Professional Documents
Culture Documents
Disusun Oleh:
1
Wibisono, 2001
2
Rizal Mustansyir, 2001: 49-50
1
pengembangan tersebut memperoleh pembekalan dari disiplin ilmu masing-
masing, agar dapat menampilkan teori substantif. Selanjutnya, secara teknis
diharapkan dengan dibantu metodologi, pengembangan ilmu dapat mengopera-
sionalkan pengembangan konsep tesis, dan teori ilmiah dari disiplin ilmu masing-
masing.3
3
Noeng Muhadjir, 1998: 2
2
Pembahasan .....
Ontologi merupakan salah satu kajian kefilsafatan yang paling kuno dan berasal
dari Yunani. Studi tersebut membahas keberadaan sesuatu yang bersifat konkret.
Tokoh Yunani yang memiliki pandangan yang bersifat ontologis dikenal seperti
Thales, Plato, dan Aristoteles. Pada masanya, kebanyakan orang belum
membedaan antara penampakan dengan kenyataan. Thales terkenal sebagai filsuf
yang pernah sampai pada kesimpulan bahwa air merupakan substansi terdalam
yang merupakan asal mula segala sesuatu. Namun yang lebih penting ialah
pendiriannya bahwa mungkin sekali segala sesuatu itu berasal dari satu substansi
belaka (sehingga sesuatu itu tidak bisa dianggap ada berdiri sendiri).
Ontologi terdiri dari dua suku kata, yakni ontos dan logos. Ontos berarti sesuatu
yang berwujud (being) dan logos berarti ilmu. Jadi ontologi adalah bidang pokok
filsafat yang mempersoalkan hakikat keberadaan segala sesuatu yang ada menurut
tata hubungan sistematis berdasarkan hukum sebab akibat yaitu ada manusia, ada
alam, dan ada kausa prima dalam suatu hubungan yang menyeluruh, teratur, dan
tertib dalam keharmonisan (Suparlan Suhartono, 2007). Ontologi dapat pula
diartikan sebagai ilmu atau teori tentang wujud hakikat yang ada. Obyek ilmu atau
keilmuan itu adalah dunia empirik, dunia yang dapat dijangkau pancaindera.
Dengan demikian, obyek ilmu adalah pengalaman inderawi. Dengan kata lain,
ontologi adalah ilmu yang mempelajari tentang hakikat sesuatu yang berwujud
(yang ada) dengan berdasarkan pada logika semata. Pengertian ini didukung pula
oleh pernyataan Runes bahwa “ontology is the theory of being qua being”, artinya
ontologi adalah teori tentang wujud.
Obyek telaah ontologi adalah yang ada. Studi tentang yang ada, pada dataran
studi filsafat pada umumnya dilakukan oleh filsafat metafisika. Istilah ontologi
banyak digunakan ketika kita membahas yang ada dalam konteks filsafat ilmu.
Ontologi membahas tentang yang ada, yang tidak terikat oleh satu perwujudan
tertentu. Ontologi membahas tentang yang ada yang universal, menampilkan
pemikiran semesta universal. Ontologi berupaya mencari inti yang termuat dalam
setiap kenyataan, atau dalam rumusan Lorens Bagus; menjelaskan yang ada yang
3
meliputi semua realitas dalam semua bentuknya. Berdasarkan hal tersebut, maka
dapat dikatakan bahwa obyek formal dari ontologi adalah hakikat seluruh realitas.
Hal senada juga dilontarkan oleh Jujun Suriasumantri (2000: 34 – 35), bahwa
ontologi membahas apa yang ingin diketahui atau dengan kata lain merupakan
suatu pengkajian mengenai teori tentang ada. Dasar ontologis dari ilmu
berhubungan dengan materi yang menjadi obyek penelaahan ilmu. Berdasarkan
obyek yang telah ditelaahnya, ilmu dapat disebut sebagai pengetahuan empiris,
karena obyeknya adalah sesuatu yang berada dalam jangkauan pengalaman
manusia yang mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diuji oleh panca
indera manusia. Berlainan dengan agama dan bentuk-bentuk pengetahuan lain,
ilmu membatasi diri hanya kepada kejadian-kejadian yang bersifat empiris, selalu
berorientasi terhadap dunia empiris.
Ontologi ilmu meliputi apa hakikat ilmu, apa hakikat kebenaran dan kenyataan
yang inheren dengan pengetahuan ilmiah, yang tidak terlepas dari persepsi filsafat
tentang apa dan bagaimana (yang ) “ada” itu (being, sein, het zijn). Paham monism
yang terpecah menajdi idealism atau spiritualisme, paham dualism, pluralism
dengan berbagai nuansanya, merupakan paham ontologik yang pada akhirnya
menentukan pendapa bahkan keyakinan kita masing-masing mengenai apa dan
bagaimana (yang) “ada” sebagaimana manifestasi kebenaran yang kita cari.4
4
Tim Dosen Filsafat Ilmu, (2000: 12)
4
2. Filsafat Idealisme
3. Filsafat Dualisme
4. Filsafat Skeptisisme
5. Filsafat Agnostisisme
Argumen ontologis ini pertama kali dilontarkan oleh Plato (428-348 SM) dengan
teori ideanya. Menurut Plato, tiap-tiap yang ada di alam nyata ini mesti ada ideanya.
Idea yang dimaksud oleh Plato adalah definisi atau konsep universal dari tiap
sesuatu. Plato mencontohkan pada seekor kuda, bahwa kuda mempunyai idea atau
konsep universal yang berlaku untuk tiap-tiap kuda yang ada di alam nyata ini, baik
itu kuda yang berwarna hitam, putih ataupun belang, baik yang hidup ataupun
sudah mati. Idea kuda itu adalah faham, gambaran atau konsep universal yang
berlaku untuk seluruh kuda yang berada di benua manapun di dunia ini.
Demikian pula manusia punya idea. Idea manusia menurut Plato adalah badan
hidup yang kita kenal dan bisa berpikir. Dengan kata lain, idea manusia adalah
”binatang berpikir”. Konsep binatang berpikir ini bersifat universal, berlaku untuk
seluruh manusia besar-kecil, tua-muda, lelaki-perempuan, manusia Eropa, Asia,
India, China, dan sebagainya. Tiap-tiap sesuatu di alam ini mempunyai idea. Idea
inilah yang merupakan hakikat sesuatu dan menjadi dasar wujud sesuatu itu. Idea-
idea itu berada dibalik yang nyata dan idea itulah yang abadi. Benda-benda yang
5
kita lihat atau yang dapat ditangkap dengan panca indera senantiasa berubah.
karena itu, ia bukanlah hakikat, tetapi hanya bayangan, kopi atau gambaran dari
idea-ideanya. Dengan kata lain, benda-benda yang dapat ditangkap dengan panca
indera ini hanyalah khayal dan illusi belaka. Dengan demikian dapat dikatakan
bahwa ontologi mengkaji tentang “the study of the nature of existence and being in
the abstract” atau “the science of being and universal order”.
Argumen ontologis kedua dimajukan oleh St. Augustine (354 – 430 M). Menurut
Augustine, manusia mengetahui dari pengalaman hidupnya bahwa dalam alam ini
ada kebenaran. Namun, akal manusia terkadang merasa bahwa ia mengetahui apa
yang benar, tetapi terkadang pula merasa ragu-ragu bahwa apa yang diketahuinya
itu adalah suatu kebenaran. Menurutnya, akal manusia mengetahui bahwa di
atasnya masih ada suatu kebenaran tetap (kebenaran yang tidak berubah-ubah),
dan itulah yang menjadi sumber dan cahaya bagi akal dalam usahanya mengetahui
apa yang benar. Kebenaran tetap dan kekal itulah kebenaran yang mutlak.
Kebenaran mutlak inilah oleh Augustine disebut Tuhan.
Ontologi dapat mendekati masalah hakikat kenyataan dari dua macam sudut
pandang. Orang dapat mempertanyakan “kenyataan itu tunggal atau jamak”? yang
demikian ini meripakan pendekatan kuantitatif. Atau orang dapat juga mengajukan
pertanyaan, “Dalam babak terakhir apakah yang merupakan jenis kenyataan itu?”
yang demikian itu merupakan pendekatan secara kualitatif.5 Ontologi ini pantas
dipelajari bagi orang yang ingin memahami secara menyeluruh tentang dunia ini
dan berguna bagi studi ilmu-ilmu empiris (misalnya antropologi, sosiologi, ilmu
kedokteran, ilmu budaya, fisika, ilmu teknik dan sebagainya).
5
Soejono Soemargono (1996: 192)
6
1. Keberadaan dipandang dari segi jumlah (kuantitas)
a. Monisme, aliran yang menyatakan bahwa hanya satu keadaan fundamental.
Kenyataan tersebut dapat berupa jiwa, materi, Tuhan atau substansi lainnya
yang tidak dapat diketahui.
b. Dualisme (serba dua), aliran yang menganggap adanya dua substansi yang
masing-masing berdiri sendiri. Misal dunia indera (dunia bayang-bayang)
dan dunia intelek (dunia ide).
c. Pluralisme (serba banyak), aliran yang tidak mengakui adanya sesuatu
substansi atau dua substansi melainkan banyak substansi, misalnya hakikat
kenyataan terdiri dari empat unsur yaitu udara, api, air dan tanah
(empedogles).
2. Keberadaan dipandang dari segi sifat, menimbulkan beberapa aliran,
yaitu:
a. Spiritualisme, mengandung arti ajaran yang menyatakan bahwa kenyataan
yang terdalam adalah roh yaitu roh yang mengisi dan mendasari seluruh
alam.
b. Materialisme, adalah pandangan yang menyatakan bahwa tidak ada hal yang
nyata kecuali materi.
3. Keberadaan dipandang dari segi proses, kejadian, atau perubahan
a. Mekanisme (serba mesin), menyatakan bahwa semua gejala atau peristiwa
dapat dijelaskan berdasarkan asas mekanik (mesin).
b. Teleologi (serba tujuan), berpendirian bahwa yang berlaku dalam kejadian
alam bukanlah kaidah sebab akibat tetapi sejak semula memang ada sesuatu
kemauan atau kekuatan yang mengarahkan alam ke suatu tujuan.
c. Vitalisme, memandang bahwa kehidupan tidak dapat sepenuhnya dijelaskan
secara fisika, kimia, karena hakikatnya berbeda dengan yang tak hidup.
d. Organisisme (lawannya mekanisme dan vitalisme). Menurut organisisme,
hidup adalah suatu struktur yang dinamik, suatu kebulatan yang memiliki
bagian-bagian yang heterogen, akan tetapi yang utama adalah adanya
sistem yang teratur.
7
pertama). Filsafat pertama ini memuat uraian tentang sesuatu yang ada dibelakang
gejala-gejala fisik seperti gerak, berubah, hidup, mati.6
Metafisika merupakan telaahan atau teori tentang yang ada, istilah metafisika ini
terkadang dipadankan dengan ontologi jika demikian, karena sebenarnya
metafisika juga mencakup telaahan lainnya seperti telaahan tentang bukti-bukti
adanya Tuhan. Metafisika dapat didefinisikan sebagai studi atau pemikiran tentang
sifat yang terdalam (ultimate nature) dari kenyataan atau keberadaan.7
6
Tim Dosen Filsafat Ilmu (2000: 31)
7
Ibid, hal 31 – 32
8
Ibid, hal 31 – 32
8
MANUSIA SENSE/
(Subjek) PENGINDERAAN
Manusia sebagai subjek yang dapat berpikir dan melihat lewat penginderaan
dapat melihat realitas kehidupan sebagai obyek. Dari obyek inilah akan muncul
data indera atau penampakan. Dengan menggunakan data penampakan, manusia
sampai pada suatu intinya yang terdalam yaitu substansi hakikat “ada” dan
“keberadaan”.
D. Hakikat “Ada” dan “Eksistensi” Suatu Ilmu Melalui Proses Abstraksi Yang
Mendasar Untuk Suatu Kebenaran Spekulatif
Untuk memperoleh pemahaman tentang hakikat segala sesuatu dilakukan
dengan suatu metode analisis yang disebut analisis abstraksi. Metode analisis
abstraksi dilakukan setingkat demi setingkat untuk akhirnya sampai pada suatu
pemahaman pengertian “hakikat”. Begitu juga dalam memahami hakikat “ada” dan
“keberadaan” suatu ilmu bisa diperoleh melalui proses analisis abstraksi tersebut.
Metode abstraksi digunakan ontologi untuk mencari kejelasan tentang dunia fakta
seluruhnya sampai pada pengertian yang fundamental. Pengetahuan fundamental
yang dihasilkan oleh ontologi dapat dijadikan dasar untuk membahas kembali
asumsi dasar yang oleh ilmu pengetahuan telah dianggap mapan kebenarannya.
9
interpreted). Dengan demikian, kebenaran spekulasi adalah kebenaran karena
adanya pertimbangan meskipun kurang dipikirkan secara matang, dikerjakan
dengan penuh resiko, relatif lebih cepat dan biaya lebih rendah daripada trial-
error.
Dengan metode analisis abstraksi kita coba untuk menelaah hakikat ”ada” dan
“eksisitensi” ilmu. Sebelum manusia memiliki berbagai ilmu, peristiwa alam yang
terjadi tak dapat dimengerti apalagi diramalkan dan dikuasai. Untuk dapat
menerangkan peristiwa tersebut, manusia lari kepada aneka penjelasan tahyul atau
uraian serba gaib. Misal bila gunung berapi meletus dan mendatangkan
malapetaka maka dia menjelaskan bahwa dewa gunung sedang marah. Dengan
berkembangnya ilmu seperti vulcanology, geografi fisis manusia dapat
menerangkan secara tepat dan cermat berbagai peristiwa yang dijumpai dan bisa
meramalkan peristwa yang belum terjadi.
Jika ditinjau dari segi ontologi yang berarti persoalan tentang hakikat
keberadaan ilmu menunjukkan bahwa ilmu selalu berada dalam hubungannya
dengan eksistensi kehidupan manusia, karena ilmu berdasar pada beberapa
asumsi dasar untuk mendapatkan pengetahuan tentang fenomena yang nampak
dalam kehidupan. Asumsi-asumsi dasar tersebut meliputi:
1. dunia itu ada dan kita dapat mengetahui bahwa dunia itu benar ada;
2. dunia empiris itu dapat diketahui oleh manusia melalui pancaindera;
10
3. fenomena-fenomena yang terdapat di dunia ini berhubungan satu sama lain
secara kausal.
Oleh sebab itu dapat dipahami bahwa ontologi ilmu berarti ilmu dalam
hubungannya dengan asal mula, eksistensi, dan tujuan kehidupan manusia. Tanpa
manusia ilmu tak pernah ada. Tetapi bagaimana halnya dengan keberadaan
manusia tanpa ilmu? Mungkinkah itu ada? Pertanyaan ini bisa dijawab dengan
pernyataan Deskrates yang menekankan pentingya kecakapan berpikir dalam
skeptisimanya yang radikal, yang diungkap dalam “Cogito ergosom” (saya bepikir
maka saya ada). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa ontologi merupakan
dasar pemikiran filsafat.
E. Pengertian Epistemologi
Hingga tiga abad sebelum abad ini, epistemologi bukanlah suatu ilmu yang
dikategorikan sebagai disiplin ilmu tertentu. Akan tetapi, pada dua abad
11
sebelumnya, khususnya di barat, epistemologi diposisikan sebagai salah satu
disiplin ilmu. Dalam filsafat Islam permasalahan epistemologi tidak dibahas secara
tersendiri, akan tetapi, begitu banyak persoalan epistemologi dikaji secara meluas
dalam pokok-pokok pembahasan filsafat Islam, misalnya dalam pokok kajian
tentang jiwa, kenon-materian jiwa, dan makrifat jiwa. Penginderaan, persepsi, dan
ilmu merupakan bagian pembahasan tentang makrifat jiwa. Begitu pula hal-hal
yang berkaitan dengan epistemologi banyak dikaji dalam pembahasan tentang
akal, obyek akal, akal teoritis dan praktis, wujud pikiran, dan tolok ukur kebenaran
dan kekeliruan suatu proposisi. "Pandangan dunia (weltanschauung) seseorang
dapat dipengaruhi oleh beberapa hal, di antaranya konsepsi dan pengenalannya
terhadap "kebenaran". Kebenaran yang dimaksud di sini adalah segala sesuatu
yang berkorespondensi dengan dunia luar. Semakin besar pengenalannya,
semakin luas dan dalam pandangan dunianya. Pandangan dunia yang valid dan
argumentatif dapat melesakkan seseorang mencapai titik kulminasi peradaban dan
sebaliknya akan membuatnya terpuruk hingga titik-nadir peradaban. Karena nilai
dan kualitas keberadaan kita sangat bergantung kepada pengenalan kita terhadap
kebenaran. Anda dikenal atas apa yang Anda kenal. Wujud anda ekuivalen dengan
pengenalan Anda dan vice-versa. Akan tetapi, bagaimanakah kebenaran itu dapat
dikenal? Parameter atau paradigma apa yang digunakan untuk dapat
mengidentifikasi kebenaran itu? Mengapa kita memerlukan paradigma atau
parameter ini? Dapatkah manusia mencerap kebenaran itu? Kalau kita menilik
perjalanan sejarah umat manusia, sebagai makhluk dinamis dan progresif, manusia
acapkali dihadapkan kepada persoalan-persoalan krusial tentang hidup dan
kehidupan, tentang ada dan keberadaan, tentang perkara-perkara eksistensial.
Penulusuran, penyusuran serta jelajah manusia untuk menuai jawaban atas masalah-
masalah di atas membuat eksistensi manusia jauh lebih berarti. Manusia berusaha
bertungkus lumus memaknai keberadaannya untuk mencari jawaban ini. Till death
do us apart, manusia terus mencari dan mencari hingga akhir hayatnya." perjalanan
sejarah umat manusia, sebagai makhluk dinamis dan progresif, manusia acapkali
dihadapkan kepada persoalan-persoalan krusial tentang hidup dan kehidupan,
tentang ada dan keberadaan, tentang perkara-perkara eksistensial. Ilmu-ilmu
empiris dan ilmu-ilmu naratif lainnya ternyata tidak mampu memberikan jawaban
utuh dan komprehensif atas masalah ini. Karena metodologi ilmu-ilmu di atas
adalah bercorak empirikal.
12
Filsafat sebagai induk ilmu pengetahuan hadir untuk mencoba memberikan
jawaban atas masalah ini. Karena baik dari sisi metodologi atau pun subjek
keilmuan, filsafat menggunakan metodologi rasional dan subjek ilmu filsafat adalah
eksisten qua eksisten. Sebelum memasuki gerbang filsafat terlebih dahulu instrumen
yang digunakan dalam berfilsafat harus disepakati. Dengan kata lain, akal yang
digunakan sebagai instrumen berfilsafat harus diuji dulu validitasnya, apakah ia
absah atau tidak dalam menguak realitas. Betapa tidak, dalam menguak realitas
terdapat perdebatan panjang semenjak zaman Yunani Kuno (lampau) hingga masa
Postmodern (kiwari) antara kubu rasionalis (rasio) dan empiris (indriawi dan
persepsi). Semenjak Plato hingga Michel Foucault dan Jean-François Lyotard.
13
2. Epistomologi adalah pengetahuan sistematis yang membahas tentang
terjadinnya pengetahuan, sumber pengetahuan, asal mula pengetahuan,
metode atau cara memperoleh pengetahuan, validitas dan kebenaran
pengetahuan (Ilmiah).
14
yang kita ketahui tentang hakikat itu bersesuaian dengan hakikat eksternal itu
sebagaimana adanya? Apakah kita yakin bisa menggapai hakikat dan realitas
eksternal itu? Sangat mungkin pikiran kita tidak memiliki kemampuan memadai
untuk mencapai hakikat sebagaimana adanya, keraguan ini akan menguat
khususnya apabila kita mengamati kesalahan-kesalahan yang terjadi pada indera
lahir dan kontradiksi-kontradiksi yang ada di antara para pemikir di sepanjang
sejarah manusia?Persoalan-persoalan terakhir ini berbeda dengan persoalan-
persoalan sebelumnya, yakni persoalan-persoalan sebelumnya berpijak pada suatu
asumsi bahwa hakikat itu ada, akan tetapi pada persoalan-persoalan terakhir ini,
keberadaan hakikat itu justru masih menjadi masalah yang diperdebatkan. Untuk
lebih jelasnya perhatikan contoh berikut ini. Seseorang sedang melihat suatu
pemandangan yang jauh dengan teropong dan melihat berbagai benda dengan
bentuk-bentuk dan warna-warna yang berbeda, lantas iameneliti benda-benda
tersebut dengan melontarkan berbagai pertanyaan-pertanyaan tentangnya.
Dengan perantara teropong itu sendiri, ia berupaya menjawab dan menjelaskan
tentang realitas benda-benda yang dilihatnya. Namun, apabila seseorang bertanya
kepadanya: Dari mana Anda yakin bahwa teropong ini memiliki ketepatan dalam
menampilkan warna, bentuk, dan ukuran benda-benda tersebut? Mungkin benda-
benda yang ditampakkan oleh teropong itu memiliki ukuran besar atau kecil?.
Keraguan-keraguan ini akan semakin kuat dengan adanya kemungkinan kesalahan
penampakan oleh teropong. Pertanyaan-pertanyaan ini berkaitan dengan
keabsahan dan kebenaran yang dihasilkan oleh teropong. Dengan ungkapan lain,
tidak ditanyakan tentang keberadaan realitas eksternal, akan tetapi, yang
dipersoalkan adalah keabsahan teropong itu sendiri sebagai alat yang digunakan
untuk melihat benda-benda yang jauh.
15
kepentingan-kepentingan yang berbeda mesti akan berhadapan dengan
pertanyaan-pertanyaan seperti:
1. Dari manakah saya berasal?
2. Bagaimana terjadinya proses penciptaan alam?
3. Apa hakikat manusia?
4. Tolok ukur kebaikan dan keburukan bagi manusia?
5. Apa faktor kesempurnaan jiwa manusia?
6. Mana pemerintahan yang benar dan adil?
7. Mengapa keadilan itu ialah baik?
8. Pada derajat berapa air mendidih?
9. Apakah bumi mengelilingi matahari atau sebaliknya?
10. dan pertanyaan-pertanyaan yang lain.
Tuntutan fitrah manusia dan rasa ingin tahunya yang mendalam niscaya mencari
jawaban dan solusi atas permasalahan-permasalahan tersebut dan hal-hal yang
akan dihadapinya. Pada dasarnya, manusia ingin menggapai suatu hakikat dan
berupaya mengetahui sesuatu yang tidak diketahuinya. Manusia sangat memahami
dan menyadari bahwa: Hakikat itu ada dan nyata dan Hakikat itu bisa dicapai,
diketahui, dan dipahami. Keraguan-keraguan tentang hakikat pikiran, persepsi-
persepsi pikiran, nilai dan keabsahan pikiran, kualitas pencerapan pikiran
terhadap obyek dan realitas eksternal, tolok ukur kebenaran hasil pikiran, dan
sejauh mana kemampuan akal-pikiran dan indera mencapai hakikat dan mencerap
obyek eksternal, masih merupakan persoalan-persoalan aktual dan kekinian bagi
manusia. Terkadang kita mempersoalkan ilmu dan makrifat tentang benda-benda
hakiki dan kenyataan eksternal, dan terkadang kita membahas tentang ilmu dan
makrifat yang diperoleh oleh akal-pikiran dan indera. Semua persoalan ini dibahas
dalam bidang ilmu epistemologi. Dengan demikian, definisi epistemologi adalah
suatu cabang dari filsafat yang mengkaji dan membahas tentang batasan, dasar dan
pondasi, alat, tolok ukur, keabsahan, validitas, dan kebenaran ilmu, makrifat, dan
pengetahuan manusia. Pokok Bahasan Epistemologi dengan memperhatikan
definisi epistemologi, bisa dikatakan bahwa tema dan pokok pengkajian
epistemologi ialah ilmu, makrifat, dan pengetahuan.
16
F. Cakupan Epistomologi
b. Apakah watak dari pengetahuan? Adakah dunia yang real di luar akal dan
kalau ada dapatkah kita mengatahui? Ini adalah problem penampilan
(appearance) terhadap realitas.
17
demikian, ilmu yang diartikan sebagai keumuman penyingkapan dan
penginderaan adalah bisa dijadikan sebagai subyek dalam epistemologi.
G. Sejarah epistomologis
1. perspektif klasik
2. perspektif modern
3. perspektif kontemporer
18
manusia untuk membedakan betul dan salah, benar dan bohong merupakan hal
yang aksiomatis. Oleh karena itu dalam pandangan klasik, persoalan pokok yang
dihadapi adalah permasalahan nilai epistem, yakni bagaimana mewujudkan kriteria
yang sah guna menguji dan menilai setiap proposisi dan memperoleh suatu neraca
yang mampu memisahkan antara yang benar dengan yang salah. Implikasi
pandangan semacam ini melazimkan kita untuk menerima bahwa pengetahuan
manusia atas realitas adalah perkara yang tak dapat diingkari. Paling tidak manusia
meyakini akan wujud diirinya, keberadaan fakultas kognisi dan mekanis dirinya,
kondisi psikis dan perasaan yang dimilikinya serta kemampuan inderawinya
merupakan sekian hal yang tak mungkin diragukan.
19
kajian epistemogis yang diajukan melazimkan adanya analisa bahasa atas setiap
terminus yang dipakai. kerena itu telaah epistemologi mereka diawali dengan
definisi dan analisa kata epistemik. Bersandar pada metode analitik, epistemologi
kontemporer berupaya untuk menafsirkan hakikat pengetahuan dengan cara
mengkaji setiap rukun dari definisi epistem yang dihasilkan. Umumnya mereka
membongkar secara analitis term epistemik ke dalam formula TBJ (True, Believe,
Justification). Di samping itu persoalan semacam skeptisme dan kemungkinan untuk
memperoleh pengetahuan yang telah terdefinisikan sebelumnya, merupakan
beberapa tema pokok lain dalam epistemologis kontemporer.
1. Rationalisme
Aliran ini berpendapat semua pengetahuan bersumber dari akal pikiran atau
ratio. Tokohnya antara lain: Rene Descrates (1596 – 1650), yang membedakan
9
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM (2000: 12)
20
adanya tiga idea, yaitu: innate ideas (idea bawaan), yaitu sejak manusia lahir,
adventitinous ideas, yaitu idea yang berasal dari luar manusia, dan faktitinous
ideas, yaitu idea yang dihasilkan oleh pikiran itu sendiri. Tokoh lain yaitu: Spinoza
(1632-1677), Leibniz (1666-1716).
2. Empirisme
3. Realisme
21
atau idea atau prinsip keteraturan dan materi tidak dapat dipisahkan. Kemudian
aliran ini terus berkembang menjadi aliran realisme baru dengan tokoh George
Edward Moore, Bertrand Russell, sebagai reaksi terhadap aliran idealisme,
subjektivisme dan absolutisme. Menurut realisme baru : eksistensi obyek tidak
tergantung pada diketahuinya obyek tersebut.
4. Kritisisme
5. Positivisme
6. Skeptisisme
22
medotis (sistematis) yang mensyaratkan adanya bukti sebelum suatu pengalaman
diakui benar. Tokoh skeptisisme adalah Rene Descrates (1596-1650).
7. Pragmatisme
1. Dari keilmiahannya
a. pengetahuan ilmiah, yang memiliki beberapa ciri pengenal sebagai berikut:
1) berlaku umum,
2) mempunyai kedudukan mandiri,
3) mempunyai dasar pembenaran,
4) sistematik, dan
5) intersubjektif.
b. pengetahuan nir ilmiah. dari jenis pengetahuan yang dibangun dapat
dibedakan menjadi:
1) Pengetahuan biasa (ordinary knowledge,common sense knowledge)
Pengetahuan ini bersifat subjektif, artinya amat terikat pd subjek yang
mengenal. Sehingga memiliki sifat selalu benar sejauh sarana untuk
memperolehnya bersifat normal, tidak ada penyimpangan.
2) Pengetahuan ilmiah
Pengetahuan yang telah menetapkan obyek yang khas atau spesifik
dengan menerapkan pendekatan metodologis yang khas. Kebenarannya
23
bersifat relatif, karena selalu mendapatkan revisi dan diperkaya oleh
hasil penemuan yang paling mutakhir. Dengan kata lain kebenarannya
selalu mengalami pembaharuan sesuai dengan hasil penelitian paling
akhir dan mendapatkan persetujuan (agreement) oleh para ilmuwan di
bidangnya.
3) Pengetahuan filsafati
Pengetahuan yang pendekatannya melalui metodologi pemikiran
filsafati. Sifat pengetahuannya mendasar dan menyeluruh dengan model
pemikiran yang analitis, kritis, dan spekulatif. Sifat kebenarannya adalah
absolut inter-subjektif. Maksud absolut inter-subjektif adalah nilai
kebenaran yang terkandung pada jenis pengetahuan filsafat selalu
merupakan pendapat yang melekat pada pandangan seorang filsuf serta
mendapat pembenaran dari filsuf kemudian yang menggunakan
metodologi pemikiran yang sama.
4) Pengetahuan agama
Pengetahuan yang didasarkan pada keyakinan dan ajaran agama
tertentu. Sifat dari pengetahuan ini adalah dogmatis, artinya pernyataan
dalam ayat-ayat kitab suci memiliki nilai kebenaran sesuai dengan
keyakinan yang digunakan untuk memahaminya. Kandungan kebenaran
maksud dari ayat dalam kitab suci bersifat absolut, meskipun dalam
implikasi pemaknaannya mungkin berkembang secara dinamik sesuai
dengan perkembangan waktu dan pemahaman orang yang
memaknakannya.
24
Dengan memperhatikan definisi dan pengertian epistemologi, maka menjadi
jelaslah bahwa metode ilmu ini adalah menggunakan akal dan rasio, karena untuk
menjelaskan pokok-pokok bahasannya memerlukan analisa akal. Yang dimaksud
metode akal di sini adalah meliputi seluruh analisa rasional dalam koridor ilmu-ilmu
hushûlî dan ilmu hudhûrî. Dan dari dimensi lain, untuk menguraikan sumber kajian
epistemologi dan perubahan yang terjadi di sepanjang sejarah juga menggunakan
metode analisa sejarah.
1. Hubungan Epistemologi dengan Ilmu Logika. Ilmu logika adalah suatu ilmu
yang mengajarkan tentang metode berpikir benar, yakni metode yang
digunakan oleh akal untuk menyelami dan memahami realitas eksternal
sebagaimana adanya dalam penggambaran dan pembenaran. Dengan
memperhatikan definisi ini, bisa dikatakan bahwa epistemologi jika dikaitkan
dengan ilmu logika dikategorikan sebagai pendahuluan dan mukadimah,
karena apabila kemampuan dan validitas akal belum dikaji dan ditegaskan,
maka mustahil kita membahas tentang metode akal untuk mengungkap suatu
hakikat dan bahkan metode-metode yang ditetapkan oleh ilmu logika masih
perlu dipertanyakan dan rekonstruksi, walhasil masih menjadi hal yang
diragukan.
3. Hubungan epistemologi dengan Teologi dan ilmu tafsir. Ilmu kalam (teologi)
ialah suatu ilmu yang menjabarkan proposisi-proposisi teks suci agama dan
penyusunan argumentasi demi mempertahankan peran dan posisi agama. Ilmu
tafsir adalah suatu ilmu yang berhubungan dengan metode penafsiran kitab
suci. Jadi, epistemologi berperan sentral sebagai alat penting bagi kedua ilmu
25
tersebut, khususnya pembahasan yang terkait dengan kontradiksi ilmu dan
agama, atau akal dan agama, atau pengkajian seputar pluralisme dan
hermeneutik, karena akar pembahasan ini terkait langsung dengan
pembahasan epistemologi.
2. Obyek tersebut diselidiki dengan menggunakan metode atau cara tertentu. Jadi
syarat yang kedua adalah metodis.
K. Obyek Epistomologi
26
tuntutan yang dapat menjadikan kita memilliki pengetahuan harus benar-benar
mapan, karena definisi tentang ”kepercayaan”, ”kebenaran” merupakan masalah
yang tetap dan terus ada, sehingga teori pengetahuan merupakan suatu bidang
utama dalam penyelidikan filsafat. Definisi ilmu pengetahuan, beberapa
pengertian/definisi mengenai ilmu pengetahuan:
1. Webster’s New Word Dictionary, yang artinya: ”Ilmu pengetahuan: semua yang
telah diamati atau dimengerti oleh jiwa (pikiran) belajar, dan sesuatu yang telah
jelas”.
Ilmu yang berkembang di dalam masyarakat dapat menjadi faktor luar yang
membantu perkembangan potensi pribadi manusia. Dengan pengertian (teoretis)
dan penguasaan (praktik) ilmu pengetahuan, sebagai prestasi manusia yang ideal
27
tercapai. Masuk dalam kategori ini adalah kemampuan kreatif, karya kebudayaan
dan ilmiah merupakan prestasi kepribadian. Pengetahuan dan manusia merupakan
satu integritas, pengetahuan adalah fungsi kepribadian manusia.
Makna aksiologi ilmu bisa diartikan sebagai teori nilai yang berkaitan dengan
kegunaan dari pengetahuan yang diperoleh. Seperti diketahui setiap pengetahuan,
termasuk pengetahuan ilmiah, mempunyai tiga dasar, yaitu ontologi, epistemologi,
dan aksiologi. Aksiologi ilmu ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakikat
nilai-nilai yang terkandung dalam ilmu, yang umumnya ditinjau dari sudut pandang
kefilsafatan.
Dasar aksiologis ilmu membahas tentang manfaat yang diperoleh manusia dari
pengetahuan yang didapatkanya. Tidak dapat dipungkiri bahwa ilmu telah
memberikan kemudahan-kemudahan bagi manusia dalam mengendalikan
kekuatan-kekuatan alam. Dangan mempelajari atom kita dapat memanfaatkan untuk
sumber energi bagi keselamatan manusa, tetapi hal ini juga dapat menimbulkan
malapetaka bagi manusia. Penciptaan bom atom akan meningkatkan kualitas
persenjataan dalam perang, sehingga jika senjata itu dipergunakan akan
mengancam keselamatan umat manusia.10
Pertanyaan mengenai hakikat nilai dapat dijawab dengan tiga macam cara:
orang dapat mengatakan bahwa:11
10
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM (2000: 91)
11
Kattsoff, (1996: 331)
28
1. Nilai sepenuhnya berhakikat subjektif
Ditinjau dari sudut pandangan ini, nilai-nilai merupakan reaksi-reaksi yang
diberikan oleh manusia sebagai pelaku dan keberadaannya tergantung pada
pengalaman-pengalaman mereka. Yang demikian ini dapat dinamakan
“subjektivitas”.
2. Nilai merupakan kenyataan ditinjau dari segi ontologi, namun tidak terdapat
dalam ruang dan waktu
Nilai-nilai tersebut merupakan esensi-esensi logis dan dapat diketahui melaui
akal. Pendirian ini dinamakan “obyektivitas logis”.
3. Nilai merupakan unsur-unsur obyektif yang menyusun kenyataan
Pendirian ini disebut “obyektivitas metafisik”.
Kegunaan ilmu secara moral harus ditujukan untk kebaikan manusia tanpa
merendahkan martabat atau mengubah hakikat kemanusiaan. Tiap ilmu terutama
dalam implementasinya selalu terkait dengan aksiologinya. Dalam hal ini akan
dijelaskan seberapa jauh ilmu mempunyai peranan dalam membatu mencapai
kehidupan manusia yang sejahtera di dunia ini atau apakah manfaat ilmu bagi
kehidupan manusia di dunia ini. Manusia belajar dari pengalamannya dan
berasumsi bahwa alam mengikuti hukum-hukum dan aturan-aturannya. Ilmu
merupakan hasil kebudayaan manusia, dimana lebih mengutamakan kuantitas yang
obyektif dan mengesampingkan kualitas subjektif yang berhubungan dengan
12
Ibid (1996: 332)
29
keinginan pribadi sehingga dengan ilmu, manusia tidak akan mementingkan
dirinya sendiri.
Ada pertentangan sengit yang dilontarkan oleh kaum ilmuwan dan humanis.
Kalangan humanis mengajukan beberapa pertanyaan yang penting, antara lain:
untuk apa ilmu digunakan? Dimanakah batas ilmu harusnya berkembang? Namun
pertanyaan itu tidak urgen lagi bagi beberapa ilmuwan dan tidak merupakan
30
tanggung jawab bagi perkembangan ilmu pengetahuan itu sendiri. Hal ini tentunya
tidak berarti bahwa perkembangan ilmu berhenti cukup di situ saja, namun ruang
gerak prospek ilmu pengetahuan hendaknya dibatasi.
31
manusia. Oleh karena itu, maka tinjauan kita tentang manusia akan sangat
membantu memahami dan menyusun pengertian tentang bagaimana sebaiknya
ilmu pengetahuan dan teknologi diteruskan pengembangannya dalam tataran
aksiologis.
Jadi pada dasarnya apa yang menjadi kajian dalam bidang aksiologi ini adalah
berusaha menjawab pertanyaan-pertanyaan; untuk apa pengetahuan yang berupa
ilmu itu di pergunakan? Bagaimana kaitan antara cara penggunaan tersebut dengan
kaidah-kaidah moral? Bagaimana penentuan obyek yang ditelaah berdasarkan
pilihan-pilihan moral? Bagaimana kaitan antara teknik prosedural yang merupakan
operasionalisasi metode ilmiah dengan norma-norma moral/professional?13
Oleh karena itu, pada tingkat aksiologis, pemahaman tentang nilai-nilai adalah
hal yang mutlak. Nilai menyangkut etika, moral, dan tanggung jawab manusia itu
sendiri. Oleh karena dalam penerapannya ilmu pengetahuan juga mempunyai efek
negatif dan desktruktif, maka diperlukan aturan nilai dan norma untuk
mengendalikan potensi nafsu angkara murka manusia ketika hendak bergelut
dengan ilmu pengetahuan. Di sininlah etika menjadi ketentuan mutlak yang akan
menjadi penyemangat yang baik bagi pengetahuan untuk meningkatkan derajat
hidup serta kesejahteraan dan kebahagiaan manusia. Etika adalah pembahasan
mengenai baik, buruk, semestinya, benar atau salah. Hal ini bertalian dengan hati
nurani, bernaung di bawah filsafat moral. Etika merupakan tatanan konsep yang
melahirkan kewajiban, dengan asumsi bahwa kalau sesuatu tidak dijalankan akan
mendatangkan bencana atau keburukan bagi manusia.
13
Jujun S. Suriasumantri (1996: 34-35)
32
Penutup .....
Ontologi membahas tentang apa yang diketahui oleh manusia. Karena tak
mungkin yang tiada memberikan efek pada pikiran manusia, maka pasti yang
tercermin dalam pikiran manusia adalah suatu realitas. Realitas (kenyataan) adalah
segala sesuatu yang ada. Untuk memudahkan pemahaman manusia, kenyataan
diidentifikasi menjadi dua hal yaitu kenyataan yang bisa diukur oleh manusia dan
yang tidak bisa diukur oleh manusia. Yang bisa diukur secara kuantitatif oleh
manusia disebut sebagai kenyataan materi, sedangkan kenyataan yang tidak bisa
diukur secara kuantitatif manusia disebut sebagai kenyataan nonmateri. Dengan
kata lain materi adalah kenyataan yang bisa diindera dan nonmateri adalah
sebaliknya.
Contoh dari realitas materi adalah kursi, mobil, pesawat, darah, atom dan lain
sebagainya. Realitas non-materi mempunyai ciri kebalikan dari materi. Contoh dari
realitas nonmateri adalah akal, jiwa, pikiran dll.
Dengan mengetahui hakikat dari apa yang kita bahas maka kita dapat
menghukumi bahasan kita dengan hakikat yang kita ketahui. Jika kita membahas
tentang kursi misalnya, maka kita dapat menghukumi kursi dengan hakikat-hakikat
kursi itu, misalnya bahwa kursi mempunyai berat, luas, dapat dibagi dan lain
sebagainya.
33
Epistemologi membahas tentang bagaimana seorang manusia mendapatkan
pengetahuan. Pentingnya pembahasan ini berkaitan dengan apakah suatu ilmu
apakah ia diperoleh dengan cara yang bisa didapatkan orang lain atau tidak. Jika
tidak dapat diketahui orang lain maka pengetahuannya tidak dapat dipelajari oleh
orang lain.
Pengetahuan secara ilmiah didapat melalui dua hal yaitu secara rasional dan
secara empiris. Pengetahuan secara rasional berkaitan dengan cara mendapatkan
pengetahuan berdasarkan kaidah-kaidah berpikir. Adapun pengetahuan secara
empiris berkaitan dengan apakah suatu pengetahuan sesuai dengan kenyataan
empirik. Semua manusia dapat melakukan kedua hal tersebut karena semua
manusia memiliki potensi akal sekaligus potensi inderawi. Potensi akal manusia
mutlak sama, sedangkan potensi inderawi manusia tidak mutlak sama tetapi
mempunyai kemiripan yang erat.
Pengetahuan yang didapatkan secara tidak ilmiah bisa terjadi dengan berbagai
cara seperti melalui wahyu, intuisi, perasaan dan informasi dari orang yang
dipercaya. Pengetahuan yang didapatkan dengan cara ini tidak dapat dipelajari
oleh semua orang. Ia membutuhkan kebenaran ilmiah untuk meyakinkan orang-
orang yang tidak mengalami hal yang sama dengan orang yang mempercayainya.
Tujuan dari pengetahuan adalah untuk mendapatkan kebenaran. Maka nilai dari
pengetahuan atau ilmu adalah untuk mendapatkan kebenaran. Hal ini terlepas dari
34
kebenaran yang didapatkan untuk tujuan apa. Apakah untuk memperbaiki atau
untuk merusak diri.
Dalam penilaian sebuah kebenaran ada dua pandangan yang berbeda. Pertama
adalah pandangan bahwa kebenaran bersifat mutlak. Pandangan ini disebut
sebagai absolutisme. Pandangan kedua menyatakan bahwa kebenaran bersifat
relatif (Relativisme).
Pengertian relatif adalah jika sesuatu memiliki nilai yang berubah-ubah jika
dibandingkan dengan sesuatu yang berbeda-beda. Misalnya 5 meter akan relatif
panjang jika dibandingkan dengan 1 meter dan juga relatif pendek jika
dibandingkan dengan 10 meter. Ketika manusia berpikir, maka pembanding dari
pikiran tidak berubah-ubah yaitu kenyataan itu sendiri. Sehingga suatu
pengetahuan hanya akan dihukumi dengan nilai benar atau salah. Jika suatu
pengetahuan sesuai dengan realitasnya maka pengetahuan tersebut benar, begitu
juga sebaliknya. Pembandingan kebenaran suatu pengetahuan dengan
pengetahuan lain yang berbeda-beda akan bernilai relatif.
35
Referensi .....
Jujun S. Suriasumantri. (2003). Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer. Jakarta:
Pustaka Sinar Harapan.
Kattsoff, Louis O. (1996). Pengantar Filsafat, Alih Bahasa oleh Soedjono Soemargono.
Yogyakarta: Tiara Wacana.
Mohammad Noor Syam. (1984). Filsafat Pendidikan dan Dasar Filsafat Pendidikan.
Surabaya: Pancasila Usaha Nasional.
Rizal Mustansyir dan Misnal Munir. (2001). Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Offset.
S. Burhanudin. (1997). Logika Materiil Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: PT. Rineka
Cipta.
The Liang Gie. (2000). Pengantar Filsafat Ilmu. Yogyakarta: Penerbit Liberty.
Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM. (2000) . Filsafat Ilmu. Yogyakarta:
Penerbit Liberty Yogyakarta bekerjasama dengan YP Fakultas filsafat.
36