You are on page 1of 16

PENYADAPAN TELEPON, DITINJAU DARI SOSIOLOGI HUKUM

(Studi Kasus tentang Penyadapan Telepon Oleh KPK Demi


Penindakan Kasus Korupsi di Indonesia)

Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah


Sosiologi Hukum
Dosen Pengampu: Moh. Jamin, S.H., M.Hum.

Oleh:

MUHAMAD ZAHROWI
S310409017

PROGRAM PASCA SARJANA PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
2009
KATA PENGANTAR

Penulis memanjatkan puji syukur kehadlirat Allah SWT., yang telah

melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun makalah

dengan judul: “Penyadapan Telepon, Ditinjau dari Sosiologi Hukum (Studi Kasus

tentang Penyadapan Telepon oleh KPK Demi Penindakan Kasus Korupsi di

Indonesia)” ini dengan baik.

Penulisan makalah ini ditujukan untuk memenuhi salah satu persyaratan

dalam mengikuti mata kuliah Sosiologi Hukum. Terima kasih yang tak terhingga

penulis sampaikan kepada berbagai pihak yang telah membantu penulis dalam

penyusunan makalah ini, baik bantuan yang berupa bimbingan, semangat, dan

penyampaian berbagai informasi sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan

baik.

Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna. Untuk

itu segala kritik dan saran yang membangun selalu penulis harapkan. Selanjutnya,

penulis berharap makalah ini mampu memberikan manfaat kepada semua pihak.

Terima kasih.

Surakarta, Desember 2009

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL.................................................................................... i

KATA PENGANTAR................................................................................. ii

DAFTAR ISI................................................................................................ iii

A. PENDAHULUAN................................................................................. 1

B. PEMBAHASAN.................................................................................... 4

1. Tinjauan tentang Sosiologi Hukum.................................................. 4

2. Efektivitas Hukum dalam Hubungannya dengan Tugas Aparat

Hukum dan Keadilan....................................................................... 5

3. Kegunaan Sosiologi Hukum............................................................ 7

4. Tinjauan tentang Kasus Penyadapan Telepon oleh KPK................. 8

5. Penyadapan Telepon untuk Keperluan Pengusutan Kasus

Ditinjau dari Sosiologi Hukum........................................................ 9

C. PENUTUP.............................................................................................. 12

DAFTAR PUSTAKA.................................................................................. 13
Judul : PENYADAPAN TELEPON, DITINJAU DARI SOSIOLOGI
HUKUM
(Studi Kasus tentang Penyadapan Telepon Oleh KPK Demi
Penindakan Kasus Korupsi di Indonesia)

A. PENDAHULUAN
Penyadapan telepon, baik dengan pertimbangan penegakan hukum
maupun pertimbangan lain, merupakan suatu aktivitas yang dilakukan oleh
seseorang atau kelompok, institusi, badan, dan sebagainya untuk mendengar
percakapan seseorang dengan lawan bicaranya melalui telepon, tanpa harus
memintai ijin terlebih dahulu. Berkaitan dengan adanya aktivitas penyadapan
telepon, banyak sekali pertimbangan yang dapat digunakan untuk
menganggap bahwa tidakan tersebut merupakan suatu tindakan yang sah dan
tidak dilarang, tetapi juga dapat sebagai tindakan yang etis dan suatu
pelanggaran hukum. Dalam hal ini, hanya pertimbangan-pertimbangan yang
masuk akal dan memenuhi unsur legalitas sajalah yang dapat digunakan dalam
menganalisis tentang kasus penyadapan telepon.
Beberapa hari terakhir, publik dipenuhi dengan berita-berita tentang
kasus penyelidikan korupsi oleh KPK dan kasus Bank Century, yang di
dalamnya terdapat aktivitas penyadapan telepon para koruptor oleh KPK.
Seperti yang dapat diketahui, penyadapan telepon para koruptor yang
dilakukan KPK tersebut telah menjadi cara yang ternyata efektif menjaring
bukti-bukti kejahatan para koruptor, yang selama ini nyaris tak terjangkau.
Para tersangka, termasuk dari lingkungan Kejaksaan Agung dan DPR, dapat
dikenakan tuduhan dan dakwaan ketika di pengadilan diperdengarkan hasil
rekaman percakapan mereka, yang isinya berkaitan dengan hal-hal yang
bersifat negosiasi koruptif atau berisi skenario penyelamatan.
Masalah sadap-menyadap telepon kini menjadi hal krusial yang
menjadi magnet perhatian utama publik sejak dilakukan penguakan kepada
publik kasus korupsi tingkat tinggi dengan pelaku utama percakapan
Anggodo, adik kandung Anggoro yang pemilik PT Masaro dan terlibat kasus
Bank Century. Dalam percakapan telepon genggam yang direkam KPK dan
diperdengarkan kepada publik oleh Mahkamah Konstitusi, masyarakat
disuguhkan “lalu-lintas” pembicaraan dan “pengaturan” arus kasus korupsi
yang diduga melibatkan unsur pimpinan KPK, Kepolisian RI, dan elit
nasional.
Untuk Indonesia, itulah saat pertama dalam sejarah praktik hukum,
rekaman hasil penyadapan telepon diperdengarkan kepada publik dalam satu
kesempatan resmi. Alhasil, berbagai reaksipun terjadi sebagai akibat
pengungkapan hasil penyadapan telepon itu. Berbagai reaksi muncul atas
penyampaian rekaman hasil penyadapan telepon kepada publik tersebut.
Terdapat beberapa pihak, yang dengan alasan etika dan perlindungan hak asasi
manusia, menganggap bahwa penyadapan telepon termasuk perbuatan yang
keji dan pelanggaran hak asasi manusia. Di pihak lain, yang cenderung
mendukung berbagai aktivitas pemberantasan korupsi, menganggap bahwa
penyadapan telepon yang dilakukan terhadap para koruptor adalah sah-sah
saja dan dianggap lebih menguntungkan, dalam arti dapat segera mengungkap
kasus korupsi dan menyeret para pelakunya ke persidangan.
Polemik tentang penyadapan telepon yang hangat dibicarakan publik,
mulai mendekati titik antiklimaks dengan munculnya rencana pengesahan
rancangan peraturan pemerintah (RPP) tentang Penyadapan. Berkaitan dengan
hal tersebut di atas, dalam kesempatan ini penulis akan membahas dan
menganalisis tentang kasus penyadapan telepon dan rencana pengesahan RPP
Penyadapan ditinjau dari sisi sosiologi hukum. Seperti diketahui bersama
bahwa Sosiologi Hukum merupakan ilmu pengetahuan yang teoritis-analitis
dan empiris yang senantiasa menyoroti pengaruh gejala-gejala sosial terhadap
keberlakuan hukum dalam tubuh masyarakat (dan sebaliknya). Sosiologi
hukum berguna untuk dapat memberikan pemahaman hukum dalam setiap
kontak sosial.1

1
Soerjono Soekanto. Peranan Ilmu Hukum dalam Pembangunan Indonesia, Makalah Pada
Simposium Peranan Ilmu Hukum Dalam Pembangunan Indonesia, Lustrum VI Fakultas Hukum
Universitas Airlangga, 17 November 1984, Surabaya.
Membicarakan sosiologi hukum tidak bisa dilepaskan dari fakta atau
realitas karena sosiologi hukum berparadigma fakta sosial. Sosiologi hukum
merupakan cabang khusus dari sosiologi yang berperhatian untuk mempelajari
hukum tidak sebagai konsep-konsep normatif melainkan sebagai fakta sosial.
Berparadigma fakta sosial berarti tidak mengkaji nilai, norma atau ide apapun
tentang hukum.2
Hukum dari waktu ke waktu mengalami perkembangan. Sejak jaman
Yunani dan Romawi sampai sekarang hukum mengalami perkembangan yang
luar biasa yang mungkin saja orang Yunani dan Romawi dahulu tidak akan
dapat memperkirakan hal-hal yang terjadi sekarang dalam bidang hukum.
Perkembangan ini tidak bisa dilepaskan dari sifat hukum yang selalu berada di
tengah-tengah masyarakat sedangkan masyarakat itu sendiri senantiasa
mengalami perkembangan.
Austin berpendapat hukum merupakan suatu proses sosial untuk
mendamaikan perselisihan-perselisihan dan menjamin adanya ketertiban
dalam masyarakat. Tugas ilmu pengetahuan hukum adalah untuk mempelajari
dan berusaha untuk menjelaskan sifat hakekat dari hukum, perkembangan
hukum serta hubungan hukum dengan masyarakat. Ilmu hukum (science of
jurisprudence) mengani hukum positif atau laws strictly so called tidak
memperhatikan apa hukum itu baik atau tidak. Semua hukum positif berasal
dari satu pembuat undang-undang yang terang, tertentu dan berdaulat
(soverign).3
Berkaitan dengan materi yang ada pada ilmu sosiologi hukum tersebut,
pada kesempatan ini penulis akan membahas tentang kasus penyadapan
telepon yang dilakukan KPK terhadap para pelaku tindak pidana korupsi,
ditinjau dari berbagai aspek yang berkembang dalam penerapan hukum di
Indonesia.
B. PEMBAHASAN
2
Soetandyo Wignyosiebroto, Sosiologi Hukum: Perannya Dalam Pengembangan Ilmu Hukum
dan Studi Tentang Hukum, Makalah pada seminar tentang Pendayagunaan Sosiologi Hukum
Dalam Masa Pembangunan dan Restrukturisasi Global dan Pembentukan ASHI di Semarang,
12-13 Nov. 1996, hal. 1.
3
Soetikno, Filsafat Hukum, Bagian I, Pradnya Pramamita, Jakarta, 1988, hal. 57.
1. Tinjauan tentang Sosiologi Hukum
Cross, memberikan definisi, bahwa “ilmu hukum adalah segala
pengetahuan hukum yang mempelajari hukum dalam segala bentuk dan
manifestasinya.”4 Ilmu hukum dalam perpustakaan hukum dikenal dengan
nama “Jurisprudence” yang berasal dari kata “Jus”, Juris” yang artinya
hukum atau hak. “Prudence” berarti meilhat ke depan atau mempunyai
keahlian, dan arti umum dari Jurisprudence adalah ilmu pengetahuan yang
mempelajari hukum.5
Ilmu hukum mencakup ilmu tentang kaidah, yaitu ilmu yang
menelaah hukum sebagai kaidah atau sistem kaidah-kaidah dengan
dogmatic hukum dan sistematik hukum. Ilmu Pengertian, yakni ilmu
tentang pengertian-pengertian pokok dalam hukum seperti subyek hukum,
hak dan kewajiban, peristiwa hukum, hubungan hukum, dan obyek
hukum.6
Ilmu tentang kenyataan, yang menyoroti hukum sebagai
perikelakuan sikap tindak, yang antara lain mencakup sosiologi hukum,
antropologi hukum, psikologi hukum, perbandingan hukum, dan sejarah
hukum. Ilmu hukum adalah suatu pengetahuan yang obyeknya adalah
hukum dan yang khusus mengajarkan perihal hukum dalam segala bentuk
dan manifestasinya, ilmu hukum sebagai ilmu kaidah, ilmu hukum sebagai
ilmu pengertian dan ilmu hukum sebagai ilmu kenyataan..7
Secara umum fungsi hukum dapat dikatakan untuk menertibkan
dan mengatur pergaualan dalam masyarakat serta menyelesaikan masalah-
masalah yang timbul. Dalam perkembangan masyarakat saat ini, fungsi
hukum dapat terdiri dari: sebagai alat pengatur tata tertib hubungan
masyarakat. Sebagai sarana untuk mewujudkan keadilan sosial lahir dan
batin,sebagai sarana penggerak pembangunan serta sebagai fungsi kritis.
4
Satjipto Rahardjo. 1982. Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis. Bandung:
BPHN Depkeh dan Sinar Baru . hal. 9.
5
Ibid. hal. 10.
6
Ibid. hal. 13.
7
R. Soeroso. 1993. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Sinar Grafika. hal. 3.
Agar fungsi-gungsi hukum dapat terlaksana dengan baik, maka
bagi para penegak hukum dituntut kemampuannya untuk melaksanakan
dan menerapkan hukum dengan baik, dengan seni yang dimiliki masing-
masing petugas, misalnya :menafsirkan hukum sesuai dengan keadilan dan
posisi masing-masing, serta bila diperlukan melakukan penafsiran analogis
penghalusan hukum. Hukum merupakan salah satu norma yang berlaku
dalam kehidupan bermasyarakat disamping norma kesopanan, kesusilaan,
dan norma agama. Adapun tata hukum memiliki pengertian sebagai
keseluruhan hukum yang berlaku dalam tata pergaulan hidup bernegara.

2. Efektivitas Hukum dalam Hubungannya dengan Tugas Aparat


Hukum dan Keadilan
Hukum yang efektif berhubungan erat dengan proses
perkembangannya. Hal ini berarti hukum perlu diperhitungkan sebelum
diberlakukan, sebab norma hukum ditetapkan bukan hanya sekedar
sebagai unsur pemaksa belaka, melainkan lebih ditekankan pada upaya
supaya masyarakat benar-benar dapat memahami dan mengakui manfaat
hukum sebagai kepentingan individu. Upaya ini dimaksudkan agar hukum
benar-benar dapat berkedudukan sebagai unsur pengaruh tingkah laku
masyarakat yang efektif yang dapat menciptakan keseimbangan kehidupan
masyarakat.
Untuk dapat menerapkan hukum sedemikian rupa sehingga dapat
bermanfaat bagi masyarakat, maka perlu diperhatikan proses
perkembangan hukum itu sendiri dalam tubuh masyarakat; artinya proses
pemberlakuan hukum itu hendaknya diupayakan tertanam secara
mendalam pada sanubari masyarakat sebagai unsur kepentingan dan
keamanan.
Penegak hukum antara lain hakim, jaksa, polisi dan lain lain yang
mempunyai fungsi dan tugas-tugas sendiri yang diharapkan dalam
hubungan kerjanya dapat saling menunjang demi tegak dan berwibawanya
hukum itu. Kedudukan para aparat penegak hukum itu diharapkan tidak
semata-mata didasarkan pada segi perundang-undangan secara yuridis
dalam masyarakat, akan tetapi perlu didukung dengan pertimbangan-
pertimbangan lain, terutama pertimbangan tentang perubahan sosial dan
perkembangan politik.
Ada beberapa azas keadilan menurut pertimbangan kesebandingan
antara kebutuhan pribadi dan kebutuhan masyarakat secara umum. Azas
keadilan itu diantaranya ada yang didasarkan pada kesamarataan, yaitu
berarti tiap anggota masyarakat mendapat bagian yang sama. Ada yang
didasarkan pada kebutuhan, yaitu adanya kesebandingan dalam
memberlakukan hukum terhadap setiap anggota masyarakat (tidak
memandang jabatan, kekayaan dan status sosial). Ada pula yang
didasarkan pada kualitas, dan ada yang didasarkan pada prestasi seseorang
(obyektif).
Dalam praktek hukum, kadang kala azas subyektif pun dapat
dianggap adil, terutama jika permasalahannya diarahkan pada suatu
kegiatan untuk mencapai keuntungan pribadi dan kelompok tanpa
mempertimbangkan akibat yang ditimbulkannya.
Untuk mendekati perlakuan yang adil, perlu diteliti secara cermat
dengan pertimbangan yang matang, terutama tentang azas yang mana yang
paling layak untuk diterapkan sehubungan dengan tuntutan dan
kepentingan masyarakat pada waktu tertentu. Kecuali itu, perlu juga
dipertimbangkan masing-masing keuntungan dan kerugian dari masing-
masing azas keadilan tersebut. Dengan demikian para pakar dan penegak
hukum dapat mengetahui dan memahami batas-batas keserasian antara
tugas-tugas hukum untuk dapat menegakkan kepastian hukum ditengah-
tengah tuntutan keadilan yang semakin tinggi (meningkat).

3. Kegunaan Sosiologi Hukum


Seperti diketahui bahwa Sosiologi Hukum merupakan ilmu
pengetahuan yang teoritis-analitis dan empiris yang senantiasa menyoroti
pengaruh gejala-gejala sosial terhadap keberlakuan hukum dalam tubuh
masyarakat (dan sebaliknya). Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa
perspektif dari pada sosiologi hukum umumnya ada dua macam (menurut
J.Van Houtte 1970: 57-59)8, yaitu sebagai berikut:
a. Bahwa sosiologi hukum mempunyai fungsi global, artinya sosiologi
hukum harus menghasilkan suatu sintesa antara hukum sebagai sarana
organisasi sosial dan sebagai sarana dari keadilan. Dalam fungsinya
itu, hukum dapat memperoleh bantuan yang tidak kecil dari sosiologi
hukum, didalam mengidentifikasi kontak sosial dimana hukum tadi
diharapkan dapat berfungsi.
b. Bahwa hukum dapat berfungsi dalam bidang penerangan dan
pengkaedahan.
Dari perspektif sosiologi hukum tersebut, maka dapat diambil
beberapa fungsinya dalam kehidupan masyarakat, yaitu:
a. Sosiologi hukum berguna untuk dapat memberikan pemahaman
hukum dalam setiap kontak sosial;
b. Penguasaan terhadap konsep-konsep sosiologi hukum dapat
memberikan kemampuan untuk mengadakan analisis terhadap
efektivitas penerapan hukum dalam masyarakat, baik sebagai sarana
pengendalian sosial, sarana untuk mengubah masyarakat, maupun
sebagai sarana untuk mengatur interaksi sosial supaya dapat mencapai
kondisi sosial yang serasi;
c. Sosiologi hukum dapat memberikan kemungkinan-kemungkinan dan
kekuatan-kekuatan untuk mengadakan evaluasi terhadap efektivitas
hukum dalam kehidupan masyarakat.

4. Tinjauan tentang Kasus Penyadapan Telepon oleh KPK

8
Soerjono Soekanto. 1986. Sosiologi Hukum. Jakarta: Gramedia. hal. 57.
a. Peraturan tentang Penyadapan Telepon
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang
Telekomunikasi, dan Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000
tentang Penyelenggaraan Komunikasi, dapat disampaikan bahwa yang
dimaksud penyadapan adalah kegiatan memasang alat atau perangkat
tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan
informasi dengan cara tidak sah.9
Dalam undang-undang tersebut juga dinyatakan bahwa setiap
orang dilarang menyadap informasi yang disalurkan melalui jaringan
telekomunikasi dalam bentuk apapun. Ancaman hukuman bagi si
penyadap adalah penjara 15 tahun.
Mengenai perekaman informasi, disampaikan bahwa
penyelenggara jasa telekomunikasi wajib merahasiakan informasi yang
dikirim atau diterima oleh pelanggan. Penyelenggara telekomunikasi
yang membocorkan informasi pelanggan bisa dipenjara dua tahun atau
denda Rp 200 juta. Hal ini masih ada pengecualiannya, yaitu:
untuk keperluan peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi
bisa merekam informasi dan memberikan informasi tersebut atas:
1) Permintaan tertulis Jaksa Agung dan/atau Kepala Kepolisian
Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;
2) Permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu. Pidana tertentu
adalah tindak kejahatan dengan ancaman hukuman penjara lima
tahun ke atas, seumur hidup, atau mati. Contoh: penyalahgunaan
narkotik.
3) Permintaan tertulis (dicap dan diteken pejabat yang berwenang)
atas rekaman informasi tersebut harus ditembuskan kepada
menteri.
Selanjutnya, hasil rekaman informasi harus disampaikan secara
rahasia kepada Jaksa Agung, Kepala Kepolisian RI, atau penyidik,
bukan disebarkan kepada publik.

9
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi
b. Penyadapan Telepon oleh KPK
Kasus tentang penyadapan telepon ini dimulai pada saat KPK
melakukan penyadapan atas telepon para pelaku korupsi, yang
bertujuan agar memperoleh informasi-informasi yang diperlukan
dalam penyelidikan. Penyadapan telepon para koruptor yang dilakukan
KPK tersebut telah menjadi cara yang ternyata efektif menjaring bukti-
bukti kejahatan para koruptor, yang selama ini nyaris tak terjangkau.
Para tersangka, termasuk dari lingkungan Kejaksaan Agung dan DPR,
dapat dikenakan tuduhan dan dakwaan ketika di pengadilan
diperdengarkan hasil rekaman percakapan mereka, yang isinya
berkaitan dengan hal-hal yang bersifat negosiasi koruptif atau berisi
skenario penyelamatan.
Tindakan penyadapan telepon yang dilakukan KPK bertujuan
untuk mencari informasi tentang kasus korupsi tingkat tinggi dengan
pelaku utama percakapan Anggodo, adik kandung Anggoro yang
pemilik PT Masaro dan terlibat kasus Bank Century. Dalam
percakapan telepon genggam yang direkam KPK dan diperdengarkan
kepada publik oleh Mahkamah Konstitusi, masyarakat disuguhkan
lalu-lintas pembicaraan dan pengaturan arus kasus korupsi yang diduga
melibatkan unsur pimpinan KPK, Kepolisian RI, dan elit nasional.

5. Penyadapan Telepon untuk Keperluan Pengusutan Kasus Ditinjau


dari Sosiologi Hukum
Pendapat yang menyatakan kewenangan penyadapan KPK sebagai
sesuatu yang melanggar HAM, pihak yang disadap perlu dicermati secara
kritis. Di satu sisi, tentu benar interception atau penyadapan yang
dilakukan dengan serampangan akan melanggar hak privasi individu.
Namun, jika hal itu didasarkan pada kewenangan yang diberikan UU,
tuduhan ''penyadapan'' melanggar HAM menjadi tidak lagi relevan.
Beberapa analisis normatif di bawah ini, tampaknya, patut
dipertimbangkan.
Pasal 17 Konvenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik
(1966) memang mengatur, tidak seorang pun dapat sewenang-wenang atau
secara tidak sah dicampuri masalah pribadi, keluarga, rumah, atau
korespondensinya. Atas dasar itulah, sebagian pihak bersikeras
penyadapan telepon/HP yang dikualifikasikan sebagai salah satu perluasan
arti ''korespondensi'' menolak kewenangan penyadapan KPK. Aturan yang
sama terdapat pada pasal 8 ayat (1) Konvensi Eropa untuk Perlindungan
HAM dan Kebebasan Fundamental (1958). Dikatakan, setiap orang berhak
atas penghormatan terhadap kehidupan pribadi atau keluarganya, rumah
tangganya, dan surat-menyuratnya.
Sepintas, jika hanya dua pasal itu yang digunakan, penyadapan
KPK terhadap sejumlah pihak yang diduga terkait kasus korupsi akan
dinyatakan melanggar HAM. Namun, tampaknya, konvensi-konvensi
internasional dan bahkan hukum nasional Indonesia harus dibaca utuh.
Pada konvensi yang sama juga diatur hak pribadi tersebut dapat
dikecualikan sepanjang sesuai hukum nasional, diperlukan dalam suatu
masyarakat demokrasi, demi kepentingan nasional (publik/umum), dan
demi menjaga hak-hak serta kebebasan orang yang lebih luas.
Bahkan, UUD 1945 menegaskan pengecuali tersebut. Pasal 28 J
ayat (2) UUD 1945 menyatakan, dalam menjalankan hak dan
kewajibannya, setiap orang wajib tunduk pada pembatasan yang
ditetapkan undang-undang. Tujuan pembatasan tersebut mirip norma yang
terdapat pada sejumlah konvensi HAM internasional, yaitu demi
penghormatan dan jaminan pengakuan terhadap hak dan kebebasan orang
lain, demi kepentingan umum. Kemudian, pasal 73 UU Hak Asasi
Manusia menegaskan hal yang sama.
Kewenangan penyadapan yang dilakukan KPK saat itu adalah
dalam kerangka pemberantasan korupsi dan dilakukan untuk membela
kepentingan umum. Di sisi lain, hak privacy seseorang masuk dalam
kategori kepentingan individu yang juga harus dilindungi.
Dalam perkembangan sosiologi hukum, pengesampingan
kepentingan individu merupakan sesuatu yang wajar. Terutama jika ia
berbenturan dengan kepentingan publik yang lebih mendasar. Privasi
memang harus dilindungi. Namun, kepentingan publik yang sangat
mendesak demi kehidupan yang lebih baik, pemerintahan yang bersih, dan
rasa keadilan publik, hak individual harus dikesampingkan.
Pemberantasan korupsi, mau tidak mau, penting diprioritaskan. Selain itu,
pasal 12 ayat (1) UU KPK telah mengatur secara tegas kewenangan
penyadapan itu. Disebutkan, “dalam melaksanakan tugasnya, KPK
berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan.” Di level
yang sama, pasal 40 UU Telekomunikasi mengatur hal yang sama,
penyadapan dapat dikecualikan/diperbolehkan demi kepentingan
penyelidikan dan penyidikan pidana. Menkominfo juga menerbitkan
Permen No 11/2006 untuk mengatur hal teknis tentang penyadapan.
Dengan kata lain, secara normatif, aturan penyadapan sudah
memiliki dasar hukum yang jelas, baik di level undang-undang maupun
peraturan menteri, serta tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan
Konvensi HAM Internasional. Jika pada akhir-akhir ini muncul wacana
bahwa pemerintah akan mengesahkan RPP Penyadapan adalah suatu hal
yang wajar, karena dengan adanya polemik tentang penyadapan telepon
tersebut, diperlukan suatu legitimasi melalui penyusunan aturan-aturan
yang mengarahkan pada prosedur yang tepat dan sah serta tidak merugikan
kepentingan publik maupun pelanggaran HAM.

C. PENUTUP
Sosiologi hukum diperlukan dan bukan merupakan penamaan yang
baru bagi suatu ilmu pengetahuan yang telah lama ada. Dalam kehidupan
hukum, saat ini adalah masa transisi yang kedua setelah transisi yang pertama
seperti tersebut di atas tidak membawa pengaruh yang besar terhadap
kehidupan hukum yang masih diwarnai nuansa kolonial. Pada masa transisi
yang kedua ini merupakan masa untuk membangun hukum secara baik, tetapi
yang harus diperhatikan oleh pembuat undang-undang adalah perlu
ditumbuhkan pengertian bahwa hukum bukanlah sesuai yang eksak, pasti dan
steril.
Perubahan sosial yang terjadi di Indonesia saat ini dapat dipandang
dari berbagai segi, misalnya dari segi ekonomi maka titik tolaknya adalah
krisis moneter dan jika dilihat dari segi politik maka titik tolaknya adalah
kehidupan yang tidak demokratis dan melahirkan pemerintahan yang totaliter.
Berbagai perkembangan itu berpengaruh terhadap kehidupan hukum. Jika
pada masa kolonial dan orde lama hukum digunakan sebagai alat (sebagai alat
kepentingan politik), demikian juga pada orde baru (sebagai alat kepentingan
ekonomi). Dari ketiga masa yang telah dijalani oleh pemerintah Indonesia itu
hukum menjadi sub sistem dari sistem yang lebih besar dan dari sini nampak
bahwa hukum sesungguhnya tidak mempunyai fleksibilitas atau keluwesan
untuk mengembangkan dirinya dan tuntutan masyarakat.
Dalam kaitannya dengan penyadapan telepon oleh KPK terhadap para
pelaku tindak korupsi, alasan-alasan bahwa perbuatan tersebut adalah
melanggar hukum, perlu dikaji ulang. Seharusnya, selama masih berada dalam
koridor yang diijinkan dan dilegalkan, penyadapan telepon tersebut perlu
mendapat dukungan karena demi kepentingan publik dan penegakan hukum.
Jika dilihat dari sosiologi hukum, pengesampingan kepentingan
individu merupakan sesuatu yang wajar. Terutama jika ia berbenturan dengan
kepentingan publik yang lebih mendasar. Privasi memang harus dilindungi.
Namun, kepentingan publik yang sangat mendesak demi kehidupan yang lebih
baik, pemerintahan yang bersih, dan rasa keadilan publik, hak individual harus
dikesampingkan. Pemberantasan korupsi, mau tidak mau, penting
diprioritaskan. Secara normatif, aturan penyadapan pada kasus yang dilakukan
KPK tersebut sudah memiliki dasar hukum yang jelas, baik di level undang-
undang maupun peraturan menteri, serta tidak bertentangan dengan UUD
1945 dan Konvensi HAM Internasional.

DAFTAR PUSTAKA

Satjipto Rahardjo. 1982. Masalah Penegakan Hukum, Suatu Tinjauan Sosiologis.


Bandung: BPHN Depkeh dan Sinar Baru.

Soerjono Soekanto. Peranan Ilmu Hukum dalam Pembangunan Indonesia,


Makalah Pada Simposium Peranan Ilmu Hukum Dalam Pembangunan
Indonesia, Lustrum VI Fakultas Hukum Universitas Airlangga, 17
November 1984, Surabaya.

______. 1986. Sosiologi Hukum. Jakarta: Gramedia.

Soetandyo Wignyosiebroto, Sosiologi Hukum: Perannya Dalam Pengembangan


Ilmu Hukum dan Studi Tentang Hukum, Makalah pada seminar tentang
Pendayagunaan Sosiologi Hukum Dalam Masa Pembangunan dan
Restrukturisasi Global dan Pembentukan ASHI di Semarang, 12-13
November 1996.

Soetikno. 1988. Filsafat Hukum. Bagian I. Jakarta: Pradnya Pramamita.

Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi.

You might also like