You are on page 1of 4

BANDING

Upaya Hukum terdiri dari dari upaya hukum biasa dan upaya hukum luar biasa. Upaya hukum
luar biasa adalah upaya hukum yang digunakan untuk putusan yang sudah berkekuatan hukum
tetap dan pada asasnya upaya hukum ini tidak menangguhkan eksekusi. Upaya hukum luar
biasa ini mencakup :

1. Peninjauan kembali/ PK dan

2. Perlawanan pihak ketiga terhadap sita eksekutorial

Upaya hukum biasa adalah upaya hukum yang digunakan untuk putusan yang belum
berkekuatan hukum tetap dan masih ada tenggang waktu untuk melakukann upaya hukum
atau untuk mempergunakan upaya tersebut. Upaya hukum biasa ini mencakup:

1. Perlawanan/verzet

2. Banding

3. Kasasi

Upaya hukum banding merupakan upaya hukum biasa yang dilakukan terhadap putusan yang
belum berkekuatan hukum tetap yang dilakukan apabila salah satu pihak dalam suatu perkara
perdata tidak menerima suatu putusan Pengadilan Negeri karena merasa hak-haknya terserang
oleh adanya putusan itu atau menganggap putusan itu kurang benar atau kurang adil. Pada
asasnya banding menangguhkan eksekusi dengan pengecualian apabila putusan tersebut
dijatuhkan dengan ketentuan dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar bij voorraad ex.
Pasal 180 ayat (1) H.I.R), maka meskipun diajukan upaya hukum biasa, namun eksekusi akan
berjalan terus.1

Dengan diajukannya permohonan banding, perkara menjadi mentah lagi. 2Berkas


perkara yang bersangkutan, beserta salinan resmi putusan tersebut serta surat-surat yang lain-

1
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek (Bandung:
Mandar Maju, 2005), hlm.142.
2
Ibid.,Hlm.147.
lainnya akan dikirimkan kepada Pengadilan Tinggi untuk diperiksa dan diputus lagi. Yang akan
diperiksa adalah semua surat-suratnya, dengan lain perkataan berkasnya. Jadi pemeriksaan
dilakukan dari mulai pengajuan gugat sampai putusan dijatuhkan, dengan lain perkataan semua
surat-surat bukti, putusan Pengadilan Negeri dibaca dan diteliti lagi. Semua segi pemeriksaan
diulang , baik yang mengenai duduknya perkara (fakta), maupun yang mengenai penerapan
hukumnya oleh seorang Hakim Tinggi sebagai Hakim Tunggal atau oleh suatu majelis hakim
yang terdiri dari tiga orang Hakim Tinggi. Jarang sekali terjadi, bahwa orang yang
bersangkutan , yaitu penggugat dan tergugat diperiksa lagi oleh Pengadilan Tinggi. 3 Hal itu
hanya dilakukan apabila Pengadilan Tinggi menganggap bahwa pemeriksaan belum sempurna
dilakukan dan menjatuhkan putusan sela dengan maksud untuk memperlengkapi pemeriksaan
tersebut sendiri. Putusan Pengadilan Negeri tidak dapat dilaksanakan apabila telah diajukan
upaya hukum banding terhadap putusan tersebut.

Tenggang waktu mengajukan banding adalah 14 hari sesudah putusan diberitahukan


kepada pihak yang bersangkutan (Pasal 7 Undang-Undang No.20 Tahun 1947, 199 Rbg).
Pemeriksaan banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi yang berkuasa dalam daerah hukumnya
masing-masing. Permohonan untuk pemeriksaan banding harus disampaikan dengan surat atau
lisan kepada Panitera Pengadilan Negeri yang menjatuhkan putusan tersebut (Pasal 7 Undang-
Undang No.20 Tahun 1947). Setelah satu pihak menyatakan naik banding dan dicatat oleh
panitera , maka pihak lawan diberitahu panitera tentang permintaan banding itu selambat-
lambatnya 14 hari setelah permintaan banding diterima dan kedua belah pihak diberi
kesempatan untuk melihat surat-surat serta berkasnya di Pengadilan Negeri selama 14
hari( ps.11 ayat 1 UU 20/1947,202,Rbg). Kedua belah pihak boleh memasukkan surat
keterangan dan bukti-bukti baru, sebagai uraian daripada alasan permohonan banding
(memori banding) kepada panitera Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi yang
bersangkutan, sedang terbanding dapat menjawab memori itu dengan kontra memori
banding.4Pembuatan atau pengiriman memori banding tidak merupakan kewajiban. Undang-
Undang tidak mewajibkan pembanding untuk mengajukan risalah banding. 5

3
Ibid.,Hlm.147.
4
Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2002), hlm.227.
5
M.A. 6 Agustus 1973 Reg. no, 663 K/Sip/1971, Santoso, Yurisprudensi Indonesia, hal.58.
Yang dapat mengajukan permohonan banding adalah pihak yang berkepentingan (Pasal
6 Undang-Undang No. 20 Tahun 1947) hal ini berarti bahwa pihak yang dikalahkan yaitu yang
gugatnya ditolak atau dikabulkan sebagian atau yang gugatnya dinyatakan tidak dapat diterima
saja , yang dapat mengajukan permohonan banding.6

Pada asasnya semua putusan akhir pengadilan tingkat pertama dapat dimintakan
pemeriksaan ulang oleh pihak-pihak yang bersangkutan, kecuali apabila undang-undang
menentukan lain (ps.19 UU 14/1970, 9 uu 20/1947). Putusan sela tidak dapat dimintakan
banding, kecuali apabila dimintakan banding bersama-sama dengan putusan akhir. Putusan
tentang tidak wenangnya hakim merupakan putusan akhir.Mengingat bahwa dalam
pemeriksaan banding itu pemeriksaan perkara diulangi, maka pada asasnya perubahan dan
penambahan tuntutan diperbolehkan.7 Pasal 9 UU 20/1947 menentukan bahwa yang dapat
dimohonkan banding hanyalah putusan akhir saja. Putusan yang bukan putusan akhir hanya
dapat dimohonkan banding bersama-sama dengan putusan akhir. Dengan demikian maka
penetapan tidak dapat dimohonkan banding. 8 Penetapan tidak berisi penyelesaian sengketa.
Apa yang terdapat dalam penentapan bersifat declaratoir. Jadi hampir terhadap kesemua
putusan Pengadilan Negeri dapat diajukan permohonan banding yang mana putusan ini tidak
mencakup penetapan yaitu putusan declaratoir yang diberikan Hakim Pengadilan Negeri atas
suatu surat permohonan , seperti penetapan wali, penetapan akhliwaris. Terhadap penetapan
semacam itu tidak dapat diajukan permohonan banding, melainkan yang bersangkutan harus
langsung mengajukan permohonan kasasi.9

Pengadilan Tinggi memeriksa perkara banding dengan majelis yang terdiri dari 3 orang
hakim, dan kalau perlu dengan mendengar sendiri para pihak (ps. 15 UU 20/1947). Pasal II ayat
1 UUDar. 11/1955 memberi pengecualian dalam hal ini dengan menentukan, bahwa
pemeriksaan perkara perdata dalam tingkat banding dilakukan oleh Pengadilan Tinggi dengan 3
orang hakim, kecuali apabila Ketua Pengadilan Tinggi menentukan bahwa segolongan perkara-
6
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek (Bandung:
Mandar Maju, 2005), hlm.150.
7
Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2002), hlm.228.
8
Ibid.,hlm.228.
9
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek (Bandung:
Mandar Maju, 2005), hlm.145.
perkara atau suatu perkara tertentu akan diputus oleh seorang hakim yang ditunjuk olehnya. Di
dalam praktek kesempatan ini sering dimanfaatkan.

Dalam tingkat banding hakim tidak boleh mengabulkan lebih, daripada yang dituntut
atau memutuskan hal-hal yang tidak dituntut . Ini berarti bahwa hakim dalam tingkat banding
harus membiarkan putusan dalam tingkat peradilan pertama sepanjang tidak dibantah dalam
tingkat banding (tantum devolutum quantum apellatum). Hal ini dapat dilihat dalam
yurisprudensi Mahkamah Agung dalam putusannya tanggal 21 Februari 1970 berpendapat
bahwa amar putusan Pengadilan Tinggi yang membatalkan putusan Pengadilan Negeri hanya
memutus bahwa “penggugat berwenang atas tanah sengketa”, jadi hanya sebagian saja dari
tuntutan, pada hal tuntutan penggugat lebih banyak lagi, oleh karena itu putusan Pengadilan
Tinggi harus dibatalkan.10

Pencabutan permohonan banding dapat dilakukan setiap waktu, sebelum perkara


diputus oleh Pengadilan Tinggi.11 Permohonan banding ini dapat dicabut tanpa terlebih dahulu
diminta persetujuan dari pihak lawan yang mana berakibat pihak lawan tersebut dapat
dirugikan, terutama apabila ia telah tidak pula mengajukan permohonan banding. 12

10
Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2002), hlm.237.
11
Retnowulan Sutantio dan Iskandar Oeripkartawinata. Hukum Acara Perdata dalam Teori dan Praktek (Bandung:
Mandar Maju, 2005), hlm.162.
12
Ibid.,hlm.162.

You might also like