Professional Documents
Culture Documents
html
http://www.perapi.com/artikel/pendidikan-anak-anak/15-pendidikan-awal-kanak-kanak-islam.html
http://www.perapi.com/artikel/pendidikan-anak-anak/13-mendidik-anak-anak-menurut-islam.html
http://www.mindamadani.my/content/view/186/2/
Imam Al Ghazali begitu menekankan peri pentingnya ibubapa dan pendidik perlu menjadi role model
atau ikutan yang baik kerana sikap atau tingkahlaku yang ditunjukkan oleh ibubapa sebenarnya adalah
kurikulum dalam pendidikan seorang kanak-kanak. Bersesuaian dengan sifat semulajadi kanak-kanak
yang suka meniru perilaku atau apa sahaja yang ada di hadapannya, dan seperti yang ditegaskan oleh
Imam Al Ghazali, kanak-kanak belajar melaui pemerhatian yang jika dibiarkan ia akan menjadi kebiasaan
atau I’tiyad dan sukarlah untuk dibentuk. Dalam menangani masalah ini ibubapa atau pendidik di beri
pilihan antara memberi pengukuhan dan ganjaran baik atau hukuman. Jalan yang paling terbaik ialah
dengan memberi nasihat yang pendekatannya adalah “mendidik jiwa dengan jiwa atau alhal bilhal.”
Seperti yang tertera dalam kitab karangannya “ ayyuha al-walad”.
Ini adalah antara contoh mengaplikasi teknik mendidik anak-anak di peringkat awal umur berasaskan
kurikulum integratif menampakkan kesepaduan antara pandangan sarjana barat dan ilmuan Islam dalam
menilai dan menyelesaikan masalah menanangani sesuatu perkara yang berlaku dalam kehidupan
seorang kanak-kanak. Pendekatan integratif juga memberi pengertian kesinambungan antara teori dan
praktik, pembuktian antara kepercayaan dan amalan juga kesepaduan antara amanah yang dijulang
dengan perlaksanaan yang perlu dibuktikan.
http://nabimuhammad.info/2010/06/nasehat-imam-ghazali/
Oleh karena itu, sebelum menuntut ilmu, Imam al-Ghazali mengarahkan agar para pelajar
membersihkan jiwanya dari akhlak tercela. Sebab ilmu merupakan ibadah kalbu dan salah satu
bentuk pendekatan batin kepada Allah. Sebagaimana shalat itu tidak sah kecuali dengan
membersihkan diri dari hadas dan kotoran, demikian juga ibadah batin dan pembangunan kalbu
dengan ilmu, akan selalu gagal jika berbagai perilaku buruk dan akhlak tercela tidak dibersihkan.
Sebab kalbu yang sehat akan menjamin keselamatan manusia, sedangkan kalbu yang sakit akan
menjerumuskannya pada kehancuran yang abadi. Penyakit kalbu diawali dengan ketidaktahuan
tentang Sang Khalik (al-jahlu billah), dan bertambah parah dengan mengikuti hawa nafsu.
Sedangkan kalbu yang sehat diawali dengan mengenal Allah (ma’rifatullah), dan vitaminnya
adalah mengendalikan nafsu. (lihat al-munqidz min al-dhalal)
Sebagai amalan ibadah, maka mencari ilmu harus didasari niat yang benar dan ditujukan untuk
memperoleh manfaat di akherat. Sebab niat yang salah akan menyeret kedalam neraka,
Rasulullah saw., bersabda: “Janganlah kamu mempelajari ilmu untuk tujuan berkompetisi dan
menyaingi ulama, mengolok-olok orang yang bodoh dan mendapatkan simpati manusia. Barang
siapa berbuat demikian, sungguh mereka kelak berada di neraka. (HR. Ibnu Majah)
Diawali dengan niat yang benar, maka bertambahlah kualitas hidayah Allah pada diri para
ilmuwan. “Barang siapa bertambah ilmunya, tapi tidak bertambah hidayahnya, niscaya ia hanya
semakin jauh dari Allah”, demikian nasehat kaum bijak. Maka saat ditanya tentang fenomena
kaum intelektual dan fuqaha yang berakhlak buruk, Imam al-Ghazali berkata: “Jika Anda
mengenal tingkatan ilmu dan mengetahui hakekat ilmu akherat, niscaya Anda akan paham
bahwa yang sebenarnya menyebabkan ulama menyibukkan diri dengan ilmu itu bukan semata-
mata karena mereka butuh ilmu itu, tapi karena mereka membutuhkannya sebagai sarana
mendekatkan diri kepada Allah”. Selanjutnya beliau menjelaskan makna nasehat kaum bijak
pandai bahwa ‘kami mempelajari ilmu bukan karena Allah, maka ilmu itu pun enggan kecuali
harus diniatkan untuk Allah’, berarti bahwa “Ilmu itu tidak mau membuka hakekat dirinya pada
kami, namun yang sampai kepada kami hanyalah lafaz-lafaznya dan definisinya”. (Ihya’
‘Ulumiddin)
Ringkasnya, Imam al-Ghazali menekankan bahwa ilmu saja tanpa amal adalah junun (gila) dan
amal saja tanpa ilmu adalah takabbur (sombong). Junun berarti berjuang berdasarkan tujuan yang
salah. Sedangkan takabbur berarti tanpa memperdulikan aturan dan kaedahnya, meskipun
tujuannya benar. Maka dalam pendidikan Islam, keimanan harus ditanamkan dengan ilmu; ilmu
harus berdimensi iman; dan amal mesti berdasarkan ilmu. Inilah sejatinya konsep integritas
pendidikan dalam Islam yang berbasis ta’dib. Ta’dib berarti proses pembentukan adab pada diri
peserta didik. Maka dengan konsep pendidikan seperti ini, akan menghasilkan pelajar yang
beradab, baik pada dirinya sendiri, lingkungannya, gurunya maupun pada Penciptanya. Sehingga
terjadi korelasi antara aktivitas pendidikan, orientasi dan tujuannya.
Kalau menurut Imam Al-Ghazali pula, hati anak-anak itu bersih. Mudah
menerima apa sahaja. Menjadi tanggungjawab ibubapa untuk mencorakkan
anak-anak ini. Seandainya anak-anak ini membesar dengan baik dan menjadi
insan yang baik dari semua aspek, ibubapa akan mendapat pahala dari Allah.
Begitu juga sebaliknya. Jika anak-anak membesar menjadi insan yang buruk
akhlaknya hasil didikan ibu bapa, dosa itu tertanggung ke atas ibubapa.
3. Kanak-kanak adalah individu yang unik dan berbeza antara satu sama
lain.
&a mp;n bsp;
4. Rangsangan neurologi dan deria melalui penglibatan yang aktif dalam setiap
aktiviti.
5. Memberi kebebasan dan ruang kepada kanak-kanak bagi mengenal pasti apa
yang mereka mahu dan mampu lakukan.
8. Keperihatinan terhadap persekitaran dan penyediaan pemakanan yang sihat dan
bersih.
Imam Al Ghazali begitu menekankan peri pentingnya ibubapa dan pendidik perlu
menjadi role model atau ikutan yang baik kerana sikap atau tingkahlaku yang
ditunjukkan oleh ibubapa sebenarnya adalah kurikulum dalam pendidikan seorang
kanak-kanak. Bersesuaian dengan sifat semulajadi kanak-kanak yang suka meniru
perilaku atau apa sahaja yang ada di hadapannya, dan seperti yang ditegaskan oleh
Imam Al Ghazali, kanak-kanak belajar melaui pemerhatian yang jika dibiarkan ia akan
menjadi kebiasaan atau I’tiyad dan sukarlah untuk dibentuk. Dalam menangani
masalah ini ibubapa atau pendidik di beri pilihan antara memberi pengukuhan dan
ganjaran baik atau hukuman. Jalan yang paling terbaik ialah dengan memberi nasihat
yang pendekatannya adalah “mendidik jiwa dengan jiwa atau alhal bilhal.â€
Seperti yang tertera dalam kitab karangannya “ ayyuha al-walad†.
Ini adalah antara contoh mengaplikasi teknik mendidik anak-anak di peringkat awal
umur berasaskan kurikulum integratif menampakkan kesepaduan antara pandangan
sarjana barat dan ilmuan Islam dalam menilai dan menyelesaikan masalah
menanangani sesuatu perkara yang berlaku dalam kehidupan seorang kanak-kanak.
Pendekatan integratif juga memberi pengertian kesinambungan antara teori dan
praktik, pembuktian antara kepercayaan dan amalan juga kesepaduan antara amanah
yang dijulang dengan perlaksanaan yang perlu dibuktikan.
Hakikatnya, dalam Islam telah nyata dan terserlah segala teorinya namun dari segi
aplikasi, selalunya sarjana barat akan cuba melaksanakan dengan mencubanya melalui
kajian-kajian ilmiah dan melakukan eksperimen yang lebih mendalam lalu setelah yakin
dengan kesannya yang efektif lalu mereka mendabik dada mengatakan inilah teori baru
dan yang untungnya kerana mereka mengamalkannya.! Realitinya, inilah punca
kemunduran umat Islam dalam dunia globalisasi. Tidak ada yang kurang dan tidak ada
cacat celanya agama Islam, tetapi sikap umatnya yang perlu diubah.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah nasib sesuatu kaum sehingga mereka
sendiri mengubahnya...†Sungguh benarlah firman Allah!
KesimpulanSebagai kesimpulan dari kertaskerja ini, saya ingin membawa perhatian
para hadirin budiman. Perkataan kanak-kanak dalam bahasa arabnya disebut sebagai
al-tifl ( ١لطÙÙ„ ) yang berasal dari perkataan tafula ( Ø·ÙÙ„ ) yang
membawa maksud sesuatu yang lembut, mudah rosak dan sensitif. Di sebalik maksud
tersebut ia memberi pengertian bahawa seseorang kanak-kanak itu perlu dijaga, diasuh
dan dididik dengan rapi, teliti dan sempurna memandangkan sifat semulajadinya yang
mudah terdedah kepada bahaya persekitaran bukan sahaja dibimbangi kerosakan yang
akan menimpa fizikal dan tubuh badan malah aspek-aspek yang lain juga amat perlu
diberikan perhatian.
Dalam memperkatakan mengenai kebaikan yang diamalkan oleh barat, kita sering
melihat atau memang sedar masyarakat barat kebiasaannya menggunakan pendektan
berhemah dalam membentuk perilaku dan mendisiplinkan anak-anak. Ia seperti sudah
menjadi budaya mereka, membelai, memeluk dan mencium anak-anak. Walhal begitu
banyak hadis dan saranan ulama’ yang menyebut tentang peri pentingnya mendidik
anak dengan kesabaran dan kelembutan. Namun realiti yang berlaku dalam masyarakat
Islam hari ini, menghukum anak yang melakukan kesalahan selalunya dengan emosi
dan jauh sekali dari mendidik.
Ini lah juga antara tajdid yang perlu dilakukan oleh umat Islam dalam mendidik anak-
anak. Kembali dan rujuklah amalan Rasulullah s.a.w, para sahabat dan cendidkiawan
Islam dalam membentuk dan mendidik generasi. Pendidikan anak-anak di peringkat
awal usia yang berlandaskan pendekatan integratif seperti yang disarankan perlu
dilaksanakan. Di dalam kitabnya Al Muqaddimah, Ibnu Khaldun mengingatkan para
pendidik melalui seruannya: “…Sesungguhnya kekerasan dalam mendidik
memberikan kesan yang buruk kepada orang yang dididik lebih-lebih lagi bagi kanak-
kanak.Barangsiapa yang ditarbiah dengan cara kekerasan dan paksaan, maka akan
sempitlah pemikiran dan jiwanya lalu jadilah anak itu hilang kecerdasannya, malas,
terbawa-bawa kepada berbohong dan berkelakuan jahat…â€
http://www.wirajiwa.bumicyber.com/index.php?
option=com_content&view=article&id=81:biodata-imam-al-ghazali-&catid=8:tokoh-
tokoh-islam&Itemid=20
Imam Al Ghazali, sebuah nama yang tidak asing di telinga kaum muslimin. Tokoh terkemuka
dalam kancah filsafat dan tasawuf. Memiliki pengaruh dan pemikiran yang telah menyebar ke
seantero dunia Islam. Ironisnya sejarah dan perjalanan hidupnya masih terasa asing. Kebanyakan
kaum muslimin belum mengerti. Berikut adalah sebagian sisi kehidupannya. Sehingga setiap
kaum muslimin yang mengikutinya, hendaknya mengambil hikmah dari sejarah hidup beliau.
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath Thusi, Abu Hamid
Al Ghazali (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323 dan As Subki, Thabaqat Asy
Syafi’iyah 6/191). Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam Al Ghazali.
Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah Ghazalah di Thusi,
tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al Mishbah Al Munir. Penisbatan
pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali. Yaitu Majdudin Muhammad bin
Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin
Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al Ghazali yang mengatakan, bahwa telah
salah orang yang menyandarkan nama kakek kami tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan keahlian
keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian pendapat
Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah yang benar.”
Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan berkata, “Saya telah
bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan mereka mengingkari
keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah penyandaran nama kepada Ghazalah
anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al Khafaji.
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir dengan
tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan kakeknya (Diringkas
dari penjelasan pentahqiq kitab Thabaqat Asy Syafi’iyah dalam catatan kakinya 6/192-192).
Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang bernama Ahmad (Lihat
Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/326 dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193 dan
194).
Kehidupan dan Perjalanannya Menuntut Ilmu
Ayah beliau adalah seorang pengrajin kain shuf (yang dibuat dari kulit domba) dan menjualnya
di kota Thusi. Menjelang wafat dia mewasiatkan pemeliharaan kedua anaknya kepada temannya
dari kalangan orang yang baik. Dia berpesan, “Sungguh saya menyesal tidak belajar khat (tulis
menulis Arab) dan saya ingin memperbaiki apa yang telah saya alami pada kedua anak saya ini.
Maka saya mohon engkau mengajarinya, dan harta yang saya tinggalkan boleh dihabiskan untuk
keduanya.”
Setelah meninggal, maka temannya tersebut mengajari keduanya ilmu, hingga habislah harta
peninggalan yang sedikit tersebut. Kemudian dia meminta maaf tidak dapat melanjutkan wasiat
orang tuanya dengan harta benda yang dimilikinya. Dia berkata, “Ketahuilah oleh kalian berdua,
saya telah membelanjakan untuk kalian dari harta kalian. Saya seorang fakir dan miskin yang
tidak memiliki harta. Saya menganjurkan kalian berdua untuk masuk ke madrasah seolah-olah
sebagai penuntut ilmu. Sehingga memperoleh makanan yang dapat membantu kalian berdua.”
Lalu keduanya melaksanakan anjuran tersebut. Inilah yang menjadi sebab kebahagiaan dan
ketinggian mereka. Demikianlah diceritakan oleh Al Ghazali, hingga beliau berkata, “Kami
menuntut ilmu bukan karena Allah ta’ala , akan tetapi ilmu enggan kecuali hanya karena Allah
ta’ala.” (Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/193-194).
Beliau pun bercerita, bahwa ayahnya seorang fakir yang shalih. Tidak memakan kecuali hasil
pekerjaannya dari kerajinan membuat pakaian kulit. Beliau berkeliling mengujungi ahli fikih dan
bermajelis dengan mereka, serta memberikan nafkah semampunya. Apabila mendengar
perkataan mereka (ahli fikih), beliau menangis dan berdoa memohon diberi anak yang faqih.
Apabila hadir di majelis ceramah nasihat, beliau menangis dan memohon kepada Allah ta’ala
untuk diberikan anak yang ahli dalam ceramah nasihat.
Kiranya Allah mengabulkan kedua doa beliau tersebut. Imam Al Ghazali menjadi seorang yang
faqih dan saudaranya (Ahmad) menjadi seorang yang ahli dalam memberi ceramah nasihat
(Dinukil dari Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/194).
Imam Al Ghazali memulai belajar di kala masih kecil. Mempelajari fikih dari Syaikh Ahmad bin
Muhammad Ar Radzakani di kota Thusi. Kemudian berangkat ke Jurjan untuk mengambil ilmu
dari Imam Abu Nashr Al Isma’ili dan menulis buku At Ta’liqat. Kemudian pulang ke Thusi
(Lihat kisah selengkapnya dalam Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/195).
Beliau mendatangi kota Naisabur dan berguru kepada Imam Haramain Al Juwaini dengan penuh
kesungguhan. Sehingga berhasil menguasai dengan sangat baik fikih mazhab Syafi’i dan fikih
khilaf, ilmu perdebatan, ushul, manthiq, hikmah dan filsafat. Beliau pun memahami perkataan
para ahli ilmu tersebut dan membantah orang yang menyelisihinya. Menyusun tulisan yang
membuat kagum guru beliau, yaitu Al Juwaini (Lihat Adz Dzahabi, Siyar A’lam Nubala’ 19/323
dan As Subki, Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/191).
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang berisi celaan
terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat. Akan tetapi
beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya saja kehebatan
beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits Nabi yang dapat
menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush Shafa dan kitab-kitab Ibnu
Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya
sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish
Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata, “Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di dalamnya
terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan hadits-hadits
palsu.” (Majmu’ Fatawa 6/54).
Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih, tasawuf dan
ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu kebenaran. Akibatnya beliau
menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan membedah karya-karya Ibnu Sina
dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan terhadapnya. Membuat beliau semakin
jauh dari ajaran Islam yang hakiki.
Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela filsafat, yaitu kitab
At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam beberapa hal menyetujuinya,
dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama. Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang
atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam
yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa.
Kitab ini merupakan penyakit berbahaya dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid
bukan seorang yang jenius dan orang yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siyar A’lam
Nubala 19/328).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat. Menampakkannya
dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh karena itu para ulama
muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu Bakar Ibnul Arabi
mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian ingin keluar dan tidak
mampu.” (Majmu’ Fatawa 4/164).
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari. Kemudian menziarahi
Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di menara barat masjid Jami’
Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr bin Ibrahim Al Maqdisi di
masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah). Tinggal di sana dan menulis kitab
Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan kitab Mahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan
mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam sekitar 10 tahun.
Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid Jami’ Al Umawi.
Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin Ubaidilah Al Hafshi.”
(Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam (Nidzam Mulk)
mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun 484 H. Beliau
tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud, berhaji dan tinggal
menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul Maqdis, lalu ke Mesir dan
tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke Thusi.” (Dinukil oleh Adz Dzahabi
dalam Siyar A’lam Nubala 6/34).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir dan diminta
tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar di madrasah An
Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya dengan menekuni ilmu
dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu madrasah di samping rumahnya
dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa waktunya dengan mengkhatam Al
Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para penuntut ilmu dan melakukan shalat dan
puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia.
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan berkumpul dengan
ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau tekun menuntut ilmu
hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain (Shahih Bukhari dan Muslim).
Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat menguasai semuanya dalam waktu singkat.
Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang
putri.”
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats Tsabat Indal
Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku Abu Hamid
berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau mengambil dan
menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya patuh dan taat untuk
menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan menghadap kiblat. Beliau
meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari). (Dinukil oleh Adz Dzahabi dalam
Siyar A’lam Nubala 6/34). Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir
tahun 505 H dan dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Thabaqat Asy Syafi’iyah 6/201).
http://staihascikarang.ac.id/artikel/artikel-dosen/107-membumikan-konsep-
pendidikan-imam-ghazali.html
Nama lengkap Imam Ghazali adalah Abu Hamid Muhammad bin Muhammad bin Ahmad al-
Hazali [iv] Dilahirkan di Ghazalah di daerah Thus, di Kota Khurain di Persi atau sekarang
disebut dengan negara Iran, pada tahun 450 H bertepatan dengan 1058 M.
Imam Ghazali hidup dalam keluarga yang sederhana, namun ketaatannya kepada Allah swt.
sangat tinggi. Ayahnya meninggal dunia semasa beliau masik kecil dan Ghazali kecil dibesarkan
oleh seorang ahli sufi. Semasa kecilnya, beliau senang membaca dan belajar kepada guru-guru
Ketka beliau berumur 21 tahun, beliau pergi ke Naisabur dengan tujuan melanjutkan pendidikan
yang lebih tinggi, sampai beliau berhasil menguasai beberapa disiplin ilmu dan sebagai pendidik
atau dosen di Universitas tersebut. Karena belum ada kepuasan dalam diri Imam Ghazali,
akhirnya beliau memutuskan untuk berangkat ke kota lain dengan tujuan belajar. Sesampainya di
kota Mu’ashar, beliau banyak mengunjungi para ahli ilmu, terutama para mutakallimin (ahli
untuk bergabung di Universitas Nidzamiyyah sebagai dosen. Di tempat ini beliau menjadi guru
besar dan diangkat menjadi rector. Di sinilah beliau banyak menyumbangkan karya-karya
selalu ingin mencari ilmu dan ilmu, yang pada akhirnya beliau memutuskan untuk meninggalkan
Bagdad menuju Mekkah. Di kota Mekkah, yang kehidupan masyarakatnya masih sangat
sederhana, beliau memulai hidup baru dengan berkontemplasi dan merenung, sampai beliau
sempat berdiam diri di suatu masjid untuk beberapa hari tanpa bicara, tanpa bersosialasi dengan
masyarakat, sampai pada saatnya beliau mendapatkan puncak kenikmatan yang ditunggu-tunggu
sejak lama.
Inilah propil kehidupan akhir Imam Ghazali yang senantiasa ber kontemplasi. Sebelum
menghembhuskan napas terakhir, beliau sempat mengajar di Universitas Nidham al-Mulk atas
permintaan seorang Raja. Selang beberapa tahun mengabdi di sana, Sang Pencipta Alam
menginginkan hambanya untuk kembali menghadap Nya. Imam Ghazali meninggal pada tahun
505 H. atau 1111 M. di usia yang ke 53 tahun di daerah Thus sebagai tempat kelahirannya.
Dari keterangan riwayat hidup dan perjalanan pendidikan Imam Ghazali, maka dapat diketahui
dengan jelas bahwa beliau tergolong ulama yang taat dan patuh kepada Allah swt. dengan
menjalankan agama secara mendalam, sehingga beliau termasuk dalam katagori ulama sufi.
Walau demikian beliau adalah sosok ulama yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap
dunia pendidikan, hal ini lebih disebabkan karena beliau adalah sosok orang yang banyak
Secara umum Imam Ghazali pernah berkomentar tentang sistim pendidikan yang baik.
Pendidikan yang baik dan benar adalah bertujuan sebagai sarana untuk mendekatkan diri kepada
Allah swt. Pendidikan juga dapat mengantarkan manusia untuk menggapai kebahagian di dunia
dan kebahagian di akhirat kelak. Pendidikan juga sebagai sarana untuk menebar keutamaan.
Maka untuk mencapai hal itu penidikan harus memperhatikan beberapa factor yang cukup
urgens. Al-Gazali berpandangan bahwa dunia pendidikan harus menempatkan ilmu pengetahuan
pada posisi yang sangat terhormat. Konsekwensi atas penghormatan terhadap ilmu adalah
penghormatan terhadap guru. Al-Ghazali meletakan guru sebagai tokoh sentral yang dapat
dijadikan referensi. Oleh karena itu guru dalam perspektif al-Ghazali adalah pribadi yang
Adapun konsep pendidikan menurut pandangan Imam Ghazali yang akan dipaparkan dalam
tulisan ini meliputi: Kurikulum, pendidik atau guru dan tujuan pendidikan.
3.1. Kurikulum
Imam Ghazali pernah berkomentar tentang konsep kurikulum pendidikan, bahwa mata pelajaran
yang harus di sampaikan kepada anak didik didasarkan kepada dua pendekatan, antara lain:
a. Pendekatan Agama. Menurut Imam Ghazali bahwa mata pelajaran yang utama dan harus
terdapat dalam kurikulum pendidikan adalah ilmu Agama. Seperti al-Qur’an dan al-Hadits,
b. Pendekatan Pragmatis. Maksud dari pendekatan di sini adalah bahwa setiap ilmu yang
memiliki dampak positif, baik kepada peserta didik maupun kepada masyarakat, maka
pelajaran tersebut harus ada dalam kurikulum pendidikan, seperti ilmu kedoteran, ilmu
terbagi kepada dua macam yaitu: pertama. Disiplin ilmu yang harus dikuasai oleh setiap individu
ummat Islam. Ilmu inilah yang masuk dalam katagori fardhu ‘Ain.. Karenanya tidak ada pilihan
lain kecuali disiplin ilmu ini harus dimasukan kedalam kurikulum pendidikan. Kedua. Disiplin
ilmu yang tidak menuntut kepada setiap individu untuk menguasainya, tetapi cukup diwakili oleh
beberapa ummat Islam saja. Disiplin ilmu inilah yang disebut dengan istilah fardhu kifayah.
Karenanya jika ada sebagian ummat Islam telah memilikinya maka sudah terwakili.
Dalam kesempatan lain Imam Ghazali pernah menawarkan konsep kurikulum yang
dikaitkan kepada ilmu pengetahuan. Dalam pandangan beliau bahwa ilmu terbagi kepada tiga
1. Ilmu yang terkutuk, yaitu ilmu-ilmu yang tidak ada manfa’atnya, baik di dunia maupun di
akhirat, seperti ilmu sihir, ilmu nujum dan ilmu ramalan. Menurut pandangan Imam Ghazali
bahwa ilmu-ilmu tersebut adalah tercela dan sesat, karena dapat mendatangkan ke
2. Ilmu yang terpuji, yaitu ilmu yang erat kaitannya dengan per ibadahan dan segala macamnya,
seperti ilmu kebersihan atau bersuci, ilmu yang mendatangkan kemaslahatan bagi pemiliknya
3. Ilmu yang terpuji dalam kadar tertentu, namun tercela jika dipelajari secara mendalam.
Karena jika dipelajari secara mendalam maka akan menyebabkan kekacawan, kemadharatan
adalah ilmu agama dan semua ilmu yang berhubungan dengannya. Karenanya ilmu Agama harus
Guru merupakan pasilitator bahkan sebagai pen-trasper ilmu. Tanpa ada guru maka suatu hal
yang mustahil anak didik mendapatkan ilmu pengetahuan. Karena itu guru merupakan hal yang
sangat penting dalam proses pendidikan, kegagalan guru berarti pula kegagalan murid dan
kegagalan pendidikan pula. Karena esensi guru adalah sebagai orang yang memiliki segudang
ilmu, sangat menentukan keberhasilan pendidikan, maka Allah swt. Memberikan penghargaan
yang ter amat tinggi kepada pemilik ilmu, yaitu dengan mengangkat derajatnya. Hal ini
sebagaimana telah termaktub dalam nash al-Qur’an al-Karim. “ Allah swt. Akan mengangkat
Ghazali pernah memaparkan beberapa kriteria guru yang baik. Secara umum kriteria guru yang
baik dan benar adalah guru yang cerdas dan sempurna akalnya, juga guru yang baik akhlaknya
dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan
secara mendalam, dan dengan akhlaknya yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan bagi
para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan
mengarahkan anak didiknya.[viii] Sedangkan kriteria khusus yang harus dimiliki oleh seorang
1. Seorang guru harus memiliki sifat kasih saying yang tinggi terhadap anak didik.
2. Seorang guru tidak bolehmenuntut upah atas jerih payahnya dalam mengajar dan mendidik
muridnya.
3. Seorang guru harus berfungsi juga sebagai penyuluh yang jujur dan benar dihadapan murid-
muridnya.
4. Seorang guru mengunakan cara yang simpatik, halus dan tidak menggunakan kekerasa, cacian
5. Seorang guru harus berani tampil sebagai panutan atau teladan yang baik dihadapan murid-
muridnya. Seorang guru harus mengetahui tingkat kecerdasan murid, juga harus mengetahui
Disamping beberapa kriteria di atas, didalam kitab Ihya ‘Ulumuddin, Imam Ghazali memberikan
tempat terhormat bagi guru dan sangat mulya dihadapan manusia dan disisi Allah swt. Hal ini
Jika dilihat dari pandangan Imam Ghazali tentang tujuan pendidikan, maka dapat dikatakan
bahwa tujuan utama pendidikan adalah sesuai dengan tujuan Allah swt. ketika menciptakan
manusia di dunia pana ini yaitu untuk beribadah kepada Nya, sebagaimana firman Allah swt.
“Allah swt. Menciptakan manusia dengan tujuan untuk ber ibadah kepada Nya”. Dengan kata
Sebagai seorang ilmuan, seorang yang senantiasa merindukan ilmu pengetahuan, seorang yang
tidak merasa puas akan ilmu yang dimiliki, sehingga senantiasa mencari bahkan bertualangan
keberbagai daerah demi meraih ilmu. Imam Ghazali tentu banyak tulisan dan karya-karya
ilmiyahnya, baik dibidang ilmu hukum Islam atau Fiqh, ilmu falsafat, ilmu tasawuf dan termasuk
didalamnya ilmu pendidikan. Hal ini menunjukan dan sebagai bukti bahwa beliau adalah seorang
ilmuan besar, seorang intelektual multidimensi yang dapat menguasai hampir semua aspek ke
agamaan, sehingga tidak aneh jika banyak para ulama memberi gelar kepadanya dengan sebutan
‘Hujjatul Islam’.[xv]
Adapun karya-karya ilmiah beliau yang telah dikodifikasi dan masyhur antara lain: 1. Al-Basith
al-Qistash al-Mustaqim 8. Misykah al-Anwar 9. Risalah al-Thair 10. Ihya ‘Ulumuddin 11.
Al-Adab fi al-Din 12. Al-Risalah al-Ladunniyah 13. Ayyuhal Walad.[xvi] Masih banyak lagi
karya-karya Imam Ghazali lainnya yang tidak mungkin dipaparkan dalam tulisan kecil ini. Ada
yang mengatakan bahwa karya-karya Imam Ghazali mencapai 400 buku lebih besar dan kecil,
sampai-sampai pemikiran beliau tidak hanya berpengaruh dikalangan Islam saja, tetapi juga
dikalangan Agama Yahudi dan Kristen. Titisan al-Ghazali dalam pemikiran Yahudi tampil
dalam pribadi filosof Yahudi besar yaitu Musa B. Maymun (Moses the Maimonides).[xvii]
http://books.google.com.my/books?
id=PBrJKHMkPgUC&pg=PA98&lpg=PA98&dq=IMAM+GHAZALI+MENDIDIK+ANAK&source=bl&ots=5DC7r
rAOh8&sig=DlJaNGm5cPSc25zG7Cm-
df8X3pY&hl=en&ei=GbPLTMbnDISXca2G6LkO&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=10&ved=0CEg
Q6AEwCTgy#v=onepage&q=IMAM%20GHAZALI%20MENDIDIK%20ANAK&f=false
IBNU KHALDUN
http://ilmu-kalam.blogspot.com/2006/06/tokoh-tokoh-islam.html
RUMUSAN
1. Ibnu Khaldun merupakan tokoh falsafah yang terkenal, beliau juga menguasai pelbagai ilmu
pengetahuan.
2. Ibnu Khaldun telah melakukan perubahan dalam bidang ilmu seperti ilmu sejarah dan persejarahan,
sosiologi, politik dan psikologi pendidikan.
3. Ibnu Khaldun berjaya mentafsirkan sejarah dari pelbagai aspek seperti agama, politik, ekonomi dan
social.
4. Ibnu Khaldun dianggap sebagai pelopor kepada pemikiran-pemikiran moden terutama dalam bidang
sejarah, politik, ekonomi, sosialogi dan pendidikan.
5. Setiap pelajar hendaklah yakin dengan kebolehan diri dan berdikari untuk mencapai matlamat hidup.
http://tanbihun.com/pendidikan/metode-pendidikan-dalam-pandangan-tiga-ilmuwan-islam/
Al-Barjis, ‘A. M. (1980) al-tawjih al-islami li- nash ‘ fil-falsafah al-Ghazali, Cairo, Dar-al-
andalus.
Ibnu Khaldun dikenal sebagai seorang sejarawan terkemuka. Lewat Kitab Almuqadimmah yang
ditulisnya, Ibnu Khaldun menjadi salah seorang intelektual Muslim legendaris sepanjang masa.
Selain berkontribusi pada bidang sejarah, politik dan ekonomi, Ibnu Khaldun pun mencurahkan
pikirannya dalam bidang pendidikan.
Pemikirannya dalam bidang pendidikan bermula dari presentasi ensiklopedia ilmu
pengetahuannya. Hal ini merupakan jalan untuk membuka teori tentang pengetahuan dan
presentasi umum mengenai sejarah sosial dan epitomologi berdasarkan perkembangan ilmu
pengetahuan.
Menurut Ibnu Khaldun, ilmu pengetahuan mengelompokkan ilmu pengetahuan menjadi dua
macam, yakni; pengetahuan rasional dan pengetahuan tradisional. Pengetahuan rasional adalah
pengetahuan yang diperoleh dari kebaikan yang berasal dari pemikiran yang alami.
Menurut dia, ketika seorang anak baru dilahirkan, maka sang bayi belum memiliki ilmu. ”Bayi
itu seumpama sebuah bahan mentah yang harus diberi isi yang baik supaya menjadi orang
dewasa yang berguna kelak,” tutur Ibnu Khaldun.
Ibnu Khaldun mengungkapkan, setiap orang mendapatkan ilmu pengetahuan melalui organ-
organ tubuh yang diberikan oleh Tuhan. ”Kita belajar menggunakan mata, telinga, mulut, kaki,
dan tangan. Semua organ tubuh itu mendukung kita dalam proses pembelajaran demi mendapat
ilmu pengetahuan,” ungkapnya.
Ibnu Khaldun juga membagi ilmu pengetahuan berdasarkan tingkat pemikiran yaitu:
Pengetahuan praktis yang merupakan hasil dari memahami intelijen. Sehingga membuat kita
mampu melakukan apapun di dunia dalam sebuah tatanan.
Pengetahuan tentang apa yang harus kita lakukan dan apa yang harus tidak kita lakukan. Hal ini
berkaitan dengan apa yang baik dan apa yang buruk. Nilai-nilai tentang kebaikan dan keburukan
bisa diperoleh dari intelijen empirik dan dapat diterapkan untuk menuntun kita saat berhubungan
dengan orang lain.
Menurut dia, mengajarkan ilmu pengetahuan itu sangat penting, karena ilmu pengetahuan akan
lebih mudah diperoleh manusia dengan bantuan dan ajaran gurunya.
Al Ghazali memberi perhatian yang sangat besar untuk menempatkan pemikiran Islam dalam
pendidikan. Menurutnya, seluruh metode pendidikan harus berpegang teguh pada syariat Islam.
Menurutnya, tujuan manusia adalah mencapai kebahagian dengan mendekatkan diri kepada
Tuhan. Dengan kata lain, berbagai macam tujuan manusia untuk mendapatkan kekayaan,
kekuasaan sosial, ilmu pengetahuan, hanyalah sebuah ilusi jika semua itu hanya berhubungan
dan ditujukan untuk pencapaian dunia fana.
Menurut dia, bayi lahir dalam keadaan jernih, lalu tumbuh menjadi anak-anak yang
membutuhkan kepribadian, karakter, dan tingkah laku saat hidup dan berinteraksi dengan
lingkungan. Keluarga mengajarkan anak-anak tentang bahasa, adat-istiadat, tradisi agama, dan
semua pengaruh dari ajaran tersebut tidak mungkin lenyap hingga mereka dewasa.
Oleh karena itu, yang paling bertanggung jawab terhadap buruk atau baiknya pendidikan seorang
anak adalah orangtua mereka. Orang tua merupakan mitra dalam mendidik anak-anak dan
mereka harus membaginya dengan para guru anak-anak tersebut.
Oleh karena itu, anak-anak harus belajar di sekolah dasar sehingga pengetahuan yang diperoleh
sejak masih kecil akan melekat kuat bagai ukiran di atas batu. Selain itu, anak-anak juga harus
diyakinkan bahwa mereka harus selalu mengembangkan ilmu pengetahuan yang diperolehnya.
Anak-anak terus berkembang, pada usia remaja mereka akan merasa tertarik dengan lawan jenis,
lalu pada usia 20 tahun, mereka merindukan menjadi pemimpin, dan pada usia 40 tahun orang
membutuhkan kedekatan dan kesenangan terhadap pengetahuan akan Tuhannya.
Pada masa anak-anak, orang tua harus mengajari mereka ilmu Alquran dan hadis. Selain itu,
mereka harus dijaga dari puisi-puisi cinta. Sebab hal itu, kata dia, bisa menjadi bibit yang buruk
bagi jiwa seorang anak laki-laki.
Mereka juga harus diajari mematuhi nasehat orang tua, gurun, serta orang-orang yang lebih tua.
Selain itu mereka juga harus diajarkan menjadi orang yang jujur, sederhana, dermawan, dan
beradab. Selain itu, anak-anak sebaiknya memiliki teman yang bermoral baik, berkarakter baik,
pandai, serta jujur. republika-online/dya/taq
Banyak faktor yang menjadi pemicu kedurhakaan seorang anak kepada orangtua. Namun jika
kita telaah dengan baik, faktor utamanya adalah kesalahan orangtua dalam mendidik anak.
Kesalahan tersebut bisa berupa kesalahan dalam menerapkan cara yang digunakan; seperti terlalu
banyak aturan atau sikap orangtua yang terlalu keras dan kasar terhadap anak.
Sikap lemah lembut dan kasih sayang adalah modal utama dan kunci keberhasilan orangtua
dalam mendidik anak. Inilah cara yang diajarkan Allah SWT kepada Rasulullah SAW dalam
mendidik umatnya. Allah berfirman:
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka.
Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari
sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka, mohonkanlah ampun bagi mereka, dan
bermusyawaratlah dengan mereka dalam urusan itu. Kemudian apabila kamu telah
membulatkan tekad, maka bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-
orang yang bertawakal kepada-Nya.” (Ali Imran: 159).
…Sikap lemah lembut dan kasih sayang adalah modal utama dan kunci keberhasilan orangtua
dalam mendidik anak…
Dalam sebuah riwayat disebutkan bahwa Rasulullah bersabda, “Kelembutan adalah hiasan bagi
segala sesuatu.” (HR. Muslim, bab Al-Birru).
Dari Ibnu Umar disebutkan bahwa Rasulullah bersabda, “Sikap lemah-lembut dalam kehidupan
berumahtangga pasti menghasilkan manfaat bagi penghuninya.” (Shahih Al-Jami’/1455)
Sikap lemah lembut dalam mendidik anak merupakan faktor yang sangat mendukung
keberhasilan pendidikan anak. Orangtua selayaknya memahami bahwa anaknya bukanlah
malaikat yang tidak pernah berbuat salah, dan bukan pula setan yang tidak memiliki sisi
kebaikan.
Dalam bukunya Nasha`ih li Al-Abaa` Qabla ‘Uquq Al-Abnaa`, Prof. Sa’ad Karim menjelaskan,
ketika seorang anak melakukan kesalahan, tidak selayaknya orangtua langsung memberikan
hukuman yang bert. Yang harus dilakukan oleh orangtua adalah memberikan nasehat dan
petunjuk, menjelaskan kesalahan sang anak dengan cara yang bijak, sambil memberikan
keterangan tentang perilaku dan sikap yang benar. Setelah itu, memberikan bimbingan dan
arahan.
Marwan bin Abi Hafshah, dalam salah satu bait syairnya pernah menyatakan:
Salah seorang ulama yang merupakan pakar sosiologi, Ibnu Khaldun, pernah mengingatkan
bahaya sikap keras dan kasar dalam pendidikan. Dia menjelaskan bahwa pendidikan yang
didasari oleh sikap kasar dan keras seringkali menghasilkan manusia-manusia suka berbohong,
munafik, dan memiliki kepribadian rapuh.
…Ibnu Khaldun mengingatkan bahaya sikap keras dan kasar dalam pendidikan, yang seringkali
menghasilkan manusia-manusia suka berbohong, munafik, dan memiliki kepribadian rapuh…
Ibnu Khaldun melanjutkan, jika seorang guru atau pembimbing bersikap kasar dan keras, sikap
yang demikian seringkali mendorong anak didik menjadi pembohong dan suka memperlihatkan
sesuatu yang berbeda dengan apa yang tersimpan. Hal itu dilakukan anak didik karena rasa takut
terhadap sikap kasar dan keras sang pembimbing. Jika dia telah mengetahui cara melepaskan diri
dari hukuman (baik dengan berbohong atau perilaku negatif lainnya), maka lama kelamaan sikap
yang demikian akan menjadi kebiasaannya.
Dengan demikian, rusaklah potensi nilai-nilai kebaikan yang ada dalam dirinya. Jika telah
demikian, dia akan menyandarkan segala kebaikan atas usaha orang lain dan hilanglah jiwa
kemandirian dalam dirinya. Akhirnya, sang anak tumbuh menjadi manusia yang malas dan tidak
bersemangat dalam melakukan kebaikan.
Mengomentari hal yang sama, Prof. Jamal Al-Kasyif menyatakan, “Seorang anak yang tumbuh
dalam situasi dan kondisi yang keras dan kasar akan mengalami perkembangan mental tidak
sehat. Pengaruh dan dampak buruknya bervariasi, bisa cepat bisa juga lambat.”
Seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan kepercayaan, cinta, dan saling
pengertian, jarang sekali bersikap khianat atau melanggar janji. Dia akan menjadikan
kepercayaan sebagai sesuatu yang sangat penting dalam hidupnya. Dia akan tumbuh menjadi
manusia yang mengusung kepercayaan diri, berterus terang, dan jujur.
…Seorang anak yang tumbuh dalam lingkungan yang penuh dengan kepercayaan, cinta, dan
saling pengertian, jarang sekali bersikap khianat atau melanggar janji…
Sebaliknya, teman-temannya yang tumbuh dalam situasi dan kondisi kasar dan keras, penuh
dengan ketidakpercayaan dan keraguan akan tumbuh menjadi manusia pembohong, munafik,
suka berkhianat, dan bersikap curang.
Dalam penjelasan selanjutnya, Ibnu Khaldun menekankan pentingnya peran orangtua, guru, dan
para pendidik untuk bersikap lemah lembut dan menjadikan kasih sayang sebagai dasar dalam
menerapkan pendidikan. Sikap yang demikian akan menghasilkan buah manis di kemudian hari.
Dalam penjelasannya, dia juga mengatakan, “Seorang guru jangan bersikap keras terhadap anak
didiknya dan orangtua jangan bersikap kasar kepada anak-anaknya.” (Lebih lanjut lihat:
Muqaddimah, Ibnu Khaldun).
…Pendidikan bukanlah sekadar rumus dan peraturan. Namun lebih dari itu, pendidikan adalah
seni…
Pendidikan bukanlah sekadar rumus dan peraturan. Namun lebih dari itu, pendidikan adalah seni.
Oleh karena itu, orangtua hendaknya mengetahui dasar-dasar pendidikan yang baik dan
menerapkannya dengan cara yang bijak, sesuai petunjuk Al-Qur’an dan As-Sunnah. Sehingga
kelak akan lahir generasi yang baik. Amin! [ganna pryadha/voa-islam.com]
Begini pemurahnya Allah menumpahkan rasa kasih dan persaudaraan antara kami yang amat
berhajat pada kebaikan dari apa yang kami lakukan. Bertambah yakin aku dengan janji Allah
" Dan barang siapa mengerjakan amal kebajikan , baik lelaki mahupun perempuan sedang
dia beriman , maka mereka itu akan masuk ke dalam syurga dan mereka tidak dizalimi
sedikitpun."
An Nisa' : 124
a. Pandangan al-Ghazali
Menurut al-Ghazali hendaknya para guru memberikan nasehat kepada siswanya dengan kelembutan.
Guru di tuntut berperan sabagai orang tua yang dapat merasakan apa yang dirasakan anak didiknya, jika
anak memperlihatkan suatu kemajuan, seyogianya guru memuji hasil usaha muridnya, berterima kasih
padanya, dan mendukungnya terutama didepan teman-temannya.
Guru perlu menempuh prosedur yang berjenjang dalam mendidik dan menghukum anak saat dia
melakukan kesalahan. Apabila pada suatu kali anak menylahi perilaku terpuji, selayaknya pendidik tidak
membongkar dan membeberkan kesalahan-kesalahannya itu. Mengungkapan rahasianya itu mungkin
akan membuatnya semakin berani melanggar. Jika anak mengulangi kesalahan yang sama, tegurlah
dengan halus dan tunjukkan urgensi kesalahannya. Beliau juga mengingatkan bahwasanya menegur dan
mencela secara berkesinambungan dan mengungkit-ungkit kesalahan yang dilakukannya membuat anak
menjadi pembangkang. Sehubungan dengan hal tersebut beliau menegaskan ”Jangan terlampau banyak
mencela setiap saat karena erkataan tidak lagi berpengaruh dalam hatinya. Hendaknya guru atau orang
tua menjaga kewibawaan nasehatnya.”
b. Pandangan Ibnu Khaldun
Ibn Khaldun mengemukakan masalah imbalan dan sanksi di dalam bukunya al-Muqaddimah, beliau tidak
menyebutkan selain seorang pendidik harus mengetehui cara pertumbuhan akal manusia yang bertahap
hingga ia mampu mensejalankan pertumbuhan itu dengan pengajarannya terhadap anak didik. Ia
menasehatkan agar tidak kasar dalam memperlakukan anak didik yang masih kecil, mencubit tubuh
dalam pengajaran merusak anak didik, khususnya anak kecil.
Perlakuan kasar dan keras terhadap anak kecil dapat menyebabkan kemalasan dan mendorong mereka
untuk berbohong serta memalingkan diri dari ilmu dan pengajaran. Oleh karena itu pendidik harus
memperlakukan anak didik dengan kelembutan dan kasih sayang serta tegas dalam waktu-waktu yang
diutuhkan untuk itu.
Keempat, dimusyawarahkan kesepakatannya. Persepsi umum para orang dewasa, kerap menyepelekan
dan menganggap konyol celotehan anak. Bahwa anak suka bicara ceplas-ceplos dan mementingkan diri
sendiri memanglah benar, tetapi itu bisa diatasi dengan beberapa kiat tertentu. Setiap anak yang
ditanya tentang hadiah yang dinginkan, sudah barang tentu akan menyebutkan barang-barang yang ia
sukai. Maka disinilah ditunutut kepandaian dan kesabaran seorang guru atau orang tua untuk
mendialogkan dan memberi pengertian secara detail sesuai tahapan kemamuan berpikir anak, bahwa
tidak semua keinginan kita dapat terpenuhi.
Kelima, distandarkan pada proses, bukan hasil. Banyak orang lupa, bahwa proses jauh lebih penting
daripada hasil. Proses pembelajaran, yaitu usaha yang dilakukan anak, adalah merupakan lahan
perjuangan yang sebenarnya. Sedangkan hasil yang akan diperoleh nanti tidak bisa dijadikan patokan
keberhasilannya. Orang yang cenderung lebih mengutramakan hasil tidak terlalu mempermasalahkan
apakah proses pencapaian hasil tersebut dilakukan secara benar atau salah, halal atau haram.
Imam Ghazali di dalam kitabnya ‘Ihya Ulumuddin’ menyatakan, bahawa sifat guru itu menjadi berkesan
dalam jiwa murid melalui tiga peringkat :
3. Guru yang cemerlang akan melahirkan anak didik yang gemilang, ianya terbukti sebagaimana
Rasulullah SAW sendiri merupakan seorang pendidik yang cemerlang sehingga lahirlah di zamannya
sahabat-sahabat yang hebat seperti Khulafa’ Ar-Rasyidin, Abdul Rahman bin A’uf, Abu Hurairah, Saad bin
Abi Waqas dan sebagainya.
Golongan guru atau ilmuan juga pernah disebut oleh Rasulullah SAW seumpama bintang di langit yang
menjadi penunjuk jalan bagi menerangi kegelapan di darat dan di lautan, ini bertepatan dengan sabda
Rasulullah SAW yang diriwayatkan oleh Anas bin Malik yang bermaksud :
“Sesungguhnya perumpamaan orang-orang yang berilmu pengetahuan di muka bumi ini adalah seperti
bintang-bintang di langit yang menjadi petunjuk bagi menerangi kegelapan samada di darat atau di
lautan. Apabila ia terbenam atau hilang, dikhuatiri akan hilang arah petunjuk.”
Pembentukan adab dan budi pekerti juga perlu menjadi tunggak kepada setiap pendidik, bagi
memastikan budaya hormat-menghormati, kasih-mengasihi sesama manusia dan segala sifat yang
terpuji diamalkan oleh generasi muda masa kini dan di masa-masa yang akan datang. Ibnu Khaldun
sangat menekankan soal adab dan dalam mendidik peribadi manusia, sebagaimana sabda Rasulullah
bermaksud :
Untuk itu, hak pendidik dan para ilmuan perlu diingati, Saidina Ali bin Abi Talib mengatakan, bahawa hak
orang alim ada 7 :
1. Jangan banyak bertanya dan bertanya bila dia bersedia untuk menjawab.
2. Jangan halang jika dia hendak berdiri.
3. Jangan buka rahsia di hadapannya.
4. Jangan mengumpat orang di hadapannya.
5. Hormatlah dia kerana Allah.
6. Jangan duduk membelakanginya.
7. Jika ada keperluan lain, utamakanlah keperluannya.
Tamadun
Daniel Goleman (born March 7, 1946) is an author, psychologist, and science journalist. For
twelve years, he wrote for The New York Times, specializing in psychology and brain sciences.
He is the author of more than 10 books on psychology, education, science, and leadership.
Contents
[hide]
1 Life
2 Research
3 Educational innovations
4 Awards
5 Books
6 References
7 Notes
8 External links
[edit] Life
Goleman was born in Stockton, California, where his parents were college professors.[1] His
father taught world literature at what is now San Joaquin Delta College, while his mother taught
in the Sociology department of the University of the Pacific. Goleman received his Ph.D. from
Harvard, where he has also been a visiting lecturer. Daniel Goleman currently resides in the
Berkshires. He is a co-chairman of The Consortium for Research on Emotional Intelligence in
Organizations, based in the Graduate School of Applied and Professional Psychology at Rutgers
University, which recommends best practices for developing emotional intelligence abilities, and
promotes rigorous research on the contribution of emotional intelligence to workplace
effectiveness.
In addition, Goleman was a co-founder of The Collaborative for Academic, Social and
Emotional Learning at the Yale University Child Studies Center (now at the University of
Illinois at Chicago) which has a mission to help schools introduce emotional literacy courses.
Thousands of schools around the world have begun to implement such programs. Goleman is
also a member of the board of directors of the Mind and Life Institute, which fosters dialogues
between scientists and contemplatives. His book, " Destructive Emotions" contains an edited
selection of dialogues from The 8th Mind & Life Conference (Dharamsala, India from March
20-24, 2000} between the Dalai Lama and neuroscientists. The same with his book Healing
Emotions which is an edited selection of dialogues from The 3rd Mind & Life Conference
(Dharamsala, India, November 5-9, 1990). In both of these conferences Goleman has been the
Scientific Coordinator.
[edit] Research
Goleman authored the internationally best-selling book, Emotional Intelligence (1995, Bantam
Books), that spent more than one-and-a-half years on the New York Times Best Seller list.
Goleman developed the argument that non-cognitive skills can matter as much as I.Q. for
workplace success in "Working with Emotional Intelligence" (1998, Bantam Books), and for
leadership effectiveness in "Primal Leadership" (2001, Harvard Business School Press).
Goleman's most recent best-seller is Social Intelligence: The New Science of Human
Relationships (2006, Bantam Books).
The following quote is widely misattributed to R. D. Laing but appears in Goleman’s (1985)
book Vital Lies, Simple Truths: "The range of what we think and do is limited by what we fail to
notice. And because we fail to notice that we fail to notice there is little we can do to change
until we notice how failing to notice shapes our thoughts and deeds." The following introduction
prefaces the quote: “To put it in the form of one of R.D. Laing’s ‘knots’:” (p. 24): “Knots” being
a reference to an earlier text by Laing (1972):. So it is in the form of Laing, and is consistent with
Laing's thought, but is not by Laing. It is informed by Goleman's clinical psychotherapeutic
experiences, but it speaks to the field of conflict psychology and facilitation as well. Goleman's
book, "Transparency: How Leaders Create a Culture of Candor," (2008, Jossey-Bass), co-
authored with Warren Bennis and James O'Tool, argues for the benefits of transparency in
organizations.
In his first book, The Varieties of Meditative Experience (1977), republished as The Meditative
Mind in 1988, Goleman used sequential chapters to describe almost a dozen different meditation
systems. These included Sufism, Transcendental Meditation, Patanjali's Ashtanga Yoga, Indian
Tantra and Kundalini Yoga, Tibetan Buddhism, Zen, the teachings of Gurdjieff, and the
teachings of Krishnamurti. He wrote that "the need for the meditator to retrain his attention,
whether through concentration or mindfulness, is the single invariant ingredient in the recipe for
altering consciousness of every meditation system" (p. 107).[2] Noting that most methods of
meditation were intended to foster concentration, he also wrote that "powerful concentration
amplifies the effectiveness of any kind of activity" (p. 169).[2]
Goleman has published a series of dialogues with More Than Sound Productions entitled "Wired
to Connect" on the applications of social intelligence. Those already published include
conversations with Psychiatrist Daniel J. Siegel, renowned brain researcher Richard Davidson,
Clay Shirky, an expert on the social and economic effects of Internet technologies, film director
and Educational innovator, George Lucas, and Paul Ekman, world renown psychologist on
emotions. A topic of his discussion with Ekman was how to empathize with others, and how we
can understand other's emotions as well as our own. Goleman suggests that in light of tragedies
like Hurricane Katrina, we must learn how to empathize with others in order to help them.
Goleman and Ekman are both contributors to Greater Good magazine, Greater Good Science
Center, University of California, Berkeley.
[edit] Awards
Goleman has received many awards for his writing, including a Career Achievement award for
journalism from the American Psychological Association. He was elected a Fellow of the
American Association for the Advancement of Science in recognition of his efforts to
communicate the behavioral sciences to the public. He is a two-time Pulitzer Prize nominee.[3]
[edit] Books
Ecological Intelligence: How Knowing the Hidden Impacts of What We Buy Can Change
Everything (2009) Broadway Business. ISBN 0385527829, ISBN 978-0385527828
Social Intelligence: The New Science of Social Relationships (2006) Bantam Books. ISBN 978-
0553803525
Destructive Emotions: A Scientific Dialogue with the Dalai Lama (2003) Bantam Books. ISBN 978-
0553381054
Primal Leadership: The Hidden Driver of Great Performance (2001) Co-authors: Boyatzis, Richard;
McKee, Annie. Harvard Business School Press. ISBN 978-1578514861
The Emotionally Intelligent Workplace (2001) Jossey-Bass. ISBN 978-0787956905
Harvard Business Review on What Makes a Leader? (1998) Co-authors: Michael MacCoby,
Thomas Davenport, John C. Beck, Dan Clampa, Michael Watkins. Harvard Business School Press.
ISBN 978-1578516377
Working with Emotional Intelligence (1998) Bantam Books. ISBN 978-0553378580
Healing Emotions: Conversations with the Dalai Lama on Mindfulness, Emotions, and Health
(1997) Shambhala. ISBN 978-1590300107
Emotional Intelligence: Why It Can Matter More Than IQ (1996) Bantam Books. ISBN 978-
0553383713
Vital Lies, Simple Truths: The Psychology of Self Deception (1985) Bloomsbury Publishing. ISBN
978-0747534136
The Varieties of the Meditative Experience (1977) Irvington Publishers. ISBN 0-470991917. Later
republished as The Meditative Mind: The Varieties of Meditative Experience (1988) Tarcher. ISBN
978-0874778335.
[ed