You are on page 1of 12

Tarekat Naqsyabandiyah

April 17, 2007

Naqsyabandiyah merupakan salah satu tarekat sufi yang paling luas penyebaran nya, dan terdapat banyak di
wilayah Asia Muslim (meskipun sedikit di antara orang-orang Arab) serta Turki, Bosnia-Herzegovina, dan
wilayah Volga Ural. Bermula di Bukhara pada akhir abad ke-14, Naqsyabandiyah mulai menyebar ke
daerah-daerah tetangga dunia Muslim dalam waktu seratus tahun. Perluasannya mendapat dorongan baru
dengan munculnya cabang Mujaddidiyah, dinamai menurut nama Syekh Ahmad Sirhindi Mujaddidi Alf-i
Tsani (“Pembaru Milenium kedua”, w. 1624). Pada akhir abad ke-18, nama ini hampir sinonim dengan
tarekat tersebut di seluruh Asia Selatan, wilayah Utsmaniyah, dan sebagian besar Asia Tengah. Ciri yang
menonjol dari Tarekat Naqsyabandiyah adalah diikutinya syari’at secara ketat, keseriusan dalam beribadah
menyebabkan penolakan terhadap musik dan tari, serta lebih mengutamakan berdzikir dalam hati, dan
kecenderungannya semakin kuat ke arah keterlibatan dalam politik (meskipun tidak konsisten).

Sejarah
Kebanyakan orang Naqsyabandiyah Mujaddidiyah dalam dua abad ini menelusuri keturunan awal mereka
melalui Ghulam Ali (Syekh Abdullah Dihlavi [m. 1824]), karena pada awal abad ke-19 India adalah pusat
organisasi dan intelektual utama dari tarekat ini. Khanaqah (pondok) milik Ghulam Ali di Delhi menarik
pengikut tidak hanya dari seluruh India, tetapi juga dari Timur Tengah dan Asia Tengah. Hingga kini
Khanaqah masih tetap (pernah mengalami masa tidak aktif akibat perampasan Delhi oleh orang Inggris
pada tahun 1857). Namun fungsi Pan-Islami-nya sebagian besar diwarisi oleh para wakil dan pengganti
Ghulam Ali yang menetap di tempat-tempat lain di Dunia Muslim. Yang terpenting adalah para syekh yang
tinggal di Makkah dan Madinah: kedua kota suci ini menyebarkan Tarekat Naqsyabandiyah di banyak
tanah Muslim sampai terjadinya penaklukan Hijaz oleh kaum Wahabiyah pada 1925, yang mengakibatkan
dilarangnya seluruh aktivitas sufi. Demikianlah, Muhammad Jan Al-Makki (w. 1852), wakil Ghulam Ali di
Makkah, menerima banyak peziarah Turki dan Basykir, yang kemudian mendirikan cabang-cabang baru
Naqsyabandiyah di kampung halamannya. Pengganti Ghulam Ali yang pertama di Khanaqah Delhi, Abi
Sa’id, melewatkan beberapa waktu di Hijaz untuk menerima pengikut baru. Anak dan pengganti Abu Sa’id,
Syekh Ahmad Sa’id, memilih tinggal di Madinah setelah suatu peristiwa besar pada tahun 1857,
memindahkan arah

Naqsyahbandiyah India ke Hijaz untuk sementara. Ketiga putra Ahmad Sa’id sama-sama memperoleh
warisannya: dua orang pergi ke Mekkah dan menarik pengikut dari India serta Turki di sana. Sementara
yang ketiga, Muhammad Mazhhar, tetap di Madinah dan mengelola pengikut yang terdiri dari ulama dan
pengikut dari India, Turki Daghestan, Kazan, dan Asia Tengah. Namun, yang paling penting dari pengikut
Muhammad Mazhhar adalah seorang Arab, Muhammad Salih al-Zawawi dan murid-muridnya yang tidak
merasakan kebencian, yang umumnya ditujukan kepada Ulama Pribumi terhadap orang-orang non Arab
dalam masyarakat mereka.

Sebagai guru fiqih Syafi’i, dia memiliki akses khusus terhadap orang-orang Indonesia dan orang-orang
Melayu yang berkumpul di Hijaz, serta berkat al-Zawawi dan murid-muridnyalah Naqsyabandiyah dikenal
secara serius di Asia Tenggara. Di Pontianak di pantai barat Kalimantan, masih terdapat berbagai jejak
garis Naqsyabandiyah yang terpancar dari Hijaz ini.

Dorongan yang membawa Naqsyabandiyah ke zaman modern berasal dari pengganti Ghulam Ali yang
lainnya. Maulana Khalid al-Bagdhadi (w. 1827). Beliau mempunyai peranan yang penting di dalam
perkembangan tarekat ini sehinga keturunan dari para pengikutnya dikenal sebagai kaum Khalidiyah, dan
dia kadang-kadang dipandang sebagai “Pemburu” (Mujaddid) Islam pada abad ke-13, sebagaimana
Srihindi dipandang sebagai pemburu Milenium kedua. Khalidiyah tidak terlalu berbeda dengan para
leluhurnya Mujaddidiyah. Yang baru adalah usaha Maulana Khalid untuk menciptakan tarekat yang
terpusat dan disiplin, terfokus pada dirinya pribadi, dengan cara ibadah yang disebut Rabithah (“petautan”)
atau konsentrasi pada citra Maulana Khalid sebelum berdzikir. Usaha ini selanjutnya terkait dengan sikap
politik, aktivitas, yang bertujuan untuk mengamankan supremasi syari’at dalam masyarakat Muslim dan
menolak agresi Eropa. Setelah kematian Maulana Khalid, tidak ada kepemimpinan yang terpusat, tetapi
sikap politik yang mendasari upaya tersebut tetap hidup.

Lahir di Distrik Syahrazur di Kurdistan Selatan pata 1776, Maulana Khalid melewatkan waktu sekitar satu
tahun bersama Ghulam Ali di Delhi sebelum kembali ke kampung halamannya pada 1881 dengan
“wewenang lengkap dan mutlak” sebagai wakilnya. Sebelum meninggalkan Delhi, Maulana Khalid
memberi tahu gurunya bahwa tujuan utamanya adalah untuk “mencari dunia ini demi agama”, dari tiga
tempat tinggalnya setelah itu Sulaimaniyah, Bagdad dan Damaskus, beliau mendirikan jaringan 116 wakil,
yang masing-masing dengan tanggung jawab yang jelas batas geografisnya. Murid-muridnya mencakup
tidak hanya anggota-anggota hierarki agama pemerintahan “Utsmaniyah”, tetapi juga sejumlah gubernur
provinsi dan tokoh militer yang sangat penting dalam memajukan wibawa Khalidiyah adalah wakil kedua
Maulana Khalid di Istambul, Abdul al-Wahhab al-Susi, yang merekrut Makkizada Musthafa Asim, syekh
al-Islam masa itu ke dalam tarekat ini. Usaha untuk meraih pengaruh atas kebijakan Utsmaniyah yang
disiratkan oleh berbagai upaya ini tidak pernah benar-benar berhasil.

Namun, terjadi semacam penyejajaran antara Khalidiyah dengan negara Utsmaniyah pada masa
pemeritahan Abdulhamid II, yang berteman dengan Khalidiyah terkemuka di Istambul, Ahmed Ziyauddin
Gumushanevi (w. 1893). Kepentingan Gumushanevi jauh mentransendenkan yang politis: tulisannya yang
dimiliki banyak mengenai sufisme pada umumnya dan Naqsyabandiyah pada khususnya, mewakili puncak
sastra sufi Utsmaniyah besar yang terakhir. Sebaliknya, Adbulhamid sangat ditentang oleh Syekh
Naqsyabandiyah yang menonjol lainnya, Muhamad As’ad dari Ibril wilayah Irak Utara.

Pengaruh Maulana Khalid mungkin paling nampak di kampung halamannya, Kurdistan. Cabang
Naqsyabandiyah yang beliau perkenalkan di sana sepenuhnya memudarkan pengaruh “Qadiriyah”, yang
sebelumnya merupakan tarekat paling menonjol di wilayah Kurdistan, dan memunculkan sejumlah
keluarga sebagai pemimpin turunan tarekat itu, serta memegang kepemimpinan dalam urusan negara
Kurdistan. Hubungan keturunan Naqsyabandiyah dengan separatisme Kurdistan, dan kemudian
nasionalisme, pertama kali terlihat dalam pemberontakan besar Kurdistan 1880 yang dipimpim oleh
Ubaidillah dari Syamdinan, yang berhasil membebaskan diri, untuk sementara, sebagian besar orang
Kurdistan Iran dari kendali Iran. Keluarga Barzani juga mampu mendominasi ungkapan nasionalisme Irak
selama beberapa puluh tahun melalui wibawa Naqsabandiyah yang diwarisinya.

Khalidiyah juga mengakar dengan cepat dan tepat di Daghestan, wilayah pegunungan yang terletak di
pertemuan Kaukasus dan Rusia Selatan.

Wilayah ini pertama kali diperkenalkan dengan Naqsyabandiyah pada akhir abad ke-18, tetapi kedatangan
Khalidiyah yang membuat wilayah itu menjadi daerah Naqsyabandi semasa hidup Maulana Khalid.
Penekanan ganda Khalidiyah di Daghestan adalah penggantian hukum-kebiasaan (cotumary law) non Islam
menjadi syari’at dan perlawanan terhadap pemerintah Rusia. Pemimpin Naqsyabandiyah pertama untuk
orang Daghestan adalah Ghazi Muhammad, yang meninggal dibunuh oleh orang Rusia pada 1832, dan
penggantinya dua tahun kemudian mengalami nasib yang sama. Sebaliknya Syamil, yang kemudian
mengambil kepemimpinan gerakan itu, mampu menahan Rusia hingga 159, salah satu perlawanan Muslim
terhadap imperialisme Eropa yang terlama dan terkenal. Pengaruh Naqsyabandiyah di Daghestan ternyata
sulit dicabut; kaum Naqsyabandiyah aktif dalam pemberontakan 1877 oleh Daghestan dan Chechenia yang
berjaya pada rentang waktu antara runtuhnya tsar Rusia dan pembentukan pemerintahan Soviet.

Wilayah populasi Muslim lain yang diperintah oleh Rusia yang ternyata menerima Khalidiyah adalah
Volga-Ural (sekarang Tatarstan dan Baskira).

Wakil Maulana Khalid di Makkah, Abdullah Makki (Erzincani), menerima seorang murid dari Kazan,
Fatsullah Menavusi; namun, yang pengaruhnya terbukti menentukan adalah pengikut Ghumushaveni asal
Basykar, Syekh Zainullah Rasulev dari Troisk. Semula Rasulev adalah pengikut garis mujaddidiyah yang
pergi ke Bukhara, kemudian mengalihkan kesetiaanya kepada Gumushaveni setelah berkunjung ke
Istambul pada 1870. Ketika kembali, dia mempropagandakan Khalidiyah sehingga membangkitkan
permusuhan dari para pesaingnya dan menimbulkan kecurigaan dari pihak berwenang Rusia; hal ini
mengakibatkan Rasulev dipenjara dan diasingkan. Kemudian bebas lagi pada 1881 dia memperkukuh dan
memperkuat pengikutnya sehingga ratusan murid berada di bawah pengaruhnya; mereka tidak hanya
tersebar diwilayah Volga-Ural, tetapi juga di Kazakhstan dan Siberia. Tatkala kematian tiba pada 1917, dia
disebut sebagai “raja spiritual rakyatnya”, dan setelah kematiannya wibawa Rasulev tetap terus bergaung
sampai pada periode Soviet: tiga kepala Direktorat Spiritual untuk kaum Muslim Rusia Eropa dan Siberia
yang berfungsi di bawah pengawasan Soviet adalah murid-murid Rasulev.

Akhirnya, Khalidiyah memastikan pula penanaman pengaruh Naqsyabandiyah secara permanen di dunia
Melayu Indonesia. Abdullah Makki mempunyai murid dari Sumatera yaitu Ismail Minangkabawi. Setelah
lama menetap di Makkah, Minangkabawi menetap di Penyengat wilayah kepulauan Riau. Di sana, ia
memperoleh kesetiaan dari keluarga pemerintahan, yang sudah mulai diperkenalkan pada Naqsyabandiyah
oleh Duta-duta pemerintah yang dikirim dari Madinah oleh Muhammad Mazhhar. Dia juga pergi ke
Melayu hingga Kedah, mempropagandakan Khalidiyah ke mana pun ia pergi. Namun usahanya merupakan
rintisan, dan digantikan oleh kegiatan dua Khalidiyah yang tinggal di Makkah yaitu Khalil Hamdi Pasya
dan Syekh Sulaiman Zuhdi. Kenyataan bahwa kedua orang ini adalah pesaing, saling menuduh bahwa yang
lainnya adalah menyimpang dari prinsip Naqsyabandiyah, menyiratkan betapa dunia Melayu Indonesia
menjadi sumber pengikut yang kaya untuk Naqsyabandiyah. Dalam jangka panjang, Sulaiman Zuhdi lebih
berhasil dari pada pesaingya, hingga Jabal Abi Qubais di Makkah, tempat dia tinggal, dipandang sebagai
sumber seluruh Tarekat Naqsyabandiyah di Asia Tenggara. Di antara murid ini banyak yang mendirikan
Khalidiyah di berbagai tempat di Sumatera, Jawa dan Sulawesi, yang paling penting adalah Abdil Wahab
Rokan (w. 1926). Beliau dikirim dari Makkah pada tahun 1868 dengan misi untuk menyebarkan
Khalidiyah di seluruh Sumatera, dari Aceh sampai Palembang — misi yang beliau dilaksanakan dengan
sukses besar adalah dari pesantrennya di Bab Al-Salam, Lengkat-Tinggal menetap selama tiga tahun di
Johor, dan memungkinkan dia untuk memperluas pengaruhnya lebih jauh ke Semenanjung Malaya.

Praktik Naqsyabandiyah di Dunia Melayu Indonesia sejak dini sangat berbeda dengan adanya ritual yang
disebut dengan suluk, yakni menyendiri dengan jangka waktu yang berbeda-beda dan sebagian diiringi
dengan puasa. Asal usul praktik ini sangat berbeda dengan tradisi Naqsyabandiyah yang tidak diketahui.
Putusnya hubungan dengan Makkah akibat penaklukan Hijaz oleh kaum Wahabiyah makin menambah ciri
khas bagi kaum Naqsyabandiyah di Melayu Indonesia.

Peran Politik
Tidak semua perkembangan formatik yang berkenaan dengan Naqsyabandiyah berkaitan dengan Ghulam
Ali Dihlavi dan keturunannya. Salah satu keturunan dari Ahmad Sirhindi didirikan di Syur Bazar di
pinggiran Kabul pada pertengahan abad ke-19, dan para anggota cabang ini memainkan peranan penting
dalam urusan negara Afghanistan hingga pembentukan negara pasca Komunis pertama pada tahun 1991. Di
tempat lain di Asia Tengah, Naqsyabandiyah dari berbagai keturunan menonjol dalam perlawanannya
terhapap Rusia dan sesudahnya. Dengan demikian pertahanan Goktepe oleh para Turkmen Akhel-Tekke
diarahkan oleh seorang pengikut Naqysabandiyah, yaitu Muhammad Ali Ihsan (Dukchi Ikhsan).
Naqsyabandiyah juga memimpin pemberontakan melawan pemerintah Cina di Xinjing pada tahun 1863
dan 1864 dan di Shannxi serta Gunsu antara 1862 dan 1873.

Ciri khas yang ditunjukan oleh kelompok Naqyabandiyah ini sering digambarkan dalam negara modern,
terutama di Turki. Namun, di Turkli perlawanan Naqsyabandiyah terhadap sekulerisme selalu bersifat pasif
(kecuali pemberontakan Sa’id). Penggambaran peristiwa Menemen 1931 sebagai konspirasi
Naqsyabandiyah yang menyebabkan Syekh Muhammad As’ad (Mehmed Esad) dihukum mati secara adil,
sekarang diragukan.

Sejumlah pemimpin Naqsyabandiyah menjadi orang penting sebagai guru spiritual dan intelektual:
Mahmud Sami Ramazanoglu (w. 1984), pengganti Syekh Muhammad As’ad. Mehmed Zahid Kotku
(w.1980), keturunan spiritual dari Gumushanevi bersama penggantinya Esad Gosan (sampai sekarang
masih hidup) dan Resit Erol (w. 1994). Kegiatan mengajar para syekh ini beserta syekh lainnya secara
alamiah memiliki pengaruh politik, namun cenderung mengarah pada pengintegrasian Naqsyabandiyah ke
dalam struktur Republik Turki, dan bukan penolakan terhadap struktur tersebut. Penting dicatat bahwa
beberapa pemimpin Naqsyabandiyah hadir secara menonjol di pemakaman Presiden Turki, Turgut Ozal
pada 1993.

Kaum Naqsyabandiyah dalam jumlah dan kekuatan intelektualnya, tidak dapat digambarkan secara
seragam dalam Dunia Islam sekarang ini.

Pengaruh mereka mungkin paling kuat di Turki dan wilayah Kurdistan, dan yang paling lemah adalah di
Pakistan. Pada masa pemerintahan Soviet, pengaruh Naqsyabandiyah sangat terasa pada gerakan “Islam
bawah tahan” di Kaukasus Asia Tengah. Namun, pada akhirnya pemerintahan Soviet tidak diikuti
perkembangan Naqsyabandiyah di permukaan.

Berbagai Ritual dan Teknik Spiritual Naqsyabandiyah


Seperti tarekat-tarekat yang lain, Tarekat Naqsyabandiyah itu pun mempunyai sejumlah tata-cara
peribadatan, teknik spiritual dan ritual tersendiri. Memang dapat juga dikatakan bahwa Tarekat
Naqsyabandiyah terdiri atas ibadah, teknik dan ritual, sebab demikianlah makna asal dari istilah thariqah,
“jalan” atau “marga”. Hanya saja kemudian istilah itu pun mengacu kepada perkumpulan orang-orang yang
mengamalkan “jalan” tadi.

Naqsyabandiyah, sebagai tarekat terorganisasi, punya sejarah dalam rentangan masa hampir enam abad,
dan penyebaran yang secara geografis meliputi tiga benua. Maka tidaklah mengherankan apabila warna dan
tata cara Naqsyabandiyah menunjukkan aneka variasi mengikuti masa dan tempat tumbuhnya. Adaptasi
terjadi karena keadaan memang berubah, dan guru-guru yang berbeda telah memberikan penekanan pada
aspek yang berbeda dari asas yang sama, serta para pembaharu menghapuskan pola pikir tertentu atau
amalan-amalan tertentu dan memperkenalkan sesuatu yang lain. Dalam membaca pembahasan mengenai
berbagai pikiran dasar dan ritual berikut, hendaknya selalu diingat bahwa dalam pengamalannya sehari-hari
variasinya tidak sedikit.

Asas-asas
Penganut Naqsyabandiyah mengenal sebelas asas Thariqah. Delapan dari asas itu dirumuskan oleh ‘Abd al-
Khaliq Ghuzdawani, sedangkan sisanya adalah penambahan oleh Baha’ al-Din Naqsyaband. Asas-asas ini
disebutkan satu per satu dalam banyak risalah, termasuk dalam dua kitab pegangan utama para penganut
Khalidiyah, Jami al-’Ushul Fi al-’Auliya. Kitab karya Ahmad Dhiya’ al-Din Gumusykhanawi itu dibawa
pulang dari Makkah oleh tidak sedikit jamaah haji Indonesia pada akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20.
Kitab yang satu lagi, yaitu Tanwir al-Qulub oleh Muhammad Amin al-Kurdi dicetak ulang di Singapura
dan di Surabaya, dan masih dipakai secara luas. Uraian dalam karya-karya ini sebagian besar mirip dengan
uraian Taj al-Din Zakarya (“Kakek” spiritual dari Yusuf Makassar) sebagaimana dikutip Trimingham.
Masing-masing asas dikenal dengan namanya dalam bahasa Parsi (bahasa para Khwajagan dan kebanyakan
penganut Naqsyabandiyah India).

Asas-asasnya ‘Abd al-Khaliq adalah:

1. Hush dar dam: “sadar sewaktu bernafas”. Suatu latihan konsentrasi: sufi yang bersangkutan
haruslah sadar setiap menarik nafas, menghembuskan nafas, dan ketika berhenti sebentar di antara
keduanya. Perhatian pada nafas dalam keadaan sadar akan Allah, memberikan kekuatan spiritual
dan membawa orang lebih hampir kepada Allah; lupa atau kurang perhatian berarti kematian
spiritual dan membawa orang jauh dari Allah (al-Kurdi).
2. Nazar bar qadam: “menjaga langkah”. Sewaktu berjalan, sang murid haruslah menjaga langkah-
langkahnya, sewaktu duduk memandang lurus ke depan, demikianlah agar supaya tujuan-tujuan
(ruhani)-nya tidak dikacaukan oleh segala hal di sekelilingnya yang tidak relevan.
3. Safar dar watan: “melakukan perjalanan di tanah kelahirannya”. Melakukan perjalanan batin,
yakni meninggalkan segala bentuk ketidaksempurnaannya sebagai manusia menuju kesadaran
akan hakikatnya sebagai makhluk yang mulia. [Atau, dengan penafsiran lain: suatu perjalanan
fisik, melintasi sekian negeri, untuk mencari mursyid yang sejati, kepada siapa seseorang
sepenuhnya pasrah dan dialah yang akan menjadi perantaranya dengan Allah (Gumusykhanawi)].
4. Khalwat dar anjuman: “sepi di tengah keramaian”. Berbagai pengarang memberikan bermacam
tafsiran, beberapa dekat pada konsep “innerweltliche Askese” dalam sosiologi agama Max Weber.
Khalwat bermakna menyepinya seorang pertapa, anjuman dapat berarti perkumpulan tertentu.
Beberapa orang mengartikan asas ini sebagai “menyibukkan diri dengan terus menerus membaca
dzikir tanpa memperhatikan hal-hal lainnya bahkan sewaktu berada di tengah keramaian orang”;
yang lain mengartikan sebagai perintah untuk turut serta secara aktif dalam kehidupan
bermasyarakat sementara pada waktu yang sama hatinya tetap terpaut kepada Allah saja dan selalu
wara’. Keterlibatan banyak kaum Naqsyabandiyah secara aktif dalam politik dilegitimasikan (dan
mungkin dirangsang) dengan mengacu kepada asas ini.
5. Yad kard: “ingat”, “menyebut”. Terus-menerus mengulangi nama Allah, dzikir tauhid (berisi
formula la ilaha illallah), atau formula dzikir lainnya yang diberikan oleh guru seseorang, dalam
hati atau dengan lisan. Oleh sebab itu, bagi penganut Naqsyabandiyah, dzikir itu tidak dilakukan
sebatas berjamaah ataupun sendirian sehabis shalat, tetapi harus terus-menerus, agar di dalam hati
bersemayam kesadaran akan Allah yang permanen.
6. Baz gasyt: “kembali”, ” memperbarui”. Demi mengendalikan hati supaya tidak condong kepada
hal-hal yang menyimpang (melantur), sang murid harus membaca setelah dzikir tauhid atau ketika
berhenti sebentar di antara dua nafas, formula ilahi anta maqsudi wa ridlaka mathlubi (Ya
Tuhanku, Engkaulah tempatku memohon dan keridlaan-Mulah yang kuharapkan). Sewaktu
mengucapkan dzikir, arti dari kalimat ini haruslah senantiasa berada di hati seseorang, untuk
mengarahkan perasaannya yang halus kepada Tuhan semata.
7. Nigah dasyt: “waspada”. Yaitu menjaga pikiran dan perasaan terus-menerus sewaktu melakukan
dzikir tauhid, untuk mencegah agar pikiran dan perasaan tidak menyimpang dari kesadaran yang
tetap akan Tuhan, dan untuk memlihara pikiran dan perilaku seseorang agar sesuai dengan makna
kalimat tersebut. Al-Kurdi mengutip seorang guru (anonim): “Kujaga hatiku selama sepuluh hari;
kemudian hatiku menjagaku selama dua puluh tahun.”
8. Yad dasyt: “mengingat kembali”. Penglihatan yang diberkahi: secara langsung menangkap Zat
Allah, yang berbeda dari sifat-sifat dan nama-namanya; mengalami bahwa segalanya berasal dari
Allah Yang Esa dan beraneka ragam ciptaan terus berlanjut ke tak berhingga. Penglihatan ini
ternyata hanya mungkin dalam keadaan jadzbah: itulah derajat ruhani tertinggi yang bisa dicapai.

Asas-asas Tambahan dari Baha al-Din Naqsyabandi:

1. Wuquf-i zamani: “memeriksa penggunaan waktu seseorang”. Mengamati secara teratur bagaimana
seseorang menghabiskan waktunya. (Al-Kurdi menyarankan agar ini dikerjakan setiap dua atau
tiga jam). Jika seseorang secara terus-menerus sadar dan tenggelam dalam dzikir, dan melakukan
perbuatan terpuji, hendaklah berterimakasih kepada Allah, jika seseorang tidak ada perhatian atau
lupa atau melakukan perbuatan berdosa, hendaklah ia meminta ampun kepada-Nya.
2. Wuquf-i ‘adadi: “memeriksa hitungan dzikir seseorang”. Dengan hati-hati beberapa kali seseorang
mengulangi kalimat dzikir (tanpa pikirannya mengembara ke mana-mana). Dzikir itu diucapkan
dalam jumlah hitungan ganjil yang telah ditetapkan sebelumnya.
3. Wuquf-I qalbi: “menjaga hati tetap terkontrol”. Dengan membayangkan hati seseorang (yang di
dalamnya secara batin dzikir ditempatkan) berada di hadirat Allah, maka hati itu tidak sadar akan
yang lain kecuali Allah, dan dengan demikian perhatian seseorang secara sempurna selaras dengan
dzikir dan maknanya. Taj al-Din menganjurkan untuk membayangkan gambar hati dengan nama
Allah terukir di atasnya.

Zikir dan Wirid


Teknik dasar Naqsyabandiyah, seperti kebanyakan tarekat lainnya, adalah dzikir yaitu berulang-ulang
menyebut nama Tuhan ataupun menyatakan kalimat la ilaha illallah. Tujuan latihan itu ialah untuk
mencapai kesadaran akan Tuhan yang lebih langsung dan permanen. Pertama sekali, Tarekat
Naqsyabandiyah membedakan dirinya dengan aliran lain dalam hal dzikir yang lazimnya adalah dzikir
diam (khafi, “tersembunyi”, atau qalbi, ” dalam hati”), sebagai lawan dari dzikir keras (dhahri) yang lebih
disukai tarekat-tarekat lain. Kedua, jumlah hitungan dzikir yang mesti diamalkan lebih banyak pada
Tarekat Naqsyabandiyah daripada kebanyakan tarekat lain.
Dzikir dapat dilakukan baik secara berjamaah maupun sendiri-sendiri. Banyak penganut Naqsyabandiyah
lebih sering melakukan dzikir secara sendiri-sendiri, tetapi mereka yang tinggal dekat seseorang syekh
cenderung ikut serta secara teratur dalam pertemuan-pertemuan di mana dilakukan dzikir berjamaah. Di
banyak tempat pertemuan semacam itu dilakukan dua kali seminggu, pada malam Jum’at dan malam
Selasa; di tempat lain dilaksanakan tengah hari sekali seminggu atau dalam selang waktu yang lebih lama
lagi.

Dua dzikir dasar Naqsyabandiyah, keduanya biasanya diamalkan pada pertemuan yang sama, adalah dzikir
ism al-dzat, “mengingat yang Haqiqi” dan dzikir tauhid, ” mengingat keesaan”. Yang duluan terdiri dari
pengucapan asma Allah berulang-ulang dalam hati, ribuan kali (dihitung dengan tasbih), sambil
memusatkan perhatian kepada Tuhan semata. Dzikir Tauhid (juga dzikir tahlil atau dzikir nafty wa itsbat)
terdiri atas bacaan perlahan disertai dengan pengaturan nafas, kalimat la ilaha illa llah, yang dibayangkan
seperti menggambar jalan (garis) melalui tubuh. Bunyi la permulaan digambar dari daerah pusar terus ke
hati sampai ke ubun-ubun. Bunyi Ilaha turun ke kanan dan berhenti pada ujung bahu kanan. Di situ, kata
berikutnya, illa dimulai dengan turun melewati bidang dada, sampai ke jantung, dan ke arah jantung inilah
kata Allah di hujamkan dengan sekuat tenaga. Orang membayangkan jantung itu mendenyutkan nama
Allah dan membara, memusnahkan segala kotoran.

Variasi lain yang diamalkan oleh para pengikut Naqsyabandiyah yang lebih tinggi tingkatannya adalah
dzikir latha’if. Dengan dzikir ini, orang memusatkan kesadarannya (dan membayangkan nama Allah itu
bergetar dan memancarkan panas) berturut-turut pada tujuh titik halus pada tubuh. Titik-titik ini, lathifah
(jamak latha’if), adalah qalb (hati), terletak selebar dua jari di bawah puting susu kiri; ruh (jiwa), selebar
dua jari di atas susu kanan; sirr (nurani terdalam), selebar dua jari di atas putting susu kanan; khafi
(kedalaman tersembunyi), dua jari di atas puting susu kanan; akhfa (kedalaman paling tersembunyi), di
tengah dada; dan nafs nathiqah (akal budi), di otak belahan pertama. Lathifah ketujuh, kull jasad sebetulnya
tidak merupakan titik tetapi luasnya meliputi seluruh tubuh. Bila seseorang telah mencapai tingkat dzikir
yang sesuai dengan lathifah terakhir ini, seluruh tubuh akan bergetar dalam nama Tuhan. Konsep latha’if
— dibedakan dari teknik dzikir yang didasarkan padanya — bukanlah khas Naqsyabandiyah saja tetapi
terdapat pada berbagai sistem psikologi mistik. Jumlah latha’if dan nama-namanya bisa berbeda;
kebanyakan titik-titik itu disusun berdasarkan kehalusannya dan kaitannya dengan pengembangan spiritual.

Ternyata latha’if pun persis serupa dengan cakra dalam teori yoga. Memang, titik-titik itu letaknya berbeda
pada tubuh, tetapi peranan dalam psikologi dan teknik meditasi seluruhnya sama saja.

Asal-usul ketiga macam dzikir ini sukar untuk ditentukan; dua yang pertama seluruhnya sesuai dengan
asas-asas yang diletakkan oleh ‘Abd Al-Khaliq Al-Ghujdawani, dan muntik sudah diamalkan sejak pada
zamannya, atau bahkan lebih awal. Pengenalan dzikir latha’if umumnya dalam kepustakaan
Naqsyabandiyah dihubungkan dengan nama Ahmad Sirhindi. Kelihatannya sudah digunakan dalam Tarekat
Kubrawiyah sebelumnya; jika ini benar, maka penganut Naqsyabandiyah di Asia Tengah sebetulnya sudah
mengenal teknik tersebut sebelum dilegitimasikan oleh Ahmad Sirhindi.

Pembacaan tidaklah berhenti pada dzikir; pembacaan aurad (Indonesia: wirid), meskipun tidak wajib,
sangatlah dianjurkan. Aurad merupakan doa-doa pendek atau formula-formula untuk memuja Tuhan dan
atau memuji Nabi Muhammad, dan membacanya dalam hitungan sekian kali pada jam-jam yang sudah
ditentukan dipercayai akan memperoleh keajaiban, atau paling tidak secara psikologis akan mendatangkan
manfaat. Seorang murid dapat saja diberikan wirid khusus untuk dirinya sendiri oleh syekhnya, untuk
diamalkan secara rahasia (diam-diam) dan tidak boleh diberitahukan kepada orang lain; atau seseorang
dapat memakai kumpulan aurad yang sudah diterbitkan. Naqsyabandiyah tidak mempunyai kumpulan
aurad yang unik. Kumpulan-kumpulan yang dibuat kalangan lain bebas saja dipakai; dan kaum
Naqsyabandiyah di tempat yang lain dan pada masa yang berbeda memakai aurad yang berbeda-beda.
Penganut Naqsyabandiyah di Turki, umpamanya, sering memakai Al-Aurad Al-Fathiyyah, dihimpun oleh
Ali Hamadani, seorang sufi yang tidak memiliki persamaan sama sekali dengan kaum Naqsyabandiyah.

http://syafii.wordpress.com/2007/04/17/tarekat-naqsyabandiyah/
Tareka http://id.wikipedia.org/wiki/Qodiriyah t Qodiriyah

Qodiriyah adalah nama sebuah tarekat yang didirikan oleh Syeikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul
Qodir Jaelani Al Baghdadi QS. Tarekat Qodiriyah berkembang dan berpusat di Iraq dan Syria kemudian
diikuti oleh jutaan umat muslim yang tersebar di Yaman, Turki, Mesir, India, Afrika dan Asia. Tarekat ini
sudah berkembang sejak abad ke-13. Namun meski sudah berkembang sejak abad ke-13, tarekat ini baru
terkenal di dunia pada abad ke 15 M. Di Makkah, tarekat Qodiriyah sudah berdiri sejak 1180 H/1669 M.

Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS, ini adalah urutan ke 17 dari
rantai mata emas mursyid tarekat. Garis Salsilah tarekat Qodiriyah ini berasal dari Sayidina Muhammad
Rasulullah SAW, kemudian turun temurun berlanjut melalui Sayidina Ali bin Abi Thalib ra, Sayidina Al-
Imam Abu Abdullah Al-Husein ra, Sayidina Al-Imam Ali Zainal Abidin ra, Sayidina Muhammad Baqir ra,
Sayidina Al-Imam Ja'far As Shodiq ra, Syaikh Al-Imam Musa Al Kazhim, Syaikh Al-Imam Abul Hasan
Ali bin Musa Al Rido, Syaikh Ma'ruf Al-Karkhi, Syaikh Abul Hasan Sarri As-Saqoti, Syaikh Al-Imam
Abul Qosim Al Junaidi Al-Baghdadi, Syaikh Abu Bakar As-Syibli, Syaikh Abul Fadli Abdul Wahid At-
Tamimi, Syaikh Abul Faraj Altartusi, Syaikh Abul Hasan Ali Al-Hakkari, Syaikh Abu Sa'id Mubarok Al
Makhhzymi, Syaikh Muhyidin Abu Muhammad Abdul Qodir Al-Jaelani Al-Baghdadi QS.

Tarekat Qodiriyah ini dikenal luwes. Yaitu bila murid sudah mencapai derajat syeikh, maka murid tidak
mempunyai suatu keharusan untuk terus mengikuti tarekat gurunya. Bahkan dia berhak melakukan
modifikasi tarekat yang lain ke dalam tarekatnya. Hal itu seperti tampak pada ungkapan Abdul Qadir
Jaelani sendiri, "Bahwa murid yang sudah mencapai derajat gurunya, maka dia jadi mandiri sebagai
syeikh dan Allah-lah yang menjadi walinya untuk seterusnya."

Mungkin karena keluwesannya tersebut, sehingga terdapat puluhan tarekat yang masuk dalam kategori
Qidiriyah di dunia Islam. Seperti Banawa yang berkembang pada abad ke-19, Ghawtsiyah (1517),
Junaidiyah (1515 M), Kamaliyah (1584 M), dan lain-lain, semuanya berasal dari India. Di Turki terdapat
tarekat Hindiyah, Khulusiyah,dal lain-lain. Dan di Yaman ada tarekat Ahdaliyah, Asadiyah, Mushariyyah.
Sedangkan di Afrika diantaranya terdapat tarekat Ammariyah, Tarekat Bakka'iyah, dan lain sebagainya.

Di Indonesia, pencabangan tarekat Qodiriyah ini secara khusus oleh Syaikh Achmad Khotib Al-Syambasi
digabungkan dengan tarekat Naqsyabandiyah menjadi tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah . Kemudian
garis salsilahnya yang salah satunya melalui Syaikh Abdul Karim Tanara Al-Bantani berkembang pesat di
seluruh Indonesia.

Syaikh Abdul Karim Tanara Al-Bantani ini berasal dari Banten dan merupakan ulama Indonesia pertama
yang menjadi Imam Masjidil Haram. Selanjutnya jalur salsilahnya berlanjut ke Syaikh Abdullah Mubarok
Cibuntu atau lazim dikenal sebagai Syaikh Abdul Khoir Cibuntu Banten. Terus berlanjut ke Syaikh Nur
Annaum Suryadipraja bin Haji Agus Tajudin yang berkedudukan di Pabuaran Bogor. Selanjutnya garis
salsilah ini saat ini berlanjut ke Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin.

Syaikh Al Waasi Achmad Syaechudin selain mempunyai sanad dari tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah
juga khirkoh dari tarekat Naqsyabandiyah dari garis salsilah Syaikh Jalaludin. Ia sampai dengan hari ini
meneruskan tradisi tarekat Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah dengan kholaqoh dzikirnya yang bertempat di
Bogor Baru kotamadya Bogor propinsi Jawa Barat. Rekaman suara tausiahnya pada setiap pelaksanaan
kholaqoh dzikirnya dapat didengarkan melalui http://www.SyaikhAchmadSyaechudin.org

http://id.wikipedia.org/wiki/Qodiriyah
Tarekat
Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas
Tarekat (bahasa Arab: Ṭarīqah ‫ ;ةةةةة‬jamak ‫ ;ةةة‬ṭuruq) berarti "jalan" atau "metode", dan
mengacu pada aliran kegamaan tasawuf atau sufisme dalam Islam. Ia secara konseptual terkait dengan
ḥaqīqah atau "kebenaran sejati", yaitu cita-cita ideal yang ingin dicapai oleh para pelaku aliran tersebut.
Seorang penuntut ilmu agama akan memulai pendekatannya dengan mempelajari hukum Islam, yaitu
praktek eksoteris atau duniawi Islam, dan kemudian berlanjut pada jalan pendekatan mistis keagamaan
yang berbentuk ṭarīqah. Melalui praktek spiritual dan bimbingan seorang pemimpin tarekat, calon
penghayat tarekat akan berupaya untuk mencapai ḥaqīqah (hakikat, atau kebenaran hakiki).

Arti tarekat

Kata tarekat berasal dari bahasa Arab thariqah, jamaknya tharaiq, yang berarti: (1) jalan atau petunjuk
jalan atau cara, (2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab, aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-
halah), (5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amud al-mizalah).

Menurut Al-Jurjani ‘Ali bin Muhammad bin ‘Ali (740-816 M), tarekat ialah metode khusus yang dipakai
oleh salik (para penempuh jalan) menuju Allah Ta’ala melalui tahapan-tahapan/maqamat.

Dengan demikian tarekat memiliki dua pengertian, pertama ia berarti metode pemberian bimbingan
spiritual kepada individu dalam mengarahkan kehidupannya menuju kedekatan diri dengan Tuhan. Kedua,
tarekat sebagai persaudaraan kaum sufi (sufi brotherhood) yang ditandai dengan adannya lembaga formal
seperti zawiyah, ribath, atau khanaqah.

Bila ditinjau dari sisi lain tarekat itu mempunyai tiga sistem, yaitu: sistem kerahasiaan, sistem kekerabatan
(persaudaraan) dan sistem hirarki seperti khalifah tawajjuh atau khalifah suluk, syekh atau mursyid, wali
atau qutub. Kedudukan guru tarekat diperkokoh dengan ajaran wasilah dan silsilah. Keyakinan berwasilah
dengan guru dipererat dengan kepercayaan karamah, barakah atau syafa’ah atau limpahan pertolongan dari
guru.

Pengertian diatas menunjukkan Tarekat sebagai cabang atau aliran dalam paham tasawuf. Pengertian itu
dapat ditemukan pada al-Thariqah al-Mu'tabarah al-Ahadiyyah, Tarekat Qadiriyah, Tarekat Naksibandiyah,
Tarekat Rifa'iah, Tarekat Samaniyah dll. Untuk di Indonesia ada juga yang menggunakan kata tarekat
sebagai sebutan atau nama paham mistik yang dianutnya, dan tidak ada hubungannya secara langsung
dengan paham tasawuf yang semula atau dengan tarekat besar dan kenamaan. Misalnya Tarekat Sulaiman
Gayam (Bogor), Tarekat Khalawatiah Yusuf (Suawesi Selatan) boleh dikatakan hanya meminjam
sebutannya saja.

Empat tingkatan spiritual


Bagan yang menggambarkan kedudukan tarekat dalam empat tingkatan spiritual (syari'ah, tariqah,
haqiqah, dan ma'rifah yang dianggap tidak terlihat)

Kaum sufi berpendapat bahwa terdapat empat tingkatan spiritual umum dalam Islam, yaitu syari'at,
tariqah, haqiqah, dan tingkatan keempat ma'rifat yang merupakan tingkatan yang 'tak terlihat'. Tingkatan
keempat dianggap merupakan inti dari wilayah hakikat, sebagai esensi dari seluruh tingkatan kedalaman
spiritual beragama tersebut.

Tarekat-tarekat di dunia

Berikut ini adalah tarekat-tarekat tradisional yang utama:

• Tarekat Idrisiyah • Tarekat Samaniyah


• Tarekat Khalwatiyah • Tarekat Shiddiqiyyah
• Tarekat Naqsyabandiyah • Tarekat Syadziliyah
• Tarekat Rifa'iah • Tarekat Syattariyah
• Tarekat Qodiriyah wa Naqsyabandiyah
• Tarekat Tijaniyah
• Tarekat Qodiriyah
http://id.wikipedia.org/wiki/Tarekat

Oleh:
Asy-Syaikh As-Sayyid Shohibul Faroji Azmatkhan Ba'alawi Al-Husaini

Tarekat Alawiyyah berbeda dengan tarekat sufi lain pada umumnya. Perbedaan itu, misalnya, terletak dari
praktiknya yang tidak menekankan segi-segi riyadlah (olah ruhani) dan kezuhudan, melainkan lebih
menekankan pada amal, akhlak, dan beberapa wirid serta dzikir ringan.

Sehingga wirid dan dzikir ini dapat dengan mudah dipraktikkan oleh siapa saja meski tanpa dibimbing oleh
seorang mursyid. Ada dua wirid yang diajarkannya, yakni Wirid Al-Lathif dan Ratib Al-Haddad. Juga
dapat dikatakan, bahwa tarekat ini merupakan jalan tengah antara Tarekat Syadziliyah [yang menekankan
riyadlah qulub (olah hati) dan batiniah] dan Tarekat Al-Ghazaliyah [yang menekankan riyadlah al-‘abdan
(olah fisik)].

Tarekat Alawiyyah merupakan salah satu tarekat mu’tabarah dari 41 tarekat yang ada di dunia. Tarekat ini
berasal dari Hadhramaut, Yaman Selatan dan tersebar hingga ke berbagai negara, seperti Afrika, India, dan
Asia Tenggara (termasuk Indonesia). Tarekat ini didirikan oleh Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir –
lengkapnya Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir -- , seorang tokoh sufi terkemuka asal
Hadhramat pada abad ke-17 M. Namun dalam perkembangannya kemudian, Tarekat Alawiyyah dikenal
juga dengan Tarekat Haddadiyah, yang dinisbatkan kepada Sayyid Abdullah al-Haddad, selaku generasi
penerusnya. Sementara nama “Alawiyyah” berasal dari Imam Alawi bin Ubaidillah bin Ahmad al-Muhajir.

Tarekat Alawiyyah, secara umum, adalah tarekat yang dikaitkan dengan kaum Alawiyyin atau lebih dikenal
sebagai saadah atau kaum sayyid – keturunan Nabi Muhammad SAW – yang merupakan lapisan paling
atas dalam strata masyarakat Hadhrami. Karena itu, pada masa-masa awal tarekat ini didirikan, pengikut
Tarekat Alawiyyah kebanyakan dari kaum sayyid (kaum Hadhrami), atau kaum Ba Alawi, dan setelah itu
diikuti oleh berbagai lapisan masyarakat muslim lain dari non-Hadhrami.

Tarekat Alawiyyah juga boleh dikatakan memiliki kekhasan tersendiri dalam pengamalan wirid dan dzikir
bagi para pengikutnya. Yakni tidak adanya keharusan bagi para murid untuk terlebih dahulu diba’iat atau
ditalqin atau mendapatkan khirqah jika ingin mengamalkan tarekat ini. Dengan kata lain ajaran Tarekat
Alawiyyah boleh diikuti oleh siapa saja tanpa harus berguru sekalipun kepada mursyidnya. Demikian pula,
dalam pengamalan ajaran dzikir dan wiridnya, Tarekat Alawiyyah termasuk cukup ringan, karena tarekat
ini hanya menekankan segi-segi amaliah dan akhlak (tasawuf ‘amali, akhlaqi). Sementara dalam tarekat
lain, biasanya cenderung melibatkankan riyadlah-riyadlah secara fisik dan kezuhudan ketat.

Oleh karena itu dalam perkembangan lebih lanjut, terutama semasa Syekh Abdullah al-Haddad – Tarekat
Alawiyyah yang diperbaharui – tarekat ini memiliki jumlah pengikut yang cukup banyak seperti di
Indonesia. Bahkan dari waktu ke waktu jumlah pengikutnya terus bertambah seiring dengan perkembangan
zaman. Tarekat Alawiyyah memiliki dua cabang besar dengan jumlah pengikut yang juga sama banyak,
yakni Tarekat ‘Aidarusiyyah dan Tarekat ‘Aththahisiyyah.

Biografi Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir


Imam Ahmad bin Isa al-Muhajir (selanjutnya Imam Ahmad) adalah keturunan Nabi Muhammad SAW
melalui garis Husein bin Sayyidina Ali bin Abi Thalib atau Fathimah Azzahra binti Rasulullah SAW. Ia
lahir di Basrah, Irak, pada tahun 260 H. Ayahnya, Isa bin Muhammad, sudah lama dikenal sebagai orang
yang memiliki disiplin tinggi dalam beribadah dan berpengetahuan luas. Mula-mula keluarga Isa bin
Muhammad tinggal di Madinah, namun karena berbagai pergolakan politik, ia kemudian hijrah ke Basrah
dan Hadhramaut. Sejak kecil hingga dewasanya Imam Ahmad sendiri lebih banyak ditempa oleh ayahnya
dalam soal spiritual. Sehingga kelak ia terkenal sebagai tokoh sufi. Bahkan oleh kebanyakan para ulama
pada masanya, Imam Ahmad dinyatakan sebagai tokoh yang tinggi hal-nya (keadaan ruhaniah seorang sufi
selama melakukan proses perjalanan menuju Allah—red).

Selain itu, Imam Ahmad juga dikenal sebagai seorang saudagar kaya di Irak. Tapi semua harta kekayaan
yang dimilikinya tak pernah membuat Imam Ahmad berhenti untuk beribadah, berdakwah, dan berbuat
amal shaleh. Sebaliknya, semakin ia kaya semakin intens pula aktivitas keruhanian dan sosialnya.

Selama di Basrah, Imam Ahmad sering sekali dihadapkan pada kehidupan yang tak menentu. Misalnya
oleh berbagai pertikaian politik dan munculnya badai kedhaliman dan khurafat. Sadar bahwa kehidupan
dan gerak dakwahnya tak kondusif di Basrah, pada tahun 317 H Imam Ahmad lalu memutuskan diri untuk
berhijrah ke kota Hijaz. Dalam perjalanan hijrahnya ini, Imam Ahmad ditemani oleh istrinya, Syarifah
Zainab binti Abdullah bin al-Hasan bin Ali al-Uraidhi, dan putra terkecilnya, Abdullah. Dan setelah itu ia
kemudian hijrah ke Hadhramaut dan menetap di sana sampai akhir hayatnya.

Tapi dalam sebuah riwayat lain disebutkan, sewaktu Imam Ahmad tinggal di Madinah Al-Munawarrah, ia
pernah menghadapi pergolakan politik yang tak kalah hebat dengan yang terjadi di kota Basrah. Pada saat
itu, tepatnya tahun 317 H, Mekkah mendapat serangan sengit dari kaum Qaramithah yang mengakibatkan
diambilnya Hajar Aswad dari sisi Ka’bah. Sehingga pada tahun 318 H, tatkala Imam Ahmad menunaikan
ibadah haji, ia sama sekali tidak mencium Hajar Aswad kecuali hanya mengusap tempatnya saja dengan
tangan. Barulah setelah itu, ia pergi menuju Hadhramaut.

Awal Perkembangan Tarekat Alawiyyah


Tonggak perkembangan Tarekat Alawiyyah dimulai pada masa Muhammad bin Ali, atau yang akrab
dikenal dengan panggilan Al-Faqih al-Muqaddam (seorang ahli agama yang terpandang) pada abad ke-6
dan ke-7 H. Pada masanya, kota Hadhramaut kemudian lebih dikenal dan mengalami puncak
kemasyhurannya. Muhammad bin Ali adalah seorang ulama besar yang memiliki kelebihan pengetahuan
bidang agama secara mumpuni, di antaranya soal fiqih dan tasawuf. Di samping itu, konon ia pun memiliki
pengalaman spiritual tinggi hingga ke Maqam al-Quthbiyyah (puncak maqam kaum sufi) maupun khirqah
shufiyyah (legalitas kesufian).

Mengenai keadaan spiritual Muhammad bin Ali ini, al-Khatib pernah menggambarkan sebagai berikut:
(“Pada suatu hari, Al-Faqih al-Muqaddam tenggelam dalam lautan Asma, Sifat dan Dzat Yang Suci”). Pada
hikayat ke-24, para syekh meriwayatkan bahwa syekh syuyukh kita, Al-Faqih al-Muqaddam, pada akhirnya
hidupnya tidak makan dan tidak minum. Semua yang ada di hadapannya sirna dan yang ada hanya Allah.
Dalam keadaan fana’ seperti ini datang Khidir dan lainnya mengatakan kepadanya: “Segala sesuatu yang
mempunyai nafs (ruh) akan merasakan mati .” Dia mengatakan, “Aku tidak mempunyai nafs.” Dikatakan
lagi, “Semua yang berada di atasnya (dunia) akan musnah.” Dia menjawab, “Aku tidak berada di atasnya.”
Dia mengatakan lagi, “Segala sesuatu akan hancur kecuali wajah-Nya (Dia).” Dia menjawab, “Aku bagian
dari cahaya wajah-Nya.” Setelah keadaan fana’-nya berlangsung lama, lalu para putranya memintanya
untuk makan walaupun sesuap. Menjelang akhir hayatnya, Al- mereka memaksakan untuk memasukkan
makanan ke dalam perutnya. Dan setelah makanan tersebut masuk mereka mendengar suara (hatif). “Kalian
telah bosan kepadanya, sedang kami menerimanya. Seandainya kalian biarkan dia tidak makan, maka dia
akan tetap bersama kalian.”

Setelah wafatnya Muhammad bin Ali, perjalanan Tarekat Alawiyyah lalu dikembangkan oleh para syekh.
Di antaranya ada empat syekh yang cukup terkenal, yaitu Syekh Abd al-Rahman al-Saqqaf (739), Syekh
Umar al-Muhdhar bin Abd al-Rahman al-Saqqaf (833 H), Syekh Abdullah al-‘Aidarus bin Abu Bakar bin
Abd al-Rahman al-Saqqaf (880 H), dan Syekh Abu Bakar al-Sakran (821 H).

Selama masa para syekh ini, dalam sejarah Ba Alawi, di kemudian hari ternyata telah banyak mewarnai
terhadap perkembangan tarekat itu sendiri. Dan secara umum, hal ini bisa dilihat dari ciri-ciri melalui para
tokoh maupun berbagai ajarannya dari masa para imam hingga masa syekh di Hadhramaut.

Pertama, adanya suatu tradisi pemikiran yang berlangsung dengan tetap mempertahankan beberapa ajaran
para salaf mereka dari kalangan tokoh Alawi, seperti Al-Quthbaniyyah, dan sebutan Imam Ali sebagai Al-
Washiy, atau keterikatan daur sejarah Alawi dan Ba Alawi. Termasuk masalah wasiat dari Rasulullah untuk
Imam Ali sebagai pengganti Nabi Muhammad SAW.
Kedua, adanya sikap elastis terhadap pemikiran yang berkembang yang mempermudah kelompok ini untuk
membaur dengan masyarakatnya, serta mendapatkan status sosial yang terhormat hingga mudah
mempengaruhi warna pemikiran masyarakat.
Ketiga, berkembangnya tradisi para sufi kalangan khawwash (elite), seperti al-jam’u, al-farq, al-fana’
bahkan al-wahdah, sebagaimana yang dialami oleh Muhammad bin Ali (Al-Faqih al-Muqaddam) dan
Syekh Abd al-Rahman al-Saqqaf.
Keempat, dalam Tarekat Alawiyyah, berkembang suatu usaha pembaharuan dalam mengembalikan tradisi
tarekat sebagai Thariqah (suatu madzhab kesufian yang dilakukan oleh seorang tokoh sufi) hingga mampu
menghilangkan formalitas yang kaku dalam tradisi tokoh para sufi.
Kelima, bila pada para tokoh sufi, seperti Hasan al-Bashri dengan zuhd-nya, Rabi’ah al-Adawiyah dengan
mahabbah dan al-isyq al-Ilahi-nya, Abu Yazid al-Busthami dengan fana’-nya, al-Hallaj dengan wahdah al-
wujud-nya, maka para tokoh Tarekat Alawiyyah, selain memiliki kelebihan-kelebihan itu, juga dikenal
dengan al-khumul dan al-faqru-nya. Al-khumul berarti membebaskan seseorang dari sikap riya’ dan ‘ujub,
yang juga merupakan bagian dari zuhud. Adapun al-faqru adalah suatu sikap yang secara vertikal
penempatan diri seseorang sebagai hamba di hadapan Khaliq (Allah) sebagai zat yang Ghani (Maha Kaya)
dan makhluk sebagai hamba-hamba yang fuqara, yang selalu membutuhkan nikmat-Nya. Secara horizontal,
sikap tersebut dipahami dalam pengertian komunal bahwa rahmat Tuhan akan diberikan bila seseorang
mempunyai kepedulian terhadap kaum fakir miskin.

Penghayatan ajaran tauhid seperti ini menjadukan kehidupan mereka tidak bisa dilepaskan dari kaum kelas
bawah maupun kaum tertindas (mustadl’afin). Syekh Abd al-Rahman al-Saqqaf misalnya, selama itu
dikenal dengan kaum fuqara-nya, sedangkan istri Muhammad bin Ali terkenal dengan dengan ummul
fuqara-nya.
Syekh Abdullah al-Haddad dan Tarekat Alawiyyah
Nama lengkapnya Syekh Abdullah bin Alwi al-Haddad atau Syekh Abdullah al-Haddad. Dalam sejarah
Tarekat Alawiyyah, nama al-Haddad ini tidak bisa dipisahkan, karena dialah yang banyak memberikan
pemikiran baru tentang pengembangan ajaran tarekat ini di masa-masa mendatang. Ia lahir di Tarim,
Hadhramaut pada 5 Safar 1044 H. Ayahnya, Sayyid Alwi bin Muhammad al-Haddad, dikenal sebagai
seorang yang saleh. Al-Haddad sendiri lahir dan besar di kota Tarim dan lebih banyak diasuh oleh ibunya,
Syarifah Salma, seorang ahli ma’rifah dan wilayah (kewalian).

Peranan al-Haddad dalam mempopulerkan Tarekat Alawiyyah ke seluruh penjuru dunia memang tidak
kecil, sehingga kelak tarekat ini dikenal juga dengan nama Tarekat Haddadiyyah. Peran al-Haddad itu
misalnya, ia di antaranya telah memberikan dasar-dasar pengertian Tarekat Alawiyyah. Ia mengatakan,
bahwa Tarekat Alawiyyah adalah Thariqah Ashhab al-Yamin, atau tarekatnya orang-orang yang
menghabiskan waktunya untuk ingat dan selalu taat pada Allah dan menjaganya dengan hal-hal baik yang
bersifat ukhrawi. Dalam hal suluk, al-Haddad membaginya ke dalam dua bagian.

Pertama, kelompok khashshah (khusus), yaitu bagi mereka yang sudah sampai pada tingkat muhajadah,
mengosongkan diri baik lahir maupun batin dari selain Allah di samping membersihkan diri dari segala
perangai tak terpuji hingga sekecil-kecilnya dan menghiasi diri dengan perbuatan-perbuatan terpuji. Kedua,
kelompok ‘ammah (umum), yakni mereka yang baru memulai perjalanannya dengan mengamalkan
serangkaian perintah-perintah as-Sunnah. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa Tarekat Alawiyyah
adalah tarekat ‘ammah, atau sebagai jembatan awal menuju tarekat khashshah.

Karena itu, semua ajaran salaf Ba Alawi menekankan adanya hubungan seorang syekh (musryid), perhatian
seksama dengan ajarannya, dan membina batin dengan ibadah. Amal shaleh dalam ajaran tarekat ini juga
sangat ditekankan, dan untuk itu diperlukan suatu tarekat yang ajarannya mudah dipahami oleh masyarakat
awam.

Al-Haddad juga mengajarkan bahwa hidup itu adalah safar (sebuah perjalanan menuju Tuhan). Safar
adalah siyahah ruhaniyyah (perjalanan rekreatif yang bersifat ruhani), perjalanan yang dilakukan untuk
melawan hawa nafsu dan sebagai media pendidikan moral. Oleh karena itu, di dalam safar ini, para musafir
setidaknya membutuhkan empat hal. Pertama, ilmu yang akan membantu untuk membuat strategi, kedua,
sikap wara’ yang dapat mencegahnya dari perbuatan haram. Ketiga, semangat yang menopangnya.
Keempat, moralitas yang baik yang menjaganya.

http://www.alawiyyah9.blogspot.com/

You might also like