You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sebelum Islam datang ke dunia ini, telah terdapat sejumlah agama yang
dianut oleh umat mansuia. Para ahli Ilmu Perbandingan Agama (The Comparative
Study Of Religion ) bida membagi agama secara garis besar ke dala dua bagian.
Pertama, kelompok agama yang diturunkan oleh Tuhan melalui wahyu-wahyunya
sebagaimana termaksud dalam kitab suci Alquran. Kedua, kelopok agama yang
didasarkan pada hasil renungan mendalam dari tokoh yang membawanya
sebagaimana terdokumentasikan dalam kitab suci yang disusunnya.
Islam adalah agama yang terakhir di antara agama besar di dunia yang
semuanya merupakan kekuatan raksasa yang mengeerakkan revolusi dunia, dan
mengubah nasib sekalian bangsa. Selain itu, Islam bukan saja agama yang
terakhir melainkan agama yang melengkapi segala-galanya dan mencakup
sekalian agama yang datang sebelumnya.
Dalam memahami agama banyak pendekatan yang dilakukan. Hal demikian
perlu dilakukan, karena pendekatan tersebut kehadiran agama secara fungsional
dapat dirasakan oleh penganutnya. Berbagai pendekatan tersebut meliputi
pendekatan teologis normatif, antropologis, sosiologis, psikologis, historis,
kebudayaan dan pendekatan filosofis. Adapun yang dimaksud dengan pendekatan
di sini adalah cara pandang atau paradigma yang terdapat dalam suatu bidang
ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami
Dikalangan para ahli masih terdapat perbedaan disekitar permasalahan
apakah studi islam (agama) dapat dimasukkan ke dalam bidang ilmu pengetahuan,
mengingat sifat dan karakteristik antara ilme pengetahuan dan agama berbeda.

-1-
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang diatas penulis dapat menarik rumusan masalah yang akan
dibahas menjadi pembahsan makalah ini yaitu mengenai
1. Islam Sebagai Produk Wahyu
2. Islam sebagai Produk Sejarah
3. Islam sebagai Produk Budaya dan
4. Islam Sebagai Produk Interaksi social

C. Tujuan Makalah
Tujuan pembuatan makalah ini adalah agar mahasiswa bisa mengerti
mengenai Islam Sebagai Produk Wahyu, Islam sebagai Produk Budaya dan Islam
Sebagai Produk Interaksi sosial

-2-
BAB II
PEMBAHASAN

A. Islam Sebagai Produk Wahyu


1. Pengertian Islam
Agama Islam adalah agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad shallallahu
‘alaihi wa sallam. Dengan agama inilah Allah menutup agama-agama
sebelumnya. Allah telah menyempurnakan agama ini bagi hamba-hambaNya.
Dengan agama Islam ini pula Allah menyempurnakan nikmat atas mereka.
Agama Islam ini telah merangkum semua bentuk kemaslahatan yang
diajarkan oleh agama-agama sebelumnya. Agama Islam yang beliau bawa ini lebih
istimewa dibandingkan agama-agama terdahulu karena Islam adalah ajaran yang
bisa diterapkan di setiap masa, di setiap tempat dan di masyarakat manapun.
Dalam permasalahan kali ini kami akan menjelaskan secara detail tentang
Islam sebagai agama wahyu, klasifikasinya, perbandingan dengan agama lain dan
Islam yang telah disalahpahami serta pembenarannya.
Ada dua sisi yang dapat kita gunakan untuk memahami pengertian agama
Islam, yaitu sisi kebahasaan dan sisi peristilahan. Kedua sisi pengertian tentang
Islam ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
Dari segi kebahasaan Islam berasal dari bahasa Arab, yaitu dari kata salima
yang mengandung arti selamat, sentosa dan damai. Dan kata salima selanjutnya
diubah menjadi bentuk aslama yang berarti berserah diri masuk dalam
kedamaian.1
Senada dengan pendapat di atas, sumber lain mengatakan Islam berasal dari
bahasa Arab, terambil dari kata salima yang berarti selamat sentosa. Dari asal
kata itu dibentuk kata aslama yang artinya memelihara dalam keadaan selamat
sentosa dan berarti pula menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat.2

1
Maulana Muhammad ali, Islamologi (dinul Islam) (Jakarta : Ikhtiar Baru Vam Hoeve, 1980), Hlm 2
2
Narsruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung : Al-Ma’arif), 1977) cet II, hlm 56

-3-
Dari pengertian itu, kata Islam dekat arti kata agama yang berarti menguasai,
menundukkan, patuh, hutang, balasan dan kebiasaan.3

2. Sumber Ajaran Islam


Di kalangan ulama terdapat kesepakatan bahwa sumber ajaran Islam yang
utama adalah Alquran dan Al-Sunnah; sedangkan penalaran atau akal pikiran
sebagai alat untuk memahami Alquran dan Al-Sunnah .
1. Alquran
Di kalangan para ulama dijumpai adanya perbedaan pendapat di sekitar
pengertian Alquran baik dari segi bahasa maupun istilah. Asy-Syafi’i
misalnya mengatakan bahwa Alquran bukan berasal dari akar kata apa pun,
dan bukan pula ditulis dengan memakai kata hamzah. Lafal tersebut sudah
lazim digunakan dalam pengertian kalamullah (firman Allah) yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Sementara itu Al-Farra
berpendapat bahwa lafal Alquran berasal dari kata qarain jamak dari kata
qarinah yang berarti kaitan; karena dilihat dari segi makna dan
kandungannya ayat-ayat Alquran itu satu sama lain saling berkaitan.
Selanjutnya, Al-Asy’ari dan para pengikutnya mengatakan bahwa lafal
Alquran diambil dari akar kata qarn yang berarti menggabungkan suatu atas
yang lain; karena surat-surat dan ayat-ayat Alquran satu dan lainnya saling
bergabung dan berkaitan.4
Manna’ al-Qathhthan, secara ringkas mengutip pendapat para ulama
pada umumnya yang menyatakan bahwa Alquran adalah firman Allah yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw, dan dinilai ibadah bagi yang
membacanya. Pengertian yang demikian senada dengan yang diberikan Al-
Zarqani.
2. Al-Sunnah
3
Harun nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Jilid I ( Jakarta : UI Press, 1979, hlm 9
4
Lihat subhi as-shalih, membahas ilmu-ilmu al-qiuran, (terj) . pustaka Firdaus dari judl asli Mabahits
fi ulum al-quran, (Jakarta : Pustaka firdaus, 1991), cet. II, hlm 9

-4-
Kedudukan Al-Sunnah sebagai sumber ajaran Islam selain didasarkan
pada keterangan ayat-ayat Alquran dan hadis juga didasarkan kepada
pendapat kesepakatan para sahabat. Yakni seluruh sahabat sepakat untuk
menetapkan tentang wajib mengikuti hadis, baik pada masa Rasulullah
masih hidup maupun setelah beliau wafat.
Menurut bahasa Al-Sunnah artinya jalan hidup yang dibiasakan
terkadang jalan tersebut ada yang baik dan ada pula yang buruk. Pengertian
Al-Sunnah seperti ini sejalan dengan makna hadis Nabi yang artinya :
”Barang siapa yang membuat sunnah (kebiasaan) yang terpuji, maka pahala
bagi yang membuat sunnah itu dan pahala bagi orang yang mengerjakanny;
dan barang siapa yang membuat sunnah yang buruk, maka dosa bagi yang
membuat sunnah yang buruk itu dan dosa bagi orang yang mengerjakannya.
Sementara itu Jumhurul Ulama atau kebanyakan para ulama ahli hadis
mengartikan Al-Sunnah, Al-Hadis, Al-Khabar dan Al-Atsar sama saja, yaitu
segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad Saw, baik dalam
bentuk ucapan, perbuatan maupun ketetapan. Sementara itu ulama Ushul
mengartikan bahwa Al-Sunnah adalah sesuatu yang berasal dari Nabi
Muhammad dalam bentuk ucapan, perbuatan dan persetujuan beliau yang
berkaitan dengan hukum.
Sebagai sumber ajaran Islam kedua, setelah Alquran, Al-Sunnah
memiliki fungsi yang pada intinya sejalan dengan alquran. Keberadaan Al-
Sunnah tidak dapat dilepaskan dari adanya sebagian ayat Alquran :
1. Yang bersifat global (garis besar) yang memerlukan perincian;
2. Yang bersifat umum (menyeluruh) yang menghendaki pengecualian;
3. Yang bersifat mutlak (tanpa batas) yang menghendaki pembatasan;
dan ada pula
4. Isyarat Alquran yang mengandung makna lebih dari satu (musytarak)
yang menghendaki penetapan makna yang akan dipakai dari dua makna
tersebut; bahkan terdapat sesuatu yang secara khusus tidak dijumpai

-5-
keterangannya di dalam Alquran yang selanjutnya diserahkan kepada
hadis nabi.

3. Adapun ciri-ciri Agama Wahyu (langit), ialah :


1. Secara pasti dapat ditentukan lahirnya, dan bukan tumbuh dari masyarakat,
melainkan diturunkan kepada masyarakat.
2. Disampaikan oleh manusia yang dipilih Allah sebagai utusan-Nya. Utusan itu bukan
menciptakan agama, melainkan menyampaikannya.
3. Memiliki kitab suci yang bersih dari campur tangan manusia.
4. Ajarannya serba tetap, walaupun tafsirnya dapat berubah sesuai dengan kecerdasan
dan kepekaan manusia.
5. Konsep ketuhanannya adalah : monotheisme mutlak (tauhid)
6. Kebenarannya adalah universal yaitu berlaku bagi setiap manusia, masa dan keadaan.

4. Adapun ciri-ciri agama budaya (ardhi), ialah :


1. Tumbuh secara komulatif dalam masyarakat penganutnya.
2. Tidak disampaikan oleh utusan Tuhan (Rasul).
3. Umumnya tidak memiliki kitab suci, walaupun ada akan mengalami perubahan-
perubahan dalam perjalanan sejarahnya.
4. Ajarannya dapat berubah-ubah, sesuai dengan perubahan akal pikiran masyarakatnya
(penganutnya).
5. Konsep ketuhanannya: dinamisme, animisme, politheisme, dan paling tinggi adalah
monotheisme nisbi.
6. Kebenaran ajarannya tidak universal, yaitu tidak berlaku bagi setiap manusia, masa,
dan keadaan.

5. Ciri-ciri Agama Islam

-6-
Kata Islam, berasal dari kata ‘as la ma - yus li mu – Is la man’ artinya,
tunduk, patuh, menyerahkan diri. Kata Islam terambil dari kata dasar sa la ma
atau sa li ma yang artinya selamat, sejahtera, tidak cacat, tidak tercela. Dari akar
kata sa la ma itu juga terbentuk kata salmon, silmun artinya damai patuh dan
meyerahkan diri. Sedangkan agama, menurut bahasa Al-Qur’an banyak
digunakan din.
Islam adalah agama sepanjang sejarah manusia, ajaran dari seluruh nabi dan
rasulnya yang penah di utus oleh Allah SWT pada bangsa-bangsa dan kelompok-
kelompok manusia. Islam agama bagi Adam a.s, Nabi Ibrahim, Nabi Yakub,
Nabi Musa, Nabi Daud, Nabi Sulaiman dan Nabi Isa a.s.
Agama Islam adalah agama Allah yang disampaikan kepada Nabi
Muhammad SAW untuk disampaikan serta diteruskan kepada seluruh umat
manusia yang mengandung ketentuan-ketentuan keimanan (aqidah) dan
ketentuan-ketentuan ibadah dan muamalah (syariah) yang menentukan proses
berpikir, merasa, berbuat, dan proses terbentuknya hati.
Pada dasarnya Islam terdiri dari 3 unsur pokok yaitu iman, islam dan ihsan,
meskipun ketiganya mempunyai pengertian yang berbeda tetapi dalam praktek
satu sama lain saling terkait dan tidak dapat dipisahkan.
Iman artinya membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan
merealisasikannya dalam perbuatan akan adanya Allah SWT, dengan adanya
segala Kemaha sempurnaan-Nya, para Malaikat, Kitab-kitab Allah, para Nabi
dan Rasul, hari akhir serta Qadha dan Qadhar.
Islam artinya taat, tunduk, patuh dan menyerahkan diri dari segala ketentuan
yang telah ditetapkan Allah SWT.
Ihsan artinya berakhlak serta berbuat shalih sehingga dalam melaksanakan
ibadah kepada Allah dan bermuamalah (interaksi) dengan sesama mahluk
dilaksanakan dengan penuh keikhlasan seakan-akan Allah menyaksikan gerak-
geriknya sepanjang waktu meskipun ia sendiri tidak melihatnya.

-7-
Dari yang telah diuraikan dapat disimpulkan bahwa pada agama Islamlah
kita temui ciri-ciri agama wahyu yang lengkap. Sehingga agama Islam, bukan
hanya agama yang benar, tetapi juga agama yang sempurna.

B. Islam Sebagai Produk Sejarah


Sejarah atau historis adalah suatu ilmu yang di dalamnya dibahas berbagai
peristiwa dengan memperhatikan unsur tempat, waktu, objek, latar belakang dan
pelaku dari peristiwa tersebut.5
Melalui pendekatan sejarah seseorang diajak menukik dari alam idealis ke
alam yang bersifat empiris dan mendunia. Dari keadaan ini seseorang akan
melihat adanya kesenjangan atau keselarasan antara yang terdapat dalam alam
idealis dengan yang ada di alam empiris dan historis.
Islam bukanlah agama yang tidak mau memahami konteks perubahan
zaman. Dimensi historisitas Islam lebih melihat kenyataan sosial-budaya untuk
membuka ruang kemanusiaan sedalam-dalamnya. Humanitas bisa ditangkap
apabila rasio dan akal budi dipakai dalam menganalisis teks agama. Sisi
historisitas agama lebih banyak dieksplorasi untuk lebih memahami kenyataan
kemanusiaan hari ini.
Gagasan Islam otentik dan Islam universal kurang mengeksplorasi sisi
historitas Islam. Realitas lokalitas (budaya) kurang mendapat tempat dalam
pemahaman mereka. Islam dengan sangat apresiatif memahami budaya, dan
berposisi secara rekonsiliatif. Bahkan fenomena budaya banyak dijadikan rujukan
keagamaan. Ada dialektika antara agama dan budaya. Dan di Islam, kaitan antara
teks dan budaya memang sering sulit untuk dipisahkan. Kekuatan budaya banyak
mempengaruhi proses pembentukan teks-teks agama.
Mengenai pengaruh budaya dalam Islam pada masa Arab klasik, Khalil
Abdul Karim menyebut sakralisasi Bulan Ramadhan merupakan salah satu tradisi
5
Abudinnata, Metodologi Studi Islam, 2001 hal 46

-8-
yang diwarisi Islam dari bangsa Arab —yang menjadi sumber dasar Islam. Hal
lain misalkan, mengagungkan bulan-bulan haram (Dzulqa’dah, Dzulhijjah,
Muharram, dan Rajab) bukan merupakan tradisi Islam.
Ada tenggara, penyebutan bulan-bulan suci itu dilatarbelakangi oleh tradisi
bangsa Arab yang tidak membenarkan perang dalam rentang keempat bulan
tersebut. Tradisi berperang merupakan tradisi tribalisme suku-suku Arab pada
saat itu, sehingga penetapan empat bulan suci itu sebagai fase gencatan sejata dan
kesempatan untuk menunaikan ibadah haji dan umrah. Atau, misalkan juga
mengenai jilbab. Jilbab merupakan produk budaya Arab pada saat itu sebagai alat
kultural untuk media pengamanan sosial bagi perempuan. Karena jilbab itu pada
awalnya adalah budaya, dan Al-Qur’an menyebutkannya maka sering kita
mengartikan jilbab itu adalah bagian dari tradisi Islam. Hal semacam itu banyak
disalahartikan. Kaitan budaya antara Arab dan Islam membuat kita kesulitan
untuk memilah mana yang merupakan budaya Islam sendiri dan mana yang
bukan.
Oleh sebab itu, metode “kritik historis” (an-naqd at-tarikhy) sangat penting
untuk dilakukan dalam menganalisis tradisi. Apakah teks seluruhnya merupakan
turunan dari langit? Bukankah intervensi manusiawi sangat mempengaruhi nalar
pemikiran dalam teks agama?
Muhammad dan Jibril sebagai penerima teks pertama juga tidak lepas dari
bagaimana keduanya mencoba menafsirkan teks. Otentisitas dan universalitas
yang ada dalam Islam lebih dimaknai sebagai pemahaman teologis yang sifatnya
hanya dalam wilayah privat dalam keyakinan keagamaan kita. Penggalian makna
Islam yang lebih memahami konteks budaya menjadi sesuatu yang tidak tabu dan
perlu untuk mendapat tempat seluas-luasnya dalam wacana atau tradisi pemikiran
kita6

C. Islam Sebagai Produk Interaksi Sosial


6
http://jn76.wordpress.com/2008/09/21/islam-sebagai-produk-budaya/

-9-
Penelitian keagamaan merupakan penelitian yang objek kajiannya adalah
agama sebagai produk ”interaksi sosial” atau ”perilaku manusia”. Oleh karena itu,
metode yang digunakan adalah metode-metode penelitian sosial pada umumnya.
Maka, berkenaan dengan hal itu, tanpaknya kitapun tidak perlu menyusun teori
penelitian tersendiri, tetapi cukup meminjam teori ilmu-ilmu sosial yang sudah ada
dan telah diuji. Beberapa teori yang dapat digunakan adalah :
[1] Teori perubahan sosial,
[2] Teori struktural-fungsional,
[3] Teori antropologi dan sosiologi agama,
[4] Teori budaya dan tafsir budaya simbolik,
[5] Teori pertukaran sosial, dan
[6] Teori sikap.
Menurut Atang Abd Hakim dan Jaih Mubarok, bahwa seorang peneliti
Ummu Salamah dalam meneliti “Tradisi Tarekat dan Dampak Konsistensi
Aktualisasinya terhadap Perilaku Sosial Penganut Tarekat [Studi Kasus Tarekat
Tijaniyah di Kabupaten Garut, Jawa Barat: dalam Perspektif Perubahan Sosial]”,
menggunakan teori-teori sosial yang disebutkan di atas. Dengan demikian,
penelitian di atas meminjam teori-teori yang dibangun dalam ilmu-ilmu sosial. Ia
disebut penelitian keagamaan [religius research] dalam pandangan Midletton
atau penelitian hidup agama dalam pandangan Juhaya S. Praja, karena objeknya
adalah “perilaku Tarekat Tijaniah”7

7
Maulana Muhammad ali, Islamologi (dinul Islam) (Jakarta : Ikhtiar Baru Vam
Hoeve, 1980), Hlm 2
Narsruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung : Al-Ma’arif), 1977) cet II, hlm 56
Harun nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Jilid I ( Jakarta : UI Press, 1979, hlm 9
Lihat subhi as-shalih, membahas ilmu-ilmu al-qiuran, (terj) . pustaka Firdaus dari judl asli Mabahits fi
ulum al-quran, (Jakarta : Pustaka firdaus, 1991), cet. II, hlm 9
Abudinnata, Metodologi Studi Islam, 2001 hal 46
http://jn76.wordpress.com/2008/09/21/islam-sebagai-produk-budaya/
Juhaya S. Praja,1997:55-57, dalam Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, 2001:64

- 10 -
Sosiologi adalah ilmu yang mempelajari hidup bersama dalam masyarakat
dan menyelidiki ikatan-ikatan antara manusia yang menguasai hidupnya itu.
Soerjono Soekanto mengartikan sosiologi sebagai suatu ilmu pengetahuan yang
membatasi diri terhadap persoalan penilaian.
Dari dua definisi terlihat bahwa sosiologi adalah ilmu yang
menggambarkan tentang keadaan masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan
serta berbagai gejala sosial lainnya yang saling berkaitan.
Selanjutnya, sosiologi dapat digunakan sebagai salah satu pendekatan
dalam memahami agama. Hal demikian dapat dimengerti, karena banyak bidang
kajian agama yang baru dapat dipahami secara proporsional dan tepat apabila
menggunakan jasa bantuan dan ilmu sosiologi.
Jalaluddin Rahmat dalam bukunya yang berjudul Islam Alternatif,
menunjukkan betapa besarnya perhatian agama yang dalam hal ini Islam
terhadap masalah sosial, dengan mengajukan lima alasan sebagai berikut :
1). Pertama, dalam Alquran atau kitab-kitab hadis, proporsi terbesar kedua
sumber hukum Islam itu berkenaan dengan urusan muamalah. Menurut
Ayatullah Khomaeni dalam bukunya Al-Hukumah Al-Islamiyah yang dikutip
Jalaluddin Rahmat, dikemukakan bahwa perbandingan antara ayat-ayat ibadah
dan ayat-ayat yang menyangkut kehidupan sosial adalah satu berbanding
seratus – untuk satu ayat ibadah, ada seratus ayat muamalah (masalah sosial).
2). Kedua, bahwa ditekankannya masalah muamalah (sosial) dalam Islam ialah
adanya kenyataan bahwa bila urusan ibadah bersamaan waktunya dengan
urusan muamalah yang penting, maka ibadah boleh diperpendek atau
ditangguhkan (tentu bukan ditinggalkan), melainkan dengan tetap dikerjakan
sebagaimana mestinya.
3). Ketiga, bahwa ibadah yang mengandung segi kemasyarakatan diberi ganjaran
lebih besar daripada ibadah yang bersifat perseorangan. Karena itu shalat yang
dilakukan secara berjemaah dinilai lebih tinggi nilainya daripada shalat yang

- 11 -
dikerjakan sendirian (munfarid) dengan ukuran satu berbanding dua puluh
derajat.
4). Keempat, dalam Islam terdapat ketentuan bila urusan ibadah dilakukan tidak
sempurna atau batal, karena melanggar pantangan tertentu, maka kifaratnya
(tembusannya) adalah melakukan sesuatu yang berhubungan dengan masalah
sosial.
5). Kelima, dalam Islam terdapat ajaran bahwa amal baik dalam bidang
kemasyarakatan mendapat ganjaran lebih besar daripada ibadah sunnah.
Dunia saat ini tengah memasuki era globalisasi dengan dampak negatif dan
positifnya. Di antara dampak negatif tersebut misalnya terjadi dislokasi,
dehumanisasi, sekuralisasi dan sebagainya; sedangkan dampak positifnya antara
lain terbukanya berbagai kemudahan dan kenyamanan, baik dalam lingkungan
ekonomi (ekonosfer), informasi (infosfer), teknologi (teknosfer), sosial (sisosfer)
maupun psikolgi (psikosfer).
1. Pandangan Ajaran Islam Tentang Ilmu Sosial
Sejak kelahirannya belasan abad yang lalu, Islam telah tampil sebagai
agama yang memberi perhatian pada keseimbangan hidup antara dunia dan
akhirat; antara hubungan manusia dengan Tuhan; antara hubungan manusia
dengan manusia; dan antara urusan ibadah dengan urusan muamalah
Dalam keadaan demikian, kita saat ini nampaknya sudah mendesak untuk
mememiliki ilmu pengetahuan sosial yang mampu membebaskan manusia dari
berbagai problema tersebut. Ilmu pengetahuan sosial yang dimaksudkan adalah
ilmu pengetahuan yang digali dari nilai-nilai agama. Kuntowijoyo
menyebutnya sebagai ilmu sosial profetik.
2. Ilmu Sosial Yang Bernuansa Islam
Menurut Kuntowijoyo, kita butuh ilmu sosial profetik, yaitu ilmu sosial
yang tidak hanya menjelaskan dan mengubah fenomena sosial, tetapi juga
memberi petunjuk ke arah mana transformasi itu dilakukan, untuk apa dana oleh
siapa. Yaitu ilmu sosial yang mampu mengubah fenomena berdasarkan cita-cita

- 12 -
etik dan profetik tertentu; perubahan tersebut didasarkan pada tiga hal. Pertama,
cita-cita kemanusiaan, kedua, liberasi dan ketiga, transendensi.
Nilai-nilai kemanusiaan (humanisasi), liberasi dan transendensi yang
dapat digali dari ayat tersebut dapat dijelaskan secara singkat sebagai berikut :
Pertama, bahwa tujuan humanisasai adalah memanusiakan manusia dari
proses dehumanisasi.
Sementara itu tujuan liberasi adalah pembebasan manusia dari lingkungan
teknologi, pemerasan kehidupan, menyatu dengan orang miskin yang tregusur
oleh kekuatan ekonomi raksasa dan berusaha membebaskan manusia dari
belenggu yang kita buat sendiri.
Selanjutnya, tujuan dari transendensi adalah menumbuhkan dimensi
transendental dalam kebudayaan.
Dalam ilmu sosial profetik, kita ingin melakukan reorientasi terhadap
epistemologi, orientasi terhadap mode of thought dan mode of inquirity, yaitu
suatu pandangan bahwa sumber ilmu bukan hanya berasal dari rasio dan empiri
sebagaimana yang dianut dalam masyarakat barat, tetapi juga dari wahyu.

D. Islam Sebagai Produk Budaya


Dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia, kebudayaan diartikan sebagai hasil
kegiatan dan penciptaan batin (akal budi) manusia seperti kepercayaan, kesenian,
adat istiadat; dan berarti pula kegiatan (usaha) batin (akal dan sebagainya) untuk
menciptakan sesuatu yang termasuk hasil kebudayaan. Sementara itu, Sutan
Takdir Alisjahbana mengatakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan yang
kompleks, yang terjadi dari unsur-unsur yang berbeda seperti pengetahuan,
kepercayaan, seni, hukum, moral, adat istiadat dan segala kacakapan lain yang
diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat.
Dengan demikian, kebudayaan adalah hasil daya cipta manusia dengan
menggunakan dan mengarahkan segenap potensi batin yang dimilikinya

- 13 -
Kelahiran agama sangat terkait dengan konstruksi budaya. Tekstualitas agama
lebih mengafirmasi konteks sosial dan budaya yang tengah “bergumul” pada saat
itu. Islam, sebagai salah satu agama monoteis (abrahamiyah), juga merupakan
bentuk ajaran kehidupan yang lebih melihat kenyataan sosial, tidak hanya berupa
turunan dari langit. Ketika Islam hadir ke muka bumi dan menyejarah secara
totalitas, tidak ada lagi baju “sakralitas” di dalamnya. Islam sangat memahami
kenyataan lokalitas budaya setempat dan historisitas proses pergumulan antara
teks dan realitas.
Peradaban Arab-Islam adalah “peradaban teks”. Teks menjadi rujukan penting
dalam upaya memahami keduanya. Dan Al-Qur’an sendiri merupakan kumpulan
teks yang menjadi acuan keberagamaan bagi umat Islam. Di dalamnya terkandung
pergolakan ilmiah dalam memahami pesan Tuhan, yang kemudian dihubungkan
dengan realitas yang tengah terjadi pada saat pembentukan teks. Karena
peradaban Islam adalah teks, maka perlu perangkat atau metodologi ilmiah untuk
“membongkar” konstruksi nalar yang menjadi bagian penting di dalamnya.
Khalifah Umar al-Faruq pernah menyatakan, “Arab adalah bahan baku
Islam”, atau artinya, bangsa Arab adalah materi bagi pembentukan Islam.
Peryataan Umar itu kemudian banyak dipahami, seperti Thaha Husain, yaitu
dalam konteks militerisme Islam pada saat itu. Padahal, tidaklah demikian.
Dengan potensi rasionalitas yang sangat mengental dalam pikirannya, Umar
bermaksud menjelaskan, Islam itu tidak bisa lepas dari konteks budaya Arab pada
saat itu. Sehingga, dalam beberapa hal Umar banyak menafsir ulang terhadap
syariah. Dan ada kesan beliau berani membuat putusan hukum yang kelihatannya
banyak berbeda dengan arus pemikiran sahabat pada saat itu. Umar sangat dikenal
sebagai seorang rasionalis sejati.
Atas dasar argumen yang dikemukakan oleh Umar ini, Khalil Abdul Karim
membuat analisis mengenai kaitan antara agama, budaya, dan kekuasaan dalam
bukunya Hegemoni Quraisy (LKIS:2002). Menurutnya, “produksi-produksi
kebahasaan” (al-Muntaj al-Lughawiyyah), seperti puisi, khitabah, dan beberapa

- 14 -
kata hikmah (amtsal) yang dimiliki oleh orang-orang Arab sebelum kenabian
Muhammad, itu semua banyak berperan dalam proses pentauhidan dan persiapan
menuju suatu kondisi objektif yang matang, yang berakhir dengan berdi-rinya
Negara Quraisy di Yatsrib.
Banyak fakta saat itu membuktikan, hegemoni kaum Quraisy sangat
menentukan produksi kebahasaan dalam makna agama. Kebudayaan suku itu
masuk dalam proses pembentukan teks. Sehingga kita perlu mencermati lebih
mendalam bagaimana kaitan antara agama sebagai pesan suci ilahi dengan
intervensi manusia yang lebih mementingkan kekuasaan dan kebudayaannya bisa
masuk dalam proses produksi nalar agama.
1. Profanitas Teks
Tidak selamanya teks itu adalah sesuatu yang sakral. Pembacaan
terhadap teks tidak bisa terlepas dari konteks sejarah dan kebudayaan yang
melingkupi bangunan teks tersebut. Pada saat kita memahami makna agama
yang tercermin dalam penampakan teks, profanitas (duniawi) sangat melekat
dalam konstruksi nalar teks. Penyejarahan teks dilakukan agar bisa
menyesuaikan dengan kondisi yang memang menjadi kenyataan historis umat
manusia
Pada saat memahami teks, kita tidak bisa mengandalkan penafsiran
secara literal, tetapi harus ada upaya penafsiran secara hermeneutis
(ta’wiliyah) atas kenyataan-kenyataan sosial dan budaya yang mengitari teks.
Teks yang diam dan sakral itu pasti menjadi objek manusia. Maka, teks tidak
lagi menjadi sesuatu yang diam dan sakral, karena manusia atau si penafsir
memosisikan teks itu harus dihubungkan dengan realitas. Lalu, teks menjadi
sesuatu yang profan dan berhak untuk diutak-atik, bahkan tidak aneh apabila
kemudian kita menolak teks dalam beberapa pengamalan syariahnya yang
cenderung menindas kemanusiaan dan keadilan
Menurut Abu Zayd dalam Mafhumun-Nash: Dirasah fi ‘Ulumil
Qur’an (1990), Al-Qur’an adalah “teks kebudayaan” (muntaj tsaqafy), yaitu

- 15 -
teks semantik yang menjadi teks sentral dalam wacana pemikiran Islam. Teks
dalam Al-Qur’an adalah teks peradaban karena di dalamnya memuat
pembentukan dalam pergolakan (dialog/dialektika) antara manusia dan
realitas di satu sisi, dan manusia dengan teks di sisi lain.
Dalam konsep teks, Al-Qur’an bisa didekati dengan metode-metode
analisis teks. Metode analisis bahasa (semiotika) merupakan metode
humaniora yang dapat digunakan untuk memahami wacana keagamaan dalam
Islam. Hal ini sangat tepat diterapkan dalam menganalisis teks Al-Qur’an
karena peradaban Islam Arab adalah peradaban teks, dan di dalamnya memuat
pergolakan pemikiran ketika Al-Qur’an itu berwujud. Dalam Islam, Al-
Qur’an memiliki peran budaya yang tidak dapat diabaikan dalam membentuk
wajah peradaban Islam.

- 16 -
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Islam berasal dari bahasa Arab, terambil dari kata salima yang berarti selamat
sentosa. Dari asal kata itu dibentuk kata aslama yang artinya memelihara dalam
keadaan selamat sentosa dan berarti pula menyerahkan diri, tunduk, patuh dan taat
Penelitian keagamaan merupakan penelitian yang objek kajiannya adalah
agama sebagai produk ”interaksi sosial” atau ”perilaku manusia”. Oleh karena itu,
metode yang digunakan adalah metode-metode penelitian sosial pada umumnya.
Maka, berkenaan dengan hal itu, tanpaknya kitapun tidak perlu menyusun teori
penelitian tersendiri, tetapi cukup meminjam teori ilmu-ilmu sosial yang sudah
ada dan telah diuji.
Islam bukanlah agama yang tidak mau memahami konteks perubahan zaman.
Dimensi historisitas Islam lebih melihat kenyataan sosial-budaya untuk membuka
ruang kemanusiaan sedalam-dalamnya. Humanitas bisa ditangkap apabila rasio
dan akal budi dipakai dalam menganalisis teks agama. Sisi historisitas agama
lebih banyak dieksplorasi untuk lebih memahami kenyataan kemanusiaan hari ini

B. Saran
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan
saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini dimasa yang akan datang.

- 17 -
DAFTAR PUSTAKA

Amin Abdullah, Studi Agama Normativitas atau Historisitas, 1996.

Abudinnata, Metodologi Studi Islam, 2001.

M. Atho Mudzhar, Pendekatan Studi Islam dalam Teori dan Praktek.

Endang Saifuddin Anshari, Wawasan Islam.

Taufik Abdullah dan Rusli Karim, Metodologi Penelitian Agama.

- 18 -
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis ucapkan atas rahmat yang diberikan Allah SWT sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalahiiiini dengan judul “Islam Sebagai Produk
wahyu, Produk Sejarah, Produk Interaksi Sosial Dan Produk Budaya” tepat
pada waktunya.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen pembimbing yang telah
membantu penulis dalam membuat makalah ini dan teman-teman yang telah memberi
motivasi dan dorongan serta semua pihak yang berkaitan sehingga penulis dapat
menyelesaikan makalah dengan baik dan tepat pada waktunya.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan makalah ini masih banyak
terdapat kesalahan dan kekurangan maka dari itu penulis mengharapkan kritik dan
saran dari semua pihak demi perbaikan makalah ini dimasa yang akan datang.

Bengkulu, Oktober 2010

Penyusun

i -
- 19
MAKALAH
- METODE STUDI ISLAM-
“Islam Sebagai Produk wahyu, Produk Sejarah, Produk Interaksi Sosial Dan
Produk Budaya”

Oleh :

Dosen Pembimbing :

JURUSAN TARBIYAH
PENDIDIKAN GURU AGAMA ISLAM
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
STAIN (BENGKULU)
2010

- 20 -
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .......................................................................................


KATA PENGANTAR...................................................................................... i
DAFATR ISI.................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.............................................................................. 1
B. Rumusan Masalah ........................................................................ 2
C. Tujuan Makalah............................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN
A. Islam Sebagai Produk Wahyu............................................................... 3
B. Islam Sebagai Produk Sejarah.............................................................. 8
C. Islam Sebagai Produk Interaksi Sosial................................................. 10
D. Islam Sebagai Produk Budaya............................................................. 13

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan........................................................................................... 17
B. Kritik dan Saran ................................................................................... 17

DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................... iii

ii
- 21 -
DAFTAR PUSTAKA

Abudinnata, Metodologi Studi Islam, Pt. Taja Grafindo Persada. Jakarta: 2001.

Maulana Muhammad ali, Islamologi (dinul Islam) (Jakarta : Ikhtiar Baru Vam Hoeve,
1980), Hlm 2

Narsruddin Razak, Dienul Islam, (Bandung : Al-Ma’arif), 1977) cet II, hlm 56

Harun nasution, Islam ditinjau dari berbagai aspeknya, Jilid I ( Jakarta : UI Press,
1979, hlm 9

http://jn76.wordpress.com/2008/09/21/islam-sebagai-produk-budaya/
Juhaya S. Praja,1997:55-57, dalam Atang Abd. Hakim dan Jaih Mubarok, 2001:64

iii - 22 -

You might also like