Professional Documents
Culture Documents
DAFTAR I S I
Dari Redaksi .............. ii
Dewan Redaksi
Peran Partai Politik Dalam
Qomaruddin, S.H.,M.H.
Penyelenggaraan Pemilu Yang Aspiratif
Suhariyono AR, S.H.,M.H.
dan Demokratis
Dr. Wahiduddin Adams, M.A.
Oleh: Dr. Wicipto Setiadi, S.H.,M.H. .............. 29
Dr. Wicipto Setiadi, S.H.,M.H.
Sofyan Sitompul, S.H.,M.H.
Pemahaman Atas Multipartai
Anggota Dewan Redaksi Perkembangan Masyarakat dan
Linus Doludjawa, S.H. Politik Hukum
Drs. Hudiyono Ibnu Ghoffur Oleh: Prof. Dr. Jeane Neltje Saly, S.H.,M.H. .............. 40
Sutirah, S.H.,M.H.
Dwi Ambar Lasmiasih, S.Pd. Demokrasi dan Partai Politik
Mualimin Abdi, S.H.,M.H. Oleh: Zainal Abidin Saleh, S.H.,M.H. .............. 56
Julkhaidir, S.H.,M.H.
Nuryakin, S.H. Paradigma Baru
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008
Staf Redaksi tentang Partai Politik
Tri Wahyuningsih, S.H.,M.H. Oleh: A.A. Oka Mahendra, S.H. ............. 81
Dra. Mardiningsih Welastuti
Slamet Kurniawan, S.H. Penyederhanaan Partai
I Nyoman Sukanadji dalam Sistem Multipartai:
Andi Batara, S.H.,M.H. Tidak Konsisten
Kristiyanto, S.H. Oleh: Zainal Abidin, S.H. ............. 90
Rizki Arfah, S.H.
Sri Lisnawati, S.H. Konflik Internal Partai Sebagai
Khabiburohman, S.H. Salah Satu Penyebab Kompleksitas
Satirah Sistem Multipartai di Indonesia
Atminah Oleh: Chudry Sitompul, S.H.,M.H. ............. 102
Lud Firdiansyah
Dampak Sistem Multipartai
Penerbit Dalam Kehidupan Politik Indonesia
Direktorat Jenderal Oleh: Drs. Zafrullah Salim, M.H. ............. 130
Peraturan Perundang-undangan Departemen
Hukum dan HAM RI Informasi UU:
Jl. HR. Rasuna Said Kav. 6-7 Jakarta Selatan Undang-Undang Republik Indonesia
Telp. / Fax. (021) 5264517 Nomor 2 Tahun 2008
E-mail:legislasi@yahoo.com tentang Partai Politik .............. 137
Website:http//www.djpp.depkumham.go.id
Biodata Penulis .............. 165
DARI REDAKSI
DARI REDAKSI
ii
E DITORIAL
EDITORIAL
iii
Sejak pemilu 1999, Indonesia telah menerapkan electoral threshold sebesar
2% dari suara sah nasional. Electoral Threshold didefinisikan sebagai ambang
batas syarat angka perolehan suara untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya.
Artinya, berapapun kursi yang diperoleh di parlemen, untuk turut kembali dalam
pemilihan umum berikutnya angka electoral threshold itu harus dicapai.
Pemilu 2004 menerapkan angka electoral threshold sebesar 3% dari
perolehan suara sah nasional. Hal ini dilakukan untuk lebih memperketat partai-
partai yang mengikuti Pemilu berikutnya. Semangat dari peningkatan threshold
yang semakin besar adalah untuk membangun sistem multipartai sederhana
dengan pendekatan yang lebih moderat.
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR,
DPD, dan DPRD menggunakan sistem Parliamentary Threshold (PT) yaitu
syarat ambang batas perolehan suara parpol untuk bisa masuk ke parlemen.
Jadi, setelah hasil jumlah suara masing-masing partai politik diketahui
seluruhnya, lalu dibagi dengan jumlah suara secara nasional. Jika suara partai
politik itu mencapai angka 2,5% dari jumlah suara nasional, maka dia berhak
menempatkan wakilnya di parlemen, tanpa mempermasalahkan berapa jumlah
kursi hasil konversi suara yang dimiliki partai politik tersebut.
Akhirnya sistem apapun yang dipilih, masyarakat telah lama mendambakan
peran nyata dari sebuah partai politik sebagai pilar utama demokrasi yang tidak
sekedar hanya berorientasi pada perolehan dukungan suara dalam rangka
memperoleh kekuasaan semata namun dapat memainkan peran sebagai penghubung
antara pemerintahan negara (the state) dan warga negaranya (the citizen).
iv
ARTIKEL
1
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, (hukumham.info, 2008), hlm. 2.
2
Rainer Adam, DPRD dan Partai Politik, FNS dan P3OD-UMM, dalam Sabastian Salang, Potret
Partai Politik di Indonesia, Asesmen Terhadap Kelembagaan, Kiprah, dan Sistem Kepartaian (Jakarta:
Forum Politisi-Friedrich Naumann Stiftung, Oktober 2007), hlm. 3.
3
Sabastian Salang, hlm. 3.
1
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
4
Institute For Multyparty Democracy (IMD), Suatu Kerangka Kerja Pengembangan Partai Politik
yang Demokratis, dalam Sabastian Salang, hlm. 3.
5
Sabastian Salang, hlm. 3.
6
Miriam Budiardjo, Pengantar Ilmu Politik, (Jakarta: Gramedia, 2000), hlm. 163-164, dalam Jimly
Asshiddiqie, Kemerdekaan Berserikat, Pembubaran Partai Politik, dan Mahkamah Konstituusi (Jakarta:
Konstitusi Press, 2006), hlm. 59.
7
Yves Meny and Andrew Knapp, Government and Politics in Western Europe: britain, France, Italy,
gemany, (Third Edition, Oxpord University Press, 1998), dalam Ibid, hlm. 59.
2
Sistem Multipartai di Indonesia
8
UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, hlm. 6.
9
Jimly Asshiddiqie, Op.cit., hlm. 59.
10
Ibid, hlm. 60.
11
UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, hlm. 6.
12
Ibid, hlm. 60.
13
UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik, hlm. 6.
3
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
Fungsi keempat adalah pengatur dan pengelola konflik. Peranan ini berupa
sarana agregasi kepentingan yang berbeda-beda melalui saluran kelembagaan
partai politik. Yves Meny dan Andrew Knapp, fungsi pengelola konflik dapat
dikaitkan dengan fungsi integrasi partai politik. Partai mengagregasikan dan
mengintegrasikan beragam kepentingan itu dengan cara menyalurkannya dengan
sebaik-baiknya untuk mempengaruhi kebijakan-kebijakan politik kenegaraan.14
Sistem Kepartaian
Dalam demokrasi, partai berada dan beroperasi dalam suatu sistem
kepartaian tertentu. Setiap partai merupakan bagian dari sistem kepartaian yang
diterapkan di suatu negara. dalam suatu sistem tertentu, partai berinteraksi dengan
sekurang-kurangnya satu partai lain atau lebih sesuai dengan konstruksi relasi
regulasi yang diberlakukan. Sistem kepartaian memberikan gambaran tentang
struktur persaingan di antara sesama partai politik dalam upaya meraih
kekuasaan dalam pemerintahan. Sistem kepartaian yang melembaga cenderung
meningkatkan stabilitas politik dan efektivitas pemerintahan.15
Untuk melihat sistem kepartaian suatu negara, ada dua pendekatan yang
dikenal secara umum. Pertama, melihat partai sebagai unit-unit dan sebagai
satu kesatuan yang terlepas dari kesatuan-kesatuan lain. Pendekatan numerik
ini pernah dikembangkan Maurice Duverger (1950-an), ilmuwan politik
kebangsaan Prancis. Menurut Duverger, sistem kepartaian dapat dilihat dari
pola perilaku dan interaksi antarsejumlah partai dalam suatu sistem politik, yang
dapat digolongkan menjadi tiga unit, yakni sistem partai tunggal, sistem dwi
partai, dan sistem multipartai.16
Selain itu, cara lain dapat dijadikan pendekatan yaitu teori yang
dikembangkan Giovani Sartori (1976), ilmuwan politik Italia. Menurut Sartori,
sistem kepartaian tidak dapat digolongkan menurut jumlah partai atau unit-
unit, melainkan jarak ideologi antara partai-partai yang ada, yang didasarkan
pada tiga hal, yaitu jumlah kutub (polar), jarak diantara kutub (bipolar), dan
arah perilaku politiknya. Sartori juga mengklasifikasikan sistem kepartaian
14
Jimly Asshiddiqie, Op.cit., hlm. 61.
15
Sabastian Salang, Op.cit., hlm. 63.
16
FS. Swantoro, Meneropong Sistem Kepartaian Indonesia 2020, hlm. 122-123, dalam Soegeng
Sarjadi dan Sukardi Rinakit, Meneropong Indonesia 2020 (Jakarta: Soegeng Sarjadi Syndicate, 2004).
4
Sistem Multipartai di Indonesia
17
Ibid, hlm. 123.
18
Ibid, hlm. 149.
19
Sabastian Salang, Op.cit., hlm. 67.
20
Ibid, hlm. 67.
5
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
Pada era orde baru, sistem kepartaian masih disebut sistem multipartai
sederhana, namun antarpartai tidak terjadi persaingan.21 Karena Golkar menjadi
partai hegemoni. Sehingga ada pendapat bahwa secara riil sistem kepartaian
menjurus ke sistem partai tunggal (single entry). Kenapa? Karena Golkar
hanya berjuang demi status quo.22
Pada masa reformasi, Indonesia kembali menerapkan sistem multipartai.
Hal ini dapat dipahami karena selama puluhan tahun kebebasan berekspresi
dan berserikat serta berkumpul dikekang. Sehingga ketika reformasi
memberikan ruang kebebasan, hasrat para politisi untuk mendirikan partai politik
tersalurkan. Sebagai sebuah proses pembelajaran, fenomena menjamurnya
partai politik mestinya dilihat sebagai sesuatu yang wajar di tengah masyarakat
yang sedang mengalami euforia politik.23
Pada Pemilu 1999, yang menggunakan sistem proporsional dengan daftar
calon tertutup (stelsel daftar) diikuti 48 partai peserta pemilu. Jumlah partai
sekitar 140 buah, tetapi lolos verifikasi hanya 48 partai. Dari jumlah itu, keluar
enam partai besar pemenang pemilu, yakni PDI-P, Golkar, PPP, PKB, PAN,
dan PBB. Sistem kepartaiannya multipartai, dan tidak ada partai pemenang
pemilu yang memperoleh suara mayoritas.24
Setelah dua kali pemilihan umum paska reformasi dengan sistem
multipartai, Indonesia bisa belajar banyak. Proses evaluasi diri perlu dilakukan,
baik partai-partai politik, maupun sistem yang diterapkan. Apakah partai-partai
paska reformasi telah berperan sebagai pilar demokrasi yang mendorong
demokrasi kita lebih efektif dan pemerintahan yang stabil, atau sebaliknya. Sistem
kepartaian secara ideal harus mendorong pemerintahan yang stabil dan
demokrasi yang semakin efektif. Bila tidak, maka tentu ada yang salah dengan
sistem yang diterapkan.25
Pemilu 2004 adalah pesta rakyat yang sangat bersejarah bagi Indonesia.
Pasalnya, untuk pertama kalinya Indonesia menyelenggarakan pemilu secara
langsung. Keberhasilan pemilu secara langsung telah mendaulat Indonesia
sebagai negara paling demokrasi ketiga di dunia setelah Amerika dan India.
21
Ibid, hlm. 67.
22
FS. Swantoro, Op.cit., hlm. 157.
23
Ibid, hlm. 67
24
Ibid, hlm. 156.
25
Ibid, hlm. 67.
6
Sistem Multipartai di Indonesia
26
Ibid, hlm. 67.
27
Denny JA, Partai Politik pun Berguguran (Yogyakarta: LKIS, 2006), hlm. 16.
7
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
dan timbulnya partai-partai politik baru. Sistem ini dianggap mempunyai akibat
memperbanyak jumlah partai.28
Dalam sistem distrik, teritori sebuah negara dibagi menjadi sejumlah
distrik. Banyaknya jumlah distrik itu sebanyak jumlah anggota parlemen yang
akan dipilih. Setiap distrik akan dipilih satu wakil rakyat.29
Dalam sistem distrik berlaku prinsip the winner takes all. Partai minoritas
tidak akan pernah mendapatkan wakilnya. Katakanlah, dalam sebuah distrik
ada sepuluh partai yang ikut serta. Tokoh dari Partai A hanya menang 25%,
namun tokoh partai lain memperoleh suara yang lebih kecil. Walau hanya
mendapatkan suara 25% suara, distrik itu akan diwakili oleh tokoh partai A.
Sembilan tokoh lainnya akan tersingkir.30
Metode the winner takes all ini akibatnya menjadi insentif negatif bagi
partai kecil. Dalam studi perbandingan, sistem distrik ini memang merangsang
partai kecil untuk membubarkan diri, atau menggabungkan diri dengan partai
lain, agar menjadi mayoritas. Dalam perjalanan waktu, sistem ini hanya
menyisakan dua partai besar saja. Partai kecil lainnya terkubur dengan
sendirinya.31
Kelebihan sistem distrik dalam menyederhanakan jumlah partai karena
kursi yang diperebutkan dalam setiap distrik (daerah pemilihan) hanya satu,
akan mendorong partai-partai untuk menyisihkan perbedaan-perbedaan dan
mengadakan kerjasama. Dengan berkurangnya partai, pada gilirannya akan
mempermudah terbentuknya pemerintahan yang stabil dan meningkatkan
stabilitas nasional. Selain itu, sistem distrik dapat meningkatkan kualitas
keterwakilan karena wakil yang terpilih dapat dikenal oleh penduduk distrik
sehingga hubungan dengan konstituen lebih erat, dan dengan demikian ia akan
mendorong untuk memperjuangkan aspirasi mereka.32
Meskipun sistem distrik diakui dapat menyederhanakan jumlah partai
politik, namun untuk saat ini sistem tersebut belum menjadi pilihan bagi Indonesia.
Mengingat realitas sosial masyarakat Indonesia yang heterogen sehingga cukup
28
Sabastian Salang, Op.cit., hlm. 68.
29
Denny JA, Op.cit., hlm. 16.
30
Ibid, hlm. 16.
31
Ibid, hlm. 16.
32
Sabastian Salang, Op.cit., hlm. 68.
8
Sistem Multipartai di Indonesia
33
Ibid, hlm. 69.
34
Ibid, hlm. 70.
35
Ibid, hlm. 70.
9
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
36
Ibid, hlm. 71.
10
Sistem Multipartai di Indonesia
partai politik pasti akan lebih dulu menjalankan fungsi sosialisasi, fungsi edukasi,
fungsi agregasi dan fungsi kaderisasi. Selain itu mereka juga akan berkarya dan
mengabdi kepada masyarakat. Disinilah adanya korelasi dan hubungan yang
sangat signifikan antara UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dengan
UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum DPR, DPD, dan DPRD,
dalam sistem multipartai di Indonesia.
Kesimpulan
Tujuan utama pemilihan umum adalah untuk menghasilkan parlemen yang
legitimate dan pemerintahan yang kuat. Hal ini menjadi tidak mungkin terwujud
jika pelaksanaan pemilihan legislatif dan pemilihan presiden dan wakil presiden
dilaksanakan pada saat yang bersamaan karena isu keduanya berbeda sehingga
perilaku pemilih juga tidak bisa dipastikan. Hal ini akan mengakibatkan tidak
terjadinya hubungan yang signifikan antara parlemen dengan presiden dan wakil
presiden sehingga tidak terwujud tata kelola sistem pemerintahan yang stabil.
Artinya, pemilihan umum merupakan rangkaian tak terpisahkan antara
pemilihan legislatif dengan pemilihan presiden dan wakil presiden, adanya
sequence (jeda waktu) antara keduanya, adalah untuk memastikan gambaran
riil partai politik pendukung di parlemen terhadap pemerintahan presiden dan
wakil presiden terpilih. Karena hanya partai politik dan gabungan partai politik
yang berhasil masuk parlemen-lah yang berhak mengusung pasangan calon
presiden dan calon wakil presiden.
Sehingga keluhan yang menyatakan “presiden terbelenggu” menjadi tidak
relevan, karena persoalannya bukanlah di UUD 1945, tetapi lebih pada produk
dari pemilihan umum yang belum secara signifikan memposisikan dan
menempatkan sistem multipartai pada proporsi yang sebenarnya.
Adalah hak rakyat untuk membuat partai politik, dan hak partai politik
untuk ikut pemilu. Tetapi untuk masuk ke parlemen ada mekanisme yang harus
ditempuh yaitu Parliamentary Threshold. Agar partai politik dibentuk tidak
hanya sekadar untuk ikut pemilu tapi partai politik dibuat agar fungsi-fungsi
partai politik dapat berjalan sebagaimana mestinya, sehingga parpol menjadi
sarana dan wahana dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat menjadi
keniscayaan. Dan rakyat pun akan kembali menghargai dan menghormati partai
politik karena sesungguhnya demokrasi tidak akan mungkin tanpa adanya partai
politik.
11
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
12
SISTEM MULTIPARTAI, PRESIDENSIAL DAN
PERSOALAN EFEKTIVITAS PEMERINTAH
Abstrak
Artikel ini berpendapat bahwa salah satu faktor utama
permasalahan efektivitas dan stabilitas pemerintah saat ini
disebabkan oleh kombinasi sistem pemerintahan dan sistem
kepartaian, sistem presidensial dan multipartai, tidak
mendukung terciptanya sebuah pemerintahan yang efektif dan
stabil. Meskipun demikian, tidak dapat dinafikan bahwa faktor
personal pejabat presiden juga mempengaruhi efektivitas dan
stabilitas pemerintahan yang dipimpinnya. Artikel ini kemudian
menyimpulkan bahwa untuk menciptakan sebuah pemerintah
yang efektif dan stabil maka diperlukan sebuah perubahan di
dalam sistem politik di Indonesia. Sistem presidensial dapat
mewujudkan pemerintah yang efektif dan stabil jika
dikombinasikan dengan sistem kepartaian yang sederhana.
Pendahuluan
Perdebatan paling seru menjelang di selenggarakannya hajatan nasional,
pemilu 2009, adalah bagaimana melanjutkan reformasi di bidang politik,
khususnya sistem pemilu dan pemerintahan, yang ditujukan untuk memperkuat
stabilitas dan meningkatkan efektifitas dalam mengimplementasikan kebijakan-
kebijakan pemerintah.
Tidak sedikit ahli politik berpendapat bahwa pasca turunnya Presiden
Suharto, stabilitas dan efektivitas pemerintahan dinilai lemah. Kebijakan-
kebijakan pemerintah tidak efektif di implementasikan, bahkan pemerintah
terpilih dapat diberhentikan ditengah masa kerjanya. Contoh yang paling mudah
diingat adalah ketika Presiden Abdurrahman Wahid diturunkan dari jabatannya
oleh MPR. Pada masa kepemimpinan Susilo Bambang Yudoyono tidak sedikit
kebijakan-kebijakan atau program-program pemerintah mendapatkan
1
Penulis adalah Peneliti Senior CETRO. Tulisan ini merupakan pendapat pribadi dan tidak mewakili
pendapat lembaga.
13
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
14
Sistem Multipartai, Presidensial dan Persoalan Efektivitas Pemerintah
15
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
tersebut adalah pasal 6A (2) UUD 1945 yang menyatakan bahwa Pasangan
Presiden dan Wakil Presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik. Dari pasal tersebut tersirat bahwa Indonesia menganut sistem multipartai
karena yang berhak mencalonkan pasangan calon presiden dan wakil presiden
adalah partai politik atau gabungan partai politik. Kata “gabungan partai poltitik”
artinya paling sedikit dua partai politik yang menggabungkan diri untuk
mencalonkan presiden untuk bersaing dengan calon lainnya yang diusung oleh
partai politik lain. Dengan demikian dari pasal tersebut di dalam pemilu presiden
dan wakil presiden paling sedikit terdapat tiga partai politik.
Kenyataanya, Indonesia telah menjalankan sistem multi partai sejak
Indonesia mencapai kemerdekaan. Surat Keputusan Wakil Presiden M. Hatta
No. X/1949 merupakan tonggak dilaksanakannya sistem multipartai di
Indonesia. Keputusan Wapres ini juga ditujukan untuk mempersiapkan
penyelenggaraan pemilu yang pertama pada tahun 1955. Pada pemilu tersebut
diikuti oleh 29 partai politik dan juga peserta independen (perseorangan).
Beberapa partai politik yang mendapatkan suara signifikan pada pemilu pertama
antara lain PNI (22,32%), Masyumi (20,92%), NU (18,41%), PKI (16,36%),
PSII (2,89%), Parkindo (2,66%), PSI (1,99%), Partai Katolik (2,04%), dan
IPKI (1,43%)2.
Sejak Suharto menjadi presiden pada tahun 1967 partai politik dianggap
sebagai penyebab dari ketidakstabilan politik yang terjadi pada tahun
1950an - 1960an. Oleh karena itu agenda yang penting untuk menciptakan
pemerintahan yang stabil adalah melakukan penyederhanaan partai politik. Pada
pemilu pertama di masa Orde Baru, tahun 1971, terdapat 10 partai politik,
termasuk partai pemerintah (Golkar) ikut berkompetisi memperebutkan
kekuasaan. Pada tahun 1974 Presiden Suharto melakukan restrukturisasi partai
politik, yaitu melakukan penyederhanaan partai melalui penggabungan partai-
partai politik. Hasil dari restrukturisasi partai politik tersebut adalah munculnya
tiga partai politik (Golkar, PPP, dan PDI). PPP merupakan hasil fusi dari
beberapa partai politik yang berasaskan Islam (NU, Parmusi, PSII dan Perti).
PDI merupakan hasil penggabungan dari partai-partai nasionalis dan agama
2
Wikipedia yang diakses pada tanggal 12 Mei 2008. dapat diakses di http://id.wikipedia.org/wiki/
Pemilu_1955.
16
Sistem Multipartai, Presidensial dan Persoalan Efektivitas Pemerintah
17
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
18
Sistem Multipartai, Presidensial dan Persoalan Efektivitas Pemerintah
Presiden dan Wakil Presiden Indonesia dipilih melalui pemilu yang terpisah
dengan pemilu legislatif. Sebelum dilakukan amandemen UUD 1945 presiden
dan wakil presiden dipilih melalui pemilihan oleh anggota MPR. Pada rejim
Orde Baru pemilihan presiden seolah-olah tidak memberikan kesan yang berarti
bagi republik karena setiap sidang umum untuk memilih presiden dapat dipastikan
anggota MPR secara aklamasi memilih kembali Presiden Suharto. Pemilihan
presiden dan wakil presiden yang terjadi di Gedung DPR/MPR pada tahun
1999 kembali menjadi sorotan publik masyarakat Indonesia dan internasional.
Pertama kalinya anggota MPR memilih presiden dan wakil presiden melalui
pemungutan suara.
Sistem pemilihan presiden dan wakil presiden yang dilakukan oleh anggota
MPR sampai tahun 1999 dinilai kurang demokratis dan tuntutan untuk pemilihan
presiden dan wakil presiden secara langsung pada saat itu semakin kuat.
Akhirnya pada tahun 2001 terjadi amandemen ketiga terhadap UUD 1945,
salah satu materi yang diamandemen adalah presiden dan wakil presiden dipilih
dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat. Akhirnya, pada tahun 2004
rakyat Indonesia pertama kali memilih kepala negara secara langsung.
Pemilu presiden secara langsung ini ditujukan untuk mendapatkan
pemimpin pemerintahan dan negara yang memiliki legitimasi yang kuat karena
dipilih dan didukung secara langsung oleh mayoritas rakyat Indonesia. Pemilu
presiden dan wakil presiden 2004 menghasilkan pemerintahan yang memiliki
legitimasi yang kuat. Namun persoalan lain yang muncul adalah pemerintah
terpilih tidak mampu menyelesaikan permasalahan-permasalahan yang sedang
dihadapi oleh bangsa. Ketidakmampuan pemerintah mengimplementasikan
kebijakan-kebijakan publik disebabkan karena pemilu presiden secara langsung
tidak menghasilkan pemerintahan yang efektif, kuat dan stabil.
19
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
20
Sistem Multpartai, Presidensial dan Persoalan Efektivitas Pemerintah
21
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
22
Sistem Multipartai, Presidensial dan Persoalan Efektivitas Pemerintah
23
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
24
Sistem Multipartai, Presidensial dan Persoalan Efektivitas Pemerintah
25
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
Kesimpulan
Faktor personalitas presiden dan wakil presiden berpengaruh dalam
menciptakan efektivitas dan stabilitas pemerintahan. Persoalan efektivitas
pemerintahan di Indonesia saat ini lebih disebabkan oleh karena disharmoni
hubungan antara lembaga kepresidenan dengan parlemen. faktor kemampuan
berkomunikasi, lobby, dan menjaga dan mempertahankan dukungan dari
parlemen oleh presiden sangat penting dalam menciptakan pemerintah yang
efektif dan stabil.
Meskipun demikian permasalahan efektifitas dan stabilitas pemerintah
di Indonesia tidak saja dipengaruhi oleh personalitas pejabat presiden dan wakil
presiden saja. Efektivitas dan stabilitas pemerintah juga dipengaruhi oleh sistem
pemerintahan dan sistem kepartaian yang dilaksanakan. Sistem presidensial
dan sistem multipartai dengan jumlah partai yang terlalu banyak ternyata
merupakan faktor lain yang krusial. Observasi dan kajian yang dilakukan oleh
Mainwaring (2008) menunujukkan bahwa sistem presidensial yang
dikombinasikan dengan sistem multi partai yang dilaksanakan di beberapa negara
gagal untuk menciptakan pemerintahan yang ideal. Amerika Serikat berhasil
menciptakan pemerintahan yang efektif dan stabil karena menggunakan
kombinasi sistem presidensial dan dwi – partai.
26
Sistem Multipartai, Presidensial dan Persoalan Efektivitas Pemerintah
27
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
DAFTAR PUSTAKA
Blau Adrian, The Effective Number of Parties at Four Scales, Sage Publication
Vol. 14 No. 2, 2008.
Bardi, Luciano and Mair, Peter, The Parameters of Party Sistem, Sage Publication
Vol. 14 No. 2, 2008.
Heywood, Andrew, Politics, Palgrave Foundations, Second Edition, New York,
2002.
Mainwaring, Scott, Presidensialism, Multy Party Systems, and Democracy :
The Difficult Equation, Working Paper 144 – September 1990.
Mellaz, August, Keserentakan Pemilu dan Penyederhanaan Kepartaian,
Position Paper yang tidak dipublikasikan.
NIMD, Buku Pegangan Pengembangan Institusional : Suatu Kerangka
Kerja Pengembangan Partai Politik yang Demokratis, NIMD, Den
Haag, 2006.
UUD 1945 Hasil Amandemen, Sinar Grafika, Cetakan Pertama, 2002.
28
PERAN PARTAI POLITIK
DALAM PENYELENGGARAAN PEMILU
YANG ASPIRATIF DAN DEMOKRATIS
A. Pendahuluan
Salah satu wujud pelibatan masyarakat dalam proses politik adalah
pemilihan umum (Pemilu). Pemilu merupakan sarana bagi masyarakat untuk
ikut menentukan figur dan arah kepemimpinan negara atau kepemimpinan daerah
dalam periode tertentu. Ketika demokrasi mendapat perhatian yang luas dari
masyarakat dunia, penyelenggaraan Pemilu yang demokratis menjadi syarat
penting dalam pembentukan kepemimpinan sebuah negara. Pemilu memiliki
fungsi utama untuk menghasilkan kepemimpinan yang benar-benar mendekati
kehendak rakyat. Oleh karena itu, Pemilu merupakan salah satu sarana legitimasi
kekuasaan.
Pemilu dapat dikatakan aspiratif dan demokratis apabila memenuhi
beberapa persyaratan. Pertama, Pemilu harus bersifat kompetitif, dalam artian
peserta Pemilu harus bebas dan otonom. Kedua, Pemilu yang diselenggarakan
secara berkala, dalam artian Pemilu harus diselenggarakan secara teratur dengan
jarak waktu yang jelas. Ketiga, Pemilu harus inklusif, artinya semua kelompok
masyarakat harus memiliki peluang yang sama untuk berpartisipasi dalam Pemilu.
Tidak ada satu pun kelompok yang diperlakukan secara diskriminatif dalam
proses Pemilu. Keempat, pemilih harus diberi keleluasaan untuk
mempertimbangkan dan mendiskusikan alternatif pilihannya dalam suasana
bebas, tidak di bawah tekanan, dan akses memperoleh informasi yang luas.
Kelima, penyelenggara Pemilu yang tidak memihak dan independen.
Dalam kedudukannya sebagai pilar demokrasi, peran partai politik dalam
sistem perpolitikan nasional merupakan wadah seleksi kepemimpinan nasional
dan kepemimpinan daerah. Pengalaman dalam rangkaian penyelenggaraan
seleksi kepemimpinan nasional dan kepemimpinan daerah melalui Pemilu
1
Direktur Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan, Ditjen Peraturan Perundang-undangan,
Departemen Hukum dan HAM. Memperoleh gelar S1 (SH) dari Fakultas Hukum Universitas Gajah
Mada, Yogyakarta, S2 (Magister Hukum) dari Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran, Bandung,
dan S3 (Doktor Ilmu Hukum) dari Program Doktor Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta.
29
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
30
Peran Partai Politik Dalam Penyelenggaraan Pemilu Yang Aspiratif dan Demokratis
B. Pemilu Demokratis
Pemilu sebagai sarana perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan
pemerintahan negara yang demokratis berdasarkan Pancasila dan UUD Negara
RI Tahun 1945, dimaksudkan untuk memilih presiden dan wakil presiden,
anggota DPR, DPD, DPRD, serta kepala daerah dan wakil kepala daerah
yang mampu mencerminkan nilai-nilai demokrasi dan dapat menyerap serta
memperjuangkan aspirasi rakyat sesuai dengan tuntutan perkembangan
kehidupan berbangsa dan bernegara.
Terselenggaranya Pemilu secara demokratis menjadi dambaan setiap
warga negara Indonesia. Pelaksanaan Pemilu dikatakan berjalan secara
demokratis apabila setiap warga negara Indonesia yang mempunyai hak pilih
dapat menyalurkan pilihannya secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,
dan adil. Setiap pemilih hanya menggunakan hak pilihnya satu kali dan
mempunyai nilai yang sama, yaitu satu suara. Hal ini yang sering disebut dengan
prinsip one person, one vote, one value (opovov).
Yang dimaksud dengan Pemilu yang bersifat langsung adalah rakyat
sebagai pemilih berhak untuk memberikan suaranya secara langsung sesuai
dengan kehendak hati nuraninya tanpa perantara. Warga negara yang memenuhi
persyaratan sebagai pemilih berhak mengikuti Pemilu dan memberikan suaranya
secara langsung. Sedangkan Pemilu yang bersifat umum mengandung makna
terjaminnya kesempatan yang sama bagi semua warga negara, tanpa
diskriminasi. Pemilu yang bersifat bebas berarti bahwa setiap warga negara
yang berhak memilih bebas untuk menentukan pilihannya tanpa tekanan dan
paksaan dari siapa pun. Dalam melaksanakan haknya, setiap warga negara
dijamin keamanannya, sehingga dapat memilih sesuai dengan kehendak hati
nurani dan kepentingannya. Pemilu yang bersifat rahasia berarti bahwa dalam
memberikan suaranya, pemilih dijamin pilihannya tidak akan diketahui oleh pihak
mana pun dan dengan jalan apa pun.
Selanjutnya, Pemilu diselenggarakan oleh penyelenggara Pemilu yang
mempunyai integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas yang dilaksanakan secara
lebih berkualitas, sistematis, legitimate, dan akuntabel dengan partisipasi
masyarakat seluas-luasnya. Penyelenggara Pemilu, aparat pemerintah, peserta
Pemilu, pengawas Pemilu, pemantau Pemilu, pemilih, dan semua pihak yang
terkait harus bersikap dan bertindak jujur sesuai dengan peraturan perundang-
undangan. Pemilih dan peserta Pemilu mendapat perlakuan yang sama dan
31
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
bebas dari kecurangan atau perlakuan yang tidak adil dari pihak mana pun.
Pemilu harus dilaksanakan secara lebih berkualitas agar lebih menjamin
kompetisi yang sehat, partisipatif, mempunyai derajat keterwakilan yang lebih
tinggi, dan memiliki mekanisme pertanggungjawaban yang jelas.
32
Peran Partai Politik Dalam Penyelenggaraan Pemilu Yang Aspiratif dan Demokratis
Secara teori ada keterkaitan yang erat antara upaya penataan sistem
politik yang demokratis dengan sistem pemerintahan yang kuat dan efektif.
Dalam masa transisi politik, pemahaman terhadap hubungan antara kedua proses
itu menjadi sangat penting. Karena keterbatasan waktu dan tenaga, seringkali
penataan elemen sistem politik dan pemerintahan dilakukan secara terpisah.
Logika yang digunakan seringkali berbeda satu dengan yang lainnya. Dalam
realitas, semua elemen tersebut akan digunakan dan menimbulkan kemungkinan
komplikasi satu dengan lainnya.
Berdasarkan pengalaman, ada hubungan yang relatif konsisten antara
sistem kepartaian dengan sistem presidensial. Multipartai, terutama yang bersifat
terfragmentasi, menyebabkan implikasi deadlock dan immobilism bagi sistem
presidensial murni. Alasannya adalah bahwa presiden akan mengalami kesulitan
untuk memperoleh dukungan yang stabil dari legislatif sehingga upaya
mewujudkan kebijakan akan mengalami kesulitan. Pada saat yang sama partai
politik dan gabungan partai politik yang mengantarkan presiden untuk
memenangkan Pemilu tidak dapat dipertahankan untuk menjadi koalisi
pemerintahan. Tidak ada mekanisme yang dapat mengikatnya. Alasan lain adalah
bahwa komitmen anggota parlemen terhadap kesepakatan yang dibuat pimpinan
partai politik jarang bisa dipertahankan. Dengan kata lain, tidak adanya disiplin
partai politik membuat dukungan terhadap presiden menjadi sangat tidak pasti.
Perubahan dukungan dari pimpinan partai politik juga ditentukan oleh perubahan
kontekstual dari konstelasi politik yang ada.
Tawaran yang diberikan untuk memperkuat sistem presidensial agar
mampu menjalankan pemerintahan dengan baik adalah dengan
menyederhanakan jumlah partai politik. Jumlah partai politik yang lebih
sederhana (efektif) akan mempersedikit jumlah veto dan biaya transaksi politik.
Perdebatan yang terjadi diharapkan menjadi lebih fokus dan berkualitas. Publik
juga akan mudah diinformasikan baik tentang keberadaan konstelasi partai
politik maupun pilihan kebijakan bila jumlah kekuatan politik lebih sederhana.
33
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
34
Peran Partai Politik Dalam Penyelenggaraan Pemilu Yang Aspiratif dan Demokratis
35
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
terhadap negara maupun fungsi partai politik terhadap rakyat. Fungsi partai
politik terhadap negara antara lain adalah menciptakan pemerintahan yang efektif
dan adanya partisipasi politik terhadap pemerintahan yang berkuasa. Sedangkan
fungsi partai politik terhadap rakyat antara lain adalah memperjuangkan
kepentingan, aspirasi, dan nilai-nilai pada masyarakat serta memberikan
perlindungan dan rasa aman. Kebanyakan partai politik pada saat ini belum
sepenuhnya memberikan pendidikan politik dan melakukan pengkaderan serta
rekrutmen politik yang efektif untuk menghasilkan keder-kader pemimpin yang
memiliki kemampuan di bidang politik.
Sistem kepartaian yang ada juga masih menghadapi derajat kesisteman
yang rendah serta kurang mengakar dalam masyarakat, struktur organisasi partai
yang tidak stabil yang tidak mengacu pada AD/ART, dan citra partai di mata
publik yang masih relatif buruk. Selain itu, partai politik yang ada pada umumnya
cenderung mengarah pada tipe partai politik kharismatik dan klientelistik
ketimbang partai programatik.
Lemahnya pelembagaan partai politik di Indonesia, terutama disebabkan
oleh belum munculnya pola partai kader. Partai politik cenderung membangun
partai massa yang memiliki ciri-ciri: meningkatnya aktivitas hanya menjelang
Pemilu, menganut sistem keanggotaan yang amat longgar, belum memiliki sistem
seleksi dan rekrutmen keanggotaan yang memadai serta belum mengembangkan
sistem pengkaderan dan kepemimpinan politik yang kuat.
Kelemahan yang mencolok partai politik yang berorientasi pada massa
adalah kurang intensif dan efektifnya kerja partai. Sepanjang tahun sebagian
besar kantor partai politik hampir tidak memiliki agenda kegiatan yang berarti.
Hal ini ditandai dengan tidak dimilikinya rencana kerja partai yang bersifat jangka
panjang, menegah dan jangka pendek. Partai politik semestinya merupakan
suatu kelompok terorganisir yang anggota-anggotanya mempunyai orientasi,
nilai-nilai, serta cita-cita yang sama, dan yang mempunyai visi, misi, program
dan tujuan untuk memperoleh kekuasaan politik dan melalui kekuasaan politik
itu memperjuangkan kepentingan rakyat. Sebagai akibatnya, partai politik tidak
memiliki program yang jelas dalam melakukan pendidikan politik kepada
masyarakat, melakukan artikulasi dan agregasi kepentingan, belum dapat
membangun sosialisasi politik dan komunikasi politik untuk menjembatani rakyat
dengan pemerintah.
36
Peran Partai Politik Dalam Penyelenggaraan Pemilu Yang Aspiratif dan Demokratis
37
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
38
Peran Partai Politik Dalam Penyelenggaraan Pemilu Yang Aspiratif dan Demokratis
H. Kesimpulan
Wilayah negara Indonesia yang luas dengan jumlah penduduk yang besar
dan menyebar di seluruh nusantara serta memiliki kompleksitas nasional menuntut
penyelenggara Pemilu yang profesional dan memiliki kredibilitas yang dapat
dipertanggungjawabkan. Oleh karena itu, perlu dilakukan upaya untuk lebih
meningkatkan fungsi perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi
penyelenggaraan Pemilu.
Perlu dilakukan upaya untuk mengakomodasi dinamika dan
perkembangan masyarakat yang menuntut peran partai politik dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara serta tuntutan mewujudkan partai politik sebagai
organisasi yang bersifat nasional dan modern. Upaya tersebut antara lain dapat
ditempuh melalui pendidikan politik dengan memperhatikan keadilan dan
kesetaraan gender yang ditujukan untuk meningkatkan kesadaran akan hak
dan kewajiban, meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif warga negara, serta
meningkatkan kemandirian dan kedewasaan dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara.
Agar tercipta derajat kompetisi yang sehat, partisipatif, dan mempunyai
derajat keterwakilan yang lebih tinggi, serta memiliki mekanisme
pertanggungjawaban yang jelas, maka penyelenggaraan Pemilu harus
dilaksanakan secara lebih berkualitas dari waktu ke waktu. Oleh karena itu,
perlu diupayakan perubahan untuk memperkuat lembaga perwakilan rakyat
melalui langkah untuk mewujudkan sistem multipartai sederhana yang selanjutnya
akan menguatkan pula sistem pemerintahan presidensial sebagaimana
dimaksudkan dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
39
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
A. Pengantar
Multipartai yang merupakan wadah untuk mengeluarkan pendapat
setelah reformasi sampai saat ini, bahkan pernah ada di negara kita setelah
kemerdekaan, mengalami pasang surut dalam keberadaannya. Ada yang
mengatakan multipartai bermanfaat untuk membangun demokrasi dalam
kehidupan berbangsa, dan ada yang beranggapan bahwa multipartai belum
saatnya dilaksanakan di Indonesia. Para pengamat politik beranggapan bahwa
keberadaan partai setelah kemerdekaan tidak dapat menyelesaikan masalah
sehingga dibubarkan, bahkan ada pula yang mengatakan bahwa membangun
partai-partai adalah kesalahan besar.2 Dan dari pihak anggota masyarakat
kurang berminat memanfaatkan suaranya. Hal itu dapat dilihat dalam
pemberitaan di media masa tentang penggunaan hak suara di wilayah Jawa
Barat, misalnya Depok dalam rangka pemilihan Gubernur. Wilayah Depok hanya
menggunakan suara yang sangat minim dibandingkan dengan jumlah
penduduknya.3
Sejak reformasi sampai saat ini, dalam jangka waktu 9 (sembilan) tahun,
hukum (peraturan perundang-undangan) yang mengatur kegiatan politik
mengalami 3 (tiga) kali perubahan. Hal itu disebabkan perkembangan kebutuhan
masyarakat menimbulkan keragaman pandangan. Undang-Undang Nomor 2
Tahun 1999 tentang Partai Politik (UU No. 2 Tahun 1999 tentang Parpol)
hanya berlaku dalam jangka waktu yang singkat, 2 (dua) tahun, diganti dengan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik (UU No.31
Tahun 2002 tentang Parpol) karena dianggap multipartai yang sederhana lebih
efisien dan sehat dalam proses pemilihan umum. Berlakunya UU ini hanya 6
1
Prof. Dr. Jeane N Saly. Paper berisi kumpulan pandangan Penulis dalam beberapa Artikel dan
pemaparan dalam seminar-seminar, baik dengan pihak asing maupun pihak nasional tentang Fungsi
Hukum, Politik Hukum, dan Negara Berkembang, Jakarta, 24 April 2008.
2
Makmur Makka, Demokrasi Pasar, http://www.xs4all.nl/~peace/pubind/mb/multipar.html, 14/06/
2005, Last Update: 07/07/2005.
3
Kompas, Sinar Harapan, dan Media elektronik, awal April 2008.
40
Pemahaman Atas Multipartai Perkembangan Masyarakat dan Politik Hukum
(enam) tahun diganti dengan UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik (UU
No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik), karena dipandang perlu menampung
kebutuhan masyarakat majemuk yang beragam yang menuntut peningkatan
peran, fungsi dan tanggung jawab partai politik dalam kehidupan demokrasi
secara konstitusional.
Perwujudan tujuan yang ingin dicapai masih mengalami kendala. Asas
demokrasi mengeluarkan pendapat/suara ternyata masih belum dipahami oleh
masyarakat. Para pengamat politik, antara lain Grafita,4 mengatakan bahwa
belum saatnya prinsip demokrasi diterapkan pada pemilihan umum. Hal ini
disebabkan keadaan masyarakat Indonesia yang tidak setara dalam bidang
pendidikan, berakibat tidak dapat menilai kompetensi seorang pemimpin yang
akan menjadi leader.
B. Permasalahan
1 Bagaimana dinamika hukum partai politik dan pengaruhnya terhadap bidang
lain dalam kehidupan berbangsa sesuai Undang-Undang Nomor 2 Tahun
2008 tentang Partai Politik?
2 Bagaimana pelaksanaan politik hukum dan kendalanya dalam memenuhi
kebutuhan multipartai masyarakat Indonesia yang heterogen?
C. Pembahasan
1. Dinamika Hukum Partai Politik dan Pengaruhnya Terhadap Bidang
lain Dalam Pembangunan Negara
Para pakar mengatakan, antara lain Bagir Manan,5 bahwa hukum saling
mempengaruhi dalam diri hukum itu sendiri tetapi juga pada bidang-bidang lain
di luar hukum. Kegiatan parpol yang ditentukan dalam hukum/peraturan
perundang-undangan apabila tidak berjalan sesuai dengan tujuan hukum itu,
maka bidang lain di luar hukum akan terpengaruh, baik atau buruknya. Hal itu
benar karena hukum bukan hanya aturan (legal substance) saja tetapi juga
ada aspek lain di luar hukum yang mempengaruhi tujuan dibentuknya hukum
4
Grafita, Demokrasi, Pernyataan Kehendak Melalui Partai, dan Hak Suara Anggota Masyarakat,
Surabaya Post, Surabaya, Maret 2008.
5
Bagir Manan, Bahan Kuliah Pascasarjana (S3), Universitas Padjadjaran, Bandung, Maret 1999, hlm. 5.
41
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
6
Friedman, Ed Candy, How to Build Character to Implementation The Law, Harvard University,
Boston Masatchusstetts, USA, p. 121.
42
Pemahaman Atas Multipartai Perkembangan Masyarakat dan Politik Hukum
diperbaharui. Oleh sebab itu UU ini diganti dengan UU No. 31 Tahun 2002
tentang Partai Politik, dan 6 (enam) tahun kemudian dibentuk UU No. 2 Tahun
2008 Tentang Partai Politik. Dibentuknya UU ini sebagai akibat perkembangan
masyarakat yang majemuk menuntut adanya dasar hukum bagi sarana partisipasi
politik masyarakat. Tujuan pembentukannya yaitu untuk mewujudkan cita-cita
nasional bangsa Indonesia dalam menjaga dan memelihara keutuhan Negara
Kesatuan. Selanjutnya untuk mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan
Pancasila dalam perkembangan masyarakat Indonesia yang majemuk.
UU No. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik belum optimal menampung
dinamika masyarakat yang menuntut peran serta politik dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara serta tuntutan mewujudkan partai politik sebagai
organisasi yang bersifat nasional dan modern. UU ini mengakomodasi beberapa
paradigma baru seiring dengan menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia,
melalui sejumlah pembaharuan yang mengarah pada penguatan sistem dan
kelembagaan partai politik, yang berkaitan dengan demokratisasi secara internal
dari partai politik, transparansi, dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan
partai politik, peningkatan kesetaraan jender dan kepemimpinan partai politik
dalam sistem nasional, berbangsa dan bernegara.
Pengaturannya antara lain tentang pendidikan politik dengan
memperhatikan keadilan dan kesetaraan jender yang ditujukan untuk
meningkatkan kesadaran akan hak dan kewajiban, meningkatkan partisipasi
politik, dan inisiatif warganegara serta meningkatnya kemandirian dan
kedewasaan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Atas pertimbangan
tersebut, pendidikan politik terus ditingkatkan agar terbangun karakter bangsa
yang merupakan watak atau kepribadian bangsa Indonesia yang terbentuk atas
dasar kesepahaman bersama terhadap nilai-nilai kebangsaan yang lahir dan
tumbuh dalam kehidupan bangsa, antara lain kesadaran kebangsaan, cinta tanah
air, kebersamaan, keluhuran budi pekerti dan keiklasan untuk berkorban bagi
kepentingan bangsa. Dalam UU ini ditentukan larangan untuk menganut,
mengembangkan, dan menyebarkan ajaran komunisme/Marxisme Leninisme,
sebagaimana diamanatkan oleh Tap.MPRS No. XXV/MPRS/1966.
Tap MPRS ini diberlakukan dengan memegang teguh prinsip berkeadilan
dan menghormati hukum, demokratik, dan hak asasi manusia.
Tujuan pembentukan undang-undang tersebut adalah untuk menjamin
kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengemukakan suara sebagai hak
43
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
7
Rauf Andika, Pendidikan Politik dan Demokrasi Dalam Mengeluarkan Suara, Surabaya Pagi, Surabaya,
Desember 2007, hlm. 3.
8
A.Makmur Makka, Op.cit., hlm.1.
44
Pemahaman Atas Multipartai Perkembangan Masyarakat dan Politik Hukum
9
Surabaya Pos, Keberadaan Partai, dan Manfaatnya Bagi Pendidikan Politik, Surabaya, 20 Oktober
2006, hlm. 3.
10
Embong Pranata, Surabaya Pagi, Fungsi Partai Dalam Membangun Bangsa dan Pelaksanaan Asas
Demokrasi Berdasarkan UUD 45, Surabaya, Februari 2008, hlm. 3.
45
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
11
Retno Yulianti, Multi Partai Adalah Jalan Keluar Demokratis Bagi Politik Indonesia, http://
www.xs4all.nl/~peace/pubind/mb/multipar.html, Jakarta, 10 April 2008.
46
Pemahaman Atas Multipartai Perkembangan Masyarakat dan Politik Hukum
atau menjadi presiden tidak menjadi masalah sejauh dapat menjamin stabilitas
ekonomi Indonesia.12 Pimpinan nasional harus dapat menjaga keamanan
konglomerat, untuk mengembangkan modalnya. Kaum konglomerat memilih
menjadi penonton saja dan tidak akan aktif dalam politik indonesia.
Kaum konglomerat tersebut tidak akan melarikan diri ke luar negeri jika
ada krisis, karena semua modal mereka ada di dalam negeri dan tidak mungkin
dilarikan keluar negeri. Berdasarkan pernyataan itu dapat digambarkan bahwa
kaum kapitalis akan tetap menjauhi (keep distance) politik, seakan-akan
kepentingan mereka (yang bersangkutan keamanan modal) diserahkan begitu
saja pada politisi.
Padahal dalam prakteknya merekalah yang paling banyak terlibat
terhadap kebijakan politik negara selama ini, dari soal perampasan tanah rakyat,
penyogokan birokrasi, sistim pengupahan dan kesejahteraan kaum buruh,
manuver terhadap partai-partai politik, sistem keamanan nasional (dari soal
penyelundupan kayu, miras sampai ekstasy ), eksistensi kapital dan pemiliknya
yang tidak akan kemana-mana jika ada krisis. Padahal sudah juga menjadi
rahasia umum bahwa kaum kapitalis secara diam-diam melempar modalnya
dalam bentuk investasi di luar negeri jauh-jauh hari sebelumnya. Seperti yang
dikemukakan oleh Intelektual dalam Media Indonesia (10 November 1996)
juga. Keadaan tersebut perlu dibenahi agar tidak terjadi sebagaimana di negara-
negara lain seperti Uni Sovyet. Dari keadaan disintegrasi akibat permainan
politik akan mempengaruhi disintegrasi bangsa.
Dari pengalaman Soviet Union, menunjukkan bahwa kontradiksi di dalam
negeri, akan mengundang kepentingan Luar Negeri, dalam hal ini Kapitalis
negara-negara maju, seperti Amerika dan Kapitalis Eropah Barat untuk
mempercepat proses krisis dan memenangkannya. Setelah rezim Gorby (dan
slogan glasnost perestroikanya) jatuh maka penggantinya adalah seorang yeltzin
yang melempengkan jalan kapitalisme untuk menjarah setiap republik ex Soviet
Union, yang sudah terpecah sehingga mudah untuk dikuasai. Sebenarnya
pengalaman bangsa ini juga sudah cukup banyak. Taktik persekutuan dagang
VOC, untuk memecah belah dan mengadu domba agar dapat menguasai baik
bidang ekonomi, politik, dan kebudayaan. Masa tahun kolonial tersebut
12
Media Indonesia, Minggu, 10 November 1996, hlm. 3.
47
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
48
Pemahaman Atas Multipartai Perkembangan Masyarakat dan Politik Hukum
Pandangan ahli hukum ini dipengaruhi oleh sistem hukum yang dianut,
yaitu sistem hukum kontinental, dan hukum dasar negara yang tidak
mengabaikan keberadaan kebiasaan yang hidup dan mengikat anggota
masyarakat.
Lain dengan pandangan penganut hukum murni bahwa hakekat hukum
dapat dipahami apabila hukum dianggap sebagai seperangkat peraturan, dalam
satu kesatuan yang berisi tata kehidupan manusia. Hal itu berarti bahwa teori
hukum murni berusaha mencapai hasil-hasilnya semata-mata pada hukum positif.
Austin,13 mengatakan bahwa hukum sebagai peraturan yang dibuat oleh
penguasa bertujuan mengatur tingkah laku manusia.
Padahal hukum tidak saja peraturan yang mengatur kegiatan manusia
dan pergaulannya, baik tertulis maupun tidak tertulis, tetapi juga prinsip-prinsip
hukum, prosedur hukum, lembaga-lembaga hukum yang terkait dengan
peradilan, dan tindakan administrasi hukum, dan sebagainya.14
Roscoe Pound,15 mengemukakan bahwa hukum mengandung banyak
aspek, baik aturan tertulis, maupun etika kehidupan, mencakup kesusilaan,
keagamaan, petunjuk moral, mekanisme berpolitik, adat istiadat pada umumnya,
dan pengawasan sosial sebagai suatu keseluruhan. Pengertian hukum semacam
13
John Austin, The Pure Theoy of Law and Analytical Jurisprudence, Harv .L Lev, USA, 1942. hlm.
44-70.
14
Bahkan pakar hukum senior,14 mengatakan bahwa hukum:
“memiliki banyak aspek, terdiri dari jauh lebih banyak komponen atau unsur yang lain, seperti filsafat
hukum, sumber hukum, kaedah hukum, yurisprudensi, hukum kebiasaan, penegakan hukum, pelayanan
hukum, profesi hukum, lembaga hukum, pranata hukum, prosedur dan mekanisme hukum, hukum
acara, pendidikan hukum, penelitian hukum, perilaku hukum masyarakat maupun pejabat hukum, atau
perilaku profesi hukum, kesadaran hukum, dan sebagainya. Aspek-aspek di atas saling terkait dalam
satu sistem untuk melaksanakan fungsi hukum, sesuai dengan kebutuhan di mana hukum itu diberlakukan”.
Berdasarkan uraian di atas, maka terlihat bahwa hukum dipandang sebagai aturan yang berkaitan satu
dengan lainnya secara konsisten termasuk mekanisme dan prosedurnya, dan kebiasaan yang mengikat.
Hal tersebut berbeda dengan pandangan ahli hukum Amerika,14 yang melihat hukum pada pandangan
hakim di pengadilan/keputusan di Pengadilan, dan peranannya sebagai lembaga hukum. Keputusan
pengadilan merupakan peraturan yang dapat diikuti oleh hakim berikutnya. Hal ini sesuai dengan
pandangan,14 hukum Amerika yang mengatakan bahwa: Law is what the courts will do in fact. Pandangan
ahli hukum Belanda,14 menekankan pada kehendak pemerintah yang harus dituruti. Dan apabila tidak
dikenakan sanksi. Hukum dalam kaitan ini berfungsi sebagai mengatur kehendak pemerintah, sekaligus
penegakannya.
15
Roscoe Pound, The Task of Law,Franklin and Marshal College, Lancaster, Pennsylvania, USA,1946,
Terj. Muh. Radjab, Bhrata, Jakarta, 1965, p.35.
49
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
ini dikenal pada abad pertengahan, tatkala kontrol sosial,16 yaitu kesadaran
bersama sebagai manusia yang dibatasi oleh kekuatan yang sepadan bagi
intensitas (keadaan tingkatan, atau ukuran intensinya) untuk bertingkah laku
dalam cara-cara tertentu tanpa memandang secara berlebih-lebihan kepentingan
sendiri dengan lingkungan sekelilingnya — belum mengenal diferensiasi–yaitu
proses pembedaan hak dan kewajiban warga masyarakat berdasarkan usia,
jenis kelamin – ketika hanya satu istilah harus mencakup artian peraturan tertulis
dan etika serta kebiasaan pada umumnya, kehidupan dalam masyarakat yang
berorganisasi politik di dalam negara-negara kota, adat pada umumnya, dan
pengawasan sosial, sebagai suatu keseluruhan.
Pada akhir zaman pertengahan, hukum Romawi dipahami sebagai titah
Raja yang diundangkan, bersifat mengikat (Codex Theodosius atau Peraturan
perundang-undangan Kaisar Justinianus)-yang diajarkan di universitas-
universitas. Plato, pada abad 4 SM, mengatakan bahwa negara yang ideal
hukum tidak dibutuhkan, karena keadilan yang berlaku sudah terdapat dalam
titah raja yang juga sebagai filosof.17 Hukum dianggapnya merupakan
pencerminan akal manusia yang paling sempurna dalam kehidupan bernegara
sehingga dapat diartikan sama dengan ilmu pengetahuan yang dijadikan patokan
bukanlah peraturan yang diundangkan, tetapi gagasan tentang urutan sebab
akibat, berdasarkan observasi.18
Dinamika hukum terus berkembang sesuai dengan berkembangnya
pergaulan masyarakat. Oleh karena itu hukum harus bersifat mengayomi,
mengandung asas-asas yang dijadikan rambu-rambu dalam menentukan
16
Kontrol sosial diartikan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 523,
sebagai kesadaran bersama sebagai manusia yang dibatasi oleh kekuatan yang sepadan bagi intensitas
(keadaan tingkatan, atau ukuran intensinya) untuk bertingkah laku dalam cara-cara tertentu tanpa
memandang secara berlebih-lebihan kepentingan sendiri dengan lingkungan sekelilingnya. Belum
mengenal diferensiasi (proses pembedaan hak dan kewajiban warga masyarakat berdasarkan usia, jenis
kelamin).
17
Encyclopaedia Britannica, Britanica Inc. USA, hlm. 716.
18
Roscoe Pound, Op.cit., hlm. 37 Ahli filsafat positivis memikirkan tentang hakekat, seperti di dalam
hukum yang mirip dengan hukum fisika, dan ilmu bintang, yang dapat diketemukan dengan observasi
dan dibuktikan kebenarannya dengan observasi lebih lanjut yang terkait dengan perkembangan sosial
dan terletak pada dasar-dasar ilmu kemasyarakatan. Jadi dalam ilmu-ilmu kemasyarakatan terdapat
hukum.
Oleh karena itu ada pandangan bahwa hukum dipengaruhi ilmu-ilmu lain dil luar hukum itu. Hukum yang
adalah gagasan tentang aturan, mengandung apa yang benar yang ditegakkan oleh penguasa, yang
mengatur kehidupan manusia, diundangkan dalam bentuk tulisan para ahli hukum tersebut, kemudian
pada abad ke 17 mengandung hak yang dilindungi hukum, disahkan oleh Raja.
50
Pemahaman Atas Multipartai Perkembangan Masyarakat dan Politik Hukum
19
Ibid, Encyclopedia. Menurut pengertian ini, hukum yang berwibawa adalah sekumpulan penuntun
yang berwibawa atau dasar-dasar kebijakan, yang dikembangkan dan ditetapkan melalui teknik penyusunan
yang baik dengan tujuan yang jelas yaitu mencapai ketertiban.
Dalam mencapai hukum yang otoritatif/berwenang memerintah atau berwibawa ini dicapai melalui
tahapan, dimulai dengan hukum untuk memelihara perdamaian, dengan cara menerapkan keadilan
melalui ganti rugi. Hukum semacam ini mengandung kaidah atau norma yang menentukan akibat
hukum tertentu dan terperinci bagi suatu keadaan atau situasi tertentu yang berkenaan dengan fakta,
yang dilaksanakan dengan menggunakan pemikiran secara rasional oleh para ahli hukum dalam
pelaksanaannya dengan dipagari asas-asas.
Hukum terus berkembang seiring dengan berkembangnya masyarakat yang diindikasikan dengan
bervariasinya pemanfaatan sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia. Dengan demikian diharapkan
hukum dapat menfungsikan dirinya agar tidak tertinggal dari perkembangan sekelilingnya. Disamping
itu tantangan semakin bertambah dengan rumitnya ketertiban ekonomi. Hukum harus menampilkan
diri dapat menampung permasalahan yang terjadi. Hukum tidak hanya berfungsi sebagai aturan tingkah
laku antar anggota masyarakat, tetapi juga tingkah laku perusahaan.
Keinginan manusia berkembang terus, pemikiran meningkat sehingga mulai memikirkan bahwa hukum,
disamping mengandung aturan tingkah laku manusia, mengandung asas untuk menjadi pedoman dalam
menafsirkan hukum. Kontrol sosial difungsikan, tidak sebagaimana pada abad pertengahan sebelum
Masehi. Hal ini dibutuhkan untuk memenuhi tujuan hukum tentang bagaimana anggota masyarakat
memandangnya untuk memenuhi kebutuhan mereka.
20
Roscoe Pound, Op.cit., hlm. 53.
21
Kenichi Ohmae, Government in The Post–National Era, Whaton Scool Publishing, Wharton
University, Pensylvania, 2002, p. 121.
51
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
22
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi Hukum Dalam Pembangunan Nasional, Bandung, Bina Cipta hlm. 7.
23
Mochtar Kusumaatmadja, Pembinaan Dan Pembaharuan Hukum Dalam Pembangunan Nasional,
BinaCipta, Bandung, 1978, hlm. 7.
52
Pemahaman Atas Multipartai Perkembangan Masyarakat dan Politik Hukum
24
Bagir Manan, Pembinaan Hukum, Kumpulan Karya Tulis Menghormati 70 tahun Prof.Dr. Mochtar
Kusumaatmadja, S.H.,LL.M, Unpad Prss, Bandung, 1999 hlm. 231.
25
Bagir Manan, Op.cit., hlm. 232.
53
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
dan juga tunduk pada kewajibannya yaitu mewujudkan cita-cita dalam kehidupan
berbangsa dalam keberadaan masyarakat Indonesia yang beragam sangat
rentan terhadap disintegrasi bangsa. Oleh karena itu dalam menentukan politik
hukum unsur-unsur ini perlu diperhatikan, misalnya bagaimana pengaturannya
terhadap rakyat yang tingkat pendidikannya rendah (yang lebih banyak jumlahnya
di daerah-daerah) dalam memanfaatkan peluang mengeluarkan suara agar tidak
dijadikan komoditas oleh pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab untuk
kepentingannya dalam mencari kekuasaan.
D. Penutup
1. Kesimpulan
a Pengaturan hukum yang menjadi patokan pelaksanaan Parpol dalam
kehidupan berbangsa terus berubah sesuai perkembangan
perkembangan kebutuhan masyarakat yang semakin beragam, terakhir
ditampung dalam UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik.
b Politik hukum dalam memenuhi pelaksanaan multipartai masyarakat
Indonesia yang heterogen dilakukan dengan memperhatikan keadilan
terhadap rakyat, antara lain memperhatikan keberadaan masyarakat
baik terhadap budaya, agama, dan adat istiadat yang berbeda.
2. Saran
a Seyogyanya pelaksanaan kegiatan partai politik disamping melakukan
pemahaman dan usaha mencapai tujuan memajukan dan
mempersatukan bangsa, juga memperhatikan pendidikan berpolitik
dan pendidikan dalam mempersiapkan anggota untuk menjadi
pemimpin.
b Untuk mencapai efektivitas pelaksanaan prinsip demokrasi berpolitik
dalam masyarakat yang heterogen, juga hendaknya memperhatikan
hak masyarakat yang tingkatan pendidikannya masih rendah dan sering
dimanfaatkan untuk kepentingan partai, melalui sosialisasi dan praktek
pelaksanaannya.
54
DAFTAR PUSTAKA
55
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
Abstrak
Menurut paham negara Demokrasi modern, Partai Politik,
Pemilihan Umum dan Badan Perwakilan Rakyat merupakan tiga
institusi yang tidak dapat dipisahkan antara satu dengan yang
lain. Setiap Partai Politik akan selalu berusaha untuk
memperoleh dukungan rakyat yang besar pada saat Pemilihan
Umum agar Badan Perwakilan Rakyat di dominasi oleh Partai
Politik yang bersangkutan.
Pada saat pemilu dijadikan manifestasi prinsip
kedaulatan rakyat, maka mulai saat itulah rakyat diberikan
kebebasan dalam menentukan calon-calon wakil rakyat yang
tergabung dalam Partai Politik.
Kehendak rakyat ialah dasar kekuasaan pemerintah.
Kehendak itu akan dilahirkan dalam pemilihan-pemilihan
berkala dan jujur yang dilakukan dalam pemilihan umum dan
berkesamaan atas pengaturan suara yang rahasia, dengan cara
pemungutan suara yang bebas dan yang sederajat dengan itu.
Dengan demikian kebebasan, kejujuran, rahasia dan
berkesamaan merupakan hal yang esensial dalam
penyelenggaraan pemilu.
A. Pendahuluan
Pelaksanaan demokrasi dalam negara demokrasi modern sudah tidak
mungkin lagi dilaksanakan dengan mempergunakan model demokrasi langsung.
Banyak kendala yang dihadapi, jika demokrasi langsung itu akan dilaksanakan.
Oleh sebab itu, pelaksanaan demokrasi dilakukan oleh wakil-wakil rakyat yang
duduk sebagai anggota Badan Perwakilan Rakyat.
Sehubungan dengan hal tersebut cara yang dipergunakan untuk
menentukan keanggotaan Badan Perwakilan Rakyat tersebut adalah :
1. Pemilihan Umum;
2. Pengangkatan; dan
3. Campuran (Kombinasi antara Pemilihan Umum dan Pengangkatan).
Pemilihan Umum merupakan salah satu sendi untuk tegaknya sistem politik
demokrasi. Tujuan Pemilihan Umum tidak lain adalah untuk
mengimplementasikan prinsip-prinsip demokrasi, dengan cara memilih wakil-
56
Dekomrasi dan Partai Politik
1
Henry B. Mayo, dalam Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1986, hlm.
61.
2
Topik ini diambil dari Makalah B Hestu Ciptohandoyo, SH,M.Hum yang berjudul Indonesia
Menyongsong Pemilihan Umum 2004 “, Seminar Sehari “Media Law & Election, Kerjasama FH-UAJ
dan Indonesia Media Law & Policy Centre, Yogyakarta, 29 Juni 2002.
57
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
Politik yang menduduki kursi mayoritas, maka diberi kesempatan pertama untuk
menentukan komposisi Pemerintahan Negara. Sedangkan jika ternyata dalam
Pemilu tidak ada satupun Partai Politik yang mampu menduduki kursi mayoritas,
maka penentuan komposisi Pemerintahan Negara dilakukan dengan cara koalisi,
yakni bergabungnya dua Partai Politik atau lebih untuk memperkuat suara di
Parlemen. Dengan demikian dalam konteks sistem Parlementer, maka korelasi
antara Pemilu dan Pemilihan Kepala Pemerintahan sifatnya adalah tidak
langsung. Hal ini berbeda dengan yang terjadi di Sistem Presidensiil.
Di dalam sistem Ketatanegaraan Indonesia Pasca Sidang Umum (SU)
MPR tahun 1999, kelaziman tersebut ditolak melalui argumentasi konstitusional
yang menegaskan bahwa Pemilihan Presiden merupakan wewenang MPR. Oleh
sebab itulah hasil Pemilu tahun 1999 tidak dapat dipergunakan sebagai ukuran
untuk menentukan secara langsung jabatan Kepala Pemerintahan. Konstitusional
kasus3 semacam inilah yang mengakibatkan Megawati harus berlapang dada
untuk memberikan kesempatan kepada KH. Abdurrahman Wahid menjadi
Presiden, walaupun dalam Pemilu tahun 1999 Partai yang dipimpin oleh
Megawati yakni PDIP memperoleh suara (kursi) di MPR lebih kurang 36%.
Hal ini berarti antara Pemilu dan Pemilihan Presiden bukan merupakan “satu
tarikan nafas” dalam penentuan rezim.
Dari gambaran tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk
melaksanakan Pemilihan Umum guna menentukan seseorang menjadi pejabat
negara (Presiden dan Wakil Presiden), dapat ditempuh melalui dua alternatif,
yaitu:
1. Pemilihan secara langsung, artinya para pemilih melakukan pemilihan
orang atau kontestan (peserta) yang disukai; dan
2. Pemilihan secara bertingkat (tidak langsung), yaitu para pemilih melakukan
pemilihan orang-orang untuk menjadi anggota suatu lembaga kenegaraan
yang mempunyai wewenang untuk memilih orang yang akan menjadi pejabat
negara tersebut. Contoh cara seperti ini pemilihan Presiden dan Wakil
Presiden Republik Indonesia yang dilakukan oleh MPR sebelum
Amandemen UUD 1945.
3
Maksud Konstitusional Kasus disini adalah keadaan atau realitas konstitusi yang tidak sesuai dengan
paradigma teori ketatanegaraan.
58
Dekomrasi dan Partai Politik
4
Bintan R. Saragih, Lembaga Perwakilan dan Pemilihan Umum Indonesia, Gaya Media Pratama,
Jakarta, 1988, hlm. 171, dst.
5
Wolhoff, dalam Bintan R. Saragih, Loc.cit.
59
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
6
Loc.cit
60
Dekomrasi dan Partai Politik
7
Ketika buku ini disusun RUU tentang Pemilihan Umum tersebut masih dalam tahap pembicaraan di
DPR-RI
8
Pasal 5 ayat (l) UU tentang Pemilihan Umum.
61
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
62
Dekomrasi dan Partai Politik
63
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
Pusat yang akan diperebutkan dalam Pemilihan Umum harus lebih dulu dibagikan
ke daerah-daerah pemilihan. Tetapi jumlah kursi yang diperebutkan ini tidak
boleh satu untuk satu daerah pemilihan, melainkan harus lebih dari satu. Inilah
yang sering disebut Multy member constituency. Sehingga pemenang dari
satu daerah pemilihan terdiri dari lebih dari satu orang.
Contoh yang dapat dipergunakan untuk memperjelas sistem ini adalah :
Misalnya suatu negara yang mempunyai 30 kursi di Parlemen akan
menyelenggarakan Pemilihan Umum dengan sistem proporsional. Langkah-
langkah yang harus ditempuh adalah :
- Pertama : dibagikan terlebih dahulu 30 kursi tersebut kepada daerah-
daerah pemilihan, misalnya ada 4 (empat) daerah pemilihan.
- Kedua: dengan mempertimbangkan wilayah negara, jumlah penduduk dan
sebagainya, maka ditentukan sebagai berikut :
Daerah Pemilihan A: 10 kursi.
Daerah Pemilihan B : 7 kursi.
Daerah Pemilihan C: 7 kursi.
Daerah Pemilihan D : 6 kursi.
- Ketiga : misalnya kursi yang berada di daerah pemilihan A yang berjumlah
10 dibagikan kepada Partai politik/golongan politik peserta Pemilihan
Umum sesuai dengan imbangan suara yang diperoleh dalam pemilihan umum
yang bersangkutan.
- Keempat : dari hasil yang diperoleh tersebut, Partai politik/golongan politik
dapat menentukan anggota-anggotanya yang akan duduk di Parlemen
dengan berlandaskan pada stelsel daftar calon anggota Parlemen. Stelsel
daftar ini tersusun berdasarkan nomor urut. Oleh sebab itu nomor urut
yang paling atas-lah yang memungkinkan untuk dapat dipilih oleh Partai
politik yang bersangkutan sebagai wakil rakyat yang duduk di Parlemen.
Dalam perhitungan suara - dalam rangka menentukan jumlah kursi yang
diperoleh masing-masing Partai politik/golongan politik peserta Pemilihan Umum
- maka cara yang ditempuh adalah dengan membagi jumlah suara yang diperoleh
masing-masing peserta Pemilihan Umum dengan Bilangan Pembagi Pemilih
(BPP). Sedangkan sisa suara yang mungkin ada di suatu daerah pemilihan
tidak dapat dipindahkan ke daerah pemilihan yang lain.
Secara ideal sistem pemilihan umum proporsional ini mengandung
kebaikan-kebaikan, seperti jumlah suara pemilih yang terbuang sangat sedikit,
64
Dekomrasi dan Partai Politik
9
Ibid, hlm. 180
65
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
10
Lihat Penjelasan Umum dalam Draft RUU tentang Pemilihan Umum.
66
Dekomrasi dan Partai Politik
sepuluh tahapan teknis sesuai Pasal 4 UU No. 10 Tahun 2008 tentang Pemilu
(1) Pemilu dilaksanakan setiap 5 tahun sekali
(2) Tahapan penyelenggaraan Pemilu meliputi :
a. Pemutakhiran data pemilih dan penyusunan daftar pemilih
b. Pendaftaran peserta pemilu
c. Penetapan peserta pemilu
d. Penetapan jumlah kursi dan penetapan daerah pemilihan
e. Pencalonan anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi, dan DPRD
Kabupaten kota
f. Masa kampanye
g. Masa tenang
h. Pemungutan dan Penghitungan suara
i. Penetapan hasil Pemilu
j. Pengucapan sumpah janji anggota DPR, DPRD Provinsi dan DPRD
Kab/Kota.
11
Herbert Feith, The Indonesian Elections of 1955.
67
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
Feith ini juga nampak jelas dalam realitas politik menjelang dan sesudah Pemilu
tahun 1999, yang juga dianggap sebagai salah satu Pemilu di Indonesia yang
demokratis.
Kondisi Politik menjelang Pemilu tahun 1999 ditandai dengan ambruknya
legitimasi rezim Orde Baru sebagai akibat bobroknya moralitas para
penyelenggara negara melalui penguatan KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme)
secara sistemik yang pada gilirannya mengakibatkan terjadinya krisis multi-
dimensional. Kondisi semacam ini yang kemudian mengakibatkan munculnya
kompromi-kompromi dikalangan elit politik setelah jatuhnya Presiden Soeharto
- untuk mempercepat pelaksanaan Pemilu pada tahun 1999.
Tidak dapat dipungkiri bahwa secara umum Pelaksanaan Pemilu tahun
1999 memang lebih demokratis ketimbang Pemilu-pemilu semasa Orde Baru.
Akan tetapi pelaksanaan yang demokratis tersebut tidak diimbangi dan dibarengi
dengan kelanjutan mekanisme sistem ketatanegaraan yang demokratis pula.
Bahkan disana-sini cenderung kearah anarkhis. Berbagai kompromi politik pasca
Pemilu tahun 1999 masih tetap mendominasi dalam penyelenggaraan sistem
ketatanegaraan. Konflik antara Eksekutif dan Legislatif memuncak dan tak
terkendali.
Dalam negara demokratis, kompromi-kompromi politik seharusnya
diletakkan dalam lingkup konstitusional (kelembagaan) demokratis secara
konstitusional. Tidak hanya sekedar pertemuan-pertemuan informal antar elit
Partai Politik yang sifatnya jelas ekstra-konstitusional. Kita bisa mengambil
beberapa contoh, diantaranya adalah penentuan Kabinet di Era KH.
Abdurrahman ‘Gus Dur’ Wahid dan Era Megawati Soekarno Putri yang sarat
dengan kompromi politik untuk bagi-bagi “kue” kekuasaan. Contoh lain adalah
pertemuan-pertemuan elit Partai Politik yang dilakukan di luar Parlemen dan
semakin marak guna mengambil kesepakatan-kesepakatan politik dalam rangka
menghadapi suatu moment ketatanegaraan tertentu, misalnya menghadapi Sidang
Tahunan (ST) MPR.
Contoh-contoh tersebut di atas mengakibatkan hasil Pemilu tahun 1999
hanya bermakna demokratis yang semu. Rakyat sebagai subyek utama prinsip
kedaulatan rakyat masih tetap diletakkan sebagai obyek dari Partai-partai Politik
dalam menancapkan hegemoninya untuk melanggengkan kekuasaan. Tragisnya
proses pembodohan rakyat masih terus saja berlangsung. Inilah gambaran kilas
balik Pemilu yang dapat penulis kemukakan secara singkat. Semoga gambaran
68
Dekomrasi dan Partai Politik
E. Partai Politik
Keberadaan Partai Politik dalam kehidupan ketatanegaraan pertama kali
dijumpai di Eropa Barat, yakni sejak adanya gagasan bahwa rakyat merupakan
faktor yang patut diperhitungkan serta diikut sertakan dalam proses politik,
Dengan adanya gagasan untuk melibatkan rakyat dalam proses politik
(kehidupan dan aktifitas ketatanegaraan), maka secara spontan Partai Politik
berkembang menjadi penghubung antara rakyat disatu pihak dan pemerintah
di pihak lain.12
Dengan demikian dapat ditarik pengertian bahwa sebagai organisasi yang
secara khusus dipakai sebagai penghubung antara rakyat dengan Pemerintah,
keberadaan Partai Politik sejalan dengan munculnya pemikiran mengenai paham
demokrasi dan kedaulatan rakyat dalam penyelenggaraan sistem ketatanegaraan.
Sudah banyak definisi yang dikemukakan oleh para sarjana mengenai
pengertian Partai Politik tersebut. Definisi-definisi tersebut antara lain :13
1. Carl J. Friedrich: Sekelompok manusia yang terorganisir secara stabil
dengan tujuan merebut atau mempertahankan penguasaan terhadap
pemerintahan bagi pemimpin Partainya, dan berdasarkan penguasaan ini
memberikan kepada anggota Partainya kemanfaatan yang bersifat ideal
maupun materiil.
2. R.H. Soltou: Sekelompok warganegara yang sedikit banyak terorganisir,
yang bertindak sebagai satu kesatuan politik, yang dengan memanfaatkan
kekuasaan memilih, bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan
kebijaksanaan umum mereka.
3. Sigmund Neumann: Organisasi dari aktivis-aktivis politik yang berusaha
untuk menguasai kekuasaan pemerintahan serta merebut dukungan rakyat
atas dasar persaingan melawan golongan atau golongan-golongan lain yang
tidak sepaham.
12
Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1986, hlm. 159.
13
Ibid, hlm. 160-161.
69
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
70
Dekomrasi dan Partai Politik
14
Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia suatu Model Pengantar, Cet V, Sinar Baru, Bandung,
1988, hlm. 62.
15
Dirangkum dari Mirriam Budiano, Op.cit., hlm. 166-167.
71
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
72
Dekomrasi dan Partai Politik
sulit untuk dilakukan. Apalagi Koalisi antar Partai Politik dengan Ideologi yang
jauh berseberangan. Misal Koalisi antar Partai yang berideologikan keagamaan
tertentu.
Sistem Kepartaian.
Dalam kehidupan Politik ketatanegaraan suatu negara, pada prinsipnya
dikenal adanya tiga sistem kepartaian, yaitu :16
a. Sistem Partai Tunggal (the single party system). Istilah ini dipergunakan
untuk Partai Politik yang benar-benar merupakan satu-satunya Partai
Politik dalam suatu Negara, maupun untuk Partai Politik yang mempunyai
kedudukan dominan di antara beberapa Partai politik lainnya. Namun
demikian - oleh para sarjana - dianggap merupakan bentuk penyangkalan
diri (contradictio in terminis), mengingat dalam pengertian sistem itu
sendiri akan selalu mengandung lebih dari satu unsur atau komponen.
Kecenderungan untuk mengambil sistem Partai Tunggal disebabkan, karena
Pimpinan negara-negara baru sering dihadapkan masalah bagaimana
mengintegrasikan berbagai golongan, daerah, suku bangsa yang berbeda
corak sosial dan pandangan hidupnya. Dikhawatirkan bahwa bila
keanekaragaman sosial budaya ini dibiarkan tumbuh dan berkembang,
besar kemungkinan akan terjadi gejolak-gejolak sosial yang menghambat
usaha-usaha pembangunan dan menimbulkan disintegrasi.
b. Sistem dua Partai (two party system). Menurut Maurice Duverger, sistem
ini adalah khas Anglo Saxon (Amerika, Filipina). Dalam sistem ini Partai-
partai Politik dengan jelas dibagi kedalam Partai Politik yang berkuasa
(karena menang dalam Pemilihan Umum) dan Partai Oposisi (karena kalah
dalam Pemilihan Umum).17
c. Sistem Banyak Partai (multy party system). Pada umumnya sistem
kepartaian semua ini muncul karena adanya keanekaragaman sosial budaya
dan politik yang terdapat di dalam suatu negara.18
16
Lihat Ibid, hlm. 167.
17
Loc.cit.
18
Ibid, hlm. 169.
73
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
19
Dirangkum dari Ali Moertopo, Strategi Pembangunan Nasional, Get II, CSIS, Jakarta, 1982, hlm.
190, dst.
74
Dekomrasi dan Partai Politik
75
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
20
Ibid, hlm. 197.
76
Dekomrasi dan Partai Politik
Organisasi atau Golongan Politik lainnya, di luar yang telah diatur oleh UU No.
3 Tahun 1975. Walaupun Undang-Undang ini mengalami perubahan
berulangkali, namun kondisi kepartian di Indonesia berjalan tetap seperti semula.
Ini berarti kehidupan demokrasi yang ditandai dengan adanya jaminan
kebebasan masyarakat untuk berkumpul dan berserikat, menyampaikan
pendapat baik tertulis maupun lisan, sebagaimana diatur di dalam Pasal 28
UUD 1945 tidak terakomodasi dengan baik. Bahkan dalam berbagai hal,
Pemerintahan rezim Orde Baru membatasi ruang gerak dari kedua Partai Politik
yang ada.
Golkar sebagai kekuatan mayoritas dan selalu memegang posisi single
majority selalu mendominasi peta kehidupan politik ketatanegaraan Indonesia.
Kemampuan Golkar yang demikian ini, sebenarnya tidak melulu karena
kekuatan diri sendiri, melainkan karena diberikannya fasilitas-fasilitas politik
oleh Pemerintah. Pada hakikatnya kekuatan GOLKAR dalam lingkup politik,
disebabkan oleh adanya tiga pilar utama sebagai penyangga, yakni Presiden
Soeharto (sebagai Dewan Pembina GOLKAR), Birokrasi dan Militer (TNI/
Polri). Bahkan dalam konteks Floating Mass (massa mengambang) yang hanya
diperkenankan untuk membentuk kepengurusan sampai ke tingkat Desa,
hanyalah Golkar melalui struktur Birokrasi yang ada. Pegawai Negeri Sipil dan
TNI maupun Polri secara otomatis merupakan Keluarga Besar Golkar.
Dengan “keterpasungan” kehidupan kepartaian selama rezim Orde Baru
inilah, maka pelaksanaaan sistem ketatanegaraan Indonesia menjadi tidak
sejalan alias menolakprinsip-prinsip Pemerintahan yang demokratis. Puncak
dari “keterpasungan” kehidupan kepartaian di Indonesia tersebut mencapai
titik kulminasi dan menimbulkan perlawanan-perlawanan politik, adalah ketika
Partai Demokrasi Indonesia “dipecah” oleh Pemerintah Orde Baru dengan
cara tidak mengakui kepemimpinan Megawatt Sukarno Putri, dan hanya
mengakui PDI yang dipimpin oleh Soerjadi.
Perpecahan di tubuh PDI tersebut menimbulkan kemelut berkepanjangan
yang pada akhimya mengakibatkan peristiwa berdarah yang sering disebut
“Peristiwa Sabtu Kelabu” pada tanggal 27 Juli tahun 1996. Peristiwa ini
disebabkan sikap dari aparat Keamanan yang bertindak sangat represif kepada
massa pendukung PDI versi Megawati Sukamo Putri yang menduduki Kantor
Pusat PDI di Jln. Diponegoro Jakarta. Dari “Peristiwa Sabtu Kelabu” inilah,
muncul berbagai perlawanan susulan dari para aktivis gerakan Pro demokrasi
77
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
untuk menentang kezaliman rezim Orde Baru. Perlawanan dari para aktivis
pro demokrasi ini mencapai titik keberhasilan setelah Indonesia menghadapi
krisis ekonomi di akhir tahun 1997 yang ditandai dengan merosotnya nilai tukar
Rupiah atas Dolar AS sampai berkisar Rp. 15.000,-/Dolarnya.
Kondisi ekonomi dan moneter ini kemudian menjadi titik tolak untuk
menumbangkan Presiden Soeharto yang telah memegang kepemimpinan
nasional yang kalau diakumulasikan berlangsung sepanjang kurang lebih 32
tahun. Dengan tumbangnya Presiden Soeharto inilah, maka terbuka kesempatan
untuk mengembangkan kehidupan kepartaian yang lebih demokratis. Sehingga
menjelang Pemilu tahun 1999, sistem Kepartaian di Indonesia berubah menjadi
sistem multi partai. Sistem seperti ini dikukuhkan dengan munculnya UU No. 2
Tahun 1999 tentang Partai Politik.
Demikianlah perjalanan sejarah kehidupan kepartaian di Indonesia. Dari
sejarah perjalanan tersebut, kecenderungan akan menguatnya politik aliran
(ideologi) yang dibawa oleh masing-masing Partai Politik masih menunjukkan
kekentalannya. Pertanyaannya, kapankah peta kehidupan politik Indonesia lebih
menunjukkan pola egaliter? jawaban atas permasalahan ini, sangat tergantung
dan perkembangan budaya politik dan masyarakat Indonesia.
G. Penutup
a. Kesimpulan
1. Tidak ada demokrasi tanpa Partai Politik.
2. Partai Politik adalah produk dari kebebasan berfikir berpendapat,
berserikat dan berkumpul.
3. Partai Politik merupakan alat bagi rakyat dalam menjalankan
kedaulatan rakyat.
4. Pemilihan Umum (Pemilu) adalah mekanisme untuk menentukan pilihan
rakyat terhadap Partai Politik.
b. Saran
Banyaknya Partai Politik, merupakan konsekwensi kelirunya penilaian
terhadap demokrasi Indonesia. Menyongsong Pemilu 2009 saja, tidak
kurang dari 60 Partai Politik sebagai Peserta Pemilu.
Oleh karena itu demi mewujudkan demokrasi sejati dan bukan demokrasi
semu yang mengatas-namakan rakyat, sebaiknya Partai-partai Politik :
1. Mampu memperkuat jajaran Pimpinan dan kepengurusan termasuk
78
Dekomrasi dan Partai Politik
79
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
DAFTAR PUSTAKA
80
PARADIGMA BARU UU NO. 2 TAHUN 2008
TENTANG PARTAI POLITIK
Oleh: A.A. Oka Mahendra, S.H.
Pendahuluan
Sesudah amandemen ke-3 UUD Negara R.I. Tahun 1945 basis
konstitusional eksistensi partai politik di Indonesia semakin kuat sebagai salah
satu pilar pelaksanaan prinsip negara yang berkedaulatan rakyat, sebagaimana
diamanatkan dalam alinea ke-4 Pembukaan UUD Negara R.I. Tahun 1945
dan Pasal 1 ayat (2) UUD Negara R.I. Tahun 1945.
Sebelum amandemen ke-3 UUD Negara R.I. Tahun 1945, eksistensi
partai politik memperoleh dasar konstitusionalnya dalam Pasal 28 UUD yang
menjamin kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran
dengan lisan dan tulisan dan sebagainya. Sejak amandemen ke-3 UUD secara
eksplisit ditentukan peranan partai politik dalam pengusulan pasangan calon
Presiden dan Wakil Presiden (Pasal 6A ayat (2) untuk dipilih langsung oleh
rakyat. Selain itu UUD menentukan pula peranan partai politik sebagai peserta
pemilihan umum untuk memilih anggota DPR dan anggota DPRD (Pasal 22E
ayat (3).
Mengapa UUD menekankan pada salah satu fungsi partai politik saja
yaitu sebagai sarana rekrutmen kepemimpinan politik? Padahal disamping itu
partai politik mempunyai fungsi lainnya seperti fungsi sarana komunikasi politik,
sarana sosialisasi politik dan sarana pengatur konflik (Mariam Budiardjo,
1981:14-17). Sebabnya ialah karena pembentuk UUD memandang soal
kepemimpinan politik sangat strategis dalam penyelenggaraan negara. Melalui
proses rekrutmen kepemimpinan yang demokratis diharapkan supra struktur
politik akan diisi oleh pemimpin-pemimpin yang akseptabel dan kapabel melalui
proses seleksi yang demokratis. Sudah tentu fungsi lainnya dari partai politik
tetap dianggap penting dan secara lebih rinci akan diatur dalam UU sebagai
pelaksanaan ketentuan konstitusi.
Seperti diketahui sesudah amandemen ke-3 UUD Negara R.I. tahun
1945 pada tahun 2002 telah diundangkan UU No. 31 Tahun 2002 tentang
Partai Politik untuk menggantikan UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik
yang dipandang sudah tidak sesuai dengan perkembangan masyarakat dan
81
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
82
Paradigma Baru UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
83
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
84
Paradigma Baru UU No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
tersebut adalah anggota yang termasuk dalam lingkaran elit partai. Lebih-
lebih lagi tipologi partai politik di Indonesia dekat dengan partai massa.
Menurut Maurice Duverger (1981:19) “Lingkungan dalam (inner circle)
ini menyerupai sedikit banyak kepemimpinan partai tradisional yang seakan-
akan menyelinap di tengah-tengah jantung partai masa tersebut”.
Elit politiklah yang sesungguhnya menentukan kebijakan partai termasuk
kepemimpinan partai. Bahkan tak jarang elit politiklah yang sesungguhnya
menentukan kebijakan partai termasuk kepemimpinan partai. Bahkan tak
jarang di kalangan partai politik tertentu pengambilan keputusannya bersifat
top down ketimbang bottom up.
3. Transparansi dan Akuntabilitas dalam Pengelolaan Keuangan Partai Politik
Mengenai transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan partai politik
diatur secara rinci dalam Bab XV mengenai keuangan yang terdiri dari
Pasal 34 sampai dengan Pasal 39. Undang-undang menentukan bahwa
penerimaan dan pengeluaran keuangan partai politik dikelola melalui
rekening kas umum partai politik dan pengurus partai politik di setiap
tingkatan melakukan pencatatan atas semua penerimaan dan pengeluaran
keuangan partai politik (Pasal 36 ayat (2) dan ayat (3).
Selanjutnya dalam Pasal 37 ditentukan bahwa pengurus partai politik di
setiap tingkatan organisasi menyusun laporan pertanggungjawaban
penerimaan dan pengeluaran keuangan setelah tahun anggaran berkenan
berakhir.
Kemudian Pasal 38 menentukan hasil pemeriksaan dan pengeluaran
keuangan partai politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 terbuka
untuk diketahui masyarakat.
Ketentuan yang cukup bagus tersebut dalam praktek sulit dilaksanakan.
Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa partai politik belum tertib
mengelola keuangannya. Lebih-lebih lagi ketentuan Pasal 37 dan Pasal 38
tersebut tidak bersifat mewajibkan sehingga pelanggaran terhadap ketentuan
tersebut tidak ada sanksinya.
4. Peningkatan Kesetaraan Gender
Peningkatan kesetaraan gender tampaknya menjadi salah satu isu penting
dalam perubahan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002.
Pasal-Pasal Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 yang berkaitan dengan
peningkatan kesetaraan gender dimulai dari Pasal 2 ayat (5) yang
menentukan : “Kepengurusan partai politik tingkat pusat sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30%
keterwakilan perempuan . Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 2 dikenai
85
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
86
Paradigma Baru UU No. 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik
87
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
demokrasi internalnya dan konsolidasi program agar lebih aspirasif dan aplikatif.
Sementara itu Undang-undang Partai Politik akan memberi sumbangan berharga
untuk peningkatan kualitas partai politik di masa mendatang, apabila undang-
undang tersebut dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen.
Partai politik diharapkan tidak hanya sibuk menjelang pemilihan umum
atau kongres/musyawarah/muktamar partai politik yang bersangkutan, tetapi
secara nyata memperjuangkan dan membela kepentingan politik anggota,
masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara NKRI berdasarkan Pancasila
dan UUD Negara R.I Tahun 1945. Partai politik yang berfungsi secara efektif
akan selalu bersama rakyat, berjuang untuk kesejahteraan rakyat.
Penutup
Dari uraian di atas dapat dikemukakan kesimpulan sebagai berikut:
1. Eksistensi partai politik memiliki basis konstitusional yang kuat dalam
Undang-Undang Dasar Negara R.I. Tahun 1945 sebagai salah satu pilar
penyelenggaraan negara yang berkedaulatan rakyat.
2. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik dibentuk
antara lain dengan pertimbangan untuk menampung dinamika dan
perkembangan masyarakat yang majemuk guna meningkatkan peran, fungsi
dan tanggung jawab partai politik dalam kehidupan demokrasi.
3. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
mengakomodasikan paradigma baru antara lain penguatan sistem
kelembagaan partai politik, yang menyangkut demokratisasi internal partai
politik, transparasi dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangannya,
peningkatan kesetaraan gender dan kepemimpinan partai politik dalam
sistem nasional, berbangsa dan bernegara dan perlunya pendidikan politik.
4. Partai politik di masa mendatang diharapkan meningkatkan kualitasnya
sehingga dapat memainkan peranan yang lebih positif untuk membangun
demokrasi dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat.
Untuk itu partai politik perlu melakukan konsolidasi organisasi, kepemimpinan,
kader dan programnya agar lebih aspiratif.
88
DAFTAR PUSTAKA
89
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
PENYEDERHANAAN PARTAI
DALAM SISTEM MULTIPARTAI: TIDAK KONSISTEN
1. Pendahuluan
Paska reformasi, sistem demokrasi di Indonesia memasuki era baru
khususnya dengan munculnya sistem multipartai dalam pemilu di Indonesia.
Hal ini terlihat dari kehadiran partai politik dalam pemilu tahun 1999 sebanyak
48 partai politik yang mengikuti pemilu. Jumlah partai yang mengikuti pemilu ini
jauh berbeda dengan masa Orde Baru yang hanya 3 pihak yang ikut pemilu
yaitu Golongan Karya, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai
Demokrasi Indonesia (PDI).
Sistem multipartai ini dimaksudkan untuk menjamin semua partai politik
dapat berpartisipasi dalam demokrasi. Sistem multipartai ini diimbangi dengan
adanya pembatasan jumlah partai politik yang dapat mengikuti pemilu berikutnya
dengan adanya mekanisme electoral threshold (ET). Dalam pemilu Tahun
1999, partai-partai politik yang tidak memenuhi jumlah kursi 2% di Parlemen
tidak dapat mengikuti pemilu tahun 2004. Ketentuan pembatasan peserta pemilu
kemudian berlanjut dengan peningkatan 3% jumlah kursi di parlemen untuk
dapat mengikuti pemilu tahun 2009 sebagaimana diatur dalam UU No. 12
Tahun 2003 tentang Pemilu.1
Pembatasan dengan ET ini kemudian dianggap sebagai cara untuk
mengeliminasi partai-partai yang sesungguhnya tidak diinginkan kehadirannya,
dan di Indonesia threshold menjadi bentuk pembatasan untuk mengikuti pemilu
berikutnya bagi partai yang ikut pemilu yang tujuannya adalah untuk mengurangi
jumlah partai politik. Akibatnya, partai-partai politik yang tidak memenuhi ET
tidak dapat mengikuti pemilu berikutnya. Kondisi ini memunculkan gugatan
bahwa mekanisme ET melanggar kontitusi yaitu UUD 1945 yang pada akhirnya
ditolak oleh Mahkamah Konstitusi (MK).2
1
Lihat Pasal 9 UU No. No. 12 Tahun 2003.
2
Lihat Permohonan Judicial Review 17 Partai Politik di Mahkamah Konstitusi dalam Perkara
No. 16/PUU-V/2007.
90
Penyederhanaan Partai dalam Sistem Multipartai: Tidak Konsisten
91
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
3
Lihat Perolehan suara dan kursi Partai di DPR RI pada pemilu 1999/2004. 7 (tujuh) partai politik
yang memanuhi 3% adalah Partai Golkar, PDIP, PPP, Partai Demokrat, PAN, PKB, dan PKS.
92
Penyederhanaan Partai dalam Sistem Multipartai: Tidak Konsisten
4
Para pemohon ini terdiri dari 13 Parpol yakni PPD, PPIB, PBR, PDS, PBB, PKPI, PPDK, PNBK,
Partai Pelopor, PPDI, PBSD, PSI, dan PKPB.
93
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
5
Lihat Putusan MK Perkara No. No. 16/PUU-V/2007, hlm. 83.
94
Penyederhanaan Partai dalam Sistem Multipartai: Tidak Konsisten
pula isu-isu yang diusung oleh partai politik dalam pemilihan umum nasional
adalah betul-betul isu nasional yang terpilih dan berbobot untuk ditangani
lembaga perwakilan rakyat dan pemerintah tingkat nasional.
Cakupan penyempurnaan UU No. 12 Tahun 2003 salah satu agendanya
adalah pengetatan persyaratan bagi partai peserta Pemilu legislatif dalam rangka
mengkondisikan sistem multipartai sederhana. Ruang lingkup agenda pengetatan
persyaratan peserta Pemilu yang dapat dilakukan adalah:
a. Memberlakukan persyaratan partai peserta Pemilu sekurang-kurangnya
12 (dua belas) bulan sebelum Pemilu diselenggarakan. Persyaratan ini
diperlukan agar tersedia cukup waktu bagi calon partai peserta Pemilu
memperluas jaringan organisasi serta dikenal oleh masyarakat;
b. Mempertahankan persyaratan electoral threshold (ET) bagi partai peserta
Pemilu legislatif berikutnya yang ditingkatkan secara bertahap, dari 3 (tiga)
persen untuk Pemilu tahun 1999 menjadi 5 (lima) persen untuk Pemilu
2014. Persyaratan ET 2 (dua) persen pada Pemilu 2004 memang berhasil
mengurangi jumlah partai peserta Pemilu dari 48 partai peserta Pemilu
1999 menjadi separohnya (24 partai) pada Pemilu berikutnya. Persyaratan
ET 3 persen untuk Pemilu 2009 dan ET 5 persen untuk Pemilu 2014
diharapkan dapat mengurangi jumlah partai peserta Pemilu secara lebih
signifikan lagi;
c. Partai politik yang tidak lolos ET 3 persen dapat bergabung dengan partai
yang lolos ET dan meleburkan diri, atau bergabung dengan partai-partai
yang tidak lolos ET 3 % sehingga memenuhi ET 3%, kedua metode
dimaksud sebagaimana dimaksud telah diatur dalam Pasal 9 ayat (2) UU
No. 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD
Provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota;
d. Menetapkan jumlah minimal anggota partai terdaftar sekurang-kurangnya
1000 (seribu) orang atau sekurang-kurangnya 1/1000 (satu permil) dari
jumlah penduduk pada setiap kepengurusan di tingkat provinsi maupun di
tingkat kabupaten/kota yang dibuktikan dengan kepemilikan KTA (Kartu
Tanda Anggota).
Dalam Naskah Akademis RUU tersebut juga dinyatakan adanya
kesadaran bahwa terdapat berbagai problematika UU No. 12 Tahun 2003
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, DPRD yang salah satunya adalah
persyaratan electoral threshold tidak diterapkan secara konsisten. Walaupun
95
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
jumlah partai peserta Pemilu berkurang, namun UU No. 12 Tahun 2003 kurang
dapat mendorong terjadinya pembatasan partai-partai yang memperoleh kursi
di parlemen, sehingga kebutuhan akan hadirnya partai mayoritas tidak terjadi.
Oleh karenanya, dalam RUU Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD salah satu
materi penting yang diatur adalah partai politik dapat menjadi peserta Pemilu
setelah memenuhi persyaratan umum dan persyaratan khusus. Persyaratan umum
bagi partai politik untuk menjadi peserta Pemilu ditingkatkan menjadi memiliki
kepengurusan lengkap di seluruh jumlah provinsi, dan memiliki kepengurusan
lengkap sekurang-kurangnya 75% (tujuh puluh lima perseratus) dari jumlah
kabupaten/kota di tiap provinsi. Sedangkan persyaratan khusus berupa
perolehan kursi bagi partai politik yang pernah mengikuti Pemilu sebelumnya
berupa perolehan sekurang-kurangnya 5 % (lima perseratus) jumlah kursi DPR,
perolehan sekurang-kurangnya 5 % (lima perseratus) jumlah kursi DPRD
provinsi yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah) jumlah provinsi di
Indonesia, dan perolehan sekurang-kurangnya 5 % (lima perseratus) jumlah
kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar sekurang-kurangnya di ½ (setengah)
jumlah kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Partai politik peserta Pemilu tahun
2004 yang memperoleh kurang dari 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR
atau memperoleh kurang dari 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD
provinsi atau DPRD kabupaten/kota yang tersebar paling sedikit di 50% (lima
puluh perseratus) jumlah provinsi dan di 50% (lima puluh perseratus) jumlah
kabupaten/kota seluruh Indonesia, tidak boleh ikut dalam Pemilu berikutnya
kecuali bergabung dengan partai politik lain. Apabila partai politik bergabung
dengan partai politik lain dilakukan dengan cara:
a. bergabung dengan partai politik peserta Pemilu tahun 2004;
b. bergabung dengan partai politik lain yang tidak memenuhi ketentuan
perolehan kursi pada Pemilu tahun 2004 dengan menggunakan nama dan
tanda gambar salah satu partai politik yang bergabung; atau
c. bergabung dengan partai politik lain yang tidak memenuhi ketentuan
perolehan kursi pada Pemilu tahun 2004 dengan menggunakan nama dan
tanda gambar baru.6
6
Lihat Naskah Akademis RUU tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (8 Mei 2007).
96
Penyederhanaan Partai dalam Sistem Multipartai: Tidak Konsisten
7
Lihat RUU Pemilu versi pemerintah.
97
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
sehingga perlu disempurnakan. Hal ini telah pula sesuai dengan Putusan
Mahkamah Konstitusi No. 16/PUU/V/2007.
Bahwa sampai dengan pembahasan di DPR, Rumusan Pasal 286 dan
287 RUU Pemilihan Umum tetap menjadi pembahasan yang terlihat dari Daftar
Inventaris Masalah (DIM) terhadap RUU Pemilu.8 Bahkan sampai dengan
tahap-tahap akhir pembahasan RUU Pemilihan Umum, rumusan dalam Pasal
286 dan 287 RUU Pemilihan Umum secara subtansi masih sama dengan Pasal
9 ayat (1) dan (2) UU No. 12 Tahun 2003.
Namun kemudian dalam pengesahan RUU Pemilihan Umum menjadi
UU Pemilihan Umum (yang menjadi UU No. 10 Tahun 2008) muncul ketentuan
baru tentang dibolehkannya partai peserta Pemilihan Umum 2004 yang tidak
memenuhi threshold sebagaimana disyaratkan dalam UU Pemilihan Umum
namun mempunyai kursi di DPR dapat langsung mengikuti Pemilihan Umum
2009 tanpa harus 1) bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilihan Umum
yang memenuhi ketentuan, atau 2) bergabung dengan partai politik yang tidak
memenuhi ketentuan dan selanjutnya menggunakan nama dan tanda gambar
salah satu partai politik yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal
jumlah kursi, atau 3) bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dengan membentuk partai
politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga memenuhi perolehan
minimal jumlah kursi sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 315 dan 316
UU No. 10 Tahun 2008.
Pasal 315
Partai Politik Peserta Pemilu tahun 2004 yang memperoleh sekurang-
kurangnya 3% (tiga perseratus) jumlah kursi DPR atau memperoleh
sekurang-kurangnya 4% (empat perseratus) jumlah kursi DPRD
provinsi yang tersebar sekurangkurangnya di 1/2 (setengah) jumlah
provinsi seluruh Indonesia, atau memperoleh sekurang-kurangnya 4%
(empat perseratus) jumlah kursi DPRD kabupaten/kota yang tersebar
sekurang-kurangnya di 1/2 (setengah) jumlah kabupaten/kota seluruh
Indonesia, ditetapkan sebagai Partai Politik Peserta Pemilu setelah
Pemilu tahun 2004.
8
Lihat Daftar Inventaris Masalah (DIM) terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Pemilu Anggota
DPR, DPD dan DPRD, Buku Keempat.
98
Penyederhanaan Partai dalam Sistem Multipartai: Tidak Konsisten
Pasal 316
Partai Politik Peserta Pemilu 2004 yang tidak memenuhi ketentuan
Pasal 315 dapat mengikuti Pemilu 2009 dengan ketentuan:
a. bergabung dengan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315; atau
b. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dan selanjutnya
menggunakan nama dan tanda gambar salah satu partai politik
yang bergabung sehingga memenuhi perolehan minimal jumlah
kursi; atau
c. bergabung dengan partai politik yang tidak memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 315 dengan membentuk
partai politik baru dengan nama dan tanda gambar baru sehingga
memenuhi perolehan minimal jumlah kursi; atau
d. memiliki kursi di DPR RI hasil Pemilu 2004; atau
e. memenuhi persyaratan verifikasi oleh KPU untuk menjadi Partai
Politik Peserta Pemilu sebagaimana ditentukan dalam Undang-
Undang ini.
Kemunculan Pasal 316 huruf (d) dalam UU No. 10 Tahun 2008 tersebut
kembali menimbulkan pertanyaan mendasar tentang konsep penyederhanaan
partai politik yang dapat mengikuti pemilu (khususnya tahun 2009). Ketentuan
ini justru mereduksi konsep penyederhanaan partai yang akan diupayakan di
Indonesia. Akibatnya, peserta Pemilihan Umum tahun 2009 tidak akan sesuai
dengan yang diharapkan karena dibuka kemungkinan adanya partai politik yang
dapat mengikuti Pemilihan Umum tahun 2009 meskipun tanpa memenuhi
threshold. Hal ini tercermin dari kondisi awal bahwa berdasarkan hasil pemilu
tahun 2004 yang seharusnya hanya 7 partai politik yang dapat mengikuti pemilu
2009 secara langsung menjadi 16 partai politik.9
Ketentuan sebagaimana dalam Pasal 316 huruf (d) UU No. 10 Tahun
2008 ini kemudian memunculkan banyak kritikan yang pada pokoknya
menunjukkan bahwa tidak ada konsistensi mengenai konsep penyederhanaan
partai peserta pemilu.10 Bahkan ketentuan tersebut dianggap pula sebagai
sebuah kemunduran dalam demokrasi dan merusak tatanan sistem pemilu.11
9
Partai-partai yang langsung dapat mengikuti pemilu tahun 2009 meskipun tidak memenuhi 3%
kursi di DPR adalah PBB, PBR, PDS, PKPB, PKPI, PPDK, PNI Marhaenisme, Partai Pelopor, dan
PPDI.
10
Media Indonesia, 1 Maret 2008; 18:29. Penghapusan ET Sebuah Kemunduran Berdemokrasi. Lihat
juga Okezone. Selasa, 4 Maret 2008; 00:35 WIB. UU Pemilu 2008 Kemunduran dari UU Pemililu
2003.
11
Suara Karya, Electoral Threshold Aturan Peralihan, Tragedi Politik, 6 Maret 2008.
98
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
4. Penutup
Sistem Multipartai dalam pemilu di Indonesia telah berkonsekuensi
membludaknya partai politik yang ingin mengikuti pemilu. Hal ini wajar karena
paska reformasi telah terbuka peluang untuk pendirian partai-partai politik baru
diluar 3 partai politik yang hidup pada era Orde Baru. Namun demikian,
pembatasan partai politik peserta pemilu memang perlu dilakukan untuk
memperkuat dan memperdalam demokrasi. Pembatasan inipun bukan
merupakan pelanggaran terhadap konstitusi.
UU No. 10 Tahun 2008 dengan aturan peralihan Pasal 316 huruf (d)
justru kembali mundur dengan ketentuan memberikan peluang partai politik
yang tidak memenuhi threshold namun punyai kursi di DPR langsung ikut pemilu
tahun 2009. Ketentuan tersebut kembali meneguhkan sikap partai-partai politik
di DPR yang lebih mendahulukan kepentingan partainya daripada kepentingan
untuk penguatan sistem pemilu di Indonesia. Akibatnya, cita-cita untuk adanya
keseimbangan antara pendalaman demokrasi (deepening democracy) dengan
pengembangan kepemimpinan yang efektif (effective governance) dengan cara
melakukan penyederhanaan jumlah peserta pemilu tidak tercapai.
Kedepan, semua partai politik harus konsisten dengan regulasi yang dibuat
dan tidak merubah kembali tujuan dilakukannya penyederhanaan jumlah peserta
pemilu. Jika tidak, apalagi dengan terus menerus merubah aturan main pemilu
yang hanya ditujukan untuk kepentingan sesaat maka akan mengancam
kehidupan demokrasi di Indonesia.
12
Lihat Permohonan Judicial Review 5 partai politik ke MK terhadap ketentuan Pasal 316 huruf (d)
UU No. 10 Tahun 2008.
100
DAFTAR PUSTAKA
101
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Permasalahan
Kajian mengenai partai politik (parpol) merupakan salah aspek penting
di dalam ilmu hukum tatanegara. Bila kita berbicara mengenai parpol, berarti
kita akan membicarakan mengenai partisipasi rakyat dalam dua hal, yaitu
pertama: partisipasi rakyat dalam menentukan arah kebijakan negara; kedua:
partisipasi rakyat dalam membuat peraturan-peraturan perundang-undangan.1
Oleh karena itu, kajian mengenai parpol akan terkait dengan studi mengenai
pemilihan umum (pemilu) dan konsep negara hukum.
Prof. Abdul Bari Azed berpandangan bahwa konsep negara hukum
merupakan pemenuhan hak-hak asasi manusia (HAM) yang harus dilindungi,
dan HAM yang paling penting adalah keikutsertaan atau partisipasi rakyat dalam
membuat peraturan-peraturan perundang-undangan yang akan mengatur
kehidupannya.2 Dan partisipasi rakyat untuk menyalurkan kepentingannya
dengan ikut serta mengambil bagian dalam pembuatan kebijakan, dan dalam
bentuk yang sederhana adalah dengan mengikuti pemilu, atau ikut menjadi
anggota parpol mendirikan parpol, atau mengakomodasi kepentingannya dalam
kehidupan bernegara.
Kendati menurut teori ilmu hukum tata negara parpol merupakan suatu
kajian yang penting, tetapi di dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945)
Asli tidak menyebut (mengatur) secara eksplisit dan jelas mengenai parpol. Di
dalam Penjelasan UUD 1945 (Asli) menyatakan bahwa negara Republik
Indonesia adalah negara hukum dan bukan negara kekuasaan (machtstaat).
Dengan demikian pentingnya peranan partai politik di dalam paradigma UUD
1
Abdul Bari Azed, dan Makmur Amir; “Pemilu dan Partai Politik di Indonesia”; Pusat Studi Hukum
Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Jakarta, tahun 2005, hlm. 20.
2
Ibid, hlm. 62.
102
Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia
1945 (Asli) hanya dapat disimpulkan dari analisa teori-teori hukum tata negara
mengenai hubungannya antara negara hukum, kedaulatan rakyat, demokrasi,
dan hak asasi manusia (HAM).
Lain hal dengan UUD 1945 yang sudah dirubah (Amandemen Kedua)
yang menyebut secara eksplisit mengenai parpol. Di dalam Pasal 6 A UUD
1945 (Amandemen Kedua) yang menyatakan pasangan calon Presiden dan
Wakil Presiden diusulkan oleh parpol atau gabungan parpol peserta pemilihan
umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
Maraknya berdirinya partai-partai baru setelah berhentinya Presiden
Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 adalah bersamaan dengan adanya
perubahan politik yang besar pada saat itu.
Gerakan mahasiswa Indonesia pada tahun 1998 (Gerakan 1998) akan
ditulis tinta emas di dalam sejarah Republik Indonesia. Sekurang-kurangnya
ada dua keberhasilan yang sangat fundamental dari Gerakan 1998, yaitu:
pertama, berhasil memaksa Presiden Soeharto yang sudah berkuasa selama
32 tahun untuk berhenti, hingga pemerintahan otoriter Orde Baru menjadi; dan
kedua, mendorong lahirnya Gerakan Reformasi di segala bidang.3
Pengangkatan Prof. B.J. Habibie sebagai Presiden R.I merupakan
tonggak awal periode reformasi.4 Prof. B.J. Habibie melakukan reformasi di
segala bidang, memulihkan kehidupan di bidang sosial-ekonomi, dan
meningkatkan demokrasi.5 Di dalam era Presiden Prof. B.J. Habibie, kehidupan
bernegara menjadi demokratis, termasuk di dalamnya mengenai wacana
pendirian partai politik (parpol) yang baru. Sri Bintang Pamungkas mempelopori
mendirikan parpol yang baru, di luar tiga parpol yang diakui pada saat itu, yaitu
Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Partai Demokrasi Indonesia (PDI) dan
Golongan Karya (Golkar). Kemudian baru lahir parpol-parpol yang lain sehingga
berjumlah 48 parpol, yang pada akhirnya parpol-parpol tersebut mengikuti
pemilihan umum yang pertama di era reformasi pada tanggal 7 Juni 1999.
3
Lelita Yunia; “Sosialisasi Politik Mahasiswa : Partisipasi Politik Forum Kota (Forkot) dalam Gerakan
1998”; Tesis, Universitas Indonesia, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Program Pascasarjana,
Depok, tahun 2002; hlm. 46-47.
4
Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia mengangkat sumpah Wakil Presiden Prof. B.J. Habibie
untuk menjadi Presiden Republik Indonesia pada tanggal 21 Mei 1998 setelah Soeharto menyatakan
berhenti sebagai Presiden Republik Indonesia.
5
Ramly Hutabarat; “Politik Hukum Pemerintahan Soeharto tentang Demokrasi Politik di Indonesia
(1971-1997)”; Universitas Indonesia, Fakultas Hukum, Pascasarjana, Jakarta, 2004; hlm. 197.
103
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
104
Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia
6
Harian Kompas, Sabtu 19 November 2005, hlm. 2.
105
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
B. Pokok Permasalahan
Berdasarkan uraian-uraian di atas, maka yang pokok permasalahan di
dalam tulisan ini adalah :
1. Faktor-faktor apa yang menyebabkan maraknya konflik internal parpol di
awal-awal era reformasi ?
2. Apa akibat-akibat yang timbul dari adanya konflik internal parpol di awal-
awal era reformasi ?
C. Kerangka Teori
1. Partai politik menurut Roy C. Macridis: 7
parpol adalah suatu asosiasi yang mengaktifkan, memobilisasi rakyat, dan
7
Roy C. Macridis; “Teori-Teori Mutakhir Partai Politik” (Editor : Ichlasul Amal); Penerbit :
PT. Tiara Wacana Yogya, tahun 1996, hlm. 17.
106
Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia
8
Miriam Budiardjo; “Dasar-Dasar Ilmu Politik”; Penerbit : PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
1991, hlm. 160.
9
Ibid hlm. 161.
10
Ibid hlm. 161.
11
Ibid hlm. 162.
12
Ichlasul Amal (Editor); “Teori-Teori Mutakhir Partai Politik”; Penerbit : PT. Tiara Wacana Yogya,
tahun 1996, hlm. xv.
13
Ibid hlm. xv.
107
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
14
Nazuruddin Sjamsuddin, Zukifli Hamid, dan Toto Pribadi; “Sistem Politik Indonesia”; Penerbit :
Karunika Jakarta, Universitas Terbuka, 1988, hlm. 5.6.
15
H. Anto Djawamaku; “Percehan Partai Politik, Pemberantasan Korupsi dan Berbagai Masalah
Politik Lainnya”; dalam Jurnal Analisis CSIS : Peran Masyarakat dan Demokrasi Lokal, Jakarta,
Vol. 34, No.2, 2005, hlm. 126-127.
16
Harian Kompas, 11 Januari 2002.
108
Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia
17
Roy C. Macridis; Op.cit., hlm. 17.
18
Miriam Budiardjo; Op.cit., hlm. 160.
19
Ibid hlm. 161.
109
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
20
Ibid, hlm. 161.
21
Ibid, hlm. 162.
22
Ichlasul Amal (Editor); “Teori-Teori Mutakhir Partai Politik”; Penerbit : PT. Tiara Wacana Yogya,
tahun 1996, hlm. xv.
23
Ibid hlm. xv.
24
Miriam Budiardjo, Op.cit., hlm. 163.
110
Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia
begitu luas, pendapat dan aspirasi seseorang atau suatu kelompok akan
hilang tak berbekas seperti suara di pandang pasir apabila tidak ditampung
dan digabung dengan pendapat dan aspirasi orang lain yang senada. Proses
ini dinamakan “penggabungan kepentingan” (interest aggregation).
Sesudah digabung, pendapat dan aspirasi ini diolah dan dirumuskan dalam
bentuk yang teratur. Proses ini dinamakan, “perumusan kepentingan”
(interest articulation).
2. Sebagai sarana Sosialisasi Politik (Instrument of Political Socializzation).
Di dalam ilmu politik, sosialisasi politik diartikan sebagai suatu proses dari
seseorang memperoleh sikap dan orientasi terhadap fenomena politik di
dalam lingkungan masyarakat dimana ia berada. Biasanya proses sosialisasi
berjalan secara berangsur-angsur dari masa kanak-kanak sampai dewasa.
Proses sosialisasi politik diselenggarakan melalui ceramah-ceramah
penerangan, kursus-kursus kader, kursus penataran, dan sebagainya.
3. Sebagai sarana Rekrutmen Politik.
Dalam hal ini parpol berfungsi untuk mencari dan mengajak orang yang
berbakat untuk turut aktif dalam kegiatan politik sebagai anggota partai
(political recruitment). Dengan demikian partai turut memperluas
partisipasi politik. Juga disuahakan untuk menarik golongan muda untuk
dididik untuk menjadi kader yang di masa mendatang akan mengganti
pimpinan lama (selection of leadership).
4. Sebagai sarana pengatur konflik.
Di dalam suasana demokrasi, persaingan dan perbedaan pendapat
merupakan soal yang wajar. Jika sampai terjadi konflik, parpol berusaha
untuk mengatasinya.
Sementara itu Ramlan Surbakti berpendapat bahwa fungsi utama partai
politik adalah mencari dan mempertahankan kekuasaan untuk mewujudkan
program-program yang disusun berdasarkan ideologi tertentu.25
Selain fungsi utama parpol seperti tersebut, menurut Ramlan Surbakti
masih ada fungsi parpol lainnya, yaitu :
1. Sosialisasi politik.
2. Rekrutmen politik.
25
Ramlan Surbakti; “Memahami Ilmu Politik”; Penerbit : PT. Gramedia Widiasarana Indonesia,
Jakarta, 1992, hlm. 116.
111
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
3. Partisipasi politik.
4. Pemandu Kepentingan.
5. Komunikasi Politik.
6. Pengendalian Konflik.
7. Kontrol Politik.
26
Ichlasul Amal, Op.cit., hlm. xv.
112
Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia
atau maksimal reformisme moderat. Karena itu partai kader tidak memerlukan
organisasi besar yang dapat memobilasasi massa. Dengan demikian, dalam
pengertian ini partai kader lebih nampak sebagai suatu kelompok informal
daripada sebagai organisasi yang didasarkan pada disiplin.
Partai massa muncul pada saat terjadi perluasan hak pilih rakyat sehingga
dianggap sebagai suatu respon politis dan organisasional bagi perluasan hak-
hak pilih serta pendorong bagi perluasan lebih lanjut hak-hak pilih tersebut.
Latar belakang muncul partai massa sangat bertolak belakang dengan
kemunculan partai proto maupun partai kader. Partai proto dan partai kader
terbentuk di dalam lingkungan parlemen (intra parlemen), memiliki basis
pendukung kelas menengah ke atas, serta memiliki tingkat organisasial dan
ideologis yang relatif rendah. Sebaliknya, partai massa dibentuk di luar
lingkungan parlemen (ekstra parleementer), berorientasi pada basis pendukung
yang luas, misalnya : buruh, petani, dan kelompok agama, dan memiliki ideologi
yang cukup jelas untuk memobilisasi massa serta mengembangkan organisasi
yang cukup rapi untuk mencapai tujuan-tujuan ideologisnya. Tujuan utama partai
massa tidak hanya memperoleh kemenangan dalam pemilihan, tetapi juga
memberikan pendidikan politik bagi para anggotanya dalam rangka membentuk
elit yang langsung direkrut dari massa.
Partai Catch-all merupakan gabungan dari partai kader dan partai massa.
Istilah Catch-all pertama kali dikemukakan oleh Otto Kirchheimer untuk
memberikan tipologi pada kecenderungan perubahan karakteristik partai-partai
politik di Eropa Barat pada massa pasca Perang Dunia Kedua. Catch-all
dapat diartikan sebagai menampung kelompok-kelompok sosial sebanyak
mungkin untuk dijadikan anggotanya. Tujuan utama partai ini adalah
memenangkan pemilihan dengan cara menawarkan program-program dan
keuntungan bagi anggotanya sebagai ganti ideologi yang kaku. Dengan demikian,
aktivitas partai ini erat berkaitan dengan kelompok kepentingan dan kelompok
penekan.
113
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
27
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Cet. Ketiga, tahun 1990, hlm. 455.
28
Nazuruddin Sjamsuddin, Zukifli Hamid, dan Toto Pribadi; “Sistem Politik Indonesia”; Penerbit :
Karunika Jakarta, Universitas Terbuka, 1988, hlm. 5.6.
29
H. Anto Djawamaku; “Percehan Partai Politik, Pemberantasan Korupsi dan Berbagai Masalah
Politik Lainnya”; dalam Jurnal Analisis CSIS : Peran Masyarakat dan Demokrasi Lokal, Jakarta,
Vol. 34, No.2, 2005, hlm. 126-127.
114
Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia
oleh manusia dan paling ampuh untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya. Karena
demikian pentingnya keberadaan partai politik, sampai munculnya pameo dalam
masyarakat bahwa “politisi modern tanpa partai politik sama saja dengan ikan
yang berada di luar air”.
Partai politik sebagai institusi mempunyai hubungan yang sangat erat
dengan masyarakat dalam mengendalikan kekuasaan. Hubungan ini banyak
dipengaruhi oleh kebudayaan masyarakat yang melahirkannya. Kalau kelahiran
partai politik sebagai pengejewantahan dari kedaulatan rakyat dalam politik
formal, maka semangat kebebasan selalu dikaitkan orang dalam membicarakan
partai politik sebagai pengendali kekuasaan.
Partai poltik sering dianggap sebagi salah satu atribut negara demokrasi
modern, dan tidak ada seorang ahlipun dapat membantahnya, karena partai
politik sangat diperlukan kehadirannya bagi negara-negara yang berdaulat.
Bagi negara-negara yang merdeka dan berdaulat eksistensi partai politik
merupakan prasyarat baik sebagai sarana untuk menyalurkan aspirasi rakyat,
juga terlibat langsung dalam proses penyelenggaraan negara melalui wakil-
wakilnya yang duduk dalam badan-badan perwakilan rakyat.
Partai politik, sering diasosiasikan sebagai organisasi perjuangan, tempat
seseorang/kelompok mencari dan memperjuangkan kedudukan politik dalam
negara. Bentuk perjuangan yang dilakukan oleh setiap partai politik tidak harus
menggunakan kekerasan/kekuatan fisik, tetapi melalui berbagai konflik dan
persaingan baik intern partai maupun antar partai yang terjadi secara melembaga
dalam partai politik umumnya.
Sebagaimana dikatakan oleh Huszar dan Stevenson dalam bukunya
Political Science mengemukakan “Partai Politik ialah sekelompok orang yang
terorganisir serta berusaha untuk mengendalikan pemerintahan agar supaya
dapat melaksanakan progam-progamnya dan menempatkan/menundukkan
anggota-anggotanya dalam jabatan pemerintah; partai politik berusaha untuk
memperoleh kekuasaan dengan dua cara yaitu ikut serta dalam pelaksanaan
pemerintah secara sah, dengan tujuan bahwa dalam pemilu memperoleh suara
mayoritas dalam badan legislatif, atau mungkin bekerja secara tidak sah/subversif
untuk memperoleh kekuasaan tertinggi dalam negara yaitu melalui revolusi atau
coup d’etat.
Persaingan antar partai politik merupakan bagian intergral dalam proses
politik, guna memperoleh kemenangan dala proses pemilu. Dengan suara
115
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
mayoritas dalam pemilu, partai yang bersangkutan akan dapat berbuat banyak
dalam mengendalikan negara dan pemerintahan; memperkuat dan
memperjuangkan ideologi partainya; mempertahankan posisi elitnya dalam
kekuasaan pemerintahan; serta merealisir tujuan lebih lanjut,yaitu mengawasi
kebijaksanaan umum.
Sebagaimana dikatakan Carl.J.Friederich bahwa, partai poltik adalah
sekelompok manusia yang terorganisir secara mapan dengan tujuan untuk
menjamin dan mepertahanlan pemimpin-pemimpinnya, tetap mengendalikan
pemerintahan dan lebih jauh lagi memberikan keuntungan-keuntungan terhadap
anggota partai baik keuntungan yang bersifat materiil maupun spirituiil.
Sejarah mencatat untuk pertama kali partai politik tumbuh dan
berkembang di negara-negara Eropa Barat, merupakan suatu tahap agar
pemerintahan yang dijalankan harus berdasarkan kontitusi dan perwakilan. Hasil
pembangunan politiknya telah membatasi kekuasaan Monarchi absolut dan
perluasan hak-hak warga negara. Keberhasilan inilah yang mendorong
meluasnya gagasan bahwa rakyat merupakan faktor yang perlu diperhitungkan
serta diikutsertakan dalam proses politik. Dan pada gilirannya menempatkan
partai politik berfungsi menjadi penghubung antara rakyat dengan pemerintahan,
dimana rakyat dapat menentukan pilihannya dengan leluasa, memperjuangkan
kepentingannya, mengkritik rezim yamg memerintah, melakukan tata hubungan
politik dan lain-lain.
Telah banyak penelitian empiris menunjukkan perspektif biar di mana
partai-partai politik dan sistem kepartainnya bisa dianalisis dan dipahami secara
lebih mendalam dalam kehidupan masa kini. Selain itu, berbagai usaha telah
dilakukan untuk menghubungkan partai–partai politik dengan lembaga-lembaga
lain dalam masyarakat, dengan berbagai kelompok yang bertujuan mengejar
kekuasaan dan pencapaian tujuan-tujuan dan kepentingannya.
Dalam konteks ini masyarakat sering dipandang sebagai organisme yang
dinamis tempat berkembangnya pelbagai persaingan guna memperoleh prestisi,
status, kekuasaan perasaan aman. Kompetisi yang berkembangnya biasanya
diliputi oleh tujuan-tujuan yang ingin dicapai, bahkan membawa atribut-atribut
kelompok yang berafiliasi untuk diperjuangkan kepentingannya. Kondisi konflik
dan persaingan semacam ini merupakan hal yang lumrah dan tidak bisa
dielakkan dalam kehidupan sehari-hari. Telah banyak penelitian empiris
menunjukkan perspektif baru di mana partai-partai politik bisa dianalisis dan
116
Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia
117
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
118
Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia
teratur. Lebih meyakinkan lagi, berupa limit waktu pendirian partai politik, yakni
harus sudah tersusun sebelum dilangsungkan pemilihan anggota-anggota badan
perwakilan rakyat pada bulan Januari 1946. Dengan dasar maklumat pemerintah
ini, lahirlah berbagai partai politik ditambah partai politik yang telah ada pada
zaman penjajahan Belanda maupun partai politik pada masa pendudukan
Jepang.
Partai politik yang berdiri sejak dikeluarkannya Maklumat Pemerintah
tersebut diklasifikasikan dalam buku Kepartaian Indonesia/terbitan Kementerian
Penerangan tahun 1951 sebagai berikut :
1. Dasar Ketuhanan:
a) Masjumi;
b) Partai Sjarikat Indonesia;
c) Pergerakan Tarbiah Islamiah;
d) Partai Kristen Indonesia;
e) Partai Katholik.
2. Dasar kebangsaan;
a) Partai Nasional Indonesia (PNI);
b) Persatuan Indonesia Raya (PIR);
c) Partai Indonesia Raya (Parindra);
d) Partai Rakyat Indonesia (PRI);
e) Partai Demokrasi Rakyat (Banteng);
f) Partai Rakyat Nasional (PRN);
g) Partai Wanita Rakyat (PWR);
h) Partai Kebangsaan Idonesia (Parki);
i) Partai Kedaulatan Rakya (PKR);
j) Serikat Kerakyatan Indonesia (SKI);
k) Ikatan Nasional Indonesia (INI);
l) Partai Rakyat Jelata (PRJ);
m) Partai Tani Indonesia (PTI);
n) Wanita Demokrasi Indonesia (WDI).
3. Dasar Marxisme:
a) Partai Komunis Indonesia (PKI);
b) Partai Sosialis Indonesia;
c) Partai Murba;
d) Partai Buruh;
119
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
120
Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia
121
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
122
Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia
123
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
124
Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia
125
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
4. Partai Merdeka
5. Partai Persatuan Pembangunan
6. Partai Persatuan Demokrasi Kebangsaan
7. Partai Perhimpunan Indonesia Baru
8. Partai Nasional Banteng Kemerdekaan
9. Partai Demokrat
10. Partai Keadilan Dan Persatuan Indonesia
11. Partai Penegak Demokrasi Indonesia
12. Partai Persatuan Nahdlatul Ummah Indonesia
13. Partai Amanat Nasional
14. Partai Karya Peduli Bangsa
15. Partai Kebangkitan Bangsa
16. Partai Keadilan Sejahtera
17. Partai Bintang Reformasi
18. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan
19. Partai Damai Sejahtera
20. Partai Golongan Karya
21. Partai Patriot Pancasila
22. Partai Sarikat Indonesia
23. Partai Persatuan Daerah
24. Partai Pelopor
126
Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia
127
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
menjadi dua sebelum resmi mendaftarkan diri menjadi peserta Pemilu 2004.
PRD, partai radikal yang konsisten melawan Orba, pecah berkeping-keping
menjadi PDS, PRP, dsb.
Akhirnya PDIP pasca kongres Bali, Maret 2005 juga terbelah dua menjadi
PDIP dan Gerakan Pembaruan PDIP. Pepecahan ini dalam analisis sosiologis
dan psikologis politik disebabkan oleh beberapa faktor: Pertama, bipolaritas
kepentingan politik yang berpengaruh terhadap harmoni partai. Bipolaritas antara
pragmatisme yang menjangkiti kader/elite partai berhadapan dengan idealisme
yang dipegang oleh kader/elite partai yang teguh mempertahankan jiwa ideologi
dan garis konstitusional partai. Kedua, terhambatnya proses regenerasi akibat
pola kepemimpinan yang patronatif, kharismatik, feodalistik yang menjegal
kompetisi demokratis dalam pergantian kepemimpinan partai. Karena tokoh
yang kharismatik di dalam partai masih ingin mempertahankan otoritasnya,
sementara kekuatan reformis atau dekonstruksi di jajaran kader semakin kuat
dan menuntut proses percepatan suksesi. Ini terjadi di partai-partai tradisional
yang mengandalkan ikon kepemimpinan partai yang kharismatik dan
berbasiskan loyalitas massa kepada figur pemimpin partai. Ketiga, intervensi
kekuasaan politik dan modal, yang pada umumnya dilakukan poros kepentingan
yang merepresentasikan keinginan pemerintah untuk menumpulkan resistensi
oposisional partai terhadap kebijakan pemerintah. Intervensi modal terjadi dan
dilakukan oleh kekuatan bisnis yang menjadikan parpol sebagai kendaraan
untuk mempermudah penguasaan aset politik yang dekat relasinya dengan
sumber daya ekonomi. Intervensi modal dan intervensi kekuasaan politik ini
mendorong lahirnya budaya money politics, intrik politik, politik dagang sapi
dalam arena kongres atau muktamar partai. Muncul pertanyaan: Mengapa partai-
partai mudah sekali terbawa arus perpecahan yang menyulut lahirnya dualisme
kepemimpinan?
Perpecahan di tubuh partai yang kini marak juga dipengaruhi kondisi
internal partai-partai yang pada umumnya masih merupakan partai tradisional,
yang hanya aktif dan memiliki orientasi berkompetisi dalam pemilu, yang
mengandalkan ikatan perekat antara organisasi dan dukungan massa melalui
kharisma ketokohan, serta yang merepresentasikan diri sebagai partai aliran.
Watak tradisionalisme kepartaian di Indonesia inilah yang menjadikan
partai gagal menjalankan fungsi normatif politik, baik dalam hal edukasi politik
massa konstituen, rekruitmen kader kepemimpinan internal dan eksternal,
128
Konflik Internal Partai Sebagai Salah Satu Penyebab Kompleksitas Sistem Multipartai di Indonesia
129
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
I. Agenda Reformasi
Reformasi sebagai bagian dari perjalanan historis bangsa Indonesia untuk
mengembalikan cita-cita proklamasi seperti yang tercantum dalam Pembukaan
Undang-Undang Dasar 1945 tidak selalu berkaitan dengan penolakan akan
kemapanan dan konservatisme, melainkan harus dipandang dan diperlakukan
sebagai subsistem dalam proses dinamika mencapai tujuan.2 Pada awal
reformasi jilid kedua (1998)3 yang ditandai dengan berakhirnya rezim
pemerintahan orde baru, Bagir Manan melihat paling tidak ada empat agenda
reformasi dalam rangka revitalisasi tatanan kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara yang perlu mendapat perhatian:
1. memulihkan, agar setiap orang dapat menggunakan secara wajar hak-hak
demokratis, hak-hak yang terkandung dalam prinsip negara konstitusional
dan negara berdasarkan atas hukum;
2. reformasi diarahkan pada usaha pemberdayaan suprastruktur dan
infrastruktur politik agar benar-benar menjadi wahana perjuangan
mewujudkan dan melaksanakan tatanan demokrasi (antara lain yang telah
diselenggarakan adalah pemilihan umum yang bebas (1999) serta
kebebasan mendirikan partai);
3. reformasi birokrasi atau administrasi negara (administrative reform), yaitu
melepaskan birokrasi dari ikatan politik primordial dari kekuatan politik
tertentu yang menimbulkan berbagai kecemburuan politik; dan
4. reformasi ekonomi, seperti peniadaan monopoli dan membangun sistem
ekonomi kerakyatan.
1
Direktur Publikasi, Kerjasama, dan Pengundangan Peraturan Perundang-undangan.
2
Bagir Manan, Teori dan Politik Konstitusi, (Yogyakarta, FH – UII Press, 2003), hlm. 132 – 133.
3
Reformasi tahun 1998 bukan yang pertama, sebab pada waktu angkatan ‘66 mencetuskan tema
tritura (tiga tuntutan rakyat) juga diilhami oleh semangat untuk menuntut “reformasi” menyeluruh
(total) dalam segala segi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
130
Dampak Sistem Multipartai Dalam Kehidupan Politik Indonesia
4
Pasal 28 UUD 1945: “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
5
Butir-butir perubahan UUD 1945 demikian banyak, sehingga Ismail Sunny (guru besar em eritus FH
UI) dalam suatu ceramahnya pernah mempersoalkan apakah masih tepat disebut sebagai UUD 1945?
UUD 1945 lama hanya terdiri dari 71 butir, sedangkan UUD 1945 baru (setelah perubahan) terdiri dari
199 butir, yang berarti perubahan dan penambahan itu sebanyak 174 butir (88 %). (lihat Machmud
Aziz, Kedudukan Peraturan Menteri dalam Sistem Peraturan Perundang-undangan Indonesia, (makalah,
tidak diterbitkan, 2007).
131
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
6
Oka Mahendra, Reformasi Pembangunan Hukum dalam Perspektif Peraturan Perundang-undangan,
(Jakarta, tanpa penerbit, 2005), hlm. 232.
7
UU No. 2 Tahun 2008, Pasal 1 angka 1. Definisi itu berbeda dengan UU No. 31 Tahun 2002, yaitu
dengan mengubah frasa “kepentingan anggota” menjadi “kepentingan politik anggota”, “organisasi
politik” menjadi “organisasi yang bersifat nasional”, dan menghapus frasa “melalui pemilihan umum”.
Perubahan itu sangat signifikan yang mencerminkan arah reformasi di bidang regulasi partai politik.
8
Dalam kajian politik, Miriam Budiardjo mengartikan partai politik sebagai “kelompok yang
terorganisir dengan tujuan memperoleh jabatan-jabatan pemerintahan.” (Rafael Raga Maran, Pengantar
Sosiologi Politik, (Jakarta, Rineka Cipta., 2007). Definisi yang agak lebih luas dikemukakan oleh
Milton C. Cummings yang mendefinisikan “political parties” sebagai “organized groups of individuals
or other other groups who attempt to exercise power in political system by winning control of the the
government or influencing governmental policy.” (lihat Cummings dalam Encyclopedia Americana
(1980), vol. 22, hlm. 336). Tampaknya pembentuk undang-undang tidak berani menegaskan partai
politik sebagai sarana untuk mengantarkan para kadernya memegang kekuasaan pemerintahan,
memegang kendali pemerintahan atau mempengaruhi kebijakan pemerintahan, walaupun dalam pikiran
para pendiri dan pegiat partai politik pada umumnya demikian.
9
Pasal 2 UU No. 2 Tahun 2008 mengharuskan kepengurusan partai politik harus mempunyai paling
sedikit 60 % dari jumlah provinsi, 50 % dari jumlah kabupaten/kota pada setiap provinsi yang bersangkutan,
dan 25 % dari jumlah kecamatan pada setiap kabupaten/kota daerah yang bersangkutan.
132
Dampak Sistem Multipartai Dalam Kehidupan Politik Indonesia
serta organisasi dan kedudukan” partai politik.10 Dengan demikian (calon) para
deklarator politik harus benar-benar berusaha memperoleh dukungan publik
secara nasional sebelum pembentukan partai diumumkan.
Di samping itu, pendaftaran partai politik ke Departemen Hukum dan
HAM untuk memperoleh status sebagai badan hukum (rechtspersoon)
mengharuskan partai politik menempuh proses penelitian dan/atau verifikasi
kelengkapan dan kebenaran semua keterangan dalam Anggaran Dasar yang
tercantum akta notaris11 dan persyaratan lain yang diperlukan untuk menetapkan
status partai sebagai badan hukum.12 Regulasi yang lebih ketat tersebut mungkin
berdasarkan pengalaman sebelumnya tentang banyaknya kelompok masyarakat
yang mengajukan pendaftaran partai politik. Pada tahun 2003 terdapat 112
partai politik yang mendaftar di Departemen Hukum dan HAM untuk diverifikasi,
84 di antaranya memenuhi syarat diverifikasi. Dan, dari 84 partai politik yang
diverifikasi itu, hanya 50 yang memenuhi syarat untuk disahkan sebagai badan
hukum.13
Jelaslah bahwa politik hukum nasional pengaturan partai politik
memberikan kebebasan warga negara mendirikan partai, dengan kebijakan
yang masih longgar dan liberal meskipun agak lebih ketat dibanding dengan
UU No. 31 Tahun 2002 yang telah dicabut.
10
Pasal 17 mengharuskan kepengurusan partai politik ada pada tingkat pusat, provinsi, kabupaten/
kota.. Selanjutnya Pasal 20 susunan dan komposisi kepengurusan partai politik pada semua tingkat
harus pula memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30% yang diatur dalam AD/ART
partai politik masing-masing.
11
UU No. 2 Tahun 2008 Pasal 2.
12
UU No. 2 Tahun 2008 Pasal 11.
13
Oka Mahendra. Op.cit., hlm. 234.
14
Secara sederhana system multipartai (system banyak partai, system partai banyak, multi-party
sistem, multi partism, poly-partism) terwujud manakala mayoritas mutlak dalam lembaga perwakilan
rakyat dibentuk atas dasar kerjasama dua kekuatan atau lebih, atau eksekutifnya tidak homogen.
Mayoritas mutlak demikian tidak pernah terwujud tanpa melalui kerjasama,koalisi, atau aliansi. (lihat
Rusadi Kantaprawira, Sistem Politik Indonesia, (Bandung, Algensiondo, 2006), hal. 67.
133
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
partai; dan (iii) sistem multipartai, tampaknya pilihan yang ketiga ini paling
banyak diterapkan di berbagai negara yang menganut paham demokrasi (Eropa,
Asia, Afrika, dan Latin Amerika). Sistem kepartaian jelas tidak hanya
menentukan susunan dan kedudukan MPR, DPR dan DPRD melainkan juga
sistem pemerintahan.
Konsekuensi sistem multipartai tidak hanya mempengaruhi mekanisme
dan efisiensi pembahasan rancangan undang-undang dan rancangan peraturan
daerah di DPR atau DPRD, melainkan juga birokrasi pemerintahan yang harus
dipegang oleh banyak orang sebagai representasi dari partai politik yang menang
dalam pemilihan umum. Wakil-wakil rakyat yang duduk di legislatif dan
pemerintahan akan memperjuangkan aspirasi para pendukungnya yang sangat
bervariasi.
Di antara dampak sistem multipartai yang penting untuk dicatat adalah
keharusan pembentukan pemerintahan koalisi (governing coalition), yang
dalam praktik di masa lalu banyak menimbulkan kesulitan bagi pemerintah untuk
menetapkan kebijakan stratejik karena mempertimbangkan banyak faktor. C.
Cumming menulis: “The existence of several parties can make it more
difficult to form a stable governing coalition than is the face in two-party
sistems.” Selanjutnya, “… such coalition are often fragile. At one extreme,
governments fall repeteadly, and a country with a multiparty system may
have three, or four, or more governments in one year.15
Pada era demokrasi parlementer (1955 – 1959) apa yang dinyatakan
Cumming terbukti benar. Betapa sering terjadi pergantian kabinet, sehingga
instabilitas pemerintahan itu menyebabkan peluang untuk melaksanakan
pembangunan menjadi terabaikan. Atas dasar pengalaman seperti itu pula, pada
masa orde baru, Presiden Soeharto menempuh kebijakan sistem multipartai
terbatas, dengan mendorong fusi partai-partai politik (hasil pemilihan umum
1969) sehingga hanya ada tiga partai politik (Golkar, PPP, dan PDI) dan pada
fraksi DPR/DPRD sederhana menjadi 4 fraksi saja (dengan mengangkat fraksi
ABRI).
Lebih jauh pandangan dan analisis ahli ilmu politik, mengingatkan pula
bahwa sistem multipartai yang dipakai sebagai sarana memodernisasikan
15
Milton C. Cumming, Op.cit., hlm. 339.
134
Dampak Sistem Multipartai Dalam Kehidupan Politik Indonesia
16
Rusadi Kantaprawira, Op.cit., hlm. 182.
135
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
17
R.M. MacIver, The Web of Government, (New York, MacMillan, 1958), hlm. 208 – 210.
136
ARTIKEL
137
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
MEMUTUSKAN:
BAB I
KETENTUAN UMUM
Pasal 1
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan:
1. Partai Politik adalah organisasi yang bersifat nasional dan dibentuk oleh
sekelompok warga negara Indonesia secara sukarela atas dasar kesamaan
kehendak dan cita-cita untuk memperjuangkan dan membela kepentingan
politik anggota, masyarakat, bangsa dan negara, serta memelihara keutuhan
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
2. Anggaran Dasar Partai Politik, selanjutnya disingkat AD, adalah peraturan
dasar Partai Politik.
3. Anggaran Rumah Tangga Partai Politik, selanjutnya disingkat ART, adalah
peraturan yang dibentuk sebagai penjabaran AD.
4. Pendidikan Politik adalah proses pembelajaran dan pemahaman tentang
hak, kewajiban, dan tanggung jawab setiap warga negara dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
5. Keuangan Partai Politik adalah semua hak dan kewajiban Partai Politik
yang dapat dinilai dengan uang, berupa uang, atau barang serta segala
bentuk kekayaan yang dimiliki dan menjadi tanggung jawab Partai Politik.
6. Menteri adalah Menteri yang membidangi urusan hukum dan hak asasi
manusia.
7. Departemen adalah Departemen yang membidangi urusan hukum dan hak
asasi manusia.
138
UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
BAB II
PEMBENTUKAN PARTAI POLITIK
Pasal 2
(1) Partai Politik didirikan dan dibentuk oleh paling sedikit 50 (lima puluh)
orang warga negara Indonesia yang telah berusia 21 (dua puluh satu) tahun
dengan akta notaris.
(2) Pendirian dan pembentukan Partai Politik sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
(3) Akta notaris sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memuat AD dan
ART serta kepengurusan Partai Politik tingkat pusat.
(4) AD sebagaimana dimaksud pada ayat (3) memuat paling sedikit:
a. asas dan ciri Partai Politik;
b. visi dan misi Partai Politik;
c. nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik;
d. tujuan dan fungsi Partai Politik;
e. organisasi, tempat kedudukan, dan pengambilan keputusan;
f. kepengurusan Partai Politik;
g. peraturan dan keputusan Partai Politik;
h. pendidikan politik; dan
i. keuangan Partai Politik.
(5) Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) disusun dengan menyertakan paling rendah 30% (tiga puluh
perseratus) keterwakilan perempuan.
Pasal 3
(1) Partai Politik harus didaftarkan ke Departemen untuk menjadi badan
hukum.
(2) Untuk menjadi badan hukum sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Partai
Politik harus mempunyai:
a. akta notaris pendirian Partai Politik;
b. nama, lambang, atau tanda gambar yang tidak mempunyai persamaan
pada pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, atau tanda
gambar yang telah dipakai secara sah oleh Partai Politik lain sesuai
dengan peraturan perundang-undangan;
c. kantor tetap;
d. kepengurusan paling sedikit 60% (enam puluh perseratus) dari jumlah
provinsi, 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah kabupaten/kota pada
setiap provinsi yang bersangkutan, dan 25% (dua puluh lima perseratus)
139
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
BAB III
PERUBAHAN ANGGARAN DASAR
DAN ANGGARAN RUMAH TANGGA PARTAI POLITIK
Pasal 5
(1) Perubahan AD dan ART harus didaftarkan ke Departemen paling lama 14
(empat belas) hari terhitung sejak terjadinya perubahan tersebut.
(2) Pendaftaran perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan
akta notaris mengenai perubahan AD dan ART.
Pasal 6
Perubahan yang tidak menyangkut hal pokok sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (4) diberitahukan kepada Menteri tanpa menyertakan akta notaris.
Pasal 7
(1) Menteri mengesahkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5
paling lama 14 (empat belas) hari terhitung sejak diterimanya dokumen
persyaratan secara lengkap.
(2) Pengesahan perubahan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
dengan Keputusan Menteri.
(3) Keputusan Menteri sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diumumkan
dalam Berita Negara Republik Indonesia.
140
UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
Pasal 8
Dalam hal terjadi perselisihan Partai Politik, pengesahan perubahan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) tidak dapat dilakukan oleh
Menteri.
BAB IV
ASAS DAN CIRI
Pasal 9
(1) Asas Partai Politik tidak boleh bertentangan dengan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
(2) Partai Politik dapat mencantumkan ciri tertentu yang mencerminkan
kehendak dan cita-cita Partai Politik yang tidak bertentangan dengan
Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
(3) Asas dan ciri Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) merupakan penjabaran dari Pancasila dan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
BAB V
TUJUAN DAN FUNGSI
Pasal 10
(1) Tujuan umum Partai Politik adalah:
a. mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia sebagaimana
dimaksud dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945;
b. menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik
Indonesia;
c. mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan
menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam Negara Kesatuan Republik
Indonesia; dan
d. mewujudkan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
(2) Tujuan khusus Partai Politik adalah:
a. meningkatkan partisipasi politik anggota dan masyarakat dalam rangka
penyelenggaraan kegiatan politik dan pemerintahan;
b. memperjuangkan cita-cita Partai Politik dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan
141
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
BAB VI
HAK DAN KEWAJIBAN
Pasal 12
Partai Politik berhak:
a. memperoleh perlakuan yang sama, sederajat, dan adil dari negara;
b. mengatur dan mengurus rumah tangga organisasi secara mandiri;
c. memperoleh hak cipta atas nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik
sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
d. ikut serta dalam pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Presiden dan Wakil Presiden,
serta kepala daerah dan wakil kepala daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
e. membentuk fraksi di tingkat Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota sesuai dengan peraturan
perundang-undangan;
142
UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
143
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
BAB VII
KEANGGOTAAN DAN KEDAULATAN ANGGOTA
Pasal 14
(1) Warga negara Indonesia dapat menjadi anggota Partai Politik apabila telah
berumur 17 (tujuh belas) tahun atau sudah/pernah kawin.
(2) Keanggotaan Partai Politik bersifat sukarela, terbuka, dan tidak diskriminatif
bagi warga negara Indonesia yang menyetujui AD dan ART.
Pasal 15
(1) Kedaulatan Partai Politik berada di tangan anggota yang dilaksanakan
menurut AD dan ART.
(2) Anggota Partai Politik mempunyai hak dalam menentukan kebijakan serta
hak memilih dan dipilih.
(3) Anggota Partai Politik wajib mematuhi dan melaksanakan AD dan ART
serta berpartisipasi dalam kegiatan Partai Politik.
Pasal 16
(1) Anggota Partai Politik diberhentikan keanggotannya dari Partai Politik
apabila:
a. meninggal dunia;
b. mengundurkan diri secara tertulis;
c. menjadi anggota Partai Politik lain; atau
d. melanggar AD dan ART.
(2) Tata cara pemberhentian keanggotaan Partai Politik sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dalam peraturan Partai Politik.
(3) Dalam hal anggota Partai Politik yang diberhentikan adalah anggota lembaga
perwakilan rakyat, pemberhentian dari keanggotaan Partai Politik diikuti
dengan pemberhentian dari keanggotaan di lembaga perwakilan rakyat
sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
BAB VIII
ORGANISASI DAN TEMPAT KEDUDUKAN
Pasal 17
(1) Organisasi Partai Politik terdiri atas:
a. organisasi tingkat pusat;
b. organisasi tingkat provinsi; dan
c. organisasi tingkat kabupaten/kota.
144
UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
BAB IX
KEPENGURUSAN
Pasal 19
(1) Kepengurusan Partai Politik tingkat pusat berkedudukan di ibu kota negara.
(2) Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi berkedudukan di ibu kota
provinsi.
(3) Kepengurusan Partai Politik tingkat kabupaten/kota berkedudukan di ibu
kota kabupaten/kota.
(4) Dalam hal kepengurusan Partai Politik dibentuk sampai tingkat kelurahan/
desa atau sebutan lain, kedudukan kepengurusannya disesuaikan dengan
wilayah yang bersangkutan.
Pasal 20
Kepengurusan Partai Politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan
keterwakilan perempuan paling rendah 30% (tiga puluh perseratus) yang diatur
dalam AD dan ART Partai Politik masing-masing.
Pasal 21
Kepengurusan Partai Politik dapat membentuk badan/lembaga yang bertugas
untuk menjaga kehormatan dan martabat Partai Politik beserta anggotanya.
Pasal 22
Kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dipilih secara demokratis melalui
musyawarah sesuai dengan AD dan ART.
Pasal 23
(1) Pergantian kepengurusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai
dengan AD dan ART.
145
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
BAB X
PENGAMBILAN KEPUTUSAN
Pasal 27
Pengambilan keputusan Partai Politik di setiap tingkatan dilakukan secara
demokratis.
Pasal 28
Pengambilan keputusan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 sesuai dengan
AD dan ART Partai Politik.
146
UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
BAB XI
REKRUTMEN POLITIK
Pasal 29
(1) Partai Politik melakukan rekrutmen terhadap warga negara Indonesia untuk
menjadi:
a. anggota Partai Politik;
b. bakal calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah;
c. bakal calon Presiden dan Wakil Presiden; dan
d. bakal calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
(2) Rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara
demokratis dan terbuka sesuai dengan AD dan ART serta peraturan
perundang-undangan.
(3) Penetapan atas rekrutmen sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dilakukan dengan keputusan pengurus Partai Politik sesuai dengan AD
dan ART.
BAB XII
PERATURAN DAN KEPUTUSAN PARTAI POLITIK
Pasal 30
Partai Politik berwenang membentuk dan menetapkan peraturan dan/atau
keputusan Partai Politik berdasarkan AD dan ART serta tidak bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan.
BAB XIII
PENDIDIKAN POLITIK
Pasal 31
(1) Partai Politik melakukan pendidikan politik bagi masyarakat sesuai dengan
ruang lingkup tanggung jawabnya dengan memperhatikan keadilan dan
kesetaraan gender dengan tujuan antara lain:
a. meningkatkan kesadaran hak dan kewajiban masyarakat dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
b. meningkatkan partisipasi politik dan inisiatif masyarakat dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; dan
c. meningkatkan kemandirian, kedewasaan, dan membangun karakter
bangsa dalam rangka memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
147
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
(2) Pendidikan politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan untuk
membangun etika dan budaya politik sesuai dengan Pancasila.
BAB XIV
PENYELESAIAN PERSELISIHAN PARTAI POLITIK
Pasal 32
(1) Perselisihan Partai Politik diselesaikan dengan cara musyawarah mufakat.
(2) Dalam hal musyawarah mufakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
tidak tercapai, penyelesaian perselisihan Partai Politik ditempuh melalui
pengadilan atau di luar pengadilan.
(3) Penyelesaian perselisihan di luar pengadilan sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dapat dilakukan melalui rekonsiliasi, mediasi, atau arbitrase Partai
Politik yang mekanismenya diatur dalam AD dan ART.
Pasal 33
(1) Perkara Partai Politik berkenaan dengan ketentuan Undang-Undang ini
diajukan melalui pengadilan negeri.
(2) Putusan pengadilan negeri adalah putusan tingkat pertama dan terakhir,
dan hanya dapat diajukan kasasi kepada Mahkamah Agung.
(3) Perkara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselesaikan oleh pengadilan
negeri paling lama 60 (enam puluh) hari sejak gugatan perkara terdaftar di
kepaniteraan pengadilan negeri dan oleh Mahkamah Agung paling lama
30 (tiga puluh) hari sejak memori kasasi terdaftar di kepaniteraan
Mahkamah Agung.
BAB XV
KEUANGAN
Pasal 34
(1) Keuangan Partai Politik bersumber dari:
a. iuran anggota;
b. sumbangan yang sah menurut hukum; dan
c. bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
(2) Sumbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b, dapat berupa
uang, barang, dan/atau jasa.
(3) Bantuan keuangan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara/
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf c diberikan secara proporsional kepada Partai Politik yang
148
UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
149
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
Pasal 39
Pengelolaan keuangan Partai Politik diatur lebih lanjut dalam AD dan ART.
BAB XVI
LARANGAN
Pasal 40
(1) Partai Politik dilarang menggunakan nama, lambang, atau tanda gambar
yang sama dengan:
a. bendera atau lambang negara Republik Indonesia;
b. lambang lembaga negara atau lambang Pemerintah;
c. nama, bendera, lambang negara lain atau lembaga/badan internasional;
d. nama, bendera, simbol organisasi gerakan separatis atau organisasi
terlarang;
e. nama atau gambar seseorang; atau
f. yang mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan nama, lambang, atau tanda gambar Partai Politik lain.
(2) Partai Politik dilarang:
a. melakukan kegiatan yang bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan peraturan perundang-
undangan; atau
b. melakukan kegiatan yang membahayakan keutuhan dan keselamatan
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
(3) Partai Politik dilarang:
a. menerima dari atau memberikan kepada pihak asing sumbangan dalam
bentuk apa pun yang bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan;
b. menerima sumbangan berupa uang, barang, ataupun jasa dari pihak
mana pun tanpa mencantumkan identitas yang jelas;
c. menerima sumbangan dari perseorangan dan/atau perusahaan/badan
usaha melebihi batas yang ditetapkan dalam peraturan perundang-
undangan;
d. meminta atau menerima dana dari badan usaha milik negara, badan
usaha milik daerah, dan badan usaha milik desa atau dengan sebutan
lainnya;atau
e. menggunakan fraksi di Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah kabupaten/kota sebagai sumber
pendanaan Partai Politik.
150
UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
(4) Partai Politik dilarang mendirikan badan usaha dan/atau memiliki saham
suatu badan usaha.
(5) Partai Politik dilarang menganut dan mengembangkan serta menyebarkan
ajaran atau paham komunisme/Marxisme-Leninisme.
BAB XVII
PEMBUBARAN DAN PENGGABUNGAN PARTAI POLITIK
Pasal 41
Partai Politik bubar apabila:
a. membubarkan diri atas keputusan sendiri;
b. menggabungkan diri dengan Partai Politik lain; atau
c. dibubarkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Pasal 42
Pembubaran Partai Politik atas keputusan sendiri sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 41 huruf a dilakukan berdasarkan AD dan ART.
Pasal 43
(1) Penggabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 huruf
b dapat dilakukan dengan cara:
a. menggabungkan diri membentuk Partai Politik baru dengan nama,
lambang, dan tanda gambar baru; atau
b. menggabungkan diri dengan menggunakan nama, lambang, dan tanda
gambar salah satu Partai Politik.
(2) Partai Politik baru hasil penggabungan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) huruf a harus memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
2 dan Pasal 3.
(3) Partai Politik yang menerima penggabungan Partai Politik lain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak diwajibkan untuk memenuhi ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 dan Pasal 3.
Pasal 44
(1) Pembubaran Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41
diberitahukan kepada Menteri.
(2) Menteri mencabut status badan hukum Partai Politik sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
Pasal 45
Pembubaran Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41 diumumkan
dalam Berita Negara Republik Indonesia oleh Departemen.
151
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
BAB XVIII
PENGAWASAN
Pasal 46
Pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-Undang ini dilakukan oleh lembaga
negara yang berwenang secara fungsional sesuai dengan undang-undang.
BAB XIX
SANKSI
Pasal 47
(1) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2,
Pasal 3, Pasal 9 ayat (1), dan Pasal 40 ayat (1) dikenai sanksi administratif
berupa penolakan pendaftaran Partai Politik sebagai badan hukum oleh
Departemen.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
huruf h dikenai sanksi administratif berupa teguran oleh Pemerintah.
(3) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
huruf i dikenai sanksi administratif berupa penghentian bantuan Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
sampai laporan diterima oleh Pemerintah dalam tahun anggaran berkenaan.
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13
huruf j dikenai sanksi administratif berupa teguran oleh Komisi Pemilihan
Umum.
(5) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
ayat (3) huruf e dikenai sanksi administratif yang ditetapkan oleh badan/
lembaga yang bertugas untuk menjaga kehormatan dan martabat Partai
Politik beserta anggotanya.
Pasal 48
(1) Partai politik yang telah memiliki badan hukum melanggar ketentuan Pasal
40 ayat (1) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan kepengurusan
oleh pengadilan negeri.
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 40
ayat (2) dikenai sanksi administratif berupa pembekuan sementara Partai
Politik yang bersangkutan sesuai dengan tingkatannya oleh pengadilan
negeri paling lama 1 (satu) tahun.
(3) Partai Politik yang telah dibekukan sementara sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) dan melakukan pelanggaran lagi terhadap ketentuan sebagaimana
152
UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
153
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
Negara dalam Pasal 107 huruf c, huruf d, atau huruf e, dan Partai Politiknya
dapat dibubarkan.
BAB XX
KETENTUAN PERALIHAN
Pasal 51
(1) Partai Politik yang telah disahkan sebagai badan hukum berdasarkan
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik tetap diakui
keberadaannya.
(2) Partai Politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (5) paling lama pada
forum tertinggi pengambilan keputusan Partai Politik pada kesempatan
pertama sesuai dengan AD dan ART setelah Undang-Undang ini
diundangkan.
(3) Partai Politik yang sudah mendaftarkan diri ke Departemen sebelum
Undang-Undang ini diundangkan, diproses sebagai badan hukum menurut
Undang-Undang ini.
(4) Penyelesaian perkara Partai Politik yang sedang dalam proses pemeriksaan
di pengadilan dan belum diputus sebelum Undang-Undang ini diundangkan,
penyelesaiannya diputus berdasarkan Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2002 tentang Partai Politik.
(5) Perkara Partai Politik yang telah didaftarkan ke pengadilan sebelum
Undang-Undang ini diundangkan dan belum diproses, perkara dimaksud
diperiksa dan diputus berdasarkan Undang-Undang ini.
BAB XXI
KETENTUAN PENUTUP
Pasal 52
Pada saat berlakunya Undang-Undang ini, Undang-Undang Nomor 31 Tahun
2002 tentang Partai Politik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 138, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4251), dicabut dan
dinyatakan tidak berlaku.
Pasal 53
Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
154
UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
Disahkan di Jakarta
pada tanggal 4 Januari 2008
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 4 Januari 2008
MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA
REPUBLIK INDONESIA,
ANDI MATTALATTA
155
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 2 TAHUN 2008
TENTANG
PARTAI POLITIK
I. UMUM
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menjamin
kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagai
hak asasi manusia yang harus dilaksanakan untuk mewujudkan kehidupan
kebangsaan yang kuat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia yang
merdeka, bersatu, berdaulat, adil, demokratis, dan berdasarkan hukum.
Dinamika dan perkembangan masyarakat yang majemuk menuntut
peningkatan peran, fungsi, dan tanggung jawab Partai Politik dalam
kehidupan demokrasi secara konstitusional sebagai sarana partisipasi politik
masyarakat dalam upaya mewujudkan cita-cita nasional bangsa Indonesia,
menjaga dan memelihara keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
mengembangkan kehidupan demokrasi berdasarkan Pancasila sebagaimana
termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dengan menjunjung tinggi kedaulatan rakyat dalam
Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan mewujudkan kesejahteraan
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik belum
optimal mengakomodasi dinamika dan perkembangan masyarakat yang
menuntut peran Partai Politik dalam kehidupan berbangsa dan bernegara
serta tuntutan mewujudkan Partai Politik sebagai organisasi yang bersifat
nasional dan modern sehingga Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2002
tentang Partai Politik perlu diperbarui.
Undang-Undang ini mengakomodasi beberapa paradigma baru seiring
dengan menguatnya konsolidasi demokrasi di Indonesia, melalui sejumlah
pembaruan yang mengarah pada penguatan sistem dan kelembagaan Partai
Politik, yang menyangkut demokratisasi internal Partai Politik, transparansi
dan akuntabilitas dalam pengelolaan keuangan Partai Politik, peningkatan
kesetaraan gender dan kepemimpinan Partai Politik dalam sistem nasional
156
Penjelasan UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
157
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
Pasal 3
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “mempunyai persamaan pada
pokoknya atau keseluruhannya dengan nama, lambang, dan
tanda gambar Partai Politik lain” adalah memiliki kemiripan
yang menonjol dan menimbulkan kesan adanya persamaan,
baik mengenai bentuk, cara penempatan, cara penulisan
maupun kombinasi antara unsur-unsur yang terdapat dalam
nama, lambang, dan tanda gambar Partai Politik lain.
Huruf c
Kantor tetap ialah kantor yang layak, milik sendiri, sewa,
pinjam pakai, serta mempunyai alamat tetap.
Huruf d
Kota/kabupaten administratif di wilayah Daerah Khusus Ibu
Kota Jakarta kedudukannya setara dengan kota/kabupaten
di provinsi lain.
Huruf e
Cukup jelas.
Pasal 4
Ayat (1)
Penelitian dan/atau verifikasi Partai Politik dilakukan secara
administratif dan periodik oleh Departemen bekerja sama dengan
instansi terkait.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
158
Penjelasan UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas.
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Huruf j
Organisasi sayap Partai Politik merupakan organisasi yang
dibentuk oleh dan/atau menyatakan diri sebagai sayap Partai Politik
sesuai dengan AD dan ART masing-masing Partai Politik.
159
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
Huruf k
Yang memperoleh bantuan keuangan adalah Partai Politik yang
mendapatkan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah kabupaten/kota
Pasal 13
Huruf a
Cukup jelas.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Huruf g
Cukup jelas.
Huruf h
Cukup jelas.
Huruf i
Laporan penggunaan dana bantuan dari Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara/Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan
disampaikan oleh Partai Politik kepada Departemen Dalam
Negeri.
Huruf j
Rekening khusus dana kampanye pemilihan umum hanya
diberlakukan bagi Partai Politik peserta pemilihan umum.
Huruf k
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
160
Penjelasan UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Cukup jelas.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Cukup jelas.
Pasal 21
Cukup jelas
.
Pasal 22
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Yang dimaksud dengan “forum tertinggi pengambilan keputusan Partai
Politik” adalah musyawarah nasional, kongres, muktamar, atau sebutan
lainnya yang sejenis.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.
Pasal 28
Cukup jelas.
Pasal 29
Cukup jelas.
161
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
Pasal 30
Cukup jelas.
Pasal 31
Cukup jelas.
Pasal 32
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan “perselisihan Partai Politik” meliputi antara
lain: (1) perselisihan yang berkenaan dengan kepengurusan; (2)
pelanggaran terhadap hak anggota Partai Politik; (3) pemecatan
tanpa alasan yang jelas; (4) penyalahgunaan kewenangan; (5)
pertanggung jawaban keuangan; dan/atau (6) keberatan terhadap
keputusan Partai Politik.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 33
Cukup jelas.
Pasal 34
Cukup jelas.
Pasal 35
Cukup jelas.
Pasal 36
Cukup jelas.
Pasal 37
Cukup jelas.
Pasal 38
Cukup jelas.
Pasal 39
Cukup jelas.
Pasal 40
Ayat (1)
Cukup jelas.
162
Penjelasan UU RI No. 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Huruf a
Yang dimaksud dengan “pihak asing” dalam ketentuan ini
adalah warga negara asing, pemerintahan asing, atau
organisasi kemasyarakatan asing.
Huruf b
Yang dimaksud dengan “identitas yang jelas” dalam ketentuan
ini adalah nama dan alamat lengkap perseorangan atau
perusahaan dan/atau badan usaha.
Huruf c
Cukup jelas.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Larangan dalam ketentuan ini tidak termasuk sumbangan dari
anggota fraksi.
Ayat (4)
Cukup jelas.
Ayat (5)
Cukup jelas.
Pasal 41
Cukup jelas.
Pasal 42
Cukup jelas.
Pasal 43
Ayat (1)
Penggabungan Partai Politik dalam ketentuan ini bukan merupakan
gabungan Partai Politik sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Perolehan kursi di Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah
kabupaten/kota hasil pemilihan umum tahun 2004 tidak hilang
bagi Partai Politik yang bergabung.
163
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
Ayat (2)
Cukup jelas.
Ayat (3)
Cukup jelas.
Pasal 44
Cukup jelas.
Pasal 45
Cukup jelas.
Pasal 46
Yang dimaksud dengan “sesuai dengan undang-undang” dalam
ketentuan ini adalah sesuai dengan undang-undang organik yang
memberikan kewenangan kepada lembaga negara untuk melakukan
pengawasan.
Pasal 47
Cukup jelas.
Pasal 48
Cukup jelas.
Pasal 49
Cukup jelas.
Pasal 50
Cukup jelas.
Pasal 51
Cukup jelas.
Pasal 52
Cukup jelas.
Pasal 53
Cukup jelas.
164
BIODATA
BIODATA PENULIS
165
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
166
Biodata Penulis
167
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
PARTONO, SIP, MA
Lahir di Klaten, 20 April 1977. Riwayat Pendidikan :
S2/ Master of Arts Institute of Social Studies (ISS), The
Hague, The Netherlands. (2005 – 2006)Jurusan Kebijakan
dan Manajemen Publik; S1/Sarjana Ilmu Politik Universitas
Gajah Mada (1996 – 2001)Jurusan Ilmu Administrasi
Negara; SMA N 2 Klaten, Jawa Tengah (1992 – 1995);
SMPN 2 Trucuk, Klaten, Jawa Tengah (1989 – 1992).
168
Biodata Penulis
169
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
170
Universitas Indonesia; 1988-Sekarang: Pegawai Negeri tetap Fakultas Hukum
Universitas Indonesia; 2000-2004: Anggota Tim Pakar Kejaksaan Agung Republik
Indonesia; 2000-2004: Sekretaris Bidang Studi Hukum Acara/Jurusan Praktisi
Hukum – Fakultas Hukum Universitas Indonesia; 1988-1992 : Asisten Dosen
Mata Kuliah Praktek Hukum Fakultas Hukum Universitas Indonesia; 1987 :
Calon Pegawai Negeri Fakultas Hukum Universitas Indonesia; 1987-1995 : Staff
Penasehat Hukum Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum (LKBH) Fakultas
Hukum Universitas Indonesia.
171
Vol. 5 No. 1 - Maret 2008
PANDUAN PENULISAN
1. Naskah yang dikirim berbentuk karya tulis ilmiah, seperti hasil penelitian
lapangan, survey, hipotesa, kajian teori, studi kepustakaan, review buku,
dan gagasan kritis-konseptual yang bersifat obyektif, sistimatis, analisis, dan
deskriptif.
2. Naskah yang dikirim hendaknya merupakan karya tulis asli yang belum
pernah dimuat atau dipublikasikan di media lain.
3. Naskah diketik rangkap 2 (dua) spasi di atas kertas ukuran A4, panjang
naskah antara 8-25 halaman, daftar pustaka dan disertakan gambar atau
foto, tabel jika diperlukan.
4. Naskah yang dikirim disertakan disket dan disebutkan program yang dipakai.
5. Penulisan hendaknya menggunakan bahasa Indonesia yang baku, lugas,
sederhana dan mudah dimengerti tidak mengandung makna ganda.
6. Pokok pembahasan atau judul penulisan berupa kalimat yang singkat dan
jelas, dengan kata-kata atau frasa kunci yang mencerminkan isi tulisan.
7. Sistimatika penulisan sesuai dengan aturan penulisan ilmiah, yang secara
garis besar memuat: abstrak (yang panjangnya antara 100 - 200 kata),
pendahuluan (latar belakang permasalahan, tujuan ruang lingkup, dan
metodologi), hasil dan pembahasan (tinjauan pustaka, data, dan analisis),
penutup (kesimpulan dan saran), dan daftar pustaka ditulis berdasarkan abjad
(alfabetis).
8. Pengiriman naskah dengan melampirkan softcopy berupa curriculum vitae
beserta pas photo ukuran 4 x 6 cm sebanyak 1 (satu) lembar untuk dimuat
di jurnal.
9. Isi, materi, dan subtansi tulisan merupakan tanggung jawab penulis. Redaksi
berhak mengedit teknis penulisan (redaksional) tanpa mengubah arti.
10. Naskah dikirim ditujukan kepada :
Redaksi Jurnal Legislasi Indonesia, Direktorat Jenderal Peraturan
Perundang-undangan Departemen Hukum dan HAM RI Jl. HR. Rasuna
Said Kav. 6-7 Kuningan - Jakarta Selatan Telepon (021) 5264517/Fax
(021) 5205310, e-mail : legislasi@yahoo.com.
172