkait; (j) mewakili
pemerintah RI dalam organisasi kepolisian internasional; (k) melaksanakan kewenangan lain
yang termasuk dalam lingkup tugas kepolisian.
Dalam rangka menjalankan tugasnya, kepolisian masih diberikan wewenang lain,
yaitu: (a) melakukan penangkapan, penahanan, penggeledehan dan penyitaan; (b) melarang
setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara untuk kepentingan
penyidikan; (c) membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan; (d) menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri; (e) melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; (f) memanggil orang
untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; (g) mendatangkan orang ahli yang
diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; (h) mengadakan penghentian
penyidikan; (i) menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum; (j) mengajukan
permintaan secara langsung kepada imigrasi yang berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi
dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang
disangka melakukan tindak pidana; (k) memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada
penyidik pegawai negeri sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil
untuk diserahkan kepada penuntut umum; (l) mengadakan tindakan lain menurut hukum yang
bertanggung jawab. Ketentuan terkait “tindakan lain” tersebut menyatakan: (a) tidak
bertentangan dengan suatu aturan hukum; (b) selaras dengan kewajiban hukum yang
mengharuskan tindakan tersebut dilakukan; (c) harus patut, masuk akal dan termasuk dalam
lingkungan jabatannya; (d) pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; (e)
menghormati hak asasi manusia.
Terkait dengan pejabat kepolisian, Pasal 18 menyatakan, untuk kepentingan umum
pejabat kepolisian negara RI dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya dapat bertindak
menurut penilaiannya sendiri (Ayat 1). Pelaksanaan ayat ini hanya dapat dilakukan dalam
keadaan yang sangat perlu dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan, serta
Kode Etik Profesi Kepolisian negara RI (Ayat 2). Selanjutnya dikatakan dalam Pasal 19,
dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, pejabat kepolisian senantiasa bertindak
berdasarkan norma agama, kesopanan, kesusilaan, serta menjunjung tinggi hak asasi manusia
(Ayat 1).
Demikianlah antara lain cakupan 3 macam tugas pokok dan fungsi kepolisian RI yang
dijabarkan lebih lanjut dalam 12 macam tugas dengan dibekali sebanyak 36 wewenang untuk
melaksanakan semua tugas tersebut. Wewenang sebanyak itu masih juga diberi “kewenangan
lain” (Pasal 15 Ayat 2 poin k) yang masih dalam lingkup tugas kepolisian. Dalam penjelasan
masing-masing pasal ketentuan tersebut dikatakan “Cukup jelas”.
Menjadi persoalan buat kita untuk menjawab permasalahan pokok terkait dengan
bagaimana pantauan pers di Indonesia terkait dengan pelaksanaan tugas pokok dan fungsi
kepolisian tersebut? Makalah singkat ini tidak akan mampu menjawab pelaksanaan semua
rincian tugas pokok kepolisian tersebut mengingat dibutuhkan sebuah kajian yang
komprehensif dan cermat dengan waktu yang relatif memadai. Makalah ini akan melihat
sekilas bagaimana pantauan pers nasional terhadap kinerja kepolisian RI dalam beberapa
waktu belakangan ini. Pantauan pers nasional akan diwakili oleh beberapa media besar saja
semacam harian “Kompas”, majalah “Tempo” dan harian “Suara Merdeka” sejak bulan
September – Desember 2009.

Analisis Isi Pers: Penegakan Hukum Jadi Agenda Utama Media


Bagaimana pers nasional menampilkan kepolisian negara RI? Dari pengamatan selama
kurang lebih empat bulan terakhir, ditemui ada sebanyak 157 item informasi terkait dengan
isu kepolisian dengan rincian sebanyak 104 (66.2%) berupa berita dan sebanyak 53 (33.8%)
non berita (kolom, tajuk rencana, surat pembaca, komentar, dan lain-lain). Berikut ini hasil
analisis isi terhadap beberapa media massa cetak yang berhasil dicermati. Bagan berikut
menggambarkan komposisi jenis informasi dikaitkan dengan tugas kepolisian yang ada.
Bagan 1. Tugas Polisi dalam Pemberitaan Pers

Non Berita 0 83 7,5

Berita 5,8 83,7 5,8

Keamanan & Ketertiban Tegakkan Hukum Perlindungan, Pengayoman & Pelayanan

Bagan tersebut menggambarkan diantara tiga macam tugas kepolisian yang ada,
nampaknya tugas untuk menegakkan hukum relatif lebih banyak dibanding dengan tugas
untuk memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, serta untuk memberikan
perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat. Dari 87 berita tentang
penegakan hukum lebih dari separuhnya memberitakan tentang isu “Cicak vs Buaya” (47
berita). Isu lain yang juga mendapatkan cukup perhatian adalah pembunuhan Nasruddin
sebanyak 10 berita (11%), penanganan kasus Anggodo sebanyak 8 berita (9%), salah tangkap
terhadap Rizal sebanyak 7 berita (8%) dan isu-isu lain terkait penanganan korupsi (4 berita),
pemanggilan pimpinan media massa (3 berita). Situasi serupa juga ditemui dalam informasi
non berita. Dari sebanyak 44 informasi non berita, sebanyak 33 (75%) membahas tentang isu
“Cicak vs Buaya”. Artinya selama empat bulan terakhir ini media massa kita telah
menjadikan isu perseteruan antara KPK dan kepolisian sebagai isu menarik untuk
dibicarakan. Bagaimana nada (tone) media tersebut memberitakan isu-isu penegakan hukum
tersebut? Bagan berikut menggambarkan bagaimana media massa kita mewartakan isu
penegakan hukum tersebut.

Bagan 2. Nada Pemberitaan Tugas Polisi

Negatif 4,5 89,6 3

Positif 10,3 65,5 13,8

Keamanan & Ketertiban Tegakkan Hukum Perlindungan, Pengayoman & Pelayanan


Bagan tersebut menggambarkan diantara berbagai berita yang ada, utamanya terkait
tugas kepolisian untuk menegakkan hukum, nada pemberitaan yang ada relatif lebih banyak
bersifat negatif (90%) dibanding yang positif (66%). Nada pemberitaan semacam ini bisa
dipahami apabila mencermati isu yang menjadi perhatian media pada saat ini. Kasus “Cicak
vs Buaya” benar-benar telah menggerogoti deposito prestasi kepolisian dalam menggulung
aksi komplotan teroris di Temanggung beberapa waktu lalu sebelum kasus “Cicak vs Buaya”
meledak ke permukaan.
Bagaimana dengan informasi non berita? Hampir setali tiga uang. Dari 8 informasi
non berita berita bernada positif, separuhnya diperuntukkan bagi tugas polisi untuk
menegakkan hukum. Dari 45 informasi non berita bernada negatif, sebanyak 40 informasi
(89%) mensoal tugas polisi untuk menegakkan hukum. Kasus “Cicak vs Buaya” dengan
implikasi pada adanya rekayasa hukum untuk mengkriminalisasikan KPK menjadi pusat
perhatian informsi non berita ini (75%).
Di kalangan media, entah disadari atau tidak, ketika mewartakan perseteruan antara
KPK dengan Polri, secara serentak mereka menempatkan diri dalam kubu “Cicak”. Walhasil,
kubu “Buaya” seolah-olah menjadi musuh bersama media pada saat itu. Sebagaimana
dikatakan oleh Tajuk Rencana harian “Kompas” (6 November 2009:6), pandangan umum
yang dianut oleh media di Indonesia adalah ada rekayasa untuk melemahkan KPK dan
penahanan Bibit dan Chandra mengusik rasa keadilan. Bahkan, pasca pemutaran rekaman
KPK di Mahkamah Konstitusi Selasa lalu, ada suasana umum yang menghendaki
dilakukannya pemeriksaan terhadap nama-nama yang muncul dalam rekaman. Tanpa
bermaksud memuji keluarga sendiri, kita ingin menggarisbawahi sikap media Indonesia
terhadap apa yang sering disebut sebagai kasus kriminalisasi KPK. Paling tidak, dari apa
yang sejauh ini muncul dalam pemberitaan media di Indonesia, apakah itu cetak atau
elektronika – mencakup TV, radio, dan online – ada kesan bahwa media yang sebelumnya
mungkin dicitrakan menurut orientasi politik atau bisnisnya, kali ini sepenuhnya berorientasi
pada hati nurani rakyat, secara nyaring dan blak-blakan.
Setelah kasus “Cicak vs Buaya” agak reda dengan adanya rekomendasi Tim 8 dan
kasus Bank Century muncul sebagai agenda baru, artinya pada saat tubuh institusi Polri
belum lagi sembuh benar dari keterpurukan, terjadi insiden penembakan petani di Sumatra
Selatan oleh Brimob dan penganiayaan dosen sejarah UI oleh anggota kepolisian Depok yang
kembali mencoreng lebih dalam citra kepolisian RI.
Terkait dengan agenda utama media yang lebih menekankan tugas kepolisian untuk
menegakkan hukum dibanding tugas-tugas lainnya menjadi menarik untuk dicermati lebih
jauh. Mengapa media lebih menekankan satu isu tertentu dibanding isu lainnya? Mengapa
menekankan satu aspek tertentu dari sebuah isu dibanding aspek yang lain?

Penentu Agenda Media


Shoemaker dan Reese (1991; 1996) menyatakan, isi media massa tidak bisa dilepaskan dari
pengaruh faktor internal media (level individu, rutinitas media, organisasi media) dan faktor
eksternal media (ekstramedia dan ideologi).
Artinya isi media tampak seperti yang kita konsumsi disebabkan oleh beberapa faktor
tersebut. Faktor individu terkait dengan karakteristik pekerja media (pengalaman, latar
belakang profesional, sikap, perilaku, keyakinan, dan lain-lain). Rutinitas media terkait
dengan gate-keeping processes dan ketersediaan sumber-sumber informasi. Level organisasi
media menyangkut persoalan struktur organisasi dan kebijakan di newsroom. Faktor ekstra
media meliputi persoalan pengiklan, khalayak sasaran, pasar, kontrol pemerintah, dan
perkembangan teknologi. Sementara level ideologi berhubungan dengan kontrol sosial dan
kognisi sosial yang ada di masyarakat.
Mengapa persoalan tugas penegakan hukum lebih menonjol dibanding tugas-tugas
kepolisian yang lain? Dengan mengacu pada kondisi internal media, adanya dugaan rekayasa
kasus yang menimpa Bibit-Chandra telah menyentuh aspek substil para pekerja media yang
menempatkan mereka tidak hanya sekedar penyebar informasi saja namun juga pelaku
kontrol sosial yang aktif. Aspek idealisme profesional para pekerja media meletup ketika
ketidakadilan tampak kasat mata di depan mereka. Kesewenang-wenangan kepolisian dalam
memperlakukan Bibit-Chandra sebagai pejabat negara telah melukai hati seluruh pekerja
media ketika pada saat bersamaan Anggodo yang jelas-jelas berlaku lajak dengan menyuap
dan berniat membunuh Chandra mendapat perlakuan istimewa dari kepolisian. Pekerja media
segera merasakan adanya ketidakadilan yang telanjang di depan mata. Segera proses
penseleksian sudut pandang dan bidik atas peristiwa tersebut berlangsung (gate keeping
process). Semua media hampir sama dalam menggunakan sudut pandangnya. Kebijakan
newsroom masing-masing media nampaknya sepakat untuk menempatkan diri pada posisi
pembela hati nurani masyarakat dengan mendukung si “Cicak” yang dilemahkan oleh si
“Buaya” sebagai news value strategis dan penting.
Kondisi eksternal media pada saat itu sangat diwarnai oleh kognisi sosial yang
menempatkan si “Buaya” dalam sasaran bidikan karena adanya arogansi individual dan
institusional kepolisian. Bagaimana seorang Susno Duadji memberi label “Cicak” untuk KPK
dan “Buaya” untuk kepolisian menggambarkan arogansi individual tersebut. Secara
institusional arogansi ditunjukkan dengan adanya niatan pihak kepolisian untuk menyita
rekaman KPK yang menggegerkan tersebut. Dalam kesehariannya ideologi pasar memang
menjadi kiblat para pelaku media. Dalam kasus “Cicak vs Buaya” ideologi pasar koheren
dengan idealisme media sebagai kontrol sosial untuk mewakili kepentingan publik. Pada
akhirnya semua informasi tentang “Cicak vs Buaya” menjadi komoditas ekonomi-politik
yang sangat laku di khalayak media. Namun yang tidak kalah penting dari semua itu adalah
adanya situasi kebebasan yang luar biasa dirasakan oleh kalangan media pasca reformasi.
Media menjadi ruang publik strategis dan penting pada saat sistem komunikasi otoritarian
semasa Orde Baru beralih menjadi sistem komunikasi demokratis pada Era Reformasi
sekarang ini.

Media dan Ketergantungan Manusia Modern


Mengapa kepolisian harus concern dengan media massa untuk melaksanakan tugas dan
fungsinya? Sebagai lembaga negara yang bertugas tidak hanya untuk menegakkan hukum,
tapi juga memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, serta memberikan perlindungan,
pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat, seharusnya kepolisian RI bisa menampilkan
diri lebih utuh dalam semua pelaksanaan tugas dan fungsinya tersebut. Kebutuhan
komunikasi melalui media massa merupakan keharusan mutlak mengingat jangkauan sasaran
kegiatan yang meluas di seluruh Indonesia. Hal itu disebabkan khalayak jaman kontemporer
seperti sekarang ini lebih banyak mengandalkan pengalaman bermedia sebagai pendefinisi
realita yang utama dibanding pengalaman personal mereka.
Situasi semacam itu dengan tepat digambarkan oleh Ball-Rokeach dan DeFleur
(McQuail dan Windahl, 1984) melalui teori dependensia mereka. Menurut kedua tokoh ini,
anggota khalayak masyarakat modern sampai pada situasi ketergantungan luar biasa pada
informasi dari media massa sebagai sumber pengetahuan dan orientasi mereka untuk
mengetahui apa yang sedang terjadi dengan masyarakat mereka.
Para petani yang ditembak dengan peluru karet di Sumatra Selatan mulai menggugat
perlakuan polisi yang mereka rasakan tidak sesuai dengan hak asasi mereka sebagai manusia
dengan melaporkannya ke Komnas HAM di Jakarta. Demikian halnya dengan Rizal, dosen
sejarah UI, melaporkan secara resmi ke divisi Propam (Profesi dan Pengamanan) Polri dan
Kontras serta melakukan jumpa pers dengan niatan untuk menyadarkan para korban
penganiayaan akibat salah prosedur yang dilakukan polisi tanpa mengindahkan hak asasi
manusia. Sekaligus juga membantu lancarnya jalannya reformasi di tubuh kepolisian RI. Apa
yang dilakukan petani Sumsel dan Rizal tersebut tidak lepas dari eksposure media massa
yang telah mereka terima selama ini. Perjuangan sekecil apapun apabila didukung opini
publik melalui media massa akan hebat hasilnya. Dukungan koin untuk Prita adalah contoh
lain bagaimana media massa menunjukkan kekuatannya.

Epilog
Penetrasi media massa sekarang ini sungguh luar biasa. Belum lagi informasi yang mengalir
dengan cepat melalui media modern semacam internet dan hand phone. Dalam situasi
sekarang, apabila kepolisian tidak bijak memperlakukan media, dikhawatirkan kasus “Cicak
vs Buaya” atau “Kadal vs Komodo” akan berulang di kemudian hari. Sebuah pelajaran
penting bagi segenap anggota kepolisian RI untuk lebih mengedepankan praktek kepolisian
yang profesional apabila menghendaki citra institusi kepolisian kembali menjulang.
Pada akhirnya, reformasi kultural di tubuh Polri tidak akan bisa berjalan dengan
maksimal apabila tidak ada perubahan dalam praktek kepolisian yang ada. Segenap polisi
yang ada hendaknya mampu bertindak sebagai agen sosial yang mampu memproduksi nilai-
nilai baru dalam semua praktek kepolisian dengan lebih mengedepankan nilai-nilai sipilistik
yang menekankan demokrasi dan partisipasi dibandingkan nilai-nilai militeristik yang
menekankan otorikrasi dan mobilisasi. Dalam proses transformasi tersebut media bisa
menjadi mitra strategis.
i
Dr. Sunarto adalah dosen Program Magister Ilmu Komunikasi – Program Pascasarjana Universitas Diponegoro. Makalah ini
disampaikan pada kegiatan Seminar Nasional “Optimalisasi Profesionalisme Anggota POLRI dalam Rangka Reformasi Birokrasi
Kepolisian” yang diselenggarakan oleh Kepolisian Daerah Jawa tengah bekerjasama dengan Fakultas Hukum Undiversitas
Diponegoro pada Rabu, 16 Desember 2009, bertempat di Ruang Rama Shinta Hotel Patra Jl. Sisingamangaraja Semarang. Alamat
korespondensi sunartoo@yahoo.com.

You might also like