You are on page 1of 33

I.

PENDAHULUAN

1. Latar Belakang

Mutu pelayanan kesehatan merupakan topik sentral dalam pengelolaan rumah

sakit dewasa ini (Brook, et.al. 2000; Panella, et al., 2003; Maxwell, 1984; Basinski, et

al, 2003; Lee, et al., 2002; Marguerez, et al., 2001; Marcus, et al., 1999; Nabitz, et al.,

2000; Hilscher, et al., 2003). Hal ini seiring dengan tingkat kebutuhan, tingkat kritis

dan tuntutan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan yang bermutu.

Pelayanan yang bermutu adalah pelayanan yang profesional dan hal ini merupakan

hak setiap pasien. Memberikan pelayanan yang bermutu berarti memberikan yang

terbaik bagi pasien/pelanggan yang melibatkan berbagai pihak yang terkait.

Mutu pelayanan rumah sakit dapat diukur dari berbagai aspek, baik yang

berpengaruh secara langsung maupun tidak langsung terhadap pelayanan yang

diberikan. Dimensi mutu pelayanan kesehatan mencakup safety, effectiveness, patient-

centered, timeliness, efficiency and economy, equitable (fairness), access to service,

relevance to need for the whole community, effectiveness for individual patients, dan

social acceptability (Maxwell, 1984; Institute of Medicine, 2001) .

Masalah patient safety menjadi sebuah tema besar dalam praktik pelayanan

kesehatan 10 tahun terakhir. Persoalan ini muncul terutama karena fakta rumah sakit

atau tempat pelayanan kesehatan adalah tempat yang relatif penuh risiko. Hal ini

semakin dipicu oleh berbagai penelitian yang menunjukkan bahwa sejumlah besar orang

telah meninggal akibat medical error yang terjadi di rumah sakit.

1
Fakta tersebut antara lain ditunjukkan melalui studi mengenai adverse event

yang dilaksanakan oleh Harvard Medical Practice yang dilaporkan oleh Institute of

Medicine (IOM) ditemukan bahwa jumlah kejadian yang dapat dicegah adalah sebesar

58%, dengan proporsi kejadian yang berhubungan dengan kelalaian sebesar 27,6%.

Studi Harvard ini didukung pula oleh studi di Colarado dan Utah pada tahun 1992, yang

menemukan bahwa setidaknya 44.000 orang meninggal di rumah sakit akibat medical

error yang sebenarnya dapat dicegah (Kohn et al., 1999).

Medical error juga menimbulkan biaya, baik biaya langsung maupun biaya tidak

langsung meliputi biaya kehilangan produktivitas, biaya kecacatan dan biaya pribadi

selama perawatan. Berdasarkan analisis terhadap 14.732 rekam medik dalam laporan

Institute of Medicine (1999) di rumah sakit Colorado dan Utah diperkirakan total biaya

pendapatan yang hilang, produksi rumah tangga yang hilang, kecacatan dan biaya

pelayanan kesehatan) hampir mencapai $ 662 juta dengan biaya pelayanan kesehatan

sebesar $ 348 juta.

Berbagai fakta di atas, menyadarkan pentingnya peningkatan mutu pelayanan di

rumah sakit. Untuk melakukan perbaikan mutu pelayanan kesehatan perlu diperhatikan

empat tingkat perubahan (Berwick, 2002) yaitu : 1) pengalaman pasien dan masyarakat,

2) sistem mikro pelayanan, 3) sistem organisasi pelayanan kesehatan, 4) lingkungan

pelayanan kesehatan.

Sistem mikro merupakan unit kerja terdepan dalam organisasi yang memberikan

pelayanan langsung yang dirasakan dan dialami oleh pasien dan masyarakat. Sistem

mikro pelayanan dapat bekerja secara optimal jika didukung oleh sistem manajemen

dalam organisasi yang mendukung berjalannya proses pada sistem mikro agar dapat

2
memenuhi kebutuhan, harapan dan nilai pelanggan, sistem tersebut dikenal dengan

sistem manajemen mutu (Koentjoro, 2007)

Pada skala nasional, berbagai inisiatif dalam kerangka sistem manajemen mutu

telah banyak dikembangkan, dimulai dari Gugus Kendali Mutu (GKM) yang dimulai

sejak tahun 1986, kemudian dilanjutkan dengan Total Quality Management (TQM)

1994 dan performance management (1996). Selanjutnya tahun 1995 program akreditasi

rumah sakit yang diawali dengan 5 jenis pelayanan mulai dilaksanakan pada rumah

sakit di Indonesia, diperluas lagi tahun 1997 menjadi 12 pelayanan dan tahun 2000

dengan dikembangkan instrumen untuk 16 bidang pelayanan. Akreditasi merupakan

salah satu peraturan pemerintah yang diperlukan rumah sakit agar dapat memperbaiki

mutu pelayanannya. Selain akreditasi rumah sakit, terdapat rumah sakit yang

mengadaptasi model SMM dengan mengembangkan berbagai model yang telah ada

seperti sertifikasi ISO 9001:2008, European Foundation for Quality Management

(EFQM), Joint Commission on Accreditation of Health Care Organization (JCAHO),

Malcolm Baldridge Quality Award (MBNQA) dan lain-lain.

Mutu pelayanan yang baik tidak cukup hanya dicapai, tetapi juga dipelihara dan

dipertahankan (Quality Assurance/QA) mengingat adanya pergeseran kebutuhan,

harapan dan keinginan pelanggan dan berbagai pihak yang berkepentingan. Karena itu,

mutu pelayanan kesehatan khususnya pelayanan kesehatan di rumah sakit, seharusnya

merupakan suatu kegiatan yang berkelanjutan untuk memantau mutu layanan yang

diberikan, dalam bentuk kewajaran perawatan yang diberikan terhadap pasien disertai

upaya untuk senantiasa meningkatkan pola perawatan dan mencari pemecahan atas

masalah-masalah pelayanan atau perawatan yang terjadi.

3
Esensi QA tersebut menjadikannya sebagai bagian yang inheren dengan

profesionalisme pelayanan kesehatan (Basinski, et al., 2003). QA juga sekaligus

merupakan strategi yang dapat digunakan rumah sakit untuk tetap eksis bahkan unggul

dalam ketatnya persaingan industri pelayanan kesehatan saat ini. Pertumbuhan jumlah

rumah sakit dan pergeseran stuktur sosiodemografis menyebabkan tuntutan pasien

terhadap pelayanan kesehatan menjadi semakin tinggi (Lee, et al., 2002; Marguerez, et

al., 2001; Nabitz, et al., 2000; Bovaird and Loffler, 2003). Itulah sebabnya rumah sakit

menjadi terpicu untuk mengadopsi sistem manajemen mutu (SMM) sebagaimana yang

dikembangkan dalam industri bisnis lainnya (Wardhani, et al., 2009). Basinski, et al.

(1992) sebelumnya telah menegaskan bahwa model pengembangan mutu pelayanan

kesehatan kontemporer berakar dari model pengembangan mutu industri yang

dikembangkan Deming and Crosby (1979).

Implikasi dari hal ini mencerminkan bahwa sistem manajemen mutu di rumah

sakit tidak cukup hanya dengan menjalankan penjaminan mutu semata. Dibutuhkan

upaya peningkatan mutu secara berkesinambungan (CQI) agar rumah sakit dapat

memperoleh keunggulan bersaing dalam lingkungan yang dinamis (Marguerez, et al.,

2001), karena mutu berkaitan dengan tingkatan pelayanan kesehatan yang dapat

meningkatkan derajat kesehatan individu dan masyarakat secara konsisten berdasarkan

pengetahuan mutakhir (Institute of Medicine, 1999).

Meskipun telah diterapkan secara luas, namun tingkat keberlanjutan dan

keberhasilan yang diperoleh dari CQI masih bervariasi (Lee, et al., 2002; Wardhani,

2009, Francois, et al., 2003). Sebagian rumah sakit telah berhasil meningkatkan

mutunya namun tidak sedikit yang gagal (Wardhani, et al., 2009). Hal ini konsisten

dengan penjelasan Lee, et.al. (2002) bahwa 98% rumah sakit di Amerika telah berhasil

4
dalam mengadopsi manajemen mutu terpadu (TQM) dan CQI, namun rumah sakit di

Korea lebih lambat.

Menurut Wardhani, et al. (2009) kegagalan tersebut bukan disebabkan prinsip

sistem manajemen mutu (SMM), namun disebabkan kegagalan strategi dan langkah-

langkah implementasi SMM yang inefektif. Oleh sebab itu, faktor yang mendasari

keberhasilan dan kegagalan implementasi SMM sangat penting untuk diidentifikasi dan

dianalisis.

Berbagai upaya mutu yang dilakukan rumah sakit ternyata belum mampu

memberikan peningkatan kinerja rumah sakit terutama dalam peningkatan kinerja

klinik. Penelitian Yudani (2002) di RSU Banyumas menunjukkan bahwa rumah sakit

tersebut mendapatkan akreditasi 12 pelayanan tetapi indikator mutu pelayanan klinik

sebagian besar mengalami penurunan pada pasca akreditasi.

Banyak negara yang memulai program akreditasi tanpa bukti bahwa mereka

menggunakan sumber daya terbaik untuk meningkatkan kualitas dan tidak ada bukti

tentang efektivitas dari sistem yang berbeda dan cara-cara untuk melaksanakannya

didasarkan secara empiris adalah studi skala besar saat ini sedang berlangsung meneliti

hubungan antara akreditasi dan organisasi dan kinerja klinis (Braithwaite, et al, 2006).

Sementara beberapa literatur perdebatan tentang bukti-bukti belum dikumpulkan dan

diperiksa tetang nilai dan manfaat akreditasi (Greenfield, et al, 2008).

Penelitian lain yang dilaksanakan oleh Heuvel, et all (2005) (Heuvel, J, et all

(2005). An ISO 9001 quality management sustem in a hospital bureaucracy or just

benefit? International Journal of Health Care Quality Assurance, 18 (5) pp 361-369).

studi kasus di RS Red Cross Belanda dengan cara menyebarkan kuesioner

5
menunjukkan bahwa patient safety pada rumah sakit tersebut hanya memenuhi standar

sebesar 35% pada tahun 1998 dan sebesar 63% pada tahun 2001 setelah

mengimplementasikan ISO 9001:2000). Pengukuran ini dilakukan juga pada rumah

sakit yang tidak mengimplementasikan ISO 9001:2000 dengan hasil pencapaian standar

patient safety yaitu 33%-46% pada tahun 1998 dan sebesar 38%-72% pada tahun 2001

dengan rata-rata tingkat peningkatan rumah sakit lainnya sebesar 49%.

Sejumlah studi empiris melaporkan efek positif dari penerapan paradigma

manajemen mutu dalam layanan dan pengaturan manufaktur, namun sampai saat ini ,

masih sedikit studi empiris yang ditujukan untuk manajemen mutu di rumah sakit (Li,

1997).

Dick (2000) dalam literaturnya juga menyatakan bahwa tidak terdapat fakta yang

signifikan dalam pencapaian organisasi setelah mengikuti skema sistem mutu seperti ini

seperti International Standard Organization (ISO) dan akreditasi.

Oleh karena berbagai bukti di atas, maka perlu dilakukan evaluasi untuk

mengetahui dampak implementasi sistem manajemen mutu pada rumah sakit. Model

evaluasi pelayanan yang digagas oleh Donabedian menganalisa melalui 3 faktor, yaitu

struktur, proses dan hasil.

Struktur adalah prasyarat mutu seperti gedung rumah sakit, karyawan, dan

peralatan. Proses menjelaskan bagaimana pengunaan dari struktur sehingga mampu

menghasilkan suatu terapi yang spesifik. Sedangkan yang dimaksud dengan hasil adalah

konsekuensi yang diperoleh dari suatu proses terapi.

Selanjutnya, Kunkel, et al., (2009) menjelaskan bahwa sistem manajemen mutu

yang terdiri struktur, proses, dan hasil berhubungan dengan bagaimana SMM

6
diimplementasikan. Sebelumnya, Kunkel, et al., (2007) juga pernah melakukan

penelitian yang membuktikan adanya keterkaitan antara struktur, proses, dan hasil

dalam sistem manajemen mutu.

Suatu kajian literatur yang bertujuan untuk mengetahui pengaruh mutu terhadap

outcome dari primary care menggunakan framework Donabedian yaitu structure

meliputi physical characteristic dan staff caracteristic, process meliputi technical dan

personal, serta outcome meliputi health status, health service utilization and cost,

patient satisfaction (Hsio, et al., 2008).

2. Rumusan masalah :

Berdasarkan pemaparan pada latar belakang, maka rumusan masalah penelitian

adalah:

1) Bagaimana dampak implementasi sistem manajemen mutu terhadap kinerja

klinis di tingkat unit pelayanan?

2) Apakah ada hubungan antara struktur, proses dan outcome dalam implementasi

sistem manajemen mutu?

Tujuan Umum

7
Mengevaluasi dampak implementasi sistem manajemen mutu terhadap kinerja

klinis di tingkat unit pelayanan rumah sakit.

Tujuan khusus:

1) Mendeskripsikan struktur, proses dan outcome kinerja klinis dalam

implementasi sistem manajemen mutu

2) Mengukur hubungan antara struktur, proses dalam implementasi sistem

manajemen mutu dan outcome kinerja klinis

3) Mengeksplorasi mekanisme yang menjelaskan dampak implementasi sistem

manajemen mutu terhadap outcome kinerja klinis

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Sistem Manajemen Mutu

1. Pengertian Sistem Manajemen Mutu

Sistem Manajemen Mutu atau QMS (Quality Management Sistem) secara luas

didefinisikan sebagai semua prosedur secara eksplisit dirancang untuk memantau,

menilai dan meningkatkan mutu perawatan. Misalnya adalah review secara mendalam,

survei kepuasan pasien, penanganan pengaduan, audit, menyusun manual mutu

(compiling a quality manual) (Wagner et al., 2006).

8
Sistem mutu secara luas didefinisikan sebagai mutu kerja yang terorganisir

secara sistematis, yang mencakup berbagai kegiatan dari perbaikan sampai akreditasi.

(Kunkel et al., 2007).

Sistem manajemen mutu dalam pelayanan kesehatan dapat digambarkan sebagai

suatu proses organisasi yang terstruktur yang melibatkan staf pada tingkat yang berbeda

dalam merencanakan, mengukur, menilai perawatan pasien untuk memberikan

pelayanan medis yang optimal kepada pasien (Macinati, 2008).

Sistem manajemen mutu digambarkan sebagai sebuah garpu (Gitlow,1999

dalam Koentjoro,2007) yang terdiri dari lima elemen, yaitu :

1) Komitmen manajemen untuk melakukan transformasi (tangkai garpu)

2) Pendidikan dan pelatihan (leher garpu)

3) Pengelolaan harian

4) Pengelolaan lintas fungsi

5) Pengelolaan kebijakan (jari-jari garpu)

Jadi dapat disimpulkan bahwa sistem manajemen mutu adalah suatu tatanan

(termasuk didalamnya adalah budaya organisasi) dalam sistem manajemen yang

dirancang dan diterapkan untuk menjamin agar sistem atau proses pelayanan

dan proses produksi terus menerus diperbaiki, berjalan sesuai persyaratan mutu

dan dapat memenuhi bahkan melebihi apa yang diharapkan pelanggan.

((Koentjoro, 2007)

2. Model-model Sistem Manajemen Mutu

a. Akreditasi Rumah Sakit

9
Akreditasi merupakan salah satu cara untuk mengevaluasi mutu

pelayanan termasuk pelayanan di rumah sakit. Akreditasi rumah sakit

dimaksudkan sebagai upaya untuk melindungi pasien dari pelayanan tidak

terstandar dan melindungi petugas kesehaten terhadap tuntutan hukum melalui

pelayanan yang sesuai dengan standar dan prosedur.

Program akreditasi rumah sakit di Indonesia dimulai pada tahun 1996

dan dilaksanakan oleh Komisi gabungan Akreditasi Rumah Sakit (KARS),

sebuah tim fungsionaf yang bersifat non struktural yang berada di bawah dan

bertanggung jawab kepada Direktur Jenderal pelayanan Medik, Departemen

Kesehatan (Depkes, 1994).

Berdasarkan Permenkes RI No 159a/Menkes/Per/II/1998 tentang Rumah

Sakit, akreditasi adalah pengakuan bahwa rumah sakit memenuhi standar

minimal yang ditentukan. Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan

bahwa akreditasi adalah pengakuan resmi dari pemerintah yang diberikan

kepada rumah sakit yang telah memenuhi standar pelayanan.

Dari 16 kegiatan pelayanan yang tercantum dalam buku Standar

Pelayanan Rumah Sakit maka pada tahap awal rumah sakit terutama sudah harus

dapat memenuhi standar 5 (lima) kegiatan pelayanan pokok. Diharapkan juga

beberapa kegiatan pelayanan penunjang dapat dipenuhi. Kegiatan pelayanan

tersebut adalah sebagai berikut :

I. Bidang Administrasi

1) Administrasi dan Manajemen

2) Pelayanan Rekam Medis

3) Pelayanan Famasi

10
4) Program Keselamatan Kerja, Kebakaran dan Kewaspadaan Bencana

II. Bidang Medis

1) Pelayanan Medis

2) Pelayanan Gawat Darurat

3) Pelayanan Kamar Operasi

4) Pelayanan Intensif

5) Pelayanan Laboratorium

6) Pelayanan Radiologi

7) Pelayanan Rehabilitasi Medik

8) Pelayanan Darah

III. Bidang Keperawatan

1) Pelayanan Keperawatan

2) Pelayanan Perinatal Resiko Tinggi

3) Pelayanan Infeksi

4) Pelayanan Gizi

Setiap bidang pelayanan masing-masing terbagi lagi atas 7 standar

sebagai berikut :

Standar 1. Falsafah dan Tujuan

Standar 2. Administrasi dan Pengelolaan

Standar 3. Staf dan Pimpinan

Standar 4. Fasilitas dan Peralatan

Standar 5. Kebijakan dan Prosedur

Standar 6. Pengembangan staf dan Program Pendidikan

Standar 7. Evaluasi dan Pengendalian Mutu

11
Rumah sakit yang telah melalui proses akreditasi akan memperoleh

hasil/keputusan akreditasi. Ada 4 kemungkinan keputusan yang akan

dikeluarkan, yaitu :

1) Tidak diakreditasi

2) Akreditasi bersyarat

Status ini diberikan bila rumah sakit telah dapat memenuhi persyaratan

minimal tetapi belum cukup untuk mendapatkan akreditasi penuh karena

ada beberapa kriteria/standar yang diberi rekomendasi khusus.

a) Akreditasi bersyarat ini berlaku untuk satu tahun.

b) Setelah masa satu tahun rumah sakit dapat mengajukan untuk disurvei

ulang setelah merasa siap.

c) Penilaian ulang dilakukan khusus untuk hal-hal yang direkomendasikan

oleh surveyor untuk mendapatkan akreditasi penuh.

d) Bila rumah sakit memenuhi pelayanan tersebut, RS mendapat tambahan

dua tahun lagi sehingga seluruhnya menjadi tiga tahun (akreditasi

penuh).

e) Bila tidak berhasil pada akreditasi ulang ini, maka rumah sakit

dinyatakan gugur (tidak mendapat status akreditasi).

3) Akreditasi penuh

a) Status akreditasi penuh diberikan untuk jangka waktu tiga tahun kepada

rumah sakit yang telah dapat memenuhi standar yang ditetapkan oleh komisi

akreditasi.

b) Setelah masa tiga tahun, rumah sakit yang bersangkutan mengajukan

permohonan untuk diakreditasi pada periode berikutnya.

12
4) Akreditasi istimewa

Untuk rumah sakit yang menunjukkan kemampuan pemenuhan standar secara

istimewa selama tiga periode berturut-turut, akan mendapatkan status akreditasi

untuk masa lima tahun.

Pelaksanaan akreditasi di Indonesia hingga saat ini masih memiliki

banyak kelemahan. Hasil penelitian membuktikan bahwa hampir 90% rumah

sakit belum melaksanakan rekomendasi dari KARS dan belum menggunakan

standar pelayanan sebagai acuan untuk melaksanakan kegiatan, tetapi hanya

sebagai dokumen arsip (Soepojo, dkk, 2002). Selain itu kewajiban pembinaan

pasca akreditasi tidak dilakukan oleh KARS, melainkan oleh Dinas Kesehatan

tingkat provinsi. Namun pembinaan pasca akreditasi pada 30 rumah sakit di

Jawa Tengah telah menunjukkan bahwa rekomendasi dari KARS belum

dilaksanakan (Soepojo, dkk, 2002). Penelitian Yudani (2002) juga menemukan

bahwa, indikator mutu pelayanan klinik RSU Banyumas sebagian besar

mengalami penurunan pasca akreditasi. Soepojo (2002) menemukan bahwa

sistem pengembangan mutu pelayanan rumah sakit di Australia bisa berjalan

baik karena lembaga akreditasi orientasinya untuk memenuhi standar dan

memelihara yang sudah dicapai. Rumah sakit didorong untuk membuat

indikator klinik dan Australian Council on Healthcare Standards (ACHS)

memfasilitasi rumah sakit untuk melakukan benchmarking. Hasil benchmarking

pada Prince of Wales Hospital diperoleh bahwa akreditasi bukan hal yang

penting, jika rumah sakit menerapkan program peningkatan mutu berkelanjutan,

sedangkan John Hunter Hospital, RSUD Banyuwangi dan St. Elisabeth

13
diperoleh pendapat bahwa diperlukan akreditasi sebagai pengawas eksternal

untuk memantau mutu pelayanan.

b. Joint Commission on Accreditation of Healthcare Organization

(JCAHO)

JCAHO (Joint Commission on Accreditation of Healthcare

Organization) adalah organisasi not for profit yang didirikan tahun 1951 di

Amerika yang berorientasi kepada akreditasi pelayanan kesehatan dan yang

mendukung peningkatan kinerja lebih dari 18.000 organisasi pelayanan

kesehatan.

JCAHO dipergunakan untuk memperbaiki keselamatan dan

menyediakan mutu perawatan terhadap masyarakat yang secara terus menerus

pada organisasi pelayanan kesehatan sesuai standar dan syarat akreditasi, dan

membantu meningkatkan kemajuan organisasi pelayanan kesehatan.

Berbeda dengan akreditasi yang dilakukan oleh KARS di Indonesia

yang menetapkan tujuh standar untuk 16 jenis pelayanan yang diakreditasi,

maka Joint Commission International membedakan standar akreditasi yang

digunakan dalam dua kelompok standar, yaitu proses yang berpusat pada

pasien dan sistem organisasi.

Proses yang berpusat pada pasien terdiri dari :

1) Akses terhadap pelayanan kesehatan

2) Hak pasien

3) Pengkajian

4) Penyediaan asuhan kesehatan

14
5) Pendidikan kesehatan

6) Kesinambungan pelayanan

Sedangkan standar yang berpusat pada sistem organisasi meliputi:

1) Kepemimpinan

2) Manajemen sumber daya manusa

3) Manajemen informasi

4) Manajemen lingkungan

5) Manajemen mutu

c. Sistem Manajemen Mutu ISO 9000:2000

Sistem manajemen mutu ISO 9001:2000 merupakan suatu standar internasional

yang menetapkan persyaratan global untuk sistem mutu. ISO dikembangkan untuk

menyediakan standar yang dapat digunakan sebagai kerangka kerja yang dapat

diterapkan bagi semua tipe organisasi di seluruh dunia. Standar ini mengharuskan

organisasi untuk mengimplementasikan, mendokumentasikan, mengerjakan berdasarkan

sistem mutu, dan menjaga catatan rekaman mutu yang membuktikan bahwa mereka

mengikuti sistem mutu tersebut.

ISO 9001:2000 menetapkan persyaratan-persyaratan dan rekomendasi untuk

desain dan penilaian dari suatu sistem manajemen mutu. ISO 9001:2000 merupakan

standar sistem manajemen mutu. Namun, bagaimanapun juga diharapkan bahwa produk

yang dihasilkan dari suatu sistem manajemen mutu internasional, akan bermutu baik.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa Quality Management Sistem (ISO

9001:2000) merupakan prosedur terdokumentasi dan praktek-praktek standar untuk

manajemen sistem, yang bertujuan menjamin kesesuaian dari suatu proses dan produk

15
(barang atau jasa) terhadap kebutuhan atau persyaratan tertentu, dimana kebutuhan atau

persyaratan tertentu tersebut ditentukan atau dispesifikasikan oleh pelanggan dan

organisasi (Gazperz, 2005).

Secara operasional, elemen-elemen sistem manajemen mutu dalam ISO 9000,

meliputi kebijakan mutu, perencanaan mutu, pedoman mutu, prosedur kerja dan

instruksi kerja. Elemen-elemen sistem mutu tersebut dapat berjalan dengan baik jika

tercipta komitmen dan budaya mutu dalam organisasi yang ditunjukkan dalam perilaku

karyawan (people), yang sangat bergantung kepada kepemimpinan, tanggungjawab, dan

dukungan manajemen yang menjadi penggerak berjalannya sistem mutu. (Koentjoro,

2007).

Penilaian sistem manajemen mutu melalui ISO 9001:2000 disusun berdasarkan

8 prinsip manajemen mutu. Kedelapan prinsip manajemen mutu tersebut adalah 1)

fokus pelanggan, 2) kepemimpin, 3) partisipasi dan pemberdayaan karyawan, 4)

pendekatan proses, 5) pendekatan sistem, 6) perbaikan berkesinambungan, 7)

pendekatan faktual dalam pengambilan keputusan, 8) hubungan timbal balik yang

menguntungkan dengan rekanan.

d. Malcom Baldridge National Quality Award (MBNQA)

Sistem manajemen mutu lainnya adalah Malcolm Baldridge National Quality

Award (MBNQA). MBNQA merupakan salah satu program penghargaaan yang tertua

di dunia. Penghargaan ini diberikan oleh Kongres USA kepada organisasi yang telah

mampu menerapkan manajemen mutu untuk memberikan peningkatan nilai kepada

pelanggan dan meningkatkan kinerja organisasi secara keseluruhan. Baldridge Award

bukan hanya sebuah penghargaan, tetapi berfungsi juga sebagai pemicu proses

16
peningkatan mutu di USA akibat adanya proses penarikan komitmen dari para

pemenang untuk turut menjadi pendukung dalam peningkatan mutu organisasi lainnya.

MBNQA (Malcolm Baldrige National Quality Award) merupakan metode

assessment kinerja perusahaan yang diterapkan pertama kali di Amerika Serikat.

Metode ini bukan hanya menganalisis dan mengevaluasi kinerja perusahaan dari aspek

finansial saja, namun juga dari aspek non-finansialnya. Kriteria performansi terbaik dari

Baldridge adalah framework yang dapat digunakan organisasi dalam meningkatkan

mutu. Tujuh kategori yang digunakan sebagai kriteria penghargaan ialah:

1) Leadership

2) Strategic Planning

3) Customer and Market Focus

4) Measurement, analysis, and knowledge management

5) Human Resource Focus

6) Process Management

7) Business Results

Kriteria-kriteria tersebut digunakan oleh ribuan organisasi sebagai dasar

penilaian diri (self-assessment), pelatihan serta alat untuk membangun

performansi dan proses bisnis.

Ketujuh kriteria MBNQA sesungguhnya dibangun berlandaskan pada 11

nilai-nilai inti (core values) sebagai berikut:

1) Visionary Leadership

Nilai ini terkait dengan bagaimana para pemimpin senior membimbing

perusahaan dalam menetapkan dan menyebarluaskan nilai-nilai korporat,

menentukan arah perusahaan, ekspektasi kinerja, berfokus pada pelanggan dan

17
stakeholder yang lain, menciptakan iklim inovasi, pemberdayaan dan

pembelajaran.

2) Customer-Driven Excellence

Nilai dan kepuasan pelanggan dipengaruhi oleh banyak faktor mulai

dari pengalaman pembelian, kepemilikan, dan pelayanan yang diterima.

Kualitas dan kinerja perusahaan karenanya akan dinilai oleh pelanggan. Oleh

karena itu kita harus bertanggungjawab agar features serta karakteristik

produk dan pelayanan dapat memberikan kontribusi nilai kepada pelanggan

(customer value).

3) Organizational and Personal Learning.

Pembelajaran organisasi mencakup peningkatan terus-menerus dari

pendekatan yang ada dan adaptasi terhadap perubahan, memimpin ke arah

sasaran baru dan atau pendekatan baru. Pembelajaran adalah satu-satunya

jalan untuk terus meningkatkan kompetensi.

4) Valuing Employees and Partners.

Keberhasilan perusahaan juga akan sangat bergantung pada

peningkatan pengetahuan, ketrampilan, kreativitas, dan motivasi dari

karyawan dan para mitra kerja.

5) Agility

Kesuksesan dalam meraih kemenangan dalam pasar yang

hiperkompetitif ini memang memerlukan ketangkasan, yaitu sebuah

kapasitas untuk mampu berubah cepat dan fleksibilitas. Hal ini jelas

membutuhkan struktur organisasi yang lebih sederhana dan

debirokratisasi dalam proses pengambilan keputusan, disamping juga akan

18
amat membutuhkan karyawan yang kompeten yang memiliki ketrampilan

multifungsi yang diperoleh melalui pelatihan lintas-fungsi.

6) Focus on the Future

Ini berarti membutuhkan pemahaman tentang faktorjangka pendek dan

jangka panjang yang mempengaruhi bisnis dan pasar. Visi perusahaan jelas

membutuhkan orientasi yang sangat kuat pada masa depan dan keinginan

memberikan komitmen jangka panjang kepada pihak-pihak kunci yang

berkepentingan (stakeholder).

7) Managing for Innovation.

Perusahaan mesti dikelola dan diarahkan sedemikian rupa sehingga

inovasi menjadi bagian dari kultur kerja dan terintegrasi ke dalam

pekerjaan sehari-hari.

8) Management by Fact.

Sukses tidaknya perusahaan perlu diukur dan dianalisa hasilnya, yang

akan memberikan data dan informasi penting tentang proses kunci, output,

dan hasil bisnis. Pengukuran kinerja ini mencakup pelanggan, produk, dan

kinerja pelayanan; pembanding operasional, pasar, dan kinerja kompetitif;

serta pemasok, karyawan, biaya dan finansial.

9) Public Responsibility and Citizenship.

Para pemimpin organisasi harus menekankan tanggungjawab mereka

kepada publik dan perlu mempraktekkan perilaku sebagai warga negara

yang baik. Perencanaan efektif harus mampu mencegah penyebab

terjadinya masalah, memberikan tanggapan yang cepat jika terjadi

masalah, dan membuat informasi menjadi selalu tersedia dan mendukung

19
serta mempertahankan kesadaran, keselamatan dan kepercayaan

masyarakat terhadap perusahaan.

10) Focus on Result and Creating Value.

Pengukuran kinerja perusahaan perlu memfokuskan pada hasil-hasil

kunci untuk menciptakan dan menyeimbangkan nilai bagi para

stakeholder, pelanggan, karyawan, pemasok dan mitra, pemegang saham,

dan masyarakat.

11) Sistems Perspective.

Kriteria Malcolm Baldridge memberikan suatu perspektif sistem untuk

pengelolaan perusahaan menuju keunggulan kinerja (kinerja excellence).

Perspektif sistem berarti mengelola perusahaan secara keseluruhan, juga

komponen-komponennya, menuju keunggulan dan kesuksesan.

MBNQA Framework

20
Organizational Profile:
Environment, Relationships, and Challenges

2 5
Strategic Human
Planning Resource
Focus
1 7
Leadership Business Result
3 6
Customer Process
& Market Managemen
Focus t

4
Information and Analysis

Kriteria Balridge mengarahkan pada pembentukan budaya organisasi yang

efektif dan menuntun pencapaian kinerja unggul. Jadi kriteria Baldridge bukan hanya

digunakan oleh organisasi untuk menjamin adanya peningkatan yang berkelanjutan,

namun juga dapat digunakan organisasi untuk mengevaluasi kinerjanya sehingga

mendukung organisasi menjadi yang terbaik.

Hasil penelitian yang mengevaluasi kinerja RSUD kabupaten Brebes dengan

menggunakan kiteria Baldridge ditemukan bahwa kategori 1-6 belum sepenuhnya

memenuhi persyaratan dari MBNQA, sementara untuk kategori tujuh dapat

digambarkan bahwa kinerja pelayanan utama dan kinerja pelayanan penunjang juga

belum optimum (Purwaningrum, 2007).

e. European Foundation Quality Management (EFQM)

21
Di Eropa, model penilaian atau pengukuran kinerja mutu dikenal dengan

model European Foundation Quality Management (EFQM). Model EFQM

Excellent diperkenalkan pada awal 1992 sebagai framework untuk penilaian

organisasi menuju European Quality Award. Model EFQM excellent adalah suatu

framework yang didasarkan pada 9 kriteria . Lima dari kriteria ini adalah disebut

sebagai “enablers” (leadership, people, policy strategi, partnership, and

resources, and processes), dan empat yang lainnya adalah “result” (people result,

customer result, impact on society result and business result). Kriteria enabler

mencakup apa yang dilakukan oleh sebuah organisasi, sedangkan kriteria result

mencakup apa yang diperoleh oleh organisasi. Result diperoleh melalui cara

enablers, dan enablers ditingkatkan dengan menggunakan umpan balik dari result.

Model EFQM memiliki 9 kriteria, dimana 9 kriteria tersebut mewakili

penilaian mengenai kemajuan uatu perusahaan/organisasi menuju pada tingkat

excellent. Adapun kriteria tersebut adalah: 1) kepemimpinan, 2) people, 3)

kebijakan dan strategi, 4) kemitraan dan sumber daya, 5) proses, 6) hasil, 7)

customer, 8) society, 9) kinerja.

Model ini menggunakan beberapa pendekatan untuk meraih keunggulan

yang berkesinambungan dalam semua aspek performa, yang didasarkan pada

keyakinan bahwa hasil keunggulan dengan memperhatikan performa, costumer,

people and society merupakan keberhasilan dari leadership yang mengantarkan

kebijakan dan strategi yang kemudian diantarkan melalui people, partnership and

resources, dan proses. (EFQM, 1999 ; Max Moullin. 2002).

3. Implementasi SMM dan faktor yg mempengaruhi

22
Beberapa faktor yang telah berhasil diidentifikasi sebagai penentu keberhasilan

atau kegagalan implementasi adalah budaya organisasi, aspek teknis, aspek strategik,

dan aspek struktur (Lee, et al., 2002). Kecuali aspek teknis, maka Wardhani, et al.,

(2009) menyajikan pendapat yang konsisten dengan Lee, et al. (2002) bahwa desain

organisasi meliputi ukuran dan kompleksitas, pendekatan strategik, kepemilikan,

struktur dan budaya organisasi adalah faktor yang signifikan mempengaruhi

implementasi CQI. Sedangkan Buciuniene, et al., (2006) menambahkan dengan

perspektif yang sedikit berbeda yaitu kepuasan pasien dan motivasi karyawan selain

pengembangan prosedur, sumber daya keuangan, informasi, tanggung jawab dan

pembagian kekuasaan, pedoman kerja (SOP) dan mutu pelayanan. Mendukung

pendapat Buciuniene, et al. (2006), maka motivasi karyawan (Francois, et.al., 2003);

resistensi dokter yang disebabkan kurangnya komitmen pimpinan, kurangnya sumber

daya, dan faktor pribadi (Pongpirul, et al., 2006); serta budaya karyawan (Huq and

Martin, 2000) juga dijelaskan sebagai faktor yang mempengaruhi implementasi CQI.

Selain itu, hasil penelitian Lee, et al., (2002) yang juga didukung oleh

Buciuniene, et al., (2006) menemukan bahwa ukuran rumah sakit adalah variabel

moderator dalam hubungan fungsional antara berbagai faktor determinan terhadap

implementasi CQI. Lee, et al. (2002) melaporkan bahwa skor pada tujuh dimensi CQI

(kepemimpinan, perencanaan strategi mutu, kepuasan pelanggan, analisis dan informasi,

manajemen sumber daya manusia, manajemen mutu, dan kinerja) berbeda pada ukuran

rumah sakit yang berbeda dimana rumah sakit besar memiliki skor yang lebih tinggi.

Sedangkan Buciuniene, et al., (2006) memang secara tegas menyatakan bahwa temuan

dan kontribusi penting dalam penelitiannya adalah ditemukannya kenyataan bahwa

semakin besar ukuran rumah sakit semakin sukses penerapan CQInya.

23
Berdasarkan berbagai hasil penelitian di atas dapat disimpulkan bahwa faktor yang

mempengaruhi keberhasilan dan kegagalan implementasi CQI adalah aspek

keorganisasian, budaya organisasi, sumber daya organisasi, strategi, dan kepuasan

pasien. Keempat faktor tersebut mencerminkan suatu sistem manajemen mutu dimana

sumber daya rumah sakit (fisik, manusia, keuangan, infromasi) dan aspek

keorganisasian (ukuran dan kompleksitas organisasi, kepemilikan, organisasi,

kepemimpinan) mencerminkan struktur. Sedangkan pengorganisasian yang terdiri dari

pembagian tugas dan wewenang, budaya organisasi, strategi, prosedur, sistem dan

peraturan, menggambarkan proses. Faktor kepuasan pasien merefleksikan kinerja hasil

yang diperoleh dari struktur dan proses.

4. Evaluasi sistem manajemen mutu

Model manajemen mutu yang dikembangkan oleh Donabedian (1980) yang

menjelaskan bahwa sistem mutu merupakan upaya penciptaan mutu yang sistematis dan

terorganisir. Struktur mengacu pada prasyarat, seperti gedung rumah sakit, karyawan

dan peralatan. Proses menggambarkan bagaimana penggunaan struktur dipraktekkan,

seperti terapi khusus. Hasil mengacu pada hasil proses, misalnya, hasil terapi (Kunkel et

al., 2007). Studi yang dilakukan oleh Kunkel et al., (2007) menggambarkan struktur

merujuk pada sumber daya yang tersedia, seperti waktu dan dana untuk bekerja dalam

meningkatkan mutu. Selain itu juga mengacu pada administrasi dari sistem mutu,

seperti dokumentasi rutin dan dukungan staf. Proses menggambarkan budaya

peningkatan mutu dan kerjasama dengan dan diantara profesi. Hasil mengacu pada

evaluasi pencapaian tujuan dan pengembangan kompetensi yang berkaitan dengan

peningkatan mutu.

24
Studi lain yang dilakukan oleh Hsio, et al., (2008) mengembangkan model

konsep pelayanan pada primary care, menganalisis struktur yang merujuk kepada

penampilan fisik dan karakteristik karyawan. Karakteristik fisik meliputi fasilitas

praktek, peralatan, jam kerja dan akses. Karakteristik karyawan meliputi kualifikasi

para profesional, struktur administratif dan operasional, suasana kerja tim danjumlah

karyawan tetap.

Proses merujuk kepada pemberian dan penerimaan pelayanan. Pengukuran

evaluasi proses dengan aspek teknik dan aspek perorangan. Aspek teknik meliputi

petunjuk penggunaan tes, rujukan, pengobatan dan juga menilai klaim asuransi atau

medical record. Aspek perorangan meliputi keberlanjutan, komunikasi, orientasi,

pengobatan interpesonal, kepercayaan pasien, komprehensif dan koordinasi.

Hasil merujuk kepada konsekuensi dari pelayanan kesehatan seperti status

fungsi, fisik dan kesehatan mental, survive dan penggunaaan rumah sakit dan ruangan

emergensi. Beberapa penelitian juga mengukur kepuasan pasien sebagai salah satu hasil.

Kepuasan secara umum diukur dari persepsi pasien, yang dapat dipengaruhi oleh

beberapa faktor seperi status kesehatan, pengalaman pribadi, harapan dan penerimaan

pelayanan.

5. Kinerja Rumah Sakit dan Indikator

Kinerja, berarti tata cara atau mutu dari fungsi. Hal ini menyiratkan bahwa kinerja manajemen

terkait dengan tata cara dari pengelolaan mutu. Kinerja juga berarti pencapaian dari seseorang

baik dalam jumlah ataupun mutu dalam suatu organisasi. Kinerja dapat mengacu pada kinerja

individu atau organisasi (Hopf, 2000).

25
Sebuah model oleh Counte (1995) mengembangkan kinerja berdasarkan pada dua

konsep kunci yaitu efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pelayanan kesehatan.

Pendekatan yang lain adalah Balance Scorecard yang dikembangkan oleh Kaplan dan

Norton (1996). Pendekatan ini menekankan bahwa pengukuran finansial dan non-

finansial harus menjadi bagian dari sistem informasi untuk para karyawan pada semua

tingkatan dalam organisasi. Scorecard haruslah menerjemahkan sebuah misi unit bisnis

dan strategi ke dalam tujuan yang nyata dan terukur. Pengukuran tersebut menghadirkan

sebuah keseimbangan antara pengukuran eksternal untuk shareholder dan pelanggan,

dan pengukuran internal dari inovasi proses bisnis yang kritis dan pembelajaran dan

pertumbuhan.

Pada saat ini, sedang dilakukan uji coba suatu instrumen yang akan digunakan

untuk menilai kinerja mutu (performance) rumah sakit oleh WHO regional Eropa yang

dinamakan Kinerja Assessment Tools for Hospital (PATH). Instrumen tersebut

kemungkinan akan diterapkan oleh seluruh rumah sakit di dunia sebagaimana halnya

program WHO World Alliance for Patient Safey – Move Program sebagai world class

hospitals’ benchmarking.

Instrumen PATH tersebut terdiri 6 dimensi yang saling berkaitan yakni clinical

effectiveness, safety, patient centeredness, responsive governance, staff orientation dan

efficiency.

Indikator kinerja diperlukan untuk mengukur tingkat pencapaian dan untuk

mengetahui pencapaian tujuan dari rumah sakit. Menurut Siagian (2002) 

(Siagian, S.P (2002) Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja. Penerbit Rineke

Cipta. Jakarta) terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kinerja suatu

organisasi yaitu perbaikan berkesinambungan, peningkatan mutu hasil kerja,

26
pemberdayaan sumber daya manusia dan filsafat organisasi. Perbaikan

berkesinambungan berkaitan dengan peningkatan mutu hasil pekerjaan. Mainz

(2004) (Mainz, J (2004) Quality Indicators : Essential for Quality

Improvement. International Journal for Quality in Health Care,16. Supplement

1) menyatakan bahwa tidak mungkin dapat memonitor mutu pelayanan

kesehatan tanpa menggunakan indikator mutu.

Departemen Kesehatan menetapkan 12 indikator rumah sakit yang

merupakan gabungan dari 2 jenis indikator yaitu indikator mutu pelayanan

klinik (clinical indicator) dan indicator kinerja kunci yang menilai berdasarkan

Balance Scorecard (Depkes, 2005) (Departemen Kesehatan (2005) Indikator

Kinerja Rumah Sakit. Departemen Kesehatan RI, Jakarta).

Selain itu World Health Organization (WHO) Regional Eropa sedang

melakukan uji coba implementasi dalam menilai kinerja rumah sakit melalui instrumen

yang dinamakan PATH (Performance Assessment Tool for Quality Improvement in

Hospitals).

Instrumen PATH tersebut terdiri 6 dimensi yang saling berkaitan yakni clinical

effectiveness, safety, patient centeredness, responsive governance, staff orientation dan

efficiency. Dari ke enam keterkaitan dimensi tersebut ada 17 indikator utama (core

indicators) dan 24 indikator tambahan sesuai kondisi dan kemampuan rumah sakit

(tailored indicators)

C. Hubungan antara sistem manajemen mutu dan kinerja organisasi

Penggunaan QMS yang tepat dapat membantu pembuat kebijakan pelayanan

kesehatan dan manajer untuk meningkatkan mutu keluaran dari sistem, termasuk

27
clinical performance dari staf. Hal tersebut sesuai dengan penelitian yang dilakukan

oleh Kunkel et al (2007) yang menyatakan bahwa penerapan sistem mutu tingkat lanjut

dengan menggunakan model kerja sama dapat dikembangkan menjadi sistem dengan

nilai tinggi pada struktur, proses dan keluaran.

Lx Li (1997) dalam model analitis penelitiannya memvalidasi bahwa manajemen

mutu rumah sakit memiliki hubungan sebab-akibat langsung dengan kinerja mutu

pelayanan kesehatan. Model ini menyatakan bahwa kinerja mutu pelayanan kesehatan

dipengaruhi oleh lima determinan manajemen mutu pelayanan kesehatan, yaitu:

kepemimpinan manajemen tingkat atas (TML), kerja sama organisasional (OC),

kepemimpinan teknologi (TL), pengembangan tenga kerja (WD), dan analisis

informasi/proses (IA). Secara langsung dan positif kinerja mutu pelayanan kesehatan

dipengaruhi oleh analisis informasi/proses (IA), pengembangan tenaga kerja (WD) dan

kepemimpinan teknologi (TL). Disamping itu, kerja sama organisasional (OC),

investasi teknologi dan analisis informasi/proses (IA) memediasi hubungan antara mutu

pelayanan kesehatan dengan kepemimpinan manajer tingkat atas (TML).

Beberapa penelitian menunjukkan adanya hubungan positif antara implementasi

QMS dengan kinerja organisasional (Macinati, 2008). Penelitian Macinati (2008)

tersebut memvalidasi bahwa terdapat hubungan antara elemen inti QMS dengan kinerja

organisasional mereka. Elemen-elemen inti tersebut adalah “Keberadaan dan peran dari

departemen mutu”, “Partisipasi pegawai dalam manajemen mutu”, “Data mutu,

pelaporan dan pemanfaatan”, “Komitmen manajemen tingkat atas terhadap strategi

mutu” dan “Karakteristik dari rancangan strategik manajemen mutu”. Hasil penelitian

tersebut lebih jauh lagi mengindikasikan bahwa peningkatan dalam QMS memiliki

pengaruh terbesar bagi reputasi rumah sakit, kepuasan pasien dan orientasi pasar.

28
Penelitian replikasi yang dilakukan oleh Tari et al. (2007) mendukung hubungan

antara QMS dan dampak positif dari praktik-praktik QMS terhadap kinerja, baik secara

langsung maupun tidak langsung melalui mediasi praktik QMS lainnya. Praktik-praktik

tersebut antara lain: manajemen proses, teknik dan alat uji mutu, kepemimpinan,

perencanaan, fokus kepada pelanggan, manajemen SDM, pengembangan penyedia

(supplier), pelatihan, pembelajaran, penguatan pegawai, peningkatan yang

berkelanjutan, komitmen eksekutif dan organisasi terbuka.

6. Kerangka teori

Berdasarkan teori yang telah dikemukakan sebelumnya, dapat disusun kerangka


Struktur
teori seperti berikut:
1) Komitmen top manajemen
2) Quality strategic Planning
3) Information and data Proses Outcome
quality
1) Personel 1) Financial
4) Supplier quality management
development performance
5) Physical Characteristic
2) Employee 2) Operation
(Facilities , Equipment,
partispation al performance
Office hour, Accessibility)
3) Coordination and 3) Outcome
6) Staf characteristic
role of quality subjective performance
- Profesional qualification
BAB III departemen 4) Outcome
- Administrative structure &
4) Proses manajemen objective
operation
5) Technical 5) Health
- Teamwork atmossphire
6) Continuity status
- Number of full time
7) Communication 6) Health
employee
8) Whole-person service utilization &
7) Organization design
orientation cost
8) Technical support
9) Interpersonal 7) Hospital
9) Leadership
treatment admission
10) Quality structure
10) Patient trust 8) Clinical
11) Sumber daya keuangan
11) Comprehensiveness indicator
12) Pedoman kerja
13) Resource and 12) Coordination
administration 13) Physian involment
14) Perencanaan mutu 14) Organizational culture
15) Learning 15) Pembagian tugas
16) Customer focus & wewenang
17) Management supplier 16) Culture and
18) Quality tools and professional co-
technique operation 29
19) Workforce development
20) Administrative QMS
(documentation of …… and
ome

Proses
Struktur
7. Kerangka Konsep
1) Personel
1) Komitmen top manajemen development
2) Quality strategic Planning 2) Employee
3) Information and data quality partispation
4) Supplier quality management 3) Coordination and
5) Physical Characteristic role of quality
(Facilities , Equipment, Office departemen
hour, Accessibility 4) Proses manajemen
6) Staf characteristic 5) Continuity
- Profesional qualification 6) Communication
- Administrative structure & 7) whole-person
operation Outcome
orientation
- Teamwork atmossphire 8) interpersonal
- Number
BAB III of full time treatment
employee 9) patient trust Clinical indicator
7) Organization design 10) comprehensiveness
8) Technical support
11) Physian involment 30
9) Quality structure
12) organisasi culture
10) Sumber daya keuangan 13) Pembagian tugas &
11) Pedoman kerja
wewenang
III. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Studi ini dirancang sebagai survey penelitian cross-sectional dengan menggunakan

sampel acak sederhana pada departemen/unit di RS. Validitas dan reabilitas dari model

pengukuran meggunakan analisis faktor (CFA). Model yang ditawarkan diuji dengan

menggunakan penyamaan model struktural (SEM).

3.2 Lokasi Penelitian

31
Penelitian akan dilakukan pada rumah sakit yang sudah mengimplementasikan

sistem manajemen mutu pada tingkat unit atau departemen. Jenis rumah sakit yang

dipilih berdasarkan kepemilikan adalah rumah sakit pemerintah pusat, rumah sakit

swasta dan rumah sakit pemerintah daerah di provinsi Yogyakarta.

3.3 Populasi dan Instrumen Penelitian

Populasi adalah kepala unit/departemen di Rumah sakit yang sudah

mengimplementasikan sistem manajemen mutu. Instrumen penelitian yag

digunakan adalah kuesioner tertutup dan terbuka serta pedoman wawancara untuk

mengexplorasi hasil penelitian.

3.4 Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan menyebarkan kuesioner tertutup dan terbuka

pada unit/departemen di RS yang sudah mengimplementasi sistem manajemen

mutu. Setelah analisis data berdasarkan kuesioner, dilakukan pula wawancara

mendalam kepada kepala unit/departemen.

3.5 Analisis Data

Data akan Validitas dan reabilitas dari model pengukuran meggunakan analisis

faktor (CFA). Model yang ditawarkan diuji dengan menggunakan penyamaan

model struktural (SEM). Deretan software statistik LISREL 8,72 (SSI,

Lincolnwood II).

32
33

You might also like