You are on page 1of 177

ISSN 0216-1338

DAFTAR I S I
Dari Redaksi .............. ii

Editorial .............. iii


Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
KEP MEN KEHAKIMAN DAN HAM RI Artikel :
NO. M.01-HU.03.02 TAHUN 2004 Sistem Multipartai di Indonesia
Oleh: Drs. Agun Gunandjar Sudarsa, Bc.IP.,M.Si. .............. 1
Penanggung Jawab
Abdul Wahid Masru, S.H.,M.H. Sistem Multipartai,
Presidensial dan
Pemimpin Redaksi Persoalan Efektivitas Pemerintah
Made Kamini, S.H.,M.H. Oleh: Partono, SIP,MA .............. 13

Dewan Redaksi
Peran Partai Politik Dalam
Qomaruddin, S.H.,M.H.
Penyelenggaraan Pemilu Yang Aspiratif
Suhariyono AR, S.H.,M.H.
dan Demokratis
Dr. Wahiduddin Adams, M.A.
Oleh: Dr. Wicipto Setiadi, S.H.,M.H. .............. 29
Dr. Wicipto Setiadi, S.H.,M.H.
Sofyan Sitompul, S.H.,M.H.
Pemahaman Atas Multipartai
Anggota Dewan Redaksi Perkembangan Masyarakat dan
Linus Doludjawa, S.H. Politik Hukum
Drs. Hudiyono Ibnu Ghoffur Oleh: Prof. Dr. Jeane Neltje Saly, S.H.,M.H. .............. 40
Sutirah, S.H.,M.H.
Dwi Ambar Lasmiasih, S.Pd. Demokrasi dan Partai Politik
Mualimin Abdi, S.H.,M.H. Oleh: Zainal Abidin Saleh, S.H.,M.H. .............. 56
Julkhaidir, S.H.,M.H.
Nuryakin, S.H. Paradigma Baru
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
Staf Redaksi tentang Partai Politik
Tri Wahyuningsih, S.H.,M.H. Oleh: A.A. Oka Mahendra, S.H. ............. 81
Dra. Mardiningsih Welastuti
Slamet Kurniawan, S.H. Penyederhanaan Partai
I Nyoman Sukanadji dalam Sistem Multipartai:
Andi Batara, S.H.,M.H. Tidak Konsisten
Kristiyanto, S.H. Oleh: Zainal Abidin, S.H. ............. 90
Rizki Arfah, S.H.
Sri Lisnawati, S.H. Konflik Internal Partai Sebagai
Khabiburohman, S.H. Salah Satu Penyebab Kompleksitas
Satirah Sistem Multipartai di Indonesia
Atminah Oleh: Chudry Sitompul, S.H.,M.H. ............. 102
Lud Firdiansyah
Dampak Sistem Multipartai
Penerbit Dalam Kehidupan Politik Indonesia
Direktorat Jenderal Oleh: Drs. Zafrullah Salim, M.H. ............. 130
Peraturan Perundang-undangan Departemen
Hukum dan HAM RI Informasi UU:
Jl. HR. Rasuna Said Kav. 6-7 Jakarta Selatan Undang-Undang Republik Indonesia
Telp. / Fax. (021) 5264517 Nomor 2 Tahun 2008
E-mail:legislasi@yahoo.com tentang Partai Politik .............. 137
Website:http//www.djpp.depkumham.go.id
Biodata Penulis .............. 165
DARI REDAKSI

DARI REDAKSI

Kaidah demokrasi adalah harus menjunjung kedaulatan rakyat, aspirasi,


keterbukaan, keadilan, tanggung jawab dan perlakuan yang tidak diskriminatif
dalam Negara Kesatuan Negara Republik Indonesia. Dalam Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 telah mengakui dan menjamin
tentang kemerdekaan berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dan
pendapat merupakan hak asasi manusia. Sejarah perkembangan partai politik di
Indonesia sangat mewarnai perkembangan demokrasi di Indonesia. Hal ini sangat
mudah dipahami, karena partai politik merupakan gambaran wajah peran rakyat
dalam percaturan politik nasional atau dengan kata lain merupakan cerminan
tingkat partisipasi politik masyarakat.
Berawal dari keinginan untuk merdeka dan mempertahankan
kemerdekaan serta mengisi pembangunan, partai politik lahir dari berbagai aspirasi
rakyat yang berkeinginan untuk bersatu dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia. Romantika kehidupan partai politik sejak kemerdekaan, ditandai dengan
bermunculannya multipartai. Harapannya dengan multipartai politik memberikan
kemungkinan yang lebih luas bagi rakyat untuk menyalurkan aspirasinya dan
meraih peluang untuk memperjuangkan hak-haknya serta menyumbangkan
kewajibannya sebagai warga negara. Penerapan sistem multipartai di Indonesia
dilaksanakan pada tahun 1955, 1999 dan tahun 2004 kemudian sistem tersebut
akan diterapkan juga pada tahun 2009 nanti.
Jurnal Legislasi Indonesia untuk Volume 5 Nomor 1 mengangkat tema
“Sistem Multipartai di Indonesia”, yang bertujuan untuk menyambut pemilihan
umum yang akan dilaksanakan pada tahun 2009 lebih demokratis dan berjalan
sesuai harapan rakyat Indonesia.
Kami mengharapkan komentar, kritik, dan saran dari para pembaca demi
perbaikan dan penyempurnaan isi Jurnal Legislasi Indonesia. Sumbangan tulisan
dari pembaca tetap kami harapkan.

Selamat membaca (Redaksi).

ii
E DITORIAL

EDITORIAL

Salah satu wujud pelibatan masyarakat dalam proses politik adalah


pemilihan umum (pemilu). Pemilu merupakan sarana bagi masyarakat untuk
ikut menentukan figur dan arah kepemimpinan negara atau daerah dalam periode
tertentu. Pemilu memiliki fungsi utama untuk menghasilkan kepemimpinan yang
benar-benar mendekati kehendak rakyat dan mampu mencerminkan nilai-nilai
demokrasi dan dapat menyerap serta memperjuangkan aspirasi rakyat sesuai
dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Bangsa Indonesia telah melaksanakan sembilan kali Pemilihan Umum
(yaitu pada tahun 1955, 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997, 1999 dan 2004).
Indonesia telah menjalankan sistem multipartai sejak Indonesia mencapai
kemerdekaan. Surat Keputusan Wakil Presiden M. Hatta No. X/1949 merupakan
tonggak dilaksanakannya sistem multipartai di Indonesia.
Walaupun konstitusi kita (UUD 1945) tidak memberikan rambu-rambu
yang jelas dan tegas mengenai sistem kepartaian apa yang hendak dijalankan
dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, namun konstitusi mengisyaratkan
bahwa bangsa Indonesia menerapkan sistem multipartai, yaitu pada Pasal 6A
(2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa “Pasangan Presiden dan Wakil
Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik.” Dari
pasal tersebut tersirat bahwa Indonesia menganut sistem multipartai karena yang
berhak mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden adalah partai
politik atau gabungan partai politik.
Sistem presidensial di Indonesia hingga saat ini belum dapat mewujudkan
secara penuh pemerintahan yang kuat dan efektif. Praktik yang sekarang terjadi
adalah ketiadaan koalisi besar yang permanen, sehingga setiap pengambilan
keputusan oleh pemerintah tidak selalu mendapat dukungan penuh dari parlemen.
Tidak sedikit program-program pemerintah yang memerlukan persetujuan dari
parlemen, mendapatkan resistensi dari DPR, bahkan ditolak oleh DPR. Dengan
demikian program atau rencana kerja pemerintah tidak dapat berjalan dengan
sebagaimana mestinya.
Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah mendorong terbentuknya
koalisi partai politik yang permanen. Pembatasan partai politik dilakukan dengan
menerapkan berbagai prosedur sistem pemilu. Secara sah, legal, dan demokratis,
sistem pemilu menjadi sarana untuk menyeleksi jumlah partai politik dalam jangka
panjang. Hal ini diperlukan sebagai upaya agar bisa tetap sejalan dengan prinsip
check and balances dari sistem presidensial dalam rangka menciptakan
pemerintahan yang kuat, stabil, dan efektif.

iii
Sejak pemilu 1999, Indonesia telah menerapkan electoral threshold sebesar
2% dari suara sah nasional. Electoral Threshold didefinisikan sebagai ambang
batas syarat angka perolehan suara untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya.
Artinya, berapapun kursi yang diperoleh di parlemen, untuk turut kembali dalam
pemilihan umum berikutnya angka electoral threshold itu harus dicapai.
Pemilu 2004 menerapkan angka electoral threshold sebesar 3% dari
perolehan suara sah nasional. Hal ini dilakukan untuk lebih memperketat partai-
partai yang mengikuti Pemilu berikutnya. Semangat dari peningkatan threshold
yang semakin besar adalah untuk membangun sistem multipartai sederhana
dengan pendekatan yang lebih moderat.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR,
DPD, dan DPRD menggunakan sistem Parliamentary Threshold (PT) yaitu
syarat ambang batas perolehan suara parpol untuk bisa masuk ke parlemen.
Jadi, setelah hasil jumlah suara masing-masing partai politik diketahui
seluruhnya, lalu dibagi dengan jumlah suara secara nasional. Jika suara partai
politik itu mencapai angka 2,5% dari jumlah suara nasional, maka dia berhak
menempatkan wakilnya di parlemen, tanpa mempermasalahkan berapa jumlah
kursi hasil konversi suara yang dimiliki partai politik tersebut.
Akhirnya sistem apapun yang dipilih, masyarakat telah lama mendambakan
peran nyata dari sebuah partai politik sebagai pilar utama demokrasi yang tidak
sekedar hanya berorientasi pada perolehan dukungan suara dalam rangka
memperoleh kekuasaan semata namun dapat memainkan peran sebagai penghubung
antara pemerintahan negara (the state) dan warga negaranya (the citizen).

iv
ARTIKEL

SISTEM MULTIPARTAI DI INDONESIA


Oleh: Drs. Agun Gunandjar Sudarsa, Bc.IP.,M.Si.

Kemerdekaan berserikat, berkumpul, serta mengeluarkan pikiran dan


pendapat merupakan hak asasi manusia yang diakui dan dijamin oleh Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Untuk memperkukuh kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat merupakan bagian dari upaya untuk mewujudkan
kehidupan bangsa yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur, serta demokratis dan
berdasarkan hukum.
Hak asasi tersebut terwujud dalam institusi partai politik. Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik1 mendefinisikan bahwa Partai Politik
adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh sekelompok warga
negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan cita-cita
untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota, masyarakat,
bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa partai politik itu pada
pokoknya memiliki kedudukan dan peranan yang sentral dan penting dalam
setiap sistem demokrasi. Tidak ada negara demokrasi tanpa partai politik.2
Karena itu partai politik biasa disebut sebagai pilar demokrasi, karena mereka
memainkan peran yang penting sebagai penghubung antara pemerintahan negara
(the state) dengan warga negaranya (the citizen).3
Indonesia menganut paham demokrasi yang artinya kekuasaan dari
rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Yang selanjutnya dijalankan melalui

1
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, (hukumham.info, 2008), hlm. 2.
2
Rainer Adam, DPRD dan Partai Politik, FNS dan P3OD-UMM, dalam Sabastian Salang, Potret
Partai Politik di Indonesia, Asesmen Terhadap Kelembagaan, Kiprah, dan Sistem Kepartaian (Jakarta:
Forum Politisi-Friedrich Naumann Stiftung, Oktober 2007), hlm. 3.
3
Sabastian Salang, hlm. 3.

1
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

mekanisme pelembagaan yang bernama partai politik. Kemudian partai politik


saling berkompetisi secara sehat untuk memperebutkan kekuasaan
pemerintahan negara melalui mekanisme pemilihan umum legislatif dan pemilihan
presiden dan wakil presiden.
Dalam demokrasi, partai politik merupakan pilar utama (bukan kedua
atau ketiga), karena pucuk kendali roda pemerintahan ada di tangan eksekutif,
yaitu presiden dan wakil presiden. Sebagaimana dirumuskan dalam UUD 1945
Pasal 6A ayat (2), bahwa calon presiden dan calon wakil presiden diusulkan
oleh partai politik atau gabungan partai politik. Artinya hak itu secara
eksklusif hanya partai politik yang disebut UUD 1945-diberikan kepada partai
politik.
Karena itulah, semua demokrasi membutuhkan partai politik yang kuat
dan mapan guna menyalurkan berbagai tuntutan warganya, memerintah demi
kemaslahatan umum serta memenuhi kebutuhan dasar masyarakat.4 Sangat
rasional argumentasinya jika upaya penguatan partai politik dibangun oleh
kesadaran bahwa partai politik merupakan pilar yang perlu dan bahkan sangat
penting untuk pembangunan demokrasi suatu bangsa. jadi, derajat pelembagaan
partai politik itu sangat menentukan kualitas demokratisasi kehidupan politik
suatu negara.5

Fungsi Partai Politik


Pada umumnya, para ilmuan politik biasa menggambarkan adanya empat
fungsi partai politik. Keempat fungsi partai politik itu menurut Miriam Budiardjo6,
meliputi: (i) sarana komunikasi politik, (ii) sarana sosialisasi politik (political
socialization), (iii) sarana rekrutmen politik (political recruitment), dan (iv)
pengatur konflik (conflict management). Sementara dalam istilah Yves Meny
dan Andrew Knapp7, fungsi partai politik mencakup (i) mobilisasi dan integrasi,

4
Institute For Multyparty Democracy (IMD), Suatu Kerangka Kerja Pengembangan Partai Politik
yang Demokratis, dalam Sabastian Salang, hlm. 3.
5
Sabastian Salang, hlm. 3.
6
Miriam Budiardjo, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 163-164, dalam Jimly
Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstituusi (Jakarta:
Konstitusi Press, 2006), hlm. 59.
7
Yves Meny and Andrew Knapp, Government and Politics in Western Europe: britain, France, Italy,
gemany, (Third Edition, Oxpord University Press, 1998), dalam Ibid, hlm. 59.

2
Sistem Multipartai di Indonesia

(ii) sarana pembentukan pengaruh terhadap perilaku memilih (voting patterns),


(iii) sarana rekrutmen politik, dan (iv) sarana elaborasi pilihan-pilihan kebijakan.
Dalam UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, bahwa fungsi Partai
Politik adalah sebagai sarana: (i) pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat
luas; (ii) penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat; (iii) penyerap, penghimpun, dan
penyalur aspirasi politik masyarakat; (iv) partisipasi politik warga negara
Indonesia; dan (v) rekrutmen politik.8
Kesemua fungsi partai politik tersebut sama-sama terkait satu dengan
yang lainnya. Sebagai sarana komunikasi politik, partai berperan sangat penting
dalam upaya mengartikulasikan kepentingan atau political interests yang
terdapat atau kadang-kadang tersembunyi dalam masyarakat. Berbagai
kepentingan itu diserap sebaik-baiknya oleh partai politik menjadi ide, visi,
dan kebijakan partai politik yang bersangkutan. Setelah itu, ide dan kebijakan
atau aspirasi kebijakan itu diadvokasikan sehingga dapat diharapkan
mempengaruhi atau menjadi materi9 dalam merumuskan dan menetapkan
kebijakan negara.
Terkait dengan komunikasi politik itu, partai politik juga berperan penting
dalam melakukan sosialisasi politik. Ide, visi, dan kebijakan strategis yang
menjadi pilihan partai politik disosialisasikan kepada konstituen untuk
mendapatkan feedback berupa dukungan dari masyarakat luas. Terkait dalam
sosialisasi itu partai juga berperan sangat penting dalam rangka pendidikan
politik10 bagi masyarakat luas agar menjadi warga negara Indonesia yang sadar
akan hak dan kewajibannya dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.11
Fungsi selanjutnya partai politik adalah sebagai sarana rekrutmen politik.
Partai dibentuk memang dimaksudkan menjadi kendaraan yang sah untuk
menyeleksi kader-kader pemimpin12 dalam proses pengisian jabatan politik
melalui mekanisme demokrasi dengan kesetaraan dan keadilan gender.13

8
UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, hlm. 6.
9
Jimly Asshiddiqie, Op.cit., hlm. 59.
10
Ibid, hlm. 60.
11
UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, hlm. 6.
12
Ibid, hlm. 60.
13
UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, hlm. 6.

3
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Fungsi keempat adalah pengatur dan pengelola konflik. Peranan ini berupa
sarana agregasi kepentingan yang berbeda-beda melalui saluran kelembagaan
partai politik. Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi pengelola konflik dapat
dikaitkan dengan fungsi integrasi partai politik. Partai mengagregasikan dan
mengintegrasikan beragam kepentingan itu dengan cara menyalurkannya dengan
sebaik-baiknya untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik kenegaraan.14

Sistem Kepartaian
Dalam demokrasi, partai berada dan beroperasi dalam suatu sistem
kepartaian tertentu. Setiap partai merupakan bagian dari sistem kepartaian yang
diterapkan di suatu negara. dalam suatu sistem tertentu, partai berinteraksi dengan
sekurang-kurangnya satu partai lain atau lebih sesuai dengan konstruksi relasi
regulasi yang diberlakukan. Sistem kepartaian memberikan gambaran tentang
struktur persaingan di antara sesama partai politik dalam upaya meraih
kekuasaan dalam pemerintahan. Sistem kepartaian yang melembaga cenderung
meningkatkan stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan.15
Untuk melihat sistem kepartaian suatu negara, ada dua pendekatan yang
dikenal secara umum. Pertama, melihat partai sebagai unit-unit dan sebagai
satu kesatuan yang terlepas dari kesatuan-kesatuan lain. Pendekatan numerik
ini pernah dikembangkan Maurice Duverger (1950-an), ilmuwan politik
kebangsaan Prancis. Menurut Duverger, sistem kepartaian dapat dilihat dari
pola perilaku dan interaksi antarsejumlah partai dalam suatu sistem politik, yang
dapat digolongkan menjadi tiga unit, yakni sistem partai tunggal, sistem dwi
partai, dan sistem multipartai.16
Selain itu, cara lain dapat dijadikan pendekatan yaitu teori yang
dikembangkan Giovani Sartori (1976), ilmuwan politik Italia. Menurut Sartori,
sistem kepartaian tidak dapat digolongkan menurut jumlah partai atau unit-
unit, melainkan jarak ideologi antara partai-partai yang ada, yang didasarkan
pada tiga hal, yaitu jumlah kutub (polar), jarak diantara kutub (bipolar), dan
arah perilaku politiknya. Sartori juga mengklasifikasikan sistem kepartaian

14
Jimly Asshiddiqie, Op.cit., hlm. 61.
15
Sabastian Salang, Op.cit., hlm. 63.
16
FS. Swantoro, Meneropong Sistem Kepartaian Indonesia 2020, hlm. 122-123, dalam Soegeng
Sarjadi dan Sukardi Rinakit, Meneropong Indonesia 2020 (Jakarta: Soegeng Sarjadi Syndicate, 2004).

4
Sistem Multipartai di Indonesia

menjadi tiga, yaitu pluralisme sederhana, pluralisme moderat, dan pluralisme


ekstrem. Kedua pendekatan ini bisa digunakan untuk melihat sistem kepartaian
Indonesia di masa lalu, kini, dan mendatang. 17
Dalam sejarahnya, Indonesia telah mempraktikkan sistem kepartaian
berdasarkan pada sistem multipartai. Meski dalam derajat dan kualitas yang
berbeda.
Pada pemilu pertama tahun 1955-sebagai tonggak kehidupan politik pasca
kemerdekaan hingga sekarang menghasilkan lima partai besar: PNI, Masyumi,
NU, PKI, dan PSI. Jumlah partai yang berlaga dalam pemilu itu lebih dari 29
partai, ditambah independen. Dengan sistem pemilu proporsional, menghasilkan
anggota legislatif yang imbang antara Jawa dan Luar Jawa. Pemilu dekade
1950-an 1960-an adalah sistem multipartai tanpa ada pemenang mayoritas.18
Namun, di era demokrasi parlementer tersebut telah terjadi tingkat kompetisi
yang tinggi.19
Memasuki era demokrasi parlementer yang ditandai dengan
dikeluarkannya Dekrit Presiden yang tujuannya untuk mengakhiri konflik ideologi
antarpartai. Pada masa itu, sistem kepartaian menerapkan sistem multipartai,
namun tidak terjadi kompetisi.20
Memasuki dekade 1970-an sampai Pemiliu 1971, Indonesia masih
menganut sistem multipartai sederhana (pluralisme sederhana). Waktu itu ada
sembilan partai politik yang tersisa dari Pemilu 1955. Kesembilan partai ditambah
Golkar, ikut berlaga dalam Pemilu 1971. Fenomena menarik dalam Pemilu
1971 ini adalah faktor kemenangan Golkar yang sangat spektakuler di luar
dugaan banyak orang. Padahal kalangan partai tidak yakin akan memenangkan
pemilu. Hal itu didasari pada dua hal, yaitu ABRI tidak ikut pemilu dan Golkar
belum berpengalaman dalam pemilu. Tetapi, setelah pemilu digelar, ternyata
justru bertolak belakang, Golkar menang mutlak lebih dari 63%. Kemenangan
itu menandakan Indonesia memasuki era baru, yaitu Orde Baru.

17
Ibid, hlm. 123.
18
Ibid, hlm. 149.
19
Sabastian Salang, Op.cit., hlm. 67.
20
Ibid, hlm. 67.

5
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Pada era orde baru, sistem kepartaian masih disebut sistem multipartai
sederhana, namun antarpartai tidak terjadi persaingan.21 Karena Golkar menjadi
partai hegemoni. Sehingga ada pendapat bahwa secara riil sistem kepartaian
menjurus ke sistem partai tunggal (single entry). Kenapa? Karena Golkar
hanya berjuang demi status quo.22
Pada masa reformasi, Indonesia kembali menerapkan sistem multipartai.
Hal ini dapat dipahami karena selama puluhan tahun kebebasan berekspresi
dan berserikat serta berkumpul dikekang. Sehingga ketika reformasi
memberikan ruang kebebasan, hasrat para politisi untuk mendirikan partai politik
tersalurkan. Sebagai sebuah proses pembelajaran, fenomena menjamurnya
partai politik mestinya dilihat sebagai sesuatu yang wajar di tengah masyarakat
yang sedang mengalami euforia politik.23
Pada Pemilu 1999, yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar
calon tertutup (stelsel daftar) diikuti 48 partai peserta pemilu. Jumlah partai
sekitar 140 buah, tetapi lolos verifikasi hanya 48 partai. Dari jumlah itu, keluar
enam partai besar pemenang pemilu, yakni PDI-P, Golkar, PPP, PKB, PAN,
dan PBB. Sistem kepartaiannya multipartai, dan tidak ada partai pemenang
pemilu yang memperoleh suara mayoritas.24
Setelah dua kali pemilihan umum paska reformasi dengan sistem
multipartai, Indonesia bisa belajar banyak. Proses evaluasi diri perlu dilakukan,
baik partai-partai politik, maupun sistem yang diterapkan. Apakah partai-partai
paska reformasi telah berperan sebagai pilar demokrasi yang mendorong
demokrasi kita lebih efektif dan pemerintahan yang stabil, atau sebaliknya. Sistem
kepartaian secara ideal harus mendorong pemerintahan yang stabil dan
demokrasi yang semakin efektif. Bila tidak, maka tentu ada yang salah dengan
sistem yang diterapkan.25
Pemilu 2004 adalah pesta rakyat yang sangat bersejarah bagi Indonesia.
Pasalnya, untuk pertama kalinya Indonesia menyelenggarakan pemilu secara
langsung. Keberhasilan pemilu secara langsung telah mendaulat Indonesia
sebagai negara paling demokrasi ketiga di dunia setelah Amerika dan India.

21
Ibid, hlm. 67.
22
FS. Swantoro, Op.cit., hlm. 157.
23
Ibid, hlm. 67
24
Ibid, hlm. 156.
25
Ibid, hlm. 67.

6
Sistem Multipartai di Indonesia

Setelah dua kali pemilu paska reformasi dengan sistem multipartai,


Indonesia bisa belajar banyak. Proses evaluasi diri perlu dilakukan, baik partai-
partai politik, maupun sistem yang diterapkan. Apakah partai-partai paska
reformasi telah berperan sebagai pilar demokrasi yang mendorong demokrasi
kita lebih efektif dan pemerintahan yang stabil, atau sebaliknya. Sistem kepartaian
secara ideal harus mendorong pemerintahan yang stabil dan demokrasi yang
semakin efektif. Bila tidak, maka tentu ada yang salah dengan sistem yang
diterapkan26

Penyederhanaan Partai Politik


Sistem kepartaian yang kita bangun haruslah diarahkan untuk terwujudnya
sebuah tata kelola sistem pemerintahan presidensil yang didukung oleh jumlah
partai yang sedikit di tingkat suprastruktur.
Berkaca pada pengalaman hampir sepuluh tahun paska reformasi,
demokrasi Indonesia dengan sistem multipartai belum signifikan memberikan
harapan bagi pengelolaan tata pemerintahan yang efektif dan efisien. Alasannya
karena sistem multipartai telah mengalami perluasan fragmentasi, sehingga
mempersulit proses pengambilan setiap keputusan di legislatif. Karena itu, tidak
heran bila berbagai pihak mulai mendorong penerapan sistem multipartai
sederhana. Persoalannya, bagaimana mendorong proses penyederhanaan partai
harus dilakukan?
Alam demokrasi tentu tidak menggunakan larangan secara langsung bagi
pendirian partai politik, karena itu hak asasi yang harus dihormati. Pembatasan
partai politik dilakukan dengan menerapkan berbagai prosedur sistem pemilu.
Secara sah, legal, dan demokratis, sistem pemilu menjadi alat rekayasa yang
dapat menyeleksi dan memperkecil jumlah partai politik dalam jangka panjang.27
Duverger berpendapat, bahwa upaya mendorong penyederhanaan partai
politik dapat dilakukan dengan menggunakan sistem distrik. Dengan penerapan
sistem distrik dapat mendorong ke arah integrasi partai-partai politik dan
mendorong penyederhanaan partai tanpa harus melakukan paksaan. Sementara
dalam sistem proporsional cenderung lebih mudah mendorong fragmentasi partai

26
Ibid, hlm. 67.
27
Denny JA, Partai Politik pun Berguguran (Yogyakarta: LKIS, 2006), hlm. 16.

7
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

dan timbulnya partai-partai politik baru. Sistem ini dianggap mempunyai akibat
memperbanyak jumlah partai.28
Dalam sistem distrik, teritori sebuah negara dibagi menjadi sejumlah
distrik. Banyaknya jumlah distrik itu sebanyak jumlah anggota parlemen yang
akan dipilih. Setiap distrik akan dipilih satu wakil rakyat.29
Dalam sistem distrik berlaku prinsip the winner takes all. Partai minoritas
tidak akan pernah mendapatkan wakilnya. Katakanlah, dalam sebuah distrik
ada sepuluh partai yang ikut serta. Tokoh dari Partai A hanya menang 25%,
namun tokoh partai lain memperoleh suara yang lebih kecil. Walau hanya
mendapatkan suara 25% suara, distrik itu akan diwakili oleh tokoh partai A.
Sembilan tokoh lainnya akan tersingkir.30
Metode the winner takes all ini akibatnya menjadi insentif negatif bagi
partai kecil. Dalam studi perbandingan, sistem distrik ini memang merangsang
partai kecil untuk membubarkan diri, atau menggabungkan diri dengan partai
lain, agar menjadi mayoritas. Dalam perjalanan waktu, sistem ini hanya
menyisakan dua partai besar saja. Partai kecil lainnya terkubur dengan
sendirinya.31
Kelebihan sistem distrik dalam menyederhanakan jumlah partai karena
kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik (daerah pemilihan) hanya satu,
akan mendorong partai-partai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan dan
mengadakan kerjasama. Dengan berkurangnya partai, pada gilirannya akan
mempermudah terbentuknya pemerintahan yang stabil dan meningkatkan
stabilitas nasional. Selain itu, sistem distrik dapat meningkatkan kualitas
keterwakilan karena wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik
sehingga hubungan dengan konstituen lebih erat, dan dengan demikian ia akan
mendorong untuk memperjuangkan aspirasi mereka.32
Meskipun sistem distrik diakui dapat menyederhanakan jumlah partai
politik, namun untuk saat ini sistem tersebut belum menjadi pilihan bagi Indonesia.
Mengingat realitas sosial masyarakat Indonesia yang heterogen sehingga cukup

28
Sabastian Salang, Op.cit., hlm. 68.
29
Denny JA, Op.cit., hlm. 16.
30
Ibid, hlm. 16.
31
Ibid, hlm. 16.
32
Sabastian Salang, Op.cit., hlm. 68.

8
Sistem Multipartai di Indonesia

sulit menerapkan sistem distrik. Karena dari golongan-golongan yang ada,


golongan minoritas dikhawatirkan tidak terakomodir. Karena itu, pilihan untuk
tetap menerapkan sistem proporsional merupakan suatu keputusan yang relevan
untuk konteks Indonesia saat ini.33
Pertanyaannya, apakah dengan menerapkan sistem proporsional jumlah
partai politik secara alami dapat terkurangi? Sistem proporsional memiliki
mekanisme tersendiri untuk menyederhanakan jumlah partai politik.
Penyederhanaan partai politik dalam rangka menghasilkan parlemen dan
pemerintahan yang efektif, dalam era reformasi ini perundang-undangan
menerapkan Electoral Threshold pada Pemilu 1999 dan 2004, dan terbukti
dari 48 partai politik peserta Pemilu 1999 berkurang menjadi 24 partai politik
pada Pemilu 2004.
Dalam UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD,
dan DPRD, Electoral Threshold didefinisikan sebagai ambang batas syarat
angka perolehan suara untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya. Artinya
berapapun kursi yang diperoleh di parlemen, untuk turut kembali dalam pemilihan
umum berikutnya harus mencapai angka Electoral Threshold itu. jadi, partai
politik yang gagal memperoleh batasan suara minimal berarti gagal untuk
mengikuti pemilu berikutnya.
Pada pemilu 1999, Indonesia menerapkan electoral threshold sebesar
2% dari suara sah nasional. Peserta pemilu yang lolos berdasarkan perolehan
suara ada enam partai. Dengan demikian, hanya keenam partai yang berhak
mengikuti Pemilu 2004, yakni PDI P, Golkar, PKB, PPP, PAN, dan PBB.34
Secara prosedural, partai-partai di luar keenam partai itu tidak
diperkenankan mengikuti Pemilu 2004. Tetapi, dalam praktiknya tidak demikian,
karena partai lama mengubah namanya atau menambah satu kata di belakang
nama partai sebelumnya. Artinya, partai yang tidak memenuhi electoral
threshold tetap ikut pemilu berikutnya dengan karakter partai serta pengurus
partainya tidak berubah.35

33
Ibid, hlm. 69.
34
Ibid, hlm. 70.
35
Ibid, hlm. 70.

9
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Pemilu 2004 menerapkan angka electoral threshold menjadi 3% dari


perolehan suara sah nasional. Hal ini dilakukan untuk lebih memperketat partai-
partai yang mengikuti Pemilu berikutnya. Semangat dari peningkatan threshold
yang semakin besar yaitu untuk membangun sistem multipartai sederhana dengan
pendekatan yang lebih moderat. Dengan threshold 3%, partai yang bisa
mengikuti Pemilu 2009 hanya tujuh partai, yaitu Golkar, PDI P, PKB, PPP,
PAN, Partai Demokrat, dan PKS.36 Tetapi faktanya di parlemen ada 17 partai.
Hal ini yang mengurangi keefektifan parlemen dalam bekerja karena lambat.
Artinya penerapan Electoral Threshold ternyata tidak membuat partai
mengerucut dan mendukung tata kelola parlemen yang efektif .
Itulah latar belakang dari Panitia Khusus UU No. 10 Tahun 2008 tentang
Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD, telah mengundang sejumlah pakar
dan ahli untuk memberikan pemikiran-pemikiran yang menyatakan bahwa
Electoral Threshold itu tidak dikenal di negara manapun, atau menimbulkan
anomali. Sehingga secara teoritis, saya kutip dari saudara Dr. Sutradara Gintings
dan Prof. Dr. Ryaas rasyid saat pembahasan UU tersebut, sesungguhnya yang
ada dalam sistem pemilu adalah Parliamentary Threshold yang artinya adalah
syarat ambang batas perolehan suara parpol untuk bisa masuk ke parlemen.
Jadi, setelah hasil jumlah suara masing-masing partai politik diketahui seluruhnya,
lalu dibagi dengan jumlah suara secara nasional. Jika suara partai politik itu
mencapai angka 2,5% dari jumlah suara nasional, maka dia berhak
menempatkan wakilnya di parlemen, tanpa mempermasalahkan berapa jumlah
kursi hasil konversi suara yang dimiliki partai politik tersebut. Inilah teori untuk
menghasilkan parlemen yang efektif.
Jika kita lakukan simulasi dengan data Pemilu 2004, maka di parlemen
hanya akan ada 7 partai. Sehingga dengan Parliamentary Threshold akan
terjaring sejumlah partai yang betul-betul legitimate. Sehingga sebelum pemilu
diselenggarakan, dengan sendirinya partai politik akan mengukur diri sampai
sejauh mana dukungan rakyat kepadanya.
Hal ini juga akan membuat fungsi-fungsi parpol yang dirumuskan dalam
UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik akan berjalan efektif karena
sebelum parpol itu melakukan fungsi rekrutmen (penentuan calon legislatif),

36
Ibid, hlm. 71.

10
Sistem Multipartai di Indonesia

partai politik pasti akan lebih dulu menjalankan fungsi sosialisasi, fungsi edukasi,
fungsi agregasi dan fungsi kaderisasi. Selain itu mereka juga akan berkarya dan
mengabdi kepada masyarakat. Disinilah adanya korelasi dan hubungan yang
sangat signifikan antara UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dengan
UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD,
dalam sistem multipartai di Indonesia.

Kesimpulan
Tujuan utama pemilihan umum adalah untuk menghasilkan parlemen yang
legitimate dan pemerintahan yang kuat. Hal ini menjadi tidak mungkin terwujud
jika pelaksanaan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden
dilaksanakan pada saat yang bersamaan karena isu keduanya berbeda sehingga
perilaku pemilih juga tidak bisa dipastikan. Hal ini akan mengakibatkan tidak
terjadinya hubungan yang signifikan antara parlemen dengan presiden dan wakil
presiden sehingga tidak terwujud tata kelola sistem pemerintahan yang stabil.
Artinya, pemilihan umum merupakan rangkaian tak terpisahkan antara
pemilihan legislatif dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, adanya
sequence (jeda waktu) antara keduanya, adalah untuk memastikan gambaran
riil partai politik pendukung di parlemen terhadap pemerintahan presiden dan
wakil presiden terpilih. Karena hanya partai politik dan gabungan partai politik
yang berhasil masuk parlemen-lah yang berhak mengusung pasangan calon
presiden dan calon wakil presiden.
Sehingga keluhan yang menyatakan “presiden terbelenggu” menjadi tidak
relevan, karena persoalannya bukanlah di UUD 1945, tetapi lebih pada produk
dari pemilihan umum yang belum secara signifikan memposisikan dan
menempatkan sistem multipartai pada proporsi yang sebenarnya.
Adalah hak rakyat untuk membuat partai politik, dan hak partai politik
untuk ikut pemilu. Tetapi untuk masuk ke parlemen ada mekanisme yang harus
ditempuh yaitu Parliamentary Threshold. Agar partai politik dibentuk tidak
hanya sekadar untuk ikut pemilu tapi partai politik dibuat agar fungsi-fungsi
partai politik dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga parpol menjadi
sarana dan wahana dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat menjadi
keniscayaan. Dan rakyat pun akan kembali menghargai dan menghormati partai
politik karena sesungguhnya demokrasi tidak akan mungkin tanpa adanya partai
politik.

11
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Inilah sistem multipartai yang kita bangun untuk diarahkan menuju


terbentuknya sebuah rezim pemerintahan presidensil yang efektif. Karena dalam
sistem presidensil itu tidak dikenal jumlah partai yang banyak. Selain itu, sebuah
keharusan bagi partai politik dan gabungan parpol di parlemen yang mengusung
pasangan calon presiden dan calon wakil presiden untuk masing-masing
menyamakan visi dan misinya agar selanjutnya dijadikan dokumen negara yang
harus dipertanggungjawabkan dan diumumkan kepada publik.

12
SISTEM MULTIPARTAI, PRESIDENSIAL DAN
PERSOALAN EFEKTIVITAS PEMERINTAH

Oleh: Partono, SIP, MA1

Abstrak
Artikel ini berpendapat bahwa salah satu faktor utama
permasalahan efektivitas dan stabilitas pemerintah saat ini
disebabkan oleh kombinasi sistem pemerintahan dan sistem
kepartaian, sistem presidensial dan multipartai, tidak
mendukung terciptanya sebuah pemerintahan yang efektif dan
stabil. Meskipun demikian, tidak dapat dinafikan bahwa faktor
personal pejabat presiden juga mempengaruhi efektivitas dan
stabilitas pemerintahan yang dipimpinnya. Artikel ini kemudian
menyimpulkan bahwa untuk menciptakan sebuah pemerintah
yang efektif dan stabil maka diperlukan sebuah perubahan di
dalam sistem politik di Indonesia. Sistem presidensial dapat
mewujudkan pemerintah yang efektif dan stabil jika
dikombinasikan dengan sistem kepartaian yang sederhana.

Pendahuluan
Perdebatan paling seru menjelang di selenggarakannya hajatan nasional,
pemilu 2009, adalah bagaimana melanjutkan reformasi di bidang politik,
khususnya sistem pemilu dan pemerintahan, yang ditujukan untuk memperkuat
stabilitas dan meningkatkan efektifitas dalam mengimplementasikan kebijakan-
kebijakan pemerintah.
Tidak sedikit ahli politik berpendapat bahwa pasca turunnya Presiden
Suharto, stabilitas dan efektivitas pemerintahan dinilai lemah. Kebijakan-
kebijakan pemerintah tidak efektif di implementasikan, bahkan pemerintah
terpilih dapat diberhentikan ditengah masa kerjanya. Contoh yang paling mudah
diingat adalah ketika Presiden Abdurrahman Wahid diturunkan dari jabatannya
oleh MPR. Pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono tidak sedikit
kebijakan-kebijakan atau program-program pemerintah mendapatkan

1
Penulis adalah Peneliti Senior CETRO. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili
pendapat lembaga.

13
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

perlawanan bahkan penolakan dari DPR, misalnya pengangkatan Gubernur


BI, rencana meningkatkan BBM, dan sebagainya. Berbaliknya pendulum politik
di Indonesia pasca turunnya Presiden Suharto tidak lepas dari hasil amandemen
UUD 1945.
Posisi presiden yang terlalu dominan di dalam sistem politik Indonesia
dianggap sebagai salah satu faktor yang mendorong munculnya pemerintahan
yang otoriter. Oleh karena itu dalam proses amandemen UUD 1945 kekuasaan
presiden dikurangi, disisi lain kekuasaan parlemen ditambah dan dipertegas.
Amandemen ini sebenarnya dilakukan untuk menjamin terjadinya proses checks
and balances antara lembaga eksekutif dan lembaga legislatif. Namun dalam
kenyataanya, akibat dari amandemen adalah hubungan antara kedua lembaga
ini menjadi disharmoni. Akibat dari ketidakharmonisan hubungan antara kedua
lembaga ini menyebabkan implementasi kebijakan-kebijakan pemerintah tidak
berjalan dengan efektif.
Penulis berpendapat bahwa masalah dari ketidakefektifan implementasi
kebijakan-kebijakan pemerintah karena terdapat hubungan yang tidak harmonis
antara lembaga eksekutif dengan parlemen. Akar permasalahan ini paling tidak
ada 2 (dua) faktor. Pertama adalah sistem politik yang diimplementasikan oleh
Indonesia, sistem presidensial dan sistem multipartai, tidak mendukung
terciptanya pemerintahan yang stabil dan efektif. Kedua adalah personal dan
kapasitas yang menjadi presiden.
Di dalam tulisan ini penulis bermaksud mengidentifikasi hubungan antara
sistem multipartai dan sistem presidensial kaitannya dengan permasalahan
efektivitas dan stabilitas pemerintah. Selain itu, tulisan ini memberikan beberapa
alternatif jawaban yang dapat diimplementasikan di Indonesia dan memberikan
rekomendasi pilihan jawaban yang paling cocok dalam konteks Indonesia.

Definisi Sistem Kepartaian


Sistem multi partai adalah salah satu varian dari beberapa sistem
kepartaian yang berkembang di dunia modern saat ini. Andrew Heywood
(2002) berpendapat bahwa sistem partai politik adalah sebuah jaringan dari
hubungan dan interakasi antara partai politik di dalam sebuah sistem politik
yang berjalan. Untuk mempermudah memahami sistem partai politik Heywood
kemudian memberikan kata kunci untuk membedakan tipe-tipe sistem
kepartaian. Kata kunci tersebut adalah jumlah partai politik yang tumbuh atau

14
Sistem Multipartai, Presidensial dan Persoalan Efektivitas Pemerintah

eksis yang mengikuti kompetisi mendapatkan kekuasaan melalui pemilu.


Parameter “jumlah partai politik” untuk menentukan tipe sisem partai politik
pertama kali dikenalkan dan dipopulerkan oleh Duverger pada tahun 1954
dimana Duverger membedakan tipe sitem politik menjadi 3 sistem, yaitu sistem
partai tunggal, sistem dua partai, dan sistem multipartai.
Dari definisi yang diperkenalkan oleh Duverger tersebut kita dengan
mudah menentukan sistem partai politik di sebuah negara. Kalau di negara
tersebut hanya terdapat satu partai politik yang tumbuh atau satu partai politik
yang dominan dalam kekuasaan maka dapat dipastikan bahwa sistem tersebut
adalah sistem partai tunggal. Namun jika terdapat dua partai politik maka sistem
partainya adalah sitem dua partai. Sebaliknya, jika di dalam negara tersebut
tumbuh lebih dari dua partai politik maka dikatakan sebagai sistem multipartai.
Sartori (1976) menyatakan bahwa yang paling terpenting dari sebuah
sistem kepartaian adalah sebuah pengaturan mengenai hubungan partai politik
yang berkaitan dengan pembentukan pemerintahan, dan secara lebih specifik
apakah kekuatan mereka memberikan prospek untuk memenangkan atau
berbagi (sharing) kekuasaan pemerintah.
Meski demikian, pada perkembangan selanjutnya pendekatan yang hanya
berdasarkan jumlah dan interaksi antar partai politik tersebut mendapat kritikan
dan ketidaksetujuan dari beberapa ahli misalnya Bardi and Mair (2008) dan
Blau (2008). Bardi dan Mair berpendapat bahwa sistem kepartaian tidak bisa
ditentukan semata-mata oleh jumlah partai yang ikut dalam pemilu akan tetapi
sebagai fenomena yang multi dimensi. Selanjutnya Bardi dan Mair menjelaskan
bahwa tipe partai politik dipengaruhi oleh 3 (tiga) dimensi, yaitu vertikal,
horisontal dan fungsional. Dimensi veritikal yang mempengaruhi sistem partai
politik dicontohkan dengan adanya polarisasi dan segmentasi di dalam
masyarakat pemilih (bahasa, etinisitas, agama dan lain-lain). Sedangkan dimensi
horisontal ditentukan oleh pembedaan level pemerintahan dan level pemilu.
Dimensi fungsional disebabkan oleh karena pembedaan arena kompetisi
(nasional, regional, dan lokal).

Praktek Sistem Kepartaian di Indonesia


Konsititusi kita (UUD 1945) tidak mengamanatkan secara jelas sistem
kepartaian apa yang harus diimplementasikan. Meskipun demikian konstitusi
mengisyaratkan bahwa bangsa Indonesia menerapkan sistem multipartai. Pasal

15
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

tersebut adalah pasal 6A (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Pasangan
Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik. Dari pasal tersebut tersirat bahwa Indonesia menganut sistem multipartai
karena yang berhak mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden
adalah partai politik atau gabungan partai politik. Kata “gabungan partai poltitik”
artinya paling sedikit dua partai politik yang menggabungkan diri untuk
mencalonkan presiden untuk bersaing dengan calon lainnya yang diusung oleh
partai politik lain. Dengan demikian dari pasal tersebut di dalam pemilu presiden
dan wakil presiden paling sedikit terdapat tiga partai politik.
Kenyataanya, Indonesia telah menjalankan sistem multi partai sejak
Indonesia mencapai kemerdekaan. Surat Keputusan Wakil Presiden M. Hatta
No. X/1949 merupakan tonggak dilaksanakannya sistem multipartai di
Indonesia. Keputusan Wapres ini juga ditujukan untuk mempersiapkan
penyelenggaraan pemilu yang pertama pada tahun 1955. Pada pemilu tersebut
diikuti oleh 29 partai politik dan juga peserta independen (perseorangan).
Beberapa partai politik yang mendapatkan suara signifikan pada pemilu pertama
antara lain PNI (22,32%), Masyumi (20,92%), NU (18,41%), PKI (16,36%),
PSII (2,89%), Parkindo (2,66%), PSI (1,99%), Partai Katolik (2,04%), dan
IPKI (1,43%)2.
Sejak Suharto menjadi presiden pada tahun 1967 partai politik dianggap
sebagai penyebab dari ketidakstabilan politik yang terjadi pada tahun
1950an - 1960an. Oleh karena itu agenda yang penting untuk menciptakan
pemerintahan yang stabil adalah melakukan penyederhanaan partai politik. Pada
pemilu pertama di masa Orde Baru, tahun 1971, terdapat 10 partai politik,
termasuk partai pemerintah (Golkar) ikut berkompetisi memperebutkan
kekuasaan. Pada tahun 1974 Presiden Suharto melakukan restrukturisasi partai
politik, yaitu melakukan penyederhanaan partai melalui penggabungan partai-
partai politik. Hasil dari restrukturisasi partai politik tersebut adalah munculnya
tiga partai politik (Golkar, PPP, dan PDI). PPP merupakan hasil fusi dari
beberapa partai politik yang berasaskan Islam (NU, Parmusi, PSII dan Perti).
PDI merupakan hasil penggabungan dari partai-partai nasionalis dan agama

2
Wikipedia yang diakses pada tanggal 12 Mei 2008. dapat diakses di http://id.wikipedia.org/wiki/
Pemilu_1955.

16
Sistem Multipartai, Presidensial dan Persoalan Efektivitas Pemerintah

non-Islam (PNI, IPKI, Parkindo, Katolik). Sedangkan Golkar adalah partai


politik bentukan pemerintah Orde Baru.
Meskipun dari sisi jumlah partai politik yang berkembang di Indonesia
pada saat itu, Indonesia dikategorikan sebagai negara yang menganut sistem
multipartai, banyak pengamat politik berpendapat bahwa sistem kepartaian
yang dianut pada era Orde Baru adalah sistem partai tunggal. Ada juga yang
menyebut sistem kepartaian era Orde Baru adalah sistem partai dominan. Hal
ini dikarenakan kondisi kompetisi antar partai politik yang ada pada saat itu.
Benar, jika jumlah partai politik yang ada adalah lebih dari dua parpol sehingga
dapat dikategorikan sebagai sistem multipartai. Namun jika dianalisis lebih
mendalam ternyata kompetisi diantara ketiga partai politik di dalam pemilu
tidak seimbang. Golkar mendapatkan “privelege” dari pemerintah untuk selalu
memenangkan persaingan perebutan kekuasaan.
Gerakan reformasi 1998 membuahkan hasil liberalisasi disemua sektor
kehidupan berbangasa dan bernegara, termasuk di bidang politik. Salah satu
reformasi dibidang politik adalah memberikan ruang bagi masyarakat untuk
mendirikan partai politik yang dianggap mampu merepresentasikan politik
mereka. Liberalisasi politik dilakukan karena partai politik warisan Orde Baru
dinilai tidak merepresentasikan masyarakat Indonesia yang sesungguhnya.
Hasilnya tidak kurang dari 200 partai politik tumbuh di dalam masyarakat.
Dari ratusan parpol tersebut hanya 48 partai yang berhak mengikuti pemilu
1999. Pemilu 1999 menghasilkan beberapa partai politik yang mendapatkan
suara yang signifikan dari rakyat Indonesia adalah PDI.Perjuangan, Partai Golkar,
PKB, PPP, dan PAN.
Peserta pemilu tahun 2004 berkurang setengah dari jumlah partai politik
pemilu 1999, yaitu 24 partai politik. Berkurangnya jumlah parpol yang ikut serta
di dalam pemilu 2004 karena pada pemilu tersebut telah diberlakukan ambang
batas (threshold). Ambang batas tersebut di Indonesia dikenal dengan Electoral
Threshold. Di dalam UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilu diatur bahwa partai
politik yang berhak untuk mengikuti pemilu berikutnya adalah partai politik
yang mendapatkan sekurang-kurangnya 2% jumlah kursi DPR. Partai politik
yang tidak mencapai ambang batas tersebut dapat mengikuti pemilu berikutnya
harus bergabung dengan partai lain atau membentuk partai politik baru.
Kalau pemilu 1999 hanya menghasilkan lima parpol yang mendapatkan
suara signifikan dan mencapai Electoral Threshold (ET). Meskipun persentasi

17
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

ET dinaikan dari 2% menjadi 3% jumlah kursi DPR, Pemilu 2004 menghasilkan


lebih banyak partai politik yang mendapatkan suara signifikan dan lolos ET
untuk pemilu 2009. Pemilu 2004 menghasilkan tujuh partai yang mencapai
ambang batas tersebut. Ketujuh partai tersebut adalah Partai Golkar, PDI.
Perjuangan, PKB, PPP, Partai Demokrat, PKS, dan PAN.

Sistem Presidensialisme di Indonesia


Sistem presidensial paling tidak memiliki 2 (dua) ciri utama (Mainwarring,
1990). Ciri pertama adalah kepala pemerintahan (presiden) dipilih secara
terpisah dengan pemilihan anggota parlemen. Dengan demikian hasil pemilu
legislatif tidak menentukan kekuasaan pemerintah (eksekutif) secara langsung.
Ciri yang kedua adalah kepala pemerintah dipilih untuk memerintah dengan
periode waktu yang tetap (misalnya 5 tahun). Selain kedua ciri utama yang
dikemukakan oleh Mainwaring tersebut, Heywood memberikan beberapa ciri
lain dari sebuah sistem presidensial. Ciri-ciri tersebut antara lain kepala negara
dan kepala pemerintahan dijabat oleh seorang presiden, kekuasaan eksekutif
berada di tangan presiden sedangkan kabinet yang terdiri dari menteri-menteri
adalah pembantu dan bertanggungjawab kepada presiden, dan di dalam sistem
presidensial terdapat pemisahan personel yang ada di parlemen dan di
pemerintah.
Selain ciri-ciri utama yang telah disebutkan oleh dua ilmuwan politik
tersebut masih ada ciri lain yang tidak kalah penting, yaitu hubungan antara
lembaga keprisidenan dan lembaga parlemen. di dalam sistem pemerintahan
presidensial, presiden tidak memiliki kewenangan untuk membubarkan
parlemen, sebaliknya parlemen tidak memiliki kewenangan untuk membubarkan/
memberhentikan presiden. Di beberapa negara yang menganut sistem
presidensial parlemen memiliki hak impeachment. Namun demikian hak
impeachment parlemen ini disertai dengan persyaratan yang sangat berat.
Indonesia adalah salah satu negara yang menganut sistem pemerintahan
presidensial. Berbeda dengan sistem kepartaian yang tidak diatur secara tegas
oleh konstitusi, UUD 1945 secara tegas dan rinci mengatur sistem pemerintahan
yang mengacu pada sistem presidensial. Pengaturan tersebut terdapat di dalam
Bab III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara dan Bab IV tentang
Kementerian Negara.

18
Sistem Multipartai, Presidensial dan Persoalan Efektivitas Pemerintah

Presiden dan Wakil Presiden Indonesia dipilih melalui pemilu yang terpisah
dengan pemilu legislatif. Sebelum dilakukan amandemen UUD 1945 presiden
dan wakil presiden dipilih melalui pemilihan oleh anggota MPR. Pada rejim
Orde Baru pemilihan presiden seolah-olah tidak memberikan kesan yang berarti
bagi republik karena setiap sidang umum untuk memilih presiden dapat dipastikan
anggota MPR secara aklamasi memilih kembali Presiden Suharto. Pemilihan
presiden dan wakil presiden yang terjadi di Gedung DPR/MPR pada tahun
1999 kembali menjadi sorotan publik masyarakat Indonesia dan internasional.
Pertama kalinya anggota MPR memilih presiden dan wakil presiden melalui
pemungutan suara.
Sistem pemilihan presiden dan wakil presiden yang dilakukan oleh anggota
MPR sampai tahun 1999 dinilai kurang demokratis dan tuntutan untuk pemilihan
presiden dan wakil presiden secara langsung pada saat itu semakin kuat.
Akhirnya pada tahun 2001 terjadi amandemen ketiga terhadap UUD 1945,
salah satu materi yang diamandemen adalah presiden dan wakil presiden dipilih
dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Akhirnya, pada tahun 2004
rakyat Indonesia pertama kali memilih kepala negara secara langsung.
Pemilu presiden secara langsung ini ditujukan untuk mendapatkan
pemimpin pemerintahan dan negara yang memiliki legitimasi yang kuat karena
dipilih dan didukung secara langsung oleh mayoritas rakyat Indonesia. Pemilu
presiden dan wakil presiden 2004 menghasilkan pemerintahan yang memiliki
legitimasi yang kuat. Namun persoalan lain yang muncul adalah pemerintah
terpilih tidak mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang sedang
dihadapi oleh bangsa. Ketidakmampuan pemerintah mengimplementasikan
kebijakan-kebijakan publik disebabkan karena pemilu presiden secara langsung
tidak menghasilkan pemerintahan yang efektif, kuat dan stabil.

Presidensialisme – Multi Partai dan Efektivitas Pemerintah


Banyak pernyataan yang disampaikan oleh akademisi, anggota parlemen,
dan pengamat politik bahwa pemerintahan di bawah kepemimpinan Presiden
Susilo Bambang Yodoyono dinilai kurang atau tidak efektif dalam
mengimplementasikan program-program yang dihasilkan di tengah-tengah
masyarakat. Banyak ahli yang berpendapat bahwa tidak efektifnya pemerintahan
SBY disebabkan karena hubungan antara lembaga kepresidenan dan lembaga
parlemen tidak baik. Tidak sedikit program-program pemerintah yang harus

19
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

mendapatkan persetujuan dari parlemen mendapatkan resistensi dari DPR,


bahkan ditolak oleh DPR. Dengan demikian program atau rencana kerja
pemerintah tidak dapat berjalan dengan sebagaimana mestinya.
Problem efektivitas pemerintah yang dialami oleh Indonesia saat ini juga
banyak dialami negara-negara lain yang menganut sistem pemerintahan
presidensial. Mainwaring (2008) berpendapat bahwa hanya empat negara
penganut sistem presidensial yang berhasil dalam menciptakan pemerintah yang
efektif dan stabil. Keempat negara tersebut adalah Amerika Serikat, Costa
Rica, Columbia, dan Venezuela. Sebaliknya, mayoritas negara-negara yang
menganut sistem parlementer dinilai sukses dalam hal menjaga stabilitas dan
efektifitas pemerintahan. Beberapa negara tersebut antara lain; Australia, Austria,
Belgia, Kanada, Denmark, Jerman, Irlandia, Belanda, Inggris, Selandia Baru,
Italia, dan sebagainya.
Pertanyaan berikutnya adalah mengapa kombinasi antara sistem
presidensial dan sistem multi partai yang dipraktekkan di Indonesia tidak
mendorong terjadinya pemerintahan yang efektif dan stabil? Penulis tidak ingin
menyatakan bahwa sistem pemerintahan memiliki korelasi langsung terhadap
efektivitas pemerintahan, karena terdapat bukti kalau kedua sistem pemerintahan
mampu menciptakan pemerintahan yang efektif. Meskipun tidak ada hubungan
yang langsung antara sistem pemerintahan dengan efektifitas pemerintah, akan
tetapi ada beberapa hal di dalam sistem presidensialime yang mempengaruhi
efektivitas pemerintah. Dari segi menjaga stabilitas politik dan pemerintahan,
Indonesia memiliki pengalaman yang berharga dan mampu menjawab bahwa
sistem presidensial ternyata mampu menghasilkan stabilitas politik dan
pemerintahan yang lebih baik jika dibandingkan dengan sistem parlemen.
Pelaksanaan demokrasi parlemen pada tahun 1950an ternyata dinilai gagal di
dalam menciptakan stabilitas pemerintah dan politik yang akhirnya dinilai gagal
menyejahterakan rakyat Indonesia.
Salah satu alasan Amerika dengan sistem presidensial mampu
menghasilkan pemerintah yang efektif karena ditopang oleh sistem dwi-partai.
Sedangkan Indonesia mempraktekan sistem presidensial dan sistem multi partai.
Ada beberapa alasan mengapa sistem presidensial dan sistem multi partai
kurang berhasil di dalam menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil
dibandingkan dengan sistem parlementer yang dikombinasikan dengan sistem
dua partai. Menurut Mainawrring (2008) terdapat beberapa alasan/kelemahan

20
Sistem Multpartai, Presidensial dan Persoalan Efektivitas Pemerintah

sistem presidensial yang dikombinasikan dengan sistem multipartai.


Pertama, karena pemilihan presiden dan parlemen diselenggarakan secara
terpisah maka kemungkinan presiden yang terpilih adalah presiden yang tidak
mendapatkan dukungan mayoritas di parlemen. Hal ini terjadi di Indonesia,
Presiden SBY berasal dari partai politik yang memiliki suara dan kursi yang
kecil, Partai Demokrat mendapatkan suara 7,45%. Padahal di dalam sistem
presidensial dukungan parlemen kepada presiden sangat berpengaruh di dalam
proses pembuatan undang-undang dan pelaksanaan kebijakan dan program –
program pemerintah. Semakin besar dukungan parlemen kepada presiden maka
implementasi kebijakan publik oleh pemerintah akan semakin efektif. Sebaliknya
semakin kecil dukungan parlemen maka efektifitas pemerintah di dalam
mengimplementasikan kebijakan-kebijakan akan semakin berkurang.
Kedua, personal presiden – termasuk kepribadian dan kapasitas–
merupakan salah satu faktor yang penting. Di dalam sebuah situasi yang sulit
seperti keadaan krisis ekonomi saat ini presiden dihadapkan pada pekerjaan
yang sangat banyak dan rumit. Oleh karena itu presiden juga dituntut memiliki
kapasitas yang baik untuk menangani berbagai permasalahan yang sedang
dihadapi. Selain dituntut untuk memiliki kapasitas dalam menangani
permasalahan bangsa, karena presiden membutuhkan support/dukungan dari
parlemen maka presiden juga dituntut untuk memiliki kemampuan berkomunikasi
dan lobby yang baik dengan parlemen. salah satu faktor kurang efektifnya
pemerintahan SBY saat ini oleh beberapa kalangan dinilai disebabkan kelemahan
SBY di dalam mengelola dukungan dari koalisi partai politik yang mendukung
pemerintah dan lemahnya/ketidakmampuan presiden melakukan komunikasi
dan lobby politik dengan parlemen.
Ketiga, di dalam sebuah sistem presidensial dan multipartai membangun
koalisi partai politik untuk memenangkan pemilu adalah hal yang sangat wajar
dan umum terjadi. Koalisi partai politik terjadi karena untuk mendapatkan
dukungan mayoritas dari parlemen merupakan sesuatu yang sangat sulit. Namun
masalahnya adalah koalisi yang dibangun di dalam sistem presidensial –
khususnya di Indonesia – tidak bersifat mengikat dan permanen. Partai politik
yang tergabung di dalam sebuah koalisi mendukung pemerintah bisa saja menarik
dukungannya. Contohnya adalah PAN sebagai partai pendukung SBY tiba-
tiba menarik dukungannya ditengah perjalanan. Tidak adanya jaminan bahwa
koalisi terikat untuk mendukung pemerintah sampai dengan berakhirnya masa

21
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

kerja presiden. Partai-partai politik yang tergabung di dalam koalisi cenderung


mengambil keuntungan dari pemerintah. Jika kebijakan atau program yang
diambil oleh pemerintah tidak populer partai politik cenderung melakukan
oposisi.
Selanjutnya koalisi partai politik yang dibangun untuk mendukung calon
presiden tidak mencerminkan dan menjamin dukungan semua anggota parlemen
dari masing-masing partai politik yang ada di dalam koalisi kepada presiden.
Partai politik tidak mampu melakukan kontrol terhadap para anggota-
anggotanya di parlemen untuk selalu mendukung pemerintah. Hal yang menarik
adalah tidak sedikit anggota DPR dari partai Golkar, PPP, PKB, yang memiliki
wakilnya di kabinet melakukan perlawanan terhadap program-program yang
akan dilakukan oleh pemerintah yang notabene harus di dukungnya.
Di dalam sistem parlementer koalisi partai politik lebih bersifat permanen
dan disiplin. Koalisi partai politik dibangun atas dasar parlemen. Anggota
parlemen dari koalisi partai politik pendukung pemerintah yang tidak mendukung
kebijakan pemerintah akan dikeluarkan dari parlemen. Selain ancaman
dikeluarkan dari keanggotan parlemen oleh partai politiknya, jika anggota tidak
mendukung program-program pemerintah agar berhasil perolehan kursi partai
mereka akan terancam pada pemilu berikutnya. Sehingga suksesnya pemerintah
terbentuk juga mempengaruhi citra partai politik pendukungnya.
Jika koalisi parpol dalam sistem parlementer dibangun setelah pemilu,
koalisi parpol dalam sistem presidensial dibangun sebelum pemilu presiden
dilaksanakan. Akibatnya beberapa partai politik mendukung di dalam
pencalonan akan tetapi tidak mendukung ketika calon tersebut terpilih. Hal ini
disebabkan, misalnya, tidak terwakilinya partai tersebut di kabinet. Kalaupun
terdapat perwakilan partai di kabinet, partai politik tersebut tidak
bertanggungjawab atas kebijakan-kebijakan pemerintah.
Keempat adalah lemahya penegakan fatsoen politik politisi yang ada di
eksekutif maupun parlemen. Tidak bisa dipungkiri bahwa terdapat beberapa
politisi di parlemen yang tidak mengindahkan etika dalam berpolitik. Beberapa
anggota DPR terkesan ingin mencari popularitas di hadapan publik dengan
melakukan berbagai kritikan-kritikan terhadap semua kebijakan pemerintah,
tidak peduli apakah program dan kebijakan tersebut baik atau tidak bagi
masyarakat. Perilaku inilah yang menyebabkan pengambilan keputusan di
parlemen sulit untuk dicapai secara efektif. Sebaliknya beberapa menteri di

22
Sistem Multipartai, Presidensial dan Persoalan Efektivitas Pemerintah

kabinet lebih menunjukkan loyalitas kepada ketua partainya dibandingkan


dengan kepada presiden. Atau bahkan para pembantu presiden tersebut lebih
disibukkan dengan kegiatan konsulidasi internal partai politik dibandingkan
dengan membantu presiden mengimplementasikan program-program
pemerintah. Tidak bisa dipungkiri kabinet hasil koalisi ini sering terjadi conflict
of interest karena pejabat partai politik yang ditunjuk sebagai menteri tidak
mengundurkan diri dari jabatan di partai politik.

Pilihan Solusi Masalah


Kalau kita sepakat bahwa tujuan utama penataan sistem politik Indonesia
ditujukan untuk menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil maka ada
beberapa alternatif jawaban yang patut dipertimbangkan oleh para pembuat
kebijakan. Beberapa alternatif tersebut adalah sebagai berikut;

1. Mengubah Sistem Presidensial menjadi Sistem Parlemen


Sepertinya pilihan pertama ini sangat sulit, kalau tidak dibilang mustahil,
untuk dilakukan. Selain pengalaman traumatis yang pernah dialami Indonesia
pada masa demokrasi parlementer, UUD 1945 secara tegas mengamanatkan
bahwa sistem pemerintahan Indonesia adalah presidensial. Tidak mudah untuk
melakukan amandemen terhadap UUD, akan memerlukan perdebatan yang
panjang dan pasti akan mendapatkan resistensi yang sangat besar. Pilihan ini
adalah tidak realistik untuk dipilih.
2. Mengubah Sistem Kepartaian
Contoh negara yang mengimplementasikan sistem presidensial yang sukses
adalah Amerika dimana sistem presidensial di dukung oleh sistem dwi – partai.
Kalau bangsa Indonesia ingin berkiblat kepada Amerika di dalam menata sistem
politiknya maka sistem multipartai haruslah diubah menjadi sistem dwi – partai.
Tawaran solusi ini sepertinya juga sulit untuk direalisasikan karena akan melawan
arus demokrasi. Masyarakat Indonesia yang sifatnya plural tidak akan bisa
direpresentasikan oleh dua partai politik saja.
3. Mengurangi Jumlah Partai Politik
Jumlah partai politik yang terlalu banyak juga merupakan salah satu faktor
penyumbang tidak efektifnya sistem pemerintah di Indonesia. Banyaknya partai
politik yang ikut dalam pemilu menyebabkan koalisi yang dibangun untuk
mencalonkan presiden dan wakil presiden terlalu “gemuk” karena melibatkan

23
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

banyak parpol. Gemuknya koalisi ini mengakibatkan pemerintahan hasil koalisi


tidak dapat berjalan efektif karena harus mempertimbangkan banyak
kepentingan. Jika saja partai politik yang ikut serta pemilu tidak banyak, maka
koalisi parpol yang dibangun juga tidak akan menjadi “gemuk”. Presiden terpilih
idealnya berasal dari koalisi yang sekurang-kurangnya mendapatkan dukungan
parlemen 50% dari jumlah kursi DPR dan jumlah partai yang ikut berkoalisi
tidak banyak, cukup dua atau tiga partai saja.
Usulan solusi ini lebih moderat jika dibandingkan dengan pilihan 1 dan 2
karena masih mempertahankan sistem presidensial dan sistem multi partai.
Hanya saja jumlah partai di Indonesia yang terlalu banyak ini perlu
disederhanakan. Penyederhanaan partai politik sebenarnya sudah dilakukan
sejak pemilu 1999 dengan mengimplementasikan ambang batas bagi partai
politik untuk ikut serta dalam pemilu berikutnya (Electoral Threshold) dan
ambang batas bagi partai politik untuk mengirimkan wakilnya di parlemen
(Parliamentary Threshold) – akan diberlakukan pada pemilu 2009.

4. Menyelenggarakan Pemilu Presiden dan Legislatif secara


Bersama-sama (Concurrent Elections)
Beberapa pengamat politik berpendapat penyelenggaraan pemilu legislatif
dan presiden secara bersama-sama, concurrent elections, akan menciptakan
pemerintahan yang efektif. Dengan concurrent elections presiden terpilih akan
mendapatkan legitimasi yang kuat dari rakyat dan mendapatkan dukungan yang
kuat dari parlemen. Di dalam masyarakat/negara yang menganggap pemilihan
presiden lebih penting dibandingkan pemilihan legislatif, pemilih akan cenderung
memilih partai poltitik yang mencalonkan presiden yang didukungnya. Akibatnya
partai politik yang mendukung calon presiden terpilih akan memiliki peluang
besar untuk memenangkan pemilu legislatif. Dengan demikan mayoritas anggota
parlemen berasal dari partai tersebut.

Solusi yang ditawarkan


Alternatif solusi ketiga, mengurangi jumlah partai dan dibarengi dengan
koalisi partai yang disiplin dan mengikat, adalah solusi yang paling memungkinkan
dalam konteks Indonesia. Berapa jumlah partai politik yang efektif dan ideal
bagi bangsa Indonesia yang perlu didiskusikan lebih lanjut. Beberapa pengamat
mengatakan bahwa masyarakat Indonesia cukup diwakili oleh 5 partai politik

24
Sistem Multipartai, Presidensial dan Persoalan Efektivitas Pemerintah

saja. Sedangkan berdasarkan survey yang pernah diselenggarakan oleh salah


satu lembaga survey jumlah partai politik yang dikehendaki oleh publik adalah
5 - 7 partai.
Lantas mekanisme seperti apa yang diperlukan untuk mengurangi jumlah
partai politik yang ada? Ada beberapa mekanisme yang bisa diberlakukan untuk
melakukan penyederhanaan partai. Beberapa mekanisme telah dipraktekan
oleh bangsa kita. Pertama adalah melakukan restrukturisasi seperti yang
dilakukan Presiden Suharto pada tahun 1974. Kedua, memberlakukan ambang
batas (threshold). ET diberlakukan pada pemilu 2004 dan 2009. sedangkan
PT diberlakukan pada pemilu 2009. ET ternyata tidak efektif untuk
menyederhanakan partai politik karena para pemimpin partai yang tidak lolos
ET bisa mendirikan partai baru untuk ikut pemilu berikutnya. Sehingga meskipun
dengan menaikkan angka persentasi ET tetap saja tidak akan mengurangi jumlah
partai politik peserta pemilu. Yang efektif adalah meningkatkan angka persentasi
PT. PT lebih efektif mengurangi jumlah partai politik peserta pemilu karena
jelas “punishment” nya. Partai politik yang tidak mampu mencapai ambang
batas yang telah ditetapkan tidak diperbolehkan untuk mengirimkan wakilnya
di parlemen. di beberapa negara memiliki angka persentase yang berbeda-
beda. Di Jerman ambang batasnya adalah 5%, sedangkan di Turki sebesar
10%. Dengan ambang batas 10% Turki hanya memiliki 3 atau 4 partai politik
yang memiliki wakilnya di parlemen.
Ketiga adalah dengan memperkecil alokasi kursi di masing-masing daerah
pemilihan (district magnitude). Semakin kecil alokasi kursi di setiap DP maka
peluang partai untuk mendapatkan kursi semakin kecil. Hanya partai-partai
besar saja yang berpeluang mendapatkan kursi. Sedangkan partai kecil dan
menengah akan kehilangan peluang untuk memenangkan persaingan. Dengan
demikian pengecilan alokasi kursi tersebut merupakan alat untuk menyeleksi
partai politik yang benar-benar mendapat dukungan dari publik. Partai politik
yang tidak mendapatkan suara signifikan secara alami didorong untuk
melakukan koalisi dengan partai lain atau akan mati karena tidak mendapatkan
suara dan kursi di parlemen.
Dua mekanisme penyederhanaan partai politik yang terakhir – menaikan
ambang batas dan memperkecil district magnitude - tersebut tentu akan lebih
efektif kalau keduanya dilaksanakan secara berbarengan. Dua metode terakhir
akan lebih diterima dibandingkan dengan metode yang pertama.

25
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Dengan terciptanya sistem kepartaian yang lebih sederhana maka akan


mendorong koalisi partai politik yang lebih ramping, disiplin dan mengikat.
Bagaimana mekanisme untuk mendorong agar supaya partai politik membangun
koalisi yang disiplin dan mengikat? Tentu yang pertama adalah memperbaiki
disiplin internal partai politik masing-masing. Partai politik harus mampu
mengontrol anggota-anggotanya di parlemen untuk mengikuti kebijakan
partainya dalam mendukung pemerintahan. Jika perlu, partai politik memberikan
sanksi tegas kepada anggotanya di parlemen yang tidak mendukung program
dan kebijakan pemerintah. Kedua, fatsoen politik harus ditegakkan. Para politisi
yang ada di DPR dan kabinet harus sejalan dan seiring dengan program dan
kebijakan presiden. Pejabat partai politik yang dipilih di kabinet seharusnya
mengundurkan diri dari jabatan di masing-masing partai untuk mengurangi
conflict of interest. Ketiga, partai-partai politik di dalam koalisi harus
berkomitmen kuat untuk terus mendukung sampai dengan pemilu presiden
berikutnya.

Kesimpulan
Faktor personalitas presiden dan wakil presiden berpengaruh dalam
menciptakan efektivitas dan stabilitas pemerintahan. Persoalan efektivitas
pemerintahan di Indonesia saat ini lebih disebabkan oleh karena disharmoni
hubungan antara lembaga kepresidenan dengan parlemen. faktor kemampuan
berkomunikasi, lobby, dan menjaga dan mempertahankan dukungan dari
parlemen oleh presiden sangat penting dalam menciptakan pemerintah yang
efektif dan stabil.
Meskipun demikian permasalahan efektifitas dan stabilitas pemerintah
di Indonesia tidak saja dipengaruhi oleh personalitas pejabat presiden dan wakil
presiden saja. Efektivitas dan stabilitas pemerintah juga dipengaruhi oleh sistem
pemerintahan dan sistem kepartaian yang dilaksanakan. Sistem presidensial
dan sistem multipartai dengan jumlah partai yang terlalu banyak ternyata
merupakan faktor lain yang krusial. Observasi dan kajian yang dilakukan oleh
Mainwaring (2008) menunujukkan bahwa sistem presidensial yang
dikombinasikan dengan sistem multi partai yang dilaksanakan di beberapa negara
gagal untuk menciptakan pemerintahan yang ideal. Amerika Serikat berhasil
menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil karena menggunakan
kombinasi sistem presidensial dan dwi – partai.

26
Sistem Multipartai, Presidensial dan Persoalan Efektivitas Pemerintah

Di Indonesia dengan masyarakat yang sangat heterogen tidak mungkin


akan dibawa menuju sistem dwi – partai. Maka solusi yang ditawarkan adalah
jalan tengah antara kombinasi sistem presidensial dengan multipartai yang
sederhana. Multi sistem partai yang sederhana harus didukung oleh koalisi partai
yang ramping, disiplin dan mengikat.
Untuk menyederhanakan partai politik yang ada di Indonesia terdapat
dua mekanisme yang dapat diimplementasikan secara bersamaan yaitu
meningkatkan ambang batas (PT) dan memperkecil district magnitude.

27
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

DAFTAR PUSTAKA

Blau Adrian, The Effective Number of Parties at Four Scales, Sage Publication
Vol. 14 No. 2, 2008.
Bardi, Luciano and Mair, Peter, The Parameters of Party Sistem, Sage Publication
Vol. 14 No. 2, 2008.
Heywood, Andrew, Politics, Palgrave Foundations, Second Edition, New York,
2002.
Mainwaring, Scott, Presidensialism, Multy Party Systems, and Democracy :
The Difficult Equation, Working Paper 144 – September 1990.
Mellaz, August, Keserentakan Pemilu dan Penyederhanaan Kepartaian,
Position Paper yang tidak dipublikasikan.
NIMD, Buku Pegangan Pengembangan Institusional : Suatu Kerangka
Kerja Pengembangan Partai Politik yang Demokratis, NIMD, Den
Haag, 2006.
UUD 1945 Hasil Amandemen, Sinar Grafika, Cetakan Pertama, 2002.

28
PERAN PARTAI POLITIK
DALAM PENYELENGGARAAN PEMILU
YANG ASPIRATIF DAN DEMOKRATIS

Oleh: Dr. Wicipto Setiadi, S.H.,M.H.1

A. Pendahuluan
Salah satu wujud pelibatan masyarakat dalam proses politik adalah
pemilihan umum (Pemilu). Pemilu merupakan sarana bagi masyarakat untuk
ikut menentukan figur dan arah kepemimpinan negara atau kepemimpinan daerah
dalam periode tertentu. Ketika demokrasi mendapat perhatian yang luas dari
masyarakat dunia, penyelenggaraan Pemilu yang demokratis menjadi syarat
penting dalam pembentukan kepemimpinan sebuah negara. Pemilu memiliki
fungsi utama untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati
kehendak rakyat. Oleh karena itu, Pemilu merupakan salah satu sarana legitimasi
kekuasaan.
Pemilu dapat dikatakan aspiratif dan demokratis apabila memenuhi
beberapa persyaratan. Pertama, Pemilu harus bersifat kompetitif, dalam artian
peserta Pemilu harus bebas dan otonom. Kedua, Pemilu yang diselenggarakan
secara berkala, dalam artian Pemilu harus diselenggarakan secara teratur dengan
jarak waktu yang jelas. Ketiga, Pemilu harus inklusif, artinya semua kelompok
masyarakat harus memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam Pemilu.
Tidak ada satu pun kelompok yang diperlakukan secara diskriminatif dalam
proses Pemilu. Keempat, pemilih harus diberi keleluasaan untuk
mempertimbangkan dan mendiskusikan alternatif pilihannya dalam suasana
bebas, tidak di bawah tekanan, dan akses memperoleh informasi yang luas.
Kelima, penyelenggara Pemilu yang tidak memihak dan independen.
Dalam kedudukannya sebagai pilar demokrasi, peran partai politik dalam
sistem perpolitikan nasional merupakan wadah seleksi kepemimpinan nasional
dan kepemimpinan daerah. Pengalaman dalam rangkaian penyelenggaraan
seleksi kepemimpinan nasional dan kepemimpinan daerah melalui Pemilu

1
Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, Ditjen Peraturan Perundang-undangan,
Departemen Hukum dan HAM. Memperoleh gelar S1 (SH) dari Fakultas Hukum Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta, S2 (Magister Hukum) dari Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung,
dan S3 (Doktor Ilmu Hukum) dari Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.

29
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

membuktikan keberhasilan partai politik sebagai pilar demokrasi.


Penyelenggaraan Pemilu Tahun 2004 dinilai cukup berhasil oleh banyak
kalangan, termasuk kalangan internasional. Dengan gambaran ini dapat
dikatakan bahwa sistem perpolitikan nasional dipandang mulai sejalan dengan
penataan kehidupan berbangsa dan bernegara yang di dalamnya mencakup
penataan partai politik.
Peran partai politik telah memberikan kontribusi yang signifikan bagi
sistem perpolitikan nasional, terutama dalam kehidupan masyarakat Indonesia
yang dinamis dan sedang berubah. Jika kapasitas dan kinerja partai politik
dapat ditingkatkan, maka hal ini akan berpengaruh besar terhadap peningkatan
kualitas demokrasi dan kinerja sistem politik. Oleh karena itu, peran partai politik
perlu ditingkatkan kapasitas, kualitas, dan kinerjanya agar dapat mewujudkan
aspirasi dan kehendak rakyat dan meningkatkan kualitas demokrasi.
Pada saat ini sedang dirampungkan 5 (lima) paket Undang-Undang di
bidang politik untuk menyongsong Pemilu Tahun 2009. Dari 5 (lima) paket
Undang-Undang tersebut, baru berhasil diselesaikan 3 (tiga) undang-undang,
yaitu:
1. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu
(Lembaran Negara Tahun 2007 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 4721);
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (Lembaran
Negara Tahun 2008 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Nomor
4801); dan
3. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dan Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah (Lembaran Negara Tahun 2008 Nomor 51,
Tambahan Lembaran Negara Nomor 4836).
Sisanya, yaitu:
1. Undang-Undang tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden; dan
2. Undang-Undang tentang Susunan dan Kedudukan Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,
akan segera dibahas di DPR pada masa sidang berikutnya.

30
Peran Partai Politik Dalam Penyelenggaraan Pemilu Yang Aspiratif dan Demokratis

B. Pemilu Demokratis
Pemilu sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan
pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD Negara
RI Tahun 1945, dimaksudkan untuk memilih presiden dan wakil presiden,
anggota DPR, DPD, DPRD, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah
yang mampu mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan dapat menyerap serta
memperjuangkan aspirasi rakyat sesuai dengan tuntutan perkembangan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terselenggaranya Pemilu secara demokratis menjadi dambaan setiap
warga negara Indonesia. Pelaksanaan Pemilu dikatakan berjalan secara
demokratis apabila setiap warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih
dapat menyalurkan pilihannya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil. Setiap pemilih hanya menggunakan hak pilihnya satu kali dan
mempunyai nilai yang sama, yaitu satu suara. Hal ini yang sering disebut dengan
prinsip one person, one vote, one value (opovov).
Yang dimaksud dengan Pemilu yang bersifat langsung adalah rakyat
sebagai pemilih berhak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai
dengan kehendak hati nuraninya tanpa perantara. Warga negara yang memenuhi
persyaratan sebagai pemilih berhak mengikuti Pemilu dan memberikan suaranya
secara langsung. Sedangkan Pemilu yang bersifat umum mengandung makna
terjaminnya kesempatan yang sama bagi semua warga negara, tanpa
diskriminasi. Pemilu yang bersifat bebas berarti bahwa setiap warga negara
yang berhak memilih bebas untuk menentukan pilihannya tanpa tekanan dan
paksaan dari siapa pun. Dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara
dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati
nurani dan kepentingannya. Pemilu yang bersifat rahasia berarti bahwa dalam
memberikan suaranya, pemilih dijamin pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak
mana pun dan dengan jalan apa pun.
Selanjutnya, Pemilu diselenggarakan oleh penyelenggara Pemilu yang
mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas yang dilaksanakan secara
lebih berkualitas, sistematis, legitimate, dan akuntabel dengan partisipasi
masyarakat seluas-luasnya. Penyelenggara Pemilu, aparat pemerintah, peserta
Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, pemilih, dan semua pihak yang
terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Pemilih dan peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama dan

31
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

bebas dari kecurangan atau perlakuan yang tidak adil dari pihak mana pun.
Pemilu harus dilaksanakan secara lebih berkualitas agar lebih menjamin
kompetisi yang sehat, partisipatif, mempunyai derajat keterwakilan yang lebih
tinggi, dan memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas.

C. Sistem Kepartaian Sederhana


Sistem presidensial di Indonesia hingga saat ini belum dapat mewujudkan
secara penuh pemerintahan yang kuat dan efektif. Dalam rangka menciptakan
pemerintahan yang kuat, stabil, dan efektif perlu didukung pula oleh sistem
kepartaian yang sederhana. Dengan sistem kepartaian sederhana akan dapat
dihasilkan tingkat fragmentasi yang relatif rendah di parlemen, yang pada gilirannya
dapat tercipta pengambilan keputusan yang tidak berlarut-larut. Jumlah partai
yang terlalu banyak akan menimbulkan dilema bagi demokrasi, karena
banyaknya partai politik peserta Pemilu akan berakibat sulitnya tercapai
pemenang mayoritas. Di sisi lain, ketiadaan partai politik yang mampu menguasai
mayoritas di parlemen merupakan kendala bagi terciptanya stabilitas
pemerintahan dan politik.
Seperti kita ketahui bersama, praktik yang sekarang terjadi adalah
ketiadaan koalisi besar yang permanen, sehingga setiap pengambilan keputusan
oleh pemerintah hampir selalu mendapat hambatan dan tantangan dari parlemen.
Oleh karena itu, yang perlu dilakukan adalah mendorong terbentuknya koalisi
partai politik yang permanen, baik yang mendukung pemerintahan maupun
koalisi partai politik dalam bentuk yang lain. Hal ini diperlukan sebagai upaya
agar bisa tetap sejalan dengan prinsip check and balances dari sistem presidensial.
Munculnya banyak partai politik selama ini dikarenakan persyaratan
pembentukan partai politik yang cenderung sangat longgar. Selain itu, penyederhanaan
sistem kepartaian juga terkendala oleh belum terlembaganya sistem gabungan
partai politik (koalisi) yang terbangun di parlemen atau pada saat pencalonan
presiden dan wakil presiden, gubernur dan wakil gubernur, serta bupati/walikota
dan wakil bupati/wakil walikota. Pada Pemilu presiden Tahun 2004 dan terpilihnya
beberapa kepala daerah dan wakil kepala daerah baru-baru ini, gabungan partai
politik (koalisi) sebetulnya sudah dilaksanakan. Namun, gabungan (koalisi)
tersebut lebih bersifat instan, lebih berdasarkan pada kepentingan politik jangka
pendek dan belum berdasarkan pada platform dan program politik yang
disepakati bersama untuk jangka waktu tertentu dan bersifat permanen.

32
Peran Partai Politik Dalam Penyelenggaraan Pemilu Yang Aspiratif dan Demokratis

Secara teori ada keterkaitan yang erat antara upaya penataan sistem
politik yang demokratis dengan sistem pemerintahan yang kuat dan efektif.
Dalam masa transisi politik, pemahaman terhadap hubungan antara kedua proses
itu menjadi sangat penting. Karena keterbatasan waktu dan tenaga, seringkali
penataan elemen sistem politik dan pemerintahan dilakukan secara terpisah.
Logika yang digunakan seringkali berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam
realitas, semua elemen tersebut akan digunakan dan menimbulkan kemungkinan
komplikasi satu dengan lainnya.
Berdasarkan pengalaman, ada hubungan yang relatif konsisten antara
sistem kepartaian dengan sistem presidensial. Multipartai, terutama yang bersifat
terfragmentasi, menyebabkan implikasi deadlock dan immobilism bagi sistem
presidensial murni. Alasannya adalah bahwa presiden akan mengalami kesulitan
untuk memperoleh dukungan yang stabil dari legislatif sehingga upaya
mewujudkan kebijakan akan mengalami kesulitan. Pada saat yang sama partai
politik dan gabungan partai politik yang mengantarkan presiden untuk
memenangkan Pemilu tidak dapat dipertahankan untuk menjadi koalisi
pemerintahan. Tidak ada mekanisme yang dapat mengikatnya. Alasan lain adalah
bahwa komitmen anggota parlemen terhadap kesepakatan yang dibuat pimpinan
partai politik jarang bisa dipertahankan. Dengan kata lain, tidak adanya disiplin
partai politik membuat dukungan terhadap presiden menjadi sangat tidak pasti.
Perubahan dukungan dari pimpinan partai politik juga ditentukan oleh perubahan
kontekstual dari konstelasi politik yang ada.
Tawaran yang diberikan untuk memperkuat sistem presidensial agar
mampu menjalankan pemerintahan dengan baik adalah dengan
menyederhanakan jumlah partai politik. Jumlah partai politik yang lebih
sederhana (efektif) akan mempersedikit jumlah veto dan biaya transaksi politik.
Perdebatan yang terjadi diharapkan menjadi lebih fokus dan berkualitas. Publik
juga akan mudah diinformasikan baik tentang keberadaan konstelasi partai
politik maupun pilihan kebijakan bila jumlah kekuatan politik lebih sederhana.

D. Pelembagaan Partai Politik


Problematik lain, partai politik di Indonesia dewasa ini belum terlembaga
sebagai organisasi moderen. Yang dimaksud dengan pelembagaan partai politik
adalah proses pemantapan sikap dan perilaku partai politik yang terpola atau
sistemik sehingga terbentuk suatu budaya politik yang mendukung prinsip-prinsip

33
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

dasar sistem demokrasi. Dalam konteks pembangunan politik, yang terpenting


bukanlah jumlah partai politik yang ada, melainkan sejauh mana kekokohan
dan adaptabilitas sistem kepartaian yang berlangsung. Sistem kepartaian disebut
kokoh dan adaptabel, apabila partai politik mampu menyerap dan menyatukan
semua kekuatan sosial baru yang muncul sebagai akibat modernisasi. Dari sudut
pandang ini, jumlah partai politik hanya akan menjadi penting bila ia
mempengaruhi kapasitas sistem untuk membentuk saluran-saluran kelembagaan
yang diperlukan guna menampung partisipasi politik.
Sistem kepartaian yang kokoh sekurang-kurangnya harus memiliki dua
kapasitas. Pertama, melancarkan partisipasi politik melalui jalur partai politik,
sehingga dapat mengalihkan segala bentuk aktivitas politik anomik dan
kekerasan. Kedua, mencakup dan menyalurkan partisipasi sejumlah kelompok
yang baru dimobilisasi, yang dimaksudkan untuk mengurangi kadar tekanan
yang dihadapi oleh sistem politik. Dengan demikian, sistem kepartaian yang
kuat menyediakan organisasi partai politik yang mengakar dan prosedur yang
melembaga guna mengasimilasikan kelompok baru ke dalam sistem politik.
Penguatan partai politik di Indonesia dapat dilakukan pada 3 level, yaitu:
level akar rumput, level pusat, dan level pemerintahan. Pada level akar rumput,
partai politik menghadapi konteks lokal, partai politik lokal, pendukung, serta
masyarakat pemilih. Pada level pusat, partai politik menghadapi konteks
nasional, partai-partai lain, dan negara. Pada level pemerintahan, partai politik
menghadapi konteks dalam pemerintahan, fraksi-fraksi lain, komisi, dan negara.
Penguatan partai politik pada level akar rumput merupakan ujung tombak
partai, merekalah yang secara langsung bersentuhan dengan basis sosial partai
dan masyarakat secara umum. Pengelolaan partai politik pada akar rumput ini
pada akhirnya akan menentukan kuat atau lemahnya dukungan terhadap partai.
Persoalan memelihara loyalitas pendukung menjadi problema utama bagi partai
politik di akar rumput. Banyak pendapat yang mengatakan bahwa peranan
partai di akar rumput saat ini lebih banyak diambil oleh organisasi masyarakat
sipil dan media massa. Penguatan juga harus dilakukan pada level partai di
pusat. Partai di pusat bukan hanya menjadi payung bagi aktivitas partai pada
level pemerintahan, tetapi juga menjadi pendukung aktivitas pekerja partai dan
koordinator berbagai kepentingan. Apa pun kebijakan yang diambil harus
dikomunikasikan kepada partai politik pada level akar rumput dan pada partai
politik di pemerintahan. Peran partai politik dalam penyelenggaraan

34
Peran Partai Politik Dalam Penyelenggaraan Pemilu Yang Aspiratif dan Demokratis

pemerintahan yang diraih oleh partai politik kemudian harus ditransformasikan


dalam berbagai kebijakan dengan mengedepankan kepentingan rakyat.
Pelembagaan partai politik biasa dilakukan melalui penguatan 4 (empat)
komponen kunci, yakni, pengakaran partai (party rooting), legitimasi partai
(party legitimacy), aturan dan regulasi (rule and regulation), dan daya saing
partai (competitiveness). Pengakaran partai politik dimaksudkan agar partai
terikat secara organik dengan masyarakat, khususnya dengan konstituennya.
Dengan ini partai politik dapat secara kontinyu menjalankan fungsi-fungsinya
yang terhubung secara langsung dengan masyarakat, seperti pendidikan politik,
sosialisasi dan komunikasi politik dan juga agregasi kepentingan yang lebih luas.
Selanjutnya, pelembagaan kepartaian bisa juga dilakukan dengan menata
aturan dan regulasi (rule and regulation) dalam partai politik. Maksudnya
adalah penguatan partai politik dengan menciptakan kejelasan struktur dan
aturan kelembagaan dalam berbagai aktivitas partai baik di pemerintahan, internal
organisasi, maupun akar rumput. Dengan adanya aturan main yang jelas dan
disepakati oleh sebagian besar anggota, dapat dicegah upaya untuk manipulasi
oleh individu atau kelompok tertentu bagi kepentingan-kepentingan jangka
pendek yang merusak partai. Kemudian, dalam perbaikan terhadap struktur
dan aturan, dapat dilekatkan berbagai nilai demokrasi dalam pengelolaan partai.
Pelembagaan partai politik juga dilakukan dengan menguatkan daya saing
partai yakni yang berkaitan dengan kapasitas atau tingkat kompetensi partai
untuk berkompetisi dengan partai politik lain dalam arena Pemilu maupun
kebijakan publik. Daya saing yang tinggi dari partai politik ditunjukkan oleh
kapasitasnya dalam mewarnai kehidupan politik yang didasari pada program
dan ideologi partai sebagai arah perjuangan partai. Secara teoretik, daya saing
partai berarti kapasitasnya untuk memperjuangkan program yang telah disusun.
Partai politik yang demikian seringkali dianggap memiliki identitas partai
programatik.
Dengan demikian, secara keseluruhan pelembagaan partai dapat dilihat
dari seberapa partai memperkuat dirinya dalam hal pengakaran, penguatan
legitimasi, pembuatan aturan main, dan peningkatan daya saing.

E. Fungsi Partai Politik


Persoalan lain yang dihadapi sistem kepartaian adalah belum berjalannya
secara maksimal fungsi yang dimiliki oleh partai politik, baik fungsi partai politik

35
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

terhadap negara maupun fungsi partai politik terhadap rakyat. Fungsi partai
politik terhadap negara antara lain adalah menciptakan pemerintahan yang efektif
dan adanya partisipasi politik terhadap pemerintahan yang berkuasa. Sedangkan
fungsi partai politik terhadap rakyat antara lain adalah memperjuangkan
kepentingan, aspirasi, dan nilai-nilai pada masyarakat serta memberikan
perlindungan dan rasa aman. Kebanyakan partai politik pada saat ini belum
sepenuhnya memberikan pendidikan politik dan melakukan pengkaderan serta
rekrutmen politik yang efektif untuk menghasilkan keder-kader pemimpin yang
memiliki kemampuan di bidang politik.
Sistem kepartaian yang ada juga masih menghadapi derajat kesisteman
yang rendah serta kurang mengakar dalam masyarakat, struktur organisasi partai
yang tidak stabil yang tidak mengacu pada AD/ART, dan citra partai di mata
publik yang masih relatif buruk. Selain itu, partai politik yang ada pada umumnya
cenderung mengarah pada tipe partai politik kharismatik dan klientelistik
ketimbang partai programatik.
Lemahnya pelembagaan partai politik di Indonesia, terutama disebabkan
oleh belum munculnya pola partai kader. Partai politik cenderung membangun
partai massa yang memiliki ciri-ciri: meningkatnya aktivitas hanya menjelang
Pemilu, menganut sistem keanggotaan yang amat longgar, belum memiliki sistem
seleksi dan rekrutmen keanggotaan yang memadai serta belum mengembangkan
sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat.
Kelemahan yang mencolok partai politik yang berorientasi pada massa
adalah kurang intensif dan efektifnya kerja partai. Sepanjang tahun sebagian
besar kantor partai politik hampir tidak memiliki agenda kegiatan yang berarti.
Hal ini ditandai dengan tidak dimilikinya rencana kerja partai yang bersifat jangka
panjang, menegah dan jangka pendek. Partai politik semestinya merupakan
suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi,
nilai-nilai, serta cita-cita yang sama, dan yang mempunyai visi, misi, program
dan tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekuasaan politik
itu memperjuangkan kepentingan rakyat. Sebagai akibatnya, partai politik tidak
memiliki program yang jelas dalam melakukan pendidikan politik kepada
masyarakat, melakukan artikulasi dan agregasi kepentingan, belum dapat
membangun sosialisasi politik dan komunikasi politik untuk menjembatani rakyat
dengan pemerintah.

36
Peran Partai Politik Dalam Penyelenggaraan Pemilu Yang Aspiratif dan Demokratis

Partai politik semacam ini hanya berorientasi pada perolehan dukungan


suara di daerah pemilihannya dalam rangka memperoleh kekuasaan tanpa
memperhatikan kepentingan dan pemenuhan hak konstituennya. Hal ini yang
membuat partai gagal dalam mengembangkan dan mempertahankan
kepercayaan masyarakat. Dalam kondisi krisis kepercayaan masyarakat
terhadap partai politik yang berakibatkan pada penurunan dukungan masyarakat
terhadap perolehan suara, hal ini dapat menimbulkan frustasi bagi kader dan
pengurus partai. Kondisi ini akan berakibat kader dan pengurus partai yang
berdedikasi tinggi sekaligus memiliki karakter, dengan mudah mengubah garis
politiknya.
Bertolak dari sistem rekrutmen dan ketidakjelasan program kerja dan
orientasi partai, pemenuhan hak dan kewajiban yang terabaikan, rendahnya
kepercayaan masyarakat, kepemimpinan partai yang kurang responsif dan
inovatif sehingga menimbulkan sejumlah problematik dan konflik yang sering
tidak terselesaikan oleh internal partai. Konflik yang tidak terselesaikan tersebut
disebabkan oleh terbatasnya pengaturan penyelesaian konflik yang dilakukan
melalui prinsip musyawarah mufakat internal partai, maupun penyelesaian konflik/
perselisihan yang dilakukan melalui pengadilan. Tambahan lagi, tidak adanya
kesadaran para pengurus untuk segera menyelesaikan konflik dan masing-masing
mau menangnya sendiri akan mengakibatkan semakin berlarut-larutnya konflik
tersebut.
Faktor lain yang menyebabkan lemahnya pelembagaan sistem kepartaian
adalah belum ada pengaturan yang dapat dijadikan pedoman untuk
membekukan kepengurusan partai politik, baik untuk kepengurusan tingkat
pusat, tingkat provinsi, maupun tingkat kabupaten/kota. Problem lain yang
dihadapi adalah upaya untuk meningkatkan keterwakilan perempuan dalam
kepengurusan partai politik sekalipun masih menemukan kendala kultural dan
struktural.

F. Kemandirian Partai Politik


Problematik lain yang dijumpai adalah gejala belum adanya kemandirian
partai politik yang terkait dengan pendanaan yang tidak memadai di luar iuran
anggota dan subsidi negara. Iuran anggota pada sebagian besar partai politik
relatif tidak berjalan karena partai umumnya bersifat massa dan juga lemahnya
mekanisme hadiah dan ganjaran di dalam internal partai. Hal ini mengakibatkan

37
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

partai politik senantiasa tergantung atau berharap pada sumbangan dari


pemerintah dan pihak lain baik pribadi atau perusahaan. Akibatnya, partai politik
sibuk mencari tambahan dana partai sedangkan pada saat yang bersamaan
partai politik harus memperjuangkan kepentingan rakyat.
Selain itu, mekanisme pengelolaan keuangan yang tidak didasarkan pada
perencanaan dan penganggaran, pengakuntansian dan pelaporan yang baik,
mengakibatkan tidak terwujudnya laporan pertanggungjawaban keuangan partai
yang transparan, akuntabel dan auditable. Hal ini mendorong rendahnya tingkat
kepercayaan anggota dan masyarakat terhadap partai politik dalam mengelola
keuangan dan kekayaannya.

G. Pembentukan Partai Politik


Hal lain yang turut serta menyokong lemahnya pelembagaan partai politik
adalah longgarnya syarat bagi pembentukan partai politik. UU Nomor 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik menentukan bahwa “Partai politik didirikan dan
dibentuk oleh sekurang-kurangnya 50 (limapuluh) orang warga negara Republik
Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun dengan akte notaris”.
Dari ketentuan itu terlihat bahwa pendirian atau pembentukan partai politik
mudah dilakukan karena cukup mengumpulkan 50 (lima puluh) orang, sehingga
mendorong setiap orang atau kelompok orang untuk mendirikan partai politik.
Oleh karena itu, di masa depan perlu diupayakan adanya kenaikan jumlah
warga negara yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun untuk mendirikan
partai politik paling sedikit 250 (dua ratus lima puluh) orang.
Hampir sebagian besar partai politik menghadapi masalah sentralisasi
yang terlalu kuat dalam organisasi partai, antara lain ditandai oleh sentralisasi
dalam pengambilan keputusan di tingkat pengurus pusat (DPP) dan pemimpin
partai. Hal ini membuat kepengurusan partai politk di daerah sering kali tidak
menikmati otonomi politik dan harus rela menghadapi berbagai bentuk intervensi
dari pengurus pusat partai. Dalam kaitan ini, penyempurnaan sistem kepartaian
dalam rangka mendukung penguatan sistem pemerintahan presidensial dan
sistem perwakilan, perlu diatur ketentuan yang mengarah pada terbentuknya
sistem multipartai sederhana, terciptanya pelembagaan partai yang efektif dan
kredibel, terbentuknya kepemimpinan partai yang demokratis dan akuntabel,
dan penguatan basis dan struktur kepartaian.

38
Peran Partai Politik Dalam Penyelenggaraan Pemilu Yang Aspiratif dan Demokratis

H. Kesimpulan
Wilayah negara Indonesia yang luas dengan jumlah penduduk yang besar
dan menyebar di seluruh nusantara serta memiliki kompleksitas nasional menuntut
penyelenggara Pemilu yang profesional dan memiliki kredibilitas yang dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk lebih
meningkatkan fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi
penyelenggaraan Pemilu.
Perlu dilakukan upaya untuk mengakomodasi dinamika dan
perkembangan masyarakat yang menuntut peran partai politik dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara serta tuntutan mewujudkan partai politik sebagai
organisasi yang bersifat nasional dan modern. Upaya tersebut antara lain dapat
ditempuh melalui pendidikan politik dengan memperhatikan keadilan dan
kesetaraan gender yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan hak
dan kewajiban, meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif warga negara, serta
meningkatkan kemandirian dan kedewasaan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Agar tercipta derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai
derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme
pertanggungjawaban yang jelas, maka penyelenggaraan Pemilu harus
dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu ke waktu. Oleh karena itu,
perlu diupayakan perubahan untuk memperkuat lembaga perwakilan rakyat
melalui langkah untuk mewujudkan sistem multipartai sederhana yang selanjutnya
akan menguatkan pula sistem pemerintahan presidensial sebagaimana
dimaksudkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.

39
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

PEMAHAMAN ATAS MULTIPARTAI


PERKEMBANGAN MASYARAKAT DAN
POLITIK HUKUM1
Oleh: Prof. Dr. Jeane Neltje Saly, S.H.,M.H.

A. Pengantar
Multipartai yang merupakan wadah untuk mengeluarkan pendapat
setelah reformasi sampai saat ini, bahkan pernah ada di negara kita setelah
kemerdekaan, mengalami pasang surut dalam keberadaannya. Ada yang
mengatakan multipartai bermanfaat untuk membangun demokrasi dalam
kehidupan berbangsa, dan ada yang beranggapan bahwa multipartai belum
saatnya dilaksanakan di Indonesia. Para pengamat politik beranggapan bahwa
keberadaan partai setelah kemerdekaan tidak dapat menyelesaikan masalah
sehingga dibubarkan, bahkan ada pula yang mengatakan bahwa membangun
partai-partai adalah kesalahan besar.2 Dan dari pihak anggota masyarakat
kurang berminat memanfaatkan suaranya. Hal itu dapat dilihat dalam
pemberitaan di media masa tentang penggunaan hak suara di wilayah Jawa
Barat, misalnya Depok dalam rangka pemilihan Gubernur. Wilayah Depok hanya
menggunakan suara yang sangat minim dibandingkan dengan jumlah
penduduknya.3
Sejak reformasi sampai saat ini, dalam jangka waktu 9 (sembilan) tahun,
hukum (peraturan perundang-undangan) yang mengatur kegiatan politik
mengalami 3 (tiga) kali perubahan. Hal itu disebabkan perkembangan kebutuhan
masyarakat menimbulkan keragaman pandangan. Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1999 tentang Partai Politik (UU No. 2 Tahun 1999 tentang Parpol)
hanya berlaku dalam jangka waktu yang singkat, 2 (dua) tahun, diganti dengan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik (UU No.31
Tahun 2002 tentang Parpol) karena dianggap multipartai yang sederhana lebih
efisien dan sehat dalam proses pemilihan umum. Berlakunya UU ini hanya 6

1
Prof. Dr. Jeane N Saly. Paper berisi kumpulan pandangan Penulis dalam beberapa Artikel dan
pemaparan dalam seminar-seminar, baik dengan pihak asing maupun pihak nasional tentang Fungsi
Hukum, Politik Hukum, dan Negara Berkembang, Jakarta, 24 April 2008.
2
Makmur Makka, Demokrasi Pasar, http://www.xs4all.nl/~peace/pubind/mb/multipar.html, 14/06/
2005, Last Update: 07/07/2005.
3
Kompas, Sinar Harapan, dan Media elektronik, awal April 2008.

40
Pemahaman Atas Multipartai Perkembangan Masyarakat dan Politik Hukum

(enam) tahun diganti dengan UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU
No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik), karena dipandang perlu menampung
kebutuhan masyarakat majemuk yang beragam yang menuntut peningkatan
peran, fungsi dan tanggung jawab partai politik dalam kehidupan demokrasi
secara konstitusional.
Perwujudan tujuan yang ingin dicapai masih mengalami kendala. Asas
demokrasi mengeluarkan pendapat/suara ternyata masih belum dipahami oleh
masyarakat. Para pengamat politik, antara lain Grafita,4 mengatakan bahwa
belum saatnya prinsip demokrasi diterapkan pada pemilihan umum. Hal ini
disebabkan keadaan masyarakat Indonesia yang tidak setara dalam bidang
pendidikan, berakibat tidak dapat menilai kompetensi seorang pemimpin yang
akan menjadi leader.

B. Permasalahan
1 Bagaimana dinamika hukum partai politik dan pengaruhnya terhadap bidang
lain dalam kehidupan berbangsa sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik?
2 Bagaimana pelaksanaan politik hukum dan kendalanya dalam memenuhi
kebutuhan multipartai masyarakat Indonesia yang heterogen?

C. Pembahasan
1. Dinamika Hukum Partai Politik dan Pengaruhnya Terhadap Bidang
lain Dalam Pembangunan Negara
Para pakar mengatakan, antara lain Bagir Manan,5 bahwa hukum saling
mempengaruhi dalam diri hukum itu sendiri tetapi juga pada bidang-bidang lain
di luar hukum. Kegiatan parpol yang ditentukan dalam hukum/peraturan
perundang-undangan apabila tidak berjalan sesuai dengan tujuan hukum itu,
maka bidang lain di luar hukum akan terpengaruh, baik atau buruknya. Hal itu
benar karena hukum bukan hanya aturan (legal substance) saja tetapi juga
ada aspek lain di luar hukum yang mempengaruhi tujuan dibentuknya hukum

4
Grafita, Demokrasi, Pernyataan Kehendak Melalui Partai, dan Hak Suara Anggota Masyarakat,
Surabaya Post, Surabaya, Maret 2008.
5
Bagir Manan, Bahan Kuliah Pascasarjana (S3), Universitas Padjadjaran, Bandung, Maret 1999, hlm. 5.

41
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

itu dalam perwujudannya. Sebagaimana dikatakan oleh Friedman,6 masih ada


2 aspek lain, yaitu legal structur, dan legal culture. Tentunya masih banyak
pandangan pakar tentang terwujudnya tujuan hukum, misalnya ditunjang oleh
sarana prasarana, mekanisme yang baik, dan sebagainya.
Dalam kaitan dengan kegiatan multipartai yang perlu dibenahi agar tujuan
dibentuknya UU parpol dapat terwujud disamping aspek sarana prasarana
dan mekanisme pelaksanaannya, adalah legal culture, kesadaran akan tujuan
hukum (UU parpol) tersebut. Apabila tidak demikian keberadaan partai yang
beragam akan mempengaruhi bidang-bidang dan menghambat pembangunan
ekonomi.
Hukum yang mengatur kegiatan politik terus berkembang sesuai
perkembangan dalam masyarakat yang sangat cepat sebagai akibat arus
globalisasi yang melanda kehidupan manusia saat ini. Hal itu terjadi pula dalam
pembentukan hukum yang berkaitan dengan kegiatan politik di Indonesia.
Dinamika hukum sebagai dasar kegiatan multipartai terus diubah sesuai dengan
berkembangnya masyarakat. Sejak Indonesia merdeka pengaturan hukum
multipartai terus berkembang sesuai dengan berkembangnya masyarakat. Saat
reformasi kegiatan multipartai didasarkan pada pertimbangan untuk menanggapi
ditegakkannya hak asasi manusia melalui pembentukan partai politik.
UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik yang merupakan dasar
hukum pelaksanaannya dibentuk sebagai tanggapan atas ketentuan Pasal 28
UUD 1945, yang menentukan hak warga masyarakat untuk berserikat,
berkumpul, dan menyatakan pendapat. UU ini tidak membatasi jumlah partai
yang dibentuk oleh rakyat. Melalui partai politik rakyat dapat mewujudkan
hak untuk menyatakan pendapat berkaitan dengan arah kehidupan berbangsa
dan bernegara. Keragaman pendapat dalam masyarakat melahirkan keinginan
untuk membentuk berbagai partai politik sesuai dengan ragam pendapat yang
hidup dalam masyarakat. Dengan demikian pada hakekanya negara tidak
membatasi jumlah partai politik yang dibentuk oleh rakyat. UU No. 21 Tahun
1999 tentang Partai Politik dianggap tidak dapat menampung perkembangan
masyarakat serta perubahan ketatanegaraan, dan oleh karena itu perlu

6
Friedman, Ed Candy, How to Build Character to Implementation The Law, Harvard University,
Boston Masatchusstetts, USA, p. 121.

42
Pemahaman Atas Multipartai Perkembangan Masyarakat dan Politik Hukum

diperbaharui. Oleh sebab itu UU ini diganti dengan UU No. 31 Tahun 2002
tentang Partai Politik, dan 6 (enam) tahun kemudian dibentuk UU No. 2 Tahun
2008 Tentang Partai Politik. Dibentuknya UU ini sebagai akibat perkembangan
masyarakat yang majemuk menuntut adanya dasar hukum bagi sarana partisipasi
politik masyarakat. Tujuan pembentukannya yaitu untuk mewujudkan cita-cita
nasional bangsa Indonesia dalam menjaga dan memelihara keutuhan Negara
Kesatuan. Selanjutnya untuk mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan
Pancasila dalam perkembangan masyarakat Indonesia yang majemuk.
UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik belum optimal menampung
dinamika masyarakat yang menuntut peran serta politik dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara serta tuntutan mewujudkan partai politik sebagai
organisasi yang bersifat nasional dan modern. UU ini mengakomodasi beberapa
paradigma baru seiring dengan menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia,
melalui sejumlah pembaharuan yang mengarah pada penguatan sistem dan
kelembagaan partai politik, yang berkaitan dengan demokratisasi secara internal
dari partai politik, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan
partai politik, peningkatan kesetaraan jender dan kepemimpinan partai politik
dalam sistem nasional, berbangsa dan bernegara.
Pengaturannya antara lain tentang pendidikan politik dengan
memperhatikan keadilan dan kesetaraan jender yang ditujukan untuk
meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban, meningkatkan partisipasi
politik, dan inisiatif warganegara serta meningkatnya kemandirian dan
kedewasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas pertimbangan
tersebut, pendidikan politik terus ditingkatkan agar terbangun karakter bangsa
yang merupakan watak atau kepribadian bangsa Indonesia yang terbentuk atas
dasar kesepahaman bersama terhadap nilai-nilai kebangsaan yang lahir dan
tumbuh dalam kehidupan bangsa, antara lain kesadaran kebangsaan, cinta tanah
air, kebersamaan, keluhuran budi pekerti dan keiklasan untuk berkorban bagi
kepentingan bangsa. Dalam UU ini ditentukan larangan untuk menganut,
mengembangkan, dan menyebarkan ajaran komunisme/Marxisme Leninisme,
sebagaimana diamanatkan oleh Tap.MPRS No. XXV/MPRS/1966.
Tap MPRS ini diberlakukan dengan memegang teguh prinsip berkeadilan
dan menghormati hukum, demokratik, dan hak asasi manusia.
Tujuan pembentukan undang-undang tersebut adalah untuk menjamin
kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengemukakan suara sebagai hak

43
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

asasi manusia untuk mewujudkan kehidupan berkebangsaan yang kuat dalam


negara kesatuan yang merdeka, sesuai dengan isi konstitusi negara, UUD 1945.
Apabila diamati maka ternyata asas demokrasi yang diterapkan dalam
pelaksanaan multipartai belum dapat dilakukan sebagai akibat kurangnya
pendidikan berpartai dan berlapisnya taraf pendidikan anggota masyarakat.
Sesuai dengan hasil pengkajian beberapa pengamat politik, antara lain Rauf,7
mengemukakan bahwa banyaknya partai menimbulkan masalah baru bagi
pemerintah. Keadaan itu terjadi sejak kemerdekaan sampai saat ini.
Saat pemerintahan setelah kemerdekaan dianggap banyaknya partai
hanya menimbulkan kesulitan dan mengganggu ketenangan masyarakat. Partai-
partai saling melakukan perlawanan dan tidak bisa menyelesaikan masalah,
maka saat itu diadakan kampanye untuk “menguburkan partai-partai”.
Tantangan yang dihadapi adalah anggapan bahwa dengan dibubarkannya partai-
partai maka terkuburlah demokrasi, demikian pandangan sebagian besar tokoh
politik yang tidak menginginkan hapusnya multipartai,
Salah satu kelemahan utama partai politik setelah masa reformasi, adalah
tidak berperan secara optimal sebagaimana fungsinya sebagai partai. Partai
politik hanya semata-mata muncul kurang lebih menjadi “perantara” bagi para
elite partai atau siapa saja untuk menduduki kekuasaan. Hal ini bisa terjadi,8
karena kesalahan lahir. Ketika pemerintahan Orde Baru “lengser keprabon”
dan menyerahkan jabatannya kepada Wapres pada saat itu (tahun 1998), sesuai
ketentuan UUD 1945, sejumlah tokoh, termasuk tokoh partai mendesak untuk
menyelenggarakan pemilu dalam waktu paling lama tiga bulan. Hal itu ditolak
Kepala Negara dengan pertimbangan belum adanya UU politik baru yang
merubah sistem kepartaian, dan yang akan berkuasa kembali adalah kekuatan
politik lama yakni partai yang besar, karena orpol inilah yang sekarang memiliki
infrastruktur partai yang kuat. Diperlukan waktu minimal persiapan satu tahun.
Setahun kemudian sesuai perkiraan, terbentuklah UU No. 2 Tahun 1999
tentang Partai Politik. UU ini memberi kebebasan berdirinya partai baru, dan
tidak melarang jumlahnya, namun sangat disayangkan karena pada umumnya

7
Rauf Andika, Pendidikan Politik dan Demokrasi Dalam Mengeluarkan Suara, Surabaya Pagi, Surabaya,
Desember 2007, hlm. 3.
8
A.Makmur Makka, Op.cit., hlm.1.

44
Pemahaman Atas Multipartai Perkembangan Masyarakat dan Politik Hukum

partai yang berdiri orientasinya hanya kekuasaan. Bagaimana dengan segera


mengganti presiden yang dikatakannya “transisi” dan “statusquo”, kemudian
menduduki kursi kepresidenan dan membagi-bagi jabatan menteri-menteri.
Para pengamat politik, antara lain Lukiman,9 mengatakan bahwa partai-partai
didirikan hanya untuk memenuhi syarat administratif belaka, “platform” partai
yang muluk-muluk hanya selesai di atas kertas. Terkabul, ketika para pimpinan
partai itu akhirnya bisa berkuasa dan menduduki jabatan penting, maka selesailah
tugas partai itu.
Partai yang dibentuk setelah reformasi itu pada umumnya kurang optimal
melakukan lagi konsolidasi internal yang ketat. Hal itu diindikasikan dengan
hasil muktamar, kongres, yang dinonjolkan adalah hanya perebutan jadi
pimpinan partai, bahkan kalau perlu lahir pengurus kembar. Jarang partai yang
melakukan fungsi pendidikan politik pada kader - jika memiliki kader. Tidak
ada “political sosialization”, atau memelihara konsensus dalam masyarakat
mengenai program dan cita-cita partai yang mungkin sedang berkuasa.
Bandingkan partai-partai yang didirikan sebelum pemilu 1955. Partai-partai
dibentuk dengan kohesi berbagai ideologi dan agama yang jelas dan solid,
seperti islam, nasionalis, sosialis, komunis, katholik, kristen serta dipimpin oleh
tokoh yang kharismatik yang sudah biasa dalam gerakan politik sebelum
Indonesia merdeka.
Saat ini, menurut Embong Pranata,10 kegiatan partai yang menonjol dan
sangat dominan, hanyalah fungsi partai sebagai “mobilization of voters”, baik
menghadapi pemilu nasional yang lalu maupun dalam pilkada gubernur dan
kepala daerah. Ini setali tiga uang, urusan kekuasaan lagi. Dalam pilkada, bahkan
partai seperti kehilangan inisiatif. Yang muncul pertama kali adalah inisiatif para
calon, partai kemudian dikendalikan oleh para calon yang punya uang dan
punya kharisma. Partai hanya memberikan stempel dan legitimasi yang bukan
tidak mungkin melalui tawar-menawar materi. Itulah sebabnya banyak muncul
calon ganda dari satu partai, atau calon yang sebenarnya tidak terpuji dalam
masyarakat, melenggang jadi calon.

9
Surabaya Pos, Keberadaan Partai, dan Manfaatnya Bagi Pendidikan Politik, Surabaya, 20 Oktober
2006, hlm. 3.
10
Embong Pranata, Surabaya Pagi, Fungsi Partai Dalam Membangun Bangsa dan Pelaksanaan Asas
Demokrasi Berdasarkan UUD 45, Surabaya, Februari 2008, hlm. 3.

45
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Pandangan masyarakat di atas menunjukkan bagaimana kegiatan partai


politik yang belum secara optimal melakukan aktivitas untuk mencapai tujuan
yang diinginkan untuk membangun bangsa dan negara. Hukum cukup memadai,
namun aspek karakter para elit perlu dibangun (character building) untuk
memahami keberadaan masyarakat yang heterogen dan bukan
memanfaatkannya dan akan berakibat tidak kondusifnya bagi lancarnya
perekonomian nasional.
Akibat dari keadaan ini akan mempengaruhi aspek lain yang ada, seperti
terhambatnya pembangunan di segala bidang, terutama bidang ekonomi.
Investor akan kurang berminat menanamkan modalnya di Indonesia. Padahal
di era globalisasi saat ini, investasi ke luar dan yang datang di suatu negara
sudah dihilangkan hambatannya melalui prinsip persamaan perlakuan (Artikel
III WTO). Bahwa investor asing diperlakukan sama dengan investor domestik.
Dan tentunya akan mempengaruhi peningkatan ekonomi nasional, baik melalui
transfer of technology, penyerapan tenaga kerja, manajemen, dan sumber
daya manusia.
Selain itu keadaan tersebut menimbulkan keengganan masyarakat untuk
ikut berpartisipasi dalam berpartai. Padahal dalam kegiatan politik yang
berasaskan demokrasi, semua memiliki peluang masuk dalam parpol termasuk
para investor domestik. Namun saat ini konglomerat merasa kurang berminat
karena keberadaan parpol yang masih perlu dibenahi. Kurang berminatnya
pelaku ekonomi termasuk konglomerat tidak tertarik menggunakan peluang itu
dapat dilihat dalam pernyataan-pernyataannya dalam media-media masa dan
elektronik.
Pelaku ekonomi sebagai salah satu aspek penunjang ekonomi nasional
tidak akan ambil pusing dengan siapa yang akan menjadi pemimpin, Yang penting
adalah terciptanya suasana politik dalam membangun bangsa ini secara aman
dan damai. Hal itu dapat dilihat dalam pandangan yang dikutip dari Retno
Yulianty,11 tentang adanya beberapa hal dalam pernyataan juru bicara
kongklomerat. Konglomerat Indonesia tidak akan ambil pusing terhadap
perubahan kepemimpinan nasional (presiden), siapapun yang menggantikan

11
Retno Yulianti, Multi Partai Adalah Jalan Keluar Demokratis Bagi Politik Indonesia, http://
www.xs4all.nl/~peace/pubind/mb/multipar.html, Jakarta, 10 April 2008.

46
Pemahaman Atas Multipartai Perkembangan Masyarakat dan Politik Hukum

atau menjadi presiden tidak menjadi masalah sejauh dapat menjamin stabilitas
ekonomi Indonesia.12 Pimpinan nasional harus dapat menjaga keamanan
konglomerat, untuk mengembangkan modalnya. Kaum konglomerat memilih
menjadi penonton saja dan tidak akan aktif dalam politik indonesia.
Kaum konglomerat tersebut tidak akan melarikan diri ke luar negeri jika
ada krisis, karena semua modal mereka ada di dalam negeri dan tidak mungkin
dilarikan keluar negeri. Berdasarkan pernyataan itu dapat digambarkan bahwa
kaum kapitalis akan tetap menjauhi (keep distance) politik, seakan-akan
kepentingan mereka (yang bersangkutan keamanan modal) diserahkan begitu
saja pada politisi.
Padahal dalam prakteknya merekalah yang paling banyak terlibat
terhadap kebijakan politik negara selama ini, dari soal perampasan tanah rakyat,
penyogokan birokrasi, sistim pengupahan dan kesejahteraan kaum buruh,
manuver terhadap partai-partai politik, sistem keamanan nasional (dari soal
penyelundupan kayu, miras sampai ekstasy ), eksistensi kapital dan pemiliknya
yang tidak akan kemana-mana jika ada krisis. Padahal sudah juga menjadi
rahasia umum bahwa kaum kapitalis secara diam-diam melempar modalnya
dalam bentuk investasi di luar negeri jauh-jauh hari sebelumnya. Seperti yang
dikemukakan oleh Intelektual dalam Media Indonesia (10 November 1996)
juga. Keadaan tersebut perlu dibenahi agar tidak terjadi sebagaimana di negara-
negara lain seperti Uni Sovyet. Dari keadaan disintegrasi akibat permainan
politik akan mempengaruhi disintegrasi bangsa.
Dari pengalaman Soviet Union, menunjukkan bahwa kontradiksi di dalam
negeri, akan mengundang kepentingan Luar Negeri, dalam hal ini Kapitalis
negara-negara maju, seperti Amerika dan Kapitalis Eropah Barat untuk
mempercepat proses krisis dan memenangkannya. Setelah rezim Gorby (dan
slogan glasnost perestroikanya) jatuh maka penggantinya adalah seorang yeltzin
yang melempengkan jalan kapitalisme untuk menjarah setiap republik ex Soviet
Union, yang sudah terpecah sehingga mudah untuk dikuasai. Sebenarnya
pengalaman bangsa ini juga sudah cukup banyak. Taktik persekutuan dagang
VOC, untuk memecah belah dan mengadu domba agar dapat menguasai baik
bidang ekonomi, politik, dan kebudayaan. Masa tahun kolonial tersebut

12
Media Indonesia, Minggu, 10 November 1996, hlm. 3.

47
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

mewariskan kebodohan, minder, irasionalitas, mental budak dan ketakutan


untuk mengeluarkan suara, karena terlalu sering dipecah belah dan diadu domba
oleh tuan-tuan pedagang dari negeri Belanda.
Hukum yang mengatur kegiatan multipartai yang bertujuan membangun
demokrasi di Indonesia dalam pelaksanaannya tidak semudah yang
dibayangkan. Kebutuhan aneka ragam dari rakyat yang berasal dari latar
belakang yang berbeda baik budaya, agama, maupun adat istiadat serta tingkat
pendidikan akan beradu secara fair dan demokratis, dan akan menghasilkan
pemerintahan yang semakin lama semakin baik, karena akan menunjuk
pemimpin yang mewakili semua aspirasi dan kepentingan mayoritas rakyat.
Multipartai akan mengangkat kepentingan setiap daerah. Karena desentralisasi
ekonomi dan politik akan menemui jalan yang mudah, sehingga justru menjamin
keutuhan kesatuan dan persatuan bangsa. Setiap sektor sosial, aliran dan
keyakinan masyarakat akan diperjuangkan lewat partai partai di Dewan
Perwakilan Rakyat. Negara hanyalah alat untuk melayani masyarakat dan untuk
kepentingan rakyat.
Hukum yang menjadi dasar berpolitik seyogyanya menampung kebutuhan
masyarakat Indonesia yang heterogen. Politik hukum yang diprogramkan dalam
pembangunan perlu memperhatikan perkembangan masyarakat yang semakin
cepat dengan meningkatnya media komunikasi melalui elektronik. Disamping
aturan juga penegakannya perlu dioptimalkan dalam kehidupan berbangsa kita
demi mencegah disintegrasi bangsa.

2. Pengertian Hukum, Politik Hukum dan Perkembangan Masyarakat


Pada umumnya, hukum dipandang oleh masyarakat saat ini sebagai
peraturan, atau undang-undang. Dan masyarakat melihat hukum sebagai
gambaran pemenuhan kebutuhan mereka dalam melakukan hubungannya dengan
anggota masyarakat lainnya, serta patokan pelaksanaan keadilan oleh penguasa.
Pandangan ini sebagian benar, karena hukum yang tidak mengandung aturan
untuk memenuhi kebutuhan masyarakat di tempat hukum tersebut berlaku,
dipandang tidak efektif. Namun demikian, hukum tidak sekedar undang-undang
atau peraturan tertulis.
Para ahli hukum berpandangan bahwa hukum tidak hanya peraturan
tertulis, tetapi juga peraturan tidak tertulis (kebiasaan yang mengikat anggota
masyarakat tersebut).

48
Pemahaman Atas Multipartai Perkembangan Masyarakat dan Politik Hukum

Pandangan ahli hukum ini dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut,
yaitu sistem hukum kontinental, dan hukum dasar negara yang tidak
mengabaikan keberadaan kebiasaan yang hidup dan mengikat anggota
masyarakat.
Lain dengan pandangan penganut hukum murni bahwa hakekat hukum
dapat dipahami apabila hukum dianggap sebagai seperangkat peraturan, dalam
satu kesatuan yang berisi tata kehidupan manusia. Hal itu berarti bahwa teori
hukum murni berusaha mencapai hasil-hasilnya semata-mata pada hukum positif.
Austin,13 mengatakan bahwa hukum sebagai peraturan yang dibuat oleh
penguasa bertujuan mengatur tingkah laku manusia.
Padahal hukum tidak saja peraturan yang mengatur kegiatan manusia
dan pergaulannya, baik tertulis maupun tidak tertulis, tetapi juga prinsip-prinsip
hukum, prosedur hukum, lembaga-lembaga hukum yang terkait dengan
peradilan, dan tindakan administrasi hukum, dan sebagainya.14
Roscoe Pound,15 mengemukakan bahwa hukum mengandung banyak
aspek, baik aturan tertulis, maupun etika kehidupan, mencakup kesusilaan,
keagamaan, petunjuk moral, mekanisme berpolitik, adat istiadat pada umumnya,
dan pengawasan sosial sebagai suatu keseluruhan. Pengertian hukum semacam

13
John Austin, The Pure Theoy of Law and Analytical Jurisprudence, Harv .L Lev, USA, 1942. hlm.
44-70.
14
Bahkan pakar hukum senior,14 mengatakan bahwa hukum:
“memiliki banyak aspek, terdiri dari jauh lebih banyak komponen atau unsur yang lain, seperti filsafat
hukum, sumber hukum, kaedah hukum, yurisprudensi, hukum kebiasaan, penegakan hukum, pelayanan
hukum, profesi hukum, lembaga hukum, pranata hukum, prosedur dan mekanisme hukum, hukum
acara, pendidikan hukum, penelitian hukum, perilaku hukum masyarakat maupun pejabat hukum, atau
perilaku profesi hukum, kesadaran hukum, dan sebagainya. Aspek-aspek di atas saling terkait dalam
satu sistem untuk melaksanakan fungsi hukum, sesuai dengan kebutuhan di mana hukum itu diberlakukan”.
Berdasarkan uraian di atas, maka terlihat bahwa hukum dipandang sebagai aturan yang berkaitan satu
dengan lainnya secara konsisten termasuk mekanisme dan prosedurnya, dan kebiasaan yang mengikat.
Hal tersebut berbeda dengan pandangan ahli hukum Amerika,14 yang melihat hukum pada pandangan
hakim di pengadilan/keputusan di Pengadilan, dan peranannya sebagai lembaga hukum. Keputusan
pengadilan merupakan peraturan yang dapat diikuti oleh hakim berikutnya. Hal ini sesuai dengan
pandangan,14 hukum Amerika yang mengatakan bahwa: Law is what the courts will do in fact. Pandangan
ahli hukum Belanda,14 menekankan pada kehendak pemerintah yang harus dituruti. Dan apabila tidak
dikenakan sanksi. Hukum dalam kaitan ini berfungsi sebagai mengatur kehendak pemerintah, sekaligus
penegakannya.
15
Roscoe Pound, The Task of Law,Franklin and Marshal College, Lancaster, Pennsylvania, USA,1946,
Terj. Muh. Radjab, Bhrata, Jakarta, 1965, p.35.

49
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

ini dikenal pada abad pertengahan, tatkala kontrol sosial,16 yaitu kesadaran
bersama sebagai manusia yang dibatasi oleh kekuatan yang sepadan bagi
intensitas (keadaan tingkatan, atau ukuran intensinya) untuk bertingkah laku
dalam cara-cara tertentu tanpa memandang secara berlebih-lebihan kepentingan
sendiri dengan lingkungan sekelilingnya — belum mengenal diferensiasi–yaitu
proses pembedaan hak dan kewajiban warga masyarakat berdasarkan usia,
jenis kelamin – ketika hanya satu istilah harus mencakup artian peraturan tertulis
dan etika serta kebiasaan pada umumnya, kehidupan dalam masyarakat yang
berorganisasi politik di dalam negara-negara kota, adat pada umumnya, dan
pengawasan sosial, sebagai suatu keseluruhan.
Pada akhir zaman pertengahan, hukum Romawi dipahami sebagai titah
Raja yang diundangkan, bersifat mengikat (Codex Theodosius atau Peraturan
perundang-undangan Kaisar Justinianus)-yang diajarkan di universitas-
universitas. Plato, pada abad 4 SM, mengatakan bahwa negara yang ideal
hukum tidak dibutuhkan, karena keadilan yang berlaku sudah terdapat dalam
titah raja yang juga sebagai filosof.17 Hukum dianggapnya merupakan
pencerminan akal manusia yang paling sempurna dalam kehidupan bernegara
sehingga dapat diartikan sama dengan ilmu pengetahuan yang dijadikan patokan
bukanlah peraturan yang diundangkan, tetapi gagasan tentang urutan sebab
akibat, berdasarkan observasi.18
Dinamika hukum terus berkembang sesuai dengan berkembangnya
pergaulan masyarakat. Oleh karena itu hukum harus bersifat mengayomi,
mengandung asas-asas yang dijadikan rambu-rambu dalam menentukan

16
Kontrol sosial diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 523,
sebagai kesadaran bersama sebagai manusia yang dibatasi oleh kekuatan yang sepadan bagi intensitas
(keadaan tingkatan, atau ukuran intensinya) untuk bertingkah laku dalam cara-cara tertentu tanpa
memandang secara berlebih-lebihan kepentingan sendiri dengan lingkungan sekelilingnya. Belum
mengenal diferensiasi (proses pembedaan hak dan kewajiban warga masyarakat berdasarkan usia, jenis
kelamin).
17
Encyclopaedia Britannica, Britanica Inc. USA, hlm. 716.
18
Roscoe Pound, Op.cit., hlm. 37 Ahli filsafat positivis memikirkan tentang hakekat, seperti di dalam
hukum yang mirip dengan hukum fisika, dan ilmu bintang, yang dapat diketemukan dengan observasi
dan dibuktikan kebenarannya dengan observasi lebih lanjut yang terkait dengan perkembangan sosial
dan terletak pada dasar-dasar ilmu kemasyarakatan. Jadi dalam ilmu-ilmu kemasyarakatan terdapat
hukum.
Oleh karena itu ada pandangan bahwa hukum dipengaruhi ilmu-ilmu lain dil luar hukum itu. Hukum yang
adalah gagasan tentang aturan, mengandung apa yang benar yang ditegakkan oleh penguasa, yang
mengatur kehidupan manusia, diundangkan dalam bentuk tulisan para ahli hukum tersebut, kemudian
pada abad ke 17 mengandung hak yang dilindungi hukum, disahkan oleh Raja.

50
Pemahaman Atas Multipartai Perkembangan Masyarakat dan Politik Hukum

keputusan untuk memenuhi kepentingan masyarakat .19


Roscoe Pound,20 selanjutnya mengatakan bahwa pada abad akhir abad
ke 17 memasuki abad ke 18 pemikiran ahli hukum semakin bergeser pada
pemikiran bahwa ketertiban hukum dianggap bertujuan memelihara itikad baik,
dan kesusilaan. Apa yang dibenarkan dalam kaidah kesusilaan dibenarkan dalam
hukum. Pada Abad ke 19 hukum berfungsi untuk menciptakan ketertiban agar
hak pribadi dilindungi sebebas-bebasnya, dan oleh karenanya undang-undang
sangat dibutuhkan.
Abad ke 20 memasuki abad ke 21 menampilkan pemikiran para ahli
hukum yang mengatakan dibutuhkannya ketertiban politik, dan ketertiban hukum
yang berkeadilan. Ketertiban politik mengatur bagaimana pemerintah
mengimplementasikan rencananya dalam melaksanakan pemerintahan dengan
menampung kebutuhan masyarakat yang kompleks. Ketertiban hukum
menentukan bagaimana hukum memfungsikan dirinya agar niat pemerintah
tercapai (misalnya dalam melaksanakan pembangunan) dan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat di mana hukum diberlakukan. Hukum di Indonesia
sebagaimana di negara-negara lain yang bekas dijajah tidak hanya satu tetapi
beberapa sistem hukum.21 Hal ini sesuai dengan pandangan yang dikemukakan

19
Ibid, Encyclopedia. Menurut pengertian ini, hukum yang berwibawa adalah sekumpulan penuntun
yang berwibawa atau dasar-dasar kebijakan, yang dikembangkan dan ditetapkan melalui teknik penyusunan
yang baik dengan tujuan yang jelas yaitu mencapai ketertiban.
Dalam mencapai hukum yang otoritatif/berwenang memerintah atau berwibawa ini dicapai melalui
tahapan, dimulai dengan hukum untuk memelihara perdamaian, dengan cara menerapkan keadilan
melalui ganti rugi. Hukum semacam ini mengandung kaidah atau norma yang menentukan akibat
hukum tertentu dan terperinci bagi suatu keadaan atau situasi tertentu yang berkenaan dengan fakta,
yang dilaksanakan dengan menggunakan pemikiran secara rasional oleh para ahli hukum dalam
pelaksanaannya dengan dipagari asas-asas.
Hukum terus berkembang seiring dengan berkembangnya masyarakat yang diindikasikan dengan
bervariasinya pemanfaatan sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dengan demikian diharapkan
hukum dapat menfungsikan dirinya agar tidak tertinggal dari perkembangan sekelilingnya. Disamping
itu tantangan semakin bertambah dengan rumitnya ketertiban ekonomi. Hukum harus menampilkan
diri dapat menampung permasalahan yang terjadi. Hukum tidak hanya berfungsi sebagai aturan tingkah
laku antar anggota masyarakat, tetapi juga tingkah laku perusahaan.
Keinginan manusia berkembang terus, pemikiran meningkat sehingga mulai memikirkan bahwa hukum,
disamping mengandung aturan tingkah laku manusia, mengandung asas untuk menjadi pedoman dalam
menafsirkan hukum. Kontrol sosial difungsikan, tidak sebagaimana pada abad pertengahan sebelum
Masehi. Hal ini dibutuhkan untuk memenuhi tujuan hukum tentang bagaimana anggota masyarakat
memandangnya untuk memenuhi kebutuhan mereka.
20
Roscoe Pound, Op.cit., hlm. 53.
21
Kenichi Ohmae, Government in The Post–National Era, Whaton Scool Publishing, Wharton
University, Pensylvania, 2002, p. 121.

51
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

ahli hukum,22 bahwa hukum dikatakan efektif apabila memenuhi kebutuhan


pelaksanaan pembangunan yang diartikan,23 sebagai tindakan merombak,
memperbaiki atau menghapuskan.

3. Politik Hukum dan Perkembangan serta Susunan Masyarakat


Politik hukum adalah salah satu dari tiga aspek kerangka kajian hukum,
selain Filsafat hukum, dan Ilmu hukum, yang mempunyai kekuatan saling tarik
menarik. Filsafat hukum lebih banyak meramu ide-ide tentang hukum, dan diolah
oleh ilmu hukum. Politik hukum lebih banyak mengarah pada perumusan konkrit
tentang apa dan bagaimana seharusnya hukum yang akan datang akan dibentuk
dan dirumuskan agar memenuhi kebutuhan masyarakat dan tujuan pemerintah
dalam program-programnya untuk mensejahterakan rakyat.
Keberadaan hukum menuntut adanya persyaratan yang merupakan
kebutuhan yang harus dipenuhi sesuai dengan hakekat hukum dasar dalam
negara tersebut. Agar hukum yang akan dibentuk ditaati dan memberi keamanan
bagi masyarakat Indonesia, maka hukum tersebut hendaknya mengandung
pesan yang tergambar dalam pembukaan UUD 45, yaitu bagaimana agar rakyat
Indonesia dapat melaksanakan kehidupan yang bebas sebagai suatu bangsa
yang merdeka. Hal itu menuntut adanya persyaratan, baik yang terkait dengan
perangkat hukum/peraturan perundang-undangan, maupun sistem hubungan
sosial dalam kehidupan masyarakat dengan berbagai aspek kehidupan,
termasuk berinteraksi dengan dunia luar.
Konsepsi umum mengatakan bahwa hukum, khususnya peraturan
perundang-undangan (tertulis), adalah produk politik. Bukan saja oleh lembaga-
lembaga politik seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Majelis Permusyawaratan
Rakyat, atau Presiden, tetapi peraturan perundang-undangan pada dasarnya
akan mencerminkan berbagai pemikiran dan kebijaksanaan politik yang paling
berpengaruh dalam negara yang bersangkutan. Pikiran politik dan kebijaksanaan
politik yang berpengaruh tersebut dapat bersumber dari idiologi tertentu,
kepentingan tertentu (seperti kepentingan para konglomerat), atau tekanan-

22
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Bandung, Bina Cipta hlm. 7.
23
Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Dan Pembaharuan Hukum Dalam Pembangunan Nasional,
BinaCipta, Bandung, 1978, hlm. 7.

52
Pemahaman Atas Multipartai Perkembangan Masyarakat dan Politik Hukum

tekanan sosial yang kuat dari masyarakat.24


Pada umumnya doktrin yang dianut suatu negara akan mempengaruhi
politik hukum negara tersebut. Doktrin sosialisme akan mempengaruhi politik
hukum negara yang menganutnya, dan tentunya berbeda dengan politik hukum
negara yang didasarkan doktrin kapitalisme. Hukum yang dibentuk akan
berbeda, misalnya saja negara penganut doktrin sosialisme, hukum di bidang
ekonomi di negara tersebut akan menerapkan dalam ketentuannya pemberian
kewenangan kepada pemerintah untuk mempengaruhi kegiatan ekonomi.
Demikian pula hukum di bidang ekonomi pada negara penganut doktrin
kapitalisme akan banyak mengandung ketentuan mengenai ekonomi pasar. Di
bidang politik di negara tersebut akan dipengaruhi oleh pemerintah untuk
kepentingan rakyat.
Di negara yang memegang prinsip demokrasi akan berbeda
pelaksanaannya. Kemandirian rakyat akan diperhatikan, dan pemerintah
berperan mengkoordinasikannya. Namun demikian secara seutuhnya prinsip
itu akan dilakukan di negara-negara maju yang sifat masyarakatnya homogen,
tidak sebagaimana di Indonesia yang masih bersifat heterogen
(keanekaragaman), dan keadaan ini biasa terjadi di negara berkembang akibat
penjajahan.
Disamping itu dengan semakin tipisnya batas teritorial negara-negara di
dunia, maka dasar pembentukan hukumpun ikut terpengaruh. Pelaksanaan
hukum dari negara-negara yang melakukan hubungan perdagangan akan
mempengaruhi sistem hukum masing-masing negara tersebut, bergantung dari
obyek-obyek yang diatur. Saat ini,25 tidak tepat lagi untuk membedakan secara
tajam antara ‘serba negara’ dan ‘serba pasar’, karena bagi kebanyakan negara,
pendekatan yang serba idiologis sudah berangsur-angsur ditinggalkan, dan yang
dipakai sebagai patokan adalah idiologis negara untuk melindungi rakyat dan
membuka diri menerima prinsip dari belahan dunia luar yang dikombinasikan.
Di bidang politik dengan cara multipartai politik hukumnya adalah
menunjang pelaksanaan hak anggota masyarakat dalam menentukan haknya

24
Bagir Manan, Pembinaan Hukum, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 tahun Prof.Dr. Mochtar
Kusumaatmadja, S.H.,LL.M, Unpad Prss, Bandung, 1999 hlm. 231.
25
Bagir Manan, Op.cit., hlm. 232.

53
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

dan juga tunduk pada kewajibannya yaitu mewujudkan cita-cita dalam kehidupan
berbangsa dalam keberadaan masyarakat Indonesia yang beragam sangat
rentan terhadap disintegrasi bangsa. Oleh karena itu dalam menentukan politik
hukum unsur-unsur ini perlu diperhatikan, misalnya bagaimana pengaturannya
terhadap rakyat yang tingkat pendidikannya rendah (yang lebih banyak jumlahnya
di daerah-daerah) dalam memanfaatkan peluang mengeluarkan suara agar tidak
dijadikan komoditas oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk
kepentingannya dalam mencari kekuasaan.

D. Penutup
1. Kesimpulan
a Pengaturan hukum yang menjadi patokan pelaksanaan Parpol dalam
kehidupan berbangsa terus berubah sesuai perkembangan
perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin beragam, terakhir
ditampung dalam UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
b Politik hukum dalam memenuhi pelaksanaan multipartai masyarakat
Indonesia yang heterogen dilakukan dengan memperhatikan keadilan
terhadap rakyat, antara lain memperhatikan keberadaan masyarakat
baik terhadap budaya, agama, dan adat istiadat yang berbeda.

2. Saran
a Seyogyanya pelaksanaan kegiatan partai politik disamping melakukan
pemahaman dan usaha mencapai tujuan memajukan dan
mempersatukan bangsa, juga memperhatikan pendidikan berpolitik
dan pendidikan dalam mempersiapkan anggota untuk menjadi
pemimpin.
b Untuk mencapai efektivitas pelaksanaan prinsip demokrasi berpolitik
dalam masyarakat yang heterogen, juga hendaknya memperhatikan
hak masyarakat yang tingkatan pendidikannya masih rendah dan sering
dimanfaatkan untuk kepentingan partai, melalui sosialisasi dan praktek
pelaksanaannya.

54
DAFTAR PUSTAKA

Bagir Manan, Pembinaan Hukum, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 tahun


Prof.Dr. Mochtar Kusumaatmadja,SH,LL.M, Unpad Prss, Bandung,
1999.
———— Bahan Kuliah Pascasarjana (S3), Universitas Padjadjaran, Bandung,
Maret 1999.
Embong Pranata, Surabaya Pagi, Fungsi Partai Dalam Membangun Bangsa Dan
Pelaksanaan Asas Demokrasi Berdasarkan UUD 45, Surabaya,
Februari 2008.
Encyclopaedia Britannica, Britanica Inc. USA.
Friedman, Ed Candy, How to Build Character to Implementation The Law,
Harvard University, Boston Masatchusstetts, USA.
Grafita, Demokrasi, Pernyataan Kehendak Melalui Partai, Dan Hak Suara
Anggota Masyarakat, Surabaya Post, Surabaya, Maret 2008.
John Austin, The Pure Theoy of Law and Analytical Jurisprudence, Harv .L
Lev, USA, 1942.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta.
Kenichi Ohmae, Government in The Post –National Era, Whaton Scool
Publishing, Wharton University, Pensylvania, 2002, p. 121.
Makmur Makka, Demokrasi Pasar, http://www.xs4all.nl/~peace/pubind/mb/
multipar.html, 14/06/2005, Last Update: 07/07/2005.
Media Indonesia, Minggu, 10 November 1996.
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi Hukum Dalam Pembangunan Nasional,
Bandung, BinaCipta hlm. 7.
———— Pembinaan Dan Pembaharuan Hukum Dalam Pembangunan Nasional,
BinaCipta, Bandung, 1978.
Rauf Andika, Pendidikan Politik Dan Demokrasi Dalam Mengeluarkan Suara,
Surabaya Pagi, Surabaya, Desember 2007, hlm. 3.
Retno Yulianti, Multi Partai Adalah Jalan Keluar Demokratis Bagi Politik
Indonesia, http://www.xs4all.nl/~peace/pubind/mb/multipar.html,
Jakarta, 10 April 2008.
Roscoe Pound, The Task of Law,Franklin and Marshal College, Lancaster,
Pennsylvania, USA,1946, Terj. Muh. Radjab, Bhrata, Jakarta, 1965.

55
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

DEMOKRASI DAN PARTAI POLITIK


Oleh: Zainal Abidin Saleh, S.H.,M.H.

Abstrak
Menurut paham negara Demokrasi modern, Partai Politik,
Pemilihan Umum dan Badan Perwakilan Rakyat merupakan tiga
institusi yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang
lain. Setiap Partai Politik akan selalu berusaha untuk
memperoleh dukungan rakyat yang besar pada saat Pemilihan
Umum agar Badan Perwakilan Rakyat di dominasi oleh Partai
Politik yang bersangkutan.
Pada saat pemilu dijadikan manifestasi prinsip
kedaulatan rakyat, maka mulai saat itulah rakyat diberikan
kebebasan dalam menentukan calon-calon wakil rakyat yang
tergabung dalam Partai Politik.
Kehendak rakyat ialah dasar kekuasaan pemerintah.
Kehendak itu akan dilahirkan dalam pemilihan-pemilihan
berkala dan jujur yang dilakukan dalam pemilihan umum dan
berkesamaan atas pengaturan suara yang rahasia, dengan cara
pemungutan suara yang bebas dan yang sederajat dengan itu.
Dengan demikian kebebasan, kejujuran, rahasia dan
berkesamaan merupakan hal yang esensial dalam
penyelenggaraan pemilu.

A. Pendahuluan
Pelaksanaan demokrasi dalam negara demokrasi modern sudah tidak
mungkin lagi dilaksanakan dengan mempergunakan model demokrasi langsung.
Banyak kendala yang dihadapi, jika demokrasi langsung itu akan dilaksanakan.
Oleh sebab itu, pelaksanaan demokrasi dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang
duduk sebagai anggota Badan Perwakilan Rakyat.
Sehubungan dengan hal tersebut cara yang dipergunakan untuk
menentukan keanggotaan Badan Perwakilan Rakyat tersebut adalah :
1. Pemilihan Umum;
2. Pengangkatan; dan
3. Campuran (Kombinasi antara Pemilihan Umum dan Pengangkatan).
Pemilihan Umum merupakan salah satu sendi untuk tegaknya sistem politik
demokrasi. Tujuan Pemilihan Umum tidak lain adalah untuk
mengimplementasikan prinsip-prinsip demokrasi, dengan cara memilih wakil-

56
Dekomrasi dan Partai Politik

wakil rakyat di Badan Perwakilan Rakyat. Kesemuanya itu dilakukan dalam


rangka mengikut sertakan rakyat dalam kehidupan ketatanegaraan.
Dalam Pemilihan Umum tercakup dua macam hak pilih, yaitu:
- Hak pilih aktif atau sering dikenal sebagai Hak untuk memilih; dan
- Hak pilih pasif, yaitu hak untuk dipilih menjadi Anggota Badan Perwakilan
Rakyat.
Menurut Henry B. Mayo dengan adanya Pemilihan Umum maka salah
satu nilai demokrasi dapat terwujud, artinya terjadi perpindahan kekuasaan
negara dari pemegang yang lama kepada pemegang yang baru secara damai.1
Perlu diketahui pula, bahwa disamping untuk menentukan keanggotaan Badan
Perwakilan Rakyat, Pemilihan Umum juga dapat dipergunakan untuk menentukan
orang-orang yang berhak menduduki jabatan Presiden dan Wakil Presiden.

B. Pemilu dan Rekruitmen Kepemimpinan Nasional2


Salah satu fungsi utama Pemilu dalam negara demokratis tidak lain adalah
untuk menentukan Kepemimpinan Nasional secara konstitusional.
Kepemimpinan Nasional yang dimaksud disini menyangkut juga kepemimpinan
kolektif yang direfleksikan dalam diri para Wakil Rakyat. Oleh sebab itu dalam
bentuk dan jenis sistem pemerintahan apapun, Pemilu menduduki posisi yang
sangat strategis dalam rangka melaksanakan tujuan tersebut. Dalam sistem
Presidensiil yang murni, Pemilu diselenggarakan sebanyak dua kali, yaitu
pertama, untuk menentukan wakil rakyat yang duduk di parlemen. Kedua,
untuk menentukan Presiden (Kepala Pemerintahan) dalam rangka
menyelenggarakan Pemerintahan Negara.
Di dalam sistem parlementer, Pemilu pada prinsipnya hanya dilaksanakan
satu kali, yakni utamanya untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk
di Parlemen. Dan pembentukan Parlemen inilah kemudian ditentukan Kepala
Pemerintahan. Penentuan Kepala Pemerintahan ini biasanya sangat dipengaruhi
oleh komposisi perolehan suara dari Partai Politik Peserta Pemilu. Bagi Partai

1
Henry B. Mayo, dalam Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1986, hlm.
61.
2
Topik ini diambil dari Makalah B Hestu Ciptohandoyo, SH,M.Hum yang berjudul Indonesia
Menyongsong Pemilihan Umum 2004 “, Seminar Sehari “Media Law & Election, Kerjasama FH-UAJ
dan Indonesia Media Law & Policy Centre, Yogyakarta, 29 Juni 2002.

57
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Politik yang menduduki kursi mayoritas, maka diberi kesempatan pertama untuk
menentukan komposisi Pemerintahan Negara. Sedangkan jika ternyata dalam
Pemilu tidak ada satupun Partai Politik yang mampu menduduki kursi mayoritas,
maka penentuan komposisi Pemerintahan Negara dilakukan dengan cara koalisi,
yakni bergabungnya dua Partai Politik atau lebih untuk memperkuat suara di
Parlemen. Dengan demikian dalam konteks sistem Parlementer, maka korelasi
antara Pemilu dan Pemilihan Kepala Pemerintahan sifatnya adalah tidak
langsung. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Sistem Presidensiil.
Di dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Sidang Umum (SU)
MPR tahun 1999, kelaziman tersebut ditolak melalui argumentasi konstitusional
yang menegaskan bahwa Pemilihan Presiden merupakan wewenang MPR. Oleh
sebab itulah hasil Pemilu tahun 1999 tidak dapat dipergunakan sebagai ukuran
untuk menentukan secara langsung jabatan Kepala Pemerintahan. Konstitusional
kasus3 semacam inilah yang mengakibatkan Megawati harus berlapang dada
untuk memberikan kesempatan kepada KH. Abdurrahman Wahid menjadi
Presiden, walaupun dalam Pemilu tahun 1999 Partai yang dipimpin oleh
Megawati yakni PDIP memperoleh suara (kursi) di MPR lebih kurang 36%.
Hal ini berarti antara Pemilu dan Pemilihan Presiden bukan merupakan “satu
tarikan nafas” dalam penentuan rezim.
Dari gambaran tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk
melaksanakan Pemilihan Umum guna menentukan seseorang menjadi pejabat
negara (Presiden dan Wakil Presiden), dapat ditempuh melalui dua alternatif,
yaitu:
1. Pemilihan secara langsung, artinya para pemilih melakukan pemilihan
orang atau kontestan (peserta) yang disukai; dan
2. Pemilihan secara bertingkat (tidak langsung), yaitu para pemilih melakukan
pemilihan orang-orang untuk menjadi anggota suatu lembaga kenegaraan
yang mempunyai wewenang untuk memilih orang yang akan menjadi pejabat
negara tersebut. Contoh cara seperti ini pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden Republik Indonesia yang dilakukan oleh MPR sebelum
Amandemen UUD 1945.

3
Maksud Konstitusional Kasus disini adalah keadaan atau realitas konstitusi yang tidak sesuai dengan
paradigma teori ketatanegaraan.

58
Dekomrasi dan Partai Politik

Pada umumnya Anggota Partai Politik dapat duduk di Lembaga


Perwakilan Rakyat melalui Pemilihan Umum, tetapi karena ada kelompok-
kelompok fungsional yang hidup dan berkembang di dalam suatu masyarakat
serta dibutuhkan keterwakilannya di dalam Lembaga Perwakilan Rakyat, maka
dikenal pula adanya cara-cara pengangkatan maupun penunjukkan. Kendatipun
demikian dalam negara yang menganut prinsip demokrasi dan kedaulatan rakyat,
tentunya keberadaan anggota-anggota Lembaga Perwakilan Rakyat yang
berasal dari Pemilihan Umum komposisinya harus lebih banyak ketimbang
anggota-anggota Lembaga Perwakilan Rakyat yang berasal dari pengangkatan
atau penunjukkan.
Sehubungan dengan pola pengisian keanggotaan Lembaga Perwakilan
Rakyat tersebut, maka mekanisme untuk menentukan anggota-anggota di
Lembaga Perwakilan Rakyat dapat digolongkan ke dalam dua sistem, yaitu :4
1. Sistem Pemilihan Organis, yakni mengisi keanggotaan Lembaga Perwakilan
Rakyat melalui pengangkatan atau penunjukan.
2. Sistem Pemilihan mekanis. Sistem ini sering disebut juga Pemilihan Umum.
Berkaitan dengan adanya dua sistem tersebut, di bawah ini akan penulis
sampaikan pokok-pokok pikiran yang dikembangkan oleh masmg-masing
sistem di atas.
1. Sistem Pemilihan Organis.
Menurut Wolhoff, sistem pemilihan organis ini dilandasi oleh pokok pikiran
bahwa :5
a. Rakyat dalam suatu negara dipandang sebagai sejumlah individu yang hidup
bersama dalam beraneka ragam persekutuan hidup, seperti genealogi
(keluarga), teritorial (daerah), fungsional spesialis (cabang industri), lapisan-
lapisan sosial (buruh, tarn) dan lembaga-lembaga sosial (LSM/ORNOP).
b. Persekutuan-persekutuan hidup inilah yang bertindak sebagai pengendali
hak pilih. Artinya yang mempunyai kewenangan atau hak untuk mengutus
wakil-wakilnya duduk sebagai anggota Lembaga Perwakilan Rakyat adalah
Persekutuan-persekutuan hidup tersebut.

4
Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum Indonesia, Gaya Media Pratama,
Jakarta, 1988, hlm. 171, dst.
5
Wolhoff, dalam Bintan R. Saragih, Loc.cit.

59
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

c. Partai-partai Politik dalam struktur kehidupan kemasyarakatan seperti ini


tidak dibutuhkan keberadaannya. Hal ini disebabkan mekanisme pemilihan
diselenggarakan dan dipimpin sendiri oleh masing-masing persekutuan hidup
tersebut.
Berdasarkan pokok pikiran inilah, maka keberadaan Lembaga
Perwakilan Rakyat - menurut sistem pemilihan organis - tidak lebih hanya
merupakan “Lembaga Perwakilan Persekutuan-persekutuan hidup”. Dengan
kata lain Lembaga Perwakilan yang hanya berfungsi untuk mengurus
kepentingan-kepentingan khusus dari persekutuan-persekutuan hidup yang ada
di dalam masyarakat suatu negara. Dengan demikian melalui sistem pemilihan
organis ini kedudukan Lembaga Perwakilan menjadi lemah, dan tingkat
representasinya sangat rendah. Oleh sebab itu apabila Lembaga Perwakilan
jenis ini akan menetapkan suatu Undang-Undang yang menyangkut hak-hak
rakyat, maka Undang-Undang tersebut dapat berlaku efektif jika rakyat telah
menyetujui, misalnya melalui referendum.
2. Sistem Pemilihan Mekanis.
Masih menurut Wolhoff, sistem pemilihan mekanis berpangkal tolak dari
pemikiran bahwa :6
a. Rakyat di dalam suatu negara dipandang sebagai massa individu-individu
yang sama.
b. Individu-individu inilah yang bertindak sebagai pengendali hak pilih aktif.
c. Masing-masing individu berhak mengeluarkan satu suara dalam setiap
pemilihan untuk satu Lembaga Perwakilan Rakyat.
d. Dalam negara liberal mengutamakan individu-individu sebagai kesatuan
otonom dan masyarakat dipandang sebagai suatu kompleks hubungan-
hubungan antar individu yang bersifat kontraktual. Sedangkan di dalam
negara sosialis-komunis lebih mengutamakan totaliteit kolektif masyarakat
dan mengecilkan peranan individu-individu dalam totaliteit kolektif ini.
e. Partai politik atau organisasi politik berperan dalam mengorganisir pemilih,
sehingga eksistensinya (keberadaannya) sangat diperlukan, baik menurut
sistem satu partai, dua partai ataupun multipartai.

6
Loc.cit

60
Dekomrasi dan Partai Politik

Berpangkal tolak dari pemikiran tersebut di atas, maka keberadaan


Lembaga Perwakilan Rakyat yang terbentuk bersifat Lembaga yang
merepresentasikan kepentingan-kepentingan politik rakyat secara menyeluruh
yang dalam perkembangannya disebut sebagai Dewan Perwakilan Rakyat
(DPR) atau Parlemen. Dengan adanya sistem pemilihan mekanis inilah, maka
dikenal adanya dua sistem Pemilihan Umum, yaitu:
a. Sistem Pemilihan distrik; dan
b. Sistem Pemilihan Proporsional.
Dalam perkembangan lebih lanjut, kedua sistem Pemilihan Umum ini
membuka peluang adanya kombinasi antara keduanya. Sistem Pemilihan yang
mengkombinasikan antara sistem distrik dan Proporsional adalah sistem
Pemilihan Umum yang dilaksanakan di Indonesia, sebagaimana tertuang di dalam
UU No.10 Tahun 2008 tentang Pemilu.7 Sistem yang dimaksud adalah “Sistem
Proporsional dengan daftar calon terbuka8

a. Sistem Pemilihan Distrik.


Tatanan Pemilihan umum seperti ini dapat digambarkan sebagai berikut.
Wilayah suatu negara yang menyelenggarakan suatu pemilihan untuk wakil-
wakil di parlemen, dibagi atas distrik-distrik pemilihan yang jumlahnya sama
dengan kursi yang tersedia di parlemen (kursi di Parlemen yang diperebutkan
dalam Pemilihan umum). Setiap distrik hanya memilih satu orang wakil untuk
duduk di Parlemen dari beberapa calon untuk distrik tersebut.
Jikalau pembagian distrik dirasa terlalu banyak, maka dapat juga
dipergunakan cara penentuan distrik berdasarkan kursi di Parlemen di bagi
dua. Hal ini berarti untuk masing-masing distrik bisa mengirimkan dua calon
untuk duduk di kursi Parlemen. Contohnya: Jumlah Kursi di Parlemen adalah
500. Untuk cara yang pertama dapat ditempuh dengan membagi wilayah negara
menjadi 500 distrik. Jikalau cara seperti ini mengakibatkan jumlah distrik terlalu
banyak, maka dapat ditempuh dengan membagi wilayah negara menjadi 250
distrik. Cara yang kedua ini mengakibatkan masing-masing distrik bisa
mengirimkan wakil sebanyak 2 (dua) orang.

7
Ketika buku ini disusun RUU tentang Pemilihan Umum tersebut masih dalam tahap pembicaraan di
DPR-RI
8
Pasal 5 ayat (l) UU tentang Pemilihan Umum.

61
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Berdasarkan tatanan (sistem) Pemilihan distrik semacam ini, maka


keuntungan yang dapat diperoleh adalah :
1. Hubungan antara rakyat dengan “sang wakil” relatif dekat. Hal ini
disebabkan partai-partai politik tidak mungkin mencalonkan calon wakil
rakyat yang tidak populer di masing-masing distrik. Selain itu dalam
perkembangan lebih lanjut sang wakil tidak akan mengatas namakan Partai
Politik, karena dalam Pemilihan distrik, rakyat memilih orang. Bukan Partai
Politik.
2. Sistem ini mendorong penyatuan partai-partai (khususnya jika suatu negara
itu mempergunakan sistem multi partai). Hal ini disebabkan calon yang
terpilih di masing-masing distrik hanya satu atau lebih dari satu, dan
terpilihnya mereka ini semata-mata hanya karena kepopuleran dan
kredibilitasnya. Oleh sebab itulah ada kemungkinan partai-partai politik
itu bergabung untuk mencalonkan seseorang yang lebih “mumpuni” diantara
mereka. Calon yang mumpuni itu belum tentu berasal dari satu partai.
Bahkan ada kemungkinan adalah calon independen dan non partisan.
3. Organisasi dari penyelenggaraan pemilihan dengan sistem distrik ini relatif
sederhana. Tidak memerlukan banyak orang dan banyak birokrasi untuk
menyusun kepanitiaan Pemilihan. Biayanya relatif lebih murah dan
penyelenggaraannya relatif singkat. Sisa suara yang terbuang tidak perlu
diperhitungkan.
4. Dengan mempergunakan sistem distrik, maka ada kemungkinan
pertumbuhan Partai Politik yang cenderung sektarian, ideologis/aliran, dan
primordialisme menjadi berkurang. Hal ini mengingat tokoh-tokoh politik
yang terpilih menjadi wakil masing-masing distrik lebih mengedepankan
kepentingan rakyat di masing-masing distrik, ketimbang kepentingan
kelompok Partai yang justru kadangkala menyimpang dari kepentingan
rakyat banyak.
Sedangkan kelemahan dan sistem pemilihan distrik, dapat dirumuskan
sebagai berikut :
1. Banyak suara yang terbuang. Bahkan ada kemungkinan terjadi fenomena
Low representative Versus High representative. Artinya Calon yang
menjadi wakil dari suatu distrik, pada hakikatnya hanya memperoleh suara
minoritas (Low Representative) yang ada di distrik yang bersangkutan,
jikalau dibandingkan jumlah total suara (High Representative) dari calon-

62
Dekomrasi dan Partai Politik

calon lain di distrik tersebut. Contohnya :


Calon A : 40 suara.
Calon B : 39 suara.
Calon C : 25 suara.
Calon D : 20 Suara.
Calon E : 15 suara.
Berdasarkan suara tersebut maka Wakil Rakyat dari Distrik tersebut adalah
A. Akan tetapi bila dilihat jumlah total perolehan suara (B+C+D+E), maka
representasi dari calon A di distrik tersebut adalah rendah (Low represen-
tative).
2. Menyulitkan bagi Partai-partai kecil dan golongan-golongan minoritas untuk
mempunyai wakil di Lembaga Perwakilan Rakyat. Apalagi mereka ini
terpencar dalam berbagai distrik pemilihan.
b. Sistem Pemilihan Proporsional (Multi member constituency).
Tatanan (sistem) pemilihan umum seperti ini adalah mempergunakan
mekanisme sebagai berikut. Kursi yang tersedia di Parlemen Pusat diperebutkan
dalam suatu Pemilihan Umum, dibagi kepada Partai-Partai Politik atau golongan-
golongan politik yang ikut serta dalam Pemilihan Umum sesuai dengan imbangan
suara yang diperoleh dalam pemilihan yang bersangkutan. Misalnya untuk
kepentingan ini ditentukan suatu perimbangan 1 : 400.000. Imbangan suara
seperti ini, artinya 1 (satu) orang wakil harus memperoleh dukungan suara
400.000 rakyat pemilih yang berhak. Dengan kata lain sejumlah 400.000
pemilih mempunyai 1 (satu) orang wakil di Parlemen.
Dalam sistem ini, negara dianggap sebagai satu daerah pemilihan, dan
tiap suara dihitung. Dalam arti bahwa suara yang diperoleh dari suatu daerah
dapat ditambahkan dari suara yang diperoleh dari suatu daerah lainnya. Sehingga
besar kemungkinan setiap organisasi peserta Pemilihan Umum (Partai Politik/
Golongan Politik) memperoleh kursi/wakil di Parlemen Pusat.
Kendatipun negara dianggap satu daerah pemilihan, namun mengingat
luas wilayah suatu negara serta jumlah penduduk yang besar, maka pada
umumnya dalam sistem pemilihan proporsional ini sering dibentuk daerah
pemilihan (bukan distrik pemilihan), yaitu wilayah negara dibagi dalam daerah-
daerah pemilihan.
Kemudian - dengan mempertimbangkan wilayah negara, jumlah
penduduk dan faktor-faktor politik lainnya - kursi yang tersedia di Parlemen

63
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Pusat yang akan diperebutkan dalam Pemilihan Umum harus lebih dulu dibagikan
ke daerah-daerah pemilihan. Tetapi jumlah kursi yang diperebutkan ini tidak
boleh satu untuk satu daerah pemilihan, melainkan harus lebih dari satu. Inilah
yang sering disebut Multy member constituency. Sehingga pemenang dari
satu daerah pemilihan terdiri dari lebih dari satu orang.
Contoh yang dapat dipergunakan untuk memperjelas sistem ini adalah :
Misalnya suatu negara yang mempunyai 30 kursi di Parlemen akan
menyelenggarakan Pemilihan Umum dengan sistem proporsional. Langkah-
langkah yang harus ditempuh adalah :
- Pertama : dibagikan terlebih dahulu 30 kursi tersebut kepada daerah-
daerah pemilihan, misalnya ada 4 (empat) daerah pemilihan.
- Kedua: dengan mempertimbangkan wilayah negara, jumlah penduduk dan
sebagainya, maka ditentukan sebagai berikut :
Daerah Pemilihan A: 10 kursi.
Daerah Pemilihan B : 7 kursi.
Daerah Pemilihan C: 7 kursi.
Daerah Pemilihan D : 6 kursi.
- Ketiga : misalnya kursi yang berada di daerah pemilihan A yang berjumlah
10 dibagikan kepada Partai politik/golongan politik peserta Pemilihan
Umum sesuai dengan imbangan suara yang diperoleh dalam pemilihan umum
yang bersangkutan.
- Keempat : dari hasil yang diperoleh tersebut, Partai politik/golongan politik
dapat menentukan anggota-anggotanya yang akan duduk di Parlemen
dengan berlandaskan pada stelsel daftar calon anggota Parlemen. Stelsel
daftar ini tersusun berdasarkan nomor urut. Oleh sebab itu nomor urut
yang paling atas-lah yang memungkinkan untuk dapat dipilih oleh Partai
politik yang bersangkutan sebagai wakil rakyat yang duduk di Parlemen.
Dalam perhitungan suara - dalam rangka menentukan jumlah kursi yang
diperoleh masing-masing Partai politik/golongan politik peserta Pemilihan Umum
- maka cara yang ditempuh adalah dengan membagi jumlah suara yang diperoleh
masing-masing peserta Pemilihan Umum dengan Bilangan Pembagi Pemilih
(BPP). Sedangkan sisa suara yang mungkin ada di suatu daerah pemilihan
tidak dapat dipindahkan ke daerah pemilihan yang lain.
Secara ideal sistem pemilihan umum proporsional ini mengandung
kebaikan-kebaikan, seperti jumlah suara pemilih yang terbuang sangat sedikit,

64
Dekomrasi dan Partai Politik

merangkum partai-partai kecil atau golongan minoritas untuk mendudukkan


wakilnya di Parlemen. Akan tetapi sistem ini mengandung kelemahan yang cukup
substansiil, yaitu :9
1. Sistem ini mempermudah fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai
baru. Dengan keadaan yang demikian ini, maka dengan mempergunakan
sistem proposional justru menjurus kearah munculnya bermacam-macam
golongan, sehingga lebih mempertajam perbedaan-perbedaan yang ada.
Kurang mendorong untuk dipergunakan dalam mencari dan memanfaatkan
persamaan-persamaan. Dengan mempergunakan sistem ini peta Politik
justru mengarah pada politik aliran yang sarat dengan konflik ideologi.
2. Wakil-wakil yang terpilih justru merasa lebih dekat dengan induk
organisasinya, yaitu Partai Politik. Kurang memiliki loyalitas kepada rakyat
pemilih. Hal ini disebabkan oleh adanya anggapan bahwa keberadaan Partai
Politik dalam menentukan seseorang menjadi wakil rakyat lebih dominan
dari pada kemampuan individu dari sang wakil. Rakyat hanya memilih
Partai Politik. Bukan memilih seorang wakil.
3. Dengan membuka peluang munculnya banyak partai, maka sistem ini justru
mempersulit terbentuknya pemerintahan yang stabil, sebab pada umumnya
penentuan pemerintahan didasarkan pada koalisi dari dua partai atau lebih.
Disamping kedua sistem tersebut di atas, masih dijumpai adanya sistem
lain, yaitu sistem Proporsional dengan daftar calon terbuka. Sistem semacam
ini dikembangkan oleh Indonesia dalam melaksanakan Pemilu tahun 2004.
Mekanisme dari sistem ini hampir sama dengan sistem proporsional. Akan tetapi
dalam penentuan wakil-wakil rakyat yang duduk di DPR, Partai Politik hanya
mengajukan calon-calon dalam daftar yang disusun berdasarkan abjad. Bukan
nomor urut. Kemudian dalam pelaksanaan pemungutan suara, rakyat pemilih
disamping “mencoblos” Partai Politik yang dikehendaki, mereka juga memilih
nama-nama calon wakil yang diajukan oleh Partai Politik yang bersangkutan.
Cara semacam ini dimunculkan sebagai respon atas keprihatinan rakyat terhadap
kualitas wakil-wakil rakyat yang lebih condong mementingkan kepentingan
Partai Politik. Sehingga dengan mempergunakan cara semacam ini, diharapkan
wakil rakyat benar-benar mampu membawa aspirasi rakyat pemilih. Hal ini

9
Ibid, hlm. 180

65
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

mengingat walaupun seseorang dicalonkan oleh Partai Politik, namun secara


definitif dapat atau tidaknya orang tersebut duduk di DPR sangat tergantung
pada hasil pilihan rakyat yang diambil dari daftar calon tersebut.
Menurut Pasal 2 Undang-Undang tentang Pemilihan Umum, pelaksanaan
Pemilu berdasarkan asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, adil, dan dapat
dipertanggungjawabkan. Perluasan asas pemilu semacam ini memang dirasa
terlalu “membabi-buta”. Akan tetapi. berdasarkan pengalaman Pemilu di
Indonesia yang selalu bernuansa manipulatif, penuh intimidasi, tidak jujur,
sewenang-wenang, maka memang masuk akal jika asas-asas Pemilihan umum
tersebut dikembangkan sedemikian rupa.
Masih berkaitan dengan asas Pemilihan Umum. Di dalam Tap MPR No.
IV/MPR/1999 tentang Garis-garis Besar Haluan Negara tahun 1999-2004
dan ketentuan Pasal 22E UUD 1945 mengamanatkan bahwa penyelenggaraan
pemilihan umum dilaksanakan secara lebih berkualitas dengan partisipasi rakyat
seluas-luasnya atas dasar prinsip demokratis, langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, adil dan beradab. Berkaitan dengan ketentuan semacam inilah, maka
Undang-undang tentang Pemilihan Umum mengembangkan asas Pemilihan
Umum.10
Pengertian dan makna asas-asas Pemilu Indonesia yang sedemikian
komplek tersebut di atas, kalau diterjemahkan lebih singkat pada hakikatnya
dipergunakan untuk memberikan landasan bagi seluruh rangkaian proses
penyelenggaraan Pemilu. Hal ini berbeda dengan asas-asas Pemilu yang pernah
berlaku semasa Orde Baru. Semasa Orde Baru asas-asas Pemilu yang
dipergunakan hanyalah “LUBER” (Langsung, Umum, Bebas, dan Rahasia).
Asas-asas semacam ini pada hakikatnya hanya dipergunakan pada saat
pemungutan suara. Sementara untuk memberikan landasan filosofis bagi seluruh
rangkaian proses penyelenggaraan Pemilu belum ada asasnya.

C. Tahap-tahap Penyelenggaraan Pemilihan Umum


Tahapan Pemilihan Umum di Indonesia - sebagaimana dirancang oleh
KPU - pada prinsipnya melalui 10 (sepuluh) tahapan teknis. Secara singkat ke

10
Lihat Penjelasan Umum dalam Draft RUU tentang Pemilihan Umum.

66
Dekomrasi dan Partai Politik

sepuluh tahapan teknis sesuai Pasal 4 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu
(1) Pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali
(2) Tahapan penyelenggaraan Pemilu meliputi :
a. Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih
b. Pendaftaran peserta pemilu
c. Penetapan peserta pemilu
d. Penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan
e. Pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten kota
f. Masa kampanye
g. Masa tenang
h. Pemungutan dan Penghitungan suara
i. Penetapan hasil Pemilu
j. Pengucapan sumpah janji anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD
Kab/Kota.

D. Kilas Balik Pemilu di Indonesia


Dalam catatan sejarah Indonesia telah menyelenggarakan 9 (sembilan)
kali Pemilu. Sejak Pemilu tahun 1955, perkembangan untuk mencapai
masyarakat yang demokratis masih nampak suram. Kalaupun Pemilu tahun
1955 dan Pemilu tahun 1999 dikatakan banyak orang adalah Pemilu yang
demokratis, namun kenyataan menunjukkan bahwa hasil-hasil Pemilu dari kedua
penyelenggaraan Pemilu tersebut tidak cukup signifikan untuk dipergunakan
sebagai tolok ukur proses perjalanan sistem demokratis yang diidam-idamkan.
Dalam Pemilu tahun 1955 banyak analis politik dan pakar ketatanegaraan
menganggap bahwa Pemilu tersebut merupakan Pemilu yang paling demokratis
yang pernah dilakukan di Indonesia. Kendatipun demikian, Herbert Feith
mengemukakan bahwa penyelenggaraan Pemilu tahun 1955 sesungguhnya
merupakan bentuk kompromi politik Sukarno terhadap berbagai tekanan yang
muncul dari TNI soal otoritas pemerintahan yang korup dan nepotis,
percekcokan antar Partai Politik serta bancinya pemerintahan dalam
menghadapi urusan-urusan ekonomi.11 Kondisi sebagaimana digambarkan oleh

11
Herbert Feith, The Indonesian Elections of 1955.

67
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Feith ini juga nampak jelas dalam realitas politik menjelang dan sesudah Pemilu
tahun 1999, yang juga dianggap sebagai salah satu Pemilu di Indonesia yang
demokratis.
Kondisi Politik menjelang Pemilu tahun 1999 ditandai dengan ambruknya
legitimasi rezim Orde Baru sebagai akibat bobroknya moralitas para
penyelenggara negara melalui penguatan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)
secara sistemik yang pada gilirannya mengakibatkan terjadinya krisis multi-
dimensional. Kondisi semacam ini yang kemudian mengakibatkan munculnya
kompromi-kompromi dikalangan elit politik setelah jatuhnya Presiden Soeharto
- untuk mempercepat pelaksanaan Pemilu pada tahun 1999.
Tidak dapat dipungkiri bahwa secara umum Pelaksanaan Pemilu tahun
1999 memang lebih demokratis ketimbang Pemilu-pemilu semasa Orde Baru.
Akan tetapi pelaksanaan yang demokratis tersebut tidak diimbangi dan dibarengi
dengan kelanjutan mekanisme sistem ketatanegaraan yang demokratis pula.
Bahkan disana-sini cenderung kearah anarkhis. Berbagai kompromi politik pasca
Pemilu tahun 1999 masih tetap mendominasi dalam penyelenggaraan sistem
ketatanegaraan. Konflik antara Eksekutif dan Legislatif memuncak dan tak
terkendali.
Dalam negara demokratis, kompromi-kompromi politik seharusnya
diletakkan dalam lingkup konstitusional (kelembagaan) demokratis secara
konstitusional. Tidak hanya sekedar pertemuan-pertemuan informal antar elit
Partai Politik yang sifatnya jelas ekstra-konstitusional. Kita bisa mengambil
beberapa contoh, diantaranya adalah penentuan Kabinet di Era KH.
Abdurrahman ‘Gus Dur’ Wahid dan Era Megawati Soekarno Putri yang sarat
dengan kompromi politik untuk bagi-bagi “kue” kekuasaan. Contoh lain adalah
pertemuan-pertemuan elit Partai Politik yang dilakukan di luar Parlemen dan
semakin marak guna mengambil kesepakatan-kesepakatan politik dalam rangka
menghadapi suatu moment ketatanegaraan tertentu, misalnya menghadapi Sidang
Tahunan (ST) MPR.
Contoh-contoh tersebut di atas mengakibatkan hasil Pemilu tahun 1999
hanya bermakna demokratis yang semu. Rakyat sebagai subyek utama prinsip
kedaulatan rakyat masih tetap diletakkan sebagai obyek dari Partai-partai Politik
dalam menancapkan hegemoninya untuk melanggengkan kekuasaan. Tragisnya
proses pembodohan rakyat masih terus saja berlangsung. Inilah gambaran kilas
balik Pemilu yang dapat penulis kemukakan secara singkat. Semoga gambaran

68
Dekomrasi dan Partai Politik

ini dapat dipergunakan sebagai refleksi untuk menyusun sistem ketatanegaraan


dan Pemilu yang lebih demokratis dan aspiratif.

E. Partai Politik
Keberadaan Partai Politik dalam kehidupan ketatanegaraan pertama kali
dijumpai di Eropa Barat, yakni sejak adanya gagasan bahwa rakyat merupakan
faktor yang patut diperhitungkan serta diikut sertakan dalam proses politik,
Dengan adanya gagasan untuk melibatkan rakyat dalam proses politik
(kehidupan dan aktifitas ketatanegaraan), maka secara spontan Partai Politik
berkembang menjadi penghubung antara rakyat disatu pihak dan pemerintah
di pihak lain.12
Dengan demikian dapat ditarik pengertian bahwa sebagai organisasi yang
secara khusus dipakai sebagai penghubung antara rakyat dengan Pemerintah,
keberadaan Partai Politik sejalan dengan munculnya pemikiran mengenai paham
demokrasi dan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaraan.
Sudah banyak definisi yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai
pengertian Partai Politik tersebut. Definisi-definisi tersebut antara lain :13
1. Carl J. Friedrich: Sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil
dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap
pemerintahan bagi pemimpin Partainya, dan berdasarkan penguasaan ini
memberikan kepada anggota Partainya kemanfaatan yang bersifat ideal
maupun materiil.
2. R.H. Soltou: Sekelompok warganegara yang sedikit banyak terorganisir,
yang bertindak sebagai satu kesatuan politik, yang dengan memanfaatkan
kekuasaan memilih, bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan
kebijaksanaan umum mereka.
3. Sigmund Neumann: Organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha
untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat
atas dasar persaingan melawan golongan atau golongan-golongan lain yang
tidak sepaham.

12
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1986, hlm. 159.
13
Ibid, hlm. 160-161.

69
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

4. Miriam Budiardjo: Suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-


anggotanya mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama dengan
tujuan memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik
(biasanya), dengan cara konstitusional guna melaksanakan kebijaksanaan-
kebijaksanaan mereka.
Berdasarkan definisi-definisi tersebut di atas, kita dapat melihat adanya
“benang merah” hubungan pengertian antara pendapat yang satu dengan yang
lain, yaitu bahwa tujuan Partai Politik itu didirikan adalah untuk merebut ataupun
mempertahankan kekuasaan dalam pemerintahan guna melaksanakan
kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah digariskan oleh masing-masing Partai
Politik. Untuk merebut dan mempertahankan penguasaannya di dalam
Pemerintahan tentunya dilakukan secara konstitusional. Hal ini berarti
keberadaan Partai Politik juga dimaksudkan sebagai sarana untuk meredam
konflik kepentingan ataupun persaingan yang muncul di lingkungan masyarakat
dalam mempengaruhi pemerintahan.
Oleh sebab itu, tidak ada salahnya jikalau Keberadaan partai Politik di
negara modern dipergunakan untuk mewujudkan tatanan kehidupan kenegaraan
yang lebih beradab. Hal ini mengingat sebelum dikenal adanya paham mengikut
sertakan rakyat dalam sistem politik, perebutan kekuasaan selalu dilakukan
dengan cara kekerasan. “Kasus Ken Arok” dalam sejarah Indonesia merupakan
contoh yang dapat dipergunakan disini.
Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut di atas, maka pada
hakikatnya Partai Politik adalah suatu kelompok manusia yang terorganisir
secara teratur baik dalam hal pandangan, tujuan maupun tata cara rekruitmen
keanggotaan, dengan tujuan pokok yakni menguasai, merebut ataupun
mempertahankan kekuasaannya dalam pemerintahan secara konstitusional.

Tujuan Partai Politik.


Setiap organisasi yang dibentuk oleh manusia tentunya memiliki tujuan-
tujuan tertentu. Demikian pula organisasi yang disebut Partai Politik. Tujuan
pembentukan suatu Partai politik, disamping yang utama adalah merebut,
mempertahankan ataupun menguasai kekuasaan dalam pemerintahan suatu
negara - juga dapat diperlihatkan dari aktivitas yang dilakukan. Rusadi
Kantaprawira mengemukakan bahwa aktivitas yang dilakukan oleh Partai Politik

70
Dekomrasi dan Partai Politik

pada umumnya mengandung tujuan :14


a. Berpartisipasi dalam sektor pemerintahan, dalam arti mendudukkan
orang-orangnya menjadi pejabat pemerintah sehingga dapat turut serta
mengambil atau menentukan keputusan politik atau output pada umumnya;
b. Berusaha melakukan pengawasan, bahkan oposisi bila perlu terhadap
kelakuan, tindakan, kebijaksanaan para pemegang otoritas (terutama dalam
keadaan mayoritas pemerintahan tidak berada dalam tangan Partai Politik
yang bersangkutan).
c. Berperan untuk dapat memadu (streamlining) tuntutan-tuntutan yang masih
mentah (raw opinion), Sehingga Partai Politik bertindak sebagai penafsir
kepentingan dengan mencanangkan isu-isu politik (political issue) yang
dapat dicerna dan diterima oleh masyarakat secara luas.
Dengan melihat aktivitas dari Partai Politik tersebut di atas, maka rakyat
sebagai subyek dalam sistem ketatanegaraan dapat melakukan pilihan-pilihan
alternatif, yakni Partai Politik mana yang akan diikuti atau menjadi saluran politik
mereka. Berkaitan dengan hal ini, di dalam struktur masyarakat yang masih
paternalistik, maka pilihan rakyat untuk berafiliasi kepada suatu Partai Politik
tertentu sangat ditentukan oleh ideologi atau aliran yang dianut oleh suatu Partai
Politik. Oleh sebab itulah di dalam negara dengan struktur masyarakat yang
masih paternalistik, Partai Politik gemar untuk memainkan ideologi-ideologi
Partai guna memperoleh dukungan massa rakyat, sehingga memperkuat posisi
dalam kehidupan politik ketatanegaraan. Penekanan mengenai program
kehendak menjadi titik tolak utama untuk memperoleh dukungan massa rakyat.
Kehidupan dan aktivitas Partai politik semacam ini masih dapat dikategorikan
sebagai Partai Politik tradisionil.
Klasifikasi Partai Politik.15
Banyak jenis dan bentuk Partai Politik yang hidup dan berkembang di
dalam suatu kehidupan ketatanegaraan. Berkaitan dengan hal inilah, maka pada
hakikatnya Klasifikasi Partai Politik dapat digambarkan sebagai berikut:

14
Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia suatu Model Pengantar, Cet V, Sinar Baru, Bandung,
1988, hlm. 62.
15
Dirangkum dari Mirriam Budiano, Op.cit., hlm. 166-167.

71
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

1. Klasifikasi Partai Politik ditinjau dari Komposisi dan Fungsi


Keanggotaannya. Klasifikasi semacam ini dapat dikelompokkan ke dalam
dua jenis Partai Politik, yaitu :
a. Partai Massa, yakni suatu Partai Politik yang lebih mengutamakan
kekuatannya berdasarkan keunggulan jumlah anggota. Oleh karena
itu biasanya terdiri dari pendukung-pendukung dari berbagai aliran
politik dalam masyarakat yang sepakat di bawahnya dalam
memperjuangkan suatu program yang biasanya luas dan agak kabur.
b. Partai Kader, yaitu suatu Partai Politik yang lebih mementingkan
keketatan organisasi dan disiplin kerja dan anggota-anggotanya.
Pemimpin Partai biasanya menjaga kemurnian doktrin Partai yang
dianut dengan jalan mengadakan saringan calon-calon anggotanya
secara ketat.
2. Klasifikasi Partai Politik ditinjau Dari Sifat dan Orientasinya. Partai
Politik dengan Klasifikasi semacam ini dapat dikelompokkan kedalam dua
jenis, yaitu :
a. Partai Lindungan (Patronage Party), yaitu suatu Partai Politik yang
pada umumnya memiliki organisasi nasional yang kendor (meskipun
organisasi di tingkat lokal sering cukup ketat). Disiplin yang lemah
dan biasanya tidak terlalu mementingkan pemungutan iuran secara
teratur. Tujuan utama dari Partai Politik jenis ini adalah memenangkan
Pemilihan Umum untuk anggota-anggota yang dicalonkannya. Oleh
sebab itu Partai semacam ini hanya giat melaksanakan aktivitasnya
menjelang Pemilu. Contoh yang dapat dikemukakan disini adalah Partai
Demokrat dan Republik di AS.
b. Partai Ideologi (Partai Asas), yaitu suatu Partai Politik (biasanya)
yang mempunyai pandangan hidup yang digariskan dalam
kebijaksanaan pemimpin dan berpedoman pada disiplin Partai yang
kuat dan mengikat Hampir sebagian besar Partai-partai Politik yang
ada di Indonesia dapat dikategorikan sebagai Partai Ideologi.
Berdasarkan dua klasifikasi besar mengenai Partai Politik tersebut di
atas - jika Partai-partai Politik itu akan melakukan koalisi - maka langkah yang
paling mudah dan relatif berhasil untuk ditempuh adalah dengan melakukan
koalisi Partai Politik yang sama-sama berjenis Partai Massa atau sama-sama
Partai Lindungan. Koalisi antar Partai Kader atau antar Partai Ideologi relatif

72
Dekomrasi dan Partai Politik

sulit untuk dilakukan. Apalagi Koalisi antar Partai Politik dengan Ideologi yang
jauh berseberangan. Misal Koalisi antar Partai yang berideologikan keagamaan
tertentu.
Sistem Kepartaian.
Dalam kehidupan Politik ketatanegaraan suatu negara, pada prinsipnya
dikenal adanya tiga sistem kepartaian, yaitu :16
a. Sistem Partai Tunggal (the single party system). Istilah ini dipergunakan
untuk Partai Politik yang benar-benar merupakan satu-satunya Partai
Politik dalam suatu Negara, maupun untuk Partai Politik yang mempunyai
kedudukan dominan di antara beberapa Partai politik lainnya. Namun
demikian - oleh para sarjana - dianggap merupakan bentuk penyangkalan
diri (contradictio in terminis), mengingat dalam pengertian sistem itu
sendiri akan selalu mengandung lebih dari satu unsur atau komponen.
Kecenderungan untuk mengambil sistem Partai Tunggal disebabkan, karena
Pimpinan negara-negara baru sering dihadapkan masalah bagaimana
mengintegrasikan berbagai golongan, daerah, suku bangsa yang berbeda
corak sosial dan pandangan hidupnya. Dikhawatirkan bahwa bila
keanekaragaman sosial budaya ini dibiarkan tumbuh dan berkembang,
besar kemungkinan akan terjadi gejolak-gejolak sosial yang menghambat
usaha-usaha pembangunan dan menimbulkan disintegrasi.
b. Sistem dua Partai (two party system). Menurut Maurice Duverger, sistem
ini adalah khas Anglo Saxon (Amerika, Filipina). Dalam sistem ini Partai-
partai Politik dengan jelas dibagi kedalam Partai Politik yang berkuasa
(karena menang dalam Pemilihan Umum) dan Partai Oposisi (karena kalah
dalam Pemilihan Umum).17
c. Sistem Banyak Partai (multy party system). Pada umumnya sistem
kepartaian semua ini muncul karena adanya keanekaragaman sosial budaya
dan politik yang terdapat di dalam suatu negara.18

16
Lihat Ibid, hlm. 167.
17
Loc.cit.
18
Ibid, hlm. 169.

73
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

F. Perkembangan Partai Politik Di Indonesia.19


1. Keberadaan Partai Politik di Indonesia dimulai sejak Pemerintah Hindia
Belanda mencanangkan Politik Etis pada tahun 1908. Dengan adanya
Politik Etis ini, maka banyak kalangan cerdik pandai kaum Bumiputera
yang mulai tergerak untuk ikut serta dalam kehidupan ketatanegaraan
melalui berbagai organisasi kemasyarakatan. Pelopor utama dari
Organisasi kemasyarakat tersebut adalah Boedi Oetomo.
2. Dengan keluarnya Maklumat Wk. Presiden No. X tahun 1945 tanggal
16 Oktober 1945 dan Maklumat Pemerintah 3 Nopember 1945 -
setelah Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945 - Indonesia
menganut sistem Multi Partai yang ditandai dengan munculnya 24 Partai
Politik yang berbasis Aliran (ideologi).
3. Menjelang Pemilu tahun 1955 yang berdasarkan Demokrasi Liberal
terdapat 70 Partai Politik maupun perseorangan yang mengambil bagian
dalam Pemilu tersebut. Perlu diketahui bahwa Pemilu tahun 1955
dipergunakan untuk memilih anggota Konstituante yang bertugas untuk
merumuskan UUD yang akan menggantikan UUDS 1950, dan memilih
DPR.
4. Melalui Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dilakukanlah penyederhanaan
sistem Kepartaian di Indonesia, yaitu :
- Penpres No. 7 Tahun 1959 dan Peraturan Presiden (Perpres)
No. 13 Tahun 1960 mengatur tentang pengakuan, pengawasan
dan pembubaran Partai-partai Politik.
- Pada tanggal 17 Agustus 1960 PSI dan Masyumi dibubarkan.
5. Tanggal 14 April 1961 diumumkan hanya 9 Partai Politik yang
mendapat pengakuan, yaitu PNI, NU, PKI, PSII, PARKINDO, Partai
Katolik, Perti, Murba, dan Partindo. Dengan berkurangnya jumlah
Partai Politik tersebut, tidak berarti konflik ideologi dalam masyarakat
umum sebagai akibat pengaruh yang dibawa oleh Partai-partai Politik
tersebut menjadi berkurang. Untuk mengatasi hal ini, maka pada
tanggal 12 Desember 1964, di Bogor diselenggarakan pertemuan
Partai-Partai Politik dan menghasilkan Deklarasi Bogor.

19
Dirangkum dari Ali Moertopo, Strategi Pembangunan Nasional, Get II, CSIS, Jakarta, 1982, hlm.
190, dst.

74
Dekomrasi dan Partai Politik

6. Tanggal 12 Maret 1966 setelah terjadi Pemberontakan G/30/S PKI,


maka PKI dibubarkan dan dinyatakan sebagai Partai terlarang di In-
donesia. Kemudian dimulailah usaha pembinaan Partai-partai Politik
yang dilakukan oleh Orde Baru.
7. Tanggal 20 Pebruari 1968 didirikan Parmusi (Partai Muslimin Indo-
nesia) sebagai langkah peleburan dan penggabungan ormas-ormas
Islam yang sudah ada, dan yang belum tersalurkan aspirasinya.
Pendukung dari Partai ini adalah Muhammadiyah, HMI, PII,
Aliwasliyah, HSBI, Gasbindo, PUI dan IPM).
8. Tanggal 27 Pebruari 1970, Presiden Soeharto mengadakan konsultasi
dengan Partai-partai Politik, guna membahas gagasan untuk
mengelompokkan Partai-partai Politik yang ada di Indonesia.
Gagasan Pengelompokkan Partai-partai Politik.
Gagasan pengelompokkan Partai-partai Politik (Fusi) di Indonesia
mengandung tujuan jangka pendek dan jangka panjang. Tujuan jangka pendek
adalah mempertahankan stabilitas nasional dan kelancaran pembangunan dalam
rangka menghadapi Pemilihan Umum. Sedangkan tujuan jangka panjang adalah
melakukan penyederhanaan kehidupan kepartaian di Indonesia sebagaimana
diamanatkan oleh Tap MPRS No. XXII/MPRS/1966.
Gagasan penyederhanaan kehidupan kepartaian di Indonesia ini tidak
hanya mengandung arti pengurangan jumlah Partai Politik, tetapi juga melakukan
perombakan sikap dan pola kerja dari Partai-partai politik menuju orientasi
pada program. Juga disarankan oleh Presiden Soeharto untuk mempergunakan
asas Pancasila dan UUD 1945.
Berdasarkan gagasan ini, maka disarankan pembentukan dua kelompok
Partai-partai Politik, sebagai berikut :
1. Kelompok materiil-spirituil yaitu terdiri dari Partai-partai Politik yang
lebih menekankan pada pembangunan materiil tanpa mengabaikan aspek
spirituil. Pengelompokkan jenis ini diikuti oleh PNI, Murba, IPKI, Partai
Katolik, dan Parkindo.
2. Kelompok Spirituil-materiil yaitu terdiri dari Partai-partai Politik yang
lebih menekankan pada aspek pembangunan spirituil tanpa mengabaikan
aspek meteriil. Pengelompokkan jenis ini diikuti oleh NU, Parmusi, PSII
dan Peru.

75
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Dua pengelompokkan Partai Politik berdasarkan orientasi tersebut


memang terasa janggal. Kita ambil contoh misalnya Partai Katolik dan Parkindo
yang jelas-jelas bernafaskan spirituil keagamaan, ternyata dimasukkan dalam
pengelompokkan materiil-spirituil. Kondisi semacam ini mungkin disebabkan
adanya kesulitan-kesulitan ideologis untuk menggabungkan kedua Partai
tersebut untuk masuk ke kelompok spirituil-materiil, karena sebagaimana kita
ketahui kelompok spirituil-materiil terdiri dari Partai-partai Politik yang basis
ideologinya adalah Islam.
Pada tanggal 9 Maret 1970, terjadi pengelompokkan Partai-partai Politik
dengan terbentuknya Kelompok Demokrasi Pembangunan yang terdiri dari
PNI. Partai Katolik, Parkindo, IPKI, dan Murba. Kemudian pada tanggal 13
Maret 1970 terbentuk kelompok Persatuan Pembangunan yang terdiri dari
NU, Parmusi, PSII dan Perti. Langkah terakhir adalah pada tanggal 5 dan 10
Januari 1973 terbentuklah Partai Persatuan Pembangunan (PPP) sebagai fusi
Kelompok Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia sebagai
fusi Kelompok Demokrasi Pembangunan.
Disamping kedua kelompok (hasil Fusi) Partai Politik tersebut, ternyata
dalam perkembangannya terdapat golongan-golongan fungsional yang tidak
dapat dimasukkan kedalam salah satu dari Partai Politik yang berfusi tersebut
di atas. Golongan-golongan tersebut kemudian membentuk satu kelompok
tersendiri yang kemudian disebut sebagai Golongan Karya (Golkar). Menurut
Ali Moertopo, Golongan Karya adalah golongan-golongan dalam masyarakat
yang masing-masing menyumbangkan peranan khusus bagi berfungsinya
masyarakat, yakni organisasi ekonomi, kultural, sosial dan pertahanan.20
Akhirnya dalam Pemilihan Umum tahun 1971 hanya terdapat tiga bendera
kekuatan Politik Peserta Pemilihan Umum, yaitu dua Partai Politik (PPP dan
PDI) serta satu Golongan Karya (Golkar). Keberadaan ketiga organisasi
kekuatan sosial politik ini kemudian dikukuhkan dengan keluarnya Undang-
Undang No. 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golongan Karya.
Dengan adanya Undang-undang tersebut, praktis kehidupan kepartaian
di Indonesia di era Orde Baru, dibatasi. Artinya Tidak diperkenankan munculnya

20
Ibid, hlm. 197.

76
Dekomrasi dan Partai Politik

Organisasi atau Golongan Politik lainnya, di luar yang telah diatur oleh UU No.
3 Tahun 1975. Walaupun Undang-Undang ini mengalami perubahan
berulangkali, namun kondisi kepartian di Indonesia berjalan tetap seperti semula.
Ini berarti kehidupan demokrasi yang ditandai dengan adanya jaminan
kebebasan masyarakat untuk berkumpul dan berserikat, menyampaikan
pendapat baik tertulis maupun lisan, sebagaimana diatur di dalam Pasal 28
UUD 1945 tidak terakomodasi dengan baik. Bahkan dalam berbagai hal,
Pemerintahan rezim Orde Baru membatasi ruang gerak dari kedua Partai Politik
yang ada.
Golkar sebagai kekuatan mayoritas dan selalu memegang posisi single
majority selalu mendominasi peta kehidupan politik ketatanegaraan Indonesia.
Kemampuan Golkar yang demikian ini, sebenarnya tidak melulu karena
kekuatan diri sendiri, melainkan karena diberikannya fasilitas-fasilitas politik
oleh Pemerintah. Pada hakikatnya kekuatan GOLKAR dalam lingkup politik,
disebabkan oleh adanya tiga pilar utama sebagai penyangga, yakni Presiden
Soeharto (sebagai Dewan Pembina GOLKAR), Birokrasi dan Militer (TNI/
Polri). Bahkan dalam konteks Floating Mass (massa mengambang) yang hanya
diperkenankan untuk membentuk kepengurusan sampai ke tingkat Desa,
hanyalah Golkar melalui struktur Birokrasi yang ada. Pegawai Negeri Sipil dan
TNI maupun Polri secara otomatis merupakan Keluarga Besar Golkar.
Dengan “keterpasungan” kehidupan kepartaian selama rezim Orde Baru
inilah, maka pelaksanaaan sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi tidak
sejalan alias menolakprinsip-prinsip Pemerintahan yang demokratis. Puncak
dari “keterpasungan” kehidupan kepartaian di Indonesia tersebut mencapai
titik kulminasi dan menimbulkan perlawanan-perlawanan politik, adalah ketika
Partai Demokrasi Indonesia “dipecah” oleh Pemerintah Orde Baru dengan
cara tidak mengakui kepemimpinan Megawatt Sukarno Putri, dan hanya
mengakui PDI yang dipimpin oleh Soerjadi.
Perpecahan di tubuh PDI tersebut menimbulkan kemelut berkepanjangan
yang pada akhimya mengakibatkan peristiwa berdarah yang sering disebut
“Peristiwa Sabtu Kelabu” pada tanggal 27 Juli tahun 1996. Peristiwa ini
disebabkan sikap dari aparat Keamanan yang bertindak sangat represif kepada
massa pendukung PDI versi Megawati Sukamo Putri yang menduduki Kantor
Pusat PDI di Jln. Diponegoro Jakarta. Dari “Peristiwa Sabtu Kelabu” inilah,
muncul berbagai perlawanan susulan dari para aktivis gerakan Pro demokrasi

77
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

untuk menentang kezaliman rezim Orde Baru. Perlawanan dari para aktivis
pro demokrasi ini mencapai titik keberhasilan setelah Indonesia menghadapi
krisis ekonomi di akhir tahun 1997 yang ditandai dengan merosotnya nilai tukar
Rupiah atas Dolar AS sampai berkisar Rp. 15.000,-/Dolarnya.
Kondisi ekonomi dan moneter ini kemudian menjadi titik tolak untuk
menumbangkan Presiden Soeharto yang telah memegang kepemimpinan
nasional yang kalau diakumulasikan berlangsung sepanjang kurang lebih 32
tahun. Dengan tumbangnya Presiden Soeharto inilah, maka terbuka kesempatan
untuk mengembangkan kehidupan kepartaian yang lebih demokratis. Sehingga
menjelang Pemilu tahun 1999, sistem Kepartaian di Indonesia berubah menjadi
sistem multi partai. Sistem seperti ini dikukuhkan dengan munculnya UU No. 2
Tahun 1999 tentang Partai Politik.
Demikianlah perjalanan sejarah kehidupan kepartaian di Indonesia. Dari
sejarah perjalanan tersebut, kecenderungan akan menguatnya politik aliran
(ideologi) yang dibawa oleh masing-masing Partai Politik masih menunjukkan
kekentalannya. Pertanyaannya, kapankah peta kehidupan politik Indonesia lebih
menunjukkan pola egaliter? jawaban atas permasalahan ini, sangat tergantung
dan perkembangan budaya politik dan masyarakat Indonesia.

G. Penutup
a. Kesimpulan
1. Tidak ada demokrasi tanpa Partai Politik.
2. Partai Politik adalah produk dari kebebasan berfikir berpendapat,
berserikat dan berkumpul.
3. Partai Politik merupakan alat bagi rakyat dalam menjalankan
kedaulatan rakyat.
4. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah mekanisme untuk menentukan pilihan
rakyat terhadap Partai Politik.
b. Saran
Banyaknya Partai Politik, merupakan konsekwensi kelirunya penilaian
terhadap demokrasi Indonesia. Menyongsong Pemilu 2009 saja, tidak
kurang dari 60 Partai Politik sebagai Peserta Pemilu.
Oleh karena itu demi mewujudkan demokrasi sejati dan bukan demokrasi
semu yang mengatas-namakan rakyat, sebaiknya Partai-partai Politik :
1. Mampu memperkuat jajaran Pimpinan dan kepengurusan termasuk

78
Dekomrasi dan Partai Politik

pendidikan politik bagi kader-kadernya sehingga dapat


mengembangkan organisasi partai yang baik.
2. Mampu mandiri dalam masalah keuangan sehingga tidak tergantung
pada Pemerintah. Oleh karena itu perlu adanya sejumlah kader Partai
yang kaya dan dapat memberikan kontribusi kepada partainya secara
maksimal.
3. Mampu menyelesaikan konflik internal secara damai sehingga tidak
merusak citra dan keutuhan partai yang pada akhirnya akan
memperoleh simpati rakyat dalam pemilu.
4. Mampu melaksanakan kegiatan-kegiatan partai sebagai sarana untuk
pemberdayaan masyarakat karena pemberdayaan rakyat merupakan
bagian tak terpisahkan dalam pembentukan kekuasaan.

79
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

DAFTAR PUSTAKA

Adnan Buyung Nasution, Aspirasi Pemerintahan Konstitusional di Indonesia,


Studi Sosio-Legal atas Konsituante 1956-1959, Grafita, Jakarta, 1995.
Arief Budiman, Teori Negara Negara, Kekuasaan dan Ideologi, Gramedia
Pustaka Utama, Jakarta, 1996.
Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum di Indonesia,
Gaya Media Pratama, Jakarta, 1988.
B. Hestu Cipto Handoyo, Hukum Tata Negara, Kewarganegaraan & Hak Asasi
Manusia (Memahami Proses Konsolidasi Sistem Demokrasi di
Indonesia), Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2003.
Hamid S Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Indonesia Dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara, Disertasi Fakultas Pasca
Sarjana UI, Jakarta,1990.
Hasan Al Rasyid, Pengisian Jabatan Presiden, Grafiti, Jakarta, 1999.
Ismail Suny, Mekanisme Demokrasi Pancasila, Cet. IV, Aksara Baru, Jakarta,
1987.
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia-Jakarta, 1986
Moh. Kusnardi & Hasmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia,
Pusat Studi HTN-FHUI, Jakarta, 1983.
Rusadi Kartaprawira, Sistem Politik Indonesia suatu Modal Pengantar, Cet. V,
Sinar Baru, Bandung, 1988.
Undang-Undang Dasar 1945, Amandemen I, II, III dan IV.
Undang-Undang No. 22 Tahun 2007, tentang Penyelenggara Pemilihan Umum.
Undang-Undang No. 2 Tahun 2008, tentang Partai Politik.
Undang-Undang No.10, tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR,
DPD, DPRD Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota.

80
PARADIGMA BARU UU NO. 2 TAHUN 2008
TENTANG PARTAI POLITIK
Oleh: A.A. Oka Mahendra, S.H.

Pendahuluan
Sesudah amandemen ke-3 UUD Negara R.I. Tahun 1945 basis
konstitusional eksistensi partai politik di Indonesia semakin kuat sebagai salah
satu pilar pelaksanaan prinsip negara yang berkedaulatan rakyat, sebagaimana
diamanatkan dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD Negara R.I. Tahun 1945
dan Pasal 1 ayat (2) UUD Negara R.I. Tahun 1945.
Sebelum amandemen ke-3 UUD Negara R.I. Tahun 1945, eksistensi
partai politik memperoleh dasar konstitusionalnya dalam Pasal 28 UUD yang
menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya. Sejak amandemen ke-3 UUD secara
eksplisit ditentukan peranan partai politik dalam pengusulan pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6A ayat (2) untuk dipilih langsung oleh
rakyat. Selain itu UUD menentukan pula peranan partai politik sebagai peserta
pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD (Pasal 22E
ayat (3).
Mengapa UUD menekankan pada salah satu fungsi partai politik saja
yaitu sebagai sarana rekrutmen kepemimpinan politik? Padahal disamping itu
partai politik mempunyai fungsi lainnya seperti fungsi sarana komunikasi politik,
sarana sosialisasi politik dan sarana pengatur konflik (Mariam Budiardjo,
1981:14-17). Sebabnya ialah karena pembentuk UUD memandang soal
kepemimpinan politik sangat strategis dalam penyelenggaraan negara. Melalui
proses rekrutmen kepemimpinan yang demokratis diharapkan supra struktur
politik akan diisi oleh pemimpin-pemimpin yang akseptabel dan kapabel melalui
proses seleksi yang demokratis. Sudah tentu fungsi lainnya dari partai politik
tetap dianggap penting dan secara lebih rinci akan diatur dalam UU sebagai
pelaksanaan ketentuan konstitusi.
Seperti diketahui sesudah amandemen ke-3 UUD Negara R.I. tahun
1945 pada tahun 2002 telah diundangkan UU No. 31 Tahun 2002 tentang
Partai Politik untuk menggantikan UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik
yang dipandang sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan

81
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

perubahan ketatanegaraan serta sebagai pelaksanaan Ketetapan MPR Nomor


X/MPR/2001 dan Ketetapan MPR Nomor VI/MPR/2002.
Dalam perkembangan selanjutnya UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai
Politik oleh pembentuk undang-undang dipandang perlu untuk diperbaharui
sesuai dengan tuntutan dan dinamika masyarakat. Sehubungan dengan itu pada
tanggal 4 Januari 2008 telah diundangkan UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai
Politik.
Permasalahannya ialah:
a. Mengapa UU No. 31 Tahun 2002 dicabut, apa latar belakangnya?
b. Perubahan apa saja yang dimuat dalam UU No. 2 Tahun 2008?
c. Apakah UU No. 2 Tahun 2008 akan menjamin peningkatan kualitas partai
politik dimasa yang akan datang?

Latar belakang pencabutan UU No. 31 Tahun 2002


Jawaban atas permasalahan mengapa UU No. 31 Tahun 2002 dicabut
dapat kita simak dari konsideran menimbang dan Penjelasan Umum UU No. 2
Tahun 2008.
Ada 3 alasan pokok yang dikemukakan sebagai berikut:
a. Untuk memperkukuh kemerdekaan berserikat, berkumpul dan
mengeluarkan pendapat yang diakui dan dijamin oleh UUD Negara R.I.
Tahun 1945. Prinsip kemerdekaan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan
pendapat sebagai hak asasi manusia harus dilaksanakan untuk mewujudkan
kehidupan kebangsaan yang kuat dalam Negara Kesatuan R.I. yang
merdeka, berdasarkan hukum (konsideran menimbang huruf a dan b).
b. Dinamika dan perkembangan masyarakat yang majemuk menuntut
peningkatan peran, fungsi dan tanggung jawab partai politik dalam
kehidupan demokrasi secara konstitusional sebagai sarana partisipasi politik
masyarakat (Penjelasan Umum alinea ke-2)
c. UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik belum optimal
mengakomodasikan dinamika dan perkembangan masyarakat yang
menuntut peran partai politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
serta tuntutan mewujudkan partai politik sebagai organisasi yang bersifat
nasional dan modern.
Pembentuk UU tampakya berkeinginan agar dibawah UU yang baru
partai politik lebih beperan, berfungsi dan bertanggung jawab sebagai sarana

82
Paradigma Baru UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

partisipasi politik masyarakat dalam kehidupan demokrasi. Partai politik


diharapkan tidak sekedar menjadi “mesin pengumpul suara” yang digerakkan
menjelang dan pada saat pemilihan umum. Partai politik diharapkan menjadi
sarana partisipasi politik masyarakat. Mariam Budiardjo (1981:1)
mengemukakan “bahwa partisipasi politik adalah kegiatan seseorang atau
sekelompok orang untuk ikut serta secara aktif dalam kehidupan politik, yaitu
dengan jalan memilih pemimpin negara dan secara langsung atau tidak langsung,
mempengaruhi kebijakan pemerintah (public policy)”.
Lebih lanjut dikemukakan bahwa di negara-negara demokratis pemikiran
yang mendasari konsep partisipasi politik ialah bahwa kedaulatan ada di tangan
rakyat, yang melaksanakannya melalui kegiatan bersama untuk menetapkan
tujuan-tujuan serta masa depan masyarakat itu dan untuk menentukan orang-
orang yang akan memegang tampuk pimpinan untuk masa berikutnya. Jadi
partisipasi politik merupakan pengejawantahan dari penyelenggaraan kekuasaan
politik yang absah oleh rakyat. Partai politik diharapkan dapat menjadi sarana
yang efektif untuk turut menentukan kebijakan publik dan memilih pemimpin
politik yang dipercaya untuk menjalankan kekuasaan untuk kepentingan rakyat.
Untuk itu partai politik dibangun sebagai organisasi modern. Sebagai
organisasi modern dan bersifat nasional, maka partai politik mesti dibangun
dengan visi kebangsaan dengan governance culture yang demokratis. Sebagai
organisasi modern partai politik juga harus dikelola berdasarkan prinsip-prinsip
keadilan, transparansi, akuntabilitas dan responsibilitas. Dengan demikian partai
politik akan menjadi organisasi yang sehat dan mampu memainkan peranannya
dalam kehidupan politik.

Perubahan yang dimuat dalam UU No. 2 Tahun 2008


Penjelasan Umum alinea ke-4 UU No. 2 Tahun 2008 mengemukakan:
“UU ini mengakomodasikan beberapa paradigma baru seiring dengan
menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia, melalui sejumlah pembaharuan
yang mengarah pada penguatan sistem dan kelembagaan partai politik yang
menyangkut demokratisasi internal partai politik, transparansi dan akuntabilitas
dalam pengelolaan keuangan partai politik, peningkatan kesetaraan gender dan
kepemimpinan partai politik dalam sistem nasional berbangsa dan bernegara”.
Lebih lanjut pada alinea ke-5 dikemukakan antara lain: “Dalam UU ini
diamanatkan perlunya pendidikan politik dengan memperhatikan keadilan dan

83
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

kesetaraan gender yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan hak


dan kewajiban, meningkatkan kemandirian dan kedewasaan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara”.
Marilah kita simak satu persatu apa yang disebut dengan beberapa
paradigma baru dalam UU No. 2 Tahun 2008.
1. Penguatan Sistem dan Kelembagaan Partai Politik
Penguatan Sistem dan Kelembagaan Partai Politik antara lain tercermin
dari persyaratan yang harus dipenuhi oleh partai politik untuk menjadi badan
hukum khususnya yang berkaitan dengan syarat memiliki kepengurusan
paling sedikit 60% dari jumlah provinsi, 50% dari jumlah kabupaten/kota
pada setiap provinsi yang bersangkutan dan 25% dari jumlah kecamatan
pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang bersangkutan (Pasal 3 ayat
(2) huruf d).
Selain itu ditentukan pula bahwa partai politik yang bersangkutan harus
memiliki rekening atas nama partai politik (Pasal 3 ayat (2) huruf e).
Kemudian dalam Pasal 12 huruf j ditentukan partai politik berhak
membentuk dan memiliki organisasi sayap partai politik. Selanjutnya dalam
Pasal 17 ditentukan bahwa kepengurusan partai politik terdiri atas organisasi
tingkat pusat, tingkat provinsi dan tingkat kabupaten/kota dan dapat
dibentuk sampai tingkat kelurahan/desa atau sebutan lain dan organisasi
partai politik tersebut memiliki hubungan kerja yang bersifat hierarkis.
Partai politik menurut Pasal 30 berwenang membentuk dan menetapkan
peraturan dan/atau keputusan partai politik berdasarkan AD dan ART serta
tidak bertentangan dengan Peraturan Perundang-undangan.
2. Demokratisasi Internal Partai Politik
Demokratisasi internal partai politik antara lain tercermin dalam Pasal 22
yang menentukan kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dipilih
secara demokratis sesuai dengan AD dan ART.
Kemudian dalam Pasal 27 dan Pasal 28 ditentukan pengambilan keputusan
partai politik di setiap tingkatan dilakukan secara demokratis sesuai dengan
AD dan ART.
UU No. 2 Tahun 2008 seperti juga UU No. 31 Tahun 2002 sama-sama
menentukan kedaulatan partai politik berada ditangan anggota yang
dilaksanakan menurut AD dan ART. Dan anggota partai politik mempunyai
hak dalam menentukan kebijakan serta hak memilih dan dipilih.
Dalam praktek kedaulatan anggota ini tidak benar-benar terwujud. Sebab
sesungguhnya yang memanfaatkan kedaulatan dan hak-hak anggota

84
Paradigma Baru UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

tersebut adalah anggota yang termasuk dalam lingkaran elit partai. Lebih-
lebih lagi tipologi partai politik di Indonesia dekat dengan partai massa.
Menurut Maurice Duverger (1981:19) “Lingkungan dalam (inner circle)
ini menyerupai sedikit banyak kepemimpinan partai tradisional yang seakan-
akan menyelinap di tengah-tengah jantung partai masa tersebut”.
Elit politiklah yang sesungguhnya menentukan kebijakan partai termasuk
kepemimpinan partai. Bahkan tak jarang elit politiklah yang sesungguhnya
menentukan kebijakan partai termasuk kepemimpinan partai. Bahkan tak
jarang di kalangan partai politik tertentu pengambilan keputusannya bersifat
top down ketimbang bottom up.
3. Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pengelolaan Keuangan Partai Politik
Mengenai transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan partai politik
diatur secara rinci dalam Bab XV mengenai keuangan yang terdiri dari
Pasal 34 sampai dengan Pasal 39. Undang-undang menentukan bahwa
penerimaan dan pengeluaran keuangan partai politik dikelola melalui
rekening kas umum partai politik dan pengurus partai politik di setiap
tingkatan melakukan pencatatan atas semua penerimaan dan pengeluaran
keuangan partai politik (Pasal 36 ayat (2) dan ayat (3).
Selanjutnya dalam Pasal 37 ditentukan bahwa pengurus partai politik di
setiap tingkatan organisasi menyusun laporan pertanggungjawaban
penerimaan dan pengeluaran keuangan setelah tahun anggaran berkenan
berakhir.
Kemudian Pasal 38 menentukan hasil pemeriksaan dan pengeluaran
keuangan partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 terbuka
untuk diketahui masyarakat.
Ketentuan yang cukup bagus tersebut dalam praktek sulit dilaksanakan.
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa partai politik belum tertib
mengelola keuangannya. Lebih-lebih lagi ketentuan Pasal 37 dan Pasal 38
tersebut tidak bersifat mewajibkan sehingga pelanggaran terhadap ketentuan
tersebut tidak ada sanksinya.
4. Peningkatan Kesetaraan Gender
Peningkatan kesetaraan gender tampaknya menjadi salah satu isu penting
dalam perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002.
Pasal-Pasal Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 yang berkaitan dengan
peningkatan kesetaraan gender dimulai dari Pasal 2 ayat (5) yang
menentukan : “Kepengurusan partai politik tingkat pusat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30%
keterwakilan perempuan . Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2 dikenai

85
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

sanksi administratif berupa penolakan pendaftaran partai politik sebagai


badan hukum oleh Departemen Hukum dan HAM.
Pasal 20 menentukan kepengurusan partai politik tingkat provinsi dan
kabupaten / kota sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan
ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling
rendah 30% yang diatur dalam AD dan ART partai politik masing-masing.
Pasal 31 ayat (1) menentukan bahwa dalam melakukan pendidikan politik,
partai politik memperhatikan kesetaraan gender.
5. Pendidikan Politik
Partai politik menurut Pasal 31 melakukan pendidikan politik bagi
masyarakat sesuai dengan ruang lingkup tanggung jawabnya dengan
memperhatikan kesetaraan gender dengan tujuan antara lain:
a. Meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
b. Meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara;
c. Meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun kesatuan
bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
Selanjutnya ditentukan bahwa pendidikan politik dilaksanakan untuk
membangun etika dan budaya politk sesuai dengan Pancasila. Pendidikan
politik sangat penting sebagai wahana untuk membangun etika dan budaya
politik.
Menurut Almond dan Verba seperti dikutip oleh Affan & Gaffar (1999;101)
“Negara-negara yang mempunyai civil cultur yang fungsi akan menopang
demokrasi yang stabil, sebaliknya negara-negara yang memiliki derajat
civil cultur yang rendah tidak mendukung terwujudnya sebuah demokrasi
yang stabil.”
Meski pendidikan politik sangat strategis, namun tampaknya partai politk
belum banyak melakukannya, karena disibukkan dengan urusan pemilihan
umum dan menyelesaikan konflik-konflik internal. Partai politik juga belum
mampu memberikan suri teladan bagi perilaku politik yang etis dan sesuai
dengan nilai-nilai budaya bangsa yang bermartabat.

Peningkatan Kualitas Partai Politik


Undang-Undang tentang Partai Politk mengatur syarat pembentukan partai
politik, perubahan AD dan ART, asas dan ciri, tujuan dan fungsi, hak dan
kewajiban partai politik, keanggotaan dan kedaulatan anggota, organisasi dan

86
Paradigma Baru UU No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik

tempat kedudukan, pengambilan keputusan, rekrutmen politik, peraturan dan


keputusan partai politik, pendidikan politik, penyelesaian perselisihan partai
politik, keuangan, larangan, pembubaran dan penggabungan partai politk dan
pengawasan.
Pengaturan yang cukup lengkap tersebut tidak dengan sendirinya
meningkatkan kualitas partai politik. Peningkatan kualitas partai politik dapat
diwujudkan bila partai politik terkonsolidasi dengan baik. Setidak-tidaknya
kepemimpinnya di semua tingkatan cukup kuat, struktur organisasinya mantap,
kader-kadernya handal dan mekanisme demokrasi dalam tubuh partai berjalan
dengan baik. Sudah tentu dukungan sumber daya yang memadai diperlukan
untuk membangun organisasi partai politik yang efektif. Secara fungsional partai
politik dapat dikatakan meningkat kualitasnya apabila partai politik semakin
mampu melaksanakan fungsinya sebagai sarana pendidikan politk, penciptaan
iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia untuk
kesejahteraan masyarakat, penyerap, penghimpun dan penyalur aspirasi politik
masyarakat, partisipasi politik dan rekrutmen politik. Outcome yang diharapkan
adalah stabilitas kehidupan politik dan semakin berkembangnya demokrasi.
Dewasa ini kepercayaan rakyat kepada partai politik menurun, karena
partai politik merupakan bagian dari permasalahan ketimbang bagian dari solusi
untuk memecahkan permasalahan krusial yang dihadapi bangsa Indonesia seperti
masalah kemiskinan, pengangguran, pendidikan, jaminan sosial, infrastruktur
perekonomian, konflik horizontal/vertikal di beberapa daerah yang dapat
mengancam keutuhan NKRI dan menurunnya peranan Indonesia dalam
percaturan politik internasional.
Bahkan akhir-akhir ini partai politik sering menyuguhkan tontonan yang
tidak bisa dijadikan tuntunan dalam menegakkan prinsip-prinsip demokrasi.
Partai politik dibelenggu oleh hukum besinya oligarki dan focus pada upaya
memperoleh, mempertahankan dan menggunakan kekuasaan untuk kepentingan
politiknya : Doktrin Benjamin Disraeli seperti dikutip Whitman (2003:80)
menyatakan “Real politics are the possession and distribution of power”
tampaknya sangat relevan dengan kondisi kepartaian di Indonesia. Partai politik
berebut untuk menggeggam kekuatan dan distribusi kekuasaan dijadikan salah
satu sarana bargaining politik.
Partai politik memang perlu membenahi rumah tangganya. Partai politik
perlu melakukan konsolidasi organisasi, konsolidasi kader, konsolidasi

87
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

demokrasi internalnya dan konsolidasi program agar lebih aspirasif dan aplikatif.
Sementara itu Undang-undang Partai Politik akan memberi sumbangan berharga
untuk peningkatan kualitas partai politik di masa mendatang, apabila undang-
undang tersebut dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen.
Partai politik diharapkan tidak hanya sibuk menjelang pemilihan umum
atau kongres/musyawarah/muktamar partai politik yang bersangkutan, tetapi
secara nyata memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota,
masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara NKRI berdasarkan Pancasila
dan UUD Negara R.I Tahun 1945. Partai politik yang berfungsi secara efektif
akan selalu bersama rakyat, berjuang untuk kesejahteraan rakyat.

Penutup
Dari uraian di atas dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:
1. Eksistensi partai politik memiliki basis konstitusional yang kuat dalam
Undang-Undang Dasar Negara R.I. Tahun 1945 sebagai salah satu pilar
penyelenggaraan negara yang berkedaulatan rakyat.
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dibentuk
antara lain dengan pertimbangan untuk menampung dinamika dan
perkembangan masyarakat yang majemuk guna meningkatkan peran, fungsi
dan tanggung jawab partai politik dalam kehidupan demokrasi.
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
mengakomodasikan paradigma baru antara lain penguatan sistem
kelembagaan partai politik, yang menyangkut demokratisasi internal partai
politik, transparasi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangannya,
peningkatan kesetaraan gender dan kepemimpinan partai politik dalam
sistem nasional, berbangsa dan bernegara dan perlunya pendidikan politik.
4. Partai politik di masa mendatang diharapkan meningkatkan kualitasnya
sehingga dapat memainkan peranan yang lebih positif untuk membangun
demokrasi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Untuk itu partai politik perlu melakukan konsolidasi organisasi, kepemimpinan,
kader dan programnya agar lebih aspiratif.

88
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Dasar Negara R.I. Tahun 1945.


Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik.
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
Afan Gaffar, 1999, Politik Indonesia, Pustaka Pelajar Yogyakarta.
Maurice Duverger, 1981, Partai-Partai Politik dan Kelompok-Kelompok Penekan,
Bina Aksara Jakarta.
Miriam Budiardjo, 1981, Partisipasi dan Partai Politik, PT Gramedia, Jakarta.
William B Whitman, 2003, The Quotable Politician, The Lyons Press, Connecticut.

89
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

PENYEDERHANAAN PARTAI
DALAM SISTEM MULTIPARTAI: TIDAK KONSISTEN

Oleh: Zainal Abidin, S.H.

1. Pendahuluan
Paska reformasi, sistem demokrasi di Indonesia memasuki era baru
khususnya dengan munculnya sistem multipartai dalam pemilu di Indonesia.
Hal ini terlihat dari kehadiran partai politik dalam pemilu tahun 1999 sebanyak
48 partai politik yang mengikuti pemilu. Jumlah partai yang mengikuti pemilu ini
jauh berbeda dengan masa Orde Baru yang hanya 3 pihak yang ikut pemilu
yaitu Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI).
Sistem multipartai ini dimaksudkan untuk menjamin semua partai politik
dapat berpartisipasi dalam demokrasi. Sistem multipartai ini diimbangi dengan
adanya pembatasan jumlah partai politik yang dapat mengikuti pemilu berikutnya
dengan adanya mekanisme electoral threshold (ET). Dalam pemilu Tahun
1999, partai-partai politik yang tidak memenuhi jumlah kursi 2% di Parlemen
tidak dapat mengikuti pemilu tahun 2004. Ketentuan pembatasan peserta pemilu
kemudian berlanjut dengan peningkatan 3% jumlah kursi di parlemen untuk
dapat mengikuti pemilu tahun 2009 sebagaimana diatur dalam UU No. 12
Tahun 2003 tentang Pemilu.1
Pembatasan dengan ET ini kemudian dianggap sebagai cara untuk
mengeliminasi partai-partai yang sesungguhnya tidak diinginkan kehadirannya,
dan di Indonesia threshold menjadi bentuk pembatasan untuk mengikuti pemilu
berikutnya bagi partai yang ikut pemilu yang tujuannya adalah untuk mengurangi
jumlah partai politik. Akibatnya, partai-partai politik yang tidak memenuhi ET
tidak dapat mengikuti pemilu berikutnya. Kondisi ini memunculkan gugatan
bahwa mekanisme ET melanggar kontitusi yaitu UUD 1945 yang pada akhirnya
ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).2

1
Lihat Pasal 9 UU No. No. 12 Tahun 2003.
2
Lihat Permohonan Judicial Review 17 Partai Politik di Mahkamah Konstitusi dalam Perkara
No. 16/PUU-V/2007.

90
Penyederhanaan Partai dalam Sistem Multipartai: Tidak Konsisten

Pada tahun 2008, pemerintah dan DPR membahas revisi UU Pemilu


yang menghasilkan UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota
Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah. UU ini juga masih memberikan batasan bagi partai politik untuk
dapat mengikuti pemilu berikutnya dengan parliamentary threshold (PT).
Demikian pula dalam pengaturan tentang partai politik yang dapat mengikuti
pemilu tahun 2009, secara garis besar sama dengan ide penyederhanaan partai
politik. Namun, dalam aturan peralihannya di Pasal 316 huruf (d) terdapat
ketentuan bahwa partai politik peserta pemilu 2004 yang tidak memenuhi 3%
ET dapat mengikuti pemilu tahun 2009 asal mempunyai satu kursi di DPR.
Ketentuan tersebut berarti bahwa partai politik yang hanya mempunyai 1 (satu)
kursi di DPR pun bisa langsung ikut pemilu tahun 2009. Pasal 316 (d) inilah
yang bisa dianggap tidak menunjukkan suatu konsistensi sikap atas kebijakan
penyederhanan partai politik peserta pemilu melalui ET.
Tulisan ini akan menguraikan tentang ketentuan ET dalam sistem
Multipartai di Indonesia, khususnya dalam melihat konsistensi kebijakan
penyederhanaan partai politik dalam peraturan perudang-undangan dan
perlindungan terhadap partai politik dalam konstitusi. Tulisan disusun
berdasarkan analisis sejumlah UU terkait dengan Pemilu dan Putusan
Mahkamah Konstitusi dalam perkara No. 16/PUU-V/2007.

2. Electoral Threshold Merupakan Legal Policy


Pasal 22E ayat (3) UUD 1945 menegaskan posisi penting partai politik
yakni “peserta pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan DPRD adalah
partai politik”. Demikian pula dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang
menyatakan “pasangan calon presiden dan wakil presiden diajukan oleh partai
politik atau gabungan partai politik peserta pemilu sebelum pelaksanaan
pemilihan umum”. Namun demikian, masih diperlukan UU untuk mengatur
tentang pemilu sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 6A ayat (5) UUD 1945
yang menyatakan bahwa “tatacara pelaksanaan pemilihan presiden dan wakil
presiden lebih lanjut diatur dengan UU” dan Pasal 22E ayat (6) UUD 1945
yang menyatakan bahwa “ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan umum diatur
dengan UU”.
Berdasarkan konstruksi dalam UUD 1945 tersebut, kedudukan partai
politik dan sistem pemilu kemudian dikuatkan dalam sejumlah undang-undang,

91
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

diantara UU No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilu. Dalam UU tersebut, juga


diatur ketentuan pembatasan partai politik untuk dapat mengikuti pemilu
berikutnya (tahun 2009) dengan ketentuan sebagaimana pasal 9:
(1) Untuk dapat mengikuti Pemilu berikutnya, Partai Politik Peserta
Pemilu harus:
a. memperoleh sekurang-kurangnya 3% (tiga persen) jumlah kursi
DPR;
b. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi
DPRD Provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di ½
(setengah) jumlah provinsi seluruh Indonesia; atau
c. memperoleh sekurang-kurangnya 4% (empat persen) jumlah kursi
DPRD Kabupaten/Kota yang tersebar di ½ (setengah) jumlah
kabupaten/kota seluruh Indonesia.
(2) Partai Politik Peserta Pemilu yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat mengikuti Pemilu
berikutnya apabila:
a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1);
b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan selanjutnya
menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik
yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah
kursi; atau
c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan membentuk partai
politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga
memenuhi perolehan minimal jumlah kursi.

Ketentuan dalam Pasal 9 UU No. 12 Tahun 2003 itulah yang kemudian


digunakan sebagai acuan untuk menentukan peserta pemilu tahun 2009
mendatang. Hasil perolehan suara pemilu tahun 2004, dari 24 partai politik
yang ikut pemilu hanya 7 partai politik yang memenuhi ketentuan 3% dan dapat
lolos secara langsung mengikuti pemilu 2009, sementara sisanya 17 partai politik
tidak dapat mengikuti pemilu tahun 2009 kecuali bergabung dengan partai lain
untuk memenuhi syarat 3%.3
Hasil pemilu tahun 2004 tersebut ternyata tidak cukup memuaskan partai-
partai kecil yang tidak memenuhi 3% persen jumlah kursi di DPR RI dan

3
Lihat Perolehan suara dan kursi Partai di DPR RI pada pemilu 1999/2004. 7 (tujuh) partai politik
yang memanuhi 3% adalah Partai Golkar, PDIP, PPP, Partai Demokrat, PAN, PKB, dan PKS.

92
Penyederhanaan Partai dalam Sistem Multipartai: Tidak Konsisten

kemudian mengajukan permohonan judicial review terhadap Pasal 9 ayat (1)


dan (2) UU No. 12 Tahun 2003 ke MK.4 Para pemohon ini mendalilkan bahwa
ketentuan Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2003 bertentangan UUD
1945 khususnya terkait dengan hak asasi manusia yakni Pasal 27 ayat (1),
Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), Pasal 28D ayat (1) dan (3), Pasal 28E ayat (3),
Pasal 28F, Pasal 28H ayat (2) dan Pasal 28I ayat (2).
Permohon untuk menguji Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun
2003 tersebut sejatinya merupakan pengujian terhadap ketentuan electoral
threshold, atau bisa dikatakana bahwa berdasarkan para pemohon ketentuan
mengenai electoral threshold tersebut telah melanggar hak konstitusional para
pemohon. MK pada akhirnya tidak mengabulkan permohonan tersebut dan
menyatakan bahwa Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU Pemilu tidak bertentangan
dengan UUD 1945. MK berpendapat bahwa karena pasal tersebut hanya
memuat tentang persyaratan obyektif kepada semua parpol tanpa kecuali apabila
ingin mengikuti pemilu berikutnya dan tidak mengurangi kedudukan warga
negara dalam hukum dan pemerintahan.
MK juga menyatakan bahwa persyaratan untuk dapat mengikuti pemilu
berikutnya berlaku untuk semua partai politik setelah melewati kompetisi secara
demokratis melalui pemilu. Terpenuhi atau tidak terpenuhinya ketentuan ET
yang menjadi syarat untuk ikut pemilu berikutnya tergantung dari partai politik
yang bersangkutan dan dukungan dari pemilih, bukan kesalahan undang-
undangnya.
Kebijakan ET sebetulnya merupakan kebijakan hukum (legal policy)
pembentuk undang-undang dan kebijakan hukum demikian tidak bertentangan
dengan UUD 1945, karena UUD 1945 nyatanya memberikan mandat bebas
kepada pembentuk UU untuk mengaturnya, termasuk mengenai persyaratan
untuk dapat mengikuti pemilu berikutnya dengan ketentuan ET. MK
menambahkan bahwa kebijakan hukum (legal policy) di bidang kepartaian
dan pemilu tersebut bersifat objektif, dalam arti sebagai seleksi alamiah dan
demokratis untuk menyederhanakan sistem multipartai yang hidup kembali di
Indonesia di era refomasi.

4
Para pemohon ini terdiri dari 13 Parpol yakni PPD, PPIB, PBR, PDS, PBB, PKPI, PPDK, PNBK,
Partai Pelopor, PPDI, PBSD, PSI, dan PKPB.

93
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Dari berbagai pertimbangan tersebut, MK menyimpulkan bahwa Pasal


9 ayat (1) dan (2) UU Pemilu tidak mempengaruhi hak untuk berserikat dan
berkumpul, termasuk hak untuk mendirikan partai politik, serta tidak ada unsur
yang bersifat diskriminatif sehingga ketentuan dalam pasal tersebut tidak
bertentangan dengan hak asasi manusia.5 Berdasarkan putusan MK, telah jelas
bahwa ketentuan pembatasan partai politik untuk mengikuti pemilu bukanlah
pelanggaran terhadap konstitusi. Partai-partai politik yang tidak memenuhi ET
3% kemudian mulai melakukan upaya-upaya untuk dapat mengikuti pemilu
tahun 2009 dengan menggabungkan diri ataupun membentuk partai baru.

3. Ketidakkonsistenan dalam UU No. 10 Tahun 2008


Ketentuan mengenai ET untuk dapat mengikuti pemilu tahun 2009
mendatang pada awalnya diasumsikan akan diatur dengan substansi yang sama
dengan Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2003 dalam UU pemilu
yang direvisi. Hal ini tercermin dalam serangkaian dokumen tentang persiapan
untuk revisi UU No. 12 Tahun 2003 misalnya Naskah Akademis maupun RUU
penyempurnaan UU Pemilu. Demikian pula dengan dokumen Daftar Inventaris
Masalah (DIM) saat pembahasan RUU Pemilu di DPR.
Berdasarkan Naskah Akademik RUU Pemilu versi Pemerintah,
penyempurnaan UU No. 12 Tahun 2003 pada prinsipnya ditujukan untuk
menciptakan keseimbangan antara pendalaman demokrasi (deepening
democracy) dengan pengembangan kepemimpinan yang efektif (effective
governance). Agar tercapai keseimbangan antara pendalaman demokrasi
(deepening democracy) dengan pengembangan kepemimpinan yang efektif
(effective governance) harus dilakukan langkah-langkah regulasi yang salah
satunya adalah melakukan penyederhanaan jumlah pelaku. Kebutuhan untuk
menyederhanakan jumlah pelaku adalah sangat penting sehingga ide tentang
penyederhaan jumlah pelaku inilah yang kemudian diangkat dalam
penyempurnaan UU No. 12 Tahun 2003, yang antara lain diwujudkan dalam
penentuan batasan threshold bagi partai politik untuk ikut serta dalam pemilihan
umum. Melalui penciutan peserta Pemilu secara wajar dan rasional, diharapkan

5
Lihat Putusan MK Perkara No. No. 16/PUU-V/2007, hlm. 83.

94
Penyederhanaan Partai dalam Sistem Multipartai: Tidak Konsisten

pula isu-isu yang diusung oleh partai politik dalam pemilihan umum nasional
adalah betul-betul isu nasional yang terpilih dan berbobot untuk ditangani
lembaga perwakilan rakyat dan pemerintah tingkat nasional.
Cakupan penyempurnaan UU No. 12 Tahun 2003 salah satu agendanya
adalah pengetatan persyaratan bagi partai peserta Pemilu legislatif dalam rangka
mengkondisikan sistem multipartai sederhana. Ruang lingkup agenda pengetatan
persyaratan peserta Pemilu yang dapat dilakukan adalah:
a. Memberlakukan persyaratan partai peserta Pemilu sekurang-kurangnya
12 (dua belas) bulan sebelum Pemilu diselenggarakan. Persyaratan ini
diperlukan agar tersedia cukup waktu bagi calon partai peserta Pemilu
memperluas jaringan organisasi serta dikenal oleh masyarakat;
b. Mempertahankan persyaratan electoral threshold (ET) bagi partai peserta
Pemilu legislatif berikutnya yang ditingkatkan secara bertahap, dari 3 (tiga)
persen untuk Pemilu tahun 1999 menjadi 5 (lima) persen untuk Pemilu
2014. Persyaratan ET 2 (dua) persen pada Pemilu 2004 memang berhasil
mengurangi jumlah partai peserta Pemilu dari 48 partai peserta Pemilu
1999 menjadi separohnya (24 partai) pada Pemilu berikutnya. Persyaratan
ET 3 persen untuk Pemilu 2009 dan ET 5 persen untuk Pemilu 2014
diharapkan dapat mengurangi jumlah partai peserta Pemilu secara lebih
signifikan lagi;
c. Partai politik yang tidak lolos ET 3 persen dapat bergabung dengan partai
yang lolos ET dan meleburkan diri, atau bergabung dengan partai-partai
yang tidak lolos ET 3 % sehingga memenuhi ET 3%, kedua metode
dimaksud sebagaimana dimaksud telah diatur dalam Pasal 9 ayat (2) UU
No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota;
d. Menetapkan jumlah minimal anggota partai terdaftar sekurang-kurangnya
1000 (seribu) orang atau sekurang-kurangnya 1/1000 (satu permil) dari
jumlah penduduk pada setiap kepengurusan di tingkat provinsi maupun di
tingkat kabupaten/kota yang dibuktikan dengan kepemilikan KTA (Kartu
Tanda Anggota).
Dalam Naskah Akademis RUU tersebut juga dinyatakan adanya
kesadaran bahwa terdapat berbagai problematika UU No. 12 Tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD yang salah satunya adalah
persyaratan electoral threshold tidak diterapkan secara konsisten. Walaupun

95
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

jumlah partai peserta Pemilu berkurang, namun UU No. 12 Tahun 2003 kurang
dapat mendorong terjadinya pembatasan partai-partai yang memperoleh kursi
di parlemen, sehingga kebutuhan akan hadirnya partai mayoritas tidak terjadi.
Oleh karenanya, dalam RUU Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD salah satu
materi penting yang diatur adalah partai politik dapat menjadi peserta Pemilu
setelah memenuhi persyaratan umum dan persyaratan khusus. Persyaratan umum
bagi partai politik untuk menjadi peserta Pemilu ditingkatkan menjadi memiliki
kepengurusan lengkap di seluruh jumlah provinsi, dan memiliki kepengurusan
lengkap sekurang-kurangnya 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah
kabupaten/kota di tiap provinsi. Sedangkan persyaratan khusus berupa
perolehan kursi bagi partai politik yang pernah mengikuti Pemilu sebelumnya
berupa perolehan sekurang-kurangnya 5 % (lima perseratus) jumlah kursi DPR,
perolehan sekurang-kurangnya 5 % (lima perseratus) jumlah kursi DPRD
provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah) jumlah provinsi di
Indonesia, dan perolehan sekurang-kurangnya 5 % (lima perseratus) jumlah
kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah)
jumlah kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Partai politik peserta Pemilu tahun
2004 yang memperoleh kurang dari 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR
atau memperoleh kurang dari 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD
provinsi atau DPRD kabupaten/kota yang tersebar paling sedikit di 50% (lima
puluh perseratus) jumlah provinsi dan di 50% (lima puluh perseratus) jumlah
kabupaten/kota seluruh Indonesia, tidak boleh ikut dalam Pemilu berikutnya
kecuali bergabung dengan partai politik lain. Apabila partai politik bergabung
dengan partai politik lain dilakukan dengan cara:
a. bergabung dengan partai politik peserta Pemilu tahun 2004;
b. bergabung dengan partai politik lain yang tidak memenuhi ketentuan
perolehan kursi pada Pemilu tahun 2004 dengan menggunakan nama dan
tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung; atau
c. bergabung dengan partai politik lain yang tidak memenuhi ketentuan
perolehan kursi pada Pemilu tahun 2004 dengan menggunakan nama dan
tanda gambar baru.6

6
Lihat Naskah Akademis RUU tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (8 Mei 2007).

96
Penyederhanaan Partai dalam Sistem Multipartai: Tidak Konsisten

Pandangan dan paradigma tentang penyederhanaan partai politik yang


mengikuti pemilu tersebut sejalan dengan pasal-pasal mengenai peserta Pemilu
dalam RUU Pemilu versi Pemerintah yang tercantum dalam BAB XXI Ketentuan
Peralihan dalam Pasal 286 dan Pasal 287.7
Pasal 286
Partai politik peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh 3% (tiga
perseratus) atau lebih dari jumlah kursi DPR atau memperoleh paling
sedikit 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD provinsi atau DPRD
kabupaten/kota yang tersebar paling sedikit di 50% (lima puluh
perseratus) jumlah provinsi dan di 50% (lima puluh perseratus) jumlah
kabupaten/kota seluruh Indonesia, ditetapkan sebagai partai politik
peserta Pemilu setelah Pemilu tahun 2004.
Pasal 287
(1) Partai politik peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh
kurang dari 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR atau
memperoleh kurang dari 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD
provinsi atau DPRD kabupaten/kota yang tersebar paling sedikit
di 50% (lima puluh perseratus) jumlah provinsi dan di 50% (lima
puluh perseratus) jumlah kabupaten/kota seluruh Indonesia, tidak
boleh ikut dalam Pemilu berikutnya kecuali bergabung dengan
partai politik lain.
(2) Bergabung dengan partai politik lain dilakukan untuk memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dengan cara:
a. bergabung dengan partai politik peserta Pemilu tahun 2004
sebagaimana ketentuan dalam Pasal 286;
b. bergabung dengan partai politik lain yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286, dengan
menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai
politik yang bergabung;
c. bergabung dengan partai politik lain yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 286, dengan
menggunakan nama dan tanda gambar baru.
Berdasarkan dua dokumen yaitu Naskah Akademis dan RUU, paradigma
dan kebijakan penyederhaan partai politik peserta Pemilihan Umum melalui
threshold telah konsisten dengan upaya untuk mencapai keseimbangan antara
pendalaman demokrasi (deepening democracy) dengan pengembangan
kepemimpinan yang efektif (effective governance) dan sesuai dengan
kesadaran bahwa UU No. 12 Tahun 2003 tidak dapat berlaku secara konsisten

7
Lihat RUU Pemilu versi pemerintah.

97
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

sehingga perlu disempurnakan. Hal ini telah pula sesuai dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 16/PUU/V/2007.
Bahwa sampai dengan pembahasan di DPR, Rumusan Pasal 286 dan
287 RUU Pemilihan Umum tetap menjadi pembahasan yang terlihat dari Daftar
Inventaris Masalah (DIM) terhadap RUU Pemilu.8 Bahkan sampai dengan
tahap-tahap akhir pembahasan RUU Pemilihan Umum, rumusan dalam Pasal
286 dan 287 RUU Pemilihan Umum secara subtansi masih sama dengan Pasal
9 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2003.
Namun kemudian dalam pengesahan RUU Pemilihan Umum menjadi
UU Pemilihan Umum (yang menjadi UU No. 10 Tahun 2008) muncul ketentuan
baru tentang dibolehkannya partai peserta Pemilihan Umum 2004 yang tidak
memenuhi threshold sebagaimana disyaratkan dalam UU Pemilihan Umum
namun mempunyai kursi di DPR dapat langsung mengikuti Pemilihan Umum
2009 tanpa harus 1) bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum
yang memenuhi ketentuan, atau 2) bergabung dengan partai politik yang tidak
memenuhi ketentuan dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar
salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal
jumlah kursi, atau 3) bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dengan membentuk partai
politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan
minimal jumlah kursi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 315 dan 316
UU No. 10 Tahun 2008.
Pasal 315
Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurang-
kurangnya 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR atau memperoleh
sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD
provinsi yang tersebar sekurangkurangnya di 1/2 (setengah) jumlah
provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4%
(empat perseratus) jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar
sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh
Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah
Pemilu tahun 2004.

8
Lihat Daftar Inventaris Masalah (DIM) terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD dan DPRD, Buku Keempat.

98
Penyederhanaan Partai dalam Sistem Multipartai: Tidak Konsisten

Pasal 316
Partai Politik Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan
Pasal 315 dapat mengikuti Pemilu 2009 dengan ketentuan:
a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315; atau
b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dan selanjutnya
menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik
yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah
kursi; atau
c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dengan membentuk
partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga
memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau
d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004; atau
e. memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU untuk menjadi Partai
Politik Peserta Pemilu sebagaimana ditentukan dalam Undang-
Undang ini.
Kemunculan Pasal 316 huruf (d) dalam UU No. 10 Tahun 2008 tersebut
kembali menimbulkan pertanyaan mendasar tentang konsep penyederhanaan
partai politik yang dapat mengikuti pemilu (khususnya tahun 2009). Ketentuan
ini justru mereduksi konsep penyederhanaan partai yang akan diupayakan di
Indonesia. Akibatnya, peserta Pemilihan Umum tahun 2009 tidak akan sesuai
dengan yang diharapkan karena dibuka kemungkinan adanya partai politik yang
dapat mengikuti Pemilihan Umum tahun 2009 meskipun tanpa memenuhi
threshold. Hal ini tercermin dari kondisi awal bahwa berdasarkan hasil pemilu
tahun 2004 yang seharusnya hanya 7 partai politik yang dapat mengikuti pemilu
2009 secara langsung menjadi 16 partai politik.9
Ketentuan sebagaimana dalam Pasal 316 huruf (d) UU No. 10 Tahun
2008 ini kemudian memunculkan banyak kritikan yang pada pokoknya
menunjukkan bahwa tidak ada konsistensi mengenai konsep penyederhanaan
partai peserta pemilu.10 Bahkan ketentuan tersebut dianggap pula sebagai
sebuah kemunduran dalam demokrasi dan merusak tatanan sistem pemilu.11

9
Partai-partai yang langsung dapat mengikuti pemilu tahun 2009 meskipun tidak memenuhi 3%
kursi di DPR adalah PBB, PBR, PDS, PKPB, PKPI, PPDK, PNI Marhaenisme, Partai Pelopor, dan
PPDI.
10
Media Indonesia, 1 Maret 2008; 18:29. Penghapusan ET Sebuah Kemunduran Berdemokrasi. Lihat
juga Okezone. Selasa, 4 Maret 2008; 00:35 WIB. UU Pemilu 2008 Kemunduran dari UU Pemililu
2003.
11
Suara Karya, Electoral Threshold Aturan Peralihan, Tragedi Politik, 6 Maret 2008.

98
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Bahkan ketentuan tersebut juga dianggap merupakan ketentuan yang


memberikan perlakukan yang berbeda (diskriminatif) terhadap partai politik
perserta pemilu tahun 2004 yang tidak mempunyai kursi di DPR, meskipun
mendapatkan suara yang signifikan dan bahkan melebihi jumlah suara beberapa
partai yang punya kursi di DPR.12

4. Penutup
Sistem Multipartai dalam pemilu di Indonesia telah berkonsekuensi
membludaknya partai politik yang ingin mengikuti pemilu. Hal ini wajar karena
paska reformasi telah terbuka peluang untuk pendirian partai-partai politik baru
diluar 3 partai politik yang hidup pada era Orde Baru. Namun demikian,
pembatasan partai politik peserta pemilu memang perlu dilakukan untuk
memperkuat dan memperdalam demokrasi. Pembatasan inipun bukan
merupakan pelanggaran terhadap konstitusi.
UU No. 10 Tahun 2008 dengan aturan peralihan Pasal 316 huruf (d)
justru kembali mundur dengan ketentuan memberikan peluang partai politik
yang tidak memenuhi threshold namun punyai kursi di DPR langsung ikut pemilu
tahun 2009. Ketentuan tersebut kembali meneguhkan sikap partai-partai politik
di DPR yang lebih mendahulukan kepentingan partainya daripada kepentingan
untuk penguatan sistem pemilu di Indonesia. Akibatnya, cita-cita untuk adanya
keseimbangan antara pendalaman demokrasi (deepening democracy) dengan
pengembangan kepemimpinan yang efektif (effective governance) dengan cara
melakukan penyederhanaan jumlah peserta pemilu tidak tercapai.
Kedepan, semua partai politik harus konsisten dengan regulasi yang dibuat
dan tidak merubah kembali tujuan dilakukannya penyederhanaan jumlah peserta
pemilu. Jika tidak, apalagi dengan terus menerus merubah aturan main pemilu
yang hanya ditujukan untuk kepentingan sesaat maka akan mengancam
kehidupan demokrasi di Indonesia.

12
Lihat Permohonan Judicial Review 5 partai politik ke MK terhadap ketentuan Pasal 316 huruf (d)
UU No. 10 Tahun 2008.

100
DAFTAR PUSTAKA

Undang-Undang Dasar 1945.


Undang-Undang No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
Undang-Undang No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah.
Permohonan Judicial Review 17 Partai Politik di Mahkamah Konstitusi dalam
Perkara No. 16/PUU-V/2007.
Permohonan Judicial Review 5 partai politik ke MK terhadap ketentuan Pasal
316 huruf (d) UU No. 10 Tahun 2008.
Perolehan suara dan kursi Partai di DPR RI pada pemilu 1999/2004.
Putusan MK Perkara No. No. 16/PUU-V/2007.
Naskah Akademis RUU tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah (8 Mei 2007).
Daftar Inventaris Masalah (DIM) terhadap Rancangan Undang-Undang tentang
Pemilu Anggota DPR, DPD dan DPRD, Buku Keempat.
Media Indonesia, 1 Maret 2008; 18:29. Penghapusan ET Sebuah Kemunduran
Berdemokrasi.
Okezone. Selasa, 4 Maret 2008; 00:35 WIB. UU Pemilu 2008 Kemunduran dari
UU Pemililu 2003.
Suara Karya, Electoral Threshold Aturan Peralihan, Tragedi Politik, 6 Maret
2008.

101
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

KONFLIK INTERNAL PARTAI


SEBAGAI SALAH SATU PENYEBAB
KOMPLEKSITAS SISTEM MULTIPARTAI
DI INDONESIA
Oleh: Chudry Sitompul, S.H.,M.H.

I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Kajian mengenai partai politik (parpol) merupakan salah aspek penting
di dalam ilmu hukum tatanegara. Bila kita berbicara mengenai parpol, berarti
kita akan membicarakan mengenai partisipasi rakyat dalam dua hal, yaitu
pertama: partisipasi rakyat dalam menentukan arah kebijakan negara; kedua:
partisipasi rakyat dalam membuat peraturan-peraturan perundang-undangan.1
Oleh karena itu, kajian mengenai parpol akan terkait dengan studi mengenai
pemilihan umum (pemilu) dan konsep negara hukum.
Prof. Abdul Bari Azed berpandangan bahwa konsep negara hukum
merupakan pemenuhan hak-hak asasi manusia (HAM) yang harus dilindungi,
dan HAM yang paling penting adalah keikutsertaan atau partisipasi rakyat dalam
membuat peraturan-peraturan perundang-undangan yang akan mengatur
kehidupannya.2 Dan partisipasi rakyat untuk menyalurkan kepentingannya
dengan ikut serta mengambil bagian dalam pembuatan kebijakan, dan dalam
bentuk yang sederhana adalah dengan mengikuti pemilu, atau ikut menjadi
anggota parpol mendirikan parpol, atau mengakomodasi kepentingannya dalam
kehidupan bernegara.
Kendati menurut teori ilmu hukum tata negara parpol merupakan suatu
kajian yang penting, tetapi di dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
Asli tidak menyebut (mengatur) secara eksplisit dan jelas mengenai parpol. Di
dalam Penjelasan UUD 1945 (Asli) menyatakan bahwa negara Republik
Indonesia adalah negara hukum dan bukan negara kekuasaan (machtstaat).
Dengan demikian pentingnya peranan partai politik di dalam paradigma UUD

1
Abdul Bari Azed, dan Makmur Amir; “Pemilu dan Partai Politik di Indonesia”; Pusat Studi Hukum
Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, tahun 2005, hlm. 20.
2
Ibid, hlm. 62.

102
Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia

1945 (Asli) hanya dapat disimpulkan dari analisa teori-teori hukum tata negara
mengenai hubungannya antara negara hukum, kedaulatan rakyat, demokrasi,
dan hak asasi manusia (HAM).
Lain hal dengan UUD 1945 yang sudah dirubah (Amandemen Kedua)
yang menyebut secara eksplisit mengenai parpol. Di dalam Pasal 6 A UUD
1945 (Amandemen Kedua) yang menyatakan pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilihan
umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Maraknya berdirinya partai-partai baru setelah berhentinya Presiden
Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 adalah bersamaan dengan adanya
perubahan politik yang besar pada saat itu.
Gerakan mahasiswa Indonesia pada tahun 1998 (Gerakan 1998) akan
ditulis tinta emas di dalam sejarah Republik Indonesia. Sekurang-kurangnya
ada dua keberhasilan yang sangat fundamental dari Gerakan 1998, yaitu:
pertama, berhasil memaksa Presiden Soeharto yang sudah berkuasa selama
32 tahun untuk berhenti, hingga pemerintahan otoriter Orde Baru menjadi; dan
kedua, mendorong lahirnya Gerakan Reformasi di segala bidang.3
Pengangkatan Prof. B.J. Habibie sebagai Presiden R.I merupakan
tonggak awal periode reformasi.4 Prof. B.J. Habibie melakukan reformasi di
segala bidang, memulihkan kehidupan di bidang sosial-ekonomi, dan
meningkatkan demokrasi.5 Di dalam era Presiden Prof. B.J. Habibie, kehidupan
bernegara menjadi demokratis, termasuk di dalamnya mengenai wacana
pendirian partai politik (parpol) yang baru. Sri Bintang Pamungkas mempelopori
mendirikan parpol yang baru, di luar tiga parpol yang diakui pada saat itu, yaitu
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan
Golongan Karya (Golkar). Kemudian baru lahir parpol-parpol yang lain sehingga
berjumlah 48 parpol, yang pada akhirnya parpol-parpol tersebut mengikuti
pemilihan umum yang pertama di era reformasi pada tanggal 7 Juni 1999.

3
Lelita Yunia; “Sosialisasi Politik Mahasiswa : Partisipasi Politik Forum Kota (Forkot) dalam Gerakan
1998”; Tesis, Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Pascasarjana,
Depok, tahun 2002; hlm. 46-47.
4
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia mengangkat sumpah Wakil Presiden Prof. B.J. Habibie
untuk menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998 setelah Soeharto menyatakan
berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia.
5
Ramly Hutabarat; “Politik Hukum Pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi Politik di Indonesia
(1971-1997)”; Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Pascasarjana, Jakarta, 2004; hlm. 197.

103
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Semenjak itu, peran parpol di dalam kehidupan bernegara semakin


menonjol. Kebijakan-kebijakan negara, baik pembuatan undang-undang di
Dewan Perwakilan Perwakilan maupun oleh Presiden dalam mengeluarkan
peraturan pelaksanaan undang-undang, banyak mendengar masukan dari parpol.
Begitupun juga dalam melaksanakan pemilihan umum (pemilu) yang pertama
di era reformasi pada tanggal 7 Juni 1999, peranan partai politik sangat sentral
dan strategis. Pelaksana pemilu tahun 1999 tersebut adalah Komisi Pemilihan
Umum (KPU) yang beranggotakan dari seluruh unsur-unsur parpol yang ikut
di dalam Pemilu 1999. Selain pelaksana Pemilu 1999, KPU juga yang membuat
regulasi Pemilu 1999, penetapan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
periode tahun 1999-2004, Utusan Golongan dan Utusan Daerah untuk Anggota
Majelis Permusyawaratan Rakyat periode tahun 1999-2004.
Demikianpun juga dalam pelaksanaan roda pemerintahan, baik di tingkat
pusat maupun di daerah, peranan parpol sangat signifikan, terutama di dalam
penyampaian aspirasi dan kontrol sosial. Hal tersebut terlihat di dalam proses
perubahan (amandemen) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945), banyak
aspirasi masyarakat yang disalurkan melalui parpol, terutama mengenai
pembatasan masa jabatan presiden, penjaminan hak azasi manusia (HAM),
pemilihan presiden secara langsung.
Peran parpol di dalam menyerap aspirasi masyarakat juga nampak dari
hasil Pemilu 2004. Hasil perolehan suara di dalam Pemilu 2004 memperlihatkan
terjadi perubahan, diantaranya yang menonjol yaitu :

Nama Partai Pemilu 1999 Pemilu 2004

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan 35.689.173 21.026.629


Partai Keadilan/Partai Keadilan Sejahtera 1.436.565 8.325.020

Partai Demokrat Tidak ikut 8.455.225


Sumber : Komisi Pemilihan Umum

Dari tabel di atas menunjukan adanya peran parpol di dalam menyerap


aspirasi masyarakat. Sebelum Pemilu 2004 dilaksanakan, banyak masyarakat
(terutama mahasiswa dan pemuda) yang tidak puas terhadap Partai Demokrasi
Indonesia Perjuangan (PDIP) yang mempunyai kursi terbanyak di DPR tidak
dapat memberantas Korupsi, Kolusi, Nepotisme (KKN) secara tuntas,
sehingga perolehan suara PDIP di dalam Pemilu 2004 menjadi menurun.

104
Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia

Sedang Partai Keadilan atau Partai Keadilan Sejahtera (nama pada


Pemilu 1999, yang kemudian pada Pemilu 2004 berganti nama menjadi Partai
Keadilan Sejahtera) mendapat penambahan suara yang besar (sekitar 7 juta
suara) disebabkan kalangan mahasiswa dan pemuda menaruh harapan agar
partai ini sanggup memberantas KKN secara tuntas.
Sedang Partai Demokrat yang merupakan parpol yang baru ikut Pemilu
2004, mendapat suara yang melebihi Partai Keadilan Sejahtera, disebabkan
ketokohan Susilo Bambang Yudhoyono yang ada dibelakang Partai Demokrat
diharapkan masyarakat luas untuk dapat mengelola negara yang lebih baik.
Bersamaan dengan semakin berperannya parpol dalam kehidupan negara
yang demokratis, timbul konflik-konflik di dalam tubuh parpol. Salah satu konflik
parpol yang menarik perhatian masyarakat adalah perselisihan di dalam tubuh
Partai Kebangkitan Bangsa.
Mahkamah Agung Republik Indonesia (MA RI) pada hari Rabu tanggal
16 November 2005 telah memutus perkara sengketa partai politik (parpol)
antara Alwi Shihab melawan Muhaimin Iskandar di tingkat Kasasi.6 Majelis
Hakim Kasasi MA RI menilai pemecatan Alwi Shihab dari keanggotaan Partai
Kebangkitan Bangsa (PKB) cacat hukum, karena melanggar Anggaran Dasar
dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) PKB. Harifin A. Tumpa (salah satu
Anggota Majelis Hakim Kasasi) mengatakan kepada Harian Kompas bahwa
putusan tersebut diambil melalui mufakat bulat dan Majelis Hakim tidak
mengabulkan seluruh gugatan, melainkan hanya sebagian. Lebih jauh
menjelaskan bahwa menurut AD/ART PKB, pemilihan Ketua Umum Dewan
Tanfidz dilakukan melalui muktamar yang diselenggarakan lima tahun sekali.
Ketua Dewan Tanfidz bertanggungjawab kepada Muktamar. Cacat hukum
yang dimaksud adalah pemecatan Alwi tidak dilakukan melalui muktamar.
Menurut Harifin A. Tumpa putusan MA RI tersebut tidak membawa
konsekwensi apapun, karena pengurus baru sekarang sudah ada. Selanjutnya
Harifin A. Tumpa berharap putusan MA RI tersebut membuat para pihak
berdamai.
Putusan MA RI tersebut bukan saja merupakan perkembangan baru
semenjak Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik yang

6
Harian Kompas, Sabtu 19 November 2005, hlm. 2.

105
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

diundangkan pada tanggal 27 Desember 2002, tetapi juga merupakan peristiwa


yang pertama kali terjadi di era reformasi yang kehidupan politiknya demokratis
dan liberal. Konflik kepartaian seperti yang dialami oleh PKB tersebut, juga
dialami oleh parpol-parpol besar lainnya seperti Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan (PDIP), Partai Bintang Reformasi (PBR), Partai Demokrat (PD).
Namun perselisihan kepartaian yang pada akhir berujung berpekara di
pengadilan yang dialami PDIP, PBR, dan PDR belum sampai dengan tingkat
kasasi. Bahkan PBR sudah berdamai, dan gugatannya sudah dicabut. Sementara
itu perselisihan kepartaian yang pada akhir berujung berpekara di pengadilan
yang dialami PKB bukan hanya gugatan dari Alwi Shihab itu saja. Pada tahun
2002 PKB mengalami Dualisme Kepemimpinan antara PKB Batutulis yang
dipimpin Matori Abd. Djalil dan PKB Kuningan yang dipimpin Alwi Shihab,
yang pada akhirnya berpekara sampai di pengadilan.
Sesungguhnya perselisihan internal parpol bukan hanya berujung di
pengadilan, tapi ada juga perselisihan internal parpol hingga mengakibatkan
parpol bersangkutan pecah, antara lain seperti Haryanto Taslam yang merupakan
tokoh pendiri PDIP pada akhirnya mendirikan Partai Nasional Banteng
Kemerdekaan (PNBK). Atau perselisihan internal parpol hingga menyebabkan
tokoh-tokoh pendiri partai meninggalkan parpol yang dibentuknya semula, antara
lain Faisal Basri meninggalkan Partai Amanat Nasional (PAN).

B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka yang pokok permasalahan di
dalam tulisan ini adalah :
1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan maraknya konflik internal parpol di
awal-awal era reformasi ?
2. Apa akibat-akibat yang timbul dari adanya konflik internal parpol di awal-
awal era reformasi ?

C. Kerangka Teori
1. Partai politik menurut Roy C. Macridis: 7
parpol adalah suatu asosiasi yang mengaktifkan, memobilisasi rakyat, dan

7
Roy C. Macridis; “Teori-Teori Mutakhir Partai Politik” (Editor : Ichlasul Amal); Penerbit :
PT. Tiara Wacana Yogya, tahun 1996, hlm. 17.

106
Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia

mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat-


pendapat yang bersaing, dan memunculkan kepemimpinan politik.
2. Partai politik menurut Miriam Budiardjo:8
adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok
ini ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik
– (biasanya) dengan cara konstitusionil – untuk melaksanakan
kebijsaksanaan-kebijaksanaan mereka.
3. Partai politik menurut Carl J. Fiederich: 9
adalah sekelompok manusia yang terorganisiir secara stabil dengan tujuan
merebut atau mempertahankan penguasan terhadap pemerintahan bagi
pimpinan partainya dan, berdasarkan penguasaan ini memberikan kepada
anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun materiil.
4. Partai politik menurut Soltau :10
adalah sekelompok warga negara yang sedikit banyak terorganisir, yang
bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang – dengan memanfaatkan
kekuasaannya untuk memilih – bertujuan menguasai pemerintahan dan
melaksanakan kebijakanaan umum mereka.
5. Partai politik menurut Sigmund Neumann :11
adalah organisasi aktivis-aktivis politik yang berusaha untuk menguasai
kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat atas dasar
persaingan dengan suatu golongan atau golongan-golongan lain yang
mempunyai pandangan yang berbeda.
6. Partai politik menurut Ichlasul Amal :12
adalah suatu kelompok yang mengajukan calon-calon bagi jabatan publik
untuk dipilih oleh rakyat sehingga dapat mengontrol atau mempengaruhi
tindakan-tindakan pemerintah.
7. Partai politik menurut Mark N. Hagopian:13
adalah suatu organisasi yang dibentuk untuk mempengaruhi bentuk dan

8
Miriam Budiardjo; “Dasar-Dasar Ilmu Politik”; Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1991, hlm. 160.
9
Ibid hlm. 161.
10
Ibid hlm. 161.
11
Ibid hlm. 162.
12
Ichlasul Amal (Editor); “Teori-Teori Mutakhir Partai Politik”; Penerbit : PT. Tiara Wacana Yogya,
tahun 1996, hlm. xv.
13
Ibid hlm. xv.

107
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

karakter kebijaksanaan publik dalam kerangka prinsip-prinsip kepentingan


ideologis tertentu melalui praktek kekuasaan secara langsung atau partisipasi
rakyat dalam pemilihan.
8. Menurut Nazuruddin Sjamsuddin, Zukifli Hamid, dan Toto Pribadi :14
Perpecahan dalam parpol bisa disebabkan tiga hal;
a. Perbedaan ideologi dari para anggotanya.
b. Perbedaan pelaksanaan kebijaksanaan
c. Persaingan kepemimpinan dalam partai.
9. Menurut H. Anto Djawamaku :15
Ada beberapa macam konflik internal dalam tubuh partai politik, yaitu :
a. Karena partai tidak memeliki platform yang jelas, sehingga
mengakibatkan tidak adanya ikatan ideologis di antara anggota partai.
Ketika terjadi perpecahan yang bersifat klik, personal atau kelompok,
dengan mudah hal itu memecah belah partai.
b. Faktor kepemimpinan tunggal dan manajemen yang buruk. Terlalu
kuatnya figur pemimpin partai politik berpotensi mematikan kaderisasi
di tubuh partai politik bersangkutan. Figur yang kuat seringkali dianggap
mampu menjadi perekat sementara pada saat bersamaan kader yang
memiliki kualifikasi sepadan tidak pernah dipersiapkan sebagi calon
pengganti.
c. Dipandang dari proses regenerasi yang harus dilakukan, kegagalan
muncul tokoh baru dalam partai politik menunjukan kegagalan partai
politik melakukan reformasi internal, terutama untuk revitalisasi dan
regenerasi terutama karena figur petingginya menjadi simbol institusi.
10. Menurut Nurcholish Madjid : 16
Sampai saat ini belum ada kedewasaan berpolitik dalam partai politik.
Perpecahan partai politik umumnya disebabkan oleh egoisme politik yang
begitu besar yang merupakan indikasi ketidakdewasaan partai tersebut.
Ketidakdewasaan partai juga ditunjukkan dengan ketidakberanian partai
politik terkait untuk menjadi independen.

14
Nazuruddin Sjamsuddin, Zukifli Hamid, dan Toto Pribadi; “Sistem Politik Indonesia”; Penerbit :
Karunika Jakarta, Universitas Terbuka, 1988, hlm. 5.6.
15
H. Anto Djawamaku; “Percehan Partai Politik, Pemberantasan Korupsi dan Berbagai Masalah
Politik Lainnya”; dalam Jurnal Analisis CSIS : Peran Masyarakat dan Demokrasi Lokal, Jakarta,
Vol. 34, No.2, 2005, hlm. 126-127.
16
Harian Kompas, 11 Januari 2002.

108
Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia

II. TEORI-TEORI PARTAI POLITIK


A. Batasan dan Pengertian Partai Politik
Roy C. Macridis berpendapat bahwa partai politik (parpol) merupakan
keharusan dalam kehidupan politik moderen yang demokratis, pengecualiannya
hanya pada masyarakat tradisional yang sistem politiknya otoritarian yang
pemerintahannya bertumpu pada tentara atau polisi.17 Sebagai organisasi, partai
politik secara ideal dimaksudkan untuk mengaktifkan dan memobilisasi rakyat,
mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang
saling bersaing, serta menyediakan sarana suksesi kepemimpinan politik secara
absah (legitimate) dan damai. Menurut Roy C. Macridis, partai politik
merupakan suatu asosiasi yang mengaktifkan, memobilisasi rakyat, dan mewakili
kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat-pendapat
yang bersaing, dan memunculkan kepemimpinan politik. Oleh karena itu, partai
politik menjadi fenomena umum dalam kehidupan politik di dalam masyarakat
moderen. Partai politik adalah alat untuk memperoleh kekuasaan dan untuk
memerintah. Partai politik telah digunakan untuk mempertahankan
pengelompokan yang sudah mapan (seperti gereja) atau untuk menghancurkan
status quo seperti yang dilakukan Bolsheviks pada tahun 1917 ketika
menumbangkan kekaisaran Tsar.
Sementara itu Miriam Budiardjo berpendapat bahwa Partai politik
menurut adalah suatu kelompok yang terorganisir yang anggota-anggotanya
mempunyai orientasi, nilai-nilai dan cita-cita yang sama. Tujuan kelompok ini
ialah untuk memperoleh kekuasaan politik dan merebut kedudukan politik –
(biasanya) dengan cara konstitusionil – untuk melaksanakan kebijsaksanaan-
kebijaksanaan mereka.18
Partai politik menurut Carl J. Fiederich adalah sekelompok manusia yang
terorganisir secara stabil dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasan
terhadap pemerintahan bagi pimpinan partainya dan, berdasarkan penguasaan
ini memberikan kepada anggota partainya kemanfaatan yang bersifat idiil maupun
materiil.19

17
Roy C. Macridis; Op.cit., hlm. 17.
18
Miriam Budiardjo; Op.cit., hlm. 160.
19
Ibid hlm. 161.

109
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Partai politik menurut Soltau adalah sekelompok warga negara yang


sedikit banyak terorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan
yang – dengan memanfaatkan kekuasaannya untuk memilih – bertujuan
menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijakanaan umum mereka.20
Partai politik menurut Sigmund Neuman adalah organisasi aktivis-aktivis
politik yang berusaha untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut
dukungan rakyat atas dasar persaingan dengan suatu golongan atau golongan-
golongan lain yang mempunyai pandangan yang berbeda.21
Partai politik menurut Ichlasul Amal adalah suatu kelompok yang
mengajukan calon-calon bagi jabatan publik untuk dipilih oleh rakyat sehingga
dapat mengontrol atau mempengaruhi tindakan-tindakan pemerintah.22
Partai politik menurut Mark N. Hagopian adalah suatu organisasi yang
dibentuk untuk mempengaruhi bentuk dan karakter kebijaksanaan publik dalam
kerangka prinsip-prinsip kepentingan ideologis tertentu melalui praktek
kekuasaan secara langsung atau partisipasi rakyat dalam pemilihan.23
Berdasarkan batasan-batasan mengenai parpol seperti tersebut di atas,
maka dapat dikatakan bahwa :
1. Dasar sosiologis dari suatu parpol adalah ideologi.
2. Kepentingan dari dibentuknya suatu partai politik adalah usaha-usaha untuk
memperoleh kekuasaan.

B. Fungsi Partai Politik


Di dalam negara moderen, menurut Miriam Budiardjo, partai politik
mempunyai beberapa fungsi :24
1. Sebagai sarana komunikasi politik :
parpol berfungsi menyalurkan aneka ragam pendapat dan aspirasi
masyarakat dan mengaturnya sedemikian rupa sehingga kesimpang-siuran
pendapat dalam masyarakat berkurang. Dalam masyarakat moderen yang

20
Ibid, hlm. 161.
21
Ibid, hlm. 162.
22
Ichlasul Amal (Editor); “Teori-Teori Mutakhir Partai Politik”; Penerbit : PT. Tiara Wacana Yogya,
tahun 1996, hlm. xv.
23
Ibid hlm. xv.
24
Miriam Budiardjo, Op.cit., hlm. 163.

110
Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia

begitu luas, pendapat dan aspirasi seseorang atau suatu kelompok akan
hilang tak berbekas seperti suara di pandang pasir apabila tidak ditampung
dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada. Proses
ini dinamakan “penggabungan kepentingan” (interest aggregation).
Sesudah digabung, pendapat dan aspirasi ini diolah dan dirumuskan dalam
bentuk yang teratur. Proses ini dinamakan, “perumusan kepentingan”
(interest articulation).
2. Sebagai sarana Sosialisasi Politik (Instrument of Political Socializzation).
Di dalam ilmu politik, sosialisasi politik diartikan sebagai suatu proses dari
seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik di
dalam lingkungan masyarakat dimana ia berada. Biasanya proses sosialisasi
berjalan secara berangsur-angsur dari masa kanak-kanak sampai dewasa.
Proses sosialisasi politik diselenggarakan melalui ceramah-ceramah
penerangan, kursus-kursus kader, kursus penataran, dan sebagainya.
3. Sebagai sarana Rekrutmen Politik.
Dalam hal ini parpol berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang
berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai
(political recruitment). Dengan demikian partai turut memperluas
partisipasi politik. Juga disuahakan untuk menarik golongan muda untuk
dididik untuk menjadi kader yang di masa mendatang akan mengganti
pimpinan lama (selection of leadership).
4. Sebagai sarana pengatur konflik.
Di dalam suasana demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat
merupakan soal yang wajar. Jika sampai terjadi konflik, parpol berusaha
untuk mengatasinya.
Sementara itu Ramlan Surbakti berpendapat bahwa fungsi utama partai
politik adalah mencari dan mempertahankan kekuasaan untuk mewujudkan
program-program yang disusun berdasarkan ideologi tertentu.25
Selain fungsi utama parpol seperti tersebut, menurut Ramlan Surbakti
masih ada fungsi parpol lainnya, yaitu :
1. Sosialisasi politik.
2. Rekrutmen politik.

25
Ramlan Surbakti; “Memahami Ilmu Politik”; Penerbit : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta, 1992, hlm. 116.

111
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

3. Partisipasi politik.
4. Pemandu Kepentingan.
5. Komunikasi Politik.
6. Pengendalian Konflik.
7. Kontrol Politik.

C. Jenis-Jenis Partai Politik


Perbedaan jenis-jenis partai politik yang ada di berbagai negara pada
dewasa ini pada hakekatnya karena perbedaan basis sosiologisnya. Menurut
Ichlasul Amal, sekurang-kurangnya terdapat lima jenis parpol yang dapat
diklasifikasikan berdasarkan tingkat komitmen parpol terhadap ideologi dan
kepentingan, yaitu :26
1. Partai Proto.
2. Partai Kader.
3. Partai Massa.
4. Partai Diktatorial.
5. Partai Catch-all.
Partai Proto adalah tipe awal partai politik sebelum mencapai tingkat
perkembangan seperti dewasa ini. Partai semacam ini muncul di Eropa Barat
sekitar abad pertengahan hingga akhir abad ke-19. Ciri paling menonjol dari
partai proto adalah pembedaan antara kelompok anggota (ins) dengan non-
anggota (outs). Selebihnya, partai ini belum menunjukan ciri sebagai parpol
dalam pengertian moderen. Karena, partai proto sesungguhnya adalah partai
yang dibentuk berdasarkan pengelompokan ideologis masyarakat.
Partai kader merupakan perkembangan lebih lanjut partai proto. Partai
ini muncul sebelum diterapkannya sistem hak pilih secara luas bagi rakyat hingga
sangat bergantung pada masyarakat kelas menengah ke atas yang memiliki
hak pilih, keanggotaan yang terbatas, kepemimpinan, serta para pemberi dana.
Tingkat organisasi dan ideologi partai kader sesungguhnya masih rendah karena
aktivitasnya jarang didasarkan pada program dan organisasi yang kuat.
Keanggotaan partai kader terutama berasal dari golongan kelas menengah ke
atas. Akibatnya, ideologi yang dianut partai kader adalah konservatisme ekstrem

26
Ichlasul Amal, Op.cit., hlm. xv.

112
Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia

atau maksimal reformisme moderat. Karena itu partai kader tidak memerlukan
organisasi besar yang dapat memobilasasi massa. Dengan demikian, dalam
pengertian ini partai kader lebih nampak sebagai suatu kelompok informal
daripada sebagai organisasi yang didasarkan pada disiplin.
Partai massa muncul pada saat terjadi perluasan hak pilih rakyat sehingga
dianggap sebagai suatu respon politis dan organisasional bagi perluasan hak-
hak pilih serta pendorong bagi perluasan lebih lanjut hak-hak pilih tersebut.
Latar belakang muncul partai massa sangat bertolak belakang dengan
kemunculan partai proto maupun partai kader. Partai proto dan partai kader
terbentuk di dalam lingkungan parlemen (intra parlemen), memiliki basis
pendukung kelas menengah ke atas, serta memiliki tingkat organisasial dan
ideologis yang relatif rendah. Sebaliknya, partai massa dibentuk di luar
lingkungan parlemen (ekstra parleementer), berorientasi pada basis pendukung
yang luas, misalnya : buruh, petani, dan kelompok agama, dan memiliki ideologi
yang cukup jelas untuk memobilisasi massa serta mengembangkan organisasi
yang cukup rapi untuk mencapai tujuan-tujuan ideologisnya. Tujuan utama partai
massa tidak hanya memperoleh kemenangan dalam pemilihan, tetapi juga
memberikan pendidikan politik bagi para anggotanya dalam rangka membentuk
elit yang langsung direkrut dari massa.
Partai Catch-all merupakan gabungan dari partai kader dan partai massa.
Istilah Catch-all pertama kali dikemukakan oleh Otto Kirchheimer untuk
memberikan tipologi pada kecenderungan perubahan karakteristik partai-partai
politik di Eropa Barat pada massa pasca Perang Dunia Kedua. Catch-all
dapat diartikan sebagai menampung kelompok-kelompok sosial sebanyak
mungkin untuk dijadikan anggotanya. Tujuan utama partai ini adalah
memenangkan pemilihan dengan cara menawarkan program-program dan
keuntungan bagi anggotanya sebagai ganti ideologi yang kaku. Dengan demikian,
aktivitas partai ini erat berkaitan dengan kelompok kepentingan dan kelompok
penekan.

D. Konflik dan Perpecahan Partai Politik


Di dalam masyarakat yang demokratis, perbedaan pendapat dan
persaingan di antara warga masyarakat atau golongan-golongan merupakan
hal yang wajar. Perbedaan pendapat dan persaingan itu sering kali mengakibatkan
konflik, bahkan mengakibatkan terjadi perpecahan.

113
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Konflik menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah :


1). Percecokan, pertentangan;
2). Ketegangan atau pertentangan antara dua kekuatan atau dua tokoh.27
Menurut Nazuruddin Sjamsuddin, Zukifli Hamid, dan Toto Pribadi
Perpecahan dalam parpol bisa disebabkan tiga hal:28
1) Perbedaan ideologi dari para anggotanya.
2) Perbedaan pelaksanaan kebijaksanaan.
3) Persaingan kepemimpinan dalam partai.
Sedangkan menurut H. Anto Djawamaku Ada beberapa macam konflik
internal dalam tubuh parpol, yaitu :29
1. Karena partai tidak memeliki platform yang jelas, sehingga mengakibatkan
tidak adanya ikatan ideologis di antara anggota partai. Ketika terjadi
perpecahan yang bersifat klik, personal atau kelompok, dengan mudah
hal itu memecah belah partai.
2. Faktor kepemimpinan tunggal dan manajemen yang buruk. Terlalu kuatnya
figur pemimpin parpol berpotensi mematikan kaderisasi di tubuh partai
politik bersangkutan. Figur yang kuat seringkali dianggap mampun menjadi
perekat sementara pada saat bersamaan kader yang memiliki kualifikasi
sepadan tidak pernah dipersiapkan sebagi calon pengganti.
3. Dipandang dari proses regenerasi yang harus dilakukan, kegagalan muncul
tokoh baru dalam parpol menunjukan kegagalan parpol melakukan
reformasi internal, terutama untuk revitaslisasi dan regenerasi terutama
karena figur petingginya menjadi simbol institusi.

III. KONFLIK PARTAI POLITIK DI INDONESIA


A. Berdirinya Partai Politik di Indonesia.
Dari teori-teori ilmu poltik sebagaimana yang telah diuraikan di atas,
maka dapat dikatakan partai politik adalah merupakan alat yang pernah didesain

27
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Cet. Ketiga, tahun 1990, hlm. 455.
28
Nazuruddin Sjamsuddin, Zukifli Hamid, dan Toto Pribadi; “Sistem Politik Indonesia”; Penerbit :
Karunika Jakarta, Universitas Terbuka, 1988, hlm. 5.6.
29
H. Anto Djawamaku; “Percehan Partai Politik, Pemberantasan Korupsi dan Berbagai Masalah
Politik Lainnya”; dalam Jurnal Analisis CSIS : Peran Masyarakat dan Demokrasi Lokal, Jakarta,
Vol. 34, No.2, 2005, hlm. 126-127.

114
Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia

oleh manusia dan paling ampuh untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya. Karena
demikian pentingnya keberadaan partai politik, sampai munculnya pameo dalam
masyarakat bahwa “politisi modern tanpa partai politik sama saja dengan ikan
yang berada di luar air”.
Partai politik sebagai institusi mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan masyarakat dalam mengendalikan kekuasaan. Hubungan ini banyak
dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat yang melahirkannya. Kalau kelahiran
partai politik sebagai pengejewantahan dari kedaulatan rakyat dalam politik
formal, maka semangat kebebasan selalu dikaitkan orang dalam membicarakan
partai politik sebagai pengendali kekuasaan.
Partai poltik sering dianggap sebagi salah satu atribut negara demokrasi
modern, dan tidak ada seorang ahlipun dapat membantahnya, karena partai
politik sangat diperlukan kehadirannya bagi negara-negara yang berdaulat.
Bagi negara-negara yang merdeka dan berdaulat eksistensi partai politik
merupakan prasyarat baik sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi rakyat,
juga terlibat langsung dalam proses penyelenggaraan negara melalui wakil-
wakilnya yang duduk dalam badan-badan perwakilan rakyat.
Partai politik, sering diasosiasikan sebagai organisasi perjuangan, tempat
seseorang/kelompok mencari dan memperjuangkan kedudukan politik dalam
negara. Bentuk perjuangan yang dilakukan oleh setiap partai politik tidak harus
menggunakan kekerasan/kekuatan fisik, tetapi melalui berbagai konflik dan
persaingan baik intern partai maupun antar partai yang terjadi secara melembaga
dalam partai politik umumnya.
Sebagaimana dikatakan oleh Huszar dan Stevenson dalam bukunya
Political Science mengemukakan “Partai Politik ialah sekelompok orang yang
terorganisir serta berusaha untuk mengendalikan pemerintahan agar supaya
dapat melaksanakan progam-progamnya dan menempatkan/menundukkan
anggota-anggotanya dalam jabatan pemerintah; partai politik berusaha untuk
memperoleh kekuasaan dengan dua cara yaitu ikut serta dalam pelaksanaan
pemerintah secara sah, dengan tujuan bahwa dalam pemilu memperoleh suara
mayoritas dalam badan legislatif, atau mungkin bekerja secara tidak sah/subversif
untuk memperoleh kekuasaan tertinggi dalam negara yaitu melalui revolusi atau
coup d’etat.
Persaingan antar partai politik merupakan bagian intergral dalam proses
politik, guna memperoleh kemenangan dala proses pemilu. Dengan suara

115
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

mayoritas dalam pemilu, partai yang bersangkutan akan dapat berbuat banyak
dalam mengendalikan negara dan pemerintahan; memperkuat dan
memperjuangkan ideologi partainya; mempertahankan posisi elitnya dalam
kekuasaan pemerintahan; serta merealisir tujuan lebih lanjut,yaitu mengawasi
kebijaksanaan umum.
Sebagaimana dikatakan Carl.J.Friederich bahwa, partai poltik adalah
sekelompok manusia yang terorganisir secara mapan dengan tujuan untuk
menjamin dan mepertahanlan pemimpin-pemimpinnya, tetap mengendalikan
pemerintahan dan lebih jauh lagi memberikan keuntungan-keuntungan terhadap
anggota partai baik keuntungan yang bersifat materiil maupun spirituiil.
Sejarah mencatat untuk pertama kali partai politik tumbuh dan
berkembang di negara-negara Eropa Barat, merupakan suatu tahap agar
pemerintahan yang dijalankan harus berdasarkan kontitusi dan perwakilan. Hasil
pembangunan politiknya telah membatasi kekuasaan Monarchi absolut dan
perluasan hak-hak warga negara. Keberhasilan inilah yang mendorong
meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan
serta diikutsertakan dalam proses politik. Dan pada gilirannya menempatkan
partai politik berfungsi menjadi penghubung antara rakyat dengan pemerintahan,
dimana rakyat dapat menentukan pilihannya dengan leluasa, memperjuangkan
kepentingannya, mengkritik rezim yamg memerintah, melakukan tata hubungan
politik dan lain-lain.
Telah banyak penelitian empiris menunjukkan perspektif biar di mana
partai-partai politik dan sistem kepartainnya bisa dianalisis dan dipahami secara
lebih mendalam dalam kehidupan masa kini. Selain itu, berbagai usaha telah
dilakukan untuk menghubungkan partai–partai politik dengan lembaga-lembaga
lain dalam masyarakat, dengan berbagai kelompok yang bertujuan mengejar
kekuasaan dan pencapaian tujuan-tujuan dan kepentingannya.
Dalam konteks ini masyarakat sering dipandang sebagai organisme yang
dinamis tempat berkembangnya pelbagai persaingan guna memperoleh prestisi,
status, kekuasaan perasaan aman. Kompetisi yang berkembangnya biasanya
diliputi oleh tujuan-tujuan yang ingin dicapai, bahkan membawa atribut-atribut
kelompok yang berafiliasi untuk diperjuangkan kepentingannya. Kondisi konflik
dan persaingan semacam ini merupakan hal yang lumrah dan tidak bisa
dielakkan dalam kehidupan sehari-hari. Telah banyak penelitian empiris
menunjukkan perspektif baru di mana partai-partai politik bisa dianalisis dan

116
Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia

dipahami secara lebih mendalam.


Kalau kita lihat ketentuan UUD 1945, tidak dijumpai kata-kata partai
politik, hal ini tidak berarti bahwa partai politik tidak boleh ada/diatur, apalagi
kalau menyangkut kepentingan bangsa dan negara. Berdasarkan pengalaman-
pengalaman perkembangan demokrasi di negara kita dalam hubungannya dengan
pelaksanaan UUD 1945, Konsitusi RIS dan UUDS”50, telah timbul
kecenderungan untuk mengatur kehidupan kepartaian.
Dilihat dari sudut ideologi dasar, munculnya partai politik di Indonesia
pada masa pra kemerdekaan secara garis besar adalah sebagai aktualisasi dari
tiga aliran atau pandanagan politik yang menemukan momentum kelahirannya
pada dekade abad ke20. Ketiga aliran itu ialah Islam, Nasionalisme, dan
Marxisme/Sosialisme. Aktualisasi aliran Islam muncul pertama dalam Serikat
Islam (SI), sebagai partai politik pertama yang bercorak nasional. Partai Serikat
Islam sering dianggap sebagai partai pelopor dan partai ini menjadi dinamis di
bawah pimipinan H.O.S.Cokroaminoto. Hal yang menarik dari SI pada periode
awal adalah mampu mengidentifikasikan dirinya dengan aspirasi politik Bumi
Putera untuk memperjuangkan kemerdekaan. Pada tahun 1920-an dengan
kelahiran PKI, PNI, yang bercorak ideologi Marxisme dan Nasionalisme,
membawa dampak wibawa SI menurun, dan tidak mampu bersaing dengan
ideologi-ideologi modern yang berasal dari Barat dalam merebut massa rakyat.
PKI yang lahir pada tahun 1920, dalam tempo yang relatif singkat
berkembang dengan pesat, baik di bidang organisasi maupun dalam usaha
memasyarakatkan Marxisme/Komunisme. Partai ini tidak saja berhasil
mempengaruhi massa rakyat, juga berhasil memikat kaum intelektual, terutama
dengan memperkenalkan analisa Lenin dan Bucharin tentang imperalisme sebagai
tingkat terakhir dari kapitalisme.
Bilamana pemberontakan PKI tahun 1926/1927 tidak terjadi, tidak
menutup kemungkinan PKI akan menjadi pelopor dalam perjuangan anti
kolonialisme/imperalisme. Kesalahan PKI waktu itu membuat satu perjuangan
“pemberontakan” tanpa persiapan yang matang. Periode 1927 sampai dengan
1945 aktualisasi ideologi Marxis hilang dari arena gerakan politik Indonesia.
Kondisi seperti ini, kedudukannya mampu digantikan oleh PNI sebagai partai
radikal-revolusioner dan Soekarno mampu belajar dari pengalaman dan
kelemahan SI dan PKI.

117
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Kalau kita perhatikan jalan pemikiran yang melandasi organisasi-


organisasi politik seperti Serikat Islam (1912), PKI (1921), PSII (1930), PNI
(1927), Partindo, Parindra, dan kelompok-kelompok yang berdasarkan suku
kederahan seperti Paguyuban Pasundan (1914), Serikat Sumatra (1918),
Serikat Ambon (1920), Rukun Minahasa dan Kaum Betawi (1923) dan lain-
lain, jelas perjuangan utama mereka adalah kemerdekaan dari kolonialisme/
imperalisme. Namun kalau dikualifikasi lebih lanjut, akan menunjukkan beragam
alasan dari aliran politik Islam, Nasionalisme dan Marxisme dalam melihat
tuntutan untuk merdeka.
Perjalanan kehidupan partai politik di Indonesia sering dihadapkan pada
berbagai masalah, seperti bagaimana partai politik mengorganisir dirinya agar
terbebas dari ancaman perpecahan; bagaimana hubungan antara partai politik
dengan rakyat pendukungnya; bagaimana peranan ideologi di dalam kehidupan
partai untuk memperoleh sarana materiil; serta bagaimana peranan partai politik
bagi kelancaran perputaran mesin partai.
Achmad Syafe’i Ma’arif mengkonstanti, bahwa perpecahan dalam partai
politik bukan karena perbedaan penafsiran terhadap ideologi yang dianut, tetapi
kerena perbedaan pandangan dalam membawa ideologi itu menjadi aktual.
Hal ini menyangkut sikap terhadap pemerintah Hindia Belanda, misalnya dari
non-kooperatif ke kooperatif. Pada pokoknya sesudah PNI dibubarkan sampai
dengan kedatangan Jepang pada tahun 1942, tidak ada satu ideologi yang
dominan dalam pergerakan politik Indonesia. Sedangkan pada pendudukan
Jepang (1942-1945) seluruh kegiatan partai politik dihentikan.
Setelah proklamasi kemerdekaan BP-KNIP terhitung mulai tanggal 30
Oktober 1945 bertindak sebagai parlemen sementara sebelum diadakan
pemilu, berkeputusan untuk membentuk partai politik dengan konsep banyak
partai (multyparty), dengan pertimbangan bahwa “berbagai pendapat yang ada
di dalam masyarakat akan tersalur secara tertib”. Hal lain yang menjadi dasar
pertimbangan adalah “bahwa partai politik akan memperkokoh perjuangan
mempertahankan kemerdekaan dan pemeliharaan keamanan masyarakat”.
Dengan dikeluarkannya Maklumat Pemerintah tertanggal 3 November
1945 yang ditandatangani oleh Wakil Presiden Moh. Hatta, jelas membawa
partai politik garis tempat berpijak yang kokoh. Isi Maklumat itu antara lain
memuat keinginan pemerintah akan kehadiran partai politik. Dengan partai
politik aliran paham yang ada di dalam masyarakat dapat disalurkan secara

118
Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia

teratur. Lebih meyakinkan lagi, berupa limit waktu pendirian partai politik, yakni
harus sudah tersusun sebelum dilangsungkan pemilihan anggota-anggota badan
perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946. Dengan dasar maklumat pemerintah
ini, lahirlah berbagai partai politik ditambah partai politik yang telah ada pada
zaman penjajahan Belanda maupun partai politik pada masa pendudukan
Jepang.
Partai politik yang berdiri sejak dikeluarkannya Maklumat Pemerintah
tersebut diklasifikasikan dalam buku Kepartaian Indonesia/terbitan Kementerian
Penerangan tahun 1951 sebagai berikut :
1. Dasar Ketuhanan:
a) Masjumi;
b) Partai Sjarikat Indonesia;
c) Pergerakan Tarbiah Islamiah;
d) Partai Kristen Indonesia;
e) Partai Katholik.
2. Dasar kebangsaan;
a) Partai Nasional Indonesia (PNI);
b) Persatuan Indonesia Raya (PIR);
c) Partai Indonesia Raya (Parindra);
d) Partai Rakyat Indonesia (PRI);
e) Partai Demokrasi Rakyat (Banteng);
f) Partai Rakyat Nasional (PRN);
g) Partai Wanita Rakyat (PWR);
h) Partai Kebangsaan Idonesia (Parki);
i) Partai Kedaulatan Rakya (PKR);
j) Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI);
k) Ikatan Nasional Indonesia (INI);
l) Partai Rakyat Jelata (PRJ);
m) Partai Tani Indonesia (PTI);
n) Wanita Demokrasi Indonesia (WDI).
3. Dasar Marxisme:
a) Partai Komunis Indonesia (PKI);
b) Partai Sosialis Indonesia;
c) Partai Murba;
d) Partai Buruh;

119
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

e) Persatuan Rakyat Marhaen Indonesia (Permai).


4. Partai lain-lain:
a) Partai Demokrat Tionghoa (PTDI);
b) Partai Indonesia Nasional (PIN).
Disamping itu ada dua partai politik yang cukup besar pengaruhnya dalam
masyarakat, yang belum tercantum dalam daftar di atas yakni Nahdatul Ulama
(NU) yang secara resmi berdiri sebagai partai politik yang bernafaskan Islam
tahun 1952, dan partai Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI)
berdasarkan kebangsaan.
Adapun Alfian dalam mengelompokkan partai politik berdasarkan hasil
pemilu 1955 yakni;
1. Aliran nasionalis :
a) PNI;
b) PRN;
c) PIR Hazarin;
d) Parindra;
e) Partai Buruh;
f) SKI;
g) PIR-Wongsonegoro.
2. Partai Islam :
a) Masjumi;
b) NU;
c) PSII;
d) Perti
3. Aliran Komunis :
a) PKI;
b) SOBSI;
c) BTI
4. Aliran Sosialis :
a) PSI;
b) GTI.
5. Aliran Kristen :
a) Partai Katolik;
b) Parkindo.

120
Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia

Cara lain menurut Alfian dengan pengelompokkan partai politik; non-


agama, Islam dan Kristen. Pengelompokkan ini nampaknya relevan dengan
pemikiran K.H.A.Wahid Hasjim sebagai akibat dari pemerintahan diktator yang
dilaksanakan oleh Jepang, maka di dalam negara kita berkembang tiga aliran
yakni;
a) Nasionalis opportunis;
b) Nasionalis Islam; dan
c) Komunis/Sosialis.
Ketiga golongan utama inilah yang mendominasi kehidupan politik kita
melalui partai politik. Kalau pada zaman penjajahan konflik antar golongan
dapat ditutupi dengan isu melawan penjajahan, sehingga intrik politik diantara
masing-masing golongan tidak menampilkan perpecahan intern, jalan keluarnya
dengan mendirikan partai baru yang juga mempunyai problem tersendiri dalam
menghadapi pemerintah kolonial. Tetapi dalam perkembangan berikutnya setelah
lepas dari penjajahan, nampak semakin intensif upaya menanamkan ideologi
dalam masyarakat dan masing-masing sebagai golongan politik menampakkan
identitas sebagai golongan yang memang memiliki ambisi untuk mempertaruhkan
segalanya demi mencapai tujuan dalam kekuasaan politik.
Dengan adanya anjuran dan jaminan penderian serta hak hidup partai
politik, maka tahun 1955 kita menyaksikan pertumbuhan partai politik yang
subur dengan diselingi konflik yang terkadang berbau antagonis diantara
berbagai golongan yang ada.
Salah satu ciri utama kehidupan politik masa demokrasi liberal ditandai
dengan kabinet yang berulang kali rata-rata berumur 8 bulan. Itulah resiko
multipartai yakni pertentangan yang tidak pernah berkesudahan antar elit politik
terutama golongan nasionalis dan Islam. Adapun simbul kedua golongan itu
adalah PNI dam Masjumi. Hanya terdapat dua kabinet yang diperintah secara
berimbang antara dua golongan tersebut. Golongan lain adalah PSI, PSII, NU,
IPKI, dan beberapa partai kecil lainnya yang ikut duduk dalam kabinet sampai
berakhirnya pemilu 1955. Yang perlu dicatat bahwa masa ini nampak sekali
percaturan politik bercirikan militansi politisi sipil.
Pemilu 1955 mengangkat posisi NU dan PKI ke panggung politik dan
mendepak PSI ke luar, karena partai ini sangat merosot dalam perolehan suara.
Karena tidak ada partai yang mayoritas dalam pemilu, membuka peluangnya
adanya koalisi. Kondisi semacam ini menjadi salah satu penyebab sering terjadi

121
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

pergantian kabinet, dalam bahasa Orde Baru tidak mungkin menyelenggarakan


pembangunan ekonomi karena perhatian lebih banyak ditujukan kepada
pembenahan bidang politik.
Dengan konflik yang berkepanjangan dalam tubuh badan Konstituante
dalam merumuskan UUD yang bersifat tetap, mendorong Presiden Soekarno
menggunakan kekuasaan ekstrakonstitusional dengan Dekritnya dan melahirkan
demokrasi terpimpin. Masa ini tampak kekuasaan Presiden Soekarno mengisap
hampir seluruh kekuasaan yang ada disekelilingnya dan berakhirlah kekuasaan
partai-partai politik.
Disamping cengkraman kekuasaan Soekarno, masa demokrasi terpimpin
ditandai pula oleh adanya keinginan kuat kaum militer untuk tampil dalam
gelanggang politik dan sejak itu pula muncul kesadaran untuk mengurangi jumlah
partai politik, guna mengatasi berbagai gejolak politik. Dengan dikucilkannya
PNI dan Masjumi oleh Presiden Soekarno, memberikan angin segar bagi PKI
untuk berkiprah lebih leluasa dalam arena politik.
Dalam kurun waktu 1959-1965, tampak antara Soekarno, PKI, dan
TNI-AD saling bersaing, sedang partai lain kurang menunjukkan aset yang
berarti dalam percaturan politik. Dengan kelihaian PKI dalam memobilisasi
massa sampai pelosok pedesaan dengan kader-kader yang disiapkan begitu
intensif dan militan, memberikan keyakinan padanya bahwa kemenangan akan
diraihnya, manakala suatu saat dilakukan pengambil alihan kekuasaan, dengan
cara mengucilkan kekuatan TNI-AD.
Inilah malapetaka yang dikenal dengan pemberontakkan G 30S/PKI
dengan jatuhnya 7 korban perwira tinggi dan menengah TNI-AD. Dari
malapetaka itulah segenap potensi bangsa terutama Militer, Angkatan 66 dan
umat Islam ditambah kekuatan sosial keagamaan lainnya ikut bergerak
menumpas PKI. Dengan kehancuran PKI, menghantarkan militer berkiprah
dalam gelanggang politik. Kehancuran Orde Lama ditandai dengan surutnya
politisi sipil dari gelanggang politik dan naiknya peranan militer, oleh Alfian
memberi istilah dengan “formal politik baru”.
Awal kebangkitan Orde Baru dalam melakukan pembenahan intitusi
politik, tetap berpandangan bahwa jumlah partai yang terlalu banyak tidak
menjamin adanya stabilitas politik. Usaha pertama disamping memulihkan partai-
partai yang tidak secara resmi dilarang, adalah menyusun UU tentang pemilu
yang dianggap sesuai dengan perkembangan masyarakat saat itu. Dan pemilu

122
Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia

yang direncanakan dilaksanakan dalam waktu dekat, ternyata baru terlaksana


tahun 1971.
Kalau kita cermati kembali perjalanan partai politik di Indonesia pada
masa Orde Baru, sebagai peserta pemilu tahun 1971 ada 10 partai politik
yakni:
1) Golongan Karya (Golkar);
2) Partai Nasional Indonesia (PNI);
3) Nahdatul Ulama (NU);
4) Partai Katolik;
5) Partai Murba;
6) Partai Syarikat Islam Indonesia (PSII);
7) Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia (IPKI);
8) Partai Kristen Indonesia (Parkindo);
9) Partai Muslimin Indonesia (Parmusi) dan;
10) Partai Islam Perti (Persatuan Tarbiyah Islamiyah).
Hasil pemilu 1971 yang menunjukkan kemenangan Golkar, kemudian
diikuti oleh Parmusi, NU, dan PNI menunjukkan kekuatan formal partai dilihat
dari suara yang didapat dalam pemilihan. Hal inipun tidak lepas dari jasa ABRI
dalam mensukseskan pemilu pertama dalam masa Orde Baru, yakni memberi
peluang cukup leluasa bagi Golkar untuk berusaha sekuat tenaga guna
memenangkan pemilu dengan dibantu oleh pemerintah.
Dalam gelanggang percaturan politik Orde Baru, nampak hubungan
antara ABRI-teknokrat untuk memperkuat birokrasi pemerintahan demikian
kuat.Tidak jelas siapa menguasai siapa dalam menggambarkan hubungan ini,
hanya kesan umum kekuasaan ABRI lebih kuat dari teknokrat.
Dengan adanya partai mayoritas Golkar, sangat mungkin melapangkan
jalan untuk penyederhanaan kehidupan partai secara melembaga. Melalui proses
fusi yakni partai-partai Islam seperti; NU, Parmusi, PSII, dan Partai Islam.
Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) tergabung menjadi Partai Persatuan
Pembangunan (PPP) adapun Partai Demokrasi Indonesia (PDI) merupakan
gabungan dari Parkindo, Partai Katolik, PNI, Murba dan IPKI.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975, maka Pemilu
1977 dan 1982 hanya tiga peserta pemilu, yakni PPP, Golkar, dan PDI dimana
masing-masing mempunyai ciri-ciri sebagai berikut :

123
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

1. PPP dengan ciri ke-Islaman dan Ideologi Islam.


2. Golkar dengan ciri kekaryaan dan keadilan sosial.
3. PDI dengan ciri demokrasi, kebangsaan (nasionalisme) dan keadilan.
Sedang dalam Pemilu 1987 dan 1992, dengan berlakunya Undang-
Undang Nomor 3 Tahun 1985 (sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 3
Tahun 1975), ditetapkan agar semua parpol hanya menggunakan satu-satunya
azas, yaitu azas Pancasila. Dengan demikian perlombaan pengaruh antar
kontestan hanya berorientasi pada program kerja masing-masing parpol.
Di dalam sejarah politik Indonesia, Pemilu 1999 adalah Pemilu yang
diikuti oleh paling banyak peserta setelah Pemilu 1955. Ada 48 partai yang
mengikuti Pemilu 3 tahun lalu. Itu yang mengikuti Pemilu. Kalau hanya sekedar
mendaftarkan diri ke pemerintah (Departemen Kehakiman dan HAM) pada
waktu itu ada 141. Untuk mengingat kembali partai-partai tersebut berikut ini
bisa dibaca profil masing-masing partai tersebut. Di dalamnya terdapat informasi
mengenai nama partai, ketua umum dan sekretaris jenderal, alamat, tujuan dan
asasnya, serta sejarah singkatnya.
Di dalam Pemilu 2004 terdaftar 24 partai politik yang berhak ikut serta
Pemilu 2004. Ke-24 parpol merupakan hasil dari proses seleksi yang cukup
panjang. Ke-24 partai ini ditetapkan sebagai peserta Pemilu 2004 setelah
berhasil melalui 3 tahap penyaringan. Penyaringan tahap pertama dilakukan
oleh Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia (HAM). Di sini tujuan
penyaringan adalah memberikan status atau pengesahan partai politik sebagai
sebuah badan hukum sebagaimana ditetapkan oleh UU No. 31 Tahun 2002
Tentang Partai Politik. Pada tahap ini ada 50 partai politik yang dinyatakan
lulus penyaringan.
Penyaringan tahap kedua adalah verifikasi administratif oleh Komisi
Pemilihan Umum (KPU). Untuk diketahui, UU No. 12 Tahun 2003 Tentang
Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD menegaskan bahwa partai
politik yang dibenarkan mengikuti Pemilu adalah partai yang sudah mendapat
pengesahan sebagai badan hukum oleh Depkeh dan HAM. Ke-50 partai yang
lulus penyaringan tersebut kemudian mendaftarkan diri ke KPU untuk menjadi
calon peserta Pemilu.
Sesuai dengan amanat UU No. 12 Tahun 2003, khususnya Pasal 7 –
10, yang kemudian dijabarkan di dalam Keputusan KPU No. 105 Tahun 2003
sebagaimana diperbarui dengan Keputusan KPU No. 615 Tahun 2003, sebuah

124
Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia

partai politik berhak mengikuti Pemilu apabila memenuhi sejumlah persyaratan.


Pertama, mempunyai kepengurusan lengkap di sekurang-kurangnya 2/3 jumlah
provinsi di Indonesia. Kedua, mempunyai pengurus lengkap di sekurang-
kurangnya 2/3 kabupaten/kota di setiap provinsi di mana ia mempunyai
kepengurusan. Ketiga, semua kepengurusan tersebut harus mempunyai kantor.
Keempat, mempunyai anggota sekurang-kurangnya 1.000 orang atau 1/1.000
dari jumlah penduduk di setiap daerah di mana ia mempunyai pengurus.
Pembuktian setiap partai yang mendaftarkan diri tersebut dilakukan melalui
proses verifikasi. Ada dua tahap verifikasi di sini, yaitu verifikasi administratif
dan verifikasi faktual. Hanya partai yang lulus verifikasi administratif yang bisa
mengikuti penyaringan tahap selanjutnya (verifikasi faktual).
Penyaringan tahap ketiga adalah verifikasi faktual. Pada tahap ini yang
diteliti adalah memastikan apakah benar dokumen-dokumen mengenai
kepengurusan dan keanggotaan sebagaimana di dalam verifikasi administratif
tersebut mewujud di lapangan. KPU menyusun ketentuan mengenai tata cara
dan prosedur verifikasi tersebut di dalam Keputusan KPU No. 105 Tahun
2003 dan yang diperbarui dengan Keputusan KPU No. 615 Tahun 2003.
Sebuah catatan perlu ditekankan di sini bahwa 6 dari partai tersebut
tidak melalui proses verifikasi yang dilakukan oleh KPU, baik administratif
maupun faktual. Sebab, keenam partai tersebut telah lulus electoral threshold
(mempunyai 2% dari jumlah kursi di DPR) di dalam Pemilu 1999. Sedangkan
menurut UU No. 12 Tahun 2003 partai yang sudah memenuhi electoral
threshold tersebut, langsung ditetapkan menjadi peserta Pemilu 2004 apabila
mendaftarkan diri sebagai calon peserta Pemilu ke KPU. Keenam partai
tersebut adalah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Partai Golongan
Karya, Partai Kebangkitan Bangsa, Partai Persatuan Pembangunan, Partai
Amanat Nasional, dan Partai Bulan Bintang.
Oleh karena jumlah partai yang mengikuti proses verifikasi ada 44. Setelah
keseluruhan proses verifikasi selesai, ada 18 partai yang lulus. Ditambah dengan
6 partai yang lulus threshold, jumlah keseluruhan partai yang berhak menjadi
peserta Pemilu 2004 adalah 24, yaitu :
1. Partai Nasional Indonesia Marhaenisme.
2. Partai Buruh Sosial Demokrat.
3. Partai Bulan Bintang.

125
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

4. Partai Merdeka
5. Partai Persatuan Pembangunan
6. Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan
7. Partai Perhimpunan Indonesia Baru
8. Partai Nasional Banteng Kemerdekaan
9. Partai Demokrat
10. Partai Keadilan Dan Persatuan Indonesia
11. Partai Penegak Demokrasi Indonesia
12. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia
13. Partai Amanat Nasional
14. Partai Karya Peduli Bangsa
15. Partai Kebangkitan Bangsa
16. Partai Keadilan Sejahtera
17. Partai Bintang Reformasi
18. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
19. Partai Damai Sejahtera
20. Partai Golongan Karya
21. Partai Patriot Pancasila
22. Partai Sarikat Indonesia
23. Partai Persatuan Daerah
24. Partai Pelopor

B. Konflik Partai Politik di Era Reformasi


Kecenderungan konflik internal hingga dualisme kepemimpinan partai
politik pascakongres atau muktamar kembali terjadi. Kongres PDIP di Bali
membelah kepemimpinan PDIP menjadi dua poros kekuatan, antara DPP PDIP
Megawati di satu sisi dengan GP PDIP-nya Roy BB Janis di sisi lain. Muktamar
PKB di Semarang membuat dualisme kepemimpinan: Gus Dur-Muhaimin
Iskandar berhadapan dengan DPP PKB versi Alwi Shibah dan Syaifullah Yusuf
yang didukung oleh poros Kiai Langitan-Lirboyo. Sebelumnya soliditas
kepemimpinan DPP PPP juga retak oleh konflik internal antara kaukus elite
DPP pro-Silatnas (Silaturahmi Nasional) yang anti Hamzah Haz dengan yang
anti Silatnas yang pro Hamzah Haz. Fenomena kepengurusan kembar partai
politik (parpol) di Indonesia sebagai imbas konflik internal partai sebenarnya
merupakan fenomena klasik dalam politik kepartaian di Indonesia.

126
Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia

Kepengurusan kembar partai, baca: pembelahan organisasi, telah


mengakar dalam tradisi politik di Indonesia semenjak era kolonialisme hingga
membudaya di alam kemerdekaan, masa Soekarno, Orde Baru (Orba) sampai
sekarang ini. Faktornya berbeda-beda. Di jaman kolonial, terjadi akibat rivalitas
atau proses radikalisasi ideologi, seperti kasus perpecahan Syarikat Islam (SI)
di tahun 1920-an menjadi SI “merah”-nya Semaoen dan SI “putih”-nya HOS
Tjokroaminoto.
Di masa Soekarno, Partai Nasional Indonesia (PNI) diperintahkan
Soekarno untuk re-shaping semangat revolusionernya, dengan akibat mantan
Wakil PM Hardi tergusur. Sedangkan di masa Orba, pembelahan partai
disebabkan oleh intervensi rezim berkuasa yang mencoba menghancurkan
partai-partai yang diprasangkakan membahayakan kekuasaan. PNI, yang
merupakan partai pendukung kaum Soekarnois di awal Orba di –pecah menjadi
PNI ASU (Ali Sastroamidjojo-Surachman) dengan PNI Osa-Usep, dengan
maksud mencegah konsolidasi barisan pendukung Soekarnois. Pembelahan
parpol di awal berkuasanya Orde Baru yang militeristik diorientasikan untuk
memandulkan fungsi kontrol partai atas pemerintahan. Di awal 1990-an Orba
melakukan pembelahan partai pewaris simbol Soekarnois PDI, sebelah di
bawah Soerjadi yang direstui pemerintah, sebelah lagi yang pro-Megawati yang
didukung arus bawah.
Jaman Reformasi Bisa disimpulkan dalam lintasan sejarah kepartaian di
Indonesia, pembelahan (perpecahan) parpol yang menghasilkan dualisme
kepemimpinan struktural disebabkan oleh tiga faktor: Pertama, radikalisasi
ideologi. Kedua, intervensi kekuasaan dalam kerangka kepentingan de-
ideologisasi dan de-parpolisasi. Ketiga, strategi resistensi sosial partai.
Lantas bagaimana kita menempatkan realitas ini di masa reformasi?
Apakah bisa dikatakan konflik partai di era reformasi diakibatkan intervensi
pemerintah, atau karena proses radikalisasi ideologi, ataukah oleh sebab lain?
Sepanjang era reformasi, PPP sempat terpecah menjadi PPP Reformasi
sebelum akhirnya berganti nama menjadi PBR. Kemudian PKB pasca jatuhnya
Gus Dur dari kursi kepresidenan terbelah menjadi PKB Batutulis di bawah
komando matori Abdul Djalil dan PKB Kuningan di bawah komando Alwi
Shihab dengan dukungan Gus Dur dan para kiai (ulama) kharismatik NU.
Perpecahan juga menimpa partai-partai gurem. PDKB, partai kecil yang
sempat menempatkan tujuh kadernya di DPR (periode 1999-2004) terpecah

127
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

menjadi dua sebelum resmi mendaftarkan diri menjadi peserta Pemilu 2004.
PRD, partai radikal yang konsisten melawan Orba, pecah berkeping-keping
menjadi PDS, PRP, dsb.
Akhirnya PDIP pasca kongres Bali, Maret 2005 juga terbelah dua menjadi
PDIP dan Gerakan Pembaruan PDIP. Pepecahan ini dalam analisis sosiologis
dan psikologis politik disebabkan oleh beberapa faktor: Pertama, bipolaritas
kepentingan politik yang berpengaruh terhadap harmoni partai. Bipolaritas antara
pragmatisme yang menjangkiti kader/elite partai berhadapan dengan idealisme
yang dipegang oleh kader/elite partai yang teguh mempertahankan jiwa ideologi
dan garis konstitusional partai. Kedua, terhambatnya proses regenerasi akibat
pola kepemimpinan yang patronatif, kharismatik, feodalistik yang menjegal
kompetisi demokratis dalam pergantian kepemimpinan partai. Karena tokoh
yang kharismatik di dalam partai masih ingin mempertahankan otoritasnya,
sementara kekuatan reformis atau dekonstruksi di jajaran kader semakin kuat
dan menuntut proses percepatan suksesi. Ini terjadi di partai-partai tradisional
yang mengandalkan ikon kepemimpinan partai yang kharismatik dan
berbasiskan loyalitas massa kepada figur pemimpin partai. Ketiga, intervensi
kekuasaan politik dan modal, yang pada umumnya dilakukan poros kepentingan
yang merepresentasikan keinginan pemerintah untuk menumpulkan resistensi
oposisional partai terhadap kebijakan pemerintah. Intervensi modal terjadi dan
dilakukan oleh kekuatan bisnis yang menjadikan parpol sebagai kendaraan
untuk mempermudah penguasaan aset politik yang dekat relasinya dengan
sumber daya ekonomi. Intervensi modal dan intervensi kekuasaan politik ini
mendorong lahirnya budaya money politics, intrik politik, politik dagang sapi
dalam arena kongres atau muktamar partai. Muncul pertanyaan: Mengapa partai-
partai mudah sekali terbawa arus perpecahan yang menyulut lahirnya dualisme
kepemimpinan?
Perpecahan di tubuh partai yang kini marak juga dipengaruhi kondisi
internal partai-partai yang pada umumnya masih merupakan partai tradisional,
yang hanya aktif dan memiliki orientasi berkompetisi dalam pemilu, yang
mengandalkan ikatan perekat antara organisasi dan dukungan massa melalui
kharisma ketokohan, serta yang merepresentasikan diri sebagai partai aliran.
Watak tradisionalisme kepartaian di Indonesia inilah yang menjadikan
partai gagal menjalankan fungsi normatif politik, baik dalam hal edukasi politik
massa konstituen, rekruitmen kader kepemimpinan internal dan eksternal,

128
Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia

komunikasi politik serta aktifitas transformasi konflik. Kegagalan fungsi normatif


partai akhirnya menumbuhkan pola pikir dan perilaku pragmatis di antara kaukus
elite/kader pengurus partai. Mereka aktif di partai dengan tujuan berkarir di
parlemen dan pemerintahan, serta dalam pemahaman bersama meletakkan partai
sebagai kendaraan untuk meraih akses ke sumber daya ekonomi. Sehingga
akhirnya terjadi rivalitas politik yang tujuannya untuk bertahan atau merebut
kepemimpinan di dalam partai.
Para elite partai yang mayoritas bersikap-berfikir pragmatis, menjadikan
partai sebagai alat meniti karir, alat “cari makan dan jabatan”. Karena figur
pemimpin partai membawa kepentingan kaukus elite-nya, sedangkan kaukus
yang gagal menempatkan tokohnya menjadi ketua umum akan tersingkir dari
kepengurusan partai. Berarti karir politik mereka tamat. Untuk mempertahankan
eksistensi dan karir politik, akhirnya mereka—kaukus elite/kader—yang kalah
terdorong membentuk struktur tandingan kepengurusan partai dengan harapan
bisa melakukan posisi tawar sekaligus jika memenangkan pertikaian yuridis di
pengadilan dalam persoalan absah-tidaknya kepengurusan kembar, bisa
menyelamatkan masa depan karir politiknya.

129
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

DAMPAK SISTEM MULTIPARTAI


DALAM KEHIDUPAN POLITIK INDONESIA
Oleh: Drs. Zafrullah Salim, M.H.1

I. Agenda Reformasi
Reformasi sebagai bagian dari perjalanan historis bangsa Indonesia untuk
mengembalikan cita-cita proklamasi seperti yang tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 tidak selalu berkaitan dengan penolakan akan
kemapanan dan konservatisme, melainkan harus dipandang dan diperlakukan
sebagai subsistem dalam proses dinamika mencapai tujuan.2 Pada awal
reformasi jilid kedua (1998)3 yang ditandai dengan berakhirnya rezim
pemerintahan orde baru, Bagir Manan melihat paling tidak ada empat agenda
reformasi dalam rangka revitalisasi tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara yang perlu mendapat perhatian:
1. memulihkan, agar setiap orang dapat menggunakan secara wajar hak-hak
demokratis, hak-hak yang terkandung dalam prinsip negara konstitusional
dan negara berdasarkan atas hukum;
2. reformasi diarahkan pada usaha pemberdayaan suprastruktur dan
infrastruktur politik agar benar-benar menjadi wahana perjuangan
mewujudkan dan melaksanakan tatanan demokrasi (antara lain yang telah
diselenggarakan adalah pemilihan umum yang bebas (1999) serta
kebebasan mendirikan partai);
3. reformasi birokrasi atau administrasi negara (administrative reform), yaitu
melepaskan birokrasi dari ikatan politik primordial dari kekuatan politik
tertentu yang menimbulkan berbagai kecemburuan politik; dan
4. reformasi ekonomi, seperti peniadaan monopoli dan membangun sistem
ekonomi kerakyatan.

1
Direktur Publikasi, Kerjasama, dan Pengundangan Peraturan Perundang-undangan.
2
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Yogyakarta, FH – UII Press, 2003), hlm. 132 – 133.
3
Reformasi tahun 1998 bukan yang pertama, sebab pada waktu angkatan ‘66 mencetuskan tema
tritura (tiga tuntutan rakyat) juga diilhami oleh semangat untuk menuntut “reformasi” menyeluruh
(total) dalam segala segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

130
Dampak Sistem Multipartai Dalam Kehidupan Politik Indonesia

Kebebasan mendirikan partai politik adalah bagian esensial dari hak


konstitusional yang telah dirumuskan oleh founding fathers dalam UUD 1945.4
Peraturan perundang-undangan bidang politik tentu menggunakan prinsip
“kemerdekaan berserikat dan berkumpul”, yang digariskan dalam konstitusi.
Hal itu sejalan pula dengan pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik (civil
and political rights) dalam instrumen hukum internasional, yang kemudian
dimasukkan dalam amendemen UUD 1945 dengan penyisipan Bab XA “Hak
Asasi Manusia”.5

II. Tujuan Pembaharuan Partai Politik


Sejalan dengan dinamika politik terutama sejak reformasi, yang diawali
dengan perubahan dan penambahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945,
upaya pengaturan partai politik terus dilakukan, yang berarti penataan kembali
legislasi partai politik dengan membentuk undang-undang partai politik yang
baru merupakan keharusan yang tidak mungkin dihindari.
Sejak awal tahun ini (4 Januari 2008) berlaku Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, menggantikan Undang-Undang Nomor
31 Tahun 2002. Alasan penggantian undang-undang lama antara lain adalah
belum optimalnya UU No. 31 Tahun 2002 mengakomodasi dinamika dan
perkembangan masyarakat yang menuntut peran partai politik (parpol) dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara. Melalui UU No. 2 Tahun 2008 diharapkan
pula pembaharuan yang mengarah pada penguatan sistem dan kelembagaan
parpol, yang menyangkut domokratisasi internal parpol, transparansi dan
akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan parpol, peningkatan kesetaraan
gender dan kepemimpinan parpol dalam sistem nasional berbangsa dan
bernegara.

4
Pasal 28 UUD 1945: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
5
Butir-butir perubahan UUD 1945 demikian banyak, sehingga Ismail Sunny (guru besar em eritus FH
UI) dalam suatu ceramahnya pernah mempersoalkan apakah masih tepat disebut sebagai UUD 1945?
UUD 1945 lama hanya terdiri dari 71 butir, sedangkan UUD 1945 baru (setelah perubahan) terdiri dari
199 butir, yang berarti perubahan dan penambahan itu sebanyak 174 butir (88 %). (lihat Machmud
Aziz, Kedudukan Peraturan Menteri dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, (makalah,
tidak diterbitkan, 2007).

131
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Di antara substansi UU No. 2 Tahun 2008 yang menarik untuk dianalisis


adalah ketentuan mengenai pembentukan parpol yang mengokohkan kembali
sistem multipartai yang telah diatur sebelumnya.

III. Pembentukan Partai Politik


Infrastruktur politik terpenting dalam negara demokrasi adalah partai
politik, kelompok kepentingan, kelompok penekan dan lembaga-lembaga
swadaya masyarakat.6 Meskipun dalam kajian tentang politik belum ada
kesepakatan tentang definisi partai politik, namun hukum positif di Indonesia
mengartikan partai politik sebagai “organisasi yang bersifat nasional yang
dibentuk oleh sekelompok warga negara secara sukarela atas dasar kesamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan politik
anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-undang
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.”7
Perubahan regulasi yang menempatkan partai politik sebagai “organisasi
yang bersifat nasional” diharapkan dapat mengubah paradigma politik
sekelompok kecil masyarakat yang gemar mendirikan partai politik.8 Undang-
undang berfungsi sebagai “a tool of social engineering”, dalam hal ini tujuan
regulasi partai politik dimaksudkan untuk membatasi kebebasan warga negara
mendirikan partai dengan menetapkan persyaratan yang lebih ketat. Persyaratan
dimaksud antara lain melalui ketentuan mengenai “pembentukan partai politik”9

6
Oka Mahendra, Reformasi Pembangunan Hukum dalam Perspektif Peraturan Perundang-undangan,
(Jakarta, tanpa penerbit, 2005), hlm. 232.
7
UU No. 2 Tahun 2008, Pasal 1 angka 1. Definisi itu berbeda dengan UU No. 31 Tahun 2002, yaitu
dengan mengubah frasa “kepentingan anggota” menjadi “kepentingan politik anggota”, “organisasi
politik” menjadi “organisasi yang bersifat nasional”, dan menghapus frasa “melalui pemilihan umum”.
Perubahan itu sangat signifikan yang mencerminkan arah reformasi di bidang regulasi partai politik.
8
Dalam kajian politik, Miriam Budiardjo mengartikan partai politik sebagai “kelompok yang
terorganisir dengan tujuan memperoleh jabatan-jabatan pemerintahan.” (Rafael Raga Maran, Pengantar
Sosiologi Politik, (Jakarta, Rineka Cipta., 2007). Definisi yang agak lebih luas dikemukakan oleh
Milton C. Cummings yang mendefinisikan “political parties” sebagai “organized groups of individuals
or other other groups who attempt to exercise power in political system by winning control of the the
government or influencing governmental policy.” (lihat Cummings dalam Encyclopedia Americana
(1980), vol. 22, hlm. 336). Tampaknya pembentuk undang-undang tidak berani menegaskan partai
politik sebagai sarana untuk mengantarkan para kadernya memegang kekuasaan pemerintahan,
memegang kendali pemerintahan atau mempengaruhi kebijakan pemerintahan, walaupun dalam pikiran
para pendiri dan pegiat partai politik pada umumnya demikian.
9
Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2008 mengharuskan kepengurusan partai politik harus mempunyai paling
sedikit 60 % dari jumlah provinsi, 50 % dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan,
dan 25 % dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota daerah yang bersangkutan.

132
Dampak Sistem Multipartai Dalam Kehidupan Politik Indonesia

serta organisasi dan kedudukan” partai politik.10 Dengan demikian (calon) para
deklarator politik harus benar-benar berusaha memperoleh dukungan publik
secara nasional sebelum pembentukan partai diumumkan.
Di samping itu, pendaftaran partai politik ke Departemen Hukum dan
HAM untuk memperoleh status sebagai badan hukum (rechtspersoon)
mengharuskan partai politik menempuh proses penelitian dan/atau verifikasi
kelengkapan dan kebenaran semua keterangan dalam Anggaran Dasar yang
tercantum akta notaris11 dan persyaratan lain yang diperlukan untuk menetapkan
status partai sebagai badan hukum.12 Regulasi yang lebih ketat tersebut mungkin
berdasarkan pengalaman sebelumnya tentang banyaknya kelompok masyarakat
yang mengajukan pendaftaran partai politik. Pada tahun 2003 terdapat 112
partai politik yang mendaftar di Departemen Hukum dan HAM untuk diverifikasi,
84 di antaranya memenuhi syarat diverifikasi. Dan, dari 84 partai politik yang
diverifikasi itu, hanya 50 yang memenuhi syarat untuk disahkan sebagai badan
hukum.13
Jelaslah bahwa politik hukum nasional pengaturan partai politik
memberikan kebebasan warga negara mendirikan partai, dengan kebijakan
yang masih longgar dan liberal meskipun agak lebih ketat dibanding dengan
UU No. 31 Tahun 2002 yang telah dicabut.

IV. Sistem Multipartai dan Instabilitas Negara


Politik hukum yang mempertahankan sistem multipartai14 seperti tersirat
dari pengaturan mengenai pembentukan partai politik tentu telah dipertimbangkan
secara matang oleh pembentuk undang-undang. Dengan memperhatikan tipe
partai politik yang dikenal, yaitu (i) sistem partai partai tunggal; (ii) sistem dwi

10
Pasal 17 mengharuskan kepengurusan partai politik ada pada tingkat pusat, provinsi, kabupaten/
kota.. Selanjutnya Pasal 20 susunan dan komposisi kepengurusan partai politik pada semua tingkat
harus pula memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% yang diatur dalam AD/ART
partai politik masing-masing.
11
UU No. 2 Tahun 2008 Pasal 2.
12
UU No. 2 Tahun 2008 Pasal 11.
13
Oka Mahendra. Op.cit., hlm. 234.
14
Secara sederhana system multipartai (system banyak partai, system partai banyak, multi-party
sistem, multi partism, poly-partism) terwujud manakala mayoritas mutlak dalam lembaga perwakilan
rakyat dibentuk atas dasar kerjasama dua kekuatan atau lebih, atau eksekutifnya tidak homogen.
Mayoritas mutlak demikian tidak pernah terwujud tanpa melalui kerjasama,koalisi, atau aliansi. (lihat
Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia, (Bandung, Algensiondo, 2006), hal. 67.

133
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

partai; dan (iii) sistem multipartai, tampaknya pilihan yang ketiga ini paling
banyak diterapkan di berbagai negara yang menganut paham demokrasi (Eropa,
Asia, Afrika, dan Latin Amerika). Sistem kepartaian jelas tidak hanya
menentukan susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD melainkan juga
sistem pemerintahan.
Konsekuensi sistem multipartai tidak hanya mempengaruhi mekanisme
dan efisiensi pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan
daerah di DPR atau DPRD, melainkan juga birokrasi pemerintahan yang harus
dipegang oleh banyak orang sebagai representasi dari partai politik yang menang
dalam pemilihan umum. Wakil-wakil rakyat yang duduk di legislatif dan
pemerintahan akan memperjuangkan aspirasi para pendukungnya yang sangat
bervariasi.
Di antara dampak sistem multipartai yang penting untuk dicatat adalah
keharusan pembentukan pemerintahan koalisi (governing coalition), yang
dalam praktik di masa lalu banyak menimbulkan kesulitan bagi pemerintah untuk
menetapkan kebijakan stratejik karena mempertimbangkan banyak faktor. C.
Cumming menulis: “The existence of several parties can make it more
difficult to form a stable governing coalition than is the face in two-party
sistems.” Selanjutnya, “… such coalition are often fragile. At one extreme,
governments fall repeteadly, and a country with a multiparty system may
have three, or four, or more governments in one year.15
Pada era demokrasi parlementer (1955 – 1959) apa yang dinyatakan
Cumming terbukti benar. Betapa sering terjadi pergantian kabinet, sehingga
instabilitas pemerintahan itu menyebabkan peluang untuk melaksanakan
pembangunan menjadi terabaikan. Atas dasar pengalaman seperti itu pula, pada
masa orde baru, Presiden Soeharto menempuh kebijakan sistem multipartai
terbatas, dengan mendorong fusi partai-partai politik (hasil pemilihan umum
1969) sehingga hanya ada tiga partai politik (Golkar, PPP, dan PDI) dan pada
fraksi DPR/DPRD sederhana menjadi 4 fraksi saja (dengan mengangkat fraksi
ABRI).
Lebih jauh pandangan dan analisis ahli ilmu politik, mengingatkan pula
bahwa sistem multipartai yang dipakai sebagai sarana memodernisasikan

15
Milton C. Cumming, Op.cit., hlm. 339.

134
Dampak Sistem Multipartai Dalam Kehidupan Politik Indonesia

masyarakat di negara sedang berkembang, relatif menumbuhkan instabilitas


dari pada di negara yang menganut sistem dua partai. Pada hakekatnya sistem
multipartai itu tidak banyak berbeda dengan tiadanya partai dalam masyarakat.
Penelitian seperti dkemukakan oleh Samuel P. Huntington yang dikutip Rusadi
Kantaprawira, memberikan gambaran tentang instabilitas akibat sistem-sistem
politik yang dianut, seperti di bawah ini:16

Distribution of Coups and Coup Attempts in Modernizing


Countries Since Independence

Number of Country with Coups


Type of Political System
Countries Number Per Cent
Communist 3 0 0
One-Party 18 2 11
One-Party Dominant 12 3 25
Two Party 11 5 45
Multiparty 22 15 68
No effective Parties 17 14 83

Hasil penelitian Huntington di atas mungkin tidak memasukkan kondisi


partai politik dalam sample-nya, karena dalam masa demokrasi parlementer
dahulu dan bahkan sampai sekarang belum pernah terjadi kudeta (perebutan
kekuasaan) seperti banyak terjadi di negara lain yang menganut sistem multipartai.

V. Representasi Partai atau Rakyat?


Dampak dari sistem multipartai adalah kepentingan apa dan siapa yang
diperjuangkan di parlemen dan pemerintahan? UU No. 2 Tahun 2008
memasukkan kepentingan politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara.
Jelas yang pertama diperjuangkan adalah kepentingan politik anggota. Dari
sosiologi politik hal itu berarti urusan masyarakat, bangsa dan negara nomor
dua. Pertanyaan yang menggelitik, apakah yang berada di DPR/DPRD itu
wakil partai politik atau wakil rakyat? Organ negara tersebut jelas bernama
Dewan Perwakilan Rakyat/Daerah, bukan “dewan perwakilan partai”, yang

16
Rusadi Kantaprawira, Op.cit., hlm. 182.

135
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

berarti mereka seharusnya memperjuangkan kepentingan rakyat secara


keseluruhan. MacIver, dengan mengutip pandangan Nicholas (penulis abad
ke-15) mengatakan partai politik sebagai kendaraan politik paling utama dalam
demokrasi moderen bermaksud untuk mengorganisasi pendapat masyarakat
tentang negara dan memperjuangkannya melalui partai politik. Namun setelah
mereka berada di parlemen, mereka sesungguhnya adalah wakil dari rakyat
(in uno compendio repraesentivo).17
Pengukuhan sistem multipartai dengan UU No. 2 Tahun 2008 yang
diharapkan dapat mewujudkan kaidah demokrasi yang menjunjung tinggi
kedaulatan rakyat, aspirasi, keterbukaan, keadilan, tanggung jawab dan
perlakuan yang tidak diskriminatif seperti yang diharapkan oleh pembentuk
undang-undang, tampaknya masih akan diuji, sejauhmana cita-cita yang demikian
luhur itu terwujud? Nada pesimis tentang keampuhan regulasi politik mengatur
kehidupan politik dalam tatananan budaya hukum, pernah diungkapkan oleh
Daniel S. Lev, pengamat senior politik hukum Indonesia yang menyatakan bahwa
politik tidak berjalan sesuai dengan aturan, tetapi berlangsung sesuai dengan
aturan pengaruh, uang, keluarga, status sosial, dan kekuasaan militer.

17
R.M. MacIver, The Web of Government, (New York, MacMillan, 1958), hlm. 208 – 210.

136
ARTIKEL

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA


NOMOR 2 TAHUN 2008
TENTANG
PARTAI POLITIK

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa kemerdekaan berserikat, berkumpul, serta


mengeluarkan pikiran dan pendapat merupakan hak asasi
manusia yang diakui dan dijamin oleh Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. bahwa untuk memperkukuh kemerdekaan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat merupakan bagian
dari upaya untuk mewujudkan kehidupan bangsa yang kuat
dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang merdeka,
bersatu, berdaulat, adil dan makmur, serta demokratis dan
berdasarkan hukum;
c. bahwa kaidah demokrasi yang menjunjung tinggi kedaulatan
rakyat, aspirasi, keterbukaan, keadilan, tanggung jawab,
dan perlakuan yang tidak diskriminatif dalam Negara
Kesatuan Republik Indonesia perlu diberi landasan hukum;
d. bahwa Partai Politik merupakan sarana partisipasi politik
masyarakat dalam mengembangkan kehidupan demokrasi
untuk menjunjung tinggi kebebasan yang bertanggung jawab;
e. bahwa Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang
Partai Politik perlu diperbarui sesuai dengan tuntutan dan
dinamika perkembangan masyarakat;
f. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud
dalam huruf a, huruf b, huruf c, huruf d, dan huruf e perlu
membentuk Undang-Undang tentang Partai Politik.
Mengingat : Pasal 5 ayat (1), Pasal 6A ayat (2), Pasal 20, Pasal 22E ayat
(3), Pasal 24C ayat (1), Pasal 28, Pasal 28C ayat (2), dan Pasal
28J Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945;

137
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Dengan Persetujuan Bersama


DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
dan
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN:

Menetapkan: UNDANG-UNDANG TENTANG PARTAI POLITIK.

BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan
politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Anggaran Dasar Partai Politik, selanjutnya disingkat AD, adalah peraturan
dasar Partai Politik.
3. Anggaran Rumah Tangga Partai Politik, selanjutnya disingkat ART, adalah
peraturan yang dibentuk sebagai penjabaran AD.
4. Pendidikan Politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang
hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
5. Keuangan Partai Politik adalah semua hak dan kewajiban Partai Politik
yang dapat dinilai dengan uang, berupa uang, atau barang serta segala
bentuk kekayaan yang dimiliki dan menjadi tanggung jawab Partai Politik.
6. Menteri adalah Menteri yang membidangi urusan hukum dan hak asasi
manusia.
7. Departemen adalah Departemen yang membidangi urusan hukum dan hak
asasi manusia.

138
UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

BAB II
PEMBENTUKAN PARTAI POLITIK
Pasal 2
(1) Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 50 (lima puluh)
orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun
dengan akta notaris.
(2) Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
(3) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat AD dan
ART serta kepengurusan Partai Politik tingkat pusat.
(4) AD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit:
a. asas dan ciri Partai Politik;
b. visi dan misi Partai Politik;
c. nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik;
d. tujuan dan fungsi Partai Politik;
e. organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan;
f. kepengurusan Partai Politik;
g. peraturan dan keputusan Partai Politik;
h. pendidikan politik; dan
i. keuangan Partai Politik.
(5) Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh
perseratus) keterwakilan perempuan.
Pasal 3
(1) Partai Politik harus didaftarkan ke Departemen untuk menjadi badan
hukum.
(2) Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai
Politik harus mempunyai:
a. akta notaris pendirian Partai Politik;
b. nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan
pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda
gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai
dengan peraturan perundang-undangan;
c. kantor tetap;
d. kepengurusan paling sedikit 60% (enam puluh perseratus) dari jumlah
provinsi, 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada
setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima perseratus)

139
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota pada daerah yang


bersangkutan; dan
e. memiliki rekening atas nama Partai Politik.
Pasal 4
(1) Departemen menerima pendaftaran dan melakukan penelitian dan/atau
verifikasi kelengkapan dan kebenaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 dan Pasal 3 ayat (2).
(2) Penelitian dan/atau verifikasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dilakukan paling lama 45 (empat puluh lima) hari sejak diterimanya dokumen
persyaratan secara lengkap.
(3) Pengesahan Partai Politik menjadi badan hukum dilakukan dengan
Keputusan Menteri paling lama 15 (lima belas) hari sejak berakhirnya
proses penelitian dan/atau verifikasi.
(4) Keputusan Menteri mengenai pengesahan Partai Politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diumumkan dalam Berita Negara Republik
Indonesia.

BAB III
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR
DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA PARTAI POLITIK
Pasal 5
(1) Perubahan AD dan ART harus didaftarkan ke Departemen paling lama 14
(empat belas) hari terhitung sejak terjadinya perubahan tersebut.
(2) Pendaftaran perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan
akta notaris mengenai perubahan AD dan ART.
Pasal 6
Perubahan yang tidak menyangkut hal pokok sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (4) diberitahukan kepada Menteri tanpa menyertakan akta notaris.
Pasal 7
(1) Menteri mengesahkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya dokumen
persyaratan secara lengkap.
(2) Pengesahan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
(3) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan
dalam Berita Negara Republik Indonesia.

140
UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

Pasal 8
Dalam hal terjadi perselisihan Partai Politik, pengesahan perubahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) tidak dapat dilakukan oleh
Menteri.

BAB IV
ASAS DAN CIRI
Pasal 9
(1) Asas Partai Politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(2) Partai Politik dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan
kehendak dan cita-cita Partai Politik yang tidak bertentangan dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
(3) Asas dan ciri Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) merupakan penjabaran dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

BAB V
TUJUAN DAN FUNGSI
Pasal 10
(1) Tujuan umum Partai Politik adalah:
a. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan
menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia; dan
d. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
(2) Tujuan khusus Partai Politik adalah:
a. meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka
penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan;
b. memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan

141
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

c. membangun etika dan budaya politik dalam kehidupan bermasyarakat,


berbangsa, dan bernegara.
(3) Tujuan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2)
diwujudkan secara konstitusional.
Pasal 11
(1) Partai Politik berfungsi sebagai sarana:
a. pendidikan politik bagi anggota dan masyarakat luas agar menjadi
warga negara Indonesia yang sadar akan hak dan kewajibannya dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
b. penciptaan iklim yang kondusif bagi persatuan dan kesatuan bangsa
Indonesia untuk kesejahteraan masyarakat;
c. penyerap, penghimpun, dan penyalur aspirasi politik masyarakat dalam
merumuskan dan menetapkan kebijakan negara;
d. partisipasi politik warga negara Indonesia; dan
e. rekrutmen politik dalam proses pengisian jabatan politik melalui
mekanisme demokrasi dengan memperhatikan kesetaraan dan keadilan
gender.
(2) Fungsi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diwujudkan
secara konstitusional.

BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 12
Partai Politik berhak:
a. memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil dari negara;
b. mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi secara mandiri;
c. memperoleh hak cipta atas nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik
sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
d. ikut serta dalam pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden,
serta kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
e. membentuk fraksi di tingkat Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;

142
UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

f. mengajukan calon untuk mengisi keanggotaan Dewan Perwakilan Rakyat


dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan;
g. mengusulkan pergantian antarwaktu anggotanya di Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
h. mengusulkan pemberhentian anggotanya di Dewan Perwakilan Rakyat dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan peraturan perundang-
undangan;
i. mengusulkan pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden, calon gubernur
dan wakil gubernur, calon bupati dan wakil bupati, serta calon walikota
dan wakil walikota sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
j. membentuk dan memiliki organisasi sayap Partai Politik; dan
k. memperoleh bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
Pasal 13
Partai Politik berkewajiban:
a. mengamalkan Pancasila, melaksanakan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945, dan peraturan perundang-undangan;
b. memelihara dan mempertahankan keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
c. berpartisipasi dalam pembangunan nasional;
d. menjunjung tinggi supremasi hukum, demokrasi, dan hak asasi manusia;
e. melakukan pendidikan politik dan menyalurkan aspirasi politik anggotanya;
f. menyukseskan penyelenggaraan pemilihan umum;
g. melakukan pendaftaran dan memelihara ketertiban data anggota;
h. membuat pembukuan, memelihara daftar penyumbang dan jumlah
sumbangan yang diterima, serta terbuka kepada masyarakat;
i. menyampaikan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran
keuangan yang bersumber dari dana bantuan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara dan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah secara
berkala 1 (satu) tahun sekali kepada Pemerintah setelah diperiksa oleh
Badan Pemeriksa Keuangan;
j. memiliki rekening khusus dana kampanye pemilihan umum; dan
k. menyosialisasikan program Partai Politik kepada masyarakat.

143
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

BAB VII
KEANGGOTAAN DAN KEDAULATAN ANGGOTA
Pasal 14
(1) Warga negara Indonesia dapat menjadi anggota Partai Politik apabila telah
berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin.
(2) Keanggotaan Partai Politik bersifat sukarela, terbuka, dan tidak diskriminatif
bagi warga negara Indonesia yang menyetujui AD dan ART.
Pasal 15
(1) Kedaulatan Partai Politik berada di tangan anggota yang dilaksanakan
menurut AD dan ART.
(2) Anggota Partai Politik mempunyai hak dalam menentukan kebijakan serta
hak memilih dan dipilih.
(3) Anggota Partai Politik wajib mematuhi dan melaksanakan AD dan ART
serta berpartisipasi dalam kegiatan Partai Politik.
Pasal 16
(1) Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotannya dari Partai Politik
apabila:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri secara tertulis;
c. menjadi anggota Partai Politik lain; atau
d. melanggar AD dan ART.
(2) Tata cara pemberhentian keanggotaan Partai Politik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam peraturan Partai Politik.
(3) Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga
perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai Politik diikuti
dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

BAB VIII
ORGANISASI DAN TEMPAT KEDUDUKAN
Pasal 17
(1) Organisasi Partai Politik terdiri atas:
a. organisasi tingkat pusat;
b. organisasi tingkat provinsi; dan
c. organisasi tingkat kabupaten/kota.

144
UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

(2) Organisasi Partai Politik dapat dibentuk sampai tingkat kelurahan/desa


atau sebutan lain.
(3) Organisasi Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mempunyai
hubungan kerja yang bersifat hierarkis.
Pasal 18
(1) Organisasi Partai Politik tingkat pusat berkedudukan di ibu kota negara.
(2) Organisasi Partai Politik tingkat provinsi berkedudukan di ibu kota provinsi.
(3) Organisasi Partai Politik tingkat kabupaten/kota berkedudukan di ibu kota
kabupaten/kota.

BAB IX
KEPENGURUSAN
Pasal 19
(1) Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat berkedudukan di ibu kota negara.
(2) Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi berkedudukan di ibu kota
provinsi.
(3) Kepengurusan Partai Politik tingkat kabupaten/kota berkedudukan di ibu
kota kabupaten/kota.
(4) Dalam hal kepengurusan Partai Politik dibentuk sampai tingkat kelurahan/
desa atau sebutan lain, kedudukan kepengurusannya disesuaikan dengan
wilayah yang bersangkutan.
Pasal 20
Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan
keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur
dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing.
Pasal 21
Kepengurusan Partai Politik dapat membentuk badan/lembaga yang bertugas
untuk menjaga kehormatan dan martabat Partai Politik beserta anggotanya.
Pasal 22
Kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui
musyawarah sesuai dengan AD dan ART.
Pasal 23
(1) Pergantian kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai
dengan AD dan ART.

145
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

(2) Susunan kepengurusan hasil pergantian kepengurusan Partai Politik tingkat


pusat didaftarkan ke Departemen paling lama 30 (tiga puluh) hari terhitung
sejak terjadinya pergantian kepengurusan.
(3) Susunan kepengurusan baru Partai Politik sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Menteri paling lama 7 (tujuh) hari
terhitung sejak diterimanya persyaratan.
Pasal 24
Dalam hal terjadi perselisihan kepengurusan Partai Politik hasil forum tertinggi
pengambilan keputusan Partai Politik, pengesahan perubahan kepengurusan
belum dapat dilakukan oleh Menteri sampai perselisihan terselesaikan.
Pasal 25
Perselisihan kepengurusan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal
24 terjadi apabila pergantian kepengurusan Partai Politik yang bersangkutan
ditolak oleh paling rendah 2/3 (dua pertiga) dari jumlah peserta forum tertinggi
pengambilan keputusan Partai Politik.
Pasal 26
(1) Anggota Partai Politik yang berhenti atau yang diberhentikan dari
kepengurusan dan/atau keanggotaan Partai Politiknya tidak dapat
membentuk kepengurusan dan/atau Partai Politik yang sama.
(2) Dalam hal dibentuk kepengurusan dan/atau Partai Politik yang sama
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), keberadaannya tidak diakui oleh
Undang-Undang ini.

BAB X
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Pasal 27
Pengambilan keputusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan secara
demokratis.

Pasal 28
Pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sesuai dengan
AD dan ART Partai Politik.

146
UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

BAB XI
REKRUTMEN POLITIK
Pasal 29
(1) Partai Politik melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia untuk
menjadi:
a. anggota Partai Politik;
b. bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah;
c. bakal calon Presiden dan Wakil Presiden; dan
d. bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
(2) Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta peraturan
perundang-undangan.
(3) Penetapan atas rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dilakukan dengan keputusan pengurus Partai Politik sesuai dengan AD
dan ART.

BAB XII
PERATURAN DAN KEPUTUSAN PARTAI POLITIK
Pasal 30
Partai Politik berwenang membentuk dan menetapkan peraturan dan/atau
keputusan Partai Politik berdasarkan AD dan ART serta tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan.

BAB XIII
PENDIDIKAN POLITIK
Pasal 31

(1) Partai Politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan
ruang lingkup tanggung jawabnya dengan memperhatikan keadilan dan
kesetaraan gender dengan tujuan antara lain:
a. meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
b. meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan
c. meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter
bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.

147
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

(2) Pendidikan politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk
membangun etika dan budaya politik sesuai dengan Pancasila.

BAB XIV
PENYELESAIAN PERSELISIHAN PARTAI POLITIK
Pasal 32
(1) Perselisihan Partai Politik diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat.
(2) Dalam hal musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak tercapai, penyelesaian perselisihan Partai Politik ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan.
(3) Penyelesaian perselisihan di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat dilakukan melalui rekonsiliasi, mediasi, atau arbitrase Partai
Politik yang mekanismenya diatur dalam AD dan ART.
Pasal 33
(1) Perkara Partai Politik berkenaan dengan ketentuan Undang-Undang ini
diajukan melalui pengadilan negeri.
(2) Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir,
dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
(3) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh pengadilan
negeri paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan perkara terdaftar di
kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah Agung paling lama
30 (tiga puluh) hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan
Mahkamah Agung.

BAB XV
KEUANGAN
Pasal 34
(1) Keuangan Partai Politik bersumber dari:
a. iuran anggota;
b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan
c. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(2) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat berupa
uang, barang, dan/atau jasa.
(3) Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c diberikan secara proporsional kepada Partai Politik yang

148
UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan


Rakyat Daerah provinsi, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/
kota yang penghitungannya berdasarkan jumlah perolehan suara.
(4) Bantuan keuangan kepada Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat
(3) diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 35
(1) Sumbangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 ayat (1) huruf b yang
diterima Partai Politik berasal dari:
a. perseorangan anggota Partai Politik yang pelaksanaannya diatur dalam
AD dan ART;
b. perseorangan bukan anggota Partai Politik, paling banyak senilai
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) per orang dalam waktu 1
(satu) tahun anggaran; dan
c. perusahaan dan/atau badan usaha, paling banyak senilai
Rp4.000.000.000,00 (empat miliar rupiah) per perusahaan dan/atau
badan usaha dalam waktu 1 (satu) tahun anggaran.
(2) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) didasarkan pada prinsip
kejujuran, sukarela, keadilan, terbuka, tanggung jawab, serta kedaulatan
dan kemandirian Partai Politik.
Pasal 36
(1) Sumber keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 34 merupakan
pendapatan yang dapat digunakan untuk pengeluaran dalam pelaksanaan
program, mencakup pendidikan politik, dan operasional sekretariat Partai
Politik.
(2) Penerimaan dan pengeluaran keuangan Partai Politik dikelola melalui
rekening kas umum Partai Politik.
(3) Pengurus Partai Politik di setiap tingkatan melakukan pencatatan atas semua
penerimaan dan pengeluaran keuangan Partai Politik.
Pasal 37
Pengurus Partai Politik di setiap tingkatan organisasi menyusun laporan
pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran keuangan setelah tahun
anggaran berkenaan berakhir.
Pasal 38
Hasil pemeriksaan laporan pertanggungjawaban penerimaan dan pengeluaran
keuangan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 terbuka untuk
diketahui masyarakat.

149
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Pasal 39
Pengelolaan keuangan Partai Politik diatur lebih lanjut dalam AD dan ART.

BAB XVI
LARANGAN
Pasal 40
(1) Partai Politik dilarang menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar
yang sama dengan:
a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia;
b. lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah;
c. nama, bendera, lambang negara lain atau lembaga/badan internasional;
d. nama, bendera, simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi
terlarang;
e. nama atau gambar seseorang; atau
f. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan nama, lambang, atau tanda gambar Partai Politik lain.
(2) Partai Politik dilarang:
a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-
undangan; atau
b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(3) Partai Politik dilarang:
a. menerima dari atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam
bentuk apa pun yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan;
b. menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak
mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas;
c. menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan
usaha melebihi batas yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan;
d. meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, dan badan usaha milik desa atau dengan sebutan
lainnya;atau
e. menggunakan fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota sebagai sumber
pendanaan Partai Politik.

150
UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

(4) Partai Politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham
suatu badan usaha.
(5) Partai Politik dilarang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan
ajaran atau paham komunisme/Marxisme-Leninisme.

BAB XVII
PEMBUBARAN DAN PENGGABUNGAN PARTAI POLITIK
Pasal 41
Partai Politik bubar apabila:
a. membubarkan diri atas keputusan sendiri;
b. menggabungkan diri dengan Partai Politik lain; atau
c. dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Pasal 42
Pembubaran Partai Politik atas keputusan sendiri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 huruf a dilakukan berdasarkan AD dan ART.
Pasal 43
(1) Penggabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf
b dapat dilakukan dengan cara:
a. menggabungkan diri membentuk Partai Politik baru dengan nama,
lambang, dan tanda gambar baru; atau
b. menggabungkan diri dengan menggunakan nama, lambang, dan tanda
gambar salah satu Partai Politik.
(2) Partai Politik baru hasil penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 dan Pasal 3.
(3) Partai Politik yang menerima penggabungan Partai Politik lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak diwajibkan untuk memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Pasal 44
(1) Pembubaran Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
diberitahukan kepada Menteri.
(2) Menteri mencabut status badan hukum Partai Politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 45
Pembubaran Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 diumumkan
dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh Departemen.

151
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

BAB XVIII
PENGAWASAN
Pasal 46
Pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang ini dilakukan oleh lembaga
negara yang berwenang secara fungsional sesuai dengan undang-undang.

BAB XIX
SANKSI
Pasal 47
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif
berupa penolakan pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh
Departemen.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
huruf h dikenai sanksi administratif berupa teguran oleh Pemerintah.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
huruf i dikenai sanksi administratif berupa penghentian bantuan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
sampai laporan diterima oleh Pemerintah dalam tahun anggaran berkenaan.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
huruf j dikenai sanksi administratif berupa teguran oleh Komisi Pemilihan
Umum.
(5) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
ayat (3) huruf e dikenai sanksi administratif yang ditetapkan oleh badan/
lembaga yang bertugas untuk menjaga kehormatan dan martabat Partai
Politik beserta anggotanya.
Pasal 48
(1) Partai politik yang telah memiliki badan hukum melanggar ketentuan Pasal
40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan kepengurusan
oleh pengadilan negeri.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sementara Partai
Politik yang bersangkutan sesuai dengan tingkatannya oleh pengadilan
negeri paling lama 1 (satu) tahun.
(3) Partai Politik yang telah dibekukan sementara sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan melakukan pelanggaran lagi terhadap ketentuan sebagaimana

152
UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

dimaksud dalam Pasal 40 ayat (2) dibubarkan dengan putusan Mahkamah


Konstitusi.
(4) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 ayat (3) huruf a, pengurus Partai Politik yang bersangkutan
dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun dan denda 2
(dua) kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya.
(5) Dalam hal terjadi pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 40 ayat (3) huruf b, huruf c, dan huruf d, pengurus Partai
Politik yang bersangkutan dipidana dengan pidana penjara paling lama 1
(satu) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana yang diterimanya.
(6) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
ayat (4) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sementara
kepengurusan Partai Politik yang bersangkutan sesuai dengan tingkatannya
oleh pengadilan negeri serta aset dan sahamnya disita untuk negara.
(7) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
ayat (5) dikenai sanksi pembubaran Partai Politik oleh Mahkamah
Konstitusi.
Pasal 49
(1) Setiap orang atau perusahaan dan/atau badan usaha yang memberikan
sumbangan kepada Partai Politik melebihi ketentuan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b dan huruf c dipidana dengan pidana penjara
paling lama 6 (enam) bulan dan denda 2 (dua) kali lipat dari jumlah dana
yang disumbangkannya.
(2) Pengurus Partai Politik yang menerima sumbangan dari perseorangan dan/
atau perusahaan/badan usaha yang melebihi ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b dan huruf c dipidana dengan
pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan denda 2 (dua) kali lipat dari
jumlah dana yang diterima.
(3) Sumbangan yang diterima Partai Politik dari perseorangan dan/atau
perusahaan/badan usaha yang melebihi batas ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) huruf b dan huruf c disita untuk negara.
Pasal 50
Pengurus Partai Politik yang menggunakan Partai Politiknya untuk melakukan
kegiatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40 ayat (5) dituntut berdasarkan
Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Perubahan Kitab Undang-
Undang Hukum Pidana yang berkaitan dengan Kejahatan terhadap Keamanan

153
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Negara dalam Pasal 107 huruf c, huruf d, atau huruf e, dan Partai Politiknya
dapat dibubarkan.

BAB XX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 51
(1) Partai Politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik tetap diakui
keberadaannya.
(2) Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) paling lama pada
forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik pada kesempatan
pertama sesuai dengan AD dan ART setelah Undang-Undang ini
diundangkan.
(3) Partai Politik yang sudah mendaftarkan diri ke Departemen sebelum
Undang-Undang ini diundangkan, diproses sebagai badan hukum menurut
Undang-Undang ini.
(4) Penyelesaian perkara Partai Politik yang sedang dalam proses pemeriksaan
di pengadilan dan belum diputus sebelum Undang-Undang ini diundangkan,
penyelesaiannya diputus berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2002 tentang Partai Politik.
(5) Perkara Partai Politik yang telah didaftarkan ke pengadilan sebelum
Undang-Undang ini diundangkan dan belum diproses, perkara dimaksud
diperiksa dan diputus berdasarkan Undang-Undang ini.

BAB XXI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 52
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2002 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4251), dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 53
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

154
UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-


Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 4 Januari 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 Januari 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2008 NOMOR 2

155
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2008
TENTANG
PARTAI POLITIK

I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin
kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagai
hak asasi manusia yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan kehidupan
kebangsaan yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil, demokratis, dan berdasarkan hukum.
Dinamika dan perkembangan masyarakat yang majemuk menuntut
peningkatan peran, fungsi, dan tanggung jawab Partai Politik dalam
kehidupan demokrasi secara konstitusional sebagai sarana partisipasi politik
masyarakat dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia,
menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila sebagaimana
termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan mewujudkan kesejahteraan
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik belum
optimal mengakomodasi dinamika dan perkembangan masyarakat yang
menuntut peran Partai Politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
serta tuntutan mewujudkan Partai Politik sebagai organisasi yang bersifat
nasional dan modern sehingga Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002
tentang Partai Politik perlu diperbarui.
Undang-Undang ini mengakomodasi beberapa paradigma baru seiring
dengan menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia, melalui sejumlah
pembaruan yang mengarah pada penguatan sistem dan kelembagaan Partai
Politik, yang menyangkut demokratisasi internal Partai Politik, transparansi
dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan Partai Politik, peningkatan
kesetaraan gender dan kepemimpinan Partai Politik dalam sistem nasional

156
Penjelasan UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

berbangsa dan bernegara.


Dalam Undang-Undang ini diamanatkan perlunya pendidikan politik dengan
memperhatikan keadilan dan kesetaraan gender yang ditujukan untuk
meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban, meningkatkan
partisipasi politik dan inisiatif warga negara, serta meningkatkan kemandirian
dan kedewasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk itu,
pendidikan politik terus ditingkatkan agar terbangun karakter bangsa yang
merupakan watak atau kepribadian bangsa Indonesia yang terbentuk atas
dasar kesepahaman bersama terhadap nilai-nilai kebangsaan yang lahir
dan tumbuh dalam kehidupan bangsa, antara lain kesadaran kebangsaan,
cinta tanah air, kebersamaan, keluhuran budi pekerti, dan keikhlasan untuk
berkorban bagi kepentingan bangsa.
Dalam Undang-Undang ini dinyatakan secara tegas larangan untuk
menganut, mengembangkan, dan menyebarkan ajaran komunisme/
Marxisme-Leninisme sebagaimana diamanatkan oleh Ketetapan MPRS
Nomor XXV/MPRS/Tahun 1966. Ketetapan MPRS ini diberlakukan
dengan memegang teguh prinsip berkeadilan dan menghormati hukum,
demokrasi, dan hak asasi manusia.
Seluruh pokok pikiran di atas dituangkan dalam Undang-Undang ini dengan
sistematika sebagai berikut: (1) Ketentuan Umum; (2) Pembentukan Partai
Politik; (3) Perubahan Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga; (4)
Asas dan Ciri; (5) Tujuan dan Fungsi; (6) Hak dan Kewajiban; (7)
Keanggotaan dan Kedaulatan Anggota; (8) Organisasi dan Tempat
Kedudukan; (9) Kepengurusan; (10) Pengambilan Keputusan; (11)
Rekrutmen Politik; (12) Peraturan dan Keputusan Partai Politik; (13)
Pendidikan Politik; (14) Penyelesaian Perselisihan Partai Politik; (15)
Keuangan; (16) Larangan; (17) Pembubaran dan Penggabungan Partai
Politik; (18) Pengawasan; (19) Sanksi; (20) Ketentuan Peralihan; dan
(21) Ketentuan Penutup.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas.
Pasal 2
Cukup jelas.

157
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “mempunyai persamaan pada
pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, dan
tanda gambar Partai Politik lain” adalah memiliki kemiripan
yang menonjol dan menimbulkan kesan adanya persamaan,
baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan
maupun kombinasi antara unsur-unsur yang terdapat dalam
nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik lain.
Huruf c
Kantor tetap ialah kantor yang layak, milik sendiri, sewa,
pinjam pakai, serta mempunyai alamat tetap.
Huruf d
Kota/kabupaten administratif di wilayah Daerah Khusus Ibu
Kota Jakarta kedudukannya setara dengan kota/kabupaten
di provinsi lain.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Penelitian dan/atau verifikasi Partai Politik dilakukan secara
administratif dan periodik oleh Departemen bekerja sama dengan
instansi terkait.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.

158
Penjelasan UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Organisasi sayap Partai Politik merupakan organisasi yang
dibentuk oleh dan/atau menyatakan diri sebagai sayap Partai Politik
sesuai dengan AD dan ART masing-masing Partai Politik.
159
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Huruf k
Yang memperoleh bantuan keuangan adalah Partai Politik yang
mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah kabupaten/kota
Pasal 13
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Laporan penggunaan dana bantuan dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan
disampaikan oleh Partai Politik kepada Departemen Dalam
Negeri.
Huruf j
Rekening khusus dana kampanye pemilihan umum hanya
diberlakukan bagi Partai Politik peserta pemilihan umum.
Huruf k
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.

160
Penjelasan UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas
.

Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Yang dimaksud dengan “forum tertinggi pengambilan keputusan Partai
Politik” adalah musyawarah nasional, kongres, muktamar, atau sebutan
lainnya yang sejenis.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.

161
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “perselisihan Partai Politik” meliputi antara
lain: (1) perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan; (2)
pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik; (3) pemecatan
tanpa alasan yang jelas; (4) penyalahgunaan kewenangan; (5)
pertanggung jawaban keuangan; dan/atau (6) keberatan terhadap
keputusan Partai Politik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.

162
Penjelasan UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pihak asing” dalam ketentuan ini
adalah warga negara asing, pemerintahan asing, atau
organisasi kemasyarakatan asing.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “identitas yang jelas” dalam ketentuan
ini adalah nama dan alamat lengkap perseorangan atau
perusahaan dan/atau badan usaha.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Larangan dalam ketentuan ini tidak termasuk sumbangan dari
anggota fraksi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Penggabungan Partai Politik dalam ketentuan ini bukan merupakan
gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
kabupaten/kota hasil pemilihan umum tahun 2004 tidak hilang
bagi Partai Politik yang bergabung.

163
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Yang dimaksud dengan “sesuai dengan undang-undang” dalam
ketentuan ini adalah sesuai dengan undang-undang organik yang
memberikan kewenangan kepada lembaga negara untuk melakukan
pengawasan.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA


TAHUN 2008 NOMOR 4801

164
BIODATA

BIODATA PENULIS

PROF. DR. JEANE NELTJE SALY, S.H.,M.H.


Lahir di Kupang, 1 Nopember 1947. Riwayat Pendidikan:
Sekolah Hakim dan Jaksa Negeri Malang (1967), S1 Hukum
(1978), S2 di Universitas Tarumanegara-Jakarta, S3 di
Universitas Padjadjaran-Bandung. Pendidikan lainnya:
Pendidikan Perancang Peraturan Perundang-undangan
(1978-1979); Pendidikan Peneliti Hukum (1985-1986);
Pendidikan Peneliti Hukum Departemen Hukum (1981-
1984); Mengikuti Program Post Doctoral Legal Drafting
di International Institut of Social Study, Den Haag Belanda (1985-1986);
Mengikuti Program Comporative Study Contract Law, Malaysia (1990). Riwayat
Pekerjaan: Calon Hakim Muda pada Pengadilan Negeri Ujung Pandang (1967-
1969), dipindahkan ke Pengadilan Negeri Bau-Bau Buton (1969-1972), alih tugas
ke Departemen Kehakiman (1972-1979), dan di Badan Pembinaan Hukum
Nasional, Legal Drafter/Perancang Peraturan Perundang-undangan, Direktorat
Jenderal Peraturan Perundang-undangan (1980-1998), Peneliti Hukum di Badan
Pembinaan Hukum Nasional (1998), diangkat oleh LIPI sebagai Peneliti di Bidang
Penelitian Hukum Badan Pembinaan Nasional Departemen Hukum dan HAM
RI, memberi kuliah hukum Dagang/Bisnis International di Beberapa Universitas
Swasta, seperti Universitas 17 Agustus 1945, Universitas Bung Karno dan
Universitas Nasional Jakarta. Melakukan kegiatan penelitian, pengkajian Hukum,
penulisan karya ilmiah, dan memberikan seminar/loka karya dan penataran, serta
aktif sebagai peserta seminar conferensi di negara lain (1979-2006), dalam
berbagai bidang ilmu hukum, antara lain: bidang Hukum Dagang International
dan Pembangunan Ekonomi Nasional Negara berkembang, dan Perlindungan
Wanita, antara lain: Penelitian Asas-Asas Hukum Nasional Penelitian Hukum
Asas-Asas Hukum Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Penelitian
Hukum Ekonomi Lemah, Pemerintah Daerah dan Globalisasi Perdagangan,
Perlindungan Usaha Kecil di Wilayah Indonesia dalam Penerapan World Trade
Organization (WTO), Pengkajian Hukum Asylum, Refugees, Dumping dan
Negara berkembang dalam Pembangunan Ekonomi, dan Globalisasi Perdagangan
Persaingan Curang dalam Perdagangan International dan Pengaruhnya terhadap
Pembangunan Ekonomi Negara-Negara ASEAN khususnya bagi Indonesia
dalam kaitannya dengan penerapan WTO, dan AFTA/Asean Free Trade Area,
RUU Perseroan Terbatas, RUU Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE), RUU Merek
Paten, Hak Cipta, serta ceramah dalam bidang Hukum antara lain: Pembangunan
Ekonomi dan Globalisasi Perdagangan Dunia, juga Perlindungan Hukum terhadap
Wanita dalam penerapan Convention on The Elimination of All Forms of

165
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

Diskrimination Againts Konvensi/Elimination terhadap segala bentuk


Diskriminasi Perempuan, Perlindungan Hukum terhadap Penjualan Perempuan
dan Anak-Anak/The Elimination of Trafficking in Women and Children dalam
kaitan Tindak Perlindungan Pemerintah, serta penulisan buku/artikel tentang Bisnis
Internasional serta aktif sebagai peserta seminar di negara-negara lain.

Drs. AGUN GUNANDJAR SUDARSA, Bc.IP.,M.Si


Lahir di Bandung, 13 November 1958, Pekerjaan : Anggota
Fraksi Partai Golkar DPR RI, Agama Islam. Riwayat
Pendidikan: SD Negeri di Jakarta, Lulus tahun 1970; SMP
Negeri di Jakarta, Lulus tahun 1973; STM Negeri di Jakarta,
Lulus tahun 1976; Mahasiswa Teknik sipil STTN, 1977-
1979; AKIP Dept. Kehakiman di Jakarta, Lulus tahun 1982;
STIA LAN Jakarta, Lulus Tahun 1991; Mahasiswa Pasca
Sarjana Adm. Negara UI. Tahun 1994-1996; Mahasiswa
Pasca Sarjana Kriminologi UI, Tahun 2004-2006; Riwayat
Pekerjaan: Pegawai Lembaga Pemasyarakatan Kls. I Tangerang, Tahun1982-
1984; Staf pengajar AKIP, PUSDIKLAT Pegawai Departemen Kehakiman,
Tahun 1985-1996; Anggota Komisi I DPR RI. Tahun 1997-1999; Anggota Komisi
II DPR RI. Tahun 199-2004; Anggota Panitia Ad-Hoc I Badan Pekerja MPR-
RI, Tahun 1999-2004; Anggota Badan Legislasi DPR RI, Tahun 2003-2004;
Anggota Balai Pertimbangan Pemasyarakatan Departemen Kehakiman (UU
No. 12 Tahun 1985), Tahun 1997-sekarang; Anggota Komisi III DPR RI, Tahun
2004-sekarang: Anggota Forum Konstitusi, Tahun 2005-sekarang. Riwayat
Organisasi: Ketua Umum Komisariat HMI Teknik Sipil, Tahun 1978-1979;
Ketua Umum Komisariat HMI AKIP, Tahun 1979-1980; Ketua Umum SENAT
Mahasiswa AKIP, Tahun 1981-1982; Ketua Umum SENAT Mahasiswa LAN,
Tahun 1989-1990; Sekjen Persatuan Mahasiswa Administrasi Indonesia, Tahun
1989-1991; Ketua Cabang FKPPI Jakarta Selatan, Tahun 1982-1984; Wakil
Ketua Cabang FKPPI Kota Tangerang; Sekretaris BAPEKADA GOLKAR
Jakarta Selatan, Tahun 1982-1987; Sekretaris Daerah IX, FKPPI DKI JAYA,
Tahun 1993-1997; Wakil Sekjen FKPPI Pusat Tahun 1993 – 1997; Ketua PP
GM FKPPI, Tahun 1997-2003; Wakil Ketua Dewan Pertimbangan PP GM
FKPPI, Tahun 2003-2006; Sekretaris Umum PP IKA STIA LAN, Tahun 1993-
sekarang; Penasehat PP IKA AKIP, Tahun 1994-sekarang; Sekretaris UMUM
PP AMPG, Tahun 1993-sekarang; Ketua PP AMPG, Tahun 2002-2005; POKJA
DPP Partai GOLKAR, Tahun 2002- sekarang. Kegiatan Ilmiah/Seminar/Talk
Show Live: Pembicara/Narasumber dalam Seminar Sosialisasi UU Parpol
danUU Pemilu Legislatif FKKN (Forum Kajian Kebijakan Negara) di Hotel
Burnikarsa, Tahun 2003 Jakarta; Pembicara/Narasumber dalam Lokakarya
tentang Polri dan Pemilu yang diadakan oleh Reform for Governace, Tahun
2003 di Hotel Le Meridienn Jakarta; Pembicara/Narasumber dalam Seminar
“Pemilu Berkah atau Bencana” diadakan oleh Senat Mahasiswa ITB, di Kampus

166
Biodata Penulis

ITB, Tahun 2003 Bandung; Pembicara/Narasumber dalam berbagi Seminar


Sosialisasi UU Bidang Politik dan Seminar Amandemen UUD 1945 yang diadakan
oleh Lembaga Informasi Nasional (LIN) diberbagai Provinsi di Indonesia
sepanjang tahun 2003 hingga Awal tahun 2004; Pembicara/Narasumber dalam
berbagai “Talk Show Live” tentang UU Bidang Politik, OTDA, Penegakan Hukum
dan UUD 1945 yang diadakan oleh berbagai Stasiun tv seperti TVRI, ANTV,
Metro TV, SCTV, RCTI, Lativi, TPI dan Trans TV pada tahun 2002, 2003 hingga
awal tahun 2004; Pembicara/Narasumber dalam berbagai “Talk Show Live”
tentang UU Bidang Politik, OTDA, Penegakan Hukum dan UUD 1945 yang
diadakan oleh berbagai Stasiun radio seperti Elshinta, Cakrawala, REMACO,
Delta FM, Trijaya Sakti, dan lain-lain sepanjang tahun 2002, 2003 hingga awal
tahun 2004; Seminar Law and Justice: The Case For Parlianentary di Geneva –
Swiss, Sept. 2006; Sosialisasi Putusan MPR RI ke Turki dan Qatar, Desember
2006; Pembicara/Narasumber Seminar Nasional: “Urgensi Perubahan atas UU
No. 22 tahun 2004 tentang Komisi Yudisial dalam upaya mendorong
kesinambungan proses reformasi peradilan demi terwujudnya system peradilan
yang bersih, akuntabel dan berwibawa di Indonesia” di Universitas Parahiyangan
Bandung (Kerjasama FH. Unpar dengan Komisi Yudisial); Pembicara/
Narasumber “Memperkokoh Visi NKRI sebagai Negara Kepulauan” di Rakornas
Departemen Kelautan dan Perikanan, Hotel Le Grandeur Mangga Dua Jakarta,
Januari 2007; Pembicara/Narasumber “Kemauan Politik Membangung Negara
Kepulauan” Diskusi Masyarakat Kelautan dan Perikanan Jawa Timur, Surabaya,
Februari 2007; Pembicara/Narasumber “2007 Saatnya Wakil rakyat Pro Rakyat”
Sarasehan di Hotel Nikko Internasional Jakarta, Februari 2007; Pembicara/
Narasumber Sosialisasi /Pemasyarakatan UUD RI 1945 dan Ketetapan/
Keputusan MPR RI di Departemen Sosial RI, Maret 2007; Pembicara/
Narasumber The Habibie Center Bincang-Bincang “Prokontra RUU Kementrian
Negara dan RUU Lembaga Kepresidenan”, Maret 2007; Pembicara/
Narasumber di LIPI, Diskusi Interaktif “Reformasi Kepolisian : Tantangan dan
Prospek ke Depan”, April 2007. Lain-lain, Kursus/Pelatihan/Studi Banding:
Diklat Kesamaptaan di Cirebon Tahun 1982; Diklat Menembak di Cirebon Tahun
1982; Orientasi Ketahanan Nasional di Bogor Tahun 1986; P4 tingkat Nasional
di Jakarta Tahun 1987; Diklat Spala DEPKEH di Jakarta Tahun 1994; Studi
Banding Konstitusi (UDD) – ke Yunani dan Jerman tahun 2000; Ke Taiwan
Tahun 2001, Ke RRC Tahun 2002; Kunjungan Persahabatan Antar Parlemen
ke Iran Tahun 2002; Studi Banding Pencucian Uang ke Australia Tahun 2003;
Kunjungan MPR RI dan Rumania Tahun 2003; Studi Banding Pansus RUU
Dewan Pertimbangan Presiden dan RUU Kemetrian Negara ke Amerika,
Desember 2006.

167
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

DR. WICIPTO SETIADI, S.H.,M.H.


Lahir di Purbalingga, 11 September 1957. Menyelesaikan
S1 Hukum di Universitas Gajahmada Tahun 1982, S2 Hukum
di Universitas Padjajaran Tahun 1991, dan S3 Hukum di
Universitas Indonesia Tahun 2004. Pendidikan lain, Legis-
lative Drafing di Belanda Tahun 1985, Program Stage pada
Van Vollenhoven Institute, Leiden University Tahun 1996,
International Law Course, Monash University Tahun 2000.
Riwayat pekerjaan, Staf pada Pusat Dokumentasi Hukum,
BPHN Tahun 1984, Staf Subdit Perancangan Direktorat Perundang-undangan
Tahun 1989. Pj. Kasubdit HTN, Dit.Tata Negara dan Hukum Internasional Tahun
1995, Kasubdit Hukum Internasional Dit. Tata Negara dan Hukum Internasional
Tahun 1999, dan Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Tahun
2004 sampai sekarang.

A.A. OKA MAHENDRA, S.H.


Lahir di Bangli, 12 Juni 1946, menyelesaikan S1 Hukum di
UGM di Yogyakarta. Riwayat pekerjaan, Calon Hakim pada
Pengadilan Negeri Denpasar Tahun 1971, Anggota DPR-
RI Tahun 1971, Pegawai pada Ditjen Peradilan Umum dan
TUN, Departemen Kehakiman Tahun 1991, Anggota KPU,
Pemilu Tahun 1999, Wakil Ketua Panitia Pemilihan
Indonesia Pemilu Tahun 1999, Staf Ahli Menkeh dan HAM
1998, Ketua Tim Pendaftaran Ulang Parpol Tahun 2003,
Sekjen Mahkamah Konstitusi Januari sampai bulan Juli 2004, sejak Maret 2005
menjabat Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan, dan Penulis di
beberapa mass media. Lain-lain, menyusun dan menerbitkan buku dan peraturan
perundang-undangan antara lain Undang-undang Paten, Undang-undang tentang
Kejaksaan, Gugatan dari Senayan, Dinamika Lembaga Perwakilan dan
Kepemimpinan Nasional, Tanah dan Pembangunan, Menguak Masalah
Pertanahan, Demokrasi dan Hukum, Kepemimpinan Menurut Ajaran Hindu,
dan Merajut Benang Kusut dalam Fragmentasi Etika Moral, Hukum, dan Politik.

PARTONO, SIP, MA
Lahir di Klaten, 20 April 1977. Riwayat Pendidikan :
S2/ Master of Arts Institute of Social Studies (ISS), The
Hague, The Netherlands. (2005 – 2006)Jurusan Kebijakan
dan Manajemen Publik; S1/Sarjana Ilmu Politik Universitas
Gajah Mada (1996 – 2001)Jurusan Ilmu Administrasi
Negara; SMA N 2 Klaten, Jawa Tengah (1992 – 1995);
SMPN 2 Trucuk, Klaten, Jawa Tengah (1989 – 1992).

168
Biodata Penulis

Pengalaman Kerja: Koordinator Peneliti CETRO (Center for Electoral


Reform), April 2007 – sekarang; Dosen Tidak Tetap STIA Mandala Indonesia,
Jakarta, Maret 2007 – sekarang; Ketua Jurusan Ilmu Administrasi Negara STIA
Banten, Februari 2003 – September 2004; Dosen STIA Mandala Indonesia,
Jakarta, Oktober 2001 – Januari 2003; Relawan IRE (Institute of Research and
Empowerment), Jogyakarta, Juni 2001 – Agustus 2001. Pengalaman Organisasi:
Nov 2005 – Nov 2006 Sekretaris Umum Persatuan Pelajar Indonesia (PPI) Den
Haag, Belanda; Jan 1999 – Oktober 2001 Sekretaris Pimpinan Ranting
Muhammadiyah Kalikebo, Trucuk, Klaten; Oktober 1999 – Oktober 2001 Ketua
Departement Kaderisasi Pemuda Muhammadiyah Kec Trucuk, Klaten, Jateng;
Januari 1996 – Des 1998 Ketua Ikatan Remaja Masjid Kalikebo (IRMAKA),
Kalikebo, Trucuk, Klaten; Juli 1997 – Juni 1998 Anggota Presidium Permadi
(Persatuan Mahasiswa Administrasi Yogjakarta); Juli 1997 – Juni1998 Ketua
Himpunana Mahasiswa Jurusan Ilmu Administrasi Negara, FISIPOL, UGM
(KMAN). Training, Kursus dan Seminar: 14 Oktober 2006 Seminar dan
Workshop “ Empowering Community – to – Community Cooperation: Indone-
sia – The Netherlands” yang diselenggarakan oleh ICMI Belanda, KBRI Belanda
dan PPI Belanda; 18 – 23 Juni 2006 Leadership and Social Justice Training, di
Washington DC, Amerika, yang diselenggarakan oleh International Fellowship
Program Ford Foundation (IFP FF); 18 April – 31 Juli 2005 Kursus IELTS yang
diselenggarakan oleh Universitas Maastricht, Belanda; Oktober 2004 – Maret
2005; Kursus TOEFL yang diselenggarakan oleh PPB UI, Jakarta; 21 – 24 Juni
2004; Traning dan Workshop Metodologi Penelitian Dosen Negeri dan Swasta
se-Banten yang diselenggarakan oleh Departement Pendidikan Nasional.
Publikasi: Dampak Korupsi dan Upaya Pencegahannya, Fajar Banten Juni 2004;
Legitimasi Peran Militer Dalam Politik Indonesia , Fajar Banten Juli 2004; Quo
Vadis Suara Pemilih Islam, Fajar Banten, Agustus 2004; Pemilu 2004: Berharap
Munculnya Pemimpin Nasional Baru Fajar Banten, September 2004; Mewaspadai
Politisasi Birokrasi Dalam Pilpres 2004 , Fajar Banten, September 2004; Urgensi
Pemilihan Presiden Dalam Penciptaan Good Governance, Fajar Banten, Agustus
2004; Mencermati Legitimasi Pilkada Jakarta, Media Indonesia, 26 Juni 2007;
Menunda Pilkada Jakarta?, Kompas, 8 Agustus 2007; Menyoal Kinerja Tim
Seleksi KPU, Suara Pembaruan 29 Agustus 2007; Oligarchy Maintained With
New Political Party Bill, The Jakarta Post, 26 Desember 2007; A Commentary
on the Performance National Election Commission’s (KPU’s) Selection Com-
mittee, dapat di akses di www.aceproject.org .

169
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

ZAINAL ABIDIN SALEH, S.H.,M.H.


Lahir di Rangkas Bitung Banten, 28 Februari 1948.
Pendidikan terakhir Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas
Indonesia. Pendidikan: Fakultas Hukum Universitas
Indonesia Jurusan Hukum Tata Negara; Pasca Sarjana
Universitas Indonesia Bidang Ilmu hukum. Riwayat
Pekerjaan: a. di Instansi Pemerintah: Pengajar Fakultas
Hukum Universitas Indonesia; Direktorat Sosial Politik DKI
Jakarta; Ass. Dep. Kantor Menpora; Widyaiswara Madya,
Pemprov. DKI Jakarta. b. di Swasta: Pengajar di Fakultas Hukum Universitas
Muhammadiyah; Pengajar di Fakultas Hukum Universitas Jayabaya dan Pudek
bidang Kemahasiswaan. Pengalaman Organisasi: Ketua Umum SEMA
Fakultas Hukum Universitas Indonesia; Care Taker DEMA Universitas
Indonesia; Ketua MPM Universitas Indonesia; Ketua HMI Cabang Jakarta;
Koordinator bidang Kemahasiswaan, PB-HMI.

ZAINAL ABIDIN, S.H.


Lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada.
Terlibat dalam berbagai koalisi NGO dan juga dalam
penyusunan beberapa Naskah Akademis dan RUU Versi
Masyarakat. Saat ini bekerja di Yayasan Lembaga Bantuan
Hukum Indonesia (YLBHI) sebagai Direktur Riset dan
Pengembangan.

CHUDRY SITOMPUL, S.H.,M.H.


Lahir di Jakarta, 12 Desember 1955, Pekerjaan : Dosen
Tetap Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Riwayat
Pendidikan: 1986 : Sarjana Hukum, Fakultas Hukum
Universitas Indonesia; 2006 : Pasca Sarjana Fakultas
Hukum Universitas Indonesia. Riwayat Pekerjaan: 2005-
Sekarang : Ketua Lembaga Pendidikan Lanjutan Ilmu
Hukum (LPLIH) Fakultas Hukum Universitas Indonesia;
2004-Sekarang : Ketua Bidang Studi Hukum Acara/Jurusan
Praktisi Hukum – Fakultas Hukum Universitas Indonesia; 2004-Sekarang:
Anggota Senat Akademik Fakultas Hukum Universitas Indonesia; 2004-Sekarang:
Ketua Sub Komisi Pengabdian Masyarakat Fakultas Hukum Universitas
Indonesia; 2004-Sekarang: Anggota Pengawasan Mutu Akademik Fakultas
Hukum Universitas Indonesia; 1995-Sekarang : Penasehat Lembaga Konsultasi
& Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas Hukum Universitas Indonesia; 1992-
Sekarang : Dosen Utama Mata Kuliah Praktek Hukum Fakultas Hukum

170
Universitas Indonesia; 1988-Sekarang: Pegawai Negeri tetap Fakultas Hukum
Universitas Indonesia; 2000-2004: Anggota Tim Pakar Kejaksaan Agung Republik
Indonesia; 2000-2004: Sekretaris Bidang Studi Hukum Acara/Jurusan Praktisi
Hukum – Fakultas Hukum Universitas Indonesia; 1988-1992 : Asisten Dosen
Mata Kuliah Praktek Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia; 1987 :
Calon Pegawai Negeri Fakultas Hukum Universitas Indonesia; 1987-1995 : Staff
Penasehat Hukum Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.

Drs. ZAFRULLAH SALIM, M.H.


Lahir di Sulit Air, Sumatera Barat 1 April 1953. Pendidikan:
S1 Syariah (Hukum Islam); S2 Hukum Ekonomi. Pendidikan
di bidang Perundang-undangan : Legislative Drafting – Indiana
University; Wetgevingstechniek – Leiden Universiteit.
Riwayat Jabatan : Kepala Divisi Pelayanan Hukum dan HAM
Kantor Wilayah Departemen Hukum dan HAM Jawa Barat
(2007-2008); Direktur Publikasi, Kerja Sama dan Pengundangan
Peraturan Perundang-undangan (2008-sekarang).

171
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008

PANDUAN PENULISAN

1. Naskah yang dikirim berbentuk karya tulis ilmiah, seperti hasil penelitian
lapangan, survey, hipotesa, kajian teori, studi kepustakaan, review buku,
dan gagasan kritis-konseptual yang bersifat obyektif, sistimatis, analisis, dan
deskriptif.
2. Naskah yang dikirim hendaknya merupakan karya tulis asli yang belum
pernah dimuat atau dipublikasikan di media lain.
3. Naskah diketik rangkap 2 (dua) spasi di atas kertas ukuran A4, panjang
naskah antara 8-25 halaman, daftar pustaka dan disertakan gambar atau
foto, tabel jika diperlukan.
4. Naskah yang dikirim disertakan disket dan disebutkan program yang dipakai.
5. Penulisan hendaknya menggunakan bahasa Indonesia yang baku, lugas,
sederhana dan mudah dimengerti tidak mengandung makna ganda.
6. Pokok pembahasan atau judul penulisan berupa kalimat yang singkat dan
jelas, dengan kata-kata atau frasa kunci yang mencerminkan isi tulisan.
7. Sistimatika penulisan sesuai dengan aturan penulisan ilmiah, yang secara
garis besar memuat: abstrak (yang panjangnya antara 100 - 200 kata),
pendahuluan (latar belakang permasalahan, tujuan ruang lingkup, dan
metodologi), hasil dan pembahasan (tinjauan pustaka, data, dan analisis),
penutup (kesimpulan dan saran), dan daftar pustaka ditulis berdasarkan abjad
(alfabetis).
8. Pengiriman naskah dengan melampirkan softcopy berupa curriculum vitae
beserta pas photo ukuran 4 x 6 cm sebanyak 1 (satu) lembar untuk dimuat
di jurnal.
9. Isi, materi, dan subtansi tulisan merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi
berhak mengedit teknis penulisan (redaksional) tanpa mengubah arti.
10. Naskah dikirim ditujukan kepada :
Redaksi Jurnal Legislasi Indonesia, Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI Jl. HR. Rasuna
Said Kav. 6-7 Kuningan - Jakarta Selatan Telepon (021) 5264517/Fax
(021) 5205310, e-mail : legislasi@yahoo.com.

172

You might also like