You are on page 1of 30

ANALISIS KINERJA KEUANGAN PEMERINTAH DAERAH

DALAM MENGHADAPI OTONOMI DAERAH


(Studi Empiris pada Wilayah Kabupaten Jember Tahun Anggaran 2007-2008)

PROPOSAL SKRIPSI

Oleh,
Dwi Aisah
NIM 070810301181

Dosen Pembimbing 1,

Dosen Pembimbing 2,

JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS JEMBER
2010
2

1. Judul Skripsi: Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam


Menghadapi Otonomi Daerah (Studi Empiris pada Wilayah Kabupaten
Jember Tahun Anggaran 2007-2008)

2. Latar Belakang
Menurut M. Agus Santoso (2009) persoalan otonomi daerah di Indonesia
sampai saat ini masih menjadi bahan perbincangan sangat ramai, baik itu dikalangan
cendikiawan (akademisi), politisi, birokrasi dan bahkan di kalangan awampun ikut
andil membicarakan tentang otonomi daerah, apalagi hal ini sangat sulit dilakukan
karena Indonesia adalah negara yang berbentuk kesatuan, dengan luas wilayah yang
sangat luas, serta terbagi dalam bentuk pulau-pulau, hal ini akan membuat kesulitan
dalam pelaksanaan otonomi daerah, belum lagi perbedaan etnis, karena Indonesia
yang penduduknya di bagi dalam bentuk masyarakat dan budaya yang berbedabeda,
maka sangat wajarlah kalau perdebatan itu sampai kini belum menemukan kata
akhir. Terlepas dari perbincangan atau perdebatan dikalangan masyarakat, otonomi
daerah telah ditetapkan berlaku di Kesatuan Republik Indonesia(NKRI).....................
(mardiasmo) Oleh sebab itu hendaknya pemerintah dan masyarakat seutuhnya
mendukung dan membantu mensukseskan ketetapan tersebut. Karena pada
hakekatnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan
nasional.
Sebagai kelanjutan perwujutan diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah
pusat membuat suatu kebijakan tentang pemerintah daerah dimana pemerintah daerah
diberi kewenangan yang luas untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Hal tersebut
sesuai dengan UU No 32 tahun 2004 yang diperbaharui dengan UU No 12 tahun
2008 tentang Pemerintah Daerah, sebagai revisi dari UU No 22 tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah. Menurut UU No 32 tahun 2004 yang diperbaharui dengan UU
No 12 tahun 2008 bahwa pemerintah dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi,
asas desentralisasi dan asas tugas pembantuan, maka dalam rangka desentralisasi
dibentuk dan disusun pemerintah propinsi dan pemerintah kota sebagai daerah
3

otonomi. Selain itu, juga dikeluarkan UU No 33 tahun 2004 tentang perimbangan


keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, sebagai revisi dari UU
No 25 tahun 1999.
Dengan pemberian otonomi luas kepada daerah, diharapkan dapat
mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan dan peran serta masyarakat dalam pembangunan. Dalam rangka
meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan otonomi daerah, otonomi ini
dititik beratkan pada daerah Kabupaten atau Kota karena daerah Kabupaten atau Kota
tersebut berhubungan langsung dengan masyarakat.
Keberhasilan otonomi daerah tak lepas dari kemampuan dalam bidang
keuangan yang merupakan salah satu indikator penting dalam menghadapi otonomi
daerah, karena pemerintah daerah tidak akan dapat melaksanakan fungsinya dengan
efektif dan efisien tanpa biaya yang cukup untuk memberikan pelayanan
pembangunan.
Suatu daerah otonom diharapkan mampu atau mandiri didalam membiayai
kegiatan pemerintah daerahnya. Hal ini dapat ditunjukkan dengan proporsi tingkat
ketergantungan dengan pemerintah pusat yang lebih kecil dari kemampuan
Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam mendanai penyelenggaraan pemerintah
daerah. Seorang pakar dari World Bank dalam Achmad lutfi (2006) berpendapat
bahwa batas 20 % perolehan PAD merupakan batas minimum untuk menjalankan
otonomi daerah. Sekiranya PAD kurang dari angka 20 % tersebut, maka daerah
tersebut akan kehilangan kredibilitasnya sebagai kesatuan yang mandiri. Oleh karena
itu, sudah sewajarnya apabila PAD dijadikan tolok ukur dalam pelaksanaan otonomi
daerah demi mewujudkan tingkat kemandirian dalam menghadapi otonomi daerah.
Guna meningkatkan kemandirian, pemerintah daerah harus berupaya terus
menerus menggali dan meningkatkan sumber keuangan sendiri. Salah satu upaya
yang ditempuh pemerintah daerah adalah memaksimalkan pendapatan yang berasal
dari pajak daerah dan retribusi daerah. Menurut Achmad lutfi (2006) ada dua cara
yang dapat dilakukan oleh pemerintah daerah untuk memaksimalkan pendapatan
4

yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah, yaitu menyempurnakan dan
mengoptimalkan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah yang telah ada serta
menerapkan pajak daerah dan retribusi daerah yang baru.
Sejalan dengan hal tersebut, kewenangan pemerintah pusat menjadi semakin
berkurang dan akan lebih berperan sebagai fasilitator sekaligus evaluator kepada
seluruh pemerintah daerah (baik propinsi, kabupaten, dan kota) atas pelaksaan
otonomi daerah yang sudah dan sedang berjalan.
Berdasarkan uraian diatas, mengetahui kesiapan atau tingkat kemandirian
suatu daerah dalam menghadapi otonomi daerah ditinjau dari aspek keuangan
merupakan hal yang sangat penting, karena melalui informasi tersebut pemerintah
dapat mengambil berbagai kebijakan kedepannya. Menurut Sukanto Reksohadiprojo
dalam intan puspita (2009) alat analisis yang dapat digunakan untuk menganalisis
kinerja keuangan daerah adalah dengan melakukan analisis otonomi fiskal daerah
atau otonomi desentralisasi fiskal. Otonomi desentralisasi fikal (local fiscal
autonomy) adalah kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) yang merupakan salah satu aspek penting dalam otonomi daerah.
Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut, maka penulis mengambil judul
penelitian: “Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Menghadapi
Otonomi Daerah (Studi Empiris pada Wilayah Kabupaten Jember Tahun Anggaran
2007-2008)”

2.2 Perumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang, dapat dirumuskan masalah yang akan dibahas
dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimanakah hasil analisis kinerja keuangan Kabupaten jember yang diukur
dengan derajat otonomi fiscal pada aspek derajat desentralisasi fiskal, kebutuhan
fiskal, kapasitas fiskal, dan upaya fiskal atau posisi fiskal tahun anggaran 2007
sampai dengan 2008 ?
5

2. Bagaimanakah tingkat kemandirian Kabupaten Jember dalam menghadapai


otonomi daerah ditinjau dari hasil analisis kinerja keuangan tersebut?

2.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui hasil analisis kinerja keuangan Kabupaten jember yang diukur
dengan derajat otonomi fiscal pada aspek derajat desentralisasi fiskal, kebutuhan
fiskal, kapasitas fiskal, dan upaya fiskal atau posisi fiskal tahun anggaran 2007
sampai dengan 2008
2. Mengetahui tingkat kemandirian Kabupaten Jember dalam menghadapai
otonomi daerah ditinjau dari hasil analisis kinerja keuangan tersebut

2.4 Manfaat Penelitian


Manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
1. Bagi instansi pemerintah daerah tingkat Kabupaten Jember dapat dijadikan
alternatif masukan untuk mengukur kinerja keuangan pemerintah daerahnya .
2. Bagi semua elemen masyarakat yang ingin mengetahui kinerja keuangan
pemerintah kabupaten Jember dapat berperan aktif dengan ikut serta mengawasi
kinerja pemerintah daerah sebagai perwujudan otonomi daerah yang demokratis.
3. Bagi penulis untuk mengembangkan wawasan, khususnya dalam bidang
akuntansi pemerintah sesuai dengan teori yang telah didapatkan dibangku kuliah.

3. Tinjauan Pustaka
3.1 Otonomi Daerah
.........(mardiasmo)
6

3.1.1 Pengertian Otonomi Daerah


Menurut UU No 32 tahun 2004 yang diperbaharui dengan UU No 12 tahun
2008 tentang pemerintah daerah pasal 1 ayat (5), pengertian otonomi daerah adalah
hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri
urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Substansi dan pesan mendasar dari Undang Undang no 32
tahun 2004 tidak lain adalah mendorong proses pemberdayaan peningkatan ekonomi
dan kreatifitas serta meningkatkan peran serta masyarakat dalam pembangunan.
Berkaitan dengan upaya pemberdayaan ekonomi lokal, meskipun
penyelenggaraan ekonomi daerah secara luas berada pada level pemerintahan
Kabupaten dan Kota, perlu disadari bahwa masalah penerapan otonomi daerah sangat
kompleks serta saling terkait satu sama lain. Masalah tersebut bersifat dinamis dan
pemecahannya memerlukan waktu, pemikiran yang cerdas dan campur tangan banyak
pihak.

3.1.2 Tujuan Otonomi Daerah


Menurut Smith (1985) dalam intan puspita (2009) tujuan otonomi daerah
dibedakan menjadi 2 kepentingan, yaitu: kepentingan pemerintah pusat dan
pemerintah daerah. Dari kepentingan pemerintah pusat tujuan utamanya adalah
pendidikan politik, pelatihan kepemimpinan, menciptakan stabilitas politik dan
mewujudkan demokratisasi sistem pemerintahan didaerah. Sementara, bila dilihat
dari sisi kepentingan pemerintah daerah ada 3 tujuan yaitu:
a. Untuk mewujudkan apa yang disebut sebagai political equality artinya melalui
otonomi daerah diharapkan akan lebih membuka kesempatan bagi masyarakat
untuk berpartisipasi dalam berbagai aktivitas politik ditingkat lokal atau
daerah.
7

b. Untuk menciptakan local accountability artinya dengan otonomi akan


meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak
masyarakat.
c. Untuk mewujudkan local responsiveness artinya dengan otonomi daerah
diharapkan akan mempermudah antisipasi terhadap berbagai masalah yang
muncul dan sekaligus meningkatkan akrelerasi pembangunan sosial dan
ekonomi daerah.
Selanjutnya, jika dilihat dari tujuan otonomi daerah menurut UU No 32 tahun
2004 yang diperbaharui dengan UU No 12 tahun 2008 pada dasarnya adalah sama
yaitu otonomi daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-
hasilnya, meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan peran serta
aktif masyarakat serta peningkatan potensi daerah secara optimal dan terpadu secara
nyata dan bertanggung jawab sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa,
mengurangi campur tangan pemerintah pusat di daerah yang akan memberikan
peluang untuk koordinasi tingkat lokal.

3.1.3 Prinsip-Prinsip Otonomi Daerah


Menurut Undang Undang no 32 tahun 2004 yang diperbaharui dengan UU No
12 tahun 2008 tentang pemerintah daerah dalam penjelasan umum bahwa otonomi
daerah menggunakan prinsip-prinsip sebagai berikut:
a. Prinsip otonomi seluas-luasnya, berarti bahwa daerah diberi kewenangan
mengurus dan mengatur semua urusan pemerintahan yang ditetapkan oleh
peraturan perundang-undangan daerah memiliki wewenang membuat
kebijakan daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peran serta,
prakarsa dan pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
b. Prinsip otonomi yang nyata, berarti suatu prinsip bahwa menangani urusan
pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban
8

yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan
berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.
c. Otonomi yang bertanggung jawab, berarti otonomi yang dalam
penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud
pemberian otonomi yang pada dasarnya untukmemberdayakan daerah
termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama
dari tujuan nasional.

3.1.4 Penyelenggaraan Pemerintah di Daerah


Pembangunan daerah sebagai suatu bagian dari pembangunan nasional
dilaksanakan berdasarkan prinsip otonomi daerah dan pengaturan sumber daya
nasional yang memberikan kesempatan bagi peningkatan demokrasi dan kinerja
daerah demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Penyelenggaraan pemerintah
daerah sebagai sub system pemerintah negara ditujukan untuk meningkatkan
efektivitas dan efisiensi dalam pelaksanaan pemerintahan dan pelayanan masyarakat.
Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam UU No. 32 tahun 2004 yang
diperbaharui dengan UU No 12 tahun 2008, pasal 20 ayat (2) bahwa dalam
penyelenggaraan pemerintahan, pemerintah menggunakan asas desentralisasi, tugas
pembantuan, dan dekonsentrasi sesuai denganperaturan perundang-undangan.
a. Asas Desentralisasi
Menurut UU No. 32 tahun 2004 yang diperbaharui dengan UU No 12 tahun
2008 pasal 1 ayat (7) yang dimaksud dengan desentralisasi adalah penyerahan
pemerintahan oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur
dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Wewenang yang telah diserahkan dalam rangka pelaksanaan asas
desentralisasi, pada dasarnya wewenang dan tanggung jawab sepenuhnya,
baik mengenai penentuan kebijakan, perencanaan, pelaksanaan maupun hal
yang menyangkut pembiayaan.
9

Bentuk nyata pelaksanaan desentralisasi adalah terbentuknya daerah otonom


yang selanjutnya disebut sebagai “Daerah” yaitu kesatuan masyarakat hukum
yang mempunyai batas-batas wilayah yang berwenang mengatur dan
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem
Negara Kesatuan Republik Indonesia ( UU No. 32 tahun 2004 yang
diperbaharui dengan UU No 12 tahun 2008 pasal 1 ayat 6 ). Pencerminan
sisitem penyelenggaraan pemerintahan yang menganut asas desentralisasi
adalah daerah yang mempunyai hak dan wewenang untuk menyusun
peraturan yang disebut peraturan daerah, serta menyusun APBD bersama
DPRD.
b. Asas Tugas Pembantuan
Dalam UU No. 32 tahun 2004 yang diperbaharui dengan UU No 12 tahun
2008 pasal 1 ayat 9 yang dimaksud dengan tugas pembantuan daerah adalah
penugasan dari pemerintah kepada daerah dan / desa, dari pemerintah propinsi
kepada kabupaten / kota dan / desa serta dari pemerintah kabupaten/kota
kepada desa untuk melaksanakan tugas tertentu. Dalam pelaksanaannya, tidak
semua urusan pemerintah dapat diserahkan kepada daerah, sehingga menjadi
urusan rumah tangganya sendiri.
c. Asas Dekonsentrasi
Dalam UU No. 32 tahun 2004 yang diperbaharui dengan UU no 12 tahun
2008 pasal 1 ayat 8 yang dimaksud dengan asas dekonsentrasi adalah
pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur
sebagai wakil pemerintah dan/atau kepada instansi vertical diwilayah tertentu.

3.2 Kemandirian Daerah Kota / Kabupaten


Kemandirian suatu daerah dalam era otonomi daerah mutlak diperlukan. Hal
ini menjadi penting, karena suatu daerah yang mandiri berarti tingkat ketergantungan
terhadap pemerintah pusat dapat dikatakan rendah bahkan mungkin tidak lagi
10

tergantung dengan pemerintah pusat. Kemandirian suatu daerah dapat dilihat dari
kinerja daerah dalam mengelola keuangannya.
Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonomi
terletak pada kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah otonom harus memiliki
kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri,
memngelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan kepada
bantuan pusat harus seminimal mungkin, sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD)
harus menjadi sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan
keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan
negara.
Kemampuan suatu daerah dalam mengelola keuangannya tercermin dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang disusun setiap tahun
anggaran. Komponen dalam APBD yang dapat mencerminkan kemandirian suatu
daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan bantuan dari pemerintah
pusat/propinsi. Tingkat kemandirian suatu daerah dapat diketahui dengan melakukan
perhitungan terhadap desentralisasi fiskal daerah, yang meliputi derajat desentralisasi
fiskal, kebutuhan fiskal, kapasitas fiskal dan upaya fiskal.

3.3 Desentalisasi Fiskal Daerah


Hubungan fiskal pemerintah pusat dan daerah dapat diartikan sebagai suatu
sistem yang mengatur bagaimana caranya sejumlah dana dibagi antar berbagai tingkat
pemerintahan, serta bagaimana cara mencari sumber-sumber pembiayaan daerah
untuk menunjang kegiatan-kegiatan sector publiknya. Penyelenggaraan keuangan
daerah bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam pelayanan
kepada masyarakat. Pelayanan masyarakat dibiayai oleh pemerintah pusat dan daerah.
Salah satu elemen yang diserahkan oleh pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah adalah desentralisasi fiskal (fiscal decentralisation) yang merupakan
komponen utama dari desentralisasi. Apabila pemerintah daerah melaksanakan
11

fungsinya secara efektif, maka harus didukung sumber-sumber keuangan yang


memadai baik yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), bagi hasil pajak dan
bukan pajak, maupun dari subsidi/bantuan dari pemerintah pusat. Penggunaan dana
dari pemerintah pusat dan pemerintah daerah akan mencerminkan gambaran tentang
desentralisasi fiskal daerah atau otonomi fiskal daerah.
Desentralisasi fiskal daerah adalah kemampuan pemerintah daerah dalam
meningkatkan PAD untuk membiayai pembangunan daerah. Dalam pelaksanaan
desentralisasi dibutuhkan dana perimbangan yang diberikan oleh pemerintah pusat
kepada pemerintah daerah untuk membiayai kebutuhan daerah, yang terdiri dari dana
alokasi umum dan dana alokasi khusus dengan tujuan pemerataan keuangan antar
daerah. Dengan adanya desentralisasi fiskal daerah, diharapkan akan mendorong
pemerintah daerah untuk mencari dan menggali sumber-sumber dana agar
penerimaanya meningkat.

3.4 Keuangan Daerah


Menurut UU No 32 tahun 2004 yang diperbaharui dengan UU No 12 tahun
2008 tentang pemerintah daerah, dalam penjelasan umum pasal 156 ayat (1)
disebutkan, pengertian keuangan daerah adalah semua hak dan kewajiban yang dapat
dinilai dengan uang dan segala sesuatu berupa uang dan barang yang dapat dijadikan
milik daerah yang berhubungan dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
Daerah diberikan hak untuk mendapatkan sumber keuangan yang antara lain berupa:
kepastian tersedianya pendanaan dari pemerintah pusat sesuai dengan urusan
pemerintah pusat yang diserahkan, kewenangan memungut dan mendayagunakan
pajak dan retribusi daerah dan hak untuk mendapatkan bagi hasil dari sumber-sumber
daya nasional yang berada didaerah dan perimbangan lainnya, hak untuk mengelola
kekayaan dareah dan mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah serta
sumber-sumber pembiayaan.
12

3.4.1 Sumber Pendapatan Daerah


Berdasarkan UU No 32 tahun 2004 yang diperbaharui dengan UU no 12 tahun
2008 pasal 1 ayat (15), pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui
sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan. Sumber
pendapatan daerah terdiri dari :
a. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Menurut UU No 33 tahun 2004 pasal 1 ayat (18), PAD adalah pendapatan
yang diperoleh daerah yang dipungut berdasarkan peraturan daerah sesuai
dengan peraturan perundang-undangan. PAD bertujuan memberikan
kewenangan kepada pemerintah daerah untuk mendanai pelaksanaan otonomi
daerah sesuai dengan potensi daerah sebagai perwujudan desentralisasi. PAD
terdiri dari :
1) Hasil Pajak Daerah
Pajak daerah adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi
atau badan kepada daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang,
yang dipaksakan berdasarkan peraturan perundangundangan yang
berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan
pemerintahan daerah dan pembangunan daerah (PP No. 65 tahun 2001
pasal 1 ayat 1 tentang Pajak Daerah. Yang termasuk dalam pajak
daerah tingkat kabupaten/kota adalah pajak hotel, restoran, pajak
hiburan, pajak reklame, pajak penerangan jalan, pajak pengambilan
dan pengolahan bahan galian golongan C dan pajak-pajak baru ( M.
Suparmoko, 2002:66 )
2) Hasil Retribusi Daerah
Retribusi daerah adalah pungutan daerah sebagai pembayaran atas jasa
atau pemberian ijin tertentu yang khusus disediakan dan/atau diberikan
oleh pemerintah daerah untuk kepentingan orang pribadi atau badan
(PP No. 66 tahun 2001 pasal 1 ayat (1) tentang Retribusi Pajak).
Sedangkan menurut Indra Bastian (2001:142) bahwa retribusi daerah
13

adalah pungutan yang dilakukan oleh pemerintah daerah atas


pelayanan dan penggunaan fasilitas-fasilitas umum yang disediakan
oleh pemerintah pemerintah daerah bagi kepentingan masyarakat
sesuai dengan peraturan daerah yang berlaku.
3) Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan
Sumber PAD berasal dari perusahaan daerah yaitu laba operasi
perusahaan daerah. Bagian laba usaha daerah merupakan penerimaan
daerah yang berasal dari perusahaan milik daerah dan pengelolaan
kekayaan daerah yang dipisahkan (Abdul Halim, 2002:65)
4) Lain-Lain Pendapatan Asli Daerah Yang Sah
Pendapatan lain PAD yang sah meliputi : hasil penjualan kekayaan
daerah yang tidak dapat dipisahkan, jasa giro, pendapatan bunga,
keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan
komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan
dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah (UU No. 33
tahun 2004 pasal6 ayat (2)).
b. Dana Perimbangan
Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang
dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka
pelaksanaan desentralisasi (UU No 33 tahun 2004 pasal 1 ayat 19). Menurut
UU No. 33 tahun 2004 pasal 10 tentang dana perimbangan antara pemerintah
pusat dan daerah, dana perimbangan terdiri dari :
1) Dana Bagi Hasil
Dana bagi hasil tersebut bersumber dari pajak dan sumber daya alam.
Dana yang bersumber dari pajak terdiri dari pajak bumi dan bangunan
(PBB), Bea Perolehan Atas Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan
pajak penghasilan (PPh) pasal 25 dan pasal 29 wajib pajak pribadi
dalam negri, danPPh pasal 21. sedangkan dana bagi hasil yang
bersumber dari sumber daya alam berasal dari :
14

kehutanan,pertambangan umum, perikanan, pertambangan minyak


bumi, pertambangan gas alam, dan pertambangan panas bumi.
2) Dana Alokasi Umum
Dana alokasi umum adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan dengan tujuan pemerataan keuangan antar
daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan
desentralisasi (UU No. 33 tahun 2004 pasal 1 ayat 21 ). Menurut UU
No. 33 tahun 2004, DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan
keuangan antar daerah melalui penerapan formula yang
mempertimbangkan kebutuhan dan potensi daerah.
3) Dana Alokasi Khusus
Dana alokasi khusus adalah dana yang bersumber dari pendapatan
APBN yang dialokasikan kepada daerah tertentu dengan tujuan untuk
membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah
dan sesuai dengan prioritas nasional (UU No 33 tahun 2004 pasal 1
ayat 23 ). DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-
kegiatan khusus didaerah tertentu yang merupakan urusan daerah
sesuai dengan prioritas nasional, khususnya untuk membiayai
kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat yang
belum mencapai standar tertentu atau untuk mendorong percepatan
pembangunan daerah.
c. Lain-Lain Pendapatan Yang Sah
Lain-lain pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan darurat,
pendapatan hibah adalah penerimaan daerah yang berasal dari pemerintah
negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, pemerintah,
badan/lembaga dalam negri atau perseorangan, baik dalam bentuk devisa,
rupiah maupun barang dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan pelatihan yang
tidak perlu dibayar kembali. Sedangkan pengertian dana darurat adalah dana
15

yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah yang mengalami
bencana nasioanl, peristiwa luar biasa dan/atau krisis solvabilitas (UU No. 33
tahun 2004 pasal 1 ayat 28 dan 29 )

3.4.2 Belanja Daerah


Menurut PERMENDAGRI Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 1 Ayat (51), Belanja
Daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai
kekayaan bersih. Penjelasan belanja daerah menurut PERMENDAGRI Nomor 13
Tahun 2006 Pasal 36 adalah sebagai berikut :
a. Belanja, menurut kelompok belanja terdiri dari :
1) Belanja tidak langsung
Kelompok belanja tidak langsung merupakan belanja yang
dianggarkan tidak terkait secara langsung dengan pelaksanaan
program dan kegiatan. Menurut PERMENDAGRI Nomor 13 Tahun
2006 Pasal 37, kelompok belanja tidak langsung dibagi menurut jenis
belanja yang terdiri dari :
a) Belanja pegawai
Belanja pegawai menurut PERMENDAGRI Nomor 13 Tahun
2006 Pasal 38 adalah sebagai berikut :
(1). Belanja pegawai merupakan belanja kompensasi, dalam
bentuk gaji dan tunjangan, serta penghasilan lainnyayang
diberikan kepada pegawai negeri sipil yangditetapkan
sesuai dengan ketentuan perundangundangan.
(2). Uang representasi dan tunjangan pimpinan dan anggota
DPRD serta gaji dan tunjangan kepala daerah dan wakil
kepala daerah serta penghasilan dan penerimaan lainnya
yang ditetapkan sesuai dengan peraturan
perundangundangan dianggarkan dalam belanja pegawai.
16

b) Belanja bunga
Belanja bunga menurut PERMENDAGRI Nomor 13 Tahun
2006 Pasal 40, digunakan untuk menganggarkan pembayaran
bunga utang yang dihitung atas kewajiban pokok utang
(principal outstanding) berdasarkan perjanjian pinjaman jangka
pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
c) Belanja subsidi
Belanja subsidi menurut PERMENDAGRI Nomor 13 Tahun
2006 Pasal 41 Ayat (1), digunakan untuk menganggarkan
bantuan biaya produksi kepada perusahaan / lembaga tertentu
agar harga jual produksi / jasa yang dihasilkan dapat terjangkau
oleh masyarakat banyak.
d) Belanja hibah
Belanja hibah menurut PERMENDAGRI Nomor 59 Tahun
2007 atas perubahan dari PERMENDAGRI Nomor 13 Tahun
2006 Pasal 42 dimana ayat (1) diubah, ayat (2), ayat (3) dan
ayat (4) dihapus serta diantara ayat (4) dan ayat (5) disisipkan 1
(satu) ayat baru yakni ayat (4a) sehingga menjadi :
(1). Belanja hibah digunakan untuk menganggarkan pemberian
hibah dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa kepada
pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan
daerah, masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan yang
secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya.
(2). Belanja hibah diberikan secara selektif dengan
mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah,
rasionalitas dan ditetapkan dengan keputusan kepala
daerah.
(3). Pemberian hibah dalam bentuk uang atau dalam bentuk
barang atau jasa dapat diberikan kepada pemerintah daerah
17

tertentu sepanjang ditetapkan dalam peraturan perundang-


undangan.
e) Bantuan sosial
Bantuan sosial menurut PERMENDAGRI Nomor 59 Tahun
2007 atas perubahan dari PERMENDAGRI Nomor 13 Tahun
2006 Pasal 45 dimana ayat (1), ayat (2) dan ayat (4) diubah,
dan disisipkan 1 (satu) ayat baru diantara ayat (2) dan ayat (3)
yakni ayat (2a) serta ayat (3) dihapus, sehingga menjadi :
(1). Belanja bantuan sosial digunakan untuk menganggarkan
pemberian bantuan yang bersifat sosial kemasyarakatan
dalam bentuk uang dan / atau barang kepada kelompok /
anggota masyarakat, dan partai politik.
(2). Bantuan sosial diberikan secara selektif, tidak terus
menerus / tidak mengikat serta memiliki kejelasan
peruntukan penggunaannya dengan mempertimbangkan
kemampuan keuangan daerah dan ditetapkan dengan
keputusan kepala daerah.
(3). Bantuan sosial yang diberikan secara tidak terus menerus /
tidak mengikat diartikan bahwa pemberian bantuan
tersebut tidak wajib dan tidak harus diberikan setiap tahun
anggaran.
(4). Khusus kepada partai politik, bantuan diberikan sesuai
dengan ketentuan peraturan perundang-undangan
dianggarkan dalam bantuan sosial.
f) Belanja bagi hasil
Belanja bagi hasil menurut PERMENDAGRI Nomor 13 Tahun
2006 Pasal 46, digunakan untuk menganggarkan dana bagi
hasil yang bersumber dari pendapatan provinsi kepada
kabupaten / kota atau pendapatan kabupaten / kota kepada
18

pemerintah desa atau pendapatan pemerintah daerah tertentu


kepada pemerintah daerah lainnya sesuai dengan ketentuan
perundang-undangan.
g) Bantuan keuangan
Bantuan keuangan menurut PERMENDAGRI Nomor 13
Tahun 2006 Pasal 47 Ayat (1), digunakan untuk
menganggarkan bantuan keuangan yang bersifat umum atau
khusus dari provinsi kepada kabupaten / kota, pemerintah desa,
dan kepada pemerintah daerah lainnya atau dari pemerintah
kabupaten / kota kepada pemerintah desa dan pemerintah
daerah lainnya dalam rangka pemerataan dan/atau peningkatan
kemampuan keuangan.
h) Belanja tidak terduga
Bantuan tidak terduga menurut PERMENDAGRI Nomor 13
Tahun 2006 Pasal 48 Ayat (1), merupakan belanja untuk
kegiatan yang sifatnya tidak biasa atau tidak diharapkan
berulang seperti penanggulangan bencana alam dan bencana
sosial yang tidak diperkirakan sebelumnya, termasuk
pengembalian atas kelebihan penerimaan daerah tahun-tahun
sebelumnya yang telah ditutup.
2) Belanja langsung.
Kelompok belanja langsung merupakan belanja yang dianggarkan
terkait secara langsung dengan pelaksanaan program dan kegiatan.
Menurut PERMENDAGRI Nomor 13 Tahun 2006 Pasal 50, kelompok
belanja langsung dibagi menurut jenis belanja yang terdiri dari :
a) Belanja pegawai
Belanja pegawai menurut PERMENDAGRI Nomor 13 Tahun
2006 Pasal 51, digunakan untuk pengeluaran honorarium /
19

upah dalam melaksanakan program dan kegiatan pemerintahan


daerah.
b) Belanja barang dan jasa
Belanja barang dan jasa menurut PERMENDAGRI Nomor 59
Tahun 2007 atas perubahan dari PERMENDAGRI Nomor 13
Tahun 2006 Pasal 52 adalah sebagai berikut :
(1). Belanja barang / jasa digunakan untuk menganggarkan
pengadaan barang dan jasa yang nilai manfaatnya kurang
dari 12 (duabelas) bulan dalam melaksanakan program dan
kegiatan pemerintahan daerah.
(2). Belanja barang / jasa berupa belanja barang pakai habis,
bahan / material, jasa kantor, premi asuransi, perawatan
kendaraan bermotor, cetak / penggandaan, sewa rumah /
gedung / gudang / parkir, sewa sarana mobilitas, sewa alat
berat, sewa perlengkapan dan peralatan kantor, makanan
dan minuman, pakaian dinas dan atributnya, pakaian kerja,
pakaian khusus dan hari-hari tertentu, perjalanan dinas,
perjalanan dinas pindah tugas dan pemulangan pegawai,
pemeliharaan, jasa konsultansi, dan lain-lain pengadaan
barang / jasa, dan belanja lainnya yang sejenis.
c) Belanja modal
Belanja modal menurut PERMENDAGRI Nomor 59 Tahun
2007 atas perubahan dari PERMENDAGRI Nomor 13 Tahun
2006 Pasal 53 dimana ayat (1) dan ayat (2) diubah dan ayat (3)
dihapus, serta ditambah 1 (satu) ayat yakni ayat (4), sehingga
menjadi :
(1). Belanja modal digunakan untuk pengeluaran yang
dilakukan dalam rangka pengadaan aset tetap berwujud
20

yang mempunyai nilai manfaat lebih dari 12 (duabelas)


bulan untuk digunakan dalam kegiatan pemerintahan.
(2). Nilai aset tetap berwujud yang dianggarkan dalam belanja
modal sebesar harga beli / bangun aset ditambah seluruh
belanja yang terkait dengan pengadaan/pembangunan aset
sampai aset tersebut siap digunakan.
(3). Kepala daerah menetapkan batas minimal kapitalisasi
(capitalization threshold) sebagai dasar pembebanan
belanja modal.

3.4.3 Pembiayaan
Menurut UU No 33 tahun 2004 pasal 1 ayat (15), pembiayaan adalah setiap
penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran yang akan diterima
kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran
berikutnya. Pembiayaan bersumber dari :
a. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) Tahun Lalu
Menurut PERMENDAGRI No 13 tahun 2006 pasal 137, Sisa lebih
perhitungan anggaran (SILPA) tahun sebelumnya merupakan penerimaan
pembiayaan yang digunakan untuk :
1) Menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil dari
pada realisasi belanja.
2) Mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung .
3) Mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun
anggaran yang belum diselesaikan.
b. Penerimaan Pinjaman Daerah
Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah
menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari
pihak lain, sehingga daerah dibebani kewajiban untuk membiayai kembali
(UU No. 32 tahun 2004 yang diperbaharui dengan UU No 12 tahun 2008
21

pasal 1 ). Sedangkan menurut UU No. 33 tahun 2004 pasal 51 ayat (1),


pinjaman daerah bersumber dari : pemerintah, pemerintah daerah lain,
lembaga keuangan bank, lembaga keuangan bukan bank, dan masyarakat
(Penyertaan modal obligasi).
c. Dana Cadangan Daerah
Dana cadangan daerah bersumber dari penyisihan atas penerimaan APBN
kecuali dari DAK, pinjaman daerah dan penerimaan lain yang penggunaanya
dibatasi untuk pengeluaran tertentu. Dibentuknya cadangan bertujuan untuk
memenuhi kebutuhan yang tidak dapat dibebankan dalam 1 tahun anggaran
yang ditetapkan dengan peraturan daerah (UU No. 32 tahun 2004 yang
diperbaharui dengan UU No 12 tahun 2008 pasal 1 ayat 4 ).
d. Hasil Penjualan Kekayaan Daerah Yang Dipisahkan

3.5 Kinerja Daerah


Untuk mengetahui kinerja pemerintah daerah dalam menghadapi otonomi
daerah, khususnya dibidang keuangan dapat digunakan analisis kinerja keuangan
daerah. Menurut Sukanto Reksohadiprojo dalam Intan Puspita (2009) untuk melihat
kinerja daerah dapat dilakukan perhitungan sebagai berikut :

3.5.1 Derajad desentralisasi fiskal


Dengan tujuan untuk mengetahui kemandirian suatu daerah otonom, yaitu
dengan membiayai pembangunan daerah, sebagian besar dananya dari PAD dan tidak
mengantungkan subsidi dari pemerintah pusat yang lebih besar dengan kriteria
kemandirian suatu daerah sebagai berikut :
Pendapatan Asli Daerah(PAD)
x 100
Total Penerimaan Daerah(TPD )
Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak Untuk Daerah( BHPBP)
x 100
Total Penerimaan Daerah(TPD)
22

Sumbangan Daerah( SB)


x 100
Total Penarimaan Daerah(TPD )
Apabila jumlah PAD lebih beser dari jumlah subsidi dari pemerintah pusat
berarti ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat semakin kecil dan
sebaliknya. Apabila jumlah PAD lebih kecil dari jumlah subsidi dari pemerintah
pusat berarti ketergantungan pemerintah pemerintah daerah kepada pemerintah pusat
semakin besar.

3.5.2 Kebutuhan fiskal


Untuk mengetahui kebutuhan fiskal pemerintah daerah di Kabupaten Jember,
maka dapat dilakukan perhitungan sebagai berikut :
a. Indek pelayanan publik perkapita pemerintah daerah Kabupaten Jember
adalah :
Indek Pelayanan Publik Perkapita (IPPP) =
Pengeluaran Perkapita untuk Jasa−Jasa Publik (PPP)
Standar Kebutuhan Fiskal( SKF )
Keterangan :
PPP = Jumlah pengeluaran rutin dan pembangunan per kapita masing- masing
daerah.
b. Rata-rata kebutuhan fiskal standar se-Jawa Timur adalah :
Standar Kebutuhan Fiskal (SKF) =
Jumlah Pengeluaran Daerah: Jumlah Penduduk
Jumlah Kabupaten
Semakin tinggi indeksnya, maka kebutuhan fiskal suatu daerah semakin besar.
Untuk mengetahui seberapa besar jumlah pengeluaran atau kebutuhan fiskal daerah
dan untuk mengetahui seberapa besar kemampuan penduduk untuk memenuhinya.
Apabila jumlah pengeluaran per kapita suatu daerah lebih besar dibandingkan dengan
standar kebutuhan fiskal, berarti kebutuhan fiskalnya besar. Apabila pemerintah
mampu mencukupi sebesar kebutuhan fiskal daerah tersebut berarti pemerintah
daerah sudah dianggap mampu.
23

3.5.3 Kapasitas fiskal


Sama halnya dengan perhitungan kebutuhan fiskal diatas, untuk standar yang
digunakan adalah data PDRB perkapita se-Jawa Tengah atas dasar harga berlaku.
Kapasitas fiskal pemerintah daerah kota Surakarta dapat dihitung sebagai berikut :
Jmlah PDRB : Jumlah Penduduk
Fiscal Capacity=
Kapasitas Fiskal Standar
Jumlah PDRB :Jumlah Penduduk
Kapasitas Fiskal Standar=
Jumlah Kabupaten
Keterangan :
PDRB = Produk Domestik Regional Bruto
Semakin tinggi hasilnya maka kapasitas fiskal suatu daerah semakin tinggi.
Untuk mengetahui kemampuan daerah dalam menghasilkan PAD yang kemudian
diserahkan kepada pemerintah daerah guna membiayai pembangunan daerah. Dengan
penilaian, apabila jumlah PAD yang diserahkan kepada pemerintah daerah lebih besar
dari jumlah kebutuhan fiskal daerah tersebut berarti potensi untuk mendapatkan PAD
didaerah tersebut cukup bagus tanpa ada subsidi dari pemerintah pusat.
Apabila pendapatan (kapasitas fiskal) lebih besar dari pengeluaran atau
kebutuhan fiskal sama dengan surplus, dapat dikatakan bahwa daerah tersebut sudah
mampu membiayai kebutuhan fiskal daerahnya dan apabila pendapatan atau kapasitas
fiskal kurangdari pengeluaran atau kebutuhan fiskal, sama dengan defisit, dapat
dikatakan daerah tersebut belum mampu membiayai sendiri kebutuhan fiskalnya dan
masih harus ditutup dengan subsidi daripemerintah pusat.

3.5.4 Upaya /posisi fiskal


Posisi fiskal dihitung denagn mencari koefisien elastisitas PAD terhadap
PDRB. Semakin elastis PAD, maka stuktur PAD didaerah akan semakin baik. Upaya
fiskal dapat dihitung sebagai berikut:
24

Elastisitas PAD terhadap PDRB harga berlaku =


Δ Pendapatan Asli Daerah
Δ Produk Domestik Reginal Bruto
Keterangan :
Δ = Perubahan

Untuk mengetahui tingkat PAD dengan laju pertumbuhan produk domestik


regional bruto dengan kriteria penilaian yaitu apabila PDRB naik 1% maka akan
berpengaruh pada PAD.

4. Metode Penelitian
4.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah studi empiris pada instansi pemerintah daerah
tingkat Kabupaten Jember yang digunakan untuk mengetahui kinerja pemerintah
daerah dari aspek keuangan.

4.2 Obyek Penelitian


Obyek penelitian yang mengambil lokasi di Pemerintah Kabupaten Jember
yang lebih menekankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)
tahun anggaran 2007-2008.

4.3 Jenis Data dan Sumber Data


1. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) di Kabupaten Jember
tahun anggaran 2006-2007.
2. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) penduduk di Kabupaten Jember
tahun anggaran 2006-2007.
3. Pendapatan Asli Daerah (PAD), pengeluaran pembangunan dan belanja rutin
di Kabupaten Jember tahun anggaran 2006-2007.
4. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) penduduk di Jawa Timur tahun
anggaran 2006-2007.
25

4.4 Teknik Pengumpulan Data


Analisis data yang digunakan dalam memperoleh data adalah teknik
dokumentasi, yaitu memperoleh data dari buku-buku literatur tentang APBD Kota
Surakarta, PDRB penduduk Kota Surakarta,serta PDRB penduduk JawaTimur mulai
tahun 2006-2007.

4.5 Teknik Analisis Data


Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif komparatif yaitu metode
yang bermanfaat dalam membantu memecahakan permasalahan yang aktual dengan
berusaha mengumpulkan, menyajikan, menganalisis, dan membandingkan data yang
ada. Metode deskriptif komparatif yang digunakan adalah time series, time series
adalah metode penelitian yang membandingkan kinerja keuangan daerah antar
pemerintah daerah Kabupaten Jember tahun anggaran 2006-2007.
Untuk mengetahui kinerja pemerintah daerah tingkat Kabupaten Jember
dalam menghadapi otonomi daerah, khususnya di bidang keuangan dapat digunakan
analisis kinerja keuangan daerah. Untuk mengetahui kinerja keuangan daerah
dilakukan perhitungan sebagai berikut :

4.5.1 Derajad desentralisasi fiskal


Dengan tujuan untuk mengetahui kemandirian suatu daerah otonom, yaitu
dengan membiayai pembangunan daerah, sebagian besar dananya dari PAD dan tidak
mengantungkan subsidi dari pemerintah pusat yang lebih besar dengan kriteria
kemandirian suatu daerah sebagai berikut :
Pendapatan Asli Daerah(PAD)
x100
Total Penerimaan Daerah(TPD )
Bagi Hasil Pajak dan Bukan Pajak Untuk Daerah( BHPBP)
x 100
Total Penerimaan Daerah(TPD)
Sumbangan Daerah( SB)
x 100
Total Penarimaan Daerah(TPD )
26

Apabila jumlah PAD lebih besar dari jumlah subsidi dari pemerintah pusat
berarti ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat semakin kecil dan
sebaliknya. Apabila jumlah PAD lebih kecil dari jumlah subsidi dari pemerintah
pusat berarti ketergantungan pemerintah pemerintah daerah kepada pemerintah pusat
semakin besar.

4.5.2 Kebutuhan fiskal


Untuk mengetahui kebutuhan fiskal pemerintah daerah di Kabupaten Jember
maka dapat dilakukan perhitungan sebagai berikut :
Indek pelayanan publik perkapita pemerintah daerah Kabupaten Jember adalah :
b. Indek pelayanan publik perkapita pemerintah daerah Kabupaten Jember
adalah :
Indek Pelayanan Publik Perkapita (IPPP) =
Pengeluaran Perkapita untuk Jasa−Jasa Publik (PPP)
Standar Kebutuhan Fiskal( SKF )
Keterangan :
PPP = Jumlah pengeluaran rutin dan pembangunan per kapita masing- masing
daerah.
c. Rata-rata kebutuhan fiskal standar se-Jawa Timur adalah :
Standar Kebutuhan Fiskal (SKF) =
Jumlah Pengeluaran Daerah: Jumlah Penduduk
Jumlah Kabupaten
Semakin tinggi indeksnya, maka kebutuhan fiskal suatu daerah semakin besar.
Untuk mengetahui seberapa besar jumlah pengeluara atau kebutuhan fiskal daerah
dan untuk mengetahui sebarapa besar kemampian pendudukuntuk memenuhinya.
Apabila jumlah pengeluaran per kapita suatu daerah lebih besar dibandingkan dengan
standar kebutuhan fiskal, berarti kebutuhan fiskalnya besar. Apabila pemerintah
mampu mencukupi sebesar kebutuhan fiskal daerahtersebut berarti pemerintah daerah
sudah dianggap mampu.
27

4.5.3 Kapasitas fiskal


Sama halnya dengan perhitungan kebutuhan fiskal diatas, untuk standar yang
digunakan adalah data PDRB perkapita se-Jawa Timur atas dasar harga berlaku.
Kapasitas fiskal pemerintah daerah kota Surakarta dapat dihitung sebagai berikut :
Jmlah PDRB : Jumlah Penduduk
Fiscal Capacity=
Kapasitas Fiskal Standar
Jumlah PDRB :Jumlah Penduduk
Kapasitas Fiskal Standar=
Jumlah Kabupaten
Keterangan :
PDRB = Produk Domestik Regional Bruto
Semakin tinggi hasilnya maka kapasitas fiskal suatu daerah semakin tinggi.
Untuk mengetahui kemampuan daerah dalam menghasilkan PAD yang kemudian
diserahkan kepada pemerintah daerah guna membiayai pembangunan daerah. Dengan
penilaian, apabila jumlah PAD yang diserahkan kepada pemerintah daerah lebih besar
dari jumlah kebutuhan fiskal daerah tersebut berarti potensi untuk mendapatkan PAD
didaerah tersebut cukup bagus tanpa ada subsidi dari pemerintah pusat.
Apabila pendapatan (kapasitas fiskal) lebih besar daripengeluaran atau
kebutuhan fiskal sama dengan surplus, dapat dikatakan bahwa daerah tersebut sudah
mampu membiayai kebutuhan fiskal daerahnya dan apabila pendapatan atau kapasitas
fiskal kurang dari pengeluaran atau kebutuhan fiskal, sama dengan defisit, dapat
dikatakan daerah tersebutbelum mampu membiayai sendiri kebutuhan fiskalnya dan
masih harus ditutup dengan subsidi dari pemerintah pusat.

4.5.4 Upaya /posisi fiskal


Posisi fiskal dihitung denagn mencari koefisien elastisitas PAD terhadap
PDRB. Semakin elastis PAD, maka stuktur PAD didaerah akan semakin baik. Upaya
fiskal dapat dihitung sebagai berikut:
Elastisitas PAD terhadap PDRB harga berlaku =
28

Δ Pendapatan Asli Daerah


Δ Produk Domestik Reginal Bruto
Keterangan :
Δ = Perubahan

Untuk mengetahui tingkat PAD dengan laju pertumbuhan produk domestik


regional bruto dengan kriteria penilaian yaitu apabila PDRB naik 1% maka akan
berpengaruh pada PAD.

DAFTAR PUSTAKA

Endro, Agus Suwarno dan Sularmi. 2006. Analisis Kinerja Pemerintah Daerah
dalam Menghadapi Otonomi Daerah Ditijau dari Aspek Keuangan (Studi Empiris
29

Pada Wilayah Karesidenan Surakarta). Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 5, No.
1, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Hal 28-50.

Halim, Abdul. 2002. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah : Akuntansi dan
Pengendalian Keuangan Daerah. Yogyakarta : UPP AMP YKPN.

Mardiasmo. 2002. Akuntansi Sektor Publik. ANDI, Yogyakarta.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor : 13 Tahun 2006. Tentang Pedoman


Pengelolaan Keuangan Daerah. 2007. Jakarta. Pustaka Yustisia.

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor : 59 Tahun 2007. Tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor : 58 Tahun 2005. Tentang


Pengelolaan Keuangan Daerah.

Reksohadiprojo, Sukanto. 2001. Ekonomika Publik. Yogyakarta : BPFE

Undang-Undang Nomor : 32 Tahun 2004. Tentang Pemerintah Daerah. 2008.


Bandung. Citra Umbara.

Undang-Undang Nomor : 33 Tahun 2004. Tentang Perimbangan Keuangan antara


Pemerintah Pusat dan Daerah. 2008. Bandung. Citra Umbara.

Widyawati, Lina. 2006. Analisis Perkembangan Kinerja Keuangan Daerah di


Kabupaten Magetan. Skripsi S1 FE-UMS, tidak dipublikasikan.
Wijayanti, Norma. 2007. Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Kabupaten
Boyolali Tahun Anggaran 2003-2005. Skripsi S1 FE-UMS, tidak dipublikasikan.
30

Wulandari, Anita. 2001. Kemampuan Keuangan Daerah : Studi Kasus Kota Jambi
dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jurnal Keuangan Akuntansi & Pemerintah
(JKAP), Vol. 5, Np. 2, Hal 17-32.

You might also like