Professional Documents
Culture Documents
Pengetahuan
Pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui
tentang suatu obyek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu. Ilmu merupakan
bagian dari pengetahuan yang diketahui manusia disamping berbagai pengetahuan
lainnya seperti seni dan agama.
Pengetahuan merupakan khasanah kekayaan mental. Tiap jenis
pengetahuan pada dasarnya menjawab jenis pertanyaan tertentu yang diajukan.
Secara Ontologis ilmu membatasi diri pada kajian obyek yang berada dalam
lingkup pengalaman manusia, sedangkan agama memasuki daerah penjelajahan
yang bersifat trasendental yang berada di luar pengalaman kita.
Cara menyusun pengetahuan dalam kajian filsafati disebut epistemologi,
dan landasan epistemologi ilmu disebut metode ilmiah.
Setiap jenis pengetahuan mempunyai ciri-ciri yang spesifik mengenai apa
(ontologi), bagaimana (epistemologi), dan untuk apa (aksiologi) pengetahuan
tersebut disusun.
Pengetahuan dikumpulkan oleh ilmu dengan tujuan untuk menjawab
permasalahan kehidupan yang sehari-hari dihadapi manusia. Pemecahan tersebut
pada dasarnya adalah dengan meramalkan dan mengontrol gejala alam. Untuk
bisa meramalkan dan mengontrol sesuatu, maka kita harus menguasai
pengetahuan yang menjelaskan peristiwa itu.
Seni, pada sisi lain pengetahuan mencoba mendeskripsikan sebuah gejala
dengan sepenuh-penuhnya makna. Kalau ilmu mencoba mengembangkan sebuah
model yang sederhana mengenai dunia empiris dengan mengabstraksikan realitas
menjadi beberapa variabel yang terikat dalam sebuah hubungan yang rasional,
maka seni (paling tidak seni sastra), mencoba mengungkapkan obyek penelaahan
itu sehingga menjadi bermakna bagi pencipta dan mereka yang meresapinya. Seni
menurut Moehtar Lubis, merupakan produk dari daya inspirasi dan daya cipta
manusia yang bebas dari cengkraman dan belenggu berbagai ikatan. Karya seni
ditujukan untuk manusia, dengan harapan bahwa pencipta dan obyek yang
diungkapkan mampu berkomunikasi dengan manusia yang memungkinkan dia
menangkap pesan yang dibawa karya seni itu.
Ilmu mencoba mencarikan penjelasan mengenai alam menjadi kesimpulan
yang bersifat umum dan impersonal. Sebaliknya seni tetap bersifat individual dan
personal, dengan memusatkan perhatiannya pada “pengalaman hidup manusia
perseorangan”. Somerset Maugham menyimpulkan bahwa manusia memuliakan
dirinya justru lewat pengalaman (penderitaan) orang lain.
Gejala alam merupakan pencerminan dari kepribadian dan kelakuan
manusia dan karena pada waktu itu gejala alam sukar diramalkan, maka
berkembanglah tokoh-tokoh supra natural, seperti munculnya dewa-dewa yang
pemarah, pendendam, atau mudah jatuh cinta disamping berkeampuhan yang luar
biasa. Sesuai dengan pengetahuan mereka mengontrol timbulnya gejala alam yang
berupa malapetaka adalah identik dengan mengarahkan kelakuan para dewa yang
bersangkutan. Dengan mempelajari alam mereka mengembangkan pengetahuan
yang mempunyai kegunaan praktis. Lalu berkembanglah pengetahuan yang
berakar pada pengalaman berdasarkan akal sehat (Common sense) yang didukung
oleh metode mencoba-coba (trial-and error).
Perkembangan ini menyebabkan tumbuhnya pengetahuan yang disebut
seni terapan (applied arts) yang mempunyai kegunaan langsung dalam kehidupan
badani sehari-hari disamping “seni halus” (fine arts) yang bertujuan untuk
memperkaya spiritual.
Seni terpakai ini pada hakikatnya mempunyai dua ciri yakni pertama,
bersifat deskriptif dan fenomenologis dan, kedua ruang lingkup terbatas. Sifat
deskriptif ini mencerminkan proses pengkajian yang menitikberatkan kepada
penyelidikan gejala-gejala yang bersifat empiris tanpa kecenderungan untuk
pengembangan postulat yang bersifat teoritis atmistis. Sifat terbatas dari seni
terapan juga tidak menunjang berkembangnya teori-teori yang bersifat umum
seperti teori gravitasi Newton dan teori medan elektromagnetik Maxwell, sebab
tujuan analisisnya bersifat praktis.
Pada peradaban tertentu perkembangan seni terapan ini bersifat kuantitatif
artinya perkembangannya ditandai dengan terkumpulnya lebih banyak lagi
pengetahuan-pengetahuan yang sejenis. Sedangkan pada peradaban lain
pengembangannya bersifat kualitatif artinya dikembangkan konsep-konsep baru
yang bersifat mendasar dan teoritis. Akal sehat dan cara coba-coba mempunyai
peranan penting dalam usaha manusia untuk menemukan penjelasan mengenai
berbagai gejala alam.
Randall dan Buchler mendefinisikan akal sehat sebagai pengetahuan yang
diperoleh lewat pengalaman yang tidak disengaja yang bersifat sporadis dan
kebetulan. Sedangkan karakteristik akal sehat diberikan oleh Titus sebagai
berikut: (1) karena landasannya yang berakar pada adat dan tradisi maka akal
sehat cenderung untuk bersifat kebiasaan dan pengulangan; (2) karena
landasannya yang berakar kurang kuat maka akal sehat cenderung untuk bersifat
kabur dan samar-samar; (3) karena kesimpulan yang ditarik berdasarkan asumsi
yang tidak dikaji lebih lanjut maka akal sehat lebih merupakan pengetahuan yang
tidak teruji.
Ilmu mempunyai dua peranan (Bentrand Russell), pada satu pihak sebagai
metafisika sedangkan pada pihak lain sebagai akal sehat yang terdidik (Educated
common sense). Dalam kaitan ini berkembanglah metode eksperimen yang
merupakan jembatan antara penjelasan teoritis yang hidup di alam rasional dengan
pembuktian yang dilakukan secara empiris. Secara konseptual metode eksperimen
dikembangkan oleh sarjana muslim dan secara sosiologis dimasyarakatkan oleh
Francois Bacon.
Pengembangan metode eksperimen mempunyai pengaruh penting terhadap
cara berfikir manusia sebab dengan demikian maka dapat diuji berbagai
penjelasan teoritis apakah sesuai dengan kenyataan empiris atau tidak. Dengan
demikian maka berkembanglah metode ilmiah yang menggabungkan cara berfikir
deduktif dan induktif. Dengan berkembangnya metode ilmiah dan diterimanya
metode ini sebagai paradigma oleh masyarakat keilmuan maka sejarah
kemanusiaan menyaksikan perkembangan pengetahuan yang sangat pesat.
Ilmu- ilmu alam membagi menjadi dua kelompok lagi yaitu ilmu
alam (the phisycal science) dan ilmu hayat (the biological science). Ilmu
alam bertujuan untuk mempelajari zat yang membentuk alam semesta
sedangkan alam kemudian bercabang lagi menjadi fisika (mempelajari
masa dan energi), kimia (mempelajari substansi zat), astronomi
(mempelajari benda- benda langit) dan ilmu bumi (atau the earth science
yang mempelajari bumi kita ini).
Bagi tahap peradaban kita sekarang ini, maka semua itu tidak
menjadi soal karena penerapan pengetahuan kedalam masalah
kehidupan kita sehari- hari masih dirasakan banyak manfaatnya. Masalah
tertentu akan lain lagi bila hal ini dihubungkan dengan pengetahuan yang
bersifat mutlak yang tidak berubah dari waktu ke waktu sesuai dengan
peradaban manusia.
Dalam hal ini maka ilmu tidak dapat memberikan jalan keluar dan
manusia harus berpaling ke sumber yang lain, umpamanya agama. Ilmu
tidak berwenang untuk menjawabnya, sebab hal itu berada diluar bidang
telaahnya. Secara ontologi ilmu membatasi diri hanya dalam ruang lingkup
pengalaman manusia. Diluar bidang empiris tidak bisa mengatakan apa-
apa. Sedangkan dalam batas kewenangannya pun, ilmu bukan tanpa
cela, antara lain karena panca indra manusia jauh dari sempurna.
Dr. Mr. D.C Mulder menulis dalam karyanya yang berjudul Iman
dan Ilmu Pengetahuan, “Tiap- tiap ahli ilmu vak menghadapi soal- soal
yang tak dapat dipecahkan dengan melulu memakai pengetahuan vak itu
sendiri. Ada soal- soal pokok atau soal- soal dasar yang melalui
kompetensi dari ilmu vak itu sendiri. Misalnya, dimanakah batas- batas
lapangan yang saya selidiki ini? Dimanakah tempatnya di dalam
kenyataan seluruhnya ini? Metode yang saya gunakan ini sampai
dimanakah? Umpamanya soal yang sangat sulit sekali apakah causalitas
kealaman (natuur causaliteit) berlaku juga atas lapangan hayat, psychs,
historis, sosial, dan yuridis? Dan tentu ada lain- lain lagi. Jelaslah untuk
menjawab soal- soal semacam itu ilmu- ilmu vak membutuhkan suatu
instansi yang sedemikian itu? Ada juga, yaitu ilmu filsafat.”