You are on page 1of 6

TEORI KONSUMSI ISLAM

SEMESTER IV

KELOMPOK

Disusun oleh ;

Budianto

Intan Kumala Sari

Novibrianti D.A.N

Rifatus Sa’adah

Siska Rusdiana

Indang Ayu S

FAKULTAS EKONOMI AKUNTANSI

UNIVERSITAS ISLAM DARUL ULUM LAMONGAN

2009/2010

KATA PENGANTAR
Segala puja dan puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, yang mana
telah melinpahkan rahmat-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
dengan sebaik-baiknya.
Shalawat serta salam senantiasa tetap terpanjatkan kepada nabi besar kita,
Muhammad SAW yang mana telah menuntun kita dari jaman jahiliyah menuju jaman
terang benderang yaitu agama Islam.
Makalah ini sengaja kami susun untuk menambah pengetahuan kita tentang
teori konsumsi dalam islam, agar kita didalam menkosumsi atau memenfaatkan
sesuatu dapat sesuai dengan kaidah-kaidah islam.
Ucapan terima kasih kepada Bpk H. Imamuddin selaku dosen pengajar kami,
yang telah memberikan pengetahuan kepada kami. Serta terima kasih yang sebesar-
besarnya kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini,
khususnya orang tua dan teman-teman semua.
Segala sesuatu tak ada yang sempurna begitupun juga dengan makalah ini.
Apabila ada masukan yang membangun guna untuk kesempurnaan makalah ini, maka
kami dengan lapang dada akan menerimanya. Semoga makalah ini bermanfaat bagi
kita semua.

Penyusun,

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar belakang

Dalam sistem perekonomian, konsumsi mempunyai peranan penting. Adanya


konsumsi akan mendorong terjadinya produksi dan distribusi. Dengan demikian akan
menggerakkan roda-roda perekonomian. Apabila ketika masyarakat tidak memiliki
kemampuan membayar pada suatu barang yang diproduksi? Meskipun produsen
berargumen barang mereka sesuai dengan keinginan konsumen, tetap tidak akan
melahirkan demand. Tanpa adanya daya beli konsumen, produksi akan terhenti, dan
ekonomi mati.

Dalam kenyataanya, hidup dan matinya sebuah proses ekonomi ternyata tidak
sesederhana yang baru saja digambarkan di atas. Sudah menjadi perilaku produsen untuk
berusaha sekuat tenaga mengeksploitasi keinginan konsumen dan mengkonversinya
menjadi demand. Dengan promosi yang gencar, sistem pembayaran yang mudah
dijangkau serta hadiah-hadiah yang ditawarkan, konsumen seakan tidak memiliki alasan
untuk tidak memiliki daya beli. Sistem kredit misalnya, merupakan bagian dari upaya
produsen dalam memprovokosi konsumen agar terus membeli, sampai akhirnya perilaku
konsumsi mereka menjadi lepas kendali.

Untuk mengantisipasi atau mengendalikan perilaku konsumsi diatas, maka


diperlukan suatu pelajaran dan pengetahuan dalam kegaitan mengkonsumsi secara islam.
Agar tidak sampai pada sifat berlebih-lebihan dan sesuai dengan ajaran agama.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian

B.
Perilaku Konsumsi Dalam Islam
Sunday, 16 March 2003

Tulisan Oleh : Mukhammad Najib (Dosen STEI Tazkia)

Dalam sistem perekonomian, konsumsi memainkan peranan penting. Adanya konsumsi akan
mendorong terjadinya produksi dan distribusi. Dengan demikian akan menggerakkan roda-roda
perekonomian. Bayangkan ketika masyarakat tidak memiliki kemampuan membayar pada suatu
barang yang diproduksi? Meskipun produsen berargumen barang mereka sesuai dengan need
konsumen, tetap tidak akan melahirkan demand. Tanpa adanya daya beli konsumen, produksi akan
terhenti, dan ekonomi mati!

Dalam realitas empirik, hidup dan matinya sebuah proses ekonomi ternyata tidak sesederhana yang
baru saja digambarkan di atas. Sudah tabiat produsen untuk berusaha sekuat tenaga
“mengeksploitasi” need konsumen dan mengkonversinya menjadi demand. Dengan promosi yang
gencar, sistem pembayaran yang “merangsang” serta hadiah-hadiah yang ditawarkan, konsumen
seakan tidak memiliki alasan untuk tidak memiliki daya beli. Sistem kredit misalnya, merupakan bagian
dari upaya produsen dalam memprovokosi konsumen agar terus membeli, sampai akhirnya perilaku
konsumsi mereka menjadi lepas kendali.

Sebagai agama yang syamil, Islam telah memberikan rambu-rambu berupa batasan-batasan serta
arahan-arahan positif dalam berkonsumsi. Setidaknya terdapat dua batasan dalam hal ini.

Pertama, pembatasan dalam hal sifat dan cara. Seorang muslim mesti sensitif terhadap sesuatu yang
dilarang oleh Islam. Mengkonsumsi produk-produk yang jelas keharamannya harus dihindari, seperti
minum khamr dan makan daging babi.. Seorang muslim haruslah senantiasa mengkonsumsi sesuatu
yang pasti membawa manfaat dan maslahat, sehingga jauh dari kesia-siaan. Karena kesia-siaan
adalah kemubadziran, dan hal itu dilarang dalam islam (QS. 17 : 27)

Kedua, pembatasan dalam hal kuantitas atau ukuran konsumsi. Islam melarang umatnya berlaku kikir
yakni terlalu menahan-nahan harta yang dikaruniakan Allah SWT kepada mereka. Namun Allah juga
tidak menghendaki umatnya membelanjakan harta mereka secara berlebih-lebihan di luar kewajaran
(QS. 25 : 67, 5 : 87). Dalam mengkonsumsi, Islam sangat menekankan kewajaran dari segi jumlah,
yakni sesuai dengan kebutuhan. Dalam bahasa yang indah Al-Quran mengungkapkan “dan janganlah
kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu
mengulurkannya…”(QS. 17 : 29).

Adapun arahan Islam dalam berkonsumsi paling tidak ada tiga hal.

Pertama, jangan boros. Seorang muslim dituntut untuk selektif dalam membelanjakan hartanya. Tidak
semua hal yang dianggap butuh saat ini harus segera dibeli. Karena sifat dari kebutuhan
sesungguhnya dinamis, ia dipengaruhi oleh situasi dan kondisi. Seorang pemasar sangat pandai
mengeksploitasi rasa butuh seseorang, sehingga suatu barang yang sebenarnya secara riil tidak
dibutuhkan tiba-tiba menjadi barang yang seolah sangat dibutuhkan. Contoh sederhana air mineral.
Dahulu orang tidak terlalu membutuhkannya. Namun karena perusahaan rajin “memprovokasi” pasar,
kini hampir di setiap rumah kita ada air mineral.

Kedua, seimbangkan pengeluaran dan pemasukan. Seorang muslim hendaknya mampu


menyeimbangkan antara pemasukan dan pengeluarannya, sehingga sedapat mungkin tidak berutang.
Karena utang, menurut Rasulullah SAW akan melahirkan keresahan di malam hari dan mendatangkan
kehinaan di siang hari. Ketika kita tidak memiliki daya beli, kita dituntut untuk lebih selektif lagi dalam
memilih, tidak malah memaksakan diri sehingga terpaksa harus berutang. Hal ini tentu bertentangan
dengan perilaku produktif. Kita telah merasakan: keresahan, kehinaan, serta kehilangan kemerdekaan
sebagai satu bangsa akibat jerat utang.

Ketiga, tidak bermewah-mewah. Islam juga melarang umatnya hidup dalam kemewahan (QS. 56 : 41-
46) Kemewahan yang dimaksud menurut Yusuf Al Qardhawi adalah tenggelam dalam kenikmatan
hidup berlebih-lebihan dengan berbagai sarana yang serba menyenangkan.

Perilaku konsumsi, sesuai dengan arahan Islam di atas menjadi lebih terasa urgensinya pada
kehidupan kita saat ini. Krisis ekonomi yang belum juga reda bertemu dengan harga-harga yang
melambung tinggi selama bulan puasa, menuntut kita untuk selektif dalam berbelanja. Islam tidak
melegitimasi momen apapun yang boleh digunakan untuk mengkonsumsi secara berlebihan apalagi di
luar batas kemampuan, termasuk Ramadhan dan Idul Fitri. Bahkan Rasulullah merayakan idul fitri
dengan penuh kesederhanaan.

Bagi mereka yang memiliki uang berlebih mungkin berfikir, mengapa Islam harus membatasi hak
orang? Pada prinsipnya Islam sangat menghargai hak individu dalam mengkonsumsi rezeki yang
diberikan oleh Allah SWT sepanjang pelaksanaannya tidak mengganggu kepentingan umum. Dalam
riwayat, Khalifah Umar bin Khattab pernah melarang konsumsi daging dua hari berturut-turut dalam
sepekan, karena persediaan daging tidak mencukupi semua orang di Madinah. Demikian pula terjadi
pada zaman Nabi Yusuf, ketika terjadi swasembada selama tujuh tahun, masyarakat tidak
diperkenankan mengkonsumsi secara berlebihan (QS. 12:47-48). Pembatasan di masa krisis
sesungguhnya dapat menjaga stabilitas sosial serta menjamin terpenuhinya rasa keadilan, karena
mereka yang punya kuasa atas harta tidak bisa secara sewenang-wenang menimbun bahan pangan
di rumahnya.

You might also like