Professional Documents
Culture Documents
Sektor informal memiliki peran yang besar di negara-negara sedang berkembang (NSB)
termasuk Indonesia. Sektor informal adalah sektor yang tidak terorganisasi (unorganized), tidak
teratur (unregulated), dan kebanyakan legal tetapi tidak terdaftar (unregistered). Di NSB, sekitar
30-70 % populasi tenaga kerja di perkotaan bekerja di sector informal. Demikian yang
disampaikan oleh Tri Widodo, SE. Mec.Dev saat Diskusi yang digelar Pusat Studi Ekonomi dan
Kebijakan Publik (PSEKP) dengan topik “Sektor Informal Yogyakarta” pada hari Selasa 7 Maret
2005.
“Sektor informal memiliki karakteristik seperti jumlah unit usaha yang banyak dalam skala
kecil; kepemilikan oleh individu atau keluarga, teknologi yang sederhana dan padat tenaga kerja,
tingkat pendidikan dan ketrampilan yang rendah, akses ke lembaga keuangan daerah,
produktivitas tenaga kerja yang rendah dan tingkat upah yang juga relatif lebih rendah
Diskusi yang bertempat di Gedung PAU UGM tersebut, pak Tri mengatakan bahwa
kebanyakan pekerja di sektor informal perkotaan merupakan migran dari desa atau daerah lain.
Motivasi pekerja adalah memperoleh pendapatan yang cukup untuk sekedar mempertahankan
hidup (survival). Mereka haru tinggal di pemukiman kumuh , dimana pelayanan publik seperti
listrik, air bersih, transportasi, kesehatan, dan pendidikan yang sangat minim.
Menurut peneliti PSEKP UGM ini, dalam kaitannya dengan sektor lain, sektor informal
terkait dengan sektor pedesaan. Sektor informal memberikan kemungkinan kepada tenaga kerja
yang berlebih di pedesaan untuk migrasi dari kemiskinan dan pengangguran. Sektor informal
sangat berkaitan dengan sektor formal di perkotaan. Sektor formal tergantung pada sektor
informal terutama dalam hal input murah dan penyediaan barang-barang bagi pekerja di sektor
formal. Sebaliknya, sektor informal tergantung dari pertumbuhan di sektor formal. Sektor
informal kadang-kadang justru mensubsidi sektor formal dengan menyediakan barang-barang dan
formal sehingga cukup dengan modal sedikit dapat memeprkerjakan orang. Dengan menyediakan
akses pelatihan dan ketrampilan, sektor informal dapat memiliki peran yang yang besar dalam
pengembangan sumber daya manusia. Sektor informal memunculkan permintaan untuk tenaga
kerja semiterampil dan tidak terampil. Sektor informal biasanya menggunakan teknologi tepat
guna dan menggunakan sumber daya local sehingga akan menciptakan efisiensi alokasi sumber
daya. Sektor informal juga sering terkait dengan pengolahan limbah atau sampah. Sektor informal
dapat memperbaiki distribusi hasil-hasil pembangunan kepada penduduk miskin yang biasanya
Lebih lanjut dalam makalah berjudul ““Peran Sektor Informal Terhadap Perekonomian
Daerah: Teori dan Aplikasi” pak Tri mengungkapkan, di Indonesia, sektor informal bukan
merupakan fokus utama kebijakan atau perhatian pemerintah. Pemerintah bahkan tidak memiliki
definisi umum mengenai perusahaan mengenai perusahaan sektor informal. Beberapa instansi
pemerintah, seperti Badan Pusat Statistik, Bank Indonesia, Departemen Industri dan
Perdagangan, hanya memberikan definisi tentang skala usaha yang secara garis besar dibagi tiga
“Demikian pula halnya dengan penanganan secara statistik terhadap sektor informasi.
Kegiatan pencatatan terhadap kegiatan yang dilakukan oleh sektor informal yang menyeluruh dan
berkelanjutan, seperti halnya dengan kegiatan pencatatan pada sektor formal, juga belum banyak
dilakukan dan mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. BPS mendefinisikan
perusahaan sektor informal sebagai perusahaan tidak berbadan hukum. Disamping itu kegiatan
pembinaan sektor informal juga tidak memiliki kejelasan, sehingga menyebabkan instansi
pemeritah satu dengan yang lainnya tidak memiliki tanggung jawab yang terpadu untuk
mempromosikan atau mengatur sektor informal”, terang pak Tri (Humas UGM).
http://www.ugm.ac.id/index.php?page=rilis&artikel=322
Menurut pendapat Damsar (1997: 158-159), ciri-ciri dinamis dari konsep sektor informal yang diajukan Hart
menjadi hilang ketika telah dilembagakan dalam birokrasi ILO. Informalitas didefinisikan ulang sebagai sesuatu
yang sinonim dengan kemiskinan. Sektor informal menunjukkan kepada cara perkotaan melakukan sesuatu
dengan dicirikan dengan : a) Mudah memasukinya dalam arti keahlian, modal, dan organisasi; b) Perusahaan
milik keluarga; c) Beroperasi pada skala kecil; d) Intentif tenaga kerja dalam produksi dan menggunakan
teknologi sederhana; dan e) Pasar yang tidak diatur dan berkompetitif.
Karakteristik negatif yang dilekatkan pada sektor informal oleh ILO, banyak mendapatkan kritikan tajam dari
berbagai ilmuwan yang berkecimpung dalam bidang Sosiologi, khususnya Sosiologi Ekonomi. Mereka
menganggap bahwa aktivitas sektor informal merupakan suatu tanda berkembangnya dinamika kewiraswastaan
masyarakat. Menurut Hernando de Soto dalam The Other Parh (Damsar, 1997: 159-160) informalitas merupakan
respon masyarakat terhadap negara merkantalis yang kaku. Oleh karena itu, tidak seperti gambaran ILO yang
melihatnya sebagai mekanisme kelangsungan hidup dalam merespon ketidakcukupan lapangan pekerjaan
modern, melainkan sebagai serbuan kekuatan pasar nyata dalam suatu ekonomi yang dikekang oleh regulasi
(pengaturan) negara.
Dalam Ensiklopedia Ekonomi, Bisnis dan Manajemen (1997: 292-293) dijelaskan bahwa belum ada kebulatan
pendapat tentang batasan yang tepat untuk sektor informal di Indonesia. Tetapi ada kesepakatan tidak resmi
antara para ilmuwan yang terlihat dalam penelitian masalah-masalah sosial untuk menerima definisi kerja sektor
informal di Indonesia sebagai berikut : a) Sektor yang tidak menerima bantuan atau proteksi ekonomi dari
pemerintah; b) Sektor yang belum dapat menggunakan (karena tidak punya akses) bantuan, meskipun
pemerintah telah menyediakannya; c) Sektor yang telah menerima bantuan pemerintah tetapi bantuan tersebut
belum sanggup membuat sektor itu mandiri.
Berdasarkan definisi kerja tersebut, disepakati pula serangkaian ciri sektor informal di Indonesia, yang meliputi :
a) Kegiatan usaha tidak terorganisasi secara baik, karena unit usaha timbul tanpa menggunakan fasilitas atau
kelembagaan yang tersedian secara formal; b) Pada umumnya unit usaha tidak memiliki izin usaha; c) Pola
kegiatan usaha tidak teratur dengan baik, dalam arti lokasi maupun jam kerja; d) Pada umumnya kebijakan
pemerintah untuk membantu golongan ekonomi lemah tidak sampai ke sektor ini; e) Unit usaha berganti-ganti
dari satu sub-sektor ke sub-sektor lain; f) Teknologi yang digunakan masih tradisional; g) Modal dan perputaran
usaha relatif kecil, sehingga skala operasinya juga kecil; h) Untuk menjalankan usaha tidak diperlukan
pendidikan formal, sebagian besar hanya diperoleh dari pengalaman sambil bekerja; i) Pada umumnya unit
usaha termasuk kelompok one man enterprise, dan kalau ada pekerja, biasanya berasal dari keluarga sendiri; j)
Sumber dana modal usaha pada umumnya berasal dari tabungan sendiri, atau dari lembaga keuangan tidak
resmi; dan k) Hasil produksi atau jasa terutama dikonsumsi oleh golongan masyarakat kota/desa berpenghasilan
rendah atau menengah.
Menurut pendapat Bromley (1991), dalam Mulyanto (2007), pedagang kaki lima (PKL) merupakan kelompok
tenaga kerja yang banyak di sektor informal. Pandangan Bromley, pekerjaan pedagang kaki lima merupakan
jawaban terakhir yang berhadapan dengan proses urbanisasi yang berangkai dengan migrasi desa ke kota yang
besar, pertumbuhan penduduk yang pesat, pertumbuhan kesempatan kerja yang lambat di sektor industri, dan
penyerapan teknologi yang padat moral, serta keberadaan tenaga kerja yang berlebihan.
Menurut Mulyanto (2007), PKL adalah termasuk usaha kecil yang berorientasi pada laba (profit) layaknya
sebuah kewirausahaan (entrepreneurship). PKL mempunyai cara tersendiri dalam mengelola usahanya agar
mendapatkan keuntungan. PKL menjadi manajer tunggal yang menangani usahanya mulai dari perencanaan
usaha, menggerakkan usaha sekaligus mengontrol atau mengendalikan usahanya, padahal fungsi-fungsi
manajemen tersebut jarang atau tidak pernah mereka dapatkan dari pendidikan formal. Manajemen usahanya
berdasarkan pada pengalaman dan alur pikir mereka yang otomatis terbentuk sendiri berdasarkan arahan ilmu
manajemen pengelolaan usaha, hal inilah yang disebut “learning by experience” (belajar dari pengalaman).
Kemampuan manajerial memang sangat diperlukan PKL guna meningkatkan kinerja usaha mereka, selain itu
motivasi juga sangat diperlukan guna memacu keinginan para PKL untuk mengembangkan usahanya.