Professional Documents
Culture Documents
Dalam cerita ini Sastrodrasono dinasehati oleh Ndoro seten kedungsimo baik secara
tersurat maupun tersirat, begitu sangat membekas terparteri dalam ingatanya. Ia benar- benar
berkeinginan untuk menjadi priyayi maju, tidak gegabah dan halus dalam langkah-langkahnya.
Secara jujur, Sastrodarsono menilai ketiga orang anaknya Noegroho, Hardojo, dan Soemini
meskipun diakuinya Noegroho sangat senang dan kuat ilmu sejarahnya dan ilmu bumi, Hardojo
unggul dalam penguasaan bahasa belanda, mengarang dan berhitung, Soemini sangat fasih
berbahasa belanda tetapi dia mengakui bahwa ia sangat gagal mendidik anak-anaknya dibidang
yang seharusnya dikuasai oleh priyayi, yaitu bidang seni dan agama. Sementara itu, sejak duduk
dikelas empat sekolah desa di karangdompol, lantip sudah sangat giat ikut menyelengarakan
panembrono, dan bahkan mementaskan ketoprak pada saat perpisahan disekolahnya. Pertunjukan
dirasa cukup berhasil oleh para gurunya sehingga sampai sehari-hari masih ramai menjadi bahan
pembicaraan. Ndoro guru kakung dan putrid memuji-mujinya sebagai anak yang betul-beyul
lantip(cerdas).
Dalam novel ini, terlihat usaha Umar kayam untuk memahami tingkah laku antara orang
kecil dan para priyayi sedekat mungkin, baik dengan melukiskan alam pikiran para priyayi
secara teliti maupun tanggapan orang kecil terhadap dunia mereka sendiri dan dunia priyayi.
Seperti kutipan dibawah ini:
“le bapakmu ini wong tani ndeso. Jadi, saya melihat persoalanmu ya seperti seorang
tani melihat persoalan. Kita ini semua rak sesungguhnya wong cilik saja to, le, wong cilik
yang diperintah gupermen. Lha, sebagai wong cilik ya mestinya manut, menurut aturan
gupermen begitu. Kalau tidak manut itu rak salah to, le , kalau menurut aturan gupermen
yang dikerjakan mentri gurumu iku salah, ya salah, le. Lha, kalau menurut gupermen kamu
diperintahkan menganti dia. Ya kamu harus terima, le. Mosok kamu mau menolak apalagi
melawan? Tapi ini pendapat bapakmu wong tani mutun, jelek, asli, murni, lho, le. Cobalah
kalau kamu besok sowan ndoro setan, wah saya belum saja bias memanggil beliau dengan
kamas itu, le. Kamu minta pendapat beliau, eh, lha mertuamu bagaimana
pendapatnya?”(Kayam, 1992: 61)
Kesan yang dapat diambil yaitu setiap orang dapat menjadi seorang priyayi meskipun
dari golongan petani ataupun rakyat jelata asal ia mau berusaha untuk maju dan mau bersi keras
seperti tokoh lantip dan Sastrodarsono, yang digambarkan dalam novel para priyayi.
Melihat novel para priyayi dari sudut sosiologi mengungkapkan proses tranformasi yang
dialami seorang anak petani, sebagai cikal bakal terbentuknya keluarga besar yang disebut
sebagai keluarga priyayi. Proses tranformasi ini berupa mobilitas vertical dari petani desa sampai
ketingkatan birograsi dikota. Seluruh proses tranformasi ini dikisahkannya sampai tingkatan
cucu. Ditinkat cucu inilah nilai kepriyayian itu kemudian dipermasalahkan, yaitu siapakah yang
dapat meneruskan generasi itu. Sebagai contoh kecil, dalam mengupas para priyayi, Umar kayam
menulis (1992: 31)
…..Menurut Embok sesungguhnya ia ingin member nama islam (meskipun kami
tidak sembahyang) seperti Nyali atau Ngusman. Bukankah nama bapak saya juga Kasan?
Tetapi, bapak saya meyakinkan Embok untuk menerima saja pemberian nama itu. Embok
masih bimbang, takut jangan-jangan nama ini nama yang terlalu berat bagi bayi seorang
anak desa. Jangan-jangan jadi pendek umur anak itu nanti, begitu khatiran Embok. Tetapi
bapat terus membujuk dan meyakinkan Embok bahwa kita tidak usah khawatir akan
mengalami bacaan itu. “ wong parengan, hadiah, dari priyayi tinggi kok dikhawatirkan, “
tutur bapak. “ mesti baiknya,” tandas bapak lagi (kayam, 1992: 31).
Disamping itu, pengabdiaan Atmokasan pada Ndoro Seten kedungsimo juga memiliki arti
yang penting dengan diterimanya Soedarsono di sekolah desa sehingga ia berhasil lulus dan
dapat diterima sebagai guru bantu. Soedarsono memang tidak mengabdikan dirinya secara
langsung kepada Ndoro seten kedungsimo, tetapi pengabdian sebenarnya dapat dipandang
sebagai penggantinya.
Dalam novel ini kita bias mendapatkan keuntungan dan kelebahannya yaitu:
keuntungannya pertama, membiarkan setiap tokoh bercerita sendiri, ini mengakibatkan
antartokoh saling memandang: sastrodarsono memandang Latip, dan Latip juga bias memandang
Sastrodarsono, dan pelukis yang adil. Keuntungan kedua, urutan waktu tidak hanya sekedar
kronologis dan Flashback, tetapi susul-menyusul, dan bahkan maju mundur serta enak diikuti.
Jalan ceritanya memang tenang, hampir tanpa berisik. Kelebihannya pertama, pelukiskannya
rinci dan teliti; kedua, bahasanya bahasanya hidup, suasana local-temporalnya membayang pada
penggunaan kosa kata jawa, Belanda dan Jepang. Secara struktural, kasa kata campuran itu
bermakna; dan secara sastrawi kosakata itu memberikan warna cerah estetikanya sehingga
terbayang realistic details.