You are on page 1of 14

Diakonia : Tugas Gereja Untuk Membebaskan

1. Pendahuluan
Salah satu isu yang kontroversial dalam dekade terakhir ini dalam dunia gereja adalah pergumulan
antara penyuaraan Injil Sosial (Social Gospel) dan yang mereka yang ingin tetap tinggal menyakini
bahwa tugas utama pewartaan gereja adalah spiritualitas. Sementara sebuah pemahaman yang
meliputi injil secara keseluruhan juga bertumbuh dari kedua pihak, namun pergumulan itu masih
tetap berlangsung.
Pergumulan tersebut juga mencakup pemahaman orang percaya akan kehadiran Allah. Gambaran
Allah yang telah disempurnakan dalam diri Yesus Kristus. Maka hakikat kemanusiaan kita di dalam
Kristus adalah tugas untuk memelihara kehidupan. Tidak bisa tidak, tanggungjawab itu mesti
dikembangkan oleh gereja. Banyak metode pendekatan yang telah dilakukan terhadap misi seperti
itu. Di India ada Teologi Dalit, di Korea ada Teologi Minjung, di Amerika Latin ada Teologi
Pembebasan. Semua itu adalah wujud tanggungjawab dan peran sosial gereja dalam memelihara dan
meningkatkan harkat kehidupan yang sudah diaturkan oleh Allah sendiri. Perjumpaan atau
persinggungan nilai yang konstruktif bagi kehidupan akan menghasilkan transformasi bagi gereja.
Asal nilai-nilai itu dilihat sebagai sebagai sumber-sumber otentik dan tidak hanya dilihat sebagai
komplemen dari proses transformasi itu. Sebagaimana kata Gutiérrez yang dikutip Harvie M. Conn1,
konteks teologi adalah sebuah teologi yang tidak pernah henti berefleksi di dunia ini, namun tetap
mencoba untuk menjadi bagin dari proses di dalam mana dunia ditransformasi. Ia menjadi teologi
yang terbuka menolak kemapanan martabat kemanusiaan, pergumulan terhadap penindasan, ketidak-
adilan melalui kasih yang membebaskan, dan membangun sebuah masyarakat yang baru, adil dan
penuh persaudaraan, menjadikannya sebagai Kerajaan Allah.
Dengan demikian tulisan ini mula-mula akan membahas tentang gambaran perlunya peran sosial
gereja sebagai pewaris pelayanan Yesus di dunia ini. Diperlukan pemahaman ulang atas tugas-tugas
gereja, yang kini dikenali dalam Tri-tugas pelayanan gereja : Koinonia, Marturia dan Diakonia
sebagai satu pelayanan yang utuh dan menyeluruh (holistik).
Bagian berikutnya mengetengahkan tugas gereja dan orang-orang percaya sebagai persekutuan itu
merespon pewartaan Yesus dalam institusi gereja. Jawaban itu kadang-kadang dipergumulkan,
karena tidak tanpa kesalahan dan kekeliruan dalam penafsirannya.
Salah satu rumusan masalah menyangkut pelayanan diakonia adalah “masih belum seragamnya
pemahaman dan pemaknaan pelayanan diakonia di Jemat-jemaat”. Ketidakseragaman pemahaman ini
mengakibatkan perbedaan sikap dan bentuk-bentuk pelayanan diakonia yang dilaksanakan di setiap
jemaat. Bertolak dari itu, berikut ini dipaparkan hal-hal yang diharapkan membantu pengembangan

1
Harvie M Conn, “Theologies of Liberation : An Overview” dalam Tensions In Contemporary Theology, (Eds.
Stanley N Gundry & Alan F Johnson), (Chicago : Moody Press), hlm. 329
1
pemahaman bersama tentang diakonia, yaitu hakekat diakonia, mengapa gereja harus berdiakonia,
dan bagaimana gereja melaksanakan pelayanan diakonia.
Apa yang dirumuskan gereja sebagai salah satu tugasnya yaitu Diakonia, pelayanan sosial yang
adalah pelayanan kasih akan dibahas tersendiri sebagai bagian dari tanggapan gereja atas pewartaan
Yesus tentang keselamatan dan keadilan serta tema pembebasan dalam dunia.
Pada bagian berikut penulis berusaha mengetengahkan “konteks” pergumulan pelayanan Diakonia
dalam gereja di Indonesia dan HKBP secara khusus. Situasi dan kondisi dimana gereja kini diam
adalah bagian yang tidak dapat dipisahkan dan bagaimana gereja dapat bertanggungjawab beperan
serta atas keadaan di sekitarnya.

2. Pengertian Gereja
Secara etimologi, kata gereja berasal dari bahasa Yunani “Ekklesia” yang artinya mereka yang
dipanggil keluar. Dengan menggunakan pengertian ini, maka yang tergabung dalam persekutuan ini
adalah orang-orang pilihan yang sudah dipanggil keluar dari lingkungannya yang gelap. Tetapi pada
saat yang sama, mereka yang sudah dipanggil keluar tersebut kembali diutus ke dalam dunia, ke
dalam lingkungannya untuk menjadi garam dan terang (Mat. 5:13-14). Itu berarti Allah memanggil
umat pilihanNya bukan untuk dijadikan umat simpanan-Nya atau menjadi suatu umat yang
diisolirkan dari lingkungan masyarakat sekitarnya (eksklusif). Pemanggilan Allah atas umat-Nya ini
untuk dijadikan garam dan terang bagi kegelapan dan ketawaran yang masih ada di sekitarnya2.
Oleh sebab itu, makna gereja yang sejati bukan hanya terletak pada pemilikan nota ecclesiae : adanya
pemberitaan Firman Allah yang benar; penyelenggaraan sakramen yang kudus dan penegakan
disiplin, tetapi juga harus menjadi gereja bagi orang lain. Garam dan terang tidak berfungsi bagi
dirinya sendiri, garam dan terang selalu berfungsi bagi yang lain. Bagaimana gereja dapat menjadi
gereja bagi orang lain? Melalui pemenuhan tugas pelayanan yang telah Allah mandatkan kepada
gereja. Mandat ini merupakan Missio Dei dari pada Allah. Missio Dei memberitakan kabar baik
bahwa Allah adalah Allah untuk semua manusia, ini jangan dipersempit menjadi bahwa Allah hanya
untuk orang kristen.
Gereja adalah persekutuan orang-orang yang menanggapi atau menjawab panggilan Allah dalam
iman untuk ikut mengambil bagian dalam karya penyelamatan Allah melalui Kristus. Gereja
kemudian menjadi persekutuan orang-orang yang mengikut Yesus; persekutuan murid-murid Yesus.
Sebagai persekutuan pengikut Yesus, gereja sering digambarkan sebagai tubuh Kristus. Gambaran itu
mengandung arti bahwa Tuhan Yesus sebagai Kepala Gereja. Kepala dari tubuh itu, ingin
menggunakan gereja untuk menyatakan dirinya serta merta.

Pandangan Dunia yang Dikotomis


Sebuah opini yang berkembang dalam masyarakat kristen adalah bahwa tugas untuk menyelesaikan
masalah-masalah yang muncul dalam masyarakat bukanlah tugas bagi gereja, karena gereja hanya
2
Malcolm Brownlee, Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan: Dasar Teologis bagi Pekerjaan Orang
Kristen dalam Masyarakat, (Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1993), hl. 139
2
berhubungan dengan masalah-masalah rohani saja. Ini terjadi karena gereja sangat dipengaruhi oleh
cara pandang yang dikotomis tentang dunia. Pandangan yang menekankan tentang eksistensi dua
alam yang independen, terpisah, tidak dapat direduksi bahkan alam atas lebih baik daripada alam
bawah merupakan pandangan dualisme. Implikasi praktis bagi gereja yang terpengaruh (sadar atau
tidak sadar) pandangan ini adalah memperlakukan realitas-realitas materi dengan masa bodoh, acuh
tak acuh bahkan malah membencinya. Sehingga masalah memperjuangkan keadilan, mengentaskan
kemiskinan, penyelesaian konflik-konflik sosial bukan menjadi tanggung jawab gereja. Gereja hanya
menekankan prioritas pada kehidupan di alam baka3.
Seperti yang diungkapkan oleh Arief Budiman : “Sudah menjadi rahasia umum bahwa kebanyakan
tokoh-tokoh agama di dunia ini berpikir secara normatif, dan menekankan prioritas pada kehidupan
di alam baka. Dalam menghadapi kemiskinan di dunia, mereka memang beranggapan bahwa ini
adalah ketidakadilan. Akan tetapi, yang mereka lakukan biasanya adalah menyuruh orang untuk
tawakal, pasrah, sambil menekankan bahwa keadilan yang abadi akan mereka dapatkan di akhirat
nanti. Untunglah, masih ada, meskipun jumlahnya masih sedikit, tokoh-tokoh agama yang berpikir
dan berbuat lain”.
Pandangan semacam ini oleh Brown disebut dengan “Kesesatan Agung” (the Great Fallacy).
Mengapa? Ini jelas karena perhatian Allah itu sendiri bukan kepada surga-Nya, melainkan kepada
dunia. AnakNya yang tunggal diberikan bagi dunia bukan bagi surga.
Gereja yang dipanggil untuk mengikut Allah dan mengikut Yesus Kristus, yang adalah Tuhan dunia
dan gereja, harus selalu sadar akan kenyataan bahwa gereja berada di dalam dunia terutama untuk
kepentingan dunia ini dan bukan untuk kepentingan dirinya sendiri. Inilah hukum dasar hidup gereja.
Namun dalam kenyataannya gereja itu introvert, dan cenderung selalu hanya memikirkan dirinya
sendiri. Banyak waktu yang digunakan oleh gereja untuk memulihkan dirinya sendiri. Ucapan yang
sering terdengar dalam gereja adalah, kita sendiri belum cukup, bagaimana kita mau melayani orang
lain, lebih baik kita berdiam diri saja, karena hal itu mengandung resiko yang besar.
Paham Injil Sosial atau Social Gospel sering dimengerti tumpang tindih dengan pelayanan sosial.
Reaksi dan protes keras atas munculnya paham Social Gospel telah membuat kaum fundamentalis
memberontak pula terhadap kewajiban sosial kristen. Injil yang bersifat menebus dahulu merupakan
pesan yang mengubah dunia, kini ia dipersempit menjadi pesan yang menolak dunia.
Fundamentalisme dalam pemberontakannya melawan Injil Sosial tampaknya juga memberontak
terhadap kewajiban sosial kristen. Ia tidak menentang ketidakadilan-ketidakadilan dari totalita-
rianisme, sekularisme pendidikan modern, kejahatan-kejahatan dari kebencian rasial, kesalahan-kesa-
lahan dalam hubungan-hubungan antara pekerja-pemilik di masa kini, dan dasar-dasar yang tidak
memadai dalam hubungan-hubungan internasional”4.

3
Malcolm Brownlee, Tugas Manusia … Op.Cit.
4
Walter E Pilgrim, Good News To The Poor : Wealth And Poverty In Luke-Acts, (Minnesota : Ausburg
Publishing House, 1981), hlm. 166 dyb.
3
3. Tri Tugas Gereja Sebagai Kesatuan
Bersama dengan Koinonia dan Marturia, Diakonia adalah Tri-tugas gereja yang menjadi satu
kesatuan dan tidak dapat dipisahkan satu sama lain. Pelayanan gereja ini harus dilaksanakan secara
terpadu dan bersamaan sehingga menjadi pelayanan gereja yang holistik. Karena itu membahas
Diakonia tidak dapat dipisahkan dari pelayanan gereja yang sering kita kenal sebagai Tugas
Panggilan Gereja. Itu berarti Diakonia Gereja adalah bagian integral dari pelayanan utuh/ menyeluruh
gereja Tuhan di dalam dunia ini.
Pelayanan yang utuh pada hakekatnya menghubungkan secara tepat dan benar tiga sisi Tugas
Panggilan Gereja yaitu Koinonia (Persekutuan), Marturia (Kesaksian) dan pelayanan (Diakonia).
Dalam Mark. 3:14-15, hal itu nyata, dimana Yesus menetapkan 12 murid (bentuk persekutuan) untuk
menyertai Yesus dan diutus memberitakan Injil (Marturia) dan diberi-Nya kuasa untuk mengusir
setan (Diakonia). Ketiga tugas panggilan ini harus saling terkait, karena persekutuan gereja harus
terarah keluar (introvert) yaitu Persekutuan yang bersaksi dan melayani.
Oleh karena itu pelayanan utuh dari Gereja dapat dirumuskan sebagai berikut : “Gereja yang
seutuhnya memberitakan Injil yang seutuhnya tentang Kristus yang seutuhnya bagi manusia dan
dunia seutuhnya”. Gereja seutuhnya artinya tidak terlepas satu dengan yang lain, dan selalu dalam
kebersamaan dengan pihak lain. Injil seutuhnya artinya Injil bukan hanya tentang keselamatan jiwa
tetapi juga tentang keadilan, kebenaran, perdamaian dan kesejahteraan.

Hakekat Diakonia
Kata pelayanan dalam bahasa Inggris : Ministry, Service; dalam Bahasa Yunani διακονεω. Kata ini
muncul 36 kali dalam Perjanjian Baru (21 kali dalam Injil Sinoptik; 3 kali dalam Yohanes; 8 kali
dalam tulisan Paulus; 1 kali dalam Ibrani; 3 kali dalam 1 Petrus) dengan arti 5:
Pertama, Pelayanan meja (Mrk. 1:31, Luk.17:8, Kis. 6:1-2). Ketika jumlah murid gereja mula-mula
semakin bertambah, timbullah sungut-sungut di antara orang Yahudi yang berbahasa Yunani
terhadap orang-orang Ibrani di karenakan pembagian kepada janda-janda mereka di abaikan di dalam
pelayanan sehari-hari, sehingga kedua belas rasul itu memanggil semua murid berkumpul dan
mengatakan bahwa mereka tidak merasa puas karena mereka melalaikan Firman Allah untuk
melayani meja. Menurut para rasul bahwa melalaikan pelayanan meja sama artinya melalaikan
Firman Allah. Pelayanan meja merupakan bagian Firman Allah yang harus dikerjakan dan menjadi
tanggung jawab gereja (Kis. 4:35; 11:28-29; 1 Tim. 3:3-16). Gereja mula-mula memperhatikan dua
macam pelayanan, yaitu: 1. Pelayanan spiritual yaitu pelayanan Firman Allah dan doa (Kis. 6:4) dan
2. Pelayanan material yaitu pelayanan meja (Kis. 6:1-2). Kedua, arti yang lebih luas yaitu help by
providing care muncul dalam Matius 25:44; Markus 1:13; 15:41; Lukas 8:3. Ketiga, Pelayanan
proklamasi Injil (Kis. 6:4; 20:24; 2 Kor. 4:1; 6:3; 11:8). Kecuali arti di atas, di dalam Perjanjian Baru
kata pelayanan juga berhubungan dengan pelayanan proklamasi Injil. Kisah Para Rasul 6:4, “Dan
5
Misalnya A. Weiser, “διακονεω” dalam Horst Balz dan Gerhard Schneider, (Eds.). Exegetical Dictionary of
The New Testament. Vol. 1, (Michigan: William B. Eerdmans Publishing Company, 1990), hlm. 302-304
4
supaya kami sendiri dapat memusatkan pikiran dalam doa dan διακονία˛ Firman.” Lebih jelas Paulus
berkata : “Tetapi aku tidak menghiraukan nyawaku sedikitpun, asal saja aku dapat mencapai garis
akhir dan menyelesaikan διακονίαν yang ditugaskan oleh Tuhan Yesus untuk memberi kesaksian
tentang Injil kasih karunia Allah (Kis. 20:24 dan 2 Kor. 4:1).
Istilah diakonia dipopulerkan dalam era Perjanjian Baru. Dua kata yang berhubungan erat dengan
diakonia yaitu diakoneim dan diakonos. Diakoniem berarti melayani; dan diakonos berarti pelayan.
Pada mulanya diakonia bermakna pelayanan secara terbatas pada pelayanan firman. Dalam
perkembangannya, keduanya sering digunakan dalam berbagai konteks, misalnya 6:
a. Dalam 2 Kor. 5:18-19 ; diakonia digunakan dalam konteks pelayanan perdamaian yaitu pelayanan
yang dilakukan oleh Allah di dalam dan melalui diri Yesus Kristus untuk mendamaikan diri-Nya
dengan manusia. Jadi Yesus Kristus adalah diakonos perdamaian.
b. Dalam Why. 2:19 ; diakonia digunakan dalam konteks tugas atau pekerjaan yang harus dikerjakan
oleh orang-orang percaya. Pelaksanaan tugas tersebut dikaitkan dengan kesabaran, iman, dan
ketekunan.
c. Dalam Kol. 4:17; diakonia digunakan dalam konteks tugas pelayanan yang diterima dari Tuhan.
Berdasarkan konteks-konteks yang dikemukakan di atas, perlu dilakukan pembatasan pemahaman.
Pembatasan ini berfungsi sebagai titik tolak pembahasan selanjutnya dan sekaligus menyatukan
pemahaman bersama. Dilihat dari pemakaian awal dan pemakaian dalam beberapa konteks di atas
dapat dikatakan bahwa diakonia adalah tugas pelayanan dari Allah untuk kesejahteraan manusia.
Sekalipun tidak menggunakan kata diakonia, melalui peristiwa pembagian roti kepada lima ribu
orang (Yoh. 6:1-15; Mat. 14:13-21), Yesus Kristus memperlihatkan aspek kesejahteraan fisik dari
pelayanan yang dilakukanNya. Hal ini mengindikasikan bahwa kecukupan pangan merupakan tugas
yang harus diperhatikan dan dilaksanakan oleh murid-murid.
Kata Yesus, “Tidak perlu mereka pergi kamu harus memberikan mereka makan. Penggunaan kata harus
menggambarkan sikap Yesus terhadap pelayanan kesejahteraan (Diakonia). Orang-orang yang datang
kepada-Nya tidak cukup dilayani dengan khotbah yang menyenangkan secara spiritual tetapi juga perlu
dikenyangkan secara material.
Berdasarkan perkataan Tuhan Yesus itu, kita dapat menarik suatu kesimpulan bahwa melayani
seperti yang telah dilakukan oleh Tuhan Yesus itu juga berlaku bagi gereja sebagai persekutuan
orang-orang yang mengikut Kristus, persekutuan murid-murid Yesus. Menjadi murid Tuhan Yesus
atau menjadi pengikut Yesus berarti menjadi pelayan; bahkan pelayan yang memberikan dirinya
sendiri untuk orang lain7.

Bentuk-bentuk diakonia gereja

6
A. Weiser, “διακονεω” …Op.Cit., hlm. 302-304
7
Walter E Pilgrim, Good News … Op.Cit., hlm. 167
5
Bicara tentang kiprah pelayanan gereja dalam pemberdayaan anggotanya, bahkan sampai menyentuh
kepentingan masyarakat luas, serta membangun kualitas kehidupan manusia yang lebih baik, dapat
digolongkan dalam tiga model pendekatan pelayanan karitatif, reformatif dan transformatif.

Diakonia Karitatif. Suatu masyarakat terdiri atas struktur : yang kaya dan yang miskin. Situasi ini
tidak dapat diubah. Yang dapat dilakukan oleh gereja adalah membantu yang miskin agar menjadi
sedikit lebih baik dan mengurangi penderitaan mereka. Kemiskinan tidak dapat dibasmi. Yang bisa
terjadi adalah : yang kaya berperan sebagai penderma dan yang miskin berperan sebagai pengucap
terima kasih.
Tindakan yang dilakukan tampak dalam memberikan dan meningkatkan bantuan bagi yang miskin.
Cara ini menimbulkan ciri-ciri : a. Menimbulkan sikap ketergantungan ; tidak memandirikan; b.
Terdapat hubungan subjek-objek; c. Bila dilakukan terus-menerus akan memerlukan dana yang
besar; d. Tidak menyentuh akar masalah, sekedar memberi ikan; e. Tepat untuk situasi darurat
sebagai bantuan awal; f. Terarah kepada individu yang sulit berubah keadaannya, meski dibantu.
Model ini adalah model tertua dari bentuk pelayanan gereja yang dilakukan, dan sampai saat ini
masih juga dilakukan. Pelayanan ini cepat dirasakan manfaatnya, dan sangat tepat dalam situasi
darurat yang amat mendesak dan sangat membutuhkan pertolongan yang bersifat segera, misalnya
bencana alam. Bentuknya misalnya bantuan kepada janda atau warga jemaat yang hidup di bawah
garis kemiskinan dengan pemberian beras, uang.

Diakonia Reformatif. Kemiskinan pada hakekatnya dikurangi bahkan dapat dihapuskan.


Kemiskinan antara lain disebabkan oleh kurangnya pendayagunaan potensi manusia dan alam.
Kurangnya pendayagunaan potensi manusia dan alam disebabkan oleh kurangnya pendidikan dan
penguasaan teknologi. Oleh sebab itu, pengembangan dan pendayagunaan potensi manusia dan alam
dalam rangka penghapusan kemiskinan, pada hakekatnya dapat diupayakan melalui peningkatan
pendidikan dan penguasaan teknologi.
Tindakan yang dilakukan misalnya, membangun sekolah-sekolah dan menyelenggarakan
pengembangan SDM, membangun rumah sakit dan menyelenggarakan pelayanan kesehatan,
menyiapkan dan menyalurkan bantuan teknologi melalui penyuluhan dan pembinaan keterampilan,
serta mengusahakan/ menyediakan modal kerja bagi para tani dan buruh agar dapat meningkatkan
produksitivitasnya.
Adapun ciri-cirinya : a. Orientasi pelayan dibidang pendidikan, kesehatan, perkoperasian, dan usaha-
usaha untuk peningkatan penghasilan; b. Solidaritas kelompok mulai ditumbuhkan; c. Memerlukan
tenaga terampil dan sesuai dengan program; d. Lebih menyentuh akar permasalahan dan dampaknya
lebih bersifat jangka panjang; e. Biasanya melengkapi program pemerintah.
Model kedua ini merupakan pengembangan diakonia karitatif yang dirasakan tidak dapat menjawab
persoalan untuk jangka panjang. Setelah banjir berlalu, dan persediaan sembako habis, lalu subyek

6
yang dilayani mau apa? Apakah mereka hanya makan dan cukup gizi pada bulan Desember ketika
ada pasar murah untuk mereka?
Model diakonia ini lebih menekankan aspek pembangunan, daripada sekadar tindakan karitas-amal
kasih semata-mata. Pendekatan yang dilakukan memakai pola Community Development (CD) dengan
pengembangan masyarakat seperti pembangunan kesehatan dan penyuluhannya, kelompok usaha
bersama dengan kelompok simpan pinjam, pemberian beasiswa untuk pendidikan.
Akibatnya, muncul kesadaran gereja untuk berpartisipasi aktif dalam pembangunan dan memikirkan
persoalan kemasyarakatan lainnya. Gereja tidak lagi mau menjadi menara gading untuk dirinya
sendiri. Ada masalah-masalah sosial yang muncul dipermukaan, yang harus diatasi seperti terjadinya
diskriminasi, ketidakadilan internasional, dan tugas-tugas politik gereja membangun kesejahteraan
umat manusia. Maka diakonia gereja mulai bergeser dari diakonia karitatif ke diakonia reformatif,
termasuk Gereja-gereja di Indonesia melalui DGI.

Pelayanan transformatif. Bahkan kenyataannya di beberapa negara, pembangunan yang menekan-


kan pertumbuhan ekonomi hanya menciptakan kemiskinan baru dan memperluas gap antara
kelompok orang yang kaya dan yang miskin, bahkan merusak lingkungan ekologis bumi untuk
kebutuhan jangka panjang. muncul sebagai alternatif ke tiga menjawab permasalahan kemiskinan dan
ketidakadilan struktural yang muncul di permukaan. Sejarah lahirnya dipelopori oleh gereja Amerika
Latin mencari jawaban atas kemiskinan yang sangat parah di sana. Asumsi yang mendasari
pelayanan ini adalah kalau ada orang lapar, tidak cukup diberi roti, sebab besok ia akan datang
kembali untuk meminta roti (menghapus mental ketergantungan); juga tidak cukup, kalau kita mem-
berinya pancing atau pacul untuk mencangkul, karena masalahnya terletak pada pertanyaan, di mana
mereka dapat mengail dan mengolah tanah? Bila tanah dan laut dimiliki kaum pemilik modal yang
mempunyai kapital? Karena itu berilah dia hak hidup melalui pendampingan dan perberdayaan bagi
mereka. Pendekatan yang dilakukan adalah pola Community Organization (CO) dengan pendekatan
pengorganisasian komunitas untuk dapat merancang dan merencanakan hidup mereka sendiri.
Peran gereja selama ini dalam mentransformasikan dunia dirasakan belum optimal. Maka teolog
pembebasan merumuskan "ekklesiologi baru" (ilmu tentang gereja) dan merefleksikan gereja secara
kontekstual. Tokoh yang berperanan di antaranya adalah Gustavo Gutiérrez dengan pendekatan
ortopraksis. Digunakannya analisis sosial budaya masyarakat, analisis SWOT dan perencanaan
partisipatif dan melakukan jejaring dengan institusi sosial yang ada, dan melakukan monitoring dan
evaluasi partisipatif. Pelayanan transformatif bukan mau menciptakan oposisi bagi pemerintah dan
penguasa, tetapi menjadikan kelompok yang diberdayakan sebagai mitra dalam membangun kualitas
kehidupan yang lebih baik.
Pengalaman Gereja di Amerika Latin mulai meredifinisi kembali peran gereja dan tugasnya di dunia
saat ini. Gereja tidak lagi diartikan sebagai gedung yang statis, melainkan sebagai suatu "gerakan"
yang terbuka bagi pembaharuan (agent of change) dan aktif menjalankan visi misi kerajaan Allah.

7
Karena itu gereja tidak harus menjadi besar dan megah fisiknya, melainkan nilai Injil Kerajaan Allah
harus hadir dan meresap dalam seluruh sendi kehidupan manusia8.
Titik berangkat teologi pembebasan a la Gutiérrez adalah gereja dan hubungannya dengan dunia di
Amerika Latin. Guna memindahkannya ke dunianya, gereja memerlukan sebuah pemahaman baru
dalam sifat dasar dan misinya. Dan dengan pemahaman ini pula fungsi pembebasan gereja tampak
dalam tiga tingkatan : pembebasan politik yang mengakomodasi golongan miskin dan tertindas;
pembebasan sebagai sebuah pemahaman akan sejarah, dengan orang menyadari dan dapat melihat
masa depannya secara bertanggungjawab; dan pembebasan oleh Kristus dari dosa, akar dari segala
kebobrokan hubungan manusia, ketidakadilan dan penindasan9.

4. Diakonia Yang Transformatif


Dasar-dasar alkitabiah tugas diakonia Gereja, terletak pada berita tentang Kerajaan Allah yang
menjadi pusat pengajaran Yesus. Pekerjaan orang kristen dalam masyarakat dilakukan sebagai respon
terhadap kerajaan Allah. Tugas gereja adalah menghadirkan tanda-tanda kerajaan Allah (bnd. Luk.
4:18-19). Kepercayaan akan kedatangan Kerajaan Allah menggambarkan suatu masyarakat yang
sesuai dengan kehendak Allah. Masyarakat itu diwarnai oleh kasih, pengampunan, pelayanan,
keseimbangan, kekudusan, kedamaian dan sukacita.
Ada tiga ciri utama Kerajaan Allah yaitu : Kasih (Agape). Kasih harus menjadi dasar kehidupan
orang percaya. Semua kegiatan dan akta kehidupannya dimotivasi oleh kasih. Yesus menyimpulkan
hukum terutama dengan Hukum Kasih yaitu kasih kepada Tuhan dan kepada sesama (Mat. 22:37-40;
bnd. Roma 13:8; Yoh. 13:34). Kasih berarti penghargaan terhadap kehidupan seseorang. Harkat
seseorang (termasuk yang hina karena dosanya) ditetapkan oleh kasih Allah (bnd. Roma 5:6-8). Kasih
Kristus tak tergantung pada jasa, kelas sosial, sikap/ kerja orang yang dikasihi Setiap orang adalah
sesama kita yang dikasihi oleh Allah. Kasih juga tidak dipengaruhi oleh faktor-faktor lahiriah.
Karena itu kasih tidak membedakan atau memandang muka (Yak. 2:8-9; Mat. 25:31-46; Luk.
12:12-14).
Kasih bukan hanya sikap batin tetapi perlu dinampakkan dalam perbuatan konkrit. Pada satu sisi,
kasih tidak sama dengan perbuatan baik (amal), karena kasih harus lahir dari kesadaran yang dalam
(bnd. 1 Kor.13:1) Akan tetapi pada sisi lain, kasih yang berhenti pada sebatas menaruh belas kasihan
kepada orang lain, bukan kasih sejati (bnd Luk. 6:27). Kasih berarti keinginan menolong dengan
perbuatan nyata (Luk. 10:25-37; 1 Yoh. 3:17-18).
Keadilan. Alkitab banyak membicarakan keadilan, sebagai sifat Allah, sebagai kewajiban manusia
dan sebagai ciri masyarakat yang baik. Keadilan secara umum berarti setiap orang memperoleh
haknya atau menerima apa yang seharusnya diterima. Dalam keadaan adil hak semua orang
ditentukan secara konsisten. Hukum-hukum berlaku bagi semua orang secara sama. Tidak ada pilih
kasih/ diskriminasi. Setiap orang berhak diperlakukan secara sama dengan orang lain karena ia

8
Harvie M Conn, “Theologies of Liberation : An Overview… Op.Cit., hlm. 361
9
Ibid., hlm. 361-362
8
adalah manusia yang sama nilainya dihadapan Tuhan sebagai ciptaan Allah. Keadilan kristen banyak
kesamaannya dengan keadilan secara umum, tetapi mempunyai dasar dalam keadilan Allah
(band Mzm. 103:6; Mzm. 90:4).
Damai Sejahtera. Dalam Alkitab, syalom berarti kedamaian, persatuan, keselamatan, kesejahteraan,
kesehatan, keadilan dan persekutuan. Shalom berarti semua kekacauan dalam hidup manusia diatur,
semua perpecahan dipersatukan kembali, semua penyakit disembuhkan, semua gangguan diatasi.
Syalom adalah kata pokok yang menggambarkan visi Alkitab tentang suatu persekutuan yang
mencakup seluruh ciptaan (band. Im. 26:4-6; Yehz. 34:25-29). Syalom melebihi hubungan yang baik.
Shalom berarti menikmati berbagai bentuk hubungan baik, antara lain : Hubungan baik dengan
Tuhan. Kita hidup dalam hubungan baik dengan Tuhan, karena karya Tuhan Yesus Kristus (Roma
5:1). Syalom disini berarti kepercayaan disandarkan kepada Allah saja, bukan kepada sesuatu yang
lain. Hubungan baik dengan sesama. Harus membangun kehidupan bersama dengan sesama, pihak-
pihak yang terpisah dipersatukan. Ketidakadilan, perang dan penindasan harus ditiadakan (Gal. 3:28 ;
Ef. 2:14-15). Hubungan baik dengan lingkungan hidup (Yes. 11:6-8; Mark. 4:37-39).
Sebuah rahasia besar tentang kerajaan Allah telah dibuka oleh Yesus ketika Ia berbicara tentang
penghakiman terakhir. Yesus mengatakan bahwa kunci untuk masuk ke dalam kerajaan Allah ialah
kepedulian manusia terhadap sesamanya, terutama kepada orang yang lapar dan atau haus, orang
asing, orang yang telanjang, yang sakit, yang ada dalam penjara (Mat. 25:21-46). Kepedulian ini
adalah kepedulian murni, tulus dan tidak dibatasi oleh tembok-tembok budaya, ras, golongan, agama,
politik dan berbagai perbedaan lainnya. Suatu kepedulian yang menjangkau semua orang. Seperti kita
ketahui bahwa Yesus bukanlah Juru Selamat orang kristen saja, tetapi Juru Selamat dunia, Juru
Selamat umat manusia. Dengan demikian diakonia bukanlah suatu pilihan melainkan suatu dimensi
yang hakiki dan pasti dalam Iman kristen yang hidup, yang untuknya kita bertanggungjawab kepada
Tuhan kita.

5. Pelayanan Diakonia Dalam Konteks HKBP


Dalam konteks HKBP banyak masalah-masalah yang menjadi penyebab kesengsaraan atau
penderitaan masyarakat, yang di depan disebutkan sebagai penyakit masyarakat. Masalah lain yang
perlu mendapatkan perhatian kita dalam pelayanan diakonia antara lain adalah masalah lingkungan
hidup, masalah tenaga kerja dan lapangan pekerjaan, masalah pengembangan ekonomi warga
masyarakat, masalah pendidikan dan sumber daya manusia. Pemecahan sebagian masalah ini
mungkin akan lebih nyata dan lebih berdayaguna jika dilakukan secara bersama-sama pada aras
pelayanan yang lebih luas atau jika mungkin dilaksanakan secara lintas denominasi dan lintas agama.
Berbagai usaha dilaksanakan oleh gereja/ jemaat, oleh pemerintah bahkan oleh semua komponen
dalam masyarakat. Namun kita sadar bahwa hambatan terhadap pelaksanaan pelayanan yang utuh
mengalami hambatan baik secara interen maupun secara ekstern.

9
Hambatan internal antara lain sulitnya mengubah paradigma berpikir yang telah tertanam dari
generasi ke generasi, adanya kemalasan manusia untuk melakukan inovasi (karena terikat oleh
tradisionalisme), adanya pengaruh budaya materialisme, individualisme dan lain-lain. Lainnya,
misalnya strukturisme dalam gereja itu sendiri yang melihat hal-hal baru mesti dipertimbangkan dan
paling-paling diistilahkan dengan “sipareahan ma i”.
Hambatan eksternal dapat terjadi di daerah mayoritas kristen seperti Tapanuli berupa penyakit
kemapanan dan mentalitas status-quo. Apa yang sudah dijalankan dari generasi ke generasi, itu saja
yang dilanjutkan. Untuk apa susah-susah mencari-cari hal baru (contoh : lojaanku diringku, so tamba
ni gajingku). Di wilayah minoritas kristen, terdapat kecenderungan adanya sifat-sifat introvert dan
defensif. Tidak jarang kegiatan yang dilakukan dengan maksud baik disalahtafsirkan serta resistensi
oleh pihak lain.
Disamping adanya hambatan termaksud di atas, peluang untuk mengembangkan pelayanan diakonia
selalu terbuka. Semakin banyak dan semakin rumit masalah yang dihadapi dalam masyarakat,
sebenarnya semakin terbuka peluang dan kesempatan bersaksi dan melayani. Katakanlah semakin
tersedia kesempatan menghadirkan diri secara bermakna dan menjadi berkat sebesar-besarnya.
Mungkin di era reformasi secara melembaga, gereja-geraja sangat terbatas melaksanakan pelayanan
diakonia, namun kesempatan luar biasa terbuka bagi LSM-LSM. Karena itu saatnya gereja/jemaat
menjalin kerjasama strategis dengan LSM, tanpa harus dibatasi oleh agama yang dianut oleh
pengelolanya (LSM yang bergerak memperjuangkan hak asasi, wanita, buruh, pelestarian lingkungan
hidup, peningkatan ekonomi masyarakat). Budaya ‘biar jelek asal milik sendiri’ sudah saatnya
ditinggalkan. Kita harus senantiasa berorientasi pada kualitas dan efektifitas.
Perlu mengkaji ulang pemahaman atas tugas pelayanan gereja sebagai tugas yang diberikan Yesus
sendiri. Kristus telah mengasihi kita, karena itu kita dituntut untuk mengasihi sesama kita. Sama
seperti Kristus melayani kita, demikian juga kita harus melayani sesama kita. Kita (gereja) adalah
agen pelayanan Kristus terhadap dunia. Melalui gereja, Kristus mengasihi dan melayani dunia;
kendatipun kita percaya bahwa Ktistus dapat saja menyatakan pelayanannya juga di luar gereja.
Dengan demikian pelayanan diakonia mewujud di dalam gereja-gereja setempat; karena didalam
diakonia setempatlah gereja-gereja harus menjadi pelayan Tuhan, terbuka untuk melayani kebutuhan
masyarakat dimana gereja itu berada. Diakonia menjadi nyata dan konkrit di dalam situasi-situasi
setempat. Diakonia dimulai ditempat di mana ada masyarakat, karena berbagai alasan
Diakonia harus memberi tekanan pada langkah-langkah preventif/pencegahan. Seringkali kita telah
berupaya melawan gejala-gejala kemiskinan, penyakit dan penderitaan, tanpa mencari akar
penyebabnya. Diperlukan analisis secara saksama terhadap akar-akar masalah, seperti sistem-sistem
yang berlaku dalam masyarakat. Masa depan perlu diantisipasi agar supaya pelayanan diakonia
bukan saja menciptakan tanda-tanda pengharapan untuk masa depan. Dalam hal ini dibutuhkan daya
khayal dan kreativitas tinggi, terutama karena zaman kita sekarang ini sering berhadapan dengan

10
persoalan memperoleh harta untuk peningkatan kesejahteraan anggota atau pengentasan kemiskinan
warga masyarakat luas.
Gereja sebagai organisme yaitu sebuah “lembaga” yang hidup karena anggota-anggotanya hidup,
sedangkan kehidupan para anggota sangat tergantung pada Kristus yang menjadi Tuhan gereja, maka
respon yang ketiga merupakan pilihan yang paling cocok yang harus diambil oleh gereja. Itu berarti
gereja selalu dituntut untuk dinamis, proaktif di dalam menanggapi “masalah-masalah” yang
berkembang di sekitarnya. Tuntutan ini tidak berlebihan, bahkan, jika gereja kehilangan dinamikanya
maka makna sejati dari gereja tersebut sebenarnya sudah mengalami distorsi. Sesuatu yang hidup
pasti berkembang, demikian juga dengan gereja yang hidup pasti selalu “berkembang”. Perlu mencari
bentuk yang ideal bagi keterlibatan gereja dalam pelayanan kepada masyarakat. Sehingga hasilnya
dapat dijadikan daya pendorong bagi usaha pencarian relevansi pelayanan gereja dalam konteks
Indonesia era Reformasi.

6. Beberapa Usulan Praktis bagi Pelayanan Gereja


Gereja sebagai organisme yaitu sebuah “lembaga” yang hidup karena anggota-anggotanya hidup,
sedangkan kehidupan para anggota sangat tergantung pada Kristus yang menjadi Tuhan gereja, maka
Diakonia yang transformatif merupakan pilihan yang paling cocok yang harus diambil oleh gereja.
Itu berarti gereja selalu dituntut untuk dinamis, proaktif di dalam menanggapi “masalah-masalah”
yang berkembang di sekitarnya. Tuntutan ini tidak berlebihan, bahkan, jika gereja kehilangan
dinamikanya maka makna sejati dari gereja tersebut sebenarnya sudah mengalami distorsi. Sesuatu
yang hidup pasti berkembang, demikian juga dengan gereja yang hidup pasti selalu “berkembang”.
Perlu mencari bentuk yang ideal bagi keterlibatan gereja dalam pelayanan kepada masyarakat.
Sehingga hasilnya dapat dijadikan daya pendorong bagi usaha pencarian relevansi pelayanan gereja
dalam konteks Indonesia kini. Kelihatannya ada kesepakatan bersama di antara para tokoh teolog
Protestan maupun Katolik tentang konteks kekinian pelayanan Gereja di Asia maupun di Indonesia.
Banawiratma, sebagai teolog katolik melihat ada lima agenda mendesak yang harus dijalankan oleh
gereja di Indonesia berhubungan dengan konteks Indonesia, kini yaitu: 1) keadilan sosial; 2) keadilan
gender; 3) pemeliharaan lingkungan hidup; 4) kesadaran dan pilihan nilai, individual maupun
kolektif; 5) pengembangan hidup menggereja dari bawah10.
Pengalaman gereja dalam dunia ini mengarahkan dirinya pada pergumulan sebagaimana dialami di
dunia Latin, bahwa model yang berteologi yang relevan adalah berteologi secara praksis. Pergumulan
dan penderitaan warga jemaat dan masyarkat adalah medan berteologi gereja secara praktis. Artinya,
istilah-istilah teologis seperti keselamatan, penebusan dan lain-lain direalisasikan secara konkret11.
Misalnya sejak, gereja telah berusaha melaksanakan pelayanan diakonia dengan sebaik-baiknya.
Walaupun demikian pelayanan-pelayanan tersebut belumlah dianggap sempurna dan karena itu dapat

10
J.B. Banawiratma, et. al., Iman, Ekonomi & Ekologi : Refleksi Lintas Ilmu dan Lintas Agama, (Yogyakarta : Kanisisus,
1997), hlm. 281-288
11
Darwin Lumbantobing, Teologi Di Pasar Bebas, (Pematangsiantar : L-SAPA, 2007), hlm. 54-55
11
berlaku di segala tempat dan sepanjang segala abad. Seringkali cara pemahaman mengenai pelayanan
seperti ini dipengaruhi oleh situasi sosial, politik dan teologi yang ada. Pada abad ke-19 dan awal
abad ke-20, pelayanan diakonia dinyatakan para missioner melalui “paket” Pendidikan, Pelayanan
Kesehatan dengan mendirikan Sekolah-sekolah, Rumah-rumah sakit. Disana pula dalam gereja Batak
dikenal “pargodungan”, yang difungsikan sebagai pusat kehidupan spiritual, jasmani dan pendidikan
dari tingkat yang paling sederhana ke tingkat yang formal12.
Karya para misionaris itu mencerminkan Diakonia preventif dan bahkan prospektif dan berorientasi
kedepan agar dapat melihat bahaya-bahaya di depan dan memerangi sebab-sebab yang mendasar
serta mendetaksi dan mengikuti secara dini perkembangan dari bahaya tersebut. Ini berarti gereja-
gereja perlu melibatkan diri dalam hubungan yang progresif antara pelayanan-pelayanan sosial,
pelayanan kepada para penyandang cacat mental, serta pembelaan dan peningkatan hak azasi
manusia.
Dengan demikain Diakonia tidak hanya bersifat bantuan karitatif kepada orang miskin, tetapi
haruslah membimbing dan memperlengkapi masyarakat sehingga mereka dapat mandiri dalam
menciptakan lapangan pekerjaan dan bukan sekedar sebagai penunggu lapangan kerja dan uluran
tangan orang lain. Karena itu program kemandirian teologi, daya dan dana harus mendapat perhatian
yang jelas dalam program-program nyata gereja dan tidak sekedar sebagai ungkapan-ungkapan yang
abstrak dari atas mimbar. Program-program konkrit tersebut antara lain program peningkatan
ekonomi warga, program pendidikan motivator, pendidikan kesehatan dan lain-lain. Program-
program tersebut tidak harus hanya dibatasi pada lingkup jemaat sendiri.
Diakonia haruslah bersifat kemanusiaan artinya, pelayanan diakonia tidak terbatas pada gereja dan
orang-orang kristen saja, tetapi kepada semua orang (bandingkan dengan ceritera orang Samaria yang
murah hati dalam Luk. 10:25-37). Yesus datang dan mendirikan Kerajaan Allah dan menjadikan
gereja sebagai alat atau sarana untuk mewujudkan tanda-tanda Kerajaan Allah di dunia ini dan
sebagai alat dari kerajaan itu. Apabila gereja mengadakan pelayanan diakonia harus selalu ditujukan
kepada semua orang, terlepas dari perbedaan agama, suku, budaya, golongan dan berbagai perbedaan
lainnya. Disadari bahwa di beberapa tempat dan situasi, pelayanan diakonia dibatasi hanya untuk
kalangan kristen saja karena dianggap sebagai suatu kampanye kekristenan, namun sekarang ini di
beberapa tempat dan dalam setiap kesempatan sering terbuka kemungkinan kerjasama dengan pihak-
pihak lain. Dalam hal ini pelayanan diakonia yang tulus dapat dilaksanakan. Pelayanan diakonia yang
bersifat kemanusiaan bukanlah pelayanan diakonia yang harus berbendera kristen, tetapi suatu
pelayanan diakonia yang lahir dan termotivasi dari dan oleh pelayanan Kristus yang kita alami,
bahwa kita memberi karena kita telah menerima.Diakonia harus mempunyai sifat ‘saling’. Dengan
pelayanan Diakonia demikian pembebasan dan penebusan hakiki adalah mengembalikan harkat dan
martabat kemanusiaan13.

12
Darwin Lumbantobing, Op.cit., hlm. 53
13
Bnd. Darwin Lumbantobing, Op.cit., hlm. 48
12
Gereja dapat berperan besar dalam meningkatkan efektifitas pelayannya yang bukan hanya untuk
kepentingan dirinya sendiri tetapi juga untuk kepentingan orang lain. Sifat pelayanan yang
diharapkan bukanlah yang bersifat karikatif, melainkan memasukkannya dalam agenda pelayanan
gereja secara jelas. Ini dikarenakan pengertian Diakonia yang benar sifatnya bukan temporer
(diadakan jika diperlukan) namun sebaliknya ia harus menjadi bagian esensi dari struktur pelayanan
gereja secara jelas (Kis. 6:2)14.
Dalam proses menuju masyarakat yang diidamkan ini, gereja harus menjalankan fungsinya sebagai
gereja yaitu sebagai garam dan terang dengan cara: pelayanan yang menyentuh reformasi moralitas
bangsa; pelayanan yang mendahulukan orang-orang miskin; pelayanan yang memperhatikan eko-
justice. PBB melalui program Millenium Development Goals (MDGs) yang dicanangkan pada Juni
2000 lalu, salah satunya adalah pengentasan kemiskinan dan penghadiran kenyataan damai di dunia
di separuh dunia pada 2015. Salah satu penyebab tidak adanya kedamaian adalah kemiskinan.
Muhammad Yunus mendapat Hadiah Nobel Perdamaian pada 10 Desember 2006 lalu dengan
Grameen Bank-nya di Pakistan. Ia menyebutkan bahwa akar segala permasalahan dalam negara dan
dunia adalah kemiskinan yang merajalela. Dengan penyaluran pinjaman kepada orang-orang miskin,
Yunus membuktikan bahwa akses kapital adalah masalah kaum miskin yang sangat akut. Mereka
memerlukan akses permodalan untuk dapat keluar dari kemiskinan itu. aksi itu bukan “bagi-bagi
uang” namun lebih mendasar dengan memberikan kesempatan kepada orang-orang miskin meren-
canakan hidupnya dan keluar dari kemiskinan itu. Pengentasan kemiskinan itu yang menciptakan
kedamaian. Akan sulit menciptakan kedamaian jika akar kemiskinan masih terlalu dalam di
masyarakat15.
Sementara itu, gereja melalui lembaga-lembaga pendidikannya (STT dan Sekolah-sekolah Alkitab)
harus semakin mempersiapkan diri dengan pembenahan kurikulum menciptakan pelayan gereja yang
melek teknologi, informasi dan monetary, serta ekonomi kerakyatan, eko teologia serta advokasi
hukum.
Dalam pada itu gereja juga terpanggil aktif dalam menyikapi kehiudpan berbangsa dan bernegara.
Akar daripada segala masalah yang melanda bangsa kita dapat disetujui bersama adalah buruknya
nilai-nilai moral, etika yang ada pada para pejabat negara dan elit politik kita. Keburukan nilai-nilai
tersebut telah membius para pejabat negara kita yang merasa tidak berdosa atas dosa yang dilakukan.
Sehingga Reformasi politik dan ekonomi saja tidak akan menyelesaikan masalah, yang paling utama
adalah perlunya reformasi moral. Di sini fungsi kritis daripada gereja adalah penting. Artinya, gereja
dengan Firman Allah mengukur segala tindakan para pejabat negara, elit politik, termasuk
masyarakat kita. Fungsi kritis, profetis gereja tidak dapat dilepaskan oleh gereja demi hakekat gereja
itu sendiri yang selalu lebih taat kepada Allah. Cara praktis yang bisa ditempuh gereja adalah :
pertama, dengan menyadarkan jemaat-jemaatnya yang bekerja di pemerintahan. Kedua, menulis di
14
J.B. Banawiratma, et. al., Iman,.. Op.Cit.
15
Muhhamad Yunus, Bank Kaum Miskin : Kisah Yunus dan Grameen Bank Memerangi Kemiskinan, (Jakarta : Marjin
Kiri, 2007), hlm.VII dyb.
13
media masa sehingga dapat mempengaruhi public opinion dan memberi kritik terhadap dosa-dosa
moral yang dilakukan oleh para pejabat negara. Memang dalam hal ini, gereja sering ada dilema yang
tidak gampang untuk memilih. Memberi kritik itu berarti akan semakin menyulitkan gereja, atau
diam? Namun bukankah juga merupakan sebuah dosa jika membiarkan orang berbuat dosa? Gereja
perlu memikirkan kembali dengan serius apa peran gereja di tengah-tengah percaturan politik seperti
sekarang ini. Bukan lagi saatnya bagi gereja untuk bersikap oportunis, gereja harus mempunyai jati
dirinya sendiri.

7. Kesimpulan
1. Diakonia merupakan salah satu tugas gereja yang dilaksanakan sebagai bagian yang tidak dapat
dipisahkan dari Persekutuan dan Bersaksi. Tugas ini diwariskan Yesus sendiri sebagai sebuah bentuk
pelayanan.
2. Pelayanan Diakonia bukanlah suatu pilihan bagi gereja, namun merupakan tugas hakiki yang tidak
bisa tidak dilakukannya di dunia ini.
3. Diakonia yang transformatif adalah wujud Social Gospel yang dibutuhkan gereja untuk menjawab
berbagai penindasan, ketidakadilan, dan kemiskinan untuk mewujudkan misinya menghadirkan
kerajaan Allah di dunia ini.

8. Daftar Pustaka
Balz, Horst & Schneider, Gerhard (Eds.)
1990 Exegetical Dictionary of The New Testament. Vol. 1, (Michigan : William
B. Eerdmans Publ. Co.)
Banawiratma, J.B. et. al.
1996 Iman, Ekonomi & Ekologi: Refleksi Lintas Ilmu dan Lintas Agama,
(Yogyakarta : Kanisius)
Brownlee, Malcolm
1993 Tugas Manusia dalam Dunia Milik Tuhan: Dasar Teologis bagi Pekerjaan
Orang Kristen dalam Masyarakat, (Jakarta : BPK Gunung Mulia)
Gundry, Stanley N. & Johnson, Alan F. (Eds.)
1974 Tensions In Contemporary Theology (Chicago : Moody Press)
Lumbantobing, Darwin
2007 Teologi Di Pasar Bebas, (Pematangsiantar : L-SAPA)
Pilgrim, Walter E.
1981 Good News To The Poor : Wealth And Poverty In Luke-Acts, (Minnesota :
Ausburg Publishing House)
Yunus, Muhhamad
2007 Bank Kaum Miskin : Kisah Yunus dan Grameen Bank Memerangi
Kemiskinan, (Jakarta : Marjin Kiri, 2007)

14

You might also like