You are on page 1of 4

NOVEL PARA PRIYAYI

Penulis : Umar Kayam.


Penerbit : PT Pustaka Utama Grafik.
Tebal : 308 Halaman.

Novel para priyayi ini Berdasarkan kritik objektif yaitu:


*kritik objektif
Yaitu adanya suatu orientasi yang ditunjukkan pada teks, yang aspek dan strukturnya
tentang suatu pengaturan, pelataran, penyajian tema, sudut pandang pengarang yang diimbangi
dengan preposisi unsur dalam karya satra.
Dalam novel ini terbagi atas sepuluh bagian. Setiap bagian diberi tajuk berturut-turut
sebagai berikut: (1) wanagalih, (2) Lantip, (3) Sastrodarsono, (4) Lantip, (5) Hardojo, (6)
Noegroho, (7) Para istri, (8) Lantip, (9) Harimurti, (10) Lantip.
Berdasarkan kritik objektif yaitu Kandungan novel ini sangat luas, apresiasinya akan
dibatasi pada satu permasalahan yang menyangkut penafsiran kembali Umar kayam terhadaf
tranformasi keteladanan pengabdian priyayi guru pada bangsa dan Negara.disini Umar Kayam
menggunakan kata-kata bantu untuk mengkritik bahwa ketepatan historis bisa berkurang,sebagai
karya seni novel mengatasi sekadar gambaran dan uraian ilmiah dan objektif, sastrawan tidak
hanya bergerak dipermukaan, tetapi menyelam kedalam kehidupan sosial untuk mengungkapkan
bagaimana manusia menghadapi masyarakat.
Dari sudut struktur cerita, khususnya sangkat singkat, juga mengulas struktur ceritanya
dan bahasanya. Dari struktur mengomentari teknik episode demi episode yang nilainya tidak
berkaitan karena tidak memunculkan persoalan dunia priyayi dibidang agama, yang sering
memunculkan bahasanya yang informative, kreatif, dan plastis serta sangat kuat pengaruh bahasa
jawanya. Hanya, ia menyayangkan ejaan yang dipergunakan dalam penulisan kata-kata yang
berbahasa jawa, dalam jumlah cukup banyak. Disamping itu alur ceritanya tidak menggunakan
alur konvensional malah setiap tokoh yang mendongeng membuat alurnya sendiri-sendiri. Dalam
cerita tersebut menggunakan pendekatan psikologi sastra karena banyak dari tokoh-tokoh dalam
cerita ini mengalami konflik batin setelah mengalami suatu peristiwa dengan realita dalam
masyarakat yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Latar dalam novel tersebut menggunakan
latar sosial yang dapat dilihat dari judul dan gambar sampulnya (cover yang berupa foto priyayi-
priyayi pada jaman itu) dan latar tempat atau waktu yang terjadi kurun waktu 1920 an sampai
akhir 1960 an. Alur yang digunalkan pada umumnya maju mundur atau flashback yaitu
peristiwa yang terjadi dengan peristiwa sebelumnya. Ada 3 (tiga) struktur dalam pengaluran,
yang dapat diuraikan yaitu : tahap awal ;paparan, rangsangan, dan gawatan. Tahap Tegah ;
takaran, rumitan, dan klimaks. Tahap akhir ; leraian dan selesainya.
Dalam novel ini sudut pandang seperti ini jalan cerita novel seperti cerita berbingkai,
dengan bingkai utamanya pada tokoh Soedarsono. Akibatnya semua tokohnya menjadi
menonjol, tokoh utama menjadi tersamar. Tiap bab diceritakan dari sudut pandang tokoh yang
berbeda dengan memakai bentuk orang pertama “saya” dan bertindak sebagai fokalisator intern
yang juga menjadi tokoh yang berpindah-pindah dari tokoh yang satu ke tokoh yang lain, maka
teknik semacam ini memberi gambaran yang jelas mengenai suatu konflik ataupun permasalahan
yang dipandang dari berbagai sudut.
Disini setelah ditelaah dari sudut pandang pengarang dan semestanya. Masyarakat jawa
pada saat iutelah mengalami suatu perubahan. Pada saat itu telah berkembang suatu elite
birograsi yang disebut priyayi yang berasal dari kelompok keturunan bangsawan maupun
keturunan orang biasa yang beruntung mendapat pendapat pendidikan sekolah dasar. Salah satu
diantara pikiran maju dalam novel ini adalah tokoh Ndoro seten kedongsimo, tokoh yang bukan
hanya dikagumi dan dihormati oleh Sastrodarsono. Tetapi juga yang secara tidak langsung
mengantarkannya kejenjang priyayi. Sikap dan sepak terjangnya secara tidak langsung juga
mempengaruhi Sastrodarsono. Pilihan lakon Sumantri ngenger pada saat ia dinikahkan dengan
Siti Aisah, pilihan tempat di wanagalih, penempatannya sebagai guru desa di karangdompol,
lebih-lebih kererusterangan Ndoro setan kedungsimo ketika diminta pendapatnya perihal
Martoatmodjo, seperti kutipan dibawah ini, justru lebih menyadarkan Sastrodarsono akan posisi
priyayi yang kelah dijalani.
……“kami terkejut ya, sastro, saya berbicara begitu kasar? Saya memang muak
betul dengan orang seperti school Opziener-mu itu. Kenapa? Karena dia berbahaya, goblok
dan jahat. Dengan perbuatan itu dia sudah merusak sama sekali usaha kami para priyayi
maju. Begitu hati-hati dan capek kita bekerja mengatur barisan priyayi maju itu, datang
cecunguk-cecunguk kere, yang mau ngemis londo itu.”
“Sastro, kamu kira saya tempo hari ngotot betul berusaha memasukkan kamu
kekursus guru bantu untuk apa? Juga kawan-kawanmu yang lain dari desa-desa dibawah
kekuasaan saya, saya usahakan masuk di pendidikan ini dan itu? Semua itu usaha saya
bersama pangreh praja maju lainnya untuk membangun barisan priyayi maju, bukan priyayi
dikemudian hari kepingin menjadi rakyat kecil yang sewenang-wenang terhadap wong cilik.
Ini monyet-monyet seperti school opziener dan mantra polisi dan entah telik-telik, spiun-
spiun picisan yang mana lagi dengan upah berapa gulden jadi tega melapor-laporkan bangsa
sendiri, yang bikin rusak semua usaha kami”(kayam, 1992: 63)

Dalam cerita ini Sastrodrasono dinasehati oleh Ndoro seten kedungsimo baik secara
tersurat maupun tersirat, begitu sangat membekas terparteri dalam ingatanya. Ia benar- benar
berkeinginan untuk menjadi priyayi maju, tidak gegabah dan halus dalam langkah-langkahnya.
Secara jujur, Sastrodarsono menilai ketiga orang anaknya Noegroho, Hardojo, dan Soemini
meskipun diakuinya Noegroho sangat senang dan kuat ilmu sejarahnya dan ilmu bumi, Hardojo
unggul dalam penguasaan bahasa belanda, mengarang dan berhitung, Soemini sangat fasih
berbahasa belanda tetapi dia mengakui bahwa ia sangat gagal mendidik anak-anaknya dibidang
yang seharusnya dikuasai oleh priyayi, yaitu bidang seni dan agama. Sementara itu, sejak duduk
dikelas empat sekolah desa di karangdompol, lantip sudah sangat giat ikut menyelengarakan
panembrono, dan bahkan mementaskan ketoprak pada saat perpisahan disekolahnya. Pertunjukan
dirasa cukup berhasil oleh para gurunya sehingga sampai sehari-hari masih ramai menjadi bahan
pembicaraan. Ndoro guru kakung dan putrid memuji-mujinya sebagai anak yang betul-beyul
lantip(cerdas).
Dalam novel ini, terlihat usaha Umar kayam untuk memahami tingkah laku antara orang
kecil dan para priyayi sedekat mungkin, baik dengan melukiskan alam pikiran para priyayi
secara teliti maupun tanggapan orang kecil terhadap dunia mereka sendiri dan dunia priyayi.
Seperti kutipan dibawah ini:
“le bapakmu ini wong tani ndeso. Jadi, saya melihat persoalanmu ya seperti seorang
tani melihat persoalan. Kita ini semua rak sesungguhnya wong cilik saja to, le, wong cilik
yang diperintah gupermen. Lha, sebagai wong cilik ya mestinya manut, menurut aturan
gupermen begitu. Kalau tidak manut itu rak salah to, le , kalau menurut aturan gupermen
yang dikerjakan mentri gurumu iku salah, ya salah, le. Lha, kalau menurut gupermen kamu
diperintahkan menganti dia. Ya kamu harus terima, le. Mosok kamu mau menolak apalagi
melawan? Tapi ini pendapat bapakmu wong tani mutun, jelek, asli, murni, lho, le. Cobalah
kalau kamu besok sowan ndoro setan, wah saya belum saja bias memanggil beliau dengan
kamas itu, le. Kamu minta pendapat beliau, eh, lha mertuamu bagaimana
pendapatnya?”(Kayam, 1992: 61)

Kesan yang dapat diambil yaitu setiap orang dapat menjadi seorang priyayi meskipun
dari golongan petani ataupun rakyat jelata asal ia mau berusaha untuk maju dan mau bersi keras
seperti tokoh lantip dan Sastrodarsono, yang digambarkan dalam novel para priyayi.
Melihat novel para priyayi dari sudut sosiologi mengungkapkan proses tranformasi yang
dialami seorang anak petani, sebagai cikal bakal terbentuknya keluarga besar yang disebut
sebagai keluarga priyayi. Proses tranformasi ini berupa mobilitas vertical dari petani desa sampai
ketingkatan birograsi dikota. Seluruh proses tranformasi ini dikisahkannya sampai tingkatan
cucu. Ditinkat cucu inilah nilai kepriyayian itu kemudian dipermasalahkan, yaitu siapakah yang
dapat meneruskan generasi itu. Sebagai contoh kecil, dalam mengupas para priyayi, Umar kayam
menulis (1992: 31)
…..Menurut Embok sesungguhnya ia ingin member nama islam (meskipun kami
tidak sembahyang) seperti Nyali atau Ngusman. Bukankah nama bapak saya juga Kasan?
Tetapi, bapak saya meyakinkan Embok untuk menerima saja pemberian nama itu. Embok
masih bimbang, takut jangan-jangan nama ini nama yang terlalu berat bagi bayi seorang
anak desa. Jangan-jangan jadi pendek umur anak itu nanti, begitu khatiran Embok. Tetapi
bapat terus membujuk dan meyakinkan Embok bahwa kita tidak usah khawatir akan
mengalami bacaan itu. “ wong parengan, hadiah, dari priyayi tinggi kok dikhawatirkan, “
tutur bapak. “ mesti baiknya,” tandas bapak lagi (kayam, 1992: 31).
Disamping itu, pengabdiaan Atmokasan pada Ndoro Seten kedungsimo juga memiliki arti
yang penting dengan diterimanya Soedarsono di sekolah desa sehingga ia berhasil lulus dan
dapat diterima sebagai guru bantu. Soedarsono memang tidak mengabdikan dirinya secara
langsung kepada Ndoro seten kedungsimo, tetapi pengabdian sebenarnya dapat dipandang
sebagai penggantinya.
Dalam novel ini kita bias mendapatkan keuntungan dan kelebahannya yaitu:
keuntungannya pertama, membiarkan setiap tokoh bercerita sendiri, ini mengakibatkan
antartokoh saling memandang: sastrodarsono memandang Latip, dan Latip juga bias memandang
Sastrodarsono, dan pelukis yang adil. Keuntungan kedua, urutan waktu tidak hanya sekedar
kronologis dan Flashback, tetapi susul-menyusul, dan bahkan maju mundur serta enak diikuti.
Jalan ceritanya memang tenang, hampir tanpa berisik. Kelebihannya pertama, pelukiskannya
rinci dan teliti; kedua, bahasanya bahasanya hidup, suasana local-temporalnya membayang pada
penggunaan kosa kata jawa, Belanda dan Jepang. Secara struktural, kasa kata campuran itu
bermakna; dan secara sastrawi kosakata itu memberikan warna cerah estetikanya sehingga
terbayang realistic details.

You might also like