You are on page 1of 95

KITAB SOLO

Oleh
Arswendo Atmowiloto

Diterbitkan
PEMERINTAH KOTA SURAKARTA
Badan Informasi dan Komunikasi
Jalan Jenderal Sudirman 2 Surakarta

KITAB SOLO 2 KITAB SOLO 3


KITAB SOLO Catatan Penyusun 10
Oleh: Arswendo Atmowiloto
KITAB SOLO: Sebuah Pengantar 26
XX XXXXXX
Babad 33
Copyright c 2008, KITAB SOLO
Desain Sampul dan Isi : Dito Sugito Pilihan Tanah 35
Foto: Luax Mawardi, Ichwan Gembeng
Mbokmenawa 38
Ningrat 49
Seluruh Dunia 55
Bandha Laksana 59
Sekaten 60
Tirakatan 66
Kalender Baru 67
Kreativitas Kompromi 70
Punakawan 74
Sastra Jawa 80
Jumat Kliwon 84
Manunggaling kawula-Gusti 88
BOTHEKAN 89
NARLON KAWIT 90
WALJINAH 92
MBAH LATIF 94
SERABI NOTOSUMAN 96
TENGKLENG KLEWER 100
HIK 102
GUSTI MOENG 104
Dicetak oleh Percetakan xxxxxx
Isi di luar tanggung jawab Percetakan YU SARWI 106

KITAB SOLO 4 KITAB SOLO 5


BAKSO (di)KALILARANGAN 108
GESANG MARTOHARTONO 110
GUDEG CEKER (di) MARGOYUDAN 112
DR LO 114
PASOPATI 116
TAMAN JURUG 118
DIDI KEMPOT 120
SOLO BALAPAN 122
ANOM SUROTO 126
SUPRAPTO SURYODARMO 128
HARIADI SAPTONO dan ENDANG KUSUMA ASTUTI 130
GENDHON HUMARDANI 132
RW 09 134
Gladag Langen Bogan 138
Bangkok 150
London 154
Ratu Kidul 156
Sangga Buwono 164
W.O. Sriwedari 166
W.O. RRI 170
Wow 172
Taman Balekambang 176
WHCCE 182

KITAB SOLO 6 KITAB SOLO 7


FOTO LUAX MAWARDI

KITAB SOLO 8 KITAB SOLO


Kumpulan tukang9becak, juga ciri khas senyumam ramah, selama 24 jam
Catatan Penyusun

KITAB SOLO 10 KITAB SOLO 11


Judul buku ini, Kitab Solo, terjadi karena salah dengar. Tadinya saya menjuduli Kirab
Solo, namun dalam pembicaraan, yang diajak bicara menangkap sebagai Kitab Solo.
Sebagai “warga negara” Solo, berarti dua-duanya bisa dipakai. Karena ini buku (kitab)
mengenai Solo, dan terutama mengenai momentum kirab.
Ada dua kirab yang menyejarah. Yaitu ketika Keraton Kartasura terpaksa dipindah ke
Keraton Surakarta Hadiningrat. Suatu kesibukan, juga pelaksaan proyek besar sekali.
Terbesar pada zamannya—dan sesudahnya, karena sejak itu Keraton tak pernah pindah,
walau terpecah dan terbelah. Yang kedua, perpindahan para pedagang kaki lima di
Banjarsari menuju pasar klitikan Nitihardjo di Semanggi. Suatu kesibukan, juga
pelaksanaan proyek kemanusiaan yang cemerlang. Di mana pun penggusuran atau
pemindahan pedagang kaki lima menimbulkan congkrah, menimbulkan dredah, ada
kalanya sampai berdarah-darah. Tapi kali ini berjalan aman damai, bahkan ada spanduk
yang menyatakan kesediaan berpindah.
Apa yang luar biasa di tempat lain, kelihatannya seperti biasa-biasa saja di Solo. Sehingga
seolah di Solo-lah segala yang aneh bisa berlangsung secara wajar. Penjual makanan yang
buka selewat tengah malam, pertunjukkan wayang orang dengan penonton tak lebih dari
seperempat jumlah pemain, pasar kain terbesar yang salah ucapan—mungkin juga

LUAX MAWARDI
termasuk nama Solo itu sendiri, upaya menggiatkan anak-anak bersekolah dengan
membangun Taman Sriwedari, atau menyebut nama sungai terbesarnya Bengawan Solo—
pun ketika air sungai itu mengalir sampai Jawa Timur, sampai dengan stadion sepak bola

KITAB SOLO 12 KITAB SOLO 13


yang pertama kali bisa dipakai bertanding malam hari, panggung gamelan komplit di
halaman masjid Agung, atau juga … apa saja. Kita tinggal menyebutkan. Karena setiap
batu, setiap debu di Solo menyimpan seribu cerita. Tergantung siapa yang ditanya. Kadang
riwayat yang satu berbeda dengan riwayat oleh penutur kedua. Kadang bahkan
bertentangan. Tapi, inilah eloknya. Kedua pengertian yang bisa sama, bisa berbeda itu,
pada dasarnya bisa saling melengkapi. Makanya boleh saja buku itu disebut Kitab Solo,
atau Kirab Solo, atau Kitab Kirab Solo, atau bahkan Solo saja, atau yang lain lagi—Ini
Bukan Solo Lagi, misalnya.
Solo sendiri, bukanlah definisi yang selesai. Bahkan juga dalam kepentingan geografis
sekali pun. Ia bisa berarti “hanya” seluas pemerintah kota Surakarta, atau berikut
kabupaten-kabupaten yang mengitari, atau bahkan lebih luas dari itu semua, yaitu Jawa.
Dalam kaitan budaya ini menjadi menarik, menggelitik, mungkin juga mendidik bagi
warganya. Hubungan warga Solo satu dengan yang lain sedemikian akrab, sedemikian
nostalgis, terutama jika mereka berada di perantauan—meskipun itu hanya Jakarta, atau
kota lain. Istilah yang dipergunakan dalam percakapan adalah :“Kapan pulang ke Solo?”.
Seolah dengan demikian pergantian kartu tanda penduduk, waktu yang sudah puluhan
tahun tak membuatnya menjadi bukan Solo. Seolah keberadaan di kota lain semacam
perantauan, semacam diaspora, dan nantinya pulang ke rumah yang sebenarnya.
Dua tata nilai sekaligus juga tata krama yang bisa paradoksal, bisa saling bertentangan
ternyata bisa diterima dalam satu pengertian. Ternyata juga, dalam banyak hal ini bisa
dikatakan menjadi salah satu ciri sikap masyarakat Solo. Dalam percakapan di warung
hik, dalam pertemuan resmi, gaya Solo ini—dalam kesenian disebut gagrak, muncul dalam
guyonan, dalam plesetan. Antau gurau dan serius menyatu. Antara dua, atau bahkan tiga
tata nilai dijadikan pegangan bersama, tanpa mengalahkan satu dengan yang lainnya.
Tanpa menanggalkan salah satunya. Permulaan kalender Jawa yang menyatu dengan
kalender Hijriah merupakah contoh jenius, bagaimana tata nilai baru ini disepakati, dan
bagaimana tahun Saka tetap dipergunakan. Sekurangnya ada tiga wilayah budaya, Hindu,
Jawa, juga Islam yang menemukan kalender yang sama.

KITAB SOLO 14 KITAB SOLO 15


ISTIMEWA
“ Sesungguhnya ini
suatu kreativitas kompromi
yang tiada taranya
dalam sejarah,
sebagaimana jas Belanda
menjadi beskap
atau sepatu dipotong
bagian belakangnya
sehingga selop.
Dan ketika itulah kita menerima
sebagai busana Jawa.

ILL.REPRO DITO SUGITO

KITAB SOLO 16 KITAB SOLO 17


Konsep komunikasi yang di masyarakat luar negeri dicoba dengan susah payah, konsep
to whom I must speak today, kepada siapa saya berbicara hari ini, ternyata sudah menjadi
bagian dalam kehidupan keseharian.

Konsep ini pula yang mulus ketika


akhirnya Keraton Surakarta dibangun
dari tanah rakyat yang diberi pengganti,
dan juga ketika Pasar Klithikan
menemukan bentuknya.
Peristiwa-peristiwa itulah yang mendasari buku ini. Memang bukan buku tentang
pariwisata atau petunjuk tempat-tempat menarik dan bersejarah—semua batu mempunyai
seribu satu cerita, melainkan mengenai mengapa tempat itu menjadi menarik. Dan
begitulah susunan buku ini, lebih merupakan personal esai dibandingkan penulisan yang
menukik dalam penelitian, atau pembabaran yang melebar. Materi utama beberapa kali
sudah pernah saya tuliskan terpisah dalam beberapa artikel di surat kabar, terutama harian
Seputar Indonesia, beberapa dari makalah dalam berbagai pertemuan dan ceramah budaya.
Tapi yang paling besar adalah ketika saya berusaha berada di dalam budaya Solo, dengan
bertemu banyak orang, dengan ngobrol, dengan rerasanan, dengan guyonan, dengan
celelekan.
Dari sudut pendekatan ini, beberapa tokoh yang kita tampilkan, kita wawancarai, kita
tunggui, tidak lagi mewakili profesi tertentu, atau jabatan, atau bahkan “kasta” tertentu.
Tak ada strategi tertentu memilih atau tidak memilih, melainkan seperti tengah berjalan
menuju pasar, dan siapa yang kita temui kita ajak bercakap, dengan bahan apa saja yang
terlintas. Seperti juga percakapan yang terjadi kala kita bertemu seseorang dalam
perjalanan, atau ketika sama-sama dalam perjalanan menuju suatu tujuan.

KITAB SOLO 18 KITAB SOLO 19


ISTIMEWA
Dalam penyusunan dituliskan bersama dengan Begog Djoko Winarso yang
mengawani ke seluruh sudut , Leo Tejakusumo yang melakukan wawancara, foto oleh
Luax Mawardi, Ichwan Gembeng dan desain oleh Dito Sugito, dan beberapa dokumen
dari berbagai perpustakaan yang ada di Solo, termasuk dari pemerintah daerah, terutamna
dari Badan Informasi dan Komunikasi. Meskipun demikian, ini bukan buku mengenai para
pejabat, dan atau strategi rinci pembangunan. Saya sepenuhnya memperoleh kebebasan
dalam menuliskan—sebagaimana kebebasan kreatif kalau saya menoleh novel atau opini.
Selama ini saya telah menulis puluhan buku, mungkin ratusan buku yang telah
diterbitkan, mungkin ribuan kalau dihitung dengan skenario, namun dalam proses
penulisan baru kali ini saya merasa tak bisa menyelesaikan dengan tuntas. Mungkin karena
saya terlalu bodoh, mungkin karena Solo bukanlah definisi yang selesai, closed caption,
mungkin dua-duanya, mungkin bukan dua-duanya.

Solo telah banyak berubah, tapi selalu


teraba benang merah, ungkapan :Solo ya ,
tetep, Solo. Kita bisa datang dan pergi ke
Solo, tapi kita tak pernah meninggalkan.
Judul Kitab Solo, juga bukan sebuah promosi. Karena yang selama ini berpromosi dengan
bangga, sudah banyak dan masih terus berlangsung. Mereka yang mengadakan arisan
bukan di Solo tapi berlatar belakang kekerabatan Solo, mereka yang patungan menonton
wayang orang, atau menelusuri jalanan pelosok untuk menemukan makanan, atau
penganan, yang pernah memanjakan lidahnya, atau juga berburu barang-barang antik
yang dulu dimiliki, atau benar-benar pulang dan membangun kampung kelahirannya.
Termasuk di zaman sekarang ini, ketika internet menguasai komunikasi dunia maya. Ada
selalu situs, ada selalu blog yang mengisahkan Solo. Juga, pembicaraan ketika terjadi
pertemuan tanpa perencanaan.

KITAB SOLO 20 KITAB SOLO 21


Kepada mereka jugalah,
dan dari mereka jugalah,
Kitab Solo ini dituliskan,
sebagai bagian dari debu,
bagian dari batu.

KITAB SOLO 22 KITAB SOLO 23


Sebagai pengantar—
dan seluruh isi buku ini
sebenarnya hanyalah
sebuah pengantar.

KITAB SOLO 24 KITAB SOLO 25


KITAB SOLO
Sebuah Pengantar

KITAB SOLO 26 KITAB SOLO 27


ISTIMEWA
Di Solo, setiap batu punya cerita, barang kali seribu cerita.

KITAB SOLO 28 KITAB SOLO 29


Atau bahkan setitik debu, bisa menjadi seribu satu cerita yang seru, lucu, haru, mungkin
agak-agak tabu. Bahkan untuk kata Solo itu sendiri bisa panjang riwayatnya, bisa luas
cakupannya. Mulai apakah dituliskan Solo atau Sala, berasal dari nama pohon atau
nama seseorang, apakah ada batas geografis atau batas budaya dengan wilayah yang
“bukan Solo”, atau apakah ini sebuah pemerintahan kota, karesidenan, atau sebuah
komunitas yang lebih menyeluruh dari budaya Jawa, atau pertanyaan yang saling
bertentangan.
Jawabannya bisa lebih panjang, karena jawaban yang mana pun bisa benar. Paling
tidak, bukan jawaban yang salah. Itulah yang mengembangkan cerita, kisah, sejarah,
yang tak pernah berhenti. Sambung menyambung menjadi satu, itulah… Solo.
Kita bisa menceritakan Solo dari mana pun, dari apa pun, tapi hampir pasti mengalami
kesulitan mengakhiri. Kita bisa menarik kesimpulan dari pendekatan yang kita lakukan,
tapi hampir pasti pula, kesimpulannya bisa berbeda. Tanpa perlu kecewa, karena
kesimpulan mana pun bisa diterima.
Kita bisa merumuskan identitas Solo, dari segi apa pun, tapi tak akan sepenuhnya
mewadahi. Bahkan kalau mencoba bertanya : Solo ki jan-jane apa lan piye to, Solo itu
sebenarnya apa dan bagaimana, jawabannya adalah Solo ya Solo, Solo adalah Solo.
Solo sebuah pertanyaan, sekaligus sebuah jawaban.

KITAB SOLO 30 KITAB SOLO 31


BABAD
Saya menggunakan sebutan Solo—bukan Sala, juga bukan Surakarta—dalam tulisan
ini dan tulisan-tulisan sebelum dan sesudah ini, tanpa harus menjelaskan alasannya.
Suka-suka saja, kalaupun ada alasan lebih sentimental sifatnya. Selama ini nama Solo
lebih punya karakter (toh tak ada kota lain bernama Solotiga, yang ada Salatiga), toh
nama sungai terbesar adalah Bengawan Solo, nama stasiun kereta api yang tercetak
juga Solo Balapan, dan lebih dulu ada istilah wong Solo, atau priyayi Solo.
Adapun asal usul nama Solo sendiri, ada beberapa cerita :
· Nama orang. Ini yang paling sering diceritakan, bahwa dulunya ada penduduk
awal bernama Ki, atau Kiai (yang dilafalkan dengan huruf kental, menjadi Kiyai)
Solo, atau Ki Ageng Solo. Nama inilah yang kemudian dipakai sampai sekarang. Sesuatu
yang masuk akal, dan ada jejak makam Ki Ageng Solo.
Meskipun sebenarnya, yang disebut sebagai Kiai Solo, bukanlah satu orang saja,
melainkan terdiri dari tiga generasi. Ada Kiai Solo I, II, dan tiga.
Akan halnya nama itu sendiri, sebenarnya merupakan pengucapan yang salah kaprah.
Kata awalnya konon soroh bahu. Ini jenis pekerjaan, di mana kelompok orang yang
memberi tenaga secara suka rela. Nama soroh bahu sendiri bisa diartikan pemberi (soroh)
tenaga (bahu), atau sukarelawan, atau persembahan tenaga dari rakyat sebagai tanda
bakti untuk raja. Penduduk yang menempati suatu wilayah, menyetorkan tenaganya
untuk membantu pihak Keraton. Menurut penulisan R.M. Sajid ( Babad Sala, Rekso
Pustaka, Mangkunegaran, tahun 1984), tenaga kerja, atau bausuku ini diberikan selama
satu minggu. Mereka ini tenaga kerja yang akan melakukan pekerjaan, membantu apa
yang menjadi keperluan pihak Keraton, waktu itu zaman Keraton Pajang.
Adalah wajar jika nama orang pun disebutkan dengan jenis pekerjaan. Sehingga
pemimpin kelompok ini, disebut sebagai Ki Soroh Bahu, atau singkatnya Ki Soroh. Dalam
pengucapan terjadi pergeseran, kalentuning pangucap, menjadi terdengar sebagai Ki Sala.
Dari sinilah nama itu terdengar, dengan asal usul sebutan untuk tenaga kerja.

FOTO ATOK SUGIRTO


· Nama tumbuhan. Jenis pohon Sala Pinus Merkusii, adalah jenis pepohonan pinus
Sungai kecil, tanpa nama inilah
yang menjadi sumber air sungai yang
melegenda, Bengawan Solo KITAB SOLO 32 KITAB SOLO 33
atau mirip pohon cemara. Jenis pohon yang getahnya bisa diolah menjadi bahan cat,
atau juga untuk gondorukem ini banyak terdapat di lereng-lereng daerah itu. Ada
bukan yang memakai taling tarung,
beberapa jenis tanaman Sala, namun Pinus Merkusii yang paling dekat, karena dalam tanda penutup.
penjelasannya disebutkan ditebang, ditegor. Pastilah jenis pohon yang tinggi dan bukan
sebangsa rerumputkan. G.P.H. Hadiwidjaja, dalam salah satu tulisannya (Sala, terbitan Barang kali keterbukaan tata nilai dan
Radyapustaka, 1960) berkesimpulan bahwa Sala berasal dari nama desa, dan di desa itu
banyak pohon Sala, atau bahkan hutan Sala.
tata krama ini, mendominasi warna Solo,
dan warganya.
Dua pendekatan yang sangat berbeda, di samping ada pendekatan-pendekatan
lain, yang tetap bisa diterima tanpa menyalahkan atau mengalahkan yang lain. Atau PILIHAN TANAH
bahkan bisa ditemukan kompromi kreatif. Misalnya saja, memang daerah yang sekarang Pendekatan sejarah, juga meninggalkan banyak cerita. Baik yang dicatat dengan indah,
bernama Solo itu dulunya banyak pohon-pohon pinus yang menghasilkan minyak dengan gagah, dengan megah—walau kadang menyembunyikan kesan kurang
terpentin. Kamituwa, penguasa wilayah itu yang juga abdi dalem, meskipun bernama menggugah.Suasana saat itu, pertengahan abad 18, tanah Jawa sedang mengalami
Ki Bau Rekso, lebih dikenal sebagai Ki Sala. “Kebetulan” tokoh ini juga menjadi penyedia peperangan di berbagai bidang. Dinasti Keraton Mataram yang pernah sakti mandraguna
tenaga kerja bagi pihak Keraton, ketua dari barisan soroh bahu. sedang merana. Juga terluka.
Klop. Gothak gathuk, manthuk. Di Keraton Kartasura Hadiningrat, bertahta Sinuwun Paku Buwana II, pada usia
yang muda, baru 16 tahun. Pengendali pemerintahan adalah ibunda Ratu Ageng dan
Patih Danurejo yang anti Kumpeni/ VOC. Sikap politik pun diwarnai ini, dan ikut berubah
Memang ini akan menjadi cerminan ketika Danurejo diselong—kata yang berasal dari dibuang ke Ceylon, Sri Langka. Politik
bergeser dan bergoyang. Sementara suasana keseluruhan juga amburadul. Di Batavia,
sikap warganya yang bisa terbuka. tahun 1740, Belanda membinasakan lebih dari sepuluh ribu keturunan Tionghoa. Pelarian
yang selamat, mengadakan perlawanan di Jawa Tengah, termasuk Kartasura. Pada
Termasuk penulisan Solo atau Sala. Yang saat yang sama, perebutan tahta Mataram tengah berlangsung terbuka. Sinuwun yang
penting dituliskan dalam huruf Jawa “ relatif muda usia, sekali lagi berada dalam tekanan dari berbagai jurusan. Dari bersekutu
dengan pasukan Tionghoa sampai memusuhi, dari memusuhi Pangeran Cakraningat
sa legena dan la legena”. Huruf sa dan kemudian bersekutu, dari memusuhi VOC alias Kumpeni, menjadi peminta bantuan.
Apalagi setelah Geger Pecinan, yang membuat Sinuhun mengungsi.
huruf la yang nglegena, yang telanjang, Walau kemudian akhirnya bisa kembali menempati Keraton Kartasura Hadidingrat.

KITAB SOLO 34 KITAB SOLO 35


Namun keadaan Keraton sudah porak poranda. Kekuasaan Dinasti Mataram agaknya
memang temaram.
Peta kekuasaan sedang ruwet, dan memerlukan biaya kelewat mahal untuk akhirnya
Paku Buwono kembali bertahta. Dan berduka. Juga luka kuasa, luka karisma. Bangunan
Keraton, ibarat kata telah diinjak-injak, kehormatan dan kebesaran Dinasti Mataram
yang gagah perkasa telah rata dengan tanah.
Jalan terbaik untuk membangun citra baru adalah mendirikan Keraton baru. Begitulah
yang biasanya terjadi para kerajaan-kerajaan zaman dulu. Kita lupakan sejenak konflik
pelik yang mencekik kekuasaan Mataram. Sudah banyak telaah yang dituliskan dengan
cermat, teliti. Kita rerasanan mengenai dimulainya tempat baru.
Di sinilah permulaan pencarian tanah untuk mendirikan Keraton baru. Pastilah
peristiwa yang rumit, berbelit, juga ada campur tangan Kumpeni. Sebelum akhirnya
ada tiga pilihan.
Yang menarik di sini adalah proses pemilihan dan berbagai pertimbangan sebelum
akhirnya diambil keputusan.
Pilihan pertama desa Talangwangi, atau kini dikenal sekitar Kadipala. Tanahnya bagus,
konon berbau wangi. Beberapa bagian masih berupa perbukitan kecil, gumuk, dengan
kemungkinan perluasan wilayah kurang bawera., kurang luas. Menurut perhitungan
spiritual, Keraton yang didirikan di sini tak akan berusia lama.
Pilihan kedua, desa Solo, termasuk tanah yang sudah jadi—sudah ada penghuni.
Dekat dengan sungai besar yang menjadi urat nadi perdagangan. Ketika itu pelabuihan
Beton dan Nusupan sudah disinggahi perahu-perahu dari Gresik maupun Surabaya.
Hanya saja tanah sekitar termasuk rendah, berupa rawa-rawa, selalu berair, dan sebagian
masih berupa hutan belukar. Perhitungan spiritual mengatakan bahwa Keraton yang
dibangun di situ akan berjaya, dan berusia panjang.
Pilihan ketiga, desa Sanasewu, sebelah timur Bengawan Solo, masih sebelah barat desa
Bekonang. Tempat itu akan bertambah besar, jaya, makmur, serta mulya. Namun
perhitungan spiritual mengatakan bahwa masyarakatnya akan kembali memeluk agama
Buddha.

KITAB SOLO 36 KITAB SOLO 37


ISTIMEWA
Bahwa pilihan kemudian jatuh ke desa Solo—dengan segala kesulitan menimbun rawa- menghadapi masalah yang seolah tak bisa diselesaikan. “Mbokmenawa bae” adalah
rawa, begitulah catatan sejarah. Tapi bahwa perhitungan spiritual—pastilah dengan ungkapan harapan, kepercayaan bahwa ada sesuatu yang bisa terjadi, walau sepertinya
berpuasa, dengan manekung, dengan semedi, dengan segala kemampuan batin yang tidak mungkin. Dalam bahasa percakapan, kata ini disusul dengan ungkapan, sapa ngerti,
tiada taranya, sekaligus juga diimbangi dengan berbagai pertimbangan yang rasional. atau siapa tahu. Ya, siapa yang tahu pasti? Jalan pikiran dan sikap hidup yang terbuka
Pertimbangan geografis tak terlalu jauh dengan bengawan yang merupakan jalan utama dan membuka.
perdagangan, misalnya. Atau perluasan wilayah untuk masa depan.—membawa tanah Ini mungkin bentuk-bentuk atau sikap diri, yang mampu bertahan dari gempuran
perbukitan di dusun Talangwangi untuk menimbun rawa-rawa yang menurut cerita keadaan, mampu melihat satu titik di ujung terowongan gelap, satu modal sosial yang tak
bersambung ke Segara Kidul yang dikuasai Ratu Pantai Selatan, sehingga airnya tak pernah habis. Dalam bentuk mistisnya, keberadaan Nyi Roro Kidul misalnya, masih akan
akan pernah habis. Demikian juga kalau diingat bahwa pihak Keraton tidak serta merta selalu ada. Dalam bentuk lainnya, kedatangan dan kemunculan Ratu Adil, masih bisa kita
datang dan membangun. Ada ganti untung, dengan segala perhitungan yang rumit. dengar. Tidak selalu dalam pembicaraan yang serius—meskipun ada, namun juga bukan
Menurut catatan, sekurangnya penduduk asli sudah bertempat tinggal di situ selama dalam guyonan yang asal-asalan. Sebagai “warga negara” Solo dan dibesarkan di tempat
lebih dari 160 tahun. Sedikitnya tiga generasi, kalau dilihat dari sudut Kiai Solo generasi ini dan masih selalu “pulang” (ini istilah yang dipakai jika mudik, atau pergi ke Solo,
ketiga yang melaksanakan persetujuan pemindahan tempat warga sebelumnya. seakan selama ini hanya bertamu ke kota lain), suasana ini terhayati, bukan hanya
Ini semua memerlukan manajemen yang luar biasa rumit, repot dan ruwet.. Proses terasakan.
yang luar biasa panjaaaaaang dan mencengangkan.
Dalam pembicaraan di warung
MBOKMENAWA
Kadang terbersit pikiran, andai—hanya berandai-andai, kalau benar Keraton Surakarta
angkringan, di hik, obrolan mengenai apa
Hadiningrat—namanya akan tetap begitu dibangun di mana pun, dibangun di Sanasewu saja bisa terjadi, mengalir “ngalor ngidul,
peta sosial dan warna keagamaan akan berubah?
Atau kalau dibangun di daerah Kadipala, akan lebih cepat surut? Akan pendek
ngetan bali ngulon”, baik masalah besar atau
usianya? masalah rumah tangga. Waktu seakan
Penggandaian ini adalah penggandaian yang tidak mungkin. Karena sejarah berjalan,
dan bukan jenis games anak-anak yang bisa restart lagi dari awal. Penggandaian ini
berhenti, tak ada persoalan yang benar
seperti berucap :”andai aku jadi kupu-kupu”, sesuatu yang belum pernah terjadi manusia gawat. Kalau pun “gawat keliwat-liwat”,
menjadi kupu-kupu, walau ia bersedia menjadi kepompong. Namun dalam alam pikiran,
pengandaian atau perumpamaan ini bisa hidup dalam alam pikiran masyarakat. Kata tetap bisa diobrolkan
“mbokmenawa” atau “mbokmenawa bae”, adalah sikap hebat masyarakat ketika dengan selingan tawa.
KITAB SOLO 38 KITAB SOLO 39
Idiom-idiom yang menjadi bahan pembicaraan “Heh kang mangun subrata.
dimengerti satu dengan yang lainnya. Teori
komunikasi yang susah payah diterangkan dan Wruhanira, teleng iku mulane
dicoba diterapkan para pakar, sudah mengalir ora bisa mampet, amarga
dengan sendirinya. Sehingga tuntutan to whom I
must speak today, kepada siapa saya bicara, yang
tembusane Segara Kidul. Dene
menjadi syarat utama terjadinya komunikasi yang yen sira udi pampete teleng
efektif, menjadi tidak relevan. Karena satu dengan mau, kang dadi saranane :
yang lain telah sama-sama mengetahui
maksud dan tujuannya.
Tambalen gong Kiyai Sekar
Cerita dibangunnya Keraton bisa menjadi contoh ilustrasi.
Delima, karo roning lumbu
Alkisah setelah ditentukan tempat untuk pembangunan Keraton, mulailah tanah
diratakan, pepohonan liar ditebang dan daerah rawa ditutup. Para Bupati dari wilayah
lawan sirahing taledhek. Ing
Barat maupun Timur semua menyediakan balok-balok kayu untuk menutup rawa. Semua
usaha pembangunan berjalan lancar, kecuali di tengah sumber air. Berapa pun balok
kono bisa pampet telenge,
dimasukkan, tak ada hasilnya. Bahkan air yang keluar makin banyak. Pangeran Wijil,
Kiai Kalipah Buyut, Pengulu Pekik Ibrahim, yang mendapat tugas utama tak bisa berbuat
ananging ing tembe dadi
banyak. Segala upaya telah dilakukan, namun hasilnya sia-sia. Air tetap tak bisa
dibendung. Bahkan kemudian dari rawa itu muncul jenis ikan dan binatang yang biasanya
kedhung ora mili ora asat,
hidup di laut. Ini kejadian yang luar biasa dan menggetarkan.
Setelah semua upaya tidak berhasil, Panggeran Wijil serta Kiai Yasadipura bersemedi,
ajeg banyune,
manekung di sebelah timur rawa. Mereka berdua bertapa, selama seminggu, tidak makan
tidak tidur. Sampai akhirnya terdengar suara :
ora kena dipampet salawase.”
KITAB SOLO 40 KITAB SOLO 41
Terjemahan harafiahnya, kira-kira : “Hai yang tengah bertapa, ketahuilah, bahwa Ada dua tata nilai yang tersampaikan dengan
sumber air itu tak bisa berhenti, karena sumbernya dari Laut Selatan. Kalau kalian ingin cara seperti ini. Nilai spiritual atau mistis—
menghentikan, ini caranya : masukkan gong (alat musik) Kiai Sekar Delima, serta daun
lumbu, dan tanamlah kepala ledhek ( pesinden, perempuan yang nembang atau menari). termasuk kisah yang gaib, termasuk nama asal
Di situ akan berakhir airnya. Besoknya tempat itu masih ada airnya, tapi tak membuat usul Kedung Lumbu, tapi sekaligus juga juga nilai
banjir dan tak akan kering. Tak akan bisa ditutup selamanya.” praktis dan rasional. Yaitu warga mendapatkan
Wisik atau sasmita suara gaib itu dicatat terjadi pada malam Anggara Kasih, bulan
Sapar tanggal 29 tahun Jimawal, angka 1669. ganti untung atas tanahnya, warga dibayar untuk
Dalam bahasa harafiah, untuk menghentikan air dari pusatnya adalah dengan membiayai berdirinya Keraton.
menanam gong, daun lumbu, serta kepala ledhek, kepala manusia.
Namun bukan itu makna sesungguhnya. Melalui uraian yang susah diterjemahkan
Pola komunikasi ini terbukti sakti, boleh
dalam bahasa Indonesia, makna dibalik arti harafiahnya adalah : bahwa taledhek berarti dikatakan sukses lahir batin.
duit, kata lain ringgit, jumlahnya saleksa, atau sepuluh ribu uang ringgit. Gong itu Yang batin tidak menggantikan yang lahir, sebaliknya yang lahir tidak meninggalkan
kependekan dari gangsa, yang artinya bibir. Bibir itu berarti ucapan. Ucapan adalah atau menanggalkan yang batin.
janji. Janji harus ditepati. Dengan kata lain, ada ganti rugi sebesar sepuluh ribu ringgit, Dengan “komunikasi Gong”, barang kali kita akan lebih memahami, lebih mengerti,
sebagai ganti untung—bukan ganti rugi, bagi Kiai Solo dan semua penghuni yang akan lebih menemukan sesuatu ketika berada di Solo. Karena memang setiap bangunan, setiap
dipindahkan. Begitu banyak nama benda yang bisa berarti lain, kemudian diartikan lain jengkal tanah menyimpan kisah yang basah untuk dimaknai.
lagi, sampai kemudian jelas apa yang dimaksud. Kita ambil contoh Pasar Klewer.
Inilah yang kemudian terjadi. Daerah rawa itu bisa ditutup, airnya tak lagi mengalir, Pusat perbelanjaan tekstil yang pernah dijuluki terbesar di Indonesia karena volume
dan tempat di mana daun lumbu itu ditebarkan sekarang menjadi nama tempat, Kedung perdagangannya ini, adalah contoh berkembangnya industri lokal, industri yang
Lumbu. melibatkan masyarakat secara luas. Berada di sebelah barat, agak ke selatan Alun-alun
Terlepas dari suara gaib ( yang sebenarnya sangat mungkin terjadi, karena hanya Utara, berdampingan dengan Masjid Agung. Jalan di samping itu adalah jalan tertua,
didengar yang bersangkutan, sebagaimana seseorang mendapatkan ilham), serta upaya kalau diingat perpindahan rombongan dari Keraton Kartasura melewati itu pertama
mendengar suara itu ( yang sebenarnya bukan sesuatu yang luar biasa untuk berpuasa kalinya. Kemudian tempat itu menjadi pakretan, pa-kreta-an, atau tempat parkir kereta.
selama tujuh hari tanpa tidur sekalipun), idiom gong bisa terkomunikasikan sebagai Pada abdi dalem atau juga terutama para pembesar dari Delanggu, Kartasura, Boyolali,
gangsa, sebagai bibir, sebagai ucapan, sebagai janji, sebagai komitmen, adalah luar biasa. menempatkan kendaraan utama saat itu di situ. Dari nama pakretan, berubah menjadi
Idiom “kepala taledhek”, yang berarti ringgit, atau bisa berarti wayang bisa berarti slompretan, dan jadilah nama Pasar Slompretan.
uang, sampai ke sasaran dengan tepat, sungguh mengagumkan. Berbeda dengan pasar-pasar yang lain, Pasar Slomperan merupakan pasar yang

KITAB SOLO 42 KITAB SOLO 43


FOTO LUAX MAWARDI

KITAB SOLO 44 KITAB SOLO 45


tumbuh bersamaan dengan dinamika masyarakat. Setidaknya dibandingkan dengan Pada titik inilah sesungguhnya nilai-nilai
Pasar Gedhe, atau Pasar Gede, atau Peken Ageng, yang ada di tengah daerah Pecinan.
Bangunan, los-los pasar relatif teratur, tertata. Pada tahun 1927 sudah dibangun
budaya itu menemukan kekuatannya yang
bertingkat dua, mungkin sekali pasar pertama di Indonesia yang bertingkat. Pasar Gede utama, menjadi sejarah, dan menggugah.
Hardjanagoro, menjadi yang pertama – seperti juga banyak hal terjadi pertama kali
terjadi di Solo.
Pasar Klewer bukan sekadar pasar tekstil
Begitu juga pasar yang hanya ramai pada hari pasaran—Pasar Pon, Pasar Kliwon semata, bukan pasar kelontong belaka,
(pasar khusus hewan), Pasar Legi, (banyak transaksi dengan warga dari “luar” Solo), melainkan pasar rakyat yang sesungguhnya.
atau juga Pasar Kembang—yang secara khusus menjaul bunga untuk keperluan ritual
seperti untuk kembang setaman, kembang boreh, kembang campur untuk ditebar di
Yang sampai kapan pun, akan terus
makam, juga kembang untuk keperluan pemakaman. menggemakan kehadirannya.
Sebagai pasar rakyat, Pasar Slompretan, mengalami masa surut di zaman Jepang. Bagaimana membuat nilai-nilai itu tetap relevan dan aktual, adalah bagaimana
Pedagang tak mampu lagi menyewa kios, sehingga berada di jalanan. Barang mensosialisasikan, sehingga bisa terus terpahami getarannya.
dagangannya dibawa dengan tangan, seperti para pengasong atau penjaja jalanan. Pasar Klewer bisa menjadi contoh yang pas, justru karena ia bukan bangunan purba
Dagangannya pun bisa diperkirakan adalah pakaian atau barang bekas. Keberadaan dan kuno, bukan petilasan raja atau gubernur Kumpeni, bukan karena nilai-nilai seni
para penjaja pun, kleweran, di jalanan. Itu pun selalu diusir, karena mengganggu yang tersimpan di dalamnya. Pasar Klewer adalah pasar, tempat jual beli seketika, yang
ketertiban. Keadaan yang serba kleweran itulah yang membuat nama Pasar Slompretan tidak dimaksudkan sebagai warisan sejarah. Belum lagi kalau kita kaitkan dengan
kemudian menjadi Pasar Klewer. keberadaan Sarekat Dagang Islam, yang didirikan 16 Oktober 1905, tiga tahun sebelum
berdirinya Boedi Oetomo. Adalah Sarekat Dagang Islam, yang melihat perlunya
Untunglah nama itu tidak diubah lagi.
mengembangkan perekonomian rakyat, sekaligus juga nasional dan religius. Dalam
Bukan karena apa, nama Pasar Klewer dalam artian tertentu mempunyai riwayat,
perjalanannya berubah menjadi Sarekat Islam, namun pastilah ada bekas-bekas sikapnya
mempunyai cerita yang panjang. Di samping nilai-nilai penjualan-pembelian yang terjadi,
sehingga Pasar Klewer lebih banyak menampilkan para pedagang pribumi—ketika
di samping transaksi tanpa henti, ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang bisa dikisahkan persaingan dengan pedagang Tionghoa menjadi masalah besar. Para juragan batik, para
dengan gagah. Karena bukan pasar atau plaza yang tiba-tiba dan menggusur pedagang mbokmase—sebutan untuk kaum perempuan yang mengendalikan usaha batik, bisa turut
sebelumnya, atau semacam itu. merasakan berkahnya.
Inilah saya maksudkan dengan setiap debu memiliki seribu satu cerita. Yang bisa Dan Pasar Klewer juga bukan satu-satunya.
membuat kita ceria kala mendengar, atau kala menuturkan kembali. Terutama karena Sebanyak batu, sebanyak debu, sebanyak itulah Solo memiliki warisan budaya yang
di dalamnya ada inspirasi, ada dinamika, ada kegagahan, yang menjadi penanda. berharga.

KITAB SOLO 46 KITAB SOLO 47


NINGRAT
Kembali ke pengandaian, kalau saja Keraton dibangun di Kadipolo, akankah usianya
lebih pendek dari sekarang ini? Tidak ada yang bisa memastikan, dan mungkin juga
tidak perlu. Yang jelas dan pasti, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat tidak selalu
utuh seperti yang diperkirakan. Belum usai seorang raja berkuasa telah terjadi
perpecahan, peperangan, perebutan kekuasaan. Sampai akhirnya wilayah dibagi dua,
dengan seorang Sultan bertahta di Ngayogyakarta Hadiningrat. Dengan kekuasaan yang
sama. Dan kemudian di Surakarta, juga akhirnya dibagi dua, dengan Keraton
Mangkunegaran.
Sekarang ini mungkin dengan ringan kita menceritakan bahwa Keraton dibagi dua,
lalu dibagi dua lagi, atau menyebutkan tahun-tahun perjanjian, tahun-tahun perdamaian.
Namun di balik semua itu, saya hanya membayangkan dengan pedih, dengan perih,
betapa menyakitkan hati peristiwa semacam itu terjadi. Baik Kasunanan, Kasultanan,
Mangkunegaran, Paku Alaman, masih bersaudara. Sangat-sangat dekat, sama-sama
keturunan raja gung binatara. Ikatan darah, ikatan tata nilai dan tata karma ternyata tak
cukup kuat untuk mengikat dan menyatukan diri. Sehingga yang terjadi adalah
perpecahan, juga pemisahan, dan bukan tidak mungkin permusuhan. Adalah sangat
mungkin sekali adanya perbedaan-perbedaan dalam tata nilai dan tata krama. Apa yang
sakral di Kasunanan Solo adalah hal yang biasa atau malah profan di Kasultanan Yogya.
Demikian juga tercermin dalam cara berbusana, cara merias pengantin dengan segala
atribut-atributnya.
Jangan lupa bahwa pada masa-masa itu, tanda-tanda kebesaran, tanda-tanda
kehormatan, tata krama adalah nilai utama. Sehingga perbedaan menjadi pemisah dalam
arti yang sebenarnya. Tercermin dalam bentuk-bentuk kesenian, sampai kehidupan
sehari-hari. Perbedaan yang tajam dari tata nilai ini mewarnai perjalanan tumbuhnya
Keraton-keraton yang ada.
Makin terasa menyakitkan mana kala diingat bahwa untuk menjadi raja baru, restu
yang diperlukan dari VOC atau Kumpeni. Para pembesar ‘sabrang’ inilah yang menyetujui

KITAB SOLO 48 KITAB SOLO 49


ISTIMEWA
atau tidak menyetujui, merestui atau tidak merestui kapan Keraton baru diresmikan.
Termasuk penentuan waktu pelantikan, dan tentu saja batas-batas wilayah. Menyakitkan
Tapi, di sinilah uniknya. Bahkan dalam
dan sungguh merendahkan harga diri sampai rata dengan tanah. Justru di tanah tumpah kekuasaan yang nyaris putus pun, kesetiaan
darah sendiri, seorang raja yang berkuasa penuh dengan gelar tertinggi sebagai panglima
perang dan wakil Allah di buminya, untuk menggapai itu harus berseteru dengan sanak
para abdi dalem tidak surut karenanya.
saudara sendiri, harus meminta restu Belanda. Berita bahwa abdi dalem yang menjaga
Saya membayangkan masa-masa itu sebagai masa yang suram, sulit, menyesakkan
dada, membuat ‘unjal ambegan’, menghela napas setiap kali. Bagaimana hal semacam pintu, atau yang tugur—berjaga dan berdoa
ini bisa terjadi?
Bagaimana masyarakat hidup dalam perpecahan, juga persaingan, dalam perbedaan
semalaman, adalah contoh-contoh yang
tata nilai dan tata krama, ketika sama-sama masih mengakui sebagai ‘wong Jawa’? mentakjubkan. Bahwa Keraton yang telah
Bagaimana masyarakat yang Jawa ini merasa Jawa dengan mengabdi ke raja yang
mana?
coreng moreng, telah berada dalam situasi
Betapa membingungkan, mengingat bahwa para raja, untuk Solo, antara Kasunanan “ ora cetha alang ujure”, tidak jelas posisi
dan Mangkunegaran, juga ada pertalian leluhur yang sama, di samping juga ada
perkawinan antar sentana dalem, antarkerabat dekat raja? politis, ekonomis, maupun sosialnya, masih
Sedemikian tajam perbedaan itu, sehingga sepasang rel kereta api yang berada di
jalan Slamet Riyadi sekarang ini, pernah dianggap sebagai batas pemisah, antara
dianggap membawa berkah. Masih menjadi
Kasunanan dan Mangkunegaran. acuan moral, etika maupun estetika.
Sedemikian berlanjut perbedaan ini, sehingga sampai saat ini pun, ada “dua sinuwun”
di Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, yang dalam prosesnya ada demontrasi Secara pribadi saya merasakan ini, karena berada di dalam pusaran ini. Ketika masih
segala? SMP, di SMP Negeri 4, ketika teman sekelas main ke rumah, ibu saya menemui dan
Tak terbayangkan bahwa itu bisa terjadi. Bahkan sasmita yang paling buruk pun, menyembah. Teman sekolah saya ini adalah putri dokter Padmanegoro—nama ini sudah
mungkin tidak menggambarkan akhir yang demikian tragis. turun temurun sejak awal Keraton, dan bagi almarhumah ibu, merupakan bentuk
Tapi, di sinilah keunggulan dan daya tahan masyarakat Solo dan sekitarnya. Dalam kekuasaan Keraton. Ibu bisa bercerita mengenai garis keturunan, hubungan terdengar
keadaan begitu rancu, dalam perpecahan yang membelah makin memisahkan, mereka dengan Sinuwun yang mana, yang keberapa, juga dari garis istri yang mana. Bahwa
tetap bisa menjalani. Dalam kehidupan sehari-hari masyarakat, antara Kasunanan dan saat itu menjadi teman sekolah anaknya, tidak menghalangi ibu untuk dengan tulus
Mangkunegaran seolah tak ada perbedaan. Dua tata nilai – atau lebih, bisa diterima melakukan itu.
dengan sabar dan tenang. Untuk generasi ibu, tata nilai dan tata krama itu masih terangkat kental. Dan bisa

KITAB SOLO 50 KITAB SOLO 51


dimengerti karena kakek—ayah dari ibu, adalah abdi dalem. Dari namanya, Saya tidak mengalami itu, sebagaimana Ki Lurah Atmolelewo juga tidak mengalami—
Atmolelewo—itu sebabnya nama tua ibu-bapak adalah Atmowiloto, terlihat jelas bahwa atau bahkan membayangkan, bahwa salah satu cucunya yang “durung Jawa” ini suatu
almarhum kakek adalah abdi dalem bagian lelewo, menari. Atau lebih khusus lagi ketika memperoleh gelar Kanjeng Raden Tumenggung—dengan nama baru,
termasuk dalam canthang balung, yang menari di jalanan mendahului iringan para Wilotodipura. Untunglah beliau tidak mengalami, kalau tidak, kakek akan melakukan
pembesar Keraton yang akan berjalan. Sebagai pemeriah adanya iring-iringan. Barang sembah ke saya—yang “pngkatnya” tiga empat tingkat di atasnya. Saya tidak sedang
kali mirip cheer leader sekarang ini. Bukan sebagai prajurit yang maju perang. Pangkat bergurau, karena ketika selesai upacara, mertua saya melakukan hal yang sama. Sanak
terakhirnya lurah. Namun agaknya ini pangkat anumerta, karena lebih dikenal sebagai keluarga—dari pihak keluarga, dari pihak mertua, dari yang “sudah jauh”, memerlukan
bekel—satu tingkat di bawahnya. Meskipun demikian, meskipun pangkatnya berada di datang memberi selamat dengan tulus dan bersungguh-sungguh. Ketika saya
golongan bawah, derajat dan kewibawaan almarhum kakek cukup disegani. Setidaknya
memenangkan Asean Awards dalam bidang penulisan, dan hadiah itu diberikan oleh
dibandingkan sanak keluarga yang lain yang bukan abdi dalem. Setidaknya secara
Raja Muangthai, jangan kata memberi selamat, menanyakan juga tidak. Kalau pun tahu,
ekonomis juga lumayan, karena meskipun sebagai abdi dalem, hidupnya lumayan sukses.
dianggap biasa. Akan tetapi menjadi seorang KRT adalah something dan penting. Belum
Kalau ukuran sukses adalah mempunyai rumah sendiri, dan istrinya bekerja, dan anak-
pernah saya menerima kehormatan yang begitu hangat, begitu hormat seperti ketika
anaknya bisa sekolah.
itu. Termasuk dirasakan oleh istri saya, yang boleh disebut sebagai Ibu Menggung—Ibu
Tumenggung. Termasuk kalau saya memakai hiasan di rumah dengan payung—yang
Saya tidak mengalami zaman keemasan Ki tidak terbuka, menjadi sah.
Lurah Atmolelewo, karena beliau sudah Ilustrasi nyata ini menunjukkan betapa sesungguhnya, ketika puing-puing kuasa
meninggal dunia ketika saya lahir. Tapi saya Keraton telah berkeping, masih mempunyai makna. Masih ada tata nilai yang dihormati.
Dan masih relevan. Bagi saya mendapat gelar kehormatan—apa pun gelar yang
kenyang dengan cerita yang membuat senang, dianugerahkan, bukan sekadar menjadi terhormat atau merasa diakui. Juga bukan merasa
juga bangga yang selalu dituturkan oleh nenek, memasuki daerah baru yang feodal, masuk kasta ningrat. Karena justru ketika berada
dalam sebutan ningrat, dituntut untuk berperi laku yang bertanggung jawab. Dari segi
oleh ibu, oleh kerabatnya. Betapa semua perhatian ucapan ningrat diartikan sebagai ‘ning Rat’, atau di jalan Tuhan.
tertuju ke beliau menjelang menghadap ke Pemahaman seperti inilah yang dibutuhkan di saat kita menjadi kritis, atau mengritisi
Keraton, jangan sampai keliru apa yang dipakai sesuatu. Karena tanpa itu, selalu sesuatu yang berbau tradisi seakan menjadi masa lalu
tanpa relevansi aktual—baik aktual waktu maupun aktual masalah. Dan bisa
atau terlambat atau lupa berpuasa. Betapa keramat dicampakkan begitu saja karena menjadi penghalang. Padahal justru karena memiliki
hari-hari yang dilalui sebagai abdi dalem. nilai-nilai tradisi itulah, kita belajar memahami dan membantu menentukan langkah.

KITAB SOLO 52 KITAB SOLO 53


SELURUH DUNIA
Dengan memiliki tradisi kehidupan Keraton dengan segala liku-liku sejarahnya,
masyarakat Solo menjadi berbeda—dibandingkan yang tidak memiliki, atau memiliki
kemudian, atau pernah memiliki dalam jangka waktu yang jauh.
Gambaran ini sangat memungkinkan melirik kepada asal usul, atau sekaligus posisi
sosial yang disandang, dibandingkan dengan orang lain.
Ambil misal nama kakek, Atmolelewa. Kata depan Atmo, dalam tatanan Keraton
Kasunanan—yang bisa berbeda dengan Keraton Mangunegaran, menunjukkan pekerjaan
dan kepangkatan tertentu, dalam hal ini berkaitan dengan tari. Dalam gabungan dengan
nama Lewa, menunjukkan pekerjaan sebagai penari. Penari kelas tertentu, yang bukan
penari “dalem Keraton”. Atau lebih dekat dengan sebutan badhut, atau juga canthang
balung. Dengan demikian kalau kakek atau orang yang bernama Gunalewa,
Wignyolelewa, akan ditertawakan misalnya mengaku sebagai penari utama di Keraton,
atau prajurit perang, atau berpangkat tinggi. Demikian pula pemberian nama
Wilotodipuro, menunjukkan kelas tersendiri, dibandingkan dengan misalnya pemberian
nama menjadi Wilotodiningrat, atau Wilotonegara. Kelas ini tidak selalu berarti lebih
tinggi atau lebih rendah, tapi dengan demikian terbedakan, juga karena profesinya.
Hal yang sama bila kita mendengar nama besar, misalnya Ngabehi Maesawira. Berarti
pangkat kebangsawanannya tingkat ngabehi, sementara profesinya sebagai tukang
jagal.Atau nama Ngabehi Kudadipraja, berurusan dengan kuda, atau gamel. Sebanyak
profesi yang ada—termasuk juru khitan, atau pemain gamelan, tukang ukir, pemelihara
kuda, juru selam, juru pandhe, pembuat peralatan dari besi, juru ukir kayu, juru ukir
besi, juru pembersih perhiasan, pemandi pusaka, dan tak mungkin disebutkan
sepersekiannya pun—sebanyak itulah nama yang ada.
Di Mangkunegaran mempunyai cara penamaan yang bisa sama bisa berbeda.
Dengan tatanan dan tingkat pengaturan kelas sosial atau juga jenis pekerjaan yang
ada, yang demikian banyak dan beragam, sebenarnya juga menunjukkan bahwa sampai
titik tertentu, pencapaian dalam menempatkan seseorang atau kelompok telah

KITAB SOLO 54 KITAB SOLO 55


Taman Banjarsari dan sekitarnya pada zaman dulu. Dengan tempat rekreasi air mancur
untuk berpotret, asrama tentara, sebelum menjadi pasar pedagang kaki lima

menemukan bentuknya. Kalau dikatakan sangat ruwet, itu semata-mata karena idiom- Melihat ke arah belakang, sebenarnya bukan hanya nama orang, melainkan, jika
idiom yang melatar belakangi penamaan itu tak sepenuhnya diketahui. Padahal dengan kita melihat nama kampung yang ada. Untuk tidak terlihat Kasunanan sentris, kita
nama, Atmolelewa, semuanya telah terjelaskan. Jauh lebih dahulu dengan nomor sosial ambil dua nama kampung yang ada dalam wilayah Mangkunegaran.
atau nomor kartu tanda penduduk, atau kartu kredit sekali pun. Sebuah identifikasi · Nama kampung Setabelan dan kampung Kestalan.
yang, bia dikatakan, sempurna. Syahdan pada zaman dahulu, daerah di sebelah utara Keraton Mangkunegaran,
Yang jauh lebih menarik adalah bahwa pakem penamaan ini sangat baku, akan tapi sekitar 300 meter dari Kali Pepe, ada alun-alun yang lebar, luas. Dibelah oleh jalan
juga terbuka kemungkinan yang dinamis. Misal, ini hanya misal, saya berhasil terbuka, arah ke stasiun Solo Balapan. (Masyarakat menyebut lengkap sebagai stasiun
menyunting Putri Keraton, pangkat dan nama saya berubah. Status sosial dan keberadaan Solo Balapan, dan bukan Balapan saja). Di sebelah barat, adalah prajurit “dragonder”
saya menjadi berbeda. Hal yang sebenarnya juga sudah terjadi, ketika cucu lurah , pasukan berkuda, lengkap dengan kestal, atau kandang kuda. Penempatan di situ
mendapat gelar Kanjeng Raden Tumenggung. merupakan perpindahan dari depan pura Mangkunegaran, sekitar tahun 1784. dari
Dengan adanya dinamika ini kemungkinan menjadi terbuka lebar. Bukan hanya untuk nama istal, atau kestal inilah lahir nama Kestalan, dan menjadi kampung Kestalan.
bersangkutan, yang mendapat nama dan pangkat atau identitas baru, melainkan juga Sedangkan di sebelah timur digunakan sebagai asrama oleh prajurit meriam, yang
istrinya—atau juga sebaliknya, suaminya, sampai ke anak turun. Secara bercanda saya dalam lidah Jawa disebut setabel. Dari sinilah kemudian ada nama Kampung Setabelan.
pernah mengatakan bahwa suatu hari nanti, seluruh Indonesia ini akan mempunyai Alun-alun itu sendiri kemudian didirikan perumahan elit pada masa itu, dengan
gelar, mempunyai pangkat tinggi. Bahkan bisa jadi seluruh dunia. Baik karena pemberian bangunan loji, diberi nama Villapark, sebelum, kemudian berubah lagi menjadi
gelar atau karena perkawinan. Banjarsari.

KITAB SOLO 56 KITAB SOLO 57


BANDHA LAKSANA
Yang mengasyikan, selain bisa menelusur ke belakang, kita bisa bagian-bagian yang
menarik. Kestalan atau Setabelan—sama seperti kampung lain yang mempunyai riwayat,
mempunyai kisah cerita yang bisa menerangkan diri.
Sebagian, kini menjadi bagian dongeng masa lalu, atau terhenti sebagai cerita. Namun
bukan tidak mungkin, ada kemungkinan-kemungkinan yang berbeda.
Yang ini bukan nama jalan, bukan nama orang, melainkan nama suatu organisasi,
nama suatu kempalan. Namanya, salah satunya, adalah Bandha Laksana. Dalam
organisasi ini tiap kelompok bisa terdiri dari 10 atau 25 orang. Mereka mengumpulkan
duit seperti arisan. Pada giliran duit yang terkumpul bisa dipinjam oleh anggota. Dengan
pengembalian yang ringan, disertai “bunga”. Kelebihan pengembalian ini, setelah
dipotong untuk administrasi yang tak seberapa, pada gilirannya dikembalikan kepada
anggota. Perputaran yang sekarang lebih dikenal sebagai Koperasi Simpan-Pinjam.
Yang lebih menarik lagi, agaknya juga tercermin dalam sikap dasar, bahwa segala
urusan diselesaikan di antara para anggota. Boleh dikatakan tak pernah ada masalah
yang harus diselesaikan secara hukum, kalau ada anggota yang tak mampu membayar—
atau terlalu terlambat. Dalam “Bandha Laksana”, ada perputaran uang, tapi juga ada
perhitungan yang menjadi pertimbangan selain soal bunga-berbunga. Ada unsur
persaudaraan, ada unsur saling mengetahui kekuatan ekonomi masing-masing anggota,
dan ada unsur persoalan yang ada dipecahkan secara bersama.
Dalam hal tertentu, kempalan ini jauh lebih manusiawi dibandingkan dengan
berhutang kepada lintah darat atau mindring, bahkan juga tetap lebih manusiawi
dibandingkan berhubungan dengan bank sekalipun. Ada unsur kebersamaan, baik
pengelolaan, keanggotaan, juga dalam berbagi keuntungan—atau kerugian.
Barang kali saja, keluwesannya masih lebih unggul dibandingkan dengan Koperasi
Simpan-Pinjam antarkaryawan di perusahaan-perusahaan terutama dalam jumlah
pinjaman dan jaminan tetap.
Sebagaimana nama kampung Kestalan atau Setabelan yang sayup-sayup, demikian
FOTO LUAX MAWARDI

juga bentuk-bentuk kempalan yang ada.

KITAB SOLO 58 KITAB SOLO 59


Sekaten
Salah satu monumen budaya yang masih hidup dan terus berlangsung sampai saat ini,
ada pasamuan Sekaten. Kata pasamuan, menunjuk kepada suasana pesta, suasana
pertemuan yang boleh dikatakan resmi.
Menurut beberapa sumber dari para penulis Jawa sendiri, pasamuan Sekaten sudah
diadakan sejak zaman Keraton Demak. Raja pertama Keraton Demak, yang dikenal dengan
nama Raden Patah, mengumpulkan para wali, untuk mengadakan Sekatenan, setahun
sekali. Peringatan yang dikenal sebagai Maulud Nabi Muhamad SAW. Dalam acara yang
diadakan setahun sekali, berlangsung selama tujuh hari. Bagian utama dari acara itu adalah
para wali, para ulama, memberikan khotbah pengajaran agama Islam. Juga bagi mereka
yang baru memeluk agama Islam dengan mengucapkan kalimat Sahadat. Namanya
menjadi Pasamuan Sahadaten—artinya dalam suasana pesta gembira mengucapkan
kalimat Sahadat. Seperti kisah nama yang lain, dari Sahadaten, berubah menjadi Sekaten—
lebih mudah diucapkan. (Meskipun tetap saja versi lain asal usul nama Sekaten)
Pada waktu itu, urutan upacara sama dengan yang sekarang ini. Raja penggede di daerah

KITAB SOLO 60 KITAB SOLO 61


berdatangan ke Keraton untuk menyatakan pengakuan kekuasaan Keraton, di samping
memberi persembahan, sebagaimana lazimnya wilayah yang ada di bawah kekuasaan
Keraton. Tradisi ini sudah dicatat sejak zaman Keraton Majapahit—hanya waktu pada tahun
baru. Dengan masuknya agama Islam, hari pertemuan para petinggi daerah berubah menjadi
saat Maulud Nabi.
Ketika itu sudah memakai gamelan, dan dibunyikan. Sekurangnya ada catatan bahwa
seperangkat gamelan yang ada dibawa ke Keraton Cirebon—karena permaisuri Raja
Demak kedua, Pangeran Sabrang Lor, berasal dari Cirebon. Dengan demikian tradisi
gamelan saat Sekaten, turut boyong dan menjadi tradisi di Keraton Kanoman Cirebon.
Surutnya Keraton Demak, tidak menyurutkan tradisi yang ada. Yang terus bergema
dan dilakukan, sampai kemudian di Pajang, dan kemudian dari Kartasura pindah ke
Surakarta. Pada zaman “Pajang Mataram” itulah Ingkang Sinuwun Prabu Anyakrawati
atau dikenal sebagai Pangeran Seda Krapyak, membuat seperangkat gamelan secara khusus
untuk dibunyikan saat Sekaten. Nama gamelan itu—seperti benda lain, pusaka lain yang
diberi nama, Kiai Guntursari, di tahun 1613.
Menurut buku, atau serat, Sri Radya Laksana, pada masa pemerintahan Paku Buwono teliti upacara Sekaten dengan urut. Mulai dari malam sebelumnya, mulai kapan gamelan
ke III, di halaman masjid Agung Solo, didirikan panggung, bangsal pradangga, khusus diberangkatkan dari Keraton—sampai nanti dikembalikan lagi, tak boleh lebih dari pukul
untuk tempat gamelan, letaknya di sebelah selatan. Tercatat penggunaan panggung 24.00, urutan siapa yang datang antara Mangkunegaran dan Kasunanan, atau pembesar
gamelan ketika Muludan tahun Wawu angka 1713, atau tahun 1786 Masehi. Pada masa Belanda, seorang Residen muncul saat kapan dan berdiri di mana, kapan gunungan
Paku Buwono ke IV, satu perangkat gamelan lagi ditambahkan, ukurannya lebih kecil, dimunculan, jenis gending pembuka yang mana—di hari pertama berebda dengan hari
diletakkan di sebelah utara. Nama gamelan itu adalah Kiai Guntur Madu. Memang nama- kedua dan seterusnya, termasuk iringan para prajurit yang harus rinci dengan segala
nama yang diberikan bernada maskulin. Tapi begitulah harmoni itu terjadi, dan dua break down nya. Semua rencana upacara yang rumit, boleh dikatakan rincian menit demi
perangkat gamelan ini dibunyikan bergantian. Panbuh gamelan sebelah selatan oleh menit, yang akan berlangsung sedikitnya satu minggu. Dengan ratusan, untuk mengatakan
kelompok Pangrawit, sedangkan di sebelah utara oleh kelompok Mlaya. Sekadar ribuan, “panitia inti” yang menyiapkan dan mengawasi kegiatan yang melibatkan
mengingatkan kembali kalau seseorang bernama Mlayakusuma, misalnya, pastilah ia masyarakat secara massal.
penabuh gamelan yang ada utara. Penggunaan kedua gamelan bergantian itu ditandai Bagi saya ini suatu perhelatan yang mencengangkan.
dimulai pada hari Selasa, tanggal 6 Mulud tahun Dal angka 1807, atau 17 Maret 1878. Lebih dari itu, sungguh mengangumkan. Terutama perubahan kreatif yang berlangsung
Surat kabar Tjakrawati, terbitan Jimawal angka 1837 atau tahun 1907, mencatat dengan secara dinamis.

KITAB SOLO 62 KITAB SOLO 63


ini memberi komanda awal, biasanya juga akhir, untuk menentukan irama. Peran ini diganti
Dimulai dari tradisi zaman Majapahit, dengan bedhug. Irama, ritme pukulan, disesuaikan dengan kemampuan dan medium

di mana para bawahan sowan ke pusat bedhug. Sehingga diawalinya dengan alat musik bonang, kemudian disampung dengan
demung, untuk menjadikan orkestrasi.

Keraton saat tahun baru, menurut Dengan kata lain, bukan sekadar memindah seperangkat gamelan ke halaman masjid
semata, melainkan juga penyesuaian dengan penambahan dan penggantian beberapa
kalender perhitungan Jawa. Kemudian peralatan, termasuk yang utama, yaitu kendang.
Ada perubahan mendasar, namun juga masih bersinambungan dengan sebelumnya.
ketika pengaruh Islam masuk dan Gendhing Rambu atau Bangkung yang dipersembahkan di hari pertama misalnya,
mempunyai makna tersendiri. Demikian juga iramanya untuk gendhing yang lain. Dengan
menguat, tradisi ini mengalami legitimasi para niyaga, yang memainkan gamelan berbeda untuk di panggung selatan dan
utara, dengan laku puasa sebelum memainkan—dan juga selama memainkan, dengan hanya
perubahan. Waktu yang tepat bukan lagi ditampilkan satu tahun sekali, semua menuju ke arah standar yang ditetapkan. Dan diberikan
sebagai yang terbaik.
tahun baru, melainkan saat Maulud Nabi. Pasamuan Sekaten tidak hanya terdiri dari upacara resmi semata. Melainkan, pada saat
yang bersamaan, di Alun-alun Utara, sebelah timur masjid, juga ada kegiatan yang dikenal
Tema dan inti kegiatan pun bergeser. dengan Pasar Malam. Di sini segala kebutuhan pasar, segala kemampuan ekonomi
masyarakat menemukan bentuknya. Segala apa yang tak biasa dijual ada di situ, dan semua
Lebih kepada syiar agama Islam. pembeli datang dari berbagai daerah. Benar-benar menjadi kegiatan yang positif, di mana
syiar agama berlangsung, adat istiadat Keraton dilestarikan, dan roda perekomomian
Pada titik ini, menjadi pasamuan. Unsur budaya lokal diberi tempat, dengan masuknya masyarakat digerakkan.
gamelan. Yang diciptakan secara khusus dan hanya diperdengarkan untuk saat itu. Bahkan Sekaten adalah peristiwa yang indah, gabungan kegiatan spiritual, legitimasi Keraton,
kemudian diberi panggung khusus. Nama-nama gendhing dan tata kramanya pun bukan serta dinamika pasar. Semuanya dikemas dalam satu pasamuan, tanpa menghilangkan atau
gendhing yang biasa diperdengarkan. Serentak dengan dinamika ini, peralatan gamelan merendahkan satu dengan yang lain.
pun mengalami perubahan. Ukuran kayu yang dipergunakan lebih besar, sehingga terdengar Seluruh masyarakat ikut merasakan, ikut merayakan, tanpa terganggu dan saling
nyaring. Perangkat gamelan seperti kendang—juga kethuk, kenong, kempul, menjadi surut, mengganggu.
serta tak ada irama suwukan. Sekaten adalah bukti kreativitas kompromi yang luar biasa nenek moyang kita, yang
Padahal dalam karawitan Jawa, kendang memegang peran sangat penting. Karena alat begitu arif, begitu cendekia bisa mempersatukan antara lahir dan batin.

KITAB SOLO 64 KITAB SOLO 65


Tirakatan Kalender Baru
Di awal tahun 1970an, saya masih ingat betul, ketika Sekaten dibayarkan. Artinya
oleh pemerintah kota waktu itu, untuk masuk ke dalam Sekaten diharuskan membayar.
Alun-alun diberi pagar, juga penjaga. Saya ikutan dengan beberapa seniman yang sudah
senior—juga yang masih yunior, melakukan aksi demontrasi menentang peraturan Pendekatan budaya ini bisa dilacak jauh ke belakang.
tersebut. Dengan alasan, bahwa Sekaten bukan hanya peristiwa dagang semata, bukan Untuk memudahkan ingatan dan memberi rasa bangga baik bagi masyarakat maupun
cara pemerintah—atau sebenarnya segelintir orang, mengkomersialkan peristiwa yang kalangan Keraton, adalah satu nama bergaransi, sekaligus bergengsi : Sultan Agung
sarat makna. Dengan menarik tiket masuk, peristiwa budaya menjadi urusan duit semata. Hanyakra Kusuma. Inilah Sultan Mataram yang banyak dicatat sejarah, dengan segala
Demonstrasi itu sebenarnya hanya dilakukan belasan orang, dengan membawa kegagahan, keberanian, dan rasa hormat. Kediddayaannya berani menyerang markas
spanduk seadanya. Menjadi peristiwa “besar”, karena kemudian terjadi penangkapan, kuat VOC di Batavia, pada tahun 1628 dan 1629, merupakan pertanda tidak mau
pemeriksaan, dan penahanan. Di sini terjadi pemaksaan, dan komunikasi menjadi buntu. mengakui kekuasaan Belanda. Konsep Keraton harus agung binatara—berdaulat, utuh,
Para pendemo mengalihkan tempat demonstrasi ke Taman Jurug di tepi Bengawan Solo, tidak berbagi dengan musuh, wiujudkan dengen tekad besar. Kisah yang dramatis,
kali ini dengan acara tirakatkan. Melakukan permenungan, melakukan refleksi, sampai persiapan panjang untuk berani menggebrak Belanda di bentengnya yang paling kuat.
pada kesimpulan bahwa “kebudayaan Solo dimatikan.” Kalau kita lihat dalam catatan sejarah, keunggulan mengirimkan prajurit untuk
Agaknya bentuk tirakatan, gaya prihatin ini lebih kena. Karena kemudian koran-koran menggempur musuh, tak bisa berdiri sendiri. Ada kerangka pemikiran, ada persiapan,
Jakarta memuat.Bukan kebetulan kalau peserta tirakatan atau peserta demo adalah juga perhitungan rumit. Ini semua hanya mungkin jika Keraton cukup kuat, berwibawa,
wartawan, atau koresponden dari media yang terbit di pusat. dan bersatu. Kemajuan yang diperoleh dengan menyiapkan prajurit, tidak mungkin
Nyatanya sangat ampuh. kalau perekonomian lemah. Tak mungkin kalau tidak bersatu di bawah pemimpin yang
Tiket untuk masuk Sekaten dihapus. dikagumi.
Prestasi penyerbuan hanyalah salah satu dari prestasi unggul. Pada titik yang sama,
Peristiwa budaya ini menegaskan Sultan Agung mampu menggalang kekuatan dengan prajurit lain, Keraton lain—di
sepanjang jalan yang dilalui, juga kekuatan-kekuatan lain di luar Jawa, atau Jawa bagian
bahwa dengan idiom-idiom budaya timur. Ke dalam dengan masyarakat yang mayoritas memeluk agama Islam, Sultan
pula, yang sama-sama dikenali, bisa Agung juga melakukan pendekatan yang jempolan. Untuk pertama kali dalam sejarah
Keraton, Sultan Agung memberi tempat yang proposional dalam kelembagaan Keraton,
membuahkan saling pengertian. mengembangkan karya sastra Islam, mengadakan pembaharuan dalam bidang hukum

KITAB SOLO 66 KITAB SOLO 67


yang disesuaikan dengan ajaran agama Islam. sama, memungkin lahirnya karya-karya sastra
Masa bulan madu indah ini bahkan meninggalkan tonggak sejarah yang tetap
dipergunakan sampai masa kini. Ketika itu masyarakat Islam menggunakan perhitungan
yang linuwih, melahirkan ajaran-ajaran atau
kalender berdasarkan tahun Hijriah, sementara masyarakat “Kejawen”, memperhitungan panduan yang menjadi pegangan bersama. Seperti
tahun Saka. Dua perhitungan menurut kalendar bulan ini disatukan. Sehingga sejak kitab Sastra Gending, yang berisi ajaran budi
tahun 1633—setelah perang berdarah darah di Batavia, masyarakat Jawa menggunakan pekerti luhur, keselarasan lahir batin, harmonisasi
sistem kalender yang sama. Kalender Jawa mengikuti tanggal kalender Hijriah. Dengan
tetap mempertahunkan tahun Saka, atau kalau dimasehikan menjadi tahun 78. Maka dengan kehidupan. Atau juga Kitab Nitipraja, yang
sejak hari Jumat Legi 1 Muharam 1046 Hijriah, hari baru dimulai dengan perhitungan berisi mengenai tata krama hubungan antara
yang sama, walau berbeda angka tahun. penguasa dalam menjalankan tugas kewajibannya,
Sungguh suatu mahakarya budaya yang agung dan wicaksana, bijaksana. Suatu
pendekatan budaya yang benar-benar mendekatkan dua tradisi yang berbeda.Atau lebih
hubungan dengan sesama penguasa, terutama
tepatnya tiga budaya yang berbeda. Budaya Hindu, budaya Jawa, juga budaya Islam. bagaimana hubungan itu diatur secara baku
Yang masing-masing memiliki tata nilai dan tata krama yang tidak sama, atau berbeda dengan masyarakat luas.
atau bertentangan.
Betapa elok dan jenius, bisa dibandingkan dalam perhitungan waktu, bahkan zaman Di tangan dan di masa Sultan Agung Hanyakra Kusuma—yang menurut babad
Keraton Demak pun hal ini tidak, atau belum, terjadi. Sulit dibayangkan bagaimana memang keturunan Panembahan Senopati yang adalah generasi ke 52 dari dari Nabi
masyarakat Kejawen kemudian bisa dengan rela mengikuti kalender yang sama, yang Adam—segala pembaharuan dan pembakuan bisa terjadi.
berarti mengubah pola yang selama ini. Pada titik yang sama, perhitungan tahun masih Kalau disinggung nama Panembahan Senopati, karena sesungguhnyalah kebesaran
memakai tahun Saka—yang memang lebih mempunyai akar sejarah dalam masyarakat Mataram yang ini, tidak muncul begitu saja, tidak ujug-ujug.
Jawa. Ada proses sebelumnya, yang mendorong terciptanya suasana kreatif.
Menurut catatan, sebelum bergelar Sultan, gelar yang dipergunakan adalah Susuhunan.
Gambaran ini menempatkan pada posisi, bahwa Yang bagi masyarakat Jawa berarti senada dengan Wali Allah. Barang kali, untuk
kreativitas kompromi yang membuka atau menghindarkan konflik yang bisa muncul, beliau memakai gelar Sultan. Walau kemudian
kita tahu, para anak cucu, seperti Pabu Buwono memakai kembali gelar Susuhunan.
membongkar tata krama lama, menggantikan Dan kalau masyarakat Solo merasa sebagai keturunan langsung Sultan Agung, bisa
dengan tata krama sekaligus tata nilai baru. Tanpa dimengerti dan mudah diterima. Terutama dari kisah yang ada, nama-nama tempat,
pergolakan yang berarti. Dengan kreativitas yang masih ada hingga sekarang ini.

KITAB SOLO 68 KITAB SOLO 69


Kreativitas
Kompromi

Kedigdayaan raja sekaligus pujangga Sultan Agung Hanyakra Kusuma masih


melegenda, menumbuhkan rasa bangga setiap kali mengenangnya. Tentu bisa ada
penilaian yang berbeda, namun tak pernah menghapus jejak dan posisinya sebagai
sumber inspirasi.
Inilah yang turut mewarnai perkembangan pribadi masyarakat Jawa pada umumnya,
dan masyarakat Solo pada khususnya. Kalau kemudian ada semboyan Solo sebagai
“The Spirit of Java”, barang kali spirit kreativitas ini menjadi salah satu unsur utama.
Proses penyatuan kalender Jawa dengan kelender Islam, hanya mungkin terjadi karena
visi ke depan yang jauh. Hanya mungkin terjadi karena memahami dengan arif dua
budaya yang berlaku di masyarakat.

KITAB SOLO 70 KITAB SOLO 71


ISTIMEWA
Saya menyebutkan sebagai kreativitas kompromi. Mungkin istilah ini kurang gagah,
kurang mencerminkan sikap jawara, karena ada kata kompromi. Akan tapi, justru di
sinilah letak keunggulannya. Dalam suartu seminar mengenai budaya Jawa di Surabaya,
29 Agustus 2002, saya menyebutnya sebagai “kemenangan ketika menyatu dengan
semesta”. Di situ bukan budaya mana yang kalah atau budaya mana yang menang—
dari dua budaya yang disatukan, melainkan kemenangan bersama. Istilah sederhanya,
win-win solution, akhirnya sama-sama menang.
Dalam contoh lain dengan mudah bisa dilihat pada potret-potret lama para raja. Di
samping mengenakan pakaian kebesaran, di balik kain itu juga… mengenakan celana
panjang, yang pastilah pengaruh budaya Barat atau Belanda. Bahkan beskap, pakaian
tradisi Jawa yang identik dengan kejawaan seratus persen itu, modelnya adalah jas
modern—Belanda, yang bagian punggung, terkerowok, karena untuk penempatan keris.
Dengan memakai beskap, model jas modern bisa terlihat jelas, namun di belakang itu
tetap ada keris—sebagai bagian dan identitas kejawaan. Hal yang sama pada alas kaki
yang disebut selop. Pada dasarnya sama dengan model sepatu—ujungnya tertutup rapat.
Namun, perubahan terjadi di bagian belakang yang terbuka. Yang menjadikan luwes,
karena mudah dilepaskan—sesuatu yang harus dilakukan jika masuk ke dalam Keraton.
Barang kali agak berlebihan, namun beskap maupun selop, bisa menjadi contoh hebat,
betapa kreativitas kompromi itu menemukan bentuknya, yang jenius. Masyarakat Jawa
merasa tetap menemukan pakaian—dan juga harga dirinya, identitas atau jati diri tanpa
menjadi tidak kalah modern dengan budaya lain—dalam hal ini dengan jas atau sepatu
Belanda.
Kalau ini benar, kita menemukan salah satu jurus, bagaimana budaya Jawa masih
akan terus bertahan di tengah perubahan dunia. Kalau ini benar, budaya Jawa
menyediakan peluang, menyediakan ralat, menyediakan kompromi, menyediakan
penciptaan kembali, datangnya tata nilai dan tata krama dari mana pun datangnya.
Ada proses kreatif yang berlangsung.
Ada kompromi kreatif yang bersambung.

KITAB SOLO 72 KITAB SOLO 73


ISTIMEWA
Punakawan
Contoh lain, yang juga klasik adalah kisah-kisah dalam wayang, baik Ramayana
maupun Mahabarata. Wayang—wayang kulit, adalah bentuk kesenian yang “Jawa
banget”, sangat Jawa. Dibandingkan dengan kisah di India—boleh disebut aslinya,
sebagian tetap ada yang menganggap aslinya dari tanah Jawa, wayang di Jawa memberi
peluang adanya tokoh-tokoh punakawan. Yaitu para abdi dari dua buah pihak. Pihak
yang benar, Pandawa atau Rama, mempunyai Panakawan seperti Semar, Gareng, Petruk
dan Bagong. Sedangkan pihak yang jahat, Astina atau Alengkja, ada Togog dan Mbilung.
Ada juga tokoh kelas masyarakat bawah yang lain seperti Limbuk yang subur atau
Cangik yang bentuk tubuhnya menjadi idaman perempuan sedunia sekarang ini, kurus
kerempeng.
Dari sisi mana pun, penghadiran tokoh wayang yang mewakili kelas bawah ini—
bukan ksatria, bukan pendeta, bukan bangsawan, bukan saudagar, sangat
menyenangkan, menghibur. Tokoh-tokohnya pandai melucu, selalu bersenda gurau,
tapi… nah ini yang luar biasa, sekaligus mistis. Mereka yang menyukai atau pernah
menonton pertunjukkan wayang bukan hanya terpingkal dan terhibur, melainkan juga
menemukan adanya tata nilai yang lain.
Ambil contoh salah satu tokoh wayang kulit, Semar. Ia bisa berarti samar, ia bisa
berarti “ora lanang ora wadon”, alias melewati batas jender karena bukan laki-laki bukan
perempuan, ia hanya seorang abdi—pelayan, buruk rupa, sulit dibedakan mana, maaf,
pantat, mana perut, matanya sipit—gambaran yang aneh dalam dunia pewayangan,
menciptakan anak dari bayangan tubuhnya—lebih hebat dari sistem kloning, dan sederet

KITAB SOLO 74 KITAB SOLO 75


ISTIMEWA
atribut yang lain. Semakin wasis sang dalang, semakin variatif dan kaya narasi akan
Ki Semar Badranaya ini. Yang luar biasa adalah, tokoh tanpa kasta ini—sudra pun, kasta
terendah, bukan—ternyata sakti. Bahkan para dewa yang di kahyangan tak akan menang
melawannya. Bahkan digambarkan kocar kancir hanya terkena, maaf, kentutnya!
Dalam mitologi Hindu, dewa-dewa adalah penguasa tinggi dengan kesaktian dan
pengaruhnya : Brahma, Indra, Wisnu. Di atas mereka masih ada yang tertinggi Batara
Guru. Posisinya yang tinggi juga tergambar karena tokoh-tokoh ini memakai sepatu.
Tapi bahkan mereka ini, satu-satu atau mengeroyok, tak bisa mengalahkan Semar.
Di sinilah terjadi penjungkirbalikkan tata nilai dari wayang Hindu—kalau bisa disebut
demikian. Di sinilah terjadi proses kreatif ketika tokoh-tokoh wayang diterima,
dimunculkan tokoh-tokoh “Jawa”, yang tak punya kelas, tapi juga tak bisa dikalahkan.

Bisa dimengerti kalau kemudian proses


identifikasi diri dengan tokoh Semar,
terus melebar. Berbagai tafsiran
dimunculkan, berbagai tanda, berbagai
kajian tentang Semar tak pernah selesai.
Sampai kepada kepercayaan bahwa
Semar mempunyai tempat tinggal yang
letaknya di tanah Jawa. Bahwa Semar
masih hidup, bahwa Semar….
Dan lain sebagainya.
KITAB SOLO 76 KITAB SOLO 77

ISTIMEWA
Sesuatu yang sebenarnya tidak terlalu aneh, karena tokoh Punakawan ini mengatasi
masalah waktu. Rasanya tak ada lakon dalam wayang yang dipertunjukkan, terjadi masa
Kelihatannya sekilas ini hal yang biasa.
kerajaan mana pun, tidak memunculkannya. Semar, juga para Punakawan
Dinamika adanya tokoh wayang yang lebih “baru”, bisa ditunjukkan adanya tokoh
Namun bentuk-bentuk baru jauh
bernama Butho Cakil atau Gendir Penjalin. Tokoh raksasa kurus yang rahang bawahnya melampaui zamannya ketika sekarang
lebih panjang dari rahang atas, yang selalu bergerak dan bicara cepat seperti penyiar
televisi ini, juga ada di kisah Ramayana maupun Mahabarata. Seorang ahli dengan mudah ini kita mengenal istilah sequel dari
bisa menjelaskan sejak kapan tokoh Cakil ini mulai tampil dalam pertunjukkan, hanya
dengan menfasirkan nama, ketemu tahun “kelahirannya”. Buto Cakil dalam sengakalan sebuah lakon—dalam film ataupun
berbunyi Tangan Jaksa Satataining Jalma, atau berarti 1552 tahun Jawa, atau 1670 Masehi.
Demikian juga dengan “kakaknya, yang lahir belakangan”, yang bernama Buto Rambut
televisi, dalam sinetron atau sinetron
Geni—yang model rambut kribo mendahului ratusan tahun sebelum dipopularkan para
rocker, memakai sengakalan Urubing Wayang Gumulung Tunggul, atau berarti tahun
seri. Atau juga ketika bentuk banjaran
Jawa1553, setahun setelah tokoh Cakil diintrodusir.
Saya hanya mengambil contoh sekenanya berdasarkan ingatan, dan bukan
tak ditemui di dalam pakem. Karena tak
membicarakan wayang itu sendiri. Terutama mengenai proses kreatif yang berlangsung pernah ada judul yang mengisahkan
dan berkembang.
riwayat hidup seorang tokoh.
Bukan hanya dari tokoh, melainkan juga dari
pakem, atau babon, atau lakon-lakon yang Perubahan bentuk tampilan—termasuk waktu pementasan, pastilah membawa
perubahan mendasar yang lain. Yang pada gilirannya, akan membuka berbagai
demikian baku. Bentuknya pun berubah banyak, kemungkinan kreatif, ke arah penciptaan baru, lebih baru, dan lebih baru lagi.
sehingga di sini lahir lakon-lakon carangan— Saya hanya mau menekankan, ketika diintrodusir tokoh Cakil dalam wayang kulit,
sequel tarian Bambangan—pertarungan Cakil dengan ksatria Bambang, bisa berdiri,
pengembangan sendiri dengan tokoh-tokoh yang bisa dinikmati sendiri, sebagai pethilan.
Inilah roh sesungguhnya dari kebudayaan, sehingga tak pernah mati.
sama, atau model banjaran—kisah biografis Sehingga selalu nitis, selalu tumimbal lahir.
seorang tokoh. Inilah spirit of Java.

KITAB SOLO 78 KITAB SOLO 79


Sastra Jawa
Spirit atau roh ini, bisa diberikan contohnya dalam Sastra Jawa.
Kebetulan di awal karier saya sebagai penulis, saya memulai dengan bahasa Jawa.
Menulis cerita pendek, sampai cerita bersambung, di hampir semua majalah berbahasa
Jawa saat itu, di akhir tahun 68an. (Tidak berarti saya sekarang sudah tua, hehehe).
Keadaan Sastra Jawa secara umum menggelisahkan. Majalah yang ada hanya itu-itu
saja. Pelajaran bahasa Jawa di sekolah mulai ditanggalkan. Ada beberapa sekolah masih
mengajarkan , itu pun hanya sampai kelas tiga. Keprihatinan terasakan betul.
Situasi sebenarnya sudah terasa sejak lama. Bahkan sebetulnya, sejak awal pun
perubahan mendasar telah terjadi. Sejak zaman tembang-tembang ageng diciptakan,
kemudian huruf Jawa mulai diganti huruf Latin, ketika tembang menjadi geguritan,
atau kemudian dinarasikan.
Dalam keadaan yang memedihkan itu, dalam suatu seminar Sastra Jawa di Solo,
saya mempertanyakan : Apakah ada yang menangisi kalau benar Sastra Jawa berakhir?
Apa masih ada yang merasa kehilangan?
Mungkin akan berakhir dan pembicaraan dalam seminar atau diskusi atau rembugan
apapun juga rasa-rasanya seperti nyekar, seperti membawa bunga ke makam. Tak
membuat Sastra Jawa hidup kembali.
FOTO LUAX MAWARDI

Agaknya apa yang saya utarakan, juga naskahnya kemudian dimuat di Kompas Jakarta
Salah satu
kegiatan macapatan
yang berlangsung KITAB SOLO 80 KITAB SOLO 81
di Keraton
menimbulkan polemik. Beberapa pengarang mengatakan saya sebagai Anggada, tokoh
kera dari barisan Rama yang kemudian berpihak ke lawan, Rahwana. Saya dituduh
mbalela—jauh sebelum istilah itu menjadi popular.

Realitas empiris menunjukkan itu. Sastra


Jawa tanpa didukung penerbitan buku, atau
majalah, apa jadinya? Bahasa Jawa masih
akan muncul dalam sandiwara radio
berbahasa Jawa, atau lirik-lirik lagu, atau
bahasa percakapan lokal, tapi secara
keseluruhan tidak ada fondasi yang kuat
untuk tumbuh.
Tidak berarti mati-ti dan tak mempunyai arti atau gema lagi. Melainkan, roh Sastra
Jawa akan menitis dalam bentuk yang lain, dalam ekspresi yang lain. Bisa jadi bahasa
Indonesia, bahasa Inggris, atau bahasa yang lain lagi. Saya memakai istilah tumimbal
lahir, atau terlahir kembali. Realitas empiris memperlihatkan itu. Sastra Jawa, menurut
perhitungan sudah habis ketika huruf –hurufnya ditanggalkan. Tak berbeda dengan sastra
daerah lain, apalagi yang tak mempunyai huruf sendiri. Nyatanya tidak..
Pertanyaan kenapa begitu?
Karena masih ada pengarang, sastrawan, yang setia,sampai mati.
Karena ada pendukungnya, walau makin sedikit, makin terjepit.
Karena roh memang tidak pernah bisa mati—atau dimatikan, selama masih ada raga
FOTO LUAX MAWARDI

yang mewadahi.
Mentakjubkan bahwa kegiatan seperti ini masih ada,
juga di luar tembok Keraton, sampai ke perguruan tinggi.
FOTO: LUAX MAWARDI
KITAB SOLO 82 KITAB SOLO 83
Jumat Kliwon
Roh Jawa dengan segala pergulatan yang kreatif dinamis, antara lain tercermin dalam
penentuan kalender, dalam menyebut hari. Misalnya Jumat Kliwon.
Pada awalnya kalender masyarakat Jawa, memakai siklus sepekan berarti lima hari.
Paing, Pon,Wage, Kliwon dan Legi. Dasar perhitungan itu tergerus oleh perhitungan
kalender dengan sistem lain, sehingga yang dipergunakan adalah perhitungan hari
Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat dan Sabtu. Secara teori, sebutan hari-hari
yang berjumlah tujuh ini dipakai di sedluruh dunia, dan masyarakat Jawa pun tak bisa
mengelak. Secara teori pula, nama-nama hari Jawa musnah. Tak berlaku lagi.
Nyatanya tidak.
Sebutan hari pasaran Jawa masih hidup. Masih dipergunakan, dengan cara menempel
pada kalender matahari. Sehingga ada sebutan untuk Jumat Kliwon, atau Jumat yang
lain. Serentak dengan itu varian hari mungkin hanya lima, bukan hanya tujuh,
melainkan… 35 hari. Setiap 35 hari, siklus Jumat Kliwon akan ada lagi.
Dengan sangat jenius, nenek moyang kita merumuskan sikap yang luar biasa. Pada
satu titik, tak mungkin melawan “kalender matahari” yang dipakai di seluruh dunia,
pada titik lain tak mau begitu saja kehilangan “kejawaannya”. Tidak mungkin juga
melawan secara konfrontatif dengan ngotot mempertahankan perhitungan pasaran. Yang
terjadi adalah kreativitas kompromi, sehingga hari pasaran masih menempel terus,
dipergunakan terus. Dan sebutan itu hilang karenanya.

KITAB SOLO 84 KITAB SOLO 85


Bahkan, boleh dikatakan memperkaya apa yang ada dan dipergunakan. Dengan
menyebut Jumat Kliwon, ada perbedaan – bukan hanya ruang dan waktu, dengan
misalnya Jumat Legi, atau Jumat Paing atau Jumat Pon atau Jumat Wage. Jumat tetap
Jumat, namun Jumat hari ini, “bobotnya” bisa berbeda dengan Jumat minggu depan
atau Jumat minggu lalu.
Bahwa kemudian Jumat Kliwon lebih angker atau lebih mistis adalah pembobotan
kemudian. Tapi yang jelas, dengan menempel hidup, hari pasaran tetap dipergunakan.
Sampai sekarang.
Sampai kapan pun.
Ini yang saya maksudkan dengan roh Jawa, the spirit of Java, yang akan selalu bisa
menitis kembali, karena memiliki dinamika yang abadi untuk setiap zaman, setiap
tantangan.
Sulit menemukan padanan ada budaya lain yang bisa demikian kreatif, demikian
luwes, bisa manjing ajur ajer, bisa kompromistis, bisa mancala putra mancala putri,
sebagaimana budaya Jawa dalam soal pemberian nama hari.

Dan kalau sikap mendasar budaya ini


mempunyai benang merah lurus dengan
peristiwa munculnya tokoh Semar atau
Butho Cakil dalam dunia wayang kulit,
segaris dengan penemuan dan
pemakaian selop, karakterisasi roh itu
bisa agak teraba.
KITAB SOLO 86 KITAB SOLO 87
ISTIMEWA
Manunggaling kawula-Gusti
Sebenarnya ada ungkapan lain yang sakti yang menandai sikap mendasar ini. Yaitu
ungkapan “manunggaling kawula-Gusti”, menyatunya manusia ciptaan dengan Gusti
Allah Sang Pencipta. Secara konsep, ini jauh berbeda dengan konsep agama dan atau
kepercayaan yang menjadi mainstream, arus kuat dunia, saat ini. Tapi juga, ini hebatnya,
tidak menjadikan bertentangan.

Bersamaan dengan ungkapan


pertanyaan tanpa perlu jawaban, sangkan
paraning dumadi, asal usul kehidupan
dan ke mana jalannya, oleh para para
b o t h e k a n
ahli, para peneliti dianggap sebagai
dasar utama dari Kejawen, kejawaan,
Javanism, Javaneseness,
atau apa saja istilahnya.
Barang kali agak berlebihan untuk mengatakan pandangan Kejawen ini ternyata
memiliki paradigma yang berbeda, memiliki pendekatan yang tidak sama, dengan apa
yang selama ini dikenal dan diyakini.

FOTO ICHWAN GEMBENG


Dan biar saja ini menjadi bahasan lain.

KITAB SOLO 88 KITAB SOLO 89


NARLON KAWIT, pelukis Solo dalam artian sebenarnya.
Karyanya banyak dipamerkan di Jakarta, dikoleksi, tapi ia memilih
tetap tinggal di Kratonan. Sketsa tentang kota kelahirannya banyak
diburu para kolektor, tapi tak membebani jiwa senimannya. Bersikap
biasa, sederhana, bergaul dengan warga sekitarnya, antar jemput
istrinya yang berjualan di Pasar Gede, mengasuh cucu. Pernah
membuat komik, melukis poster bioskop, sama pentingnya dengan
mengadakan pameran tunggal. Pujian kritikus seni juga tak mengubah
penampilannya. Saat jiwa seninya muncul, ia melukis, tanpa
memperhitungkan pasar. Ia juga tak begitu peduli tahun kelahirannya.
Nama Narlon adalah pemberian teman-temannya, menggeser nama
Tristanto yang dimiliki.
“Dulu yang menikmati dan menampilkan karya seni hanya orang-
orang tertentu. Kini kesempatan itu lebih terbuka.” Menurutnya
kegiatan budaya yang berlangsung setingkat nasional atau
internasional, sangat penting untuk Solo, untuk masyarakatnya.
“Pertama mereka datang untuk bersenang-senang, lalu mereka akan
tertarik karya seni yang ada.”
Idealnya ada gedung khusus untuk menampung karya lukis
seniman-seniman Solo. “Ada galeri khusus.” Ini untuk mengimbangi
kalau nantinya banyak apartemen dan hotel. “Menjual Solo” dalam
benak pelukis ini bisa dari sisi mana saja, termasuk dari hasil kesenian.
Kawit merasa senang, setidaknya dua tahun terakhir ini, karena
tempat-tempat bersejarah, kini difungsikan kembali. Termasuk ruang
publik. “Itu ciri khas Solo.” Juga dari sinilah suasana kreatif itu terus
FOTO ICHWAN GEMBENG

terciptakan.
“Seni di Solo itu tak ada matinya.”
Ngandel… nyatanya ora ana kuburan seni..

KITAB SOLO 90 KITAB SOLO 91


WALJINAH, masih duduk di sekolah dasar
ketika menjadi juara menyanyi keroncong. Sampai
sekarang gelar “ratu Kembang Kacang” tak pernah
bergeser. Namanya identik dengan Solo, dengan
keroncong. Sebagaimana sang empu kampiun
Gesang.
“Kalau mau jujur, Solo dikenal di belahan dunia
mana pun karena keroncong, bukan yang lain.” Tak
terlalu keliru jika kota Solo ini menjadi ibu kota
dunia keroncong. Ia melihat masa-masa tahun 70-
90 adalah masa emas keroncong. Setiap malam ada
pentas keroncong di Taman Sriwedari. “Inginnya
di setiap sudut kota ada panggung keroncong.”
Ia bukan hanya menginginkan, tapi juga
mewujudkan bersama Hamkri, Himpunan Artis
Keroncong Indonesia, bersama mereka yang jatuh
hati pada langgam musik ini.
“Harus orang Solo yang membangkitkan
keroncong. Sebab yang mencintai keroncong
adalah orang Jawa dan Solo itu Jawa.”
Ia gembira kini jenis pentas dan kegiatan mulai
marak lagi, mulai bermunculan, terutama—
meskipun masih sebatas harapan—adanya
generasi baru dalam musik ini.
“Kami merasa terbantu sekarang ini. Jangan
mengaku sebagai wong Solo kalau tak bisa
membangkitkan keroncong.”
FOTO ICHWAN GEMBENG

Cong!

KITAB SOLO 92 KITAB SOLO 93


MBAH LATIF, dua kali menunaikan ibadah haji. Sebagai pedagang
klithikan, ia salah satu yang ikut “kirab” dari tempat lama di Banjarsari.
Kini spesialis penjual onderdil mobil di Pasar Nitihardjo, Semanggi, bisa
berseri. “Lima atau sepuluh tahun lagi akan ada perubahan dahsyat di pasar
ini.”
Optimismenya punya dasar karena selama ini dunia jual beli barang
bekas—juga barang baru dengan harga miring ini—dijalani bersama ribuan
keluarga yang lain. Mengenang kembali perpindahkan yang aman-damai-
lancar, kuncinya adalah .” Diuwongke”, atau dimanusiakan, diperlakukan
sebagai manusia terhormat, walau hanya pedagang kaki lima, walau
dianggap biang keruwetan dan kesemrawutan. “Diuwongke, dan
dipermudah cara mencari makan. Orang Solo itu sebenarnya mau
berkorban, demi cita-citanya.”
Asal jangan dikecewakan. Kalau itu yang terjadi, suasana bisa berbalik
arah. Dari dukungan menjadi penolakan. Mbah Latif, Muh. Latif Sirajt, yang
mengelola enam kios yakin jika suasana terus berlangsung seperti saat
perpindahan, “Akan aman dan kondusif.” Dari segi bisnis pasarnya, ia
berharap para pembeli dari luar kota akan berdatangan lagi seperti dulu.
Kan bagus jika Nitiharjo menjadi pusat klithikan di Jawa.
Kalau ada yang dirasa berkurang atau hilang, yaitu bahwa generasi muda
seperti kehilangan unggah-ungguh, etika dalam pergaulan. “Juga semangat
juang. Dilandasi dengan kejujuran, kerja keras, pasti membuahkan hasil.”
Mbah Latif mengalami itu. Bahkan kini ada kebanggaan lain. Kini
statusnya bukan lagi pedagang kaki lima, melainkan saudagar. Karena
memiliki kios, karena memiliki anak buah.
Status sodagar, dalam kosa kata masyarakat Solo memang sangat
terhormat. Dan itu yang dirasakan bersama para sodagar klithikan, hari ini.
FOTO ICHWAN GEMBENG

Benar-benar nglithik-lah.

KITAB SOLO 94 KITAB SOLO 95


SERABI NOTOSUMAN, lebih dari sekadar nama. Termasuk nama pengelola,
yang kini sudah sudah berganti tiga keturunan, sejak usaha ini dirintis tahun 1923. Dimulai
dari Ny. Hoo Geng Hok, turun ke Ny. Margohutomo, kini dikendalikan sang cucu, Ibu
Handayani, penganan yang dibuat dari tepung beras, bentuknya seperti apem ini, telah
memanjakan lidah banyak orang atau puluhan juta orang. Sukses makanan tradisi ini
menjadikan serabi Notosuman, menyatu dengan nama Solo. Sehingga tak sedikit produk
di kota lain yang memakai nama serabi Solo, kadang dituliskan srabi, atau bahkan
memakai nama Notosuman, nama kampung, walau tidak buka cabang atau franchise.
Tanpa berpromosi melalui media cetak atau elektronik, jaminan kegurihan
membuatnya bertahan. Pengelolanya pun rendah hati, ketika ditanya di mana
keistimewaan serabinya dibandingkan yang lain. “ Bahan yang digunakan sama, tepung
beras, santan, gula. Cara memasaknya pun sama, di atas bara tungku dari cetakan besi.
Hanya itu saja.”
Dengan nama tenar sekian lama, pelanggannya bisa dari kelas mana saja. Dari
berbagai kota mana saja. Baik yang berkunjung langsung ke “warungnya”, maupun
menerima sebagai oleh-oleh. Atau dirinya “terbang” ke Cendana , ke tempat kediaman
Presiden Soeharto. Kalau ada yang mencemaskan adalah peristiwa Mei 1998, di mana
ada bakar-bakaran dan penjarahan. Tempat usahanya selamat, namun usaha dagangnya
terpengaruh. Juga ada rasa ketakutan.
Keinginannya sangat sederhana, dan baik serta benar adanya. “Kalau banyak kegiatan
diusahakan Pemerintah Kota, banyak tamu yang datang, dengan sendirinya banyak yang
memesan. “Dengan cara halus, pemerintah bisa menjaga agar warga Solo tertib. Dengan
cara ini, warga yang ingin berbuat kerusuhan akan berpikir ulang.”
Kota tenang, lumayan.
Banyak kegiatan, menyenangkan.
Serabi Notosuman, lebih dari maknyuuus tenan…Boleh kita katakan mbahnyuusss..

KITAB SOLO 96 KITAB SOLO 97


ISTIMEWA
TENGKLENG KLEWER, sesuai dengan tempatnya di
Pasar Klewer, atau Tengkleng Gapura, karena tempatnya
menempel dengan gapura Pasar Klewer tak banyak berubah.
Sebuah warung terpal dengan ukuran 5 X 2,5 meter, dengan tiga
deret bangku di belakang penjualnya, dan yang istimewa : jam
kerjanya dua jam saja. Atau paling banyak tiga jam. Waktu yang
teramat singkat untuk menyikat 6 panci besar hangat menu
utama. Yaitu tengkleng, sejenis gulai dengan memakai santan,
dengan bahan dasar tulang kambing. Edy Warsono, dan
istrinya—sebagai pengusaha perempuan yang khas Solo serba
ulet, luwes itu, sudah ditunggui pelanggan sebelum datang. Para
pelanggan rela antre lebih dulu.
Usaha ini, menurut Edy dimulai sejak ia ikut orang tuanya
menjual produk yang sama. Berkeliling dan berhimpitan di
tengah pasar, sebelum akhirnya mendirikan warung sederhana.
Orang tuanya meneruskan usaha dari neneknya. Variasi yang
dihidangkan seperti iga, jeroan, usus, otak atau pun buntut tak
jauh berbeda dengan usaha semula. Agaknya resep klasik ini yang
ngangeni buat penggemarnya.
Nama besar tengkleng, keberadaannya yang menjadi ikon
untuk keplek ilat—memanjakan lidah, tidak menjadi beban benar.
Mereka melayani pembeli di tempat atau untuk dibawa pulang,
mereka berkeringat dan tetap ceria. Tak ada beban yang terlihat,
pun andai—hanya andai, tempat berjualan dipindahkan.”Asal
bersama pedagang kaki lima yang lain, ya mangga…. Silahkan.”
Kini mereka membuka cabang di pasar Jongke, juga di pusat
jajanan di Gladag. Dan tempat awal yang sudah ditunggui selama
FOTO ICHWAN GEMBENG

22 tahun, masih juga ramai. Padahal warung tengkleng yang

KITAB SOLO 98 KITAB SOLO 99


lain cukup banyak, cukup bertebaran, cukup gencar berpromosi, cukup menggoyang
lidah bagi yang menggemari. Menariknya, yang berkembang bukan persaingan saling
menyingkirkan atau mengganti, melainkan berkembang bersama—walau bisa tidak
sama pertumbuhannya.

Bersama dengan puluhan pedagang


“khas” yang lain—bisa bernama sega
liwet, tahu guling atau tahu kupat,
pecel, bakmi, tahu acar, selat, cacuk
rambak, sate kere—just name it--dengan
kekhasan masing-masing, dengan
bumbu cerita yang berbeda atau sama,
memberi warna dasar budaya Solo.
Memberikan yang terbaik, disadari atau
tidak, tanpa banyak menuntut.
Kecuali, tentu saja keamanan dan kenyamanan suasana berdagang. Karena peristiwa
bakar-bakaran yang banyak disesalkan itu, ternyata “tidak membawa perubahan apa-
apa. Malah dampak kerugian yang terasakan.”
Benar sekali.
Tak perlu aneh-anehlah. Hidup bisa menjadi nikmat, berkeringat, sambil menyantap
tengkleng… dan mensyukurinya.
Mawi pincuk nggih Bu…

KITAB SOLO 100 KITAB SOLO 101


ISTIMEWA
HIK, tempat berjualan makanan serba ada, bisa dalam bentuk penjualnya menjajakan
berkeliling, dan atau kemudian lebih banyak menetap. Kelompok ini juga dikenal dengan
sebutan tempat wedangan, minum-minum tanpa ada konotasi minuman keras, atau juga
angkringan. Banyak juga yang menggunakan sebagian dari halaman rumahnya, atau menempati
emperan toko. Jumlahnya bisa puluhan untuk satu jalan yang sama. Mereka menjadi sebuah
komunitas tersendiri, dengan pelanggan tetap, dengan teman pelanggan, dengan keleluasaan
waktu untung ngobrol.
Ini memang lebih menekankan placement, penempatan, dibandingkan dengan makanan
yang dijual. Karena dari satu hik dengan yang lain, satu wedangan dengan yang lain, satu
tempat angkringan dengan yang lain, tak beda-beda amat. Suasana yang membedakan, dan
keluasaan untuk berbicara apa saja. Dari soal politik negara sampai dengan nasib tetangga,
dari soal janda muda sampai janda siapa. Komunitas kecil, tapi jumlahnya banyaaaak sekali,
menjadikan malam tak pernah sepi, menjadikan jam tidur malam hari ke titik terendah. Salah
hatinya yang dikelola Jembuk—begitulah, masing-masing punya nama akrab panggilan dari
Rachmat Wahono, di jalan Ronggowarsito. Dan Jembuk pun dengan enteng bisa
berkomentar.”Solo sudah menjadi kota mati.” Yang dimaksudkan dulu banyak pengamen
cokekan, atau pengamen keroncong, kini tak ada lagi. Menurut cerita, hiknya merupakan
“pionir”, karena berdiri 20 tahun lalu, dan masih sama, hingga kini.
Jembuk banyak berkenalan dengan tamu penting yang mampir di tempatnya, — termasuk para
calon bupati atau wali kota, atau siapa saja. Ia turut mendengarkan, turut berbicara dan merasa puas.
Di komunitas ini sebenarnya kita bisa mendengarkan keluhan yang paling menyakitkan—
disuarakan dengan keras atau guyonan, adu pendapat tentang topik apa saja, dan bisa berakhir
tanpa harus ada kesimpulan. Untuk disambung di malam berikutnya. Dengan orang-orang
yang sama dan topik yang berbeda, atau sebaliknya, topik yang sama dengan orang yang
berbeda. Keleluasaan inilah yang membuatnya bertahan karena suasana ini tak akan ditemui
di pub, di café, di mal, di plaza, atau rumah makan sekali pun. Secara keseluruhan bisa menjadi
tumpahan semua uneg-uneg, baik masih gagasan atau harapan, atau keinginan. Yang datang
bisa menjadi pembicara, bisa menjadi penyanggah, bisa menjadi moderator, bisa menjadi
semuanya. Bisa juga menjadi pendengar. Dan selalu ada cerita di tempat semacam ini.
Bersambung atau berdiri sendiri. Hik masih akan terus bertahan, dengan elusan dada atau
kebanggaan, selama orang masing memerlukan ruang untuk bicara dengan leluasa.
Lha mangga… ngersake punapa….

KITAB SOLO 102 KITAB SOLO 103


GUSTI MOENG, barang kali saja satu-satunya puteri dalem, trah langsung Keraton
yang bisa bergaul dengan masyarakat. Sebutan itu saja menunjukkan adanya idiom yang
mendekatkan ini, dibandingkan nama Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Wandansari. Putri
Paku Bowono XII, mampu menyikapi peranan waktu, kaitannya dengan keberadaan
Keraton. “Masa lalu adalah sejarah, masa kini adalah realita, hari besok adalah misteri.”
Dan sejarah bukanlah sekadar tontonan, atau telah sepenuhnya berlalu. Tak bisa
membicarakan masyarakat Solo, tanpa membicarakan peranan Keraton. Kadang
memang terasakan, bahwa pembangunan kota, tidak selalu seiring dengan keberadaan
Keraton.
“Mau dibawa ke mana Solo ini? Menjadi kota metropolitan yang hingar bingar atau
kota budaya yang penuh tuntunan edukatif berbudi luhur.”
Pertanyaan refleksif yang patut direnungkan. Juga untuk kerabat dalem keraton
sendiri. Apakah keberadaan keraton hanya menjadi beban, atau sebaliknya. Apakah
kejayaan masa lampau bisa diaktualkan kembali, atau hanya bisa dikenang sebagaimana
adanya bangunan lama yang dilihat sepintas saja dari mata seorang turis.
Budaya Jawa, dan Solo bisa dianggap kiblatnya, harus bisa lebih dipahami. “Paham
artinya mengerti jika meninggalkan budaya berarti meninggalkan leluhur. Jika
meninggalkan leluhur, berarti meninggalkan Tuhan.”
Masalah hubungan pemerintah (daerah) dengan Keraton, boleh dikatakan masalah
sejarah masa lalu, yang tak selesai tuntas, sekaligus juga sejarah masa depan, bagaimana
mengkomunikasikan kebutuhan kedua pihak, bagaimana memilah hak keduanya. Dan
agaknya ini masih akan terus berlangsung. Dengan pasang surut, dengan kompromi di
Gusti moeng dan dubes asing
sana-sini, dengan harapan sama-sama bisa lebih memahami.
Proses ke arah yang lebih ideal ini, mudah-mudahan terus terjadi.
“Jika tak ada masa lalu, tak ada masa sekarang. Tak ada wong Solo tanpa nguri-uri
budaya, hormat menghormati, budaya unggah-ungguh. Itu diajarkan di Keraton.”
FOTO ICHWAN GEMBENG

Sendika dawuh, Gusti Putri…

KITAB SOLO 104 KITAB SOLO 105


YU SARWI, belajar menari dari kecil, dan terus menari sampai kini. Nama panggilan
yu, kependekan dari mbakyu, atau kakak perempuan. Kadang berubah menjadi lik.
Kependekan dari bulik, atau ibu cilik, panggilan dari generasi di bawahnya. Dan generasi
di bawahnya lagi kalau generasi sekarang yang masih anak-anak belajar menari pada
grup yang didirikan, Sarwi Reno Budaya di kediamannya, Serengan.
Kecintaannya pada dunia tari, dimulai saat masih anak-anak. Situasi dan kondisi
memungkinkan itu, karena mereka bisa melihat pentas-pentas kesenian, seperti wayang
wong, ketoprak, atau pagelaran tari. “Lalu menjadi hobi.” Juga menjadi karier, dalam
arti terus digeluti ketika zaman berubah. Barang kali inilah yang memantapkan
langkahnya untuk melatih tari pada anak-anak, juga membuat pementasan. Meskipun
diakui, bahwa peminatnya terbatas. “Yang penting saya seneng, saya tidak berhitung
dari segi uang semata. Saya punya kepandaian kalau tidak , meh dienggo apa.” Kalau
punya keahlian, kalau tidak dibagikan untuk apa.
Kecintaan pada dunia seni bagi Sarwiyati Hartono, juga ada pada penari-penari
seangkatannya, atau para pangrawit, atau lebih luas lagi, pada komumnitas budaya. Itu
sebabnya mereka ini masih terus berpentas di panggung Radio Republik Indonesia,
RRI, secara rutin, walau sebagian anggota sudah pensiun sebagai pegawai negeri.
Kecintaan yang sama yang mampu mengatasi status kepegawaian, atau juga masalah-
masalah keuangan yang menyertai, atau panggung di mana berkarya—bisa di RRI, di
Sriwedari, panggung orang hajatan, atau juga kursus-kursus yang diberikan.
Sesungguhnya juga, mereka inilah pendukung kesenian yang ada, yang setia, apa
pun keadaannya. Pasti lebih baik jika pemerintah kota memperhatikan. “Kalau belum
mencintai tari, disuruh urunan untuk mendukung kegiatan masih enggan. Tapi kalau
ada stimulan dana, mereka tinggal tampil saja, saya kira lama kelamaan generasi anak-
anak akan mencintai seni tari.”
FOTO ICHWAN GEMBENG

FOTO: ICHWAN GEMBENG Cocok, Yu.

KITAB SOLO 106 KITAB SOLO 107


BAKSO (di) KALILARANGAN, memiliki kelebihan. Selain rasanya, juga nos-
talgia bagi pembelinya. Maklum ketika Kalilarangan masih benar-benar kali atau sungai,
warung bakso itu sudah berdiri, sekitar tahun 1950. Hingga kini.
Dimulai dengan warung dari bambu, Liem Tjiaw Hi, memperkenalkan jenis makanan
ini. Dan tak banyak perubahan atas menu yang disajikan. Kini dilanjutkan oleh
menantunya, Liem Tjie Ru, dan Anna Liliana, kakaknya. Ada dua cabang lain yang
dikelola keturunan pionir bakso Solo.
Menarik mengetahui keberadaan keluarga ini yang rukun dengan tetangga sekitar,
sehingga terhindar dari huru hara yang terjadi beberapa blok warungnya, juga daya
tahan menghadapi pesaing-pesaing baru yang bermunculan, yang memasang tarif lebih
murah.
Memang ana rega, ana rupa, yang artinya barang yang bagus lebih mahal.. Terutama
karena daging bakso di sini tidak dicampur tepung, karena dulu pun digepuk agar halus—
tidak memakai mesin penggiling. Sehingga tetap kenyal, sekaligus bisa empuk. “Dulu
masih memakai kompor minyak tanah. Tapi harganya naik. Sekarang pakai kompor
gas.” Dan harganya juga naik. Dan juga daging sapi pun juga naik. Pilihannya hanyalah
mengurangi bahan atau menaikkan harga. Yang terakhir yang dipilih.
Berbeda dengan serabi Notosuman, tengkleng Klewer yang menjadi ramai kala ada
keramaian besar, Bakso Kalilarangan lebih tenang. Nostalgia yang menjadi daya tariknya
adalah kala Lebaran. Ketika para perantau pulang kampung, ketika ingin mengenang
saat pacaran dulu di tempat itu. Kunci kenangan ini makin lama makin dirindu, dan tak
bakal hilang.
FOTO ICHWAN GEMBENG

So…bakso…

KITAB SOLO 108 KITAB SOLO 109


Gesang dan titik puspa, ketika konser pada 2008 menghargai jasa-jasanya

GESANG MARTOHARTONO, lebih dari legenda hidup, ikon Solo yang


menyatu padu, dalam kesederhanaan yang tulus. Simbah, begitu Gesang memanggil
dirinya, kini 91 tahun, sudah menyolo ketika berusia 23 tahun, dengan karyanya
keroncong Bengawan Solo. Hidup tanpa istri dan anak, hanya bersama ponakan tinggal
di rumah tipe T-36, di Perumnas, Palur. Seperti halnya Narlon Kawit, Yu Sarwi, dan
seniman “tulen”, simbah tetap berada di Solo, meskipun karyanya diagungkan di negeri
lain, bahkan beberapa kali ada pertunjukkan khusus untuknya—terutama di Jepang.
Monumen Gesang yang ada di Taman Jurug yang dibangun tahun 1983, kondisinya
kurang terawat. Menyedihkan memang. Simbah sendiri tak sempat melihat, sudah lima
tahun terakhir ini lebih banyak berada di rumahnya, tak bisa pergi ke mana-mana. Usia
menua, kesehatan menurun, namun tak menyurutkan niatnya. Keinginan sederhana,
melihat tempat yang bersejarah baginya : Taman Jurug, Balekambang, Tirtonasi, Pasar
Gede. Di sana ilhamnya datang dan menjadi abadi dalam lagu keroncong ciptaannya.
“Kalau bisa saya ingin nunggoni perbaikan museum Gesang di Jurug,” itu
keinginannya. Masih tetap sederhana.
Barang kali kita perlu mengantar beliau jalan-jalan, juga sampai ke tempat pasar
klithikan yang baru, dan berharap beliau masih terkesima, masih tergugah, untuk
Gesang dapat kunjungan Yaysan Peduli Gesang tahun 2007 lalu
setidaknya menciptakan satu lagu lagi. Ini sebuah permintaan terhormat atas kehormatan
beliau. Sehingga keinginannya agar “ mudah-mudahan keroncong bisa menjadi irama
nasional. Sehingga keroncong bisa lebih besar dan lebih berirama lagi.”
FOTO ICHWAN GEMBENG

Keroncong kanthi irah-irahan : Pasar Klitihikan……

KITAB SOLO 110 KITAB SOLO 111


GUDEG CEKER (di) MARGOYUDAN, melampaui batas lokasi maupun batas
waktu. Batas lokasi, karena poster warungnya tersebar sampai Ontario Kanada—yang
dibuat oleh biro perjalanan di sana. Melewati batas waktu penjualan, karena warung tenda
ini buka mulai pukul 01.30, sampai menjelang fajar. Warung yang buka lewat tengah malam
adalah against the main stream, melawan arus, dan malah menjadi ciri suksesnya, juga
uniknya.
Bu Kasno, yang kini mengelola warung beken ini, contoh liat perempuan Solo. Menjanda
sejak 33 tahun lalu, kini kelima anaknya bisa lulus sebagai sarjana. Satu anaknya sedang
menempuh S-3 di Jerman. Dalam usia 63 tahun, Bu Kasno menyimpan kearifan lokal
mengenai usahanya. “ Ndak ada susahnya. Mikir yang senang-senang saja, yang baik-
baik saja, tak usah neka-neka. Pokoknya jualan dan layani pelanggan dengan baik.”
Ia mewarisi berjaualan ceker (cakar ayam) yang empuk dan gurih dari ibundanya, Bu
Kartowirono, yang sudah berjualan sejak tahun 1932. Warung yang ditempati, di jalan
Walter Monginsidi atau lebih dikenal sebagai Margoyudan, adalah warung yang didirikan
tengah malam, dibongkar lagi pagi hari, dan bisa ditempati pedagang yang lain.
Mengenai mula-buka jualan selewat tengah malam, ada kisah menarik. Waktu itu di
Solo sedang ramai “bisnis” buntutan, atau angka terakhir dari nalo, undian resmi
berdasarkan angka-angka. Bukaan nomor itu tengah malam. Menjelang saat bukaan itu,
para pemasang juga Bandar mencarinya, menggedor rumahnya untuk makan. Bu Kasno,
takut mengganggu tetangga, akhirnya membuka warung dini hari. Sekarang buntutan
yang mewabah di tahun 1975-an, sudah tak ada, tapi “manusia malam” masih banyak,
dan jadilah warungnya tetap ditunggui pembeli, sebelum tenda dipasang.
Kini, ada beberapa cabang yang dibuka, termasuk yang ada di Gladag. “Baru sekali ini
Wali Kota memberi penghargaan seperti ini, memberikan tempat jualan. Wali Kota
sebelumnya hanya menjadi pelanggan.”
Dengan omzet 60 ekor ayam kampung, Bu Kasno telah memberikan yang terenak untuk
lidah yang mencarinya. Dan terus jalan. “Saya tidak pernah diganggu. Paling ada preman
yang makan dan tak mau membayar. Ya biarkan saja. Yang penting saya bis a terus jualan.”
FOTO ICHWAN GEMBENG

Itulah kesederhaan. Juga kesuksesan.


Nambah cekernya , Bu…
KITAB SOLO 112 KITAB SOLO 113
DOKTER LO, mirip hantu. Namanya menjadi bahan pembicaraan, juga kekaguman,
namun sosoknya jarang terlihat. Dokter Lo Siauw Ging, 74 tahun kadang memakai tongkat,
identik dengan dokter gratis, bagi pasien-pasiennya. Membuka praktek di kediamannya
di jalan Jagalan, Jebres, dari pukul 06 hingga pukul 08, pagi. Di sambung sore hari, pukul
16.00 hingga 20.00. Dengan bayaran gratis, atau semampu pasien. Berapa saja. Tidak jarang
yang mendapat bantuan obat gratis, atau kadang bantuan untuk mondok di rumah
sakit.”Ada donatur yang tak mau disebutkan identitasnya.”
Dokter Lo sendiri juga menolak publikasi, bahkan tidak suka difoto.
“Ini panggilan jiwa saya. Sebagai manusia, saya ingin membantu yang tidak mampu.”
Ucapan sederhana, merendah, dan menjamah masalah
yang mendasar. Bahwa sesungguhnya, kesehatan adalah
hak semua umat manusia. Hak tersebut juga dilindungi
undang-undang. Maka cukup menyedihkan kalau sampai
ada warga yang tak bisa memperoleh hak untuk sehat.
Bagi dokter Lo, bukan bayaran jasa konsultan medisnya
dr. Lo yang penting.” Ada kepuasan tersendiri. Itu yang tak bisa
diukur dengan uang.” Di tengah dunia yang begitu mengejar
harta, di arus kuat “menjadi dokter agar kaya”, kehadiran dokter Lo tergolong luar biasa.
Para pasien yang berobat kepadanya—yang juga diberi nasihat atau marah karena
terlambat berobat, bisa bercerita panjang lebar. “Sang dewa penolong”, ini juga tak berniat
memensiunkan diri. Karena, bisa ditebak, masih selalu ada yang memerlukan jasa baiknya.
Dokter Lo seakan membuktikan bahwa sesungguhnya kebaikan tanpa pamrih masih
bisa dilakukan. Pendahulunya, dokter Oen—yang kini diabadikan namanya menjadi rumah
sakit besar dan masih tetap sosial, adalah contoh hidup, contoh kemanusiaan yang perkasa,
yang berjalan diam-diam. Yang tak memerlukan hura-hura kekaguman, atau menjadi tenar
karena perbuatan sosialnya. Ini yang monumental. Ini yang menyebabkan kita masih
terus mempercayai bahwa masih banyak orang-orang yang baik, yang memperhatikan
sesamanya, yang peduli, dan tak ingin dipuji secara berlebihan.
FOTO ICHWAN GEMBENG

Matur nuwun pak dokter, bahkan kata ini pun bisa jadi hanya diucapkan dalam hati.

KITAB SOLO 114 KITAB SOLO 115


PASOEPATI, kelompok supporter sepak bola, bisa jadi
bentuk organisasi ala Solo: spontan, meriah, berbeda
dengan yang lain, dan juga surut dengan mudah. Berbeda
dengan yang lain, dibandingkan Arema Malang, Jakmania
Jakarta, Viking Bandung, dan klub penggemar lain. Paling
tidak komunitas ini tidak dibikin onar, malah bikin aman
meskipun tetap “sorak-sorak bergembira.” Kelompok yang
diprakarsai mayor Harostanto dan kawan-kawannya ini
konon mencapai anggota lebih dari 7 ribu, pernah aman
damai membawa pasukannya ke Surabaya dalam suatu
pertandingan dengan menyewa 12 gerbong kereta api, 37
bis umum, dan mobil pribadi yang susah dihitung.
Sebagai komunitas, yang didirikan 9 Februari 2000—
dengan pergantian pimpinan, keberadaannya pantas
dicatat. Setidaknya membuktikan bahwa kekuataan massa
yang bisa diatur, diarahkan, bukan untuk tawuran atau adu
keras. Dan relatif berhasil. Namun sebagaimana organisasi
yang bersifat spontan, tak begitu saja bisa diubah menjadi—
misalnya—organisasi usaha, atau menjadi salah satu
PERSIS tahun 1951 kekuatan politik. Bahkan ketika kegiatan persepak bolaan
di sini surut, — karena pindah markas, para pencintanya
juga kehilangan gairah. Kalau dialihkan kepada kegiatan
olah raga lain, seperti bola basket, belum tentu semangatnya
sama.
Mungkin ini cerminan lugas komunitas yang spontan,
jujur, penuh semangat, apa adanya, dan nonpartisan. Lahir
begitu, dan berkembang—atau terhenti secara alamiah.
FOTO ICHWAN GEMBENG

Koleksi piala PERSIS Horeeee…Lho, sih gol ngendi?

KITAB SOLO 116 KITAB SOLO 117


TAMAN JURUG, barangkali tempat wisata yang terbaik yang ada, juga sekaligus
paling merana. Pada lahan seluas 13 hektar ini, di pinggiran Bengawan Solo yang
masyhur, di situlah Taman nJurug—pengucapannya dengan huruf n di depan berada.
Sejak dulu pun ruang publik ini diperlukan. Baik mereka yang datang untuk pacaran—
sampai menyewa perahu dan bermesraan di situ, atau bersama keluarga, atau beroase
dalam kepenatan kota. Pengunjung keluarga muda, baik dari dalam maupun luar kota.
Baru kemudian sekali kebon binatang dipindahkan ke tempat ini, juga monument.
Gesang, juga kegiatan hiburan yang lain. Beberapa kali ganti pengelola, namun nasibnya
juga tak banyak berubah—dalam artian menjadi lebih baik dan lebih baik lagi.

Taman nJurug cerminan kerja sama


yang pas-pasan, tak mampu
mengangkat nostalgia masyarakat yang
sebenarnya merupakan modal sosial
yang besar dengan pengelolaan modern
yang bernas. Sayang juga.
Nembe sepi….

KITAB SOLO 118 KITAB SOLO 119


ISTIMEWA
DIDI KEMPOT, tak lagi ngamen di jalanan.
Panggungnya kini berbeda, demikian juga bayaran
yang diterima. Terlahir dari keluarga seniman,
ayahnya adalah pelawak kondang Ranto Edi Gudel—
rangkaian nama bikinan yang unik, melihat bahwa
Solo dalam bidang kesenian banyak mengalami
kemajuan. Pemkot menjadi penyelenggara kesenian
sampai tingkat internasional, seperti Solo Interna-
tional Ethnic Music, SIEM, atau International
Keroncong Festival. Di samping dibangunnya kembali
panggung kesenian seperti Ketoprak Balekambang.
Impian dan tolok ukurnya masih di situ. “Tanda kalau
kesenian di Solo maju, kalau masyarakat berbondong-bondong nonton wayang orang di
Sriwedari, atau nonton panggung ketoprak. “Masyarakat kita sebenarnya bukan hanya
membutuhkan hiburan, mereka memiliki apresiasi pada karya seni.” Artinya bekal untuk
nguri-uri, untuk melestarikan tetap besar. Inilah yang harus bisa diwadahi, dengan fasilitas
yang ada, terutama juga dari para senimannya sendiri. “Pada akhirnya kreativitas, hasil
karya yang menentukan. Kalau tidak kreatif ya bakal ditinggal penonton.” Apalagi,
persaingan dengan kota lain, apalagi hiburan dari televisi nyaris tak terbendung.” Kuncinya,
kerja sama antara seniman dengan pemkot bisa berlangsung dengan baik dan terus-
menerus. Rumusan agak-agak kuno, tapi perlu didengar, karena menuntut keterbukaan
baik antara seniman maupun birokrat. Pemilik nama Didi Prasetyo yang tidak kempot
ini, optimistis akan kembali kejayaan seni di Solo. “Terus berusaha dan jangan minder.
Jangan kecil hati, tugas seniman adalah menghasilkan karya secara kreatif.” Ada benarnya,
karena bentuk campur sari merupakan sesuatu pentas musik yang baru. Setidaknya tak
ada ada di seribu kota lain, Sewu Kutho, dan Stasiun Balapan, masih terus bisa digali sebagai
sumber imajinasi.
FOTO ICHWAN GEMBENG

Iki tenanan lho…

KITAB SOLO 120 KITAB SOLO 121


SOLO BALAPAN, nama stasiun kereta api, seperti halnya
Taman Sriwedari, Pasar Klewer, Pasar Gede, gedung RRI, bukan
semata-mata harus dikagumi sebagai bangunan tua, melainkan –
nah inilah makna utama dalam tamasya rohani, karena sejarah
perubahan yang menyertainya.
Di bangun di atas tanah sepuluh hektar kurang sedikit di tahun
1873 oleh Nedeherlands Indische Spuurwagen,NIS, pada masa
Kasunanan dan Mangkunegaran masih berkuasa, dan masih
berebut pengaruh. Sudarmono SU, pengamat budaya
menyimpulkan dengan jitu. “Melalui pembangunan setasiun Solo
Balapan, terjadi pergeseran-pergeseran besar. Yaitu perluasan
wilayah dan terjadinya wilayah perkotaan dari “dua” keraton.”
Tanah yang dijadikan stasiun tadinya lahan pacuan kuda, —
maka namanya Balapan, yang dikuasai Mangkunegaran. Akibatnya
lapangan baru dibuat, dan menghadap ke arah selatan. Dengan
demikian, Mangkunegara VII bisa melebarkan wilayahnya ke arah
barat—yang saat itu masih berwujud rawa dan tak diperhitungkan.
Rel kereta api di sekitar Balapan, dari Purwasari ke Jebres, juga
berlanjut dari Purwasari melalui tengah kota, Sriwedari sampai
Gladag—yang merupakan wilayah Paku Buwono X,— terus sampai
Sukoharjo dan Wonogiri, membuka transportasi yang membuka
ke segala arah, dan mengubah wilayah kekuasaan.
Pada satu pihak, rel di tengah kota yang masih ada hingga saat
ini, bisa dilihat sebagai batas pemisah kekuasaan Kasunanan dan
Mangkunegaran, namun juga bisa sebagai penanda bahwa
keduanya sama-sama memiliki, sama-sama merasa terjaga
kehormatannya. Semangat yang mendasari dan yang dihasilkan
adalah semangat transformasi yang menyeluruh. “Kedua belah
FOTO LUAX MAWARDI

KITAB SOLO 122 KITAB SOLO 123


pihak”—kalau kata ini bisa digunakan, sama-sama diuntungkan. “Bukan pembangunan
yang sifatnya parsial,” tutur Sudarmono SU yang sekaligus menekankan bahwa semangat
itulah yang seharusnya berlanjut untuk Solo.
Stasiun Balapan pada akhirnya bukan sekadar
bangunan dengan kontruksi baja sepenuhnya, dengan
gaya arsitek yang masih bertahan sampai sekarang,
dengan tulisan dan bentuk huruf yang dipertahankan,
bukan hanya membuka transportasi dari berbagai daerah,
bukan sekadar sebuah sejarah bangunan tua yang tersisa,
bukan sekadar perubahan dari 3 spoor menjadi 13 spoor
atau jalur, bukan hanya penggunaan sinyal elektrik,
melainkan dan yang terutama adalah bagaimana semua
itu bisa dilaksanakan tanpa menimbulkan perpecahan,
kecemburuan, dan memihak pada kepentingan
satu kelompok saja.
Ini yang luar biasa ketika kita berada di sana—untuk berangkat atau datang, ketika kita
ini bagian dari penumpang yang mencapai 70.000 sebulan, yang mempunyai kenangan
akan rel-rel, penjual buku Jawa di kios bagian tengah, juga penjual koran dan makanan
serta kuli-kuli pengangkut bawaan, ataupun sopir becak dan kusir dokar di halaman parkir
yang membungkuk sambil mengacungkan jempolnya. Kita masih bisa selalu saling
mengenali, menyapa, dan merasakan serta merayakan semangat bahwa pada akhirnya ini
memang menampung kepentingan bersama, sejak awalnya.
Solo Balapan memang indah…juga gagah.
FOTO LUAX MAWARDI

Ing stasiun Balapan, tresnaku ora owah…

KITAB SOLO 124 KITAB SOLO 125


ANOM SUROTO, ki dalang senior—tidak anom lagi, melihat bahwa pendekatan
budaya untuk mengembangkan kota Solo, merupakan langkah yang tepat. Bahkan yakin
akan jaya. “Solo itu kaya dengan seniman-seniman handal. Kualitas mereka akan semakin
terlihat jika diberi ruang gerak yang sama. Istilahnya mereka tinggal digosok dan diberi
peluang. Mereka bisa menjadi bagian dari perubahan yang sedang terjadi.”
Mereka ini, adalah seniman-seniman dalam arti yang luas. Bukan hanya wayang wong
atau ketoprak saja, melainkan juga kelompok disiplin karawitan, pedalangan, tari atau
pun bentuk-bentuk yang lain. Yang jika diberi ruang dan “digosok”, melalui eksplorasi
dan penggalian akan menjadi identitas budaya Solo.
“Kalau semua bentuk kesenian mendapat kesempatan yang sama, hasilnya pasti
berbeda.” Memang iya, walau memang skala prioritas kadang tak bisa ditinggalkan
begitu saja. Untuk inilah peran warga masyarakat bisa terus berkomunikasi,
menyampaikan gagasan dan menerima gagasan lain. Baik antarseniman ataupun dengan
para pejabat atau birokrat. Karena bagaimana pun, birokrat pula yang menetapkan
sebagai keputusan dan pengaturan langkah operasional di lapangan.
Dalang kondang yang meneruskan tradisi nilai lebih dalam memainkan wayang ini
merenungi bahwa : “Mengembalikan Solo sebagai kota budaya, kuncinya ada pada warga
Solo.” Kunci itu antara lain adalah “adat ketimuran”—apapun pengertiannya. Termasuk
dalam bertutur kata, tersenyum, menyapa dan disapa, sampai dengan tatapan mata.
Tangan yang dipakai untuk menari pastilah lebih berbudaya dibandingkan untuk
memukul, juga mata yang melotot dan wajah tengadah menantang, pastilah bukan
bahasa tubuh yang bersahabat. “Demikian juga cara berpakaian sekarang ini.”
Perubahan, atau juga pergeseran bisa terus terjadi, tanpa harus menggerus nilai-nilai
yang mendasari sikap hidup budaya selama ini. Tuntutan yang sama pada hasil seni itu
sendiri, yang harus terus menemukan dinamikanya untuk berkembang. “Jika hanya
dipertunjukkan saat dibutuhkan, jadinya monoton.” Dengan kata lain sekadar standar,
dan tidak menemukan terobosan.
Lha nggih mangga, jejer malih….

KITAB SOLO 126 KITAB SOLO 127


ISTIMEWA
SUPRAPTO SURYODARMO, bisa disejajarkan dengan
Gesang, dengan pelukis A.S. Budiono, Narlon Kawit, sasatrawan dan
pendidik N. Sakdani Darmopamujo, sastrawan Jawa Moch. Nursyahid
P., Waljinah, dalam kesetiaan dan terus berkesenian di Solo. Bahkan
“Mbah Prapto” ini mendirikan markas Padepokan Lemah Putih di
tempat kelahirannya. Kekentalan dengan kehidupan di kampung,
dengan masyarakat sekitar meneteskan kesimpulan bahwa :”Roh
kesenian ada di kampung-kampung. Yang diperlukan adalah revitalisasi
kesenian di kampung-kampung.”
Jika semangat berkesadaran kesenian ini dihidupkan, serta merta akan
muncul sanggar-sanggar, dan dari sinilah muncul bentuk-bentuk karya
seni—tidak selalu terpakem pada bentuk yang sudah ada. Sebaliknya
Mbah Prapto akan terjadi jika roh seni hanya diperlukan saat dibutuhkan. “Jangan
tolak RUU APP
jadikan kesenian dan hasil hasil budaya hanya sebagai tontonan, atau
melibatkan dan memandang dari kacamata politik praktis atau agama.”
Dengan kata lain, dinamika kesenian ada kalanya bisa
berdampingan dengan kegiatan pariwisata, atau bahkan kampanye—
tapi seharusnya tidak berhenti di situ. Karena kesenian juga mempunyai
rohnya sendiri, juga dalam menghadapi dan menjalani kehidupan ini,
kini dan pada masa mendatang. Pencerahan dari alam, dari sesama
manusia, dan dari Tuhan, ada dalam kesenian.
Caranya?
“Menjadikan warga sadar akan kepemilikan atas kebudayaannya.
Harus ada perubahan pendekatan. Dimulai dari kedidupan warga di
kampung-kampung.” Ujarnya tetap bersemangat seperti juga kegiatan
sehari-harinya yang menyatu antara berkesenian dengan kelompoknya
ataupun bersama masyarakat dalam mengekspesikan diri.
FOTO ICHWAN GEMBENG

Wah, mathuk sanget Mbah… dilanjut…

KITAB SOLO 128 KITAB SOLO 129


HARIADI SAPTONO, dan ENDANG KUSUMA ASTUTI, anggota DPR-
D Solo periode 2004-2009, seperti warga Solo lainnya merasakan ganas dan kerasnya peristiwa
Mei 1998, “akibat” dari dimulainya era reformasi. Kota serasa gelap—juga dalam artian
sesungguhnya, karena asap dari kebakaran terlihat di mana-mana. Terjadi penjarahan, dan
bahkan Balai Kota pun ter—atau di, bakar. Beginikah watak warga Solo yang disering disebut
bersumbu pendek alias cepat meledak?
Diperlukan penelitian panjang sebelum menyimpulkan sebabnya, atau menemukan
jawabannya. Karena kini nampaknya suasana sudah kembali tenang, sudah lebih tertata,
dan bisa diperkirakan kemungkinan-kemungkinan yang tidak harus mengejutkan.
Seiring berlalu waktu, Hariadi Saptono melihat perubahan birokrat mempunyai pengaruh,
dan bergerak ke perubahan yang baik. “Semangat kepemimpinan Jokowi dan Rudy lebih
terlihat berkembang dibandingkan dengan pemimpin sebelumnya.” Dalam pandangannya,
Wali Kota Joko Widodo dan Wakil Wali Kota, mampu menciptakan pelayanan bagi warganya.
Namun :”Ibarat naik kendaraan, Jokowi dan Rudy ngebut smpai kecepatan 90 kilometer
per jam, sementara kecepatan birokrat di bawahnya hanya 40 kilometer per jam.” Yang
terasakan eksekusi kebijakan baru sebatas memenuhi target . Dengan kata lain, kalau ada
akselerasi atasan-bawahan di kalangan birokrat, wuaah, jalannya pembangunan akan lebih
pas. Kalau ada yang disayangkan, adalah tidak terlihat munculnya generasi muda yang
menjadi pemimpin. “Perlu dikenalkan dunia politik dan birokrasi pada generasi muda.”
Endang Kusuma Astuti melihat bahwa salah sifat warga Solo seperti umumnya “orang
Timur”. Tidak suka ribut di depan umum, lebih suka mengalah, tapi kemudian nggrundel
belakangan. “Ini bisa menimbulkan masalah. Apalagi bagi yang kurang mengerti peri laku
seperti ini dianggap cerminan kurang dewasa. “ Pada generasi muda, sikap kurang terbuka,
kurang tegas ini pula sering memberi gambaran yang keliru. Seperti generasi muda yang
terperangkap narkoba, atau tindak kriminalitas yang dilakukan mereka yang masih muda.
Untuk itu perlu perda, peraturan daerah, tentang pembinaan kawula muda. Supaya ada
program positif di hari libur dan waktu senggang. “Agar tidak terjerumus pada kegiatan
FOTO-FOTO ICHWAN GEMBENG

yang melanggar norma agama dan susila.”


Lhoo, lha mangga ketok palu… tok-tok-tok

KITAB SOLO 130 KITAB SOLO 131


GENDHON HUMARDANI, sudah meninggal 25 tahun lalu. Di awal tahun 70-an,
almarhum memulai gerakan kesadaran kesenian di Baluwerti Solo, dengan markas yang
dikenal sebagai Pusat Kesenian Jawa Tengah, PKJT. Sampai sekarang nama itu masih terus
diungkapkan dengan bangga. Atau juga melalui Akademi Seni Karawitan Surakarta, ASKI,
yang bertumbuh menjadi Sekolah Tinggi Seni Indonesia dan berubah mantap dengan Institut
Seni Indonesia. Boleh dikatakan, semua ini jasa dan pergulatannya. Sulit dibayangkan pada
saat, bahkan sampai hari ini, kini ada perguruan tinggi yang dipenuhi pengajar Doktor atau
Profesor dari seniman tradisi. Dengan kaliber luar negeri.
Sama sulitnya membayangkan, bahwa ketika terjadi dredah antara seniman dengan birokrat
terjadi jarak sehingga saling memusuhi dan mencurigai. Sehingga yang muncul adalah berita
yang tidak sedap. Termasuk penangkapan atau pelarangan. Adalah Sedyono Humardani
yang muncul dan melatih sendiri, cara-cara berkomunikasi, cara-cara memandang seperti
apa sebenarnya seni tradisi, apa itu seni modern, bagaimana keduanya bisa mempunyai
hak hidup dan berkembang yang sama. Juga para cantrik—begitu anak buahnya menamakan
diri, yang selama itu dipandang sebelah mata, kini bisa menjadi seniman sekaligus birokrat
yang seimbang. Dari generasi di atasnya, sampai anak-anak—dalam pengertian sebenarnya,
yang bisa dirangkul. Banyak kajian yang dilakukan, bagaimana pendekatannya melahirkan
bibit-bibit unggul, dan tentu pertanyaan kritis : bagaimana dengan keadaan sekarang ini,
setelah 25 tahun, setelah semuanya lebih terbuka.
Pak Gendhon sebenarnya bukan menjadi dewa pelindung seniman tradisi—pedalangan,
tari, karawitan sampai pembuat gamelan,abdi dalem dan pembuat topeng kayu. Pada saat
memimpin PKJT, seniman modern—pelukis, sasrtawan, dramawan, demonstran, wartawan,
penyair, dosen, pengajar, — pun diajak serta dalam berbagai diskusi, adu argumen, adu
teriak. Sedemikian rupa sehingga untuk pertama kalinya ada pemimpin yang disegani
sekaligus dicintai para seniman dari disiplin apa pun, dari tingkat lokal, nasional, bahkan
internasional, yang berhasil dikumpulkan untuk saling memahami. Dan kalau sekarang
kita melihat apa yang terjadi atau sedang berlangsung, dalam dunia kesenian, itu adalah
bayangan dari jejak pendekatan langsung – bahkan secara phisik, tokoh yang agak terlupakan
untuk dipetakan dalam nama resmi. Tak ada nama gedung, atau nama jalan, atau nama
kehormatan yang mengabadikan. Padahal swargi adalah sumber inspirasi tanpa henti.
Nyuwun pangapunten Pak Dhon..

KITAB SOLO 132 KITAB SOLO 133


ISTIMEWA
RW 09
Di antara sekian RW, rukun warga, di negara kita ini, ada
yang istimewa. Tercatat RW 09, di daerah Kampung Sewu,
kecamatan Jebres. Warga di situ sekitar 120 keluarga, dan
memiliki kekerabatan yang unik. Selain, tentu saja
merayakan Hari Kemerdekaan, tiap 17 Agustus, dan
berhalal-bilalal setiap Lebaran, kesehariannya juga
mempunyai apa yang disebut kas kecil. Dana yang
terkumpul dijadikan modal sosial jika ada warga yang sakit,
meninggal, atau… kesulitan membayar uang sekolah.
Kekerabatan ini, konon sudah berjalan selama 10 tahun.
Cukup rukun, berbaik-baik antara warga yang berpunya dan
yang biasa, yang keturunan, yang asli, yang campuran—
kalau istilah ini bisa digunakan.
Bahkan di salah satu jalan, warung angkringan, tempat
makan dan minum yang diusahakan warga yang jumlahnya
bisa ratusan atau malah ribuan, dibuat “modern”. Tempat
duduknya lumayan, ada atap tetap—sehingga tak repot
kalau hujan, bahkan ada rak piring, diusahakan oleh seorang
suami yang istrinya baru pulang menjadi Tenaga Kerja
Wanita yang ketiga kalinya. Siang hari, tempat itu bisa
digunakan untuk “pusat komunikasi” warga dan tetangga
RW lain, juga untuk menjual barang-barang seken, second
hand, barang bekas yang masih ada sisa kualitas.
Kerukunan, keguyuban—kebersamaan yang dinamis,
tercerminkan dalam masalah keamanan. Menurut
FOTO LUAX MAWARDI

KITAB SOLO 134 KITAB SOLO 135


Sumartono Hadinoto, 51 tahun, warga setempat yang aktif di berbagai organisasi—belum
termasuk pengurus beneran dari sekitar 12 organisasi yang beragam, kerukunan dan
kebersamaan masih bisa terus ditingkatkan. Kini sudah merambah untuk mengusahakan
pengadaan air bersih, bahkan beberapa sudah merencanakan penghijauan.
Kalau pendekatan budaya RW 09 bisa dijadikan model, rasa-rasanya akan banyak RW
yang bisa berswasembada—setidaknya dari urusan sakit atau meninggal, atau uang sekolah
anak-anak. Kalau model ini bisa juga dikerja samakan dengan RW-RW yang lain, bukan
tidak mungkin akan mengubah wajah kebersamaan kita secara keseluruhan. Karena begitu
banyak RW di seluruh Indonesia, karena kebutuhan untuk keamanan bersama, sejahtera
bersama, masih akan didamba. Swasembada yang bisa lahir tanpa birokrasi, tanpa
mengandalkan proteksi dan bantuan resmi, pada akhirnya bisa menciptakan komunitas
yang saling mengerti.
Menurut saya, komunitas semacam ini lebih pas, dibandingkan menciptakan
kebersamaan dan kerukunan dalam menentang jalur bus way, atau mempertahankan por-
tal di kompleks perumahannya.
Barang kali saja, wajah-wajah seperti RW 09 juga perlu pemberitaaan, perlu dukungan,
karena bisa memberi gambaran berbeda mengenai komunitas yang ada. Yang bukan unik,
tapi masih tetap bisa dilirik.

“Anggere ana sing miwiti,


apik, gampang ditiru,”
ujar wong Solo memberi komentar. Maksudnya : kalau ada yang memulai, hasilnya
bermanfaat, lebih mnudah ditiru.
Sederhana. Dan ya.
FOTO LUAX MAWARDI

KITAB SOLO 136 KITAB SOLO 137


Gladag
Langen Bogan
Salah satu daya tarik bagi warga “Solo diaspora”, atau “Solo perantauan”, yang diakui
sedang bebadra, berusaha di kota lain, adalah makanan khas. Sebenarnya ini hal yang
biasa. Mereka yang berada di perantauan selalu kangen dengan makanan khas di
daerahnya.
Bedanya, jenis dan varian makanan yang dianggap khas untuk Solo, terlalu banyak
namanya, dan selalu lebih original recipe, selalu lebih pas dinikmati di tempat aslinya.
Untuk Jakarta misalnya, ada tempat-tempat tertentu yang menjual nasi liwet—dari ho-
tel berbintang lima, sampai warung khusus—atau tengkleng, atau bahkan tumpang.
Sebagian besar rasanya cukup mendekati, tapi ya itu tadi, tetap terasa kurang sesuai
dengan keinginan. Barang kali ada benarnya : karena suasana juga menentukan. Pada
akhirnya selera, rasa, juga berkaitan dengan suasana yang sampai kapan pun susah
ditiru—karena memang suasana kota Solo berbeda dengan Jakarta, atau di luar negeri.
Sebagai catatan di beberapa kota di Belanda—bukan di kedutaan, ada rumah makan
FOTO-FOTO WWW.WISATASOLO.COM

yang menghidangkan makanan khas ini, termasuk nasi liwet dan .. nasi goreng.
Maka saya sempatkan datang ke Gladag Langen Bogan, sebuah food court di ujung
jalan Slamet Riyadi—jalan protokal utama. Malam itu—bukan “malem Minggu”, karena

KITAB SOLO 138 KITAB SOLO 139


kata Begog tak akan dapat tempat karena penuh—kami berangkat untuk “ngumbah
mata”, sebelum memanjakan lidah.
Lokasinya strategis. Antara perempatan Gladag yang ramai sampai ujung pertigaan
Sangkrah. Mungkin sepanjang satu kilometer, di jalan beraspal yang bisa dilewati
kendaraan empat jalur, dengan penerangan yang gemerlap. Sisi sebelah selatan masih
ada rel kereta api—dan masih digunakan untuk jurusan sampai Wonogiri. Malam hari,
kereta api tidak lewat, sehingga di atasnya bisa digelari tikar. Kiri kanan jalan dipenuhi
penjual makanan yang jumlahnya lebih dari 70 kios. Kalau masing-masing kios gerobak
ini menyajikan 10 menu, berarti ada 700 jenis makanan yang bisa dipilih. Malam itu,
sata langsung menelepon istri yang biasa berburu makanan bila mudik, menceritakan
ketersediaan makanan yang ada. “Brambang asem ana ora?” Ini jenis makanan yang
aneh lagi : kangkung direbus, dimakan dengan sambal pakai kecap, pedaaaas sekali,
dan biasa dibawa mbok-mbok penjual berkeliling. Harganya tak seberapa, dibanding
menu yang lain. Saya telusuri, dan memang…. ada.

Bukan hanya brambang asem, di sini


juga ada sate kere—sate yang dari tempe
gembus, atau kalau ada dagingnya sangat
kecil—dan makanan yang menjadi
kebanggaan : mulai dari gudeg ceker, nasi
liwet, tengkleng, tumpang, dan segala
jenis minuman yang aneh—
yang tak dikenal lagi.
FOTO ICHWAN GEMBENG

KITAB SOLO 140 KITAB SOLO 141


Penjual makanan di dibagi dua kelompok. Kelompok yang berjualan siang hari dengan
kelompok yang berjualan malam hari—dibedakan dari warna gerobaknya. Malam hari,
termasuk rapi jali, karena gerobaknya warna baja putih.
Pada sore hari, sebelum mahgrib, terjadilah pemandangan yang mempesona, puluhan
gerobak siang pulang kandang, sementara jumlah yang sama untuk edisi malam mulai
menempati tempatnya. Untuk urusan makan, agaknya berlaku ungkapan lama “ Solo
kota yang tak pernah tidur.” Selalu ada, jam berapa pun—kecuali kalau kehabisan.
Rasanya kalau jenisnya sampai ratusan, tetap ada pilihan kedua.

RUANG PUBLIK
Untuk sebuah pusat jajanan, syarat utama adalah : variasi jumlah makanan yang
tersedia, kebersihan, kenyamanan, harga yang relatif murah, dan suasana yang
menyenangkan, bisa untuk bersantai.
Untuk soal kebersihan, saya melakukan “inspeksi” dengan melihat air bersih yang
dipergunakan, dan ternyata ada air pam yang mengalir. Pada beberapa tempat air untuk
mencuci piring dan gelas biasanya seadanya. Untuk kenyamanan tak kalah dengan kota-
kota lain di kawasan Asia Tenggara. Tak ada pengamen, tak ada peminta-peminta, juga
tak ada pedagang asongan, yang bernada memaksa. Di Bangkok, sebagai perbandingan,
tempat untuk pengamen disediakan di salah satu sudut—sehingga tidak menganggu.
Yang saya dengar di sini, para pengamen ke daerah pertokoan pun memiliki hari-hari
ngamen tertentu. Juga untuk pengemis. Penataan ini termasuk sangat bagus—bagus
untuk pengamen maupun dingameni—dan sama-sama menguntungkan.

Peran lain yang menentukan adalah tempat


seperti ini bisa menjadi ruang publik. Artinya
masyarakat merasa memiliki, menggunakan

FOTO ICHWAN GEMBENG


dengan aman, dengan santai.
KITAB SOLO 142 KITAB SOLO 143
Itu pula yang langsung kami rasakan ketika berjalan
menelusuri, berjalan dari barat ke timur dan ke barat lagi.
Bertemu beberapa orang, bersapa dengan kenalan lama,
dengan beberapa keluarga yang berdatangan bersama—
ada rombongan mulai dari mertua sampai cucu, ada yang

FOTO LUAX MAWARDI


mengajak berpotret, ada yang menceritakan ia datang dari
luar kota, dan berbagai basa-basi menyenangkan. Ada
rombongan anak-anak muda dengan segala asesori dan
kemeriahannya. Ada rombongan bule yang merasakan kebebasan berpakaian. Ada yang
mendapat tempat strategis, di tengah jalan yang dijadikan lokasi utama bagi para pembeli,
ada yang berbeda tempat untuk rombongan yang sama. Menyenangkan melihat sebagian
besar datang bersama rombongan, dan lebih menyenangkan lagi melihat suasana malam itu
yang hangat. Banyak senyum, banyak obrolan, dan peran sebagai ruang publik pun terasakan.
Interaksi sesama warga terlihat secara jelas—pembicaraan apa kabar atau mungkin meneruslan
masalah bisnis.
Seakan menegaskan keberadaannya sebagai ruang publik, malam itu kami bertemu
Jokowi—sebutan akrab bagi pak wali kota, yang sedang berada di salah satu tenda. Tubuhnya
masih kurus, mengingatkan petenis dengan nama yang hamper sama Jokovic, memakai jaket.
Kami duduk bersama, saya memesan minuman yang terdiri dari berbagai racikan : ada buah,
ada roti, ada santan, ada isi yang lain.
Saya tidak melakukan wawancara, juga untuk buku ini. Saya pernah saya meja ketika
diskusi di rumah kediamannya. Juga ketika membuat dokumentasi kehidupan masyarakat
Solo : di sini masih ada kelompok penembang macapat, masih ada kampung batik, masih
ada ketoprak, masih banyak tokoh-tokoh seniman yang kasusra, kondang, secara nasional.
Dokumentasi untuk ditayangkan ke seluruh sekolah di Indonesia, dan bukan hanya diputar
sekali dua. Sebagai perbandingan untuk kota lain hanya satu item yang dikomentasikan, tapi
untuk Solo, ada tujuh item. Dan itu belum semuanya. Malam itu bukan hanya saya yang
memasuki tenda bersama Jokowi. Ada sedorang ibu-ibu yang mengenali—padahal lumayan
FOTO LUAX MAWARDI

Joko Wi, wali kota Solo

KITAB SOLO 144 KITAB SOLO 145


remang di bawah tenda, dan menyempatkan diri mendekat. Untuk melaporkan bahwa di
perempatan stasiun Purwasari masih banyak sampah. Pak Wali mendengarkan, menjawab
akan mengecek. Si ibu berlalu, disusul warga yang lain, yang bersalaman, dan…. Mengatakan
lampu lalu lintas di salah satu perempatan Banjarsari mati. Ada lagi yang mengusulkan
agar pusat makanan ini lebih hidup : dengan panggung kesenian. Termasuk usulan :
bagaimana kalau para pelayan memakai seragam tertentu pada hari tertentu. Bahkan sudah
merencanakan desainnya.
Ruang publik menjadi sempurna ketika keleluasan ada, ketika tanya jawab terjadi, ketika
uneg-uneg tersampaikan. Ketika itulah komunikasi terjalin, saling bertanya, sekaligus saling
mendengar. Ketika makin banyak warga yang mendatangi, saya memilih melanjutkan
berjalan, mencari makanan yang lain.

SUMBU SRAWUNG
Malam makin larut, pengunjung tak juga surut.
Langkah terus berlanjut, dan benar saja, tanpa rencana tanpa agenda, di salah satu sudut
bertemu dengan Rudy, Wakil Wali Kota, yang kumisnya menawan dan nampak masih segar.
F.X. Rudy Hadiatmo memang selalu terlihat segar, semangat, dengan berbagai kesibukan
yang seabrek. “Untuk menyelesaikan persoalan, tidak butuh waktu lama.” Itulah yang pernah
dikatakan pada pertemuan lain. Wakil wali kota yang menolak menempati rumah dinas,
dan menolak menerima santunan untuk rumah dinas, serta memilih menempati rumah
lama yang kadang masih terkena banjir ini, memang dikenal “berada di mana-mana”, dari
tingkat RT hingga RW. Ia sendiri pernah menjabat sebagai ketua RT di usia 21 tahun, menjabat
secara berturut-turut. Dan aktif di organisasi yang membuat terus bergerak.
Malam itu saya sempat bertanya, apakah sedang mengkontrol sesuatu yang gawat.
Dijawab melakukan kerja rutin, karena mendengar ada remaja mabuk di hari-hari
sebelumnya. Suatu antisipasi yang terkoordinir, juga bentuk komunikasi dini yang selama
ini terbukti ampuh. Duetnya sebagai pimpinan, sehingga media menyebutkan dalam satu
FOTO ICHWAN GEMBENG

Wakil walikota, F.X. Rudy Hadiatmo tarikan napas—Jokowi-Rudy,— termasuk utuh dalam menciptakan komunikasi antar warga.
memimpin upacara pemberangkatan kirab budaya
boyongan PKL di Monumen’45 Banjarsari

KITAB SOLO 146 KITAB SOLO 147


Kegaiatan srawung—gaul, terjadi pada tingkat dan antar RT, juga pada tingkat desa masih
diteruskan. Dengan cara inilah, warga yang pernah dijuluki bersumbu pendek, ini bisa dieliminir.
Beberapa persoalan mendasar bisa diatasi. Yang mencapai puncaknya dengan kirab klithikan
yang mengagumkan itu.
Mereka berdua, sebagai pimpinan, nampaknya berhasil memperjemahkan semboyan
:”birokrat untuk rakyat”. Yang pada akhirnya akan menjadikan dinamika rakyat untuk rakyat.
Bahwa keduanya dinilai melangkah terlalu cepat dan birokrasi di bawahnya masih lambat, itu
hanya soal waktu. Dan juga kesabaran. Contoh konkret lebih efektif. Setidaknya malam itu,
sudah larut, masih ada pembicaraan. Dengan bagian keamanan, dengan petugas resmi atau
setengah resmi, untuk mendengar lebih dini apa yang menjadi rerasan masyarakat. Pendekatan
yang efektif, walau dituntut kerja keras, secara konsisten. Sumbu srawung sebagai pendekatan
barang kali memang paling tepat untuk diteruskan.
Malam makin larut. Saya masih menyempatkan diri ke Alun-alun Utara, karena di situ ada
Pesta Rakyat. Semacam pasar malam.
Dan memang ada. Dengan kegiatan seperti umumnya pasar malam—walau kini dengan
banyak pengeras suara. Masih ada penjual angkrok, mainan dari kartun yang ditarik untuk
menggerakkan, masih ada tukang ramal, masih ada penjual obat, masih ada seniman yang
memamerkan karyanya—baik yang naturalis maupun abstrak. Masih banyak penjual
makanan, atau dawet khas, dan di salah satu tempat masih ada yang menjual obat tetes mata.
Di papan iklannya berbunyi : “jual obat tetes mata, Insya Allah menyembuhkan mata positif,
mata negatif, dan sebagainya.”
Kehidupan ini masih ada. Tidak hilang atau tergusur karena adanya Langen Bogan di
sebelahnya. Dengan kata lain banyak pentas untuk tampil, banyak kesempatan untuk dipakai
bersama. Kalau malam itu bisa menjadi salah satu ukuran, rasa-rasanya perubahan Solo berada
di jalan yang tepat.
Yang menyenangkan.
Membanggakan.

KITAB SOLO 148 KITAB SOLO 149


Bangkok adalah bahwa bendera “Raja”, atau umbul-umbul atau asesori kuning ini merupakan
kesadaran masyarakat. Bukan karena diberi seperti di sini saat-saat kampanye. Bahkan
untuk memproduksi dan memperbanyak, konon harus memperoleh izin terlebih dahulu.
Saya sedang berada di kota Bangkok, ketika di Solo sedang ada perebutan tahta, Di beberapa tempat, tagline : We Love The King, memaksa orang membacanya, terutama
ketika kabar bahwa dua pengikut Susuhunan berebut pintu masuk. yang tak mengerti huruf-huruf lokal di sebelahnya.
Saya tak tahu apakah sedih atau biasa-biasa. Keraton Muangthai ini dulu pernah
berhubungan dengan Keraton di Jawa, sangat erat. Raja-raja di sini turun temurun datang
ke tanah Jawa, juga ke Borobudur, menghormati dan berziarah. Di sini masih ada raja.
Kesadaran budaya memasang bendera
Tapi keadaannya berbeda. dan umbul-umbul tanpa dipaksa, tanpa
Bangkok, sejak saya kecil, telah menjadi idiom bahasa kita dengan arti bagus, ok.
Ayam Bangkok, artinya ayam yang lebih ok. Betinanya seksi dan cepat betelor, jantannya diperintah, tanpa diawasi dan tanpa sanksi,
pilihan untuk aduan. Belakangan merambah ke istilah durian, juga tanaman jenis kantung
semar, dan berbagai hasil buah-buahan. Artinya secara budaya, jenis ayam yang hidup
adalah sikap dasar yang menemukan
di sana maupun di sini sama, tapi kualitas berbeda. bentuknya pada kegiatan lain.
Kota Bangkok sendiri, , juga ibu kota yang sama dengan Jakarta. Tentu banyak macet—
di sana macet tertahan karena patuh pada rambu lalu lintas, ada juga tilang damai di Misalnya saja, kotanya relatif bersih dari sampah, tempat sampah berada dalam
jalanan—saya mengalami di tengah malam ketika naik taksi, banyak pengamen di tempat halaman rumah—bukan setengah ke jalanan, calo dan sopir kendaraan umum tidak
penjual makanan—pengamen dipusatkan di satu tempat sehingga tidak menganggu merecoki penumpang, baik di bandara atau stasiun kereta atau atau depan mal. Tak
pengunjung, dan bis kota sampai malam—yang memberi rasa aman meskipun jendela terlihat ada “pak ogah”, dan di gang pengojek antri dengan motornya dengan rapi.
dibuka. Bahkan di sungai dengan waterway yang sedang dicoba di Jakarta, terlihat jelas. Bukan
Yang berbeda dengan tahun sebelumnya adalah kibaran bendera warna kuning, yang hanya perahu berbendera kuning yang mengangkut para turis, atau kapal-kapal
kalau diperhatikan ada ikon kerajaan. Bendera ini dikibarkan di samping bendera mengangkut barang, melainkan juga kapal yang wara-wiri, untuk mengambili sampah
nasional. Di kantor-kantor resmi pemerintahan—jangan heran kalau di sana juga dipajang yang masih saja ada.
foto Raja, atau – ini lebih menarik, di kantor-kantor perusahaan. Umbul-umbul kuning Penilaian saya bisa salah. Saya hanya melihat sekilas, itu pun di permukaan yang
ini serta merta juga ada di sepanjang jalanan, di kapal sungai, atau kendaraan lain. terlihat. Akan tapi saya merasa hal-hal semacam ini tidak terjadi dengan sendirinya.
Dalam bentuk kaos, dalam bentuk jaket—dipakai untuk pengojek, pegawai negeri, Spontanitas yang berlangsung berawal dari sikap dan peri laku yang tertata sebelumnya.
pegawai kantoran, karyawan, atau juga pelajar. Menurut cerita ini akan berlangsung Seperti peristiwa yang saya ulas dengan “Kirab Pedagang Kaki Lima” di Solo.
selama satu tahun, merajakan Raja yang berulang tahun ke- 80. Yang lebih menarik lagi Kepindahan hampir seribu pedagang kaki lima beserta keluarganya untuk menempati

KITAB SOLO 150 KITAB SOLO 151


lokasi baru dengan damai—bahkan mirip pesta, adalah buah dari sekian banyak
komunikasi, dialog dan rerasanan- dari hati ke hati.
Barang kali ini yang seharusnya menjadi
pendekatan budaya mana kala kita masuk
Barang kali pula ini yang harus ke dalam peri laku keseharian. Ada yang
diperhatikan mana kala kita harus ditekankan, diajarkan dengan contoh-
menemukan hal-hal sederhana contoh yang terlihat, di mana pada akhirnya
yang tak bisa diselesaikan. bisa menjadi sikap masing-masing pribadi.
Ini adalah usaha yang panjang, dan tidak
Atau malah dianggap penyelesaian—seperti kehadiran pak ogah, — sampai hal-hal
yang keenganan seperlima warga pemilih pilkada gubernur di DKI. Atau malah dianggap
menarik perhatian sebagai kisah sukses,
kalau tidak begitu tidak seru—seperti pelanggaran lalu lintas habis-habisan ketika para karena bukan suatu gerakan atau gebrakan,
fans sepak bola berarakan, atau menutup jalan umum untuk keperluan pribadi. Seolah
ini sudah benar adanya dan mempertanyakan hanya menimbulkan persoalan baru. Atau
melainkan rerasanan,
malah dianggap lahirnya kreativitas baru. Seperti kasus-kasus peraturan “three in one”, obrolan dan saling mendengarkan.
yang melahirkan joki jalanan, dengan berbagai ekses mengenaskan. Atau yang kemudian Bendera Raja berwarna kuning itu tak serta merta dikibarkan dengan khidmat, para
menjadi tradisi menutup jalan raya, membakar ban mobil, menghentikan laju kereta tukang ojek tak serta memakai jaket kutung – lebih praktis karena udara panas, juga
api, membakar tempat publik yang sebenarnya milik bersama. para pelajar atau karyawan-karyawati, kalau peran Raja tidak berwibawa, tidak memberi
Saya tidak sedang menyalahkan para joki, pak ogah, pembuntu jalan, tapi saya juga rasa aman, tidak memberi panutan.
tak bisa membenarkan karnaval yang menabraki semua peraturan lalu lintas hanya karena Ketika kesadaran masyarakat menjadi kebutuhan yang tergerakkan dengan sendirinya,
mau menonton pertandingan sepak bola, dan menjadikan kerusuhan ketika kalah atau itulah sesungguhnya kemenangan. Kibaran bendera yang membanggakan.
seri, atau bahkan menang. Saya mencoba memahami bahwa peri laku yang kita lihat Ok, bang?
sehari-hari di jalanan ini mempunyai akar sikap yang mendasari. Sehingga ketika jalan Nggih!
keluar dengan menangkapi para joki, bukan menyelesaikan masalah. Atau membiarkan Saya masih di Bangkok, dan suara hati menjawab dalam bahasa daerah. Apa yang
para mania bola seenaknya di jalanan adalah apresiasi besar kepada dunia olah raga. salah dengan semua ini? Titik mana yang menjadikan beda dalam perjalanan waktu,
Karena ada dua hal yang berbeda antara mendukung kesebelasan dengan naik di atap ketika sang raja masih dielu-elukan rakyatnya, di zaman yang setiap artis bisa menjadi
mobil dengan mengibarkan bendera dan berteriak-teriak. superstar?

KITAB SOLO 152 KITAB SOLO 153


Konon wapen di Surakarta Hadiningrat ini menyimbolkan bersatunya tiga keluarga
besar dinasti Mataram. Bersatu padunya trah, anak cucu Sultan Agung. Di dalamnya
tersimpan kata dari trah Surya, Sasangka, Sudama. Nama-nama yang dipertalikan dalam
pernikahan.
Ada juga simbol gula-klapa, merah putih, ada simbol padi kapas, boleh dikatakan
memenuhi semua unsur yang menyatukan juga menyejahterakan.

London Lebih artistik, lebih menarik dari sekadar bendera kuning—yang pada masyarakat
tertentu berarti bendera tanda adanya kematian.
Di Bangkok, saya sadar bahwa gambar, simbol, segala apa telah berubah. Juga
Saya pernah ke Inggris, bersama istri, di awal karier sebagai penulis. Sebenarnya
saya nebeng, karena yang diundang adalah istri saya. Ini pertama kalinya naik pesawat pengertian akan Keraton, atau raja. Meskipun tak mengurangi kemungkinan bahwa
dua negeri itu masih bisa meneriakkan kecintaan kepada raja.
terbang—selain pertama kali ke luar negeri. Mengatur jadual penerbangan dari Solo
Tapi, kalau kita kembalikan di sini, ke raja yang mana?
saja susahnya minta ampun—yaaaah, terutama karena tidak mengerti. Di London yang
Pertanyaan yang akan terus tergema. Mungkin agak lama.
dingin untuk ukuran “wong Solo”, walau sudah mengenakan jaket tebal, terasakan betul
Dalam satu diskusi di radio BBC, kami bertuikar pikiran. Kurang lebihnya kenapa
pengaruh Keraton Inggris ini. Bukan hanya istananya—kita berpotret pun di luar pagar,
raja-raja di Eropa—termasuk Belanda, masih bertahan, sementara di Jawa hancur? Tak
melainkan juga dalam keseharian. Simbol-simbol Keraton terlihat di mana-mana,
usah heran kalau orang Indonesia yang ada di sana menjadi kritis—kadang juga sinis,
sebagian menjadi barang souvenir.
akan keadaan di Indonesia. Kadang “wong Solo” sendiri juga begitu ketika baru berada
di Jakarta.
Dari segi makna symbol, Dari semua perbantahan saya menjawab : sebenarnya di Inggris, atau Belanda masih
sebenarnya tak jauh berbeda. bertahan, karena yang memerintah adalah ratu, bukan raja. Kalau saja Keraton-keraton
di Jawa diperintah oleh ratu, pasti akan lebih luwes dan bertahan terus.
Lambang Keraton, wapen, coat of arms, Nyatanya begitu.
Ratu?
mirip dengan logo Kasunanan. Radya Tak ada keturunan Mataram yang menjadi ratu.
Padahal ada.
Laksana Surakarta yang memakai simbol Yaitu Gusti Kanjeng Ratu Kidul, yang sedemikian unggul kisahnya, sehingga masih
Sura , matahari, Sasangka, rembulan terus tergemakan hingga saat ini. Dengan segala pandangan yang mempercayai, sangat
mempercayai, meragukan, menyepelekan, memusuhi. Sikap apa saja.
Sudama, bintang, di bawah satu mahkota. Itu sebabnya masih terus bertahta, masih terus ada.

KITAB SOLO 154 KITAB SOLO 155


Ratu Kidul

Dalam salah satu diskusi yang diselenggarakan di Loji Gandrung – tempat kediaman
resmi Wali Kota, ada yang bertanya apa sebaiknya yang menjadi ikon kota Solo. Selama
ini sudah ada beberapa kesepakatan, dan itu benar adanya.
Batik. Solo memang pernah dijuluki kota batik, dan sebagai pusat kegiatan, produksi
dan penemuan motif-motif baru masih berlangsung.
Keris. Solo memang identik dengan keris—yang kalau dibahas tak akan pernah habis.
Bahkan kata “keris” itu sendiri bisa menghabiskan waktu panjang.
Rajamala. Patung kepala raksasa yang dipasang di atas perahu Keraton yang sangat
khas dan dianggap keramat.
Sego liwet. Makanan khas Solo bukan hanya nasi liwet melainkan juga tongseng, juga
tengkleng, juga serabi, juga timlo, juga dan lain sebagainya. Ada puluhan nama makanan
yang dianggap khas.

KITAB SOLO 156 KITAB SOLO 157


ISTIMEWA
Panggung Sangga Buwono. Menara Keraton ini sudah sejak dibangun zaman Paku
Buwono menjadi ciri utama, dengan bangunan yang tak ditemukan di Keraton lain.
Apa saja. Bisa sungai Bengawan Solo, Taman Sriwedari atau Taman Balekambang,
bisa Pasar Gede, atau pasar yang baru, pasar klithikan Nitiharjo di Semanggi.
Pada waktu itu, tanpa ragu saya menyebutkan bahwa Nyi Roro Kidul, nama
popularnya di masyarakat, pantas menjadi ikon Solo. Pembicaraan menjadi ramai. Dan
sesungguhnya, inilah yang juga khas, rerasanan dan atau nguda rasa berlanjut di
wedangan, lesehan, di depan Loji Gandrung, setelah acara resmi selesai.
Semua duduk di tikar, memesan minuman dan makanan, tidak kikuk, lutut bisa
ditekuk atau diselonjorkan, melewati jam-jam kantuk. Juga berlanjut pada hari
berikutnya, di tempat berbeda.

Kurang lebihnya saya mengatakan, bahwa


simbol keris, atau batik, atau bahkan wajah
Rajamala sangat bisa diterima. Hanya
kekhasannya tak ada. Boleh dikatakan
semua kota dengan latar belakang
Keraton—Yogya, Cirebon, atau bahkan luar
Jawa, juga menggunakan wesi yang sama—
dengan sedikit perbedaan luknya.
Demikian juga karakter Rajamala lebih dikenal sebagai topeng dari tarian reyog
Ponorogo, atau tarian kuda lumping di wilayah Magelang dan sekitarnya.
Sementara Gusti Kanjeng Ratu Kidul, sebutan hormat dengan panggilan gusti,

KITAB SOLO 158 KITAB SOLO 159

ISTIMEWA
sekaligus kanjeng, merupakan sosok yang terbuka. Karena dinamika yang terkandung kisahnya berlanjut ke Sultan Agung dan kepada raja-raja anak keturunannya yang
di dalamnya. Mulai hari riwayat yang dituturkan, sampai dengan pemahaman terhadap mempermaisurikan— memang begitulah kisahnya.
beliau. Kontroversi yang akan selalu muncul, justru karena begitu terbukanmya tafsiran Konon kepermaisurian ini hanya sampai dengan Paku Buwono X. Dari sini Ratu Kidul
juga penerimaan. Rasanya tak ada tokoh lain yang begitu sempurna dalam membuka bergeser perannya, menjadi ibunda, karena menyebut sinuwun dengan sebutan ngger,
wawasan seperti beliau. kependekan dari angger, sebutan untuk anak—adalah legitimasi yang tidak mengganggu
Bahwa banyak kisah tentang putri ratu yang kelewat cantik dan “terbuang” ke Laut siapapun. Bahwa seorang Pramudya Ananta Tour, pengarang besar yang menuliskan
Selatan, tidak hanya ada di Jawa Tengah. Di tanah Pasundan kisah ratu cantik yang ini sebagai pembodohan masyarakat, tidak mengurangi kebesarannya. Sebagaimana
berpenyakit kulit dan “bunuh diri” ke laut juga ada, sebelum akhirnya menjelma menjadi juga banyak karya besar yang lahir dari inspirasi tokoh dan kisah yang sama. Baik dalam
putri cantik jelita. Bahwa kadang dicampur adukkan dengan Nyi Blorong atau tarian adi luhung yang sangat terkenal, Bedaya Ketawang, yang hanya dipanggungkan
sejenisnya—menyerap kisah manca negara ala ikan duyung, di mana di sini bagian bawah setahun sekali, atau juga dalam karya lukis seperti Basuki Abdullah. Bahwa sampai
tubuh adalah tubuh ular, atau ada yang membedakan antara Ratu Kidul dengan abdinya detik ini pun, masih ada ratusan blog di internet, bukan hanya dari dalam negeri, tetap
yang bernama Nyi Roro Kidul—atau ada abdi-abdi lain lagi, tidak mengurangi ramai dikunjungi peminat. Baik yang menceritakan pengalaman pribadi, menggali
keberadaannya, sekaligus keterbukaan untuk dikreatifkan kembali. Bahwa dengannya mithos-mithos, sampai dengan yang tak terkirakan. Bahwa ada komunitas tertentu yang
dikaitkan segala yang gaib, tak masuk akal, gugon tuhon, mistik, tidak rasional, klenik, memerangi, yang ingin menghapus takhayul terhadapnya, menandai keberadaannya.
memang di situlah yang menjadi salah satu daya tarik. Bahwa masih akan ada selalu perbincangan seru, menandai keberadaannya. Atau ketidak
beradaannya. Bahwa ini sudah berlangsung sejak abad 16 tanpa henti, menandai
Bahwa dengan memilih ikon “seorang” tokoh dinamika yang menyertai.

perempuan adalah pemihakan jender, itulah Bahwa, pada akhirnya ini sebuah permulaan,
keunggulan, juga keberanian mengakui peranan bagaimana pertarungan antara yang rasional
perempuan yang menentukan. dengan klenik menemukan bentuknya, juga
Juga bukan kebetulan bahwa kehadirannya sejak awal, dalam dongengan yang
bagaimana menemukan harmoni baru. Bagaimana
terdengar di Solo, beliau bukanlah putri yang sakit ragawi atau patah hati, melainkan yang serba lahir, serba wadag, bersinggungan
karena keinginannya menjadi abadi, dan itu hanya dimungkinkan dengan menjelma dengan dengan yang serba batin, serba rasa, serba
sebagai makhluk halus—atau apapun sebutannya. Bahwa pemunculannya pertama
menemui Panembahan Senopati, untuk ikut menjaga tanah Jawa dan menjagai anak
alam pikiran. Begitulah kompromi dalam
cucu semuanya, adalah berawal dari niat baik untuk memayu hayuning buwana. Bahwa parakdoksal terus berlangsung.
KITAB SOLO 160 KITAB SOLO 161
Inilah dinamika
yang masih akan bisa digali
dari Gusti Kanjeng Ratu Kidul
sebagai inspirasi, sebagai tafsiran,
sebagai perlawanan mengemohi,
yang kesemuanya
menjadikan tetap ada,
tetap hidup, tetap tak berhenti.
Solo, memiliki dinamika yang sama.
Berarti Ratu Kidul menjadi ikon Solo?
Dalam dinamika yang ada, bisa iya, bisa tidak. Bisa resmi, bisa pula tidak. Inilah
yang akan selalu terjadi. Tak ada satu pengertian, satu tafsiran, dan berhenti di situ.
Sebagaimana juga sang ratu penguasa laut selatan, yang angin asinnya bertiup sampai
ke daratan. Sebagaimana sarang burung walet yang dinikmati jauh dari tempat asalnya,
di antara karang terjal sunyi sekaligus bergelora oleh debur ombak. Sebagaimana
pantangan mengenakan pakaian hijau, gadhung mlati, bisa dipatuhi bisa pula tidak.
Sebagaimana adat melarung di laut, sebagaimana adat lainnya, bisa dijalankan dengan
gempita atau perorangan. Semua tak pernah menghilangkan keberadaan Ratu Kidul
sebagai ikon yang terbuka.

KITAB SOLO 162 KITAB SOLO 163

ISTIMEWA
Sangga Buwono
Salah satu tempat peraduan Ratu Kidul dengan para raja di Kasunanan adalah
Panggung Sangga Buwono. Bangunan setinggi 30 meter yang dibangun masa Paku
Buwono III ini strategis untuk melihat ke arah benteng-benteng Belanda di arah utara,
juga ke selatan, ke laut selatan di mana Ratu Kidul bertahta.
Bangunan ini ditandai berdirinya dengan Naga Muluk Tinitihan Janma, atau berarti
1708 tahun Jawa, 1198 tahun Hijriah, 1782 tahun Masehi. Pada bagian atas ada hiasan
sosok manusia mengendarai naga yang tengah memanah. Ujung panahnya, juga
bagian dari penangkal petir. Sosok pemanah di atas naga itu sendiri bisa diartikan
sebagai Tri Buwono Kiblat, atau kalau dikonversi ke tahun Masehi adalah tahun 1945.
Tahun kemerdekaan Republik Indonesia. Dan itu sudah menjadi ramalan, menjadi
perhitungan, jauh sebelumnya, ketika pasukan Belanda masih sangat berkuasa.
Kebetulan?
Gothak-gathik, gathuk—dipas-paskan sehingga pas?
Ini semua bukan pertanyaan dengan satu jawaban pasti.
Barang kali jawabannya justru pertanyaan itu sendiri.
Dan ketika pertanyaan adalah jawaban, ketika itulah kita memasuki wilayah yang
sesungguhnya—sangkan paraning dumadi, kembali ke asal penciptaan.
Hanya dengan menyebut nama Ratu Kidul, semua asal usul, semua pemikiran
dimungkinkan untuk muncul, dan lebih penting dari semua itu : dialog berkelanjutan,
rerasan bisa terus terjadi.
Dalam berbagai bentuknya.

KITAB SOLO 164 KITAB SOLO 165


ISTIMEWA
W.O. Sriwedari
Wayang Orang Sriwedari, bisa disebutkan sebagai bagian dari keuletan yang
mengagumkan, atau juga pertahanan budaya yang memedihkan. Dua tata nilai ini yang
berbeda ini, semuanya bisa pas untuk menggambarkan keberadaannya saat ini.
Kenyataan paradoksal ini tidak hanya berlaku untuk grup kesenian ini sendiri, melainkan
juga bentuk-bentuk kesenian, organisasi, atau tempat-tempat keramat lainnya, ikon yang
pernah menjadi kebanggaan dan menyatu dengan identitas Solo.
Membicarakan Wayang Orang Sriwedari, tak bisa dilepaskan dari keberadaannya di
tengah setting lokasinya, yaitu Taman Sriwedari. Suatu wilayah kotak di tengah kota
yang megah, di suatu tempat yang pernah dilirik untuk mendirikan Keraton. Batas
geografis sebelah utara adalah Puwasari—sekarang jalan Slamet Riyadi, sebelah barat
jalan Mangunjayan—sekarang jalan Bayangkara, sebelah timur Pasar Kembang—
sekarang jalan Honggowongso, sebelah selatan, jalan Baron—sekarang jalan Dr. Rajiman.

KITAB SOLO 166 KITAB SOLO 167


ISTIMEWA
Di sinilah dibangun pusat rekreasi, pusat pemanggungan, pusat pentas dan pesta memajukan pendidikan. Bahkan boleh dikatakan sangat sakti. Sekaligus menjadi
rakyat yang mengagumkan. Beberapa orang masih melafalkan sebagai Kebon Raja, atau tempat yang mengistimewakan anak-anak sekolah, menjadi promosi budaya agar anak-
kebun Raja, untuk kebun binatang yang ada. Ada juga bangunan untuk museum anak menempuh pendidikan di sekolah.
Radyapustaka, yang menjadi museum tertua di Indonesia. Bahwa yang merasakan keistiwaan para orang tua yang datang berbondong-bondong
Pada salah satu bangunan di halaman Sriwedari ada gedung pertunjukkan khusus dan merasakan keteduhan tempat yang sejak awal dirancang dengan penghijauan, itu
untuk wayang orang. Pada awalnya hanya hanya hari Jumat dan Minggu ada pementasan, sudah dengan sendirinya. Juga, terutama para muda-mudi yang melakukan “dugem”,
sebelum akhirnya, juga diadakan pentas pada Minggu siang. Ini saja sebenarnya dunia gemerlap, abis. Banyak novel-novel Jawa masih memperlihatkan suasana pacaran
merupakan terobosan yang luar biasa. Bagaimana waktu siar, broadcast time, mengalami di Taman Sriwedari. Bahkan di tahun 1925, masih ada kisah—bukan karangan fiksi,
perubahan mendasar, karena kepentingan pasar. yang menceritakan seorang lelaki bertemu gadis cantik di Taman Sriwedari, yang
Harus diingatkan, pada awal-awalnya, Taman Sriwedari merupakan pusat hiburan ternyata adalah makhluk halus. Kisah itu menjadi klasik dan masih terus diceritakan,
yang tiada taranya. Di situ juga diputar film, pertunjukkan seni yang lain, dan segala seakan mengukuhkan bahwa daerah itu memang angker sejak awal, sehingga urung
kegiatan pasar. Bukan hanya masyarakat sekitar, tapi juga orang asing—Belanda, Inggris, dijadikan Keraton.
Spanyol, Arab, ikut menikmati. Menurut catatan, Taman Sriwedari resmi dibuka dengan Bagaimana keberadaan masyarakat yang terpikat dengan Taman Sriwedari—yang
“sengkalan”, Luwih Katon Esthining Wong, (ada juga yang mengatakan sengkalan Janmo datang dengan berjalan kaki, karena kendaraan masih sangat terbatas, terlihat dari
Guna Ngesti Ratu), walau artinya sama, yang berarti tahun Dal 1831, atau tahun 1899 ungkapan Yasaharjana ini. Untabipun tiyang ingkang ningali panda sulung ngroyok dilah,
kalender sekarang ini. selur jaler estri enom sepuh tanapi lare saking wetan kilen ler kidul andeledeg kados ilining toya
Yang menarik adalah taman itu dulunya diprioritaskan untuk anak-anak sekolah. tuk tanpa wonten pedhotipun, tupleng datang Sriwedari. Masyarakat yang datang seperti
Dalam catatan penulis Yasaharjana (Babad Taman Sriwedari, penerbit Liem Gwan Bie, laron mendekat ke sinar, baik lelaki maupun perempuan juga anak-anak dari arah timur
1926), yang masih memakai huruf Jawa, dikisahkan pada saat liburan digratiskan untuk barat utara selatan, mengalir bagai air sumber tanpa terputus, semua menuju ke
anak-anak sekolah. Sedangkan anak-anak yang tidak atau belum sekolah, harus Sriwedari.
membayar. Sekali lagi ini juga merupakan jurus yang ampuh untuk membuat anak-
anak ingin bersekolah, membuat orang tua tak bisa menolak anaknya yang mendesak. Dalam gegap gempita Maleman Sriwedari,
Pada titik yang sama, pengakuan akan anak-anak yang bersekolah menempatkan pada
posisi yang membanggakan. Sedemikian rupa kebanggaan itu, sehingga mereka yang
yang berlangsung di bulan Puasa yang di
bersekolah di siang hari pun ingin mendapat persamaan. Sehingga selain dikawal guru, era Ingkang Sinuhun Paku Buwono X
anak-anak yang “baru mau masuk sekolah” pun bisa diikutkan dengan surat keterangan
khusus. dimulai tanggal 21, selikuran, inilah ada
Dengan kata lain, pusat hiburan yang didirikan mempunyai makna yang lain dalam panggung wayang orang.
KITAB SOLO 168 KITAB SOLO 169
W.O. RRI Dalam perkembangannya yang kemudian, wayang orang gagrak, gaya atau jenis atau
Dengan menyebutkan wayang orang, atau wayang wong yang ada di Sriwedari, kita aliran Solo lebih berkembang, terutama ketika para seniwati masuk ke dalam dan
mau tak mau akan melihat wayang orang dari awalnya. Atau bahkan wayang itu sendiri, memainkan peran-peran alusan, bambangan. Ketika para pemain perempuan memainkan
yang menjadi identitas masyarakat Jawa. tokoh Arjuna atau ksatria alus.
Konon wayang ini sudah dikenal masyarakat Jawa di abad 11, ketika Keraton Prambanan Tarian alus merupakan satu dari gaya dari jenis tari lain, yaitu gagah, kasar serta gecul,
pindah ke Kediri. Pada masa pemerintahan Jenggala inilah berbagai jenis wayang atau jenaka. Dasar-dasar tarian ini masih terasakan sampai sekarang.
mengalami perkembangan. Puncak pentas wayang orang Sriwedari terjadi di tahun 50-an hingga 60an, ketika sekitar
Wayang Orang , adalah satu dari sekian jenis pertunjukkan wayang, pentas tradisi yang 1500 tempat duduk terjual habis, ketika para calo juga mendapatkan pekerjaan. Itu semua
pernah jaya. Ada wayang kulit—diperagakan dengan “boneka” dari kulit hewan, ada bisa berlangsung setiap malam. Mengalahkan pentas Broadway atau Off Broadway atau
wayang beber—selembar kain dibeber untuk menceritakan adegan, ada wayang gedog— Off-off Broadway di New York, Amerika Serikat, yang dibanggakan di seluruh dunia.
dimainkan dengan golek (kayu), mengambil era sesudah Mahabharata, ada wayang Pada titik kulminasi itu, Solo bukan satu-satunya. Kota-kota lain juga memiliki pentas,
golek,— dari kayu dengan kostum lebih modern, ada wayang keling—yang ceritanya walau tidak setiap hari mengadakan pertunjukkan, punya nama besar dengan pemeran-
berawal dari kisah Adam-Hawa, ada wayang topeng—pemainnya menggunakan topeng, pemeran yang legendaris. Di antara di Semarang ada Ngesti Pandawa yang beruntung
ada wayang krucil—boneka dari kayu tapi dibuat pipih seperti wayang kulit, dan jenis ditangani Ki Narto Sabda—pujangga tradisi terbesar dan terakhir, di Yogya ada Wiromo
lain yang hanya ada dalam catatan, bukan dalam ingatan. Budaya dan di Jakarta ada Bharata. Panggung-panggung ini, tidak terbatas pada gedung
Wayang Orang, di Jawa disebut wayang wong, (wong artinya orang, manusia), barang sebagai bangunan, menciptakan sistem komunikasi, juga dinamika ekonomi, sampai
kali yang paling susah dipentaskan. Karena sedikitnya didukung 50- 80 pemain, dengan dengan bagaimana masyarakat mengatur waktu untuk menonton. Memilih lakon yang
kostum yang rumit, pengiring gamelan komplet, dengan durasi waktu bisa dua kali kalau dimainkan, menyatu dengan bintang-bintang pujaan yang menjadi super star pada saatnya,
kita nonton film, dengan pilihan cerita yang sangat banyak, sejak Ramayana hingga menjadi idola dalam artian sebenarnya.
Mahabharata. Jumlahnya bisa ribuan dengan varian-varian yang berbeda, atau sampai
dengan bentuk carangan—cerita di luar dari pakem, tapi tak bertentangan, atau yang Tentu banyak kisah asmara,
bersifat banjaran—berbentuk biografi satu tokoh, atau campuran dengan keinginan
pemesan atau sponsor.
kisah keberhasilan dan juga kedodoran
Menurut catatan, wayang wong adalah yasan, hasil kreativitas Sultan Amangkurat I, dari para peraga—tidak hanya artisnya, yang
pada tahun 1731. Untuk pertama kalinya dipertunjukkan diperagakan oleh manusia,
tanpa memakai topeng. Kalau tadinya dialog diucapkan oleh dalang, kini para pemain
barang kali akan menjadi wayang
yang langsung mengucapkan, dan tentu saja menari, dengan koreografi dan komposisi, wongtainment kalau terus berjalan sampai
dalam perpaduan harmonis dengan perangkat gamelan. sekarang.
KITAB SOLO 170 KITAB SOLO 171
Namun kemudian memang terjadi apa dipentaskan ketoprak—bentuk pertunjukkan dimainkan sejumlah orang dengan materi
cerita lebih ke masa kerajaan. Wow karena penonton memenuhi kursi yang tersedia, wow,
yang disebut sebagai wolak-walinging jaman, karena pentas ini gratis—tidak dipungut bayaran. Hanya ada kotak bertulisan : sumbangan
berubahnya selera, beralihnya pilihan. budaya, yang biasa diisi, bisa dilewati. Saya bisa menyelundup ke belakang panggung,
bertemu dan mengobrol dengan pemain yang sebagian masih saya kenali, sebagian saya
Wayang Orang Sriwedari mulai sepi, kenali sebagaian pemain lama, sebagian dari profesinya yang berbeda, juga dari “generasi
muda”, yang namanya berkibar dalam pentas teater modern. Sebagian dari mereka
dan makin sepi. pegawai negeri, sebagian lagi sudah pensiun tapi tetap datang dan pentas bersama—dengan
Hanya pada waktu-waktu tertentu, misalnya pada pergantian Tahun Baru, atau hari- biaya sendiri untuk kostum, tata rias atau transportasinya.
hari besar lainnya, atau ketika ada “warganegara Solo yang tinggal di perantauan” pulang Hal yang sama, dalam soal pentas, juga terjadi di gedung wayang orang Sriwedari,
bersama, dan memborong pertunjukkan. yang berjarak tak sampai 5 kilometer. Di sana, malam yang sama itu, juga ada pentas
Nasib ini sedikit berbeda, dengan wayang orang RRI, atau wayang orang yang digelar seperti yang berlaku setiap hari—ya setiap hari, beberapa pemainnya ada yang
di gedung Radio Republik Indonesia. seharusnya sudah pensiun. Di sini penonton lebih sedikit, karena harus membayar tiket.
Pada suatu malam, hari Selasa awal Januari 2008, saya menyempatkan menonton Saya juga menelusup ke belakang panggung, bertemu dengan tokoh-tokoh dengan nama
dua pertunjukkan dan meraba-raba gambaran yang ada. besar ketika saya masih remaja, sebagian lagi menunggu naik pentas—sudah dengan
kostum lengkap, bergerombol menonton pesawat televisi.
WOW
Kalau w.o., singkatan dari wayang orang sudah terlepas dari ingatan, bisa dimengerti.
Karena kini dalam istilah politik wo, lebih dikenal sebagai walk out, atau meninggalkan Ada semangat yang menggetarkan dari
sidang, memboikot persidangan.
Masyarakat Solo tak sepenuhnya meninggalkan wayang orang. dua panggung ini. Semangat
Masih akan terdengar wow—tanda kekaguman.
Begini ceritanya. berkesenian yang begitu bersungguh-
Dalam kondisi yang seperti ini, rasanya boleh meneriakkan wow sebagai tanda kagum,
ketika pentas wayang orang dengan penonton penuh. Kejadiannya di gedung RRI, Ra-
sungguh, kegigihan yang tak tersisih,
dio Republik Indonesia, di Solo, yang jatuh pada hari Selasa 8 Januari 2008 kemaren.
Hari Selasa perlu disebutkan, sebab ini adalah waktu tetap diadakan pentas wayang
pilihan atau bahasa tingginya panggilan
orang, pada minggu kedua setiap bulan. Sedangkan pada hari lain, di minggu keempat, hidup yang tak meredup.
KITAB SOLO 172 KITAB SOLO 173
Sulit membayangkan bagaimana grup wayang orang itu mampu bertahan. Lebih Entah sampai kapan, kalau tak ada campur tangan yang memberi kemungkinan,
sulit memperkirakan bagaimana interaksi para pendukung satu sama lain, bagaimana juga kemudahan.
mengorganisir diri, bagaimana mengatur waktu, sehingga bisa terus pentas. Kesetiaan Yang mentakjubkan bukan kapan bantuan itu datang, atau ada perubahan zaman.
macam apa yang membuat mereka ini—juga grup wayang orang Bharata di Jakarta, Yang mentakjubkan adalah mereka ini, memang, masih bertahan. Masih berpentas, masih
masih bisa menemukan bentuknya seperti ini? Kekuatan apa yang masih menyatukan berdiskusi, masih saling memaklumi satu dengan yang lain, tidak saling menyalahkan,
dan mempertemukan mereka ini? dan terus menjalani.
Kalau jawabannya karena tak ada pilihan Apa yang saya saksikan malam itu, seperti juga malam-malam sebelumnya ketika
mencoba membuat dokumentasi budaya yang disiarkan TVRI adalah kegigihan tanpa
lain, rasa-rasanya meragukan. Karena pedih, keberadaan tanpa bergeser.
mereka yang mempunyai profesi lain—atau Apa yang saya saksikan malam itu, tak berbeda dengan malam-malam yang lain
ketika saya menonton Ketoprak Bale Bambang, yang juga nyaris tanpa penonton. Para
bahkan pensiun, masih menyempatkan diri pemain yang sebagian menempati bagian belakang, siang hari ada yang memperbaiki
dekor, ada yang bekerja – sebagai penarik beca, malamnya berperan sebagai raja, ada
untuk bersama. Kalau jawabannya karena yang hidup dengan keluarga dan anak-anaknya yang bersekolah.
ini bentuk kesenian yang memang memiliki Pentas yang lain juga berlangsung di Solo.
daya sihir untuk keberadaan diri mereka, Ketika sekelompok komunitas
barang kali kita masih bisa berharap, bahwa menembangkan macapat—baik di dalam
peristiwa budaya ini masih akan terus bangunan Keraton atau di rumah-rumah
berlangsung, walau generasi muda makin warga. Di sana masih ditembangkan dengan
menjauh dan tak tersentuh. tekun, dengan tulus tentang sifat-sifat mulia,
Ini benar-benar wow, ketika perkembangan berkesenian atau masyarakat secara luas
seakan tidak memperdulikan mereka. Bahkan ketika acara televisi menyiarkan program tentang berbakti kepada negeri,
seni tradisi pun, sama sekali tak bersentuhan dengan mereka, atau kisah-kisah yang
mereka pentaskan.
tentang penyadari diri
Nyatanya mereka masih bertahan. sebagai umat dari Sang Pencipta.
KITAB SOLO 174 KITAB SOLO 175
Taman
Balekambang

Taman Balekambang, sebuah kenangan, tapi sekaligus juga kebangkitan. Barang kali
bisa menjadi potret bagus bagaimana perubahan dan tuah pembangunan berlangsung.
Dibangun pada tahun 1921 oleh Kanjeng Gusti Adipati Mangkunegoro VII untuk dua
putrinya— yang dijadikan nama bagian dari taman, Partini Tuin serta Partinah Bosch, —
sebagai tempat hiburan yang menawan. Dengan konsep penghijauan, juga rekreasi dan
hiburan. Pertunjukkan ketoprak pernah berjaya di sini—dan masih dirindukan. Grup lawak
tenar Srimulat, juga pernah memakai tempat ini sebelum—dan sesudah, berjaya di Jakarta.
Teguh Srimulat bukan warga asing untuk Balekambang, karena sejak masih grup ketoprak
bernama Sri Bedoyo, telah berkarier di situ. Ini bisa menunjukkan bahwa pertalian emosi
masa lalu, bisa berlaku.

KITAB SOLO 176 KITAB SOLO 177


Namun juga tak berbeda dengan tempat lain, kemudian merana, dan berbau mesum.
Saya pernah membuat dokumentasi budaya mengenai ketoprak yang sangat sepi
pengunjung. Sebagian pemainnya masih mengenal dan saya kenal, karena ketika membuat
sinetron—beberapa kali, saya mengajak bersama. Di sini juga ada grup ketoprak yang
seluruh pemainnya perempuan. Pernah menjelang pentas terpaksa tertunda, karena
pemainnya ada yang ditangkap polisi. Karena tempat sekitar gedung pertunjukan memang
ada panti pijat, tempat berdisko, ada juga yang bersliweran di sekitar keremangan. Di
tempat itu juga ada perkumpulan pencak silat yang saya dokumentasikan. Termasuk
kehidupan keseharian para pemain, sutradara, kru di belakang panggung. Boleh dikatakan
semua memakai gedung itu, sekaligus sebagai rumah kediaman. Agak memilukan, bahkan
jika dibandingkan nasib wayang orang di Sriwedari, yang sebenarnya juga memrihatinkan.

Namun sebagai tempat,


Balekambang masih menjadi
FOTO ICHWAN GEMBENG

menampung keinginan berkreasi.


Pernah terkumpul 8.899 orang
antre untuk mencium bendera
pusaka, Sang Merah Putih.
Sehingga masuk rekor Muri, Mu-
seum Rekor Indonesia.
KITAB SOLO 178 KITAB SOLO 179
Sebagian peserta bahkan datang dengan enggrang. Kegiatan yang sehat, bermanfaat,
dan menyertakan nilai-nilai mencintai tanah air. Bahkan di saat sedang sulit sekalipun.
Keadaan berubah dengan cepat, ketika tahun lalu saya melihat adanya upaya
Pemerintah Kota, Pemkot, yang mengembalikan kejayaan dan fungsi Taman Balekambang.
Juga dengan damai, karena seniman-seniman menempati rumah baru, yang tidak
sementara. Taman Balekambang kini bahkan disiapkan sebagai salah satu pusat kegiatan
kesenian, sekaligus taman, sekaligus paru-paru kota. Yang cukup besar dan prestisius.
Taman Balekambang—nama ini juga ada di Keraton Yogya, atau Bali atau tempat
lain—di Solo ini menjadi contoh mengagumkan akan pendekatan pembangunan. Lokasi
yang mempunyai sejarah, setelah melalui masa-masa tak terurus, akhirnya bisa dibangun
kembali. Tanpa melupakan peran lama, tanpa penggusuran begitu saja. Juga tanpa ribut
ruwet, berebut hak. Semua ini proses yang melegakan, dan lebih dari itu memberi harapan
bagaimana perkembangan selanjutnya.

Berada di antara bangunan yang tengah


disiapkan, di daerah berpohon tinggi
di Balekambang, saya merasakan
semangat seorang ayah kepada putrinya
ketika taman ini diciptakan,
menyaksikan kekerabatan seorang
pamong kepada kebutuhan masyarakat,
yang adalah anak-anaknya yang dicintai.
FOTO LUAX MAWARDI

Cinta dua pihak, dan pastilah berkembang, di Balekambang.

KITAB SOLO 180 KITAB SOLO 181


WHCCE
Kirab Dunia. Dan saya berada di dalamnya.
Ketika itu Minggu sore, 26 Oktober 2008, saya berada di antara ribuan warga Solo
yang menunggu kirab yang lain. Kali ini bisa dikatakan Kirab Dunia. Karena yang terlibat
ikut kirab adalah warga dari berbagai belahan dunia.
Seharinya sebelumnya pembukaan World Heritage Cities Conference and Expo, WHCCE,
Konperensi dan Ekspo Kota-kota Pusaka Dunia, wilayah Eropa-Asia, saya nimbrung dan
numpang beken karena diwawancarai, termasuk media dari luar negeri. Peserta mewakili
156 kota di dunia, sekurangnya ada wali kota dari 37 negara, dalam satu rombongan
besar lain yang jumlahnya bisa mencapai 2. 500 peserta. Mereka ini akan melihat, dan
berada di Solo sampai akhir bulan. Serangkaian acara dipersiapkan—dan kirab termasuk
salah satu daya tarik—karena mereka tampil dengan pakaian tradisi, naik kuda atau kereta.
Minggu sore itu hujan rintik-rintik, makin membasah. Sebagian penonton jalanan
berteduh, sebaiknya membuka payung, sebagian lagi seperti tak terpengaruh. Apa yang
terlihat di jalan Slamet Riyadi sepanjang 4, 5 kilometer adalah permukaan dari sebuah
perencanaan yang sama njlimetnya. Upaya untuk bisa menjadi tuan rumah saja, pastilah
bukan perkara yang gampang. Meyakinkan organisasi dunia dengan saingan negara-
negara yang lebih maju, pastilah butuh keuletan. Apalagi Solo, yang barang kali belum
tergema benar. Indonesia pun baru sekali ini menjadi tuan rumah. Belum lagi mengatur
FOTO ICHWAN GEMBENG

para tamu undangan dengan seabrek acara di beberapa tempat. Salah satunya di

KITAB SOLO 182 KITAB SOLO 183


Mangkunegaran, untuk memperkenalkan segala keunggulan yang akan diperkenalkan.
Setengah bercanda saya mengatakan , para wali kota dunia kini sowan ke wali kota
Solo. Para “raja” dari 37 negara kini, sowan, kini menghadap ke “raja” Solo, Jokowi. Akan
berlebihan mungkin, namun ini adalah peristiwa yang barang kali tak terulang lagi.
Meskipun kegiatan yang bersifat internasional masih akan digelar. Nyatanya begitu,
dengan deretan acara sampai akhir tahun. Pada saat yang sama, juga digelar untuk kedua
kalinya, Solo International Ethnic Music, SIEM 2008, juga dengan beberapa peserta dari
luar negeri—di samping kiprah musisi dalam negeri, dari berbagai provinsi atau
perorangan. Daftar ini bisa bertambah dengan Festival Keroncong, atau Campur Sari,
atau Batik, atau Keris, atau Gamelan, atau sebenarnya bisa apa saja – termasuk barang
kali nantinya batu akik. Ini untuk menggambarkan bahwa apa saja bisa dilakukan, dengan
baik dan tetap unik, selama kerja sama bisa dimaksimalkan.

Bahwa ini melibatkan mesin birokrasi


untuk bekerja keras untuk jangka waktu
lama, tak bisa dipungkiri lagi. Tapi bahwa
Solo bisa menyelenggarakan dengan aman,
dengan memukau, itu suatu prestasi yang
sulit dicari tandingannya.
Karena peristiwa budaya tingkat internasional yang terjadi bukan semata-mata peristiwa
itu sendiri, melainkan dinamika yang terjadi berikutnya. Sehingga Solo menjadi bagian
yang diperhitungkan sebagai tempat penyelenggara, sebagai tempat hajatan kelas dunia.
Bukan hanya Jakarta dan Bali saja. Baik untuk kegiatan budaya maupun hajatan yang
FOTO ICHWAN GEMBENG

lain. Harus segera saya tambahan, keberhasilan ini bisa berasal dari inisiatif satu orang,

KITAB SOLO 184 KITAB SOLO 185


namun dalam pelaksanaan yang melibatkan hampir semua sektor patut diacungi jempol.
Media dalam dan luar negeri juga mengangkat sebagai berita di halaman satu.
Ini merupakan langkah awal yang menunggu langkah-langkah berikutnya.
Sebagaimana dulu stadion Sriwedari bisa menjadi tempat lahir dan diadakan Pesta Olah
Raga Nasional, PON, pertama kali. Karena prasarana sudah siap, dan masyarakatnya
juga siap. Sebagaimana lahirnya Persatuan Wartawan Indonesia, atau juga pasar pertamaq
bertingkat, dan hal-hal yang serba pertama, mempelopori.
Ada yang terasa menghangatkan,
membanggakan, ketika hujan makin menderas.
Kedigdayaan Solo sebagai pelopor, sebagai yang
pertama, terasakan kembali. Solo masa lalu, kini
sedang mewujud kembali.
Mewujud dalam kebersamaan, dan terasakan seluruh anggota masyarakat. Dalam
pembukaan, ada tarian reyog yang gegap gempita, dan ternyata pemainnya adalah
anggota sopir taksi. Ada prajurit berseragam yang membawa bendera, berada di panggung
dengan gagah, dan ternyata pegawai Perusahaan Daerah Air Minum. Ada, dan banyak
yang tergerak dan mengambil peran—termasuk beberapa penulis, wartawan, budayawan
yang selama ini berada di “perantauan”, mudik untuk terlibat bersama. Dan ketika kegiatan
ini terasakan bersama, bukan hanya hotel, toko-toko batik, toko-toko oleh-oleh besar yang
ikut panen. Karena mereka yang berdiri kehujanan, meneduh di warung-warung, makan,
minum, atau nanti pulang naik becak atau taksi.
Hujan, sementara terhenti.
Hanya tersisa di tanah, bagian dari berkah.
Iringan masih panjang. Sayup-sayup terdengar drum-band mendendangkan lagu
Bengawan Solo, dalam irama mars yang gagah.
FOTO ICHWAN GEMBENG

Mata airmu dari Solo….

KITAB SOLO 186 KITAB SOLO 187


FOTO ICHWAN GEMBENG

KITAB SOLO 188 KITAB SOLO 189


Inilah yang mentakjubkan.
Seperti juga pentas wayang orang
yang masih berlangsung,
hingga sekarang.

KITAB SOLO 190 KITAB SOLO 191

You might also like