You are on page 1of 24

BAB II

LANDASAN TEORI

Pada bab ini, penulis akan menguraikan tentang teori-teori yang melandasi

kasus Typhoid Fever, dimana penulis akan membahas mengenai teori tentang

Typhoid Fever yang terdiri dari: anatomi fisiologi usus halus, penyakit Thypoid Fever

dan proses keperawatan.

B. Konsep Dasar

a.Defenisi

Ada beberapa definisi thypoid fever menurut beberapa literatur, antara lain:

a. Demam tipoid adalah penyakit sistemik akut akibat infeksi

salmonella thypi. (Braunwald, et al, 1991).

a. Demam tipoid adalah penyakit infeksi akut usus halus. (Waspadji,

dkk, 1996).

b. Demam tipoid ialah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai

saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 1 minggu,

gangguan pada pencernaan dan gangguan kesadaran. (Ngastiyah,

1997).

8
9

c. Demam tipoid adalah suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh

salmonella thypi dan ditandai oleh demam, kelesuan, nyeri abdomen

dan ruam berwarna kemerahan. (Saputra Lyndon, 1999).

d. Tifus abdominalis adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat

pada saluran cerna dengan gejala demam lebih dari 1 minggu dan

terdapat gangguan kesadaran. (Suryadi, 2001).

b. Anatomi Fisiologi Usus Halus

Di sini penulis hanya membahas anatomi usus halus sesuai dengan kasus

yang didapat yaitu Thypoid Fever.

Usus halus adalah tabung kompleks, berlipat-lipat yang membentang dari

pylorus sampai katup ileosekal. Pada orang hidup panjang usus halus sekitar 12

kaki (Price, 1994). Lapisan usus halus menurut Syaifuddin (1966) meliputi

lapisan mukosa (sebelah dalam),lapisan otot melingkar (M. sirkuler), lapisan otot

memanjang (M. longitudinal) dan lapisan serosa (sebelah luar). Usus halus

merupakan saluran paling panjang tempat proses pencernaan dan absorbsi hasil

pencernaan yang terdiri dari :

1. Duodenum

Disebut juga usus dua belas jari dan panjangnya ± 25 cm, berbentuk

sepatu kuda melengkung ke kiri pada lingkungan ini terdapat pankreas. Dan
10

bagian kanan duodenum ini terdapat selaput lendir yang membukit disebut

papilla vateri. Pada papilla vateri ini bermuara saluran empedu dan saluran

pankreas.

Empedu dibuat di hati untuk dikeluarkan ke duodenum melalui saluran

empedu yang fungsinya mengemulsikan lemak, dengan bantuan lipase.

Dinding duodenum mempunyai lapisan mukosa yang banyak

mengandung kelenjar, kelenjar ini disebut kelenjar-kelenjar brunner berfungsi

memproduksi getah intestinum.

2. Yeyenum dan Ileum

Yeyenum dan ileum mempunyai panjang sekitar ± 6 meter. Dua per

lima bagian atas adalah yeyunum dengan panjang ± 2-3 meter dan ileum

dengan panjang ± 4-5 meter. Lekukan yeyenum dan ileum melekat pada

dinding abdomen posterior dengan perantaraan lipatan peritoneum yang

berbentuk kipas dikenal sebagai mesenterium.

Ujung bawah ileum berhubungan dengan seikum dengan perantaraan

lubang yang bernama orifisium ileoseikalis, yang diperkuat untuk spinkter

ileoseikalis dan pada bagian ini terdapat katup valvula seikalis atau valvula

baukini yang berfungsi untuk mencegah cairan dalam kolon asendens tidak

masuk kembali ke dalam ileum.

Adapun fungsi usus halus adalah sebagai berikut:


11

a. Menerima zat-zat makanan yang sudah dicerna untuk diserap melalui

kapiler-kapiler darah dan saluran-saluran limfe

b. Menyerap protein dalam bentuk asam amino

c. Karbohidrat diserap dalam bentuk monosakarida

Di dalam usus halus terdapat kelenjar yang menghasilkan getah usus

yang menyempurnakan makanan, yaitu:

a. Enterokinase, mengaktifkan enzim proteolitik

b. Eripsin menyempurnakan pencernaan protein menjadi asam amino

c. Etiologi

Menurut Hassan. Rusepno, dkk (1985) penyebab penyakit ini

adalah Salmonella typhosa, basil gram negatif yang bergerak dengan bulu

getar, tidak berspora. Mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen

yaitu antigen O (somatik, terdiri dari zat kompleks lipopolisakarida),

antigen H (flagella), dan antigen V1 dalam serum terdapat zat anti

(agglutinin) terhadap ketiga macam antigen tersebut.


12

d. Patofisiologi

Kuman masuk melalui mulut. Sebagian kuman akan dimusnahkan

dalam lambung oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus

ke jaringan limfoid dan berkembang biak menyerang vili usus halus

kemudian kuman masuk ke peredaran darah (bakterimia primer) dan

mencapai sel-sel retikuluendotelial (hati, limfa dan organ-organ lainnya).

Proses ini terjadi dalam masa tunas dan akan berakhir saat sel-sel

retikuloendotelial melepaskan kuman ke dalam peredaran darah dan

menimbulkan bakterimia untuk yang kedua kalinya. Selanjutkan kuman

masuk ke beberapa organ tubuh, terutama limfa, usus dan kandung

empedu.

Pada minggu pertama sakit, terjadi hiperplasia plaks player. Ini

terjadi pada kelenjar limpoid usus halus. Minggu kedua terjadi nekrosis

dan pada minggu ketiga terjadi ulserasi plaks peyeri. Pada minggu

keempat terjadi penyembuhan ulkus yang dapat menimbulkan sikatrik.

Ulkus dapat menyebabkan perdarahan bahkan sampai perforasi usus.

Selain itu hepar, kelenjar mesentrial dan limfa membesar.

Gejala demam disebabkan oleh endotoksin, sedangkan gejala pada

saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus halus.


13

Salmonella Thyphosa

Saluran pencernaan

Diserap oleh usus halus

Bakteri memasuki aliran darah sistemik

Kelenjar limfoid usus Hati Limpa Endotoksin


halus

Tukak Hepatomegali Splenomegali Demam

Perdarahan dan Nyeri perabaan


perforasi

(Suryadi, 2001)

e. Manifestasi klinis

Gejala-gejala pada Thypoid Fever yang timbul bervariasi. Dalam

minggu pertama, keluhan dan gejala serupa dengan penyakit infeksi akut
14

pada umumnya yaitu: demam, nyeri kepala, pusing, nyeri otot, anoreksia,

mual, muntah, obstipasi atau diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan

epistaksis.

Dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi lebih jelas berupa

demam, lidah tipoid (kotor di tengah, tepi dan ujung merah serta tremor),

hepatomegali, splenomegali, meteorismus dan gangguan kesadaran berupa

samnolen sampai koma (Mansjoer, dkk. 1999).

f. Pemeriksaan Penunjang (Laboratorium)

Menurut Waspadji, dkk. (1996) adalah sebagai berikut:

1) Pemeriksan leukosit : leucopenia (tidak sering) dan limfositosis

relatif.

2) Pemeriksaan SGOT dan SGPT: seringkali meningkat dan akan

kembali normal setelah sembuh.

3) Uji widal : adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan

antibody (agglutinin).

Aglutinin yang spesifik terhadap Salmonella terdapat dalam serum

klien Thypoid Fever, juga pada orang yang pernah tertular Salmonella

dan orang yang pernah divaksinasi terhadap Thypoid Fever.

Akibat infeksi S. typhi klien membuat antibody yaitu :

1) Aglutinin O, karena rangsangan antigen O (dari tubuh kuman)


15

2) Aglutinin H, karena rangsangan antigen H (dari flagella

kuman)

3) Agglutinin V1, karena rangsangan antigen V1 (dari simpai

kuman)

Dari ketiga agglutinin tersebut hanya agglutinin O dan H yang

ditentukan titernya untuk diagnosis. Makin besar titernya, makin besar

kemungkinan klien menderita Thypoid Fever.

g. Komplikasi

Komplikasi Thypoid Fever dibagi menjadi 2, yaitu:

a) Komplikasi intestinal, seperti:

1) Perdarahan usus

2) Perforasi usus

3) Ileus paralitik

b) Komplikasi ekstra intestinal, yaitu:

(1) Komplikasi kardiovaskulerer (miokarditis).

(2) Komplikasi darah (animea hemolitik)

(3) Komplikasi paru (pneumonia).

(4) Komplikasi hepar (hepatitis dan kolitiasis).

(5) Komplikasi ginjal (glomerulonefritis).


16

(6) Komplikasi tulang (osteomelitis).

(7) Komplikasi neuropsikiatrik (delirium dan meningitis).

(Mansjoer, dkk. 1999).

h. Penatalaksanaan

a) Perawatan

(1) Isolasi, observasi dan pengobatan sebaiknya di Rumah Sakit.

(2) Tirah baring absolut sampai minimal 7 hari bebas demam

atau ± 14 hari, untuk mencegah perdarahan usus/perforasi usus.

(3) Mobilisasi bertahap sesuai dengan pulihnya kekuatan klien.

(4) Jika kesadaran menurun, ubah posisi tubuh klien untuk

menceah pneumonihipostatik dan dekubitus.

(5) Perhatikan dan pantau BAB dan BAK.

b) Diet

Adapun diet pada klien Thypoid Fever adalah bubur saring,

kemudian bubur kasar dan akhirnya nasi sesuai dengan tingkat


17

kesembuhan klien. Penelitian menunjukkan bahwa pemberian

makanan padat dini yaitu nasi dan lauk pauk rendah selulosa (pantang

sayuran dengan serat kasar) dapat diberikan dengan aman pada klien.

c) Pengobatan

(1) Anti mikroba

(a) Kloramfenikol atau tiamfenikol

Dosis 4 x 500 mg/hari atau intravena sampai 7 hari bebas

demam.

(b) Kotrimoksazol

Dosis 2 x 2 tablet/hari sampai 7 hari bebas demam 1 tablet : 80

mg trimetoprim dan 400 mg sulfametosazol.

(c) Ampisillin atau amoksisillin

Dosis 75-150 mg/kg BB/hari.

(2) Simptomatik

(a) Antipiretik bila perlu

(b) Kortikosteroid, diberikan pada klien yang toksik secara

bertahap (tafering off) selama 5 hari.

(Waspadji, dkk. 1996).

d) Pencegahan

Menurut Kozier. Barbara, (1987) pencegahan yang dilakukan adalah:


18

(1) Penyediaan sanitasi air bersih.

(2) Sanitasi pembuangan kuman feses.

(3) Susu yang melalui proses pasteorisasi dan produk-produk

harian.

(4) Pengobatan dan pengontrolan karier.

(5) Vaksinasi di daerah yang airnya terkontaminasi.

(6) Cuci tangan setelah BAB dan BAK serta sebelum makan.

(7) Lakukan pencegahan tipes bagi klien yang dirawat di rumah

sakit.

i. Prognosis

Prognosis thypoid fever bergantung pada umur, keadaan umum,

derajat kekebalan penderita, jumlah dan virulensi salmonella serta cepat

tepatnya pengobatan. Angka kematian pada anak-anak 2,6% dan pada

orang dewasa 7,4%, rata-rata 5,7%. (Mansjoer. Arif, dkk, 1999). Tindakan

keperawatan juga sangat mengambil peranan dalam hal ini.

4) Asuhan Keperawatan

Menurut Doenges, et al (2000) dalam memberikan asuhan

keperawatan pada klien dengan Thypoid Fever menggunakan lima tahap


19

proses keperawatan proses keperawatan, yang meliputi: pengkajian, diagnosa

keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi.

3. Pengkajian

Langkah awal dari proses keperawatan adalah pengkajian yang

sistematis, kontiyu, valid, dan diperoleh data klien dari data klien hasil

wawancara dan observasi (Taylor Carol, 1997).

Adapun hal-hal yang perlu dikaji pada klien dengan Thypoid Fever

menurut Doenges, et al (2000) adalah sebagai berikut :

a. Aktivitas/istirahat.

Gejala:

(1) Kelemahan.

(2) Kalelahan.

(3) Malaise.

(4) Cepat lelah.

(5) Pembatasan aktivitas / kerja sampai dengan efek proses

penyakit.

b. Sirkulasi

Tanda :

1). Takikardi (respon terhadap demam, dehidrasi, proses inflamasi).

2). Tekanan darah hipotensi.


20

3). Kulit atau membran mukosa: turgor buruk, kulit kering, lidah

kotor, bibir pecah-pecah.

c. Eliminasi

Gejala :

1). Tekstur feses bervariasi dari bentuk keras sampai lunak bahkan

berair.

2). Defekasi berdarah.

3). Perdarahan perrektal.

Tanda :

1). Jika konstipasi maka bising usus menurun bahkan tidak ada, akan

tetapi jika terjadi diare maka bising usus akan meningkat.

2). Oliguri.

d. Makanan / cairan.

Gejala :

1). Anoreksi, mual / muntah.

2). Penurunan berat badan.

3). Lidah kotor.

Tanda :

1). Penurunan lemak subkutan / massa otot.

2). Kelemahan, tonus otot dan turgor kulit buruk.


21

e. Keamanan

Gejala :

1). peningkatan suhu ( 37, 9 °C atau lebih)

4. Diagnosa keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah suatu pernyataan yang menjelaskan

respon manusia (status kesehatan atau resiko perubahan pola) dari individu

atau kelompok dimana perawat secara akuntabilitas dapat mengidentifikasi

dan memberikan intervensi secara pasti untuk menjaga status kesehatan,

menurunkan, membatasi, mencegah dan merubah. (Nursalam, 2001) dikutip

dari (Carpenito, 2000).

Diagnosa keperawatan yang sering muncul pada klien dengan

Thypoid Fever adalah sebagai berikut:

a. Hipertermi berhubungan dengan

proses infeksi.

b. Konstipasi/diare berhubungan dengan

perubahan proses perencanaan, penurunan aktivitas fisik.

c. Perubahan nutrisi kurang dari

kebutuhan tubuh berhubungan dengan tidak ada nafsu makan dan mual.
22

d. Resiko tinggi kekurangan volume

cairan berhubungan dengan kehilangan melalui rute normal (diare dan

muntah).

(Doenges, et al 2000).

5. Perencanaan

Menurut Taylor, et al (1997) perencanaan adalah membuat tujuan

terhadap klien, bekerjasama dengan klien untuk mencegah, mengurangi dan

merumuskan masalah yang diidentifikasi dalam diagnosa keperawatan dan

menentukan intervensi keperawatan serta membuat klien mencapai tujuan.

Pada tahap perencanaan ditetapkan prioritas masalah, tujuan, kriteria

hasil dan perencanaan tindakan keperawatan dengan rasional pada setiap

tindakan. Menurut Doenges, et al (2000) ada dua contoh hirarki yang bisa

digunakan untuk menentukan priortias perencaaan:

a.Hirarki “Maslow”

Maslow (1943) menjelaskan kebutuhan manusia dibagi dalam lima

tahap: (1) fisiologis, (2) rasa aman dan nyaman, (3) sosial, (4) harga diri

dan (5) aktualisasi diri.


23

Aktua
lisasi

Harga diri (Respek


dan Toleransi)

Mencintai dan dicintai


(Ingin dicintai oleh keluarga)

Rasa aman dan nyaman (terhindar dari


penyakit dan perlindungan hukum)

Kebutuhan fisiologi/biologi
udara segar, cairan elektrolit, makanan, sek
(Cegah sesak dan dehidrasi)

(Pusdiknakes, 1990)

b. Hirarki “Kalish”

Kalish (1983) lebih jauh menjelaskan kebutuhan Maslow dengan

membagi kebutuhan fisiologis menjadi kebutuhan untuk “bertahan

hidup, stimulasi dan keamanan”.

Adapun perencanaan berdasarkan masing-masing diagnosa

keperawatan menurut Doenges, et al (2000) adalah:

a.Hipertermi berhubungan dengan proses infeksi.


24

Tujuan : hipertermi berkurang atau hilang.

Kriteria hasil : - Suhu tubuh dalam batas normal (36 – 37 oC).

- Bebas dari kedinginan.

Rencana tindakan:

Mandiri

2) Pantau suhu klien (derajat dan pola), perhatikan

menggigil/diaforesis.

R: Suhu 37,9 oC atau lebih menunjukkan proses infeksi. Pola

demam dapat membantu dalam diagnosis, misalnya tifoid;

demam remiten (bervariasi).

3) Pantau suhu lingkungan

R: Suhu lingkungan/jumlah selimut harus diubah untuk

mempertahankan suhu mendekati normal.

4) Berikan kompres mandi hangat, hindari penggunaan

alkohol.

R: Dapat membantu mengurangi demam. Penggunaan alkohol

mungkin dapat menyebabkan kedinginan, peningkatan suhu

secara aktual dan dapat mengeringkan kulit.

Kolaborasi

5) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antipiretik.


25

R: Digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya

pada hipotalamus.

b. Konstipasi/diare berhubungan dengan perubahan proses

pencernaan, penurunan aktivitas fisik.

Tujuan : Pola BAB kembali normal.

Kriteria hasil : - Klien dapat BAB/frekuensi dalam batas normal

(1x/hari).

- Konsistensi feces lunak.

- Peristaltik usus kembali normal (5-35x/menit).

Rencana tindakan:

Mandiri

1) Auskultasi bunyi usus

R: Bunyi usus secara umum meningkat pada diare dan menurun

pada konstipasi.

2) Dorong masukan cairan 2.500 – 3.000 cc/hari.

R: Membantu dalam memperbaiki konsistensi feses bila konstipasi.

Akan membantu mempertahankan status hidrasi pad diare.

3) Anjurkan mobilisasi secara bertahap.

R: Kehilangan tonus muskuler akan mengurangi peristaltik usus

atau dapat merusak kontrol sfingter rektal.


26

4) Anjurkan mengkonsumsi makanan dengan kadar serta

tinggi, seperti buah-buahan (pepaya) dan pudding.

R: Meningkatkan konsistensi feses dan pengeluaran feses.

Kolaborasi

5) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian obat

pelunak feses, seperti: Supositorio saat konstipasi dan antikolinergik

sepeprti: belladonna ketika diare.

R: - Supositoria dapat meningkatkan regulitas dengan

meningkatkan serta atau meningkatkan konstipasi feses.

- Belladona menurunkan motilitas/peristaltik dan menurunkan

sekresi digestif untuk menghilangkan kram dan diare.

c.Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan

tidak ada nafsu makan dan mual.

Tujuan : Nutrisi terpenuhi.

Kriteria hasil : - Berat badan mengalami peningkatan atau stabil.

- Tidak ditemukan tanda-tanda malnutrisi.

Rencana tindakan:

Mandiri

1) Timbang berat badan setiap hari bila kondisi klien memungkinkan.

R: Memberikan informasi tentang kebutuhan diet/keefektifan terapi.


27

2) Berikan makanan sedikit dan sering.

R: Memaksimalkan intake nutrisi, mencegah mual dan mengurangi

iritasi dinding lambung.

3) Hindari makanan yang merangsang, seperti: pedas dan asam serta

dingin.

R: Makanan yang merangsang dan dingin dapat menimbulkan mual.

4) Lakukan kebersihan mulut.

R: Mulut yang bersih dapat meningkatkan rasa makanan.

5) Jelaskan pentingnya nutrisi untuk kesembuhan.

R: Pengetahuan bertambah sehingga termotivasi untuk makan.

6) Kaji pola makan (pola makan klien di rumah, makanan yang disukai

dan tidak disukai).

R: Mengidentifikasi pola yang memerlukan perubahan dan sebagai

dasar mengevaluasi program diet.

7) Anjurkan klien mengkonsumsi makanan berserat seperti pepaya,

pudding dan lain-lain.

R: Serat menahan enzim pencernaan dan mengabsorbsi air dalam

alirannya sepanjang traktus intestinal serta dengan demikian


28

dapat menimbulkan bulk, yang bekerja sebagai perangsang untuk

defekasi.

Kolaborasi

8) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian antiemetika, seperti:

gestamag syrup.

R: Antimietika untuk mencegah mual dan muntah.

d. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan

dengan kehilangan melalui rute normal (diare dan muntah).

Tujuan : Kekurangan volume cairan tidak terjadi.

Kriteria hasil : - Tanda-tanda vital dalam batas normal.

- Intake dan output seimbang.

- Kosistensi urine normal (1 cc/kg BB/jam).

- Turgor kulit baik.

Rencana tindakan:

Mandiri

1) Kaji tanda-tanda vital

R: Hipotensi, takikardi dan demam dapat menunjukkan respon

terhadap kehilangan cairan.

2) Observasi terhadap turgor kulit.

R: Menunjukkan kehilangan cairan berlebihan/dehidrasi.


29

3) Ukur intake dan output

R: Memberikan informasi sebagai pedoman untuk penggantian

cairan.

Kolaborasi

4) Kolaborasi dengan dokter untuk pemberian cairan parenteral.

R: Untuk mengganti cairan yang hilang.

6. Pelaksanaan

Pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana tindakan untuk mencapai

tujuan yang spesifik (Nursalam, 2001) kutipan dari (Iyer, et al 1996). Tahap

pelaksanaan dimulai setelah rencana tindakan disusun dan berguna untuk

memenuhi kebutuhan klien mencapai tujuan yang diharapkan secara

optimal.

Pelaksanaan tindakan keperawatan harus diikuti oleh pencatatan

yang lengkap dan akurat terhadap suatu kejadian dalam proses keperawatan.

Dokumentasi tindakan keperawatan ini berguna untuk komunikasi antar tim

kesehatan sehingga memungkinkan pemberian tindakan keperawatan yang

berkesinambungan.
30

7. Evaluasi

Fase akhir dari proses keperawatan adalah evaluasi terhadap asuhan

keperawatan yang diberikan. Hal-hal yang dievaluasi adalah keakuratan,

kelengkapan dan kualitas data, teratasi atau tidaknya masalah klien, serta

pencapaian tujuan dan ketetapan intervensi keperawatan (Gaffar, 1999).

Tujuan dari evaluasi adalah menilai keberhasilan dari tindakan

perawatan, respon klien terhadap tindakan yang telah diberikan dan

mencegah masalah-masalah yang mungkin timbul lagi.

Menurut Nursalam (2001), ada dua evaluasi yang ditemukan yaitu:

a.Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan secara terus

menerus untuk menilai hasil dari tindakan yang telah dilakukan.

b. Evaluasi sumatif adalah evaluasi akhir dari keseluruhan

tindakan yang dilakukan dan disesuaikan dengan kriteria waktu yang

telah ditetapkan.

Adapun evaluasi yang diperoleh berdasarkan hasil yang diharapkan

pada klien dengan Thypoid Fever, menurut Doenges, et al (2000) adalah

sebagai berikut:
31

a.Hipertermi dapat teratasi.

b. Konstipasi atau diare dapat teratasi.

c.Nutrisi terpenuhi.

d. Kekurangan volume cairan tidak terjadi.

You might also like