Professional Documents
Culture Documents
Terdapat dua jenis kontrak derivatif yang dikenali dari cara perdagangannya
di pasar yaitu :
Derivatif yang ditransasikan diluar bursa
atau dikenal juga dengan istilah "(Over-the-counter (OTC)
derivatives) adalah merupakan suatu kontrak bilateral ( melibatkan
dua pihak) yang dilakukan diluar bursa ataupun tanpa menggunakan
pialang (transaksi langsung antara para pihak). Beberapa produk
seperti swap, kontrak serah nilai tukar, dan opsi eksotik (exotic option)
yaitu suatu derivatif yang menggunakan fitur sehingga menjadi lebih
rumit daripada derivatif yang umum diperdagangkan, misalnya
opsi vanila[4] ) seringkali diperdagangkan tanpa melalui bursa (OTC).
Pasar transaksi derivatif tanpa melalui bursa (OTC) ini sangat besar
sekali.
Derivatif yang diperdagangkan di bursa
atau disebut juga Exchange-traded derivatives adalah merupakan
instrumen derivatif yang diperdagangkan pada bursa perdagangan
khusus derivatif (bursa berjangka) ataupun bursa lainnya. Bursa
derivatif menjalankan perannya sebagai perantara atas transaksi
terkait dan memungut marjin awal (initial margin) dari kedua belah
pihak yang melakukan transaksi sebagai jaminan.
Yang dimaksud dengan derivatif adalah suatu kontrak pemindahan resiko, antara pihak yang menanggung resiko
dengan yang mengalihkan resiko, dimana pihak yang menanggung resiko (risk taker) mendapatkan uang jasa
atau fee dari pihak yang mangalihkan resiko (tertanggung) sebagai kompensasi dari penanggungan tersebut. Karena
itu derivatif semula digunakan untuk tujuan hedging atau lindung nilai. Kebutuhan adanya transaksi seperti ini
dikarenakan adanya pihak-pihak yang lemah dalam menanggung resiko dan pihak-pihak yang lebih kuat.
Sebagai contoh adalah perusahaan-perusahaan kecil yang bergerak dalam perdagangan komoditi biasanya terpapar
resiko ketidak pastian harga jual barang dagangan mereka. Jika harga menurun terlalu tajam maka hal ini bisa
menjadi bencana bagi mereka. Bagi perusahaan kecil, katakanlah kerugian Rp. 100 juta dapat membuat mereka
segera tutup usaha. Tidak demikian halnya dengan perusahaan yang memiliki aset sampai berpuluh bahkan beratus
miliar, kerugian sedemikian tidaklah terlalu menggoncangkan mereka. Jadi mereka lebih tahan menanggung resiko.
Karena itu terbukalah suatu peluang usaha atau kerja sama yang saling menguntungkan. Si lemah-tertanggung
mengalihkan resikonya kepada si kuat-penanggung. Misalnya dengan suatu kontrak perjanjian bahwa si kuat akan
membeli komoditi yang dijual si lemah pada suatu harga tertentu, dan dengan demikian hal tersebut menetralisir
resiko penurunan harga yang bisa membuat si lemah kolaps. Di pihak lain si penanggung resiko mendapat imbalan
atau kompensasi sejumlah uang jasa dari pihak tertanggung.
Dalam prakteknya ada berbagai macam jenis derivatif, misalnya forward, future, swap, opsi, dsb. Tetapi pada
dasarnya semua itu adalah berupa kontrak pengalihan resiko dari satu pihak kepada pihak lain dengan suatu
imbalan tertentu. Demikian juga objek dari pertanggungan itu, atau yang biasa disebut variabel yang mendasari
(underlying variable) ada bermacam-macam, misalnya harga komoditi, tingkat sukubunga, kurs mata uang asing,
harga saham, cuaca, atau apapun juga yang dalam kondisi tertentu menimbulkan suatu resiko bagi pihak tertentu.
Dalam contoh di atas jenis derivatif tersebut adalah kontrak berjangka atau forward dan variabel yang mendasari
adalah harga pasar komoditi.
Sekilas kontrak derivatif mirip dengan asuransi. Yang membedakan adalah objek pertanggungannya. Pada asuransi,
objek pertanggungan adalah terjadinya suatu kerugian yang menimpa kepada pihak tertentu karena suatu peristiwa
tertentu, misalnya kebakaran, kerusakan, kematian, sakit atau cidera. Namun dalam hal derivatif objek
pertanggungan adalah pada peristiwa tertentu yang bisa mendatangkan kerugian pada pihak tertentu, misalnya
fluktuasi tingkat sukubunga, harga, inflasi, kurs mata uang, cuaca, dsb.
Pada asuransi, pihak tertanggung akan mengalihkan suatu resiko tertentu kepada pihak penanggung, dalam hal ini
adalah perusahaan asuransi. Di sisi lain pihak tertanggung akan membayar premi asuransi kepada perusahaan
asuransi sebagai penanggung resiko. Jika kerugian yang dimaksudkan benar-benar terjadi maka pihak perusahaan
asuransi akan membayarkan sejumlah uang tertentu sesuai dengan kontrak, untuk menutup sebagian atau seluruh
kerugian tersebut.
Jika pada asuransi fokusnya adalah pada kerugian yang ditimbulkan, pada derivatif yang penting adalah peristiwa
yang menimbulkan kerugian. Jika seseorang mempunyai polis asuransi mobil, sekalipun dia megalami kecelakaan
dengan mobilnya, jika mobil tersebut tidak rusak maka dia tidak berhak untuk menerima penggantian apapun.
Sebaliknya pada derivatif, sekalipun pihak tertanggung tidak megalami kerugian, jika peristiwa yang disyaratkan
terjadi maka dia berhak untuk mengeksekusi apa yang menjadi haknya. Karena itu derivatif selain digunakan untuk
keperluan hedging, sebagaimana pada contoh di atas, dapat disalah gunakan untuk kegiatan spekulasi.
Siapapun dapat mengadakan kontrak derivatif, sekalipun dia tidak berbisnis dalam bidang yang riil. Jika dia
memprediksi bahwa harga komoditi tertentu akan naik tajam maka dia dapat mengadakan kontrak untuk
mendapatkan hak membeli suatu komoditi pada harga tertentu pada saat tertentu di masa yang akan datang (disebut
opsi), dimana harga tersebut tentu saja lebih rendah daripada harga yang dia prediksi. Dan jika tebakannya benar
dia akan meraup untung, dan jika salah maka kerugian maksimalnya adalah fee yang harus dia bayar kepada pihak
penanggung resiko.
Dan manakala derivatif sudah tidak digunakan untuk kegiatan ekonomi riil melainkan semata-mata digunakan untuk
alat spekulasi seperti digambarkan dia atas, maka apa bedanya hal itu dengan judi togel atau lotere? Apalagi
sekarang banyak jenis kontrak derivatif sudah dibakukan atau disekuritisasi, sehingga ia dapat diperjual belikan di
bursa efek, sebagaimana layaknya suatu aset finansial seperti saham dijual belikan di sana; misalnya di BEI
sekarang sudah ada derivatif opsi saham.
Dan dalam hal penanggung resiko adalah suatu lembaga yang menghimpun dana dari masyarakat banyak, maka
sangat mungkin lembaga tersebut terpapar resiko yang sangat besar. Untuk meraih bonus yang besar, pengurus
lembaga tersebut dapat saja mencoba meraih pendapatan fee sebesar-besarnya melalui bisnis penganggungan
resiko-derivatif. Jika resiko tersebut tidak terjadi maka perusahaan akan meraih untung besar, yang berarti imbalan
yang besar bagi para eksekutifnya. Jika resiko tersebut terealisasi maka perusahaan akan merugi, dan yang terkena
kerugian paling besar adalah para nasabahnya yang menempatkan uangnya dalam lembaga tersebut.
Dikutip dari buku “SOSIALISASI EKONOMI”, buku tsb dapat diunduh dari sini
:http://ekonomi.kompasiana.com/2010/02/24/launching-buku-sosialisasi-ekonomi-gratis/
Cat: jumlah nosional merupakan suatu jumlah dalam unit valuta, saham, dan atau satuan unit lainnya yang
disebutkan dalam perjanjian. Penyelesaian instrument derivative dengan jumlah nosional tertentu ditentukan oleh
interaksi antara jumlah nosional dengan variable pokoknya. Interaksi dapat berupa perkalian sederhana, atau berupa
rumus dengan factor average atau konstanta yang lain.
KASUS
Derivatif Masih Perlu
Heboh isu derivatif biasanya dipicu oleh adanya kegagalan bayar oleh pihak
yang menganggap dirinya ”tertipu” oleh pihak lain. Belum pernah terjadi
sepanjang sejarah keuangan, pihak yang diuntungkan menyatakan secara
terbuka bahwa mereka mendapat keuntungan dari permainan derivatif.
Selama ini, yang selalu terjadi adalah nasabah akan berteriak ketika mereka
rugi akibat transaksi derivatif.
Jika dirunut ke belakang, munculnya instrumen derivatif pada dasarnya
akibat adanya kebutuhan untuk lindung nilai (hedging). Seperti diketahui, di
dalam kegiatan ekonomi dikenal adanya empat jenis risiko pasar, yaitu risiko
fluktuasi nilai tukar, risiko fluktuasi suku bunga, risiko fluktuasi harga saham,
dan risiko fluktuasi harga komoditas.
Bagi industri yang bergerak di sektor nonkeuangan, kompetensi mereka
memang seyogianya hanya di aspek produksi dan pemasaran. Soal
bagaimana menghadapi potensi gejolak risiko pasar, dapat diserahkan
kepada pihak lain yang lebih berkompeten, misalnya perbankan.
Kasus perselisihan yang terjadi antara nasabah dan perbankan di
penghujung tahun 2008 lalu, seharusnya membangkitkan kesadaran baru
bahwa selain perbankan mesti lebih tekun menjelaskan kepada nasabah soal
transaksi derivatif, nasabah juga jangan pernah masuk
transaksi derivatif kalau tidak memahami secara jelas risk-return-nya.
Profil Derivatif
Jika dilihat dari jenis instrumennya, 84,14% derivatif berupa
produk derivatif suku bunga. Dari jumlah tersebut, 77,8% berupa
transaksi swap suku bunga. Adapun produk derivatif untuk valuta asing
hanya sebesar 11,56%, equity link 1,87%, dan derivatif untuk komoditas
2,43% (lihat tabel).
Dengan melihat porsi swap suku bunga yang mencapai 77,8% dari
total derivatif suku bunga, maka dapat disimpulkan bahwa
peran derivatif sampai saat ini sebenarnya masih fokus untuk tujuan lindung
nilai dan bukan untuk trading atau spekulasi. Mengingat kebutuhan lindung
nilai merupakan kebutuhan inheren yang melekat di seluruh industri, di
masa depan instrumen derivatiftampaknya akan terus dibutuhkan.
Prospek Derivatif
Sesuai Peraturan Bank Indonesia (PBI) No. 10/2/DPD tanggal 27 November
2008, ditegaskan bahwa perbankan dilarang melakukan
transaksi derivatif yang mengandung unsur spekulasi yang dapat menambah
gejolak nilai tukar rupiah. Produk terstruktur yang merupakan produk
investasi ditempeli transaksi derivatif (seperti opsi) yang bersifat spekulatif
dilarang dilakukan oleh perbankan. Bahkan dalam PBI No. 10/38/PBI/2008
tanggal 16 Desember 2008 ditegaskan lagi oleh Bank Indonesia bahwa
perbankan hanya diperbolehkan melakukan transaksi derivatif khusus untuk
valuta asing, suku bunga, atau gabungan keduanya.
Sedangkan derivatif untuk saham dan komoditas tidak diperbolehkan
dilakukan oleh bank. Pembatasan ini disebabkan belum mapannya bursa
saham dan komoditas di Indonesia yang ditandai oleh fluktuasi harga tanpa
adanya alasan yang rasional (underlying reason). Selain itu, juga untuk
mencegah agar bank tidak masuk dalam transaksi yang berisiko tinggi,
karena di dalam pasar saham dan komoditas, potensi menjadi transaksi
spekulasi cukup menggiurkan.
Dengan hanya melakukan transaksi derivatif suku bunga dan valuta asing,
berarti media pertukaran yang dilakukan perbankan adalah
melalui counter (over-the-counter, OTC), yang artinya tidak dilakukan di
bursa. Oleh karena medianya OTC, maka peraturan yang mengikat kedua
belah pihak yang bertransaksi adalah kontrak perjanjian antara mereka
berdua dan pihak lain tidak mengetahui isi kontraknya. Transaksi OTC rawan
terjadi perselisihan, karena OTC hanya didasarkan pada kesepakatan dua
pihak dan tidak ada keterlibatan pihak lain. Dengan sifat OTC seperti ini,
maka, setiap kali terjadi kontrak, kedua belah pihak harus sudah memahami
segala risk-returnyang mungkin timbul di kemudian hari.
Sebagai ilustrasi, masih adanya pertanyaan nasabah mengapa bank dapat
menghentikan secara sepihak sebuah transaksi derivatif dapat
mengindikasikan belum pahamnya nasabah terhadap seluk-beluk
dannature transaksi derivatif. Sebagai contoh, ketika nasabah masuk dalam
kontrak opsi untuk membeli valas, maka eksekusi untuk membeli atau tidak
membeli tergantung pada execution style-nya. Jika denganEuropean Style,
kontrak hanya dapat dieksekusi pada waktu jatuh tempo (maturity).
Sementara itu, jika menggunakan American Style, setiap saat nasabah dapat
melakukan eksekusi pembelian valas sesuai harga yang paling
menguntungkan. Sebaliknya, jika posisi nasabah adalah sebagai penjual call
option, maka pihak bank-lah yang memiliki hak untuk dapat melakukan
eksekusi setiap saat jika menggunakanAmerican Style.
Seluk-beluk transaksi opsi seperti itu harus sudah menjadi pengetahuan
dasar bagi seluruh nasabah yang akan memasuki kontrak transaksiderivatif.
Tidak mungkin seluruh knowledge tentang derivatif mesti dituangkan dalam
perjanjian kontrak derivatif, karena ilmu derivatifdianggap sudah menjadi
pengetahuan umum.
Pertanyaannya, apakah preseden kerugian derivatif yang diderita beberapa
nasabah perbankan akan menyurutkan nasabah untuk membeli
produk derivatif?
Sesuai ketentuan Bank Indonesia, sepanjang untuk kepentingan lindung
nilai, maka prospek permintaan transaksi derivatif masih akan marak. Meski
demikian, ada satu hal penting yang perlu menjadi perhatian calon nasabah
bank. Guna menghindari terjadinya perselisihan di kemudian hari, nasabah
yang bergerak di bidang nonkeuangan seyogianya memiliki
tenaga treasury yang mumpuni untuk mengimbangi tawaran perbankan.
Selain itu, di pihak perbankan, hendaknya juga mengantisipasi risiko
transaksi derivatif bukan sekadar dari risiko pasarnya, tetapi juga risiko
kreditnya ketika ada potensi nasabah gagal menyelesaikan kontraknya.Exit
strategy harus disiapkan sejak awal, sehingga bank tidak perlu
mencadangkan 100% kerugian ketika sebuah kontrak derivatif gagal
dieksekusi oleh nasabah.
Salah satu perusahaan besar yang sudah menempuh jalur hukum dalam
menghadapi masalah transaksi derivatif ini adalah PT Kalbe Farma Tbk.
Melalui Hotman Paris Hutapea sebagai kuasa hukumnya, Kalbe telah
mengajukan gugatan perdata kepada JP Morgan Chase Bank, N.A. cabang
London (Inggris), Jakarta (Indonesia), dan Singapura, serta empat eksekutif
JP Morgan Chase Bank ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, 4 Februari lalu.
Gugatan Kalbe ini merupakan tuntutan balik terhadap bank asing itu yang
sebelumnya, pada pertengahan Januari lalu, telah menggugat Kalbe di
pengadilan Inggris karena Kalbe dianggap telah cedera janji atau melakukan
pelanggaran atas dua perjanjian kontrak derivatif nilai tukar. Selain itu, JP
Morgan Chase juga menuduh Kalbe tidak bersedia membayar biaya
pemutusan kontrak derivatif itu lebih awal.
Lantaran itu, JP mengajukan klaim pembayaran kepada Kalbe senilai
US$19,18 juta.
Namun, Kalbe menolak klaim itu karena Kalbe menganggap pihaknya belum
pernah menyetujui dan menandatangani kontrak derivatif itu. Dalam berkas
gugatan baliknya, Kalbe menuntut ganti rugi senilai US$120 juta kepada JP
Morgan Chase Bank. Nilai gugatan itu terdiri dari kerugian materiil US$20
juta karena tuduhan cedera janji yang dilaporkan JP Morgan Chase ke
pengadilan Inggris telah membuat turunnya harga saham Kalbe di Bursa
Efek Indonesia. Adapun nilai gugatan US$100 juta merupakan kerugian
immateriil karena tindakan JP Morgan Chase itu telah membuat seolah-olah
citra Kalbe adalah perusahaan buruk yang telah cedera janji.
PT Elnusa Tbk. juga tengah menghadapi kasus transaksi derivatif dengan
Bank Danamon. Perusahaan pelat merah ini sempat mencoba menempuh
jalur hukum dengan mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan, 6 Februari lalu. Namun, belakangan Elnusa dan Bank Danamon
sepakat menyelesaikan masalah transaksi derivatif berupa kontrak US$
Selling itu di luar pengadilan. Sebelumnya, Dodi S. Abdulkadir, kuasa hukum
PT Elnusa Tbk., sempat menjelaskan Elnusa terjebak melakukan
transaksi US$ Selling Trade Redemption Forward (RTF) dan US$ Selling
Cancellable Forward Transaction (CFT) dari salah satu bank swasta. Selain
Elnusa, beberapa BUMN lainnya diketahui juga menyimpan potensi kerugian
akibat melakukan kontrak transaksi derivatif ini. Di antaranya, PT Aneka
Tambang Tbk. di Standard Chartered Bank dan PT Danareksa di PT Bank
Permata Tbk.
Kerugian Bank
Jika dilihat dari sisi bank, pihak perbankan sendiri sesungguhnya juga
mengalami kerugian yang tidak kecil. Eksposur risiko produk derivatif yang
seharusnya menjadi beban nasabah, justru berpindah menjadi beban bank,
akibat nasabah tersebut tidak mampu menyelesaikan kontrak derivatif
dengan banknya.
Sesuai dengan perannya sebagai intermediary, dalam melakukan transaksi
derivatif, bank juga mengikat kontrak transaksi derivatif dengan bank-bank
lain, biasanya bank-bank asing yang lebih besar. Otomatis, kalau sampai
kontrak derivatif dengan nasabah macet, maka bank harus menomboki
jumlah yang macet tersebut untuk melunasi kewajiban kepada bank
mitranya.
Gejala perbankan turut merugi besar akibat transaksi derivatif ini terlihat
jelas dari laporan kinerja PT Bank Danamon Tbk. selama 2008. Laba bank
milik Temasek Holdings Pte (Singapura) dan Deutsche Bank AG (Jerman) ini
pada 2008 jeblok 29% dibanding tahun sebelumnya menjadi hanya Rp1,5
triliun. Pasalnya, Bank Danamon harus mengalokasikan dana pencadangan
hingga Rp800 miliar untuk potensi kerugian transaksi derivatif yang
dilakukannya. Padahal, kalau tidak dipotong dana provisi sebesar itu, laba
Bank Danamon seharusnya mencapai Rp2,3 triliun pada 2008.
Demikian pula halnya dengan PT Bank CIMB Niaga Tbk. Bank milik CIMB
Group Malaysia ini terpaksa harus melakukan pencadangan sebesar Rp400
miliar untuk menutup potensi kerugian transaksi derivatif yang
dilakukannya. Dampaknya, laba Bank CIMB Niaga pada 2008 merosot 55%
dibanding laba 2007 menjadi hanya Rp678 miliar. Secara umum, laba bersih
perbankan nasional selama 2008 merosot 13% dibanding tahun sebelumnya.
Dan, anjloknya laba perbankan ini diperkirakan ikut dipicu oleh kerugian
transaksi derivatif perbankan.
Sebenarnya, kontrak derivatif merupakan hal yang lumrah jika hanya
diterapkan sebagai perlindungan nilai mata uang (hedging) untuk keperluan
aktivitas usaha riil. Namun, pada kenyataannya, kontrak tersebut sudah
mengarah kepada spekulasi mata uang. Dalam waktu setahun, transaksi
derivatif perbankan tumbuh pesat (lihat tabel) dan sebagian di antaranya
diperkirakan bersifat spekulasi.
Ungkap Elvyn Gahadi Masassya, direktur investasi PT Jamsostek, kegiatan
transaksi derivatif perbankan di negeri ini sebenarnya baru mulai marak 4–5
tahun terakhir. Sebelumnya, hanya beberapa bank dan nasabah saja yang
terlibat, dengan nilai transaksi yang kecil dan memang untuk
keperluan hedging dengan underlying yang jelas. Dan, pihak-pihak yang
terlibat pun umumnya sudah paham betul mengenai produk-produk
derivatif.
Namun, belakangan produk-produknya tumbuh berkembang makin canggih
(sophisticated), termasuk yang spekulatif, tanpa underlying yang jelas,
dengan lebih mengharapkan keuntungan dari tingkat kurs. Celakanya,
banyak masyarakat yang kemudian tergiur, padahal mereka sejatinya tidak
paham dengan produk-produk derivatif. Ditambah lagi dengan tindakan
bagian pemasaran bank yang sangat gencar menawarkan dalam rangka
mendapatkan keuntungan dari transaksi lewat nasabah. “Nah, ketika apa
yang diekspektasikan dari transaksi itu, misalnya pergerakan kurs, tidak
sesuai dengan yang dibayangkan, maka muncullah banyak sekali problem
antara nasabah dan banknya seperti sekarang,” terangnya.
Tulisan ini dikutip dari majalah Warta Ekonomi edisi 04/XXI/2009, halaman
28-35. Judul asli tulisan ini adalah “Produk Derivatif: Ketika Risiko Derivatif
Mulai Makan Banyak Korban”.
Berdasarkan laporan keuangan perbankan kepada Bank Indonesia (BI), pada bulan November 2008
hampir semua bank lokal dan asing mencatatkan lonjakan tagihan derivatif. Total tagihan derivatif 17
bank besar mencapai lebih dari Rp43 triliun, atau sekitar US$4 miliar. Lonjakan tagihan derivatif
tersebut sempat memicu diskusi yang hangat di berbagai media karena diduga bisa menyebabkan
penurunan kinerja keuangan perbankan nasional.
Produk perbankan lainnya yang merupakan produk derivatif adalah produk yang termasuk
kategori structured notes. Produk ini biasanya dikeluarkan oleh investment bank dari luar negeri dan
memang merupakan produk yang kompleks. Imbal hasil investasi ini umumnya dikaitkan dengan
tingkat indeks saham internasional atau harga komoditas tertentu. Selain kompleks, produk ini sangat
bervariasi, dan kalaupun ditawarkan kepada nasabah, umumnya perbankan nasional hanya bisa
berperan sebagai agen penjual. Bagi perbankan nasional, masalah dapat timbul jika investment
bank luar negeri yang menerbitkan mengalami kebangkrutan seperti yang dialami oleh Lehman
Brothers pada September 2008 lalu. Nasabah tentu saja akan menagih pada bank nasional yang
menjadi agen penjual.
Sebenarnya transaksi derivatif merupakan sarana untuk melakukan lindung nilai
atau hedging. Seharusnya tujuan utama dari transaksi tersebut adalah untuk
meminimumkan risiko, bukan untuk memaksimumkan keuntungan atau spekulasi.
Transaksi forwardsesungguhnya sangat sesuai, misalnya, bagi eksportir yang
memperoleh pendapatan dalam dolar AS dan importir yang memerlukan bahan baku
dari luar negeri. Eksportir tentu memerlukan rupiah untuk menjalankan usahanya di
Indonesia sehingga, guna menghindari gejolak nilai tukar, sang eksportir bisa membuat
kontrak forward jual dolar AS dengan bank. Sebaliknya, bagi importir yang memerlukan
bahan baku dari luar negeri, ia dapat membuat kontrak forward beli dolar AS sehingga
terdapat kepastian biaya impor bahan baku yang diperlukan.
Para nasabah yang ingin menjalin kontrak transaksi derivatif seharusnya memahami
tujuan dari kontrak tersebut dan berbagai risiko yang mungkin terjadi. Transaksi
derivatif seperti forward dan optionseharusnya digunakan untuk meminimumkan risiko
(hedging), bukan untuk memaksimumkan keuntungan (spekulasi). Seandainya nasabah
hendak berspekulasi menggunakan produk derivatif, maka tugas utama dari nasabah
tersebut adalah menjadikan dirinya sebagai sophisticated investor dengan cara
mempelajari berbagai aspek potensi imbal hasil dan potensi risiko yang dihadapinya.
Selain itu, perlu diperhatikan pula kredibilitas counterparty yang dihadapi oleh nasabah
karena jangan sampai terjadi wanprestasi atas kontrak tersebut.
Meskipun secara finansial akan selalu aman karena adanya jaminan dari nasabah,
perbankan nasional seharusnya tetap menerapkan prinsip KYC (Know Your Customer)
dalam menawarkan produk derivatif. Jangan sampai perbankan hanya mengejar
pendapatan tanpa memperhatikanfinancial literacy dan kebutuhan nasabah. Sampaikan
semua potensi keuntungan dan kerugian dari produk derivatif yang ditawarkan
secaraprudent. Sudah terlalu sering nasabah perbankan kita merasa “tertipu” dan
menjadi jera karena tidak mendapat penjelasan serta pembelajaran yang semestinya
dari orang yang memang betul-betul paham tentang produk yang ditawarkan. ■