Professional Documents
Culture Documents
PROPOSAL SKRIPSI
Oleh,
Dwi Aisah
NIM 070810301181
Dosen Pembimbing 1,
Dosen Pembimbing 2,
JURUSAN AKUNTANSI
FAKULTAS EKONOMI
UNIVERSITAS JEMBER
2010
2
2. Latar Belakang
Menurut M. Agus Santoso (2009) persoalan otonomi daerah di Indonesia
sampai saat ini masih menjadi bahan perbincangan sangat ramai, baik itu dikalangan
cendikiawan (akademisi), politisi, birokrasi dan bahkan di kalangan awampun ikut
andil membicarakan tentang otonomi daerah, apalagi hal ini sangat sulit dilakukan
karena Indonesia adalah negara yang berbentuk kesatuan, dengan luas wilayah yang
sangat luas, serta terbagi dalam bentuk pulau-pulau, hal ini akan membuat kesulitan
dalam pelaksanaan otonomi daerah, belum lagi perbedaan etnis, karena Indonesia
yang penduduknya di bagi dalam bentuk masyarakat dan budaya yang berbedabeda,
maka sangat wajarlah kalau perdebatan itu sampai kini belum menemukan kata
akhir. Terlepas dari perbincangan atau perdebatan dikalangan masyarakat, otonomi
daerah telah ditetapkan berlaku di Kesatuan Republik Indonesia(NKRI).....................
(mardiasmo) Oleh sebab itu hendaknya pemerintah dan masyarakat seutuhnya
mendukung dan membantu mensukseskan ketetapan tersebut. Karena pada
hakekatnya pembangunan daerah merupakan bagian integral dari pembangunan
nasional.
Sebagai kelanjutan perwujutan diberlakukannya otonomi daerah, pemerintah
pusat membuat suatu kebijakan tentang pemerintah daerah dimana pemerintah daerah
diberi kewenangan yang luas untuk mengatur rumah tangganya sendiri. Hal tersebut
sesuai dengan UU No 32 tahun 2004 yang diperbaharui dengan UU No 12 tahun
2008 tentang Pemerintah Daerah, sebagai revisi dari UU No 22 tahun 1999 tentang
Pemerintah Daerah. Menurut UU No 32 tahun 2004 yang diperbaharui dengan UU
No 12 tahun 2008 bahwa pemerintah dilaksanakan berdasarkan asas desentralisasi,
asas desentralisasi dan asas tugas pembantuan, maka dalam rangka desentralisasi
dibentuk dan disusun pemerintah propinsi dan pemerintah kota sebagai daerah
3
yang berasal dari pajak daerah dan retribusi daerah, yaitu menyempurnakan dan
mengoptimalkan penerimaan pajak daerah dan retribusi daerah yang telah ada serta
menerapkan pajak daerah dan retribusi daerah yang baru.
Sejalan dengan hal tersebut, kewenangan pemerintah pusat menjadi semakin
berkurang dan akan lebih berperan sebagai fasilitator sekaligus evaluator kepada
seluruh pemerintah daerah (baik propinsi, kabupaten, dan kota) atas pelaksaan
otonomi daerah yang sudah dan sedang berjalan.
Berdasarkan uraian diatas, mengetahui kesiapan atau tingkat kemandirian
suatu daerah dalam menghadapi otonomi daerah ditinjau dari aspek keuangan
merupakan hal yang sangat penting, karena melalui informasi tersebut pemerintah
dapat mengambil berbagai kebijakan kedepannya. Menurut Sukanto Reksohadiprojo
dalam intan puspita (2009) alat analisis yang dapat digunakan untuk menganalisis
kinerja keuangan daerah adalah dengan melakukan analisis otonomi fiskal daerah
atau otonomi desentralisasi fiskal. Otonomi desentralisasi fikal (local fiscal
autonomy) adalah kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan Pendapatan
Asli Daerah (PAD) yang merupakan salah satu aspek penting dalam otonomi daerah.
Berdasarkan latar belakang penelitian tersebut, maka penulis mengambil judul
penelitian: “Analisis Kinerja Keuangan Pemerintah Daerah Dalam Menghadapi
Otonomi Daerah (Studi Empiris pada Wilayah Kabupaten Jember Tahun Anggaran
2007-2008)”
2.3 Tujuan
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1. Mengetahui hasil analisis kinerja keuangan Kabupaten jember yang diukur
dengan derajat otonomi fiscal pada aspek derajat desentralisasi fiskal, kebutuhan
fiskal, kapasitas fiskal, dan upaya fiskal atau posisi fiskal tahun anggaran 2007
sampai dengan 2008
2. Mengetahui tingkat kemandirian Kabupaten Jember dalam menghadapai
otonomi daerah ditinjau dari hasil analisis kinerja keuangan tersebut
3. Tinjauan Pustaka
3.1 Otonomi Daerah
.........(mardiasmo)
6
yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan
berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah.
c. Otonomi yang bertanggung jawab, berarti otonomi yang dalam
penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud
pemberian otonomi yang pada dasarnya untukmemberdayakan daerah
termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama
dari tujuan nasional.
tergantung dengan pemerintah pusat. Kemandirian suatu daerah dapat dilihat dari
kinerja daerah dalam mengelola keuangannya.
Ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonom mampu berotonomi
terletak pada kemampuan keuangan daerah. Artinya, daerah otonom harus memiliki
kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri,
memngelola dan menggunakan keuangan sendiri yang cukup memadai untuk
membiayai penyelenggaraan pemerintahan daerahnya. Ketergantungan kepada
bantuan pusat harus seminimal mungkin, sehingga Pendapatan Asli Daerah (PAD)
harus menjadi sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan
keuangan pusat dan daerah sebagai prasyarat mendasar dalam sistem pemerintahan
negara.
Kemampuan suatu daerah dalam mengelola keuangannya tercermin dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) yang disusun setiap tahun
anggaran. Komponen dalam APBD yang dapat mencerminkan kemandirian suatu
daerah adalah Pendapatan Asli Daerah (PAD) dan bantuan dari pemerintah
pusat/propinsi. Tingkat kemandirian suatu daerah dapat diketahui dengan melakukan
perhitungan terhadap desentralisasi fiskal daerah, yang meliputi derajat desentralisasi
fiskal, kebutuhan fiskal, kapasitas fiskal dan upaya fiskal.
yang berasal dari APBN yang dialokasikan kepada daerah yang mengalami
bencana nasioanl, peristiwa luar biasa dan/atau krisis solvabilitas (UU No. 33
tahun 2004 pasal 1 ayat 28 dan 29 )
b) Belanja bunga
Belanja bunga menurut PERMENDAGRI Nomor 13 Tahun
2006 Pasal 40, digunakan untuk menganggarkan pembayaran
bunga utang yang dihitung atas kewajiban pokok utang
(principal outstanding) berdasarkan perjanjian pinjaman jangka
pendek, jangka menengah, dan jangka panjang.
c) Belanja subsidi
Belanja subsidi menurut PERMENDAGRI Nomor 13 Tahun
2006 Pasal 41 Ayat (1), digunakan untuk menganggarkan
bantuan biaya produksi kepada perusahaan / lembaga tertentu
agar harga jual produksi / jasa yang dihasilkan dapat terjangkau
oleh masyarakat banyak.
d) Belanja hibah
Belanja hibah menurut PERMENDAGRI Nomor 59 Tahun
2007 atas perubahan dari PERMENDAGRI Nomor 13 Tahun
2006 Pasal 42 dimana ayat (1) diubah, ayat (2), ayat (3) dan
ayat (4) dihapus serta diantara ayat (4) dan ayat (5) disisipkan 1
(satu) ayat baru yakni ayat (4a) sehingga menjadi :
(1). Belanja hibah digunakan untuk menganggarkan pemberian
hibah dalam bentuk uang, barang dan/atau jasa kepada
pemerintah atau pemerintah daerah lainnya, perusahaan
daerah, masyarakat, dan organisasi kemasyarakatan yang
secara spesifik telah ditetapkan peruntukannya.
(2). Belanja hibah diberikan secara selektif dengan
mempertimbangkan kemampuan keuangan daerah,
rasionalitas dan ditetapkan dengan keputusan kepala
daerah.
(3). Pemberian hibah dalam bentuk uang atau dalam bentuk
barang atau jasa dapat diberikan kepada pemerintah daerah
17
3.4.3 Pembiayaan
Menurut UU No 33 tahun 2004 pasal 1 ayat (15), pembiayaan adalah setiap
penerimaan yang perlu dibayar kembali dan atau pengeluaran yang akan diterima
kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran
berikutnya. Pembiayaan bersumber dari :
a. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SILPA) Tahun Lalu
Menurut PERMENDAGRI No 13 tahun 2006 pasal 137, Sisa lebih
perhitungan anggaran (SILPA) tahun sebelumnya merupakan penerimaan
pembiayaan yang digunakan untuk :
1) Menutupi defisit anggaran apabila realisasi pendapatan lebih kecil dari
pada realisasi belanja.
2) Mendanai pelaksanaan kegiatan lanjutan atas beban belanja langsung .
3) Mendanai kewajiban lainnya yang sampai dengan akhir tahun
anggaran yang belum diselesaikan.
b. Penerimaan Pinjaman Daerah
Pinjaman daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan daerah
menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari
pihak lain, sehingga daerah dibebani kewajiban untuk membiayai kembali
(UU No. 32 tahun 2004 yang diperbaharui dengan UU No 12 tahun 2008
21
4. Metode Penelitian
4.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah studi empiris pada instansi pemerintah daerah
tingkat Kabupaten Jember yang digunakan untuk mengetahui kinerja pemerintah
daerah dari aspek keuangan.
Apabila jumlah PAD lebih besar dari jumlah subsidi dari pemerintah pusat
berarti ketergantungan pemerintah daerah kepada pemerintah pusat semakin kecil dan
sebaliknya. Apabila jumlah PAD lebih kecil dari jumlah subsidi dari pemerintah
pusat berarti ketergantungan pemerintah pemerintah daerah kepada pemerintah pusat
semakin besar.
DAFTAR PUSTAKA
Endro, Agus Suwarno dan Sularmi. 2006. Analisis Kinerja Pemerintah Daerah
dalam Menghadapi Otonomi Daerah Ditijau dari Aspek Keuangan (Studi Empiris
29
Pada Wilayah Karesidenan Surakarta). Jurnal Akuntansi dan Keuangan, Vol. 5, No.
1, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Hal 28-50.
Halim, Abdul. 2002. Bunga Rampai Manajemen Keuangan Daerah : Akuntansi dan
Pengendalian Keuangan Daerah. Yogyakarta : UPP AMP YKPN.
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor : 59 Tahun 2007. Tentang Perubahan atas
Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Pedoman
Pengelolaan Keuangan Daerah.
Wulandari, Anita. 2001. Kemampuan Keuangan Daerah : Studi Kasus Kota Jambi
dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. Jurnal Keuangan Akuntansi & Pemerintah
(JKAP), Vol. 5, Np. 2, Hal 17-32.