You are on page 1of 63

Berikut ini adalah versi HTML dari berkas

http://siteresources.worldbank.org/INTINDONESIA/Resources/226271-
1168333550999/PERGBAB6Manajemenkeuanganpublik.pdf.
G o o g l e membuat versi HTML dari dokumen tersebut secara otomatis pada saat menelusuri
web.
Page 1

6.
BAB 6
Manajemen Keuangan
Publik
Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007
Page 2

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
104
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Temuan Pokok
1. Penyusunan dan pelaksanaan anggaran
Indonesia telah melaksanakan inisiatif penting untuk meningkatkan transparansi dan kejelasan
dalam proses
anggaran. Tetapi sistem anggaran baru masih terus bergantung pada dokumen anggaran yang
terlalu rinci
dan berfokus pada sisi input yang memerlukan banyak waktu untuk mempersiapkan dan
membahasnya.
Sekarang DPR memiliki wewenang yang begitu besar dalam penentuan anggaran, tetapi interaksi
antara
pihak eksekutif dan legislatif terlalu berfokus pada hal-hal yang detail sehingga cenderung
mengorbankan
diskusi mengenai kebijakan.. Hal ini menyita waktu secara tidak proporsional.
Pelaksanaan anggaran, terutama untuk proyek-proyek pembangunan, umumnya berjalan lamban
dan sering
baru bisa direalisasi menjelang akhir tahun anggaran. Lambatnya pencairan anggaran ini
menunjukkan
adanya gejala hambatan struktural dalam siklus anggaran, termasuk ketentuan dokumentasi yang
terlalu rinci,
prosedur revisi anggaran yang sangat panjang dan rumit, revisi anggaran besar-besaran pada
pertengahan
tahun, dan proses pengadaan barang dan jasa yang lamban.
2. Pengadaan barang dan jasa
Walaupun kerangka kerja regulasi untuk pengadaan publik telah mengalami perbaikan,
kapasitas untuk
memenuhi persyaratan proses pengadaan tidak memadai, sehingga memperlambat pelaksanaan
proyek.
3. Audit
Jumlah pegawai dan sebaran geografis staf lembaga audit eksternal Badan Pemeriksa Keuangan
(BPK), dan
Badan Pengawas Keuangan Pembangunan (BPKP) tidak sejalan dengan mandat mereka
masing-masing.
Pejabat BPK bertanggung jawab terhadap pemeriksaan eksternal dari seluruh aparatur
pemerintah, tetapi
hanya memiliki setengah dari auditor bersertifikat yang dimiliki BPKP, yang saat ini perannya
lebih kecil dan
terbatas.
Sebagai akibat dari redefinisi peran BPK dan BPKP, semakin sering terjadi tumpang tindih dan
ketidakjelasan
mengenai fungsi tiga lembaga pemeriksaan internal, yang terdiri dari BPKP, Inspektur Jenderal
(Irjen) pada
setiap Departemen, dan badan pengawas daerah (Bawasda).
Rekomendasi Utama
Penyusunan dan pelaksanaan anggaran
Hanya setelah pengawasan purnawaktu (ex-post)menjadi semakin kuat, maka secara perlahan
gantikan
pengawasan berdasarkan line-item di anggaran, kurangi tingkat ke-detail-an dokumen anggaran,
dan di
saat yang sama sederhanakan proses pengeluaran dokumen anggaran.
Pembahasan dan persetujuan DPR terhadap anggaran seharusnya disesuaikan untuk lebih
berfokus pada
kebijakan dan prioritas.
Susun kerangka pengeluaran jangka menengah, berikan peluang untuk pengajuan anggaran
multi tahun
untuk kategori belanja modal, dan sederhanakan ketentuan mengenai luncuran anggaran pada
tahun
berikutnya. Langkah pertama bisa berupa otorisasi pengajuan anggaran untuk beberapa tahun,
terutama
untuk proyek-proyek infrastruktur yang besar.
Pengadaan barang dan jasa
Lembaga Pengembangan Kebijakan Pengadaan seharusnya diberikan kemandirian yang lebih
luas.
Indonesia membutuhkan strategi yang lebih komprehensif untuk melaksanakan sistem e-
procurement.
Kerangka Peraturan yang ada saat ini seharusnya diperkuat melalui pembentukan UU pengadaan
barang
dan jasa dan peningkatan kapasitas para pelaksana pengadaan.
Audit
Pengaturan kelembagaan untuk melakukan pemeriksaan internal dapat disederhanakan. Berbagai
lembaga
pemeriksa internal dapat dokonsolidasikan ke dalam satu lembaga pemeriksaan internal dengan
tugas dan
tanggung jawab yang jelas untuk bekerja sama dengan BPK,
Stafi dan infrastruktur di tingkat propinsi harus diseimbangkan lagi antara pemeriksaan internal
dan eksternal
untuk mencerminkan wewenang BPK yang baru.
Peran DPR harus diperjelas dalam rangka meminta pertanggungjawaban lembaga eksekutif
berdasarkan
temuan-temuan BPK.













Page 3

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
105
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Pengelolaan Keuangan Publik di Indonesia: Kemajuan dan Tantangan77
Dengan meningkatnya sumber-sumber keuangan negara, sistem pengelolaan keuangan
publik yang
baik menjadi jauh lebih penting dalam rangka menjamin mutu pengeluaran anggaran
serta mengurangi
risiko tindak korupsi. Dengan semakin besarnya jumlah sumber daya keuangan publik yang
akan dibelanjakan
pemerintah, tuntutan perencanaan, penganggaran, dan tata cara pelaksanaan anggaran juga akan
semakin besar.
Modernisasi sistem, proses, dan institusi dalam siklus anggaran diperlukan agar peningkatan
pengeluaran tersebut
mencapai sasaran prioritas program pembangunan pemerintah, seperti pengentasan kemiskinan
dan peningkatan
pertumbuhan ekonomi. Selanjutnya, pengelolaan keuangan publik yang bermutu dan yang
berorientasi pada
hasil diperlukan untuk mempertahankan dukungan publik terhadap peningkatan pengeluaran
dan penerimaan
pemerintah.
Indonesia telah mencapai kemajuan besar dalam membangun kerangka kerja
perundangan mengenai
pengelolaan keuangan publik dan meningkatkan transparansi. Penetapan UU tentang
Keuangan Negara, UU
Perbendaharaan Negara, UU tentang Audit Keuangan Negara dan UU tentang Perencanaan
Pembangunan Nasional
merupakan langkah-langkah penting yang membawa Indonesia menuju praktik-praktik
keuangan berstandar
internasional. Departemen Keuangan telah melaksanakan re-organisasi besar-besaran untuk
memperbaiki dan
meningkatkan fungsi-fungsi mereka. Semua UU tersebut sekarang sudah diterapkan, dan yang
paling jelas adalah
dalam membuat anggaran pemerintah pusat yang sesuai dengan standar klasifikasi keuangan
internasional (GFS),
pembentukanRekening Perbendaharaan Tunggal (Treasury Single Account/TSA), serta
penyatuan pos anggaran
pembangunan dan rutin yang sebelumnya terpisah. Walaupun akhir-akhir ini reformasi
pengelolaan keuangan
publik sudah menunjukkan kemajuan, kelemahan dalam kerangka kerja pengelolaan keuangan
publik masih terjadi
terutama dalam hal perencanaan dan anggaran, pelaksanaan anggaran, akuntansi dan pelaporan,
dan akuntabilitas
eksternal. Walaupun, kerangka umum hukum kini sudah tersedia, masih menghadapi berbagai
tantangan yang berat
dalam memantapkan reformasi tersebut melalui pelaksanaan yang benar dan dengan mengatur
kembali proses yang
mendasarinya.
Tabel 6.1 Kerangka hukum yang sedang berjalan
Bidang Reform
Status Pelaksanaan
• Perencanaan Anggaran
dan Keuangan Negara
• Peraturan pemerintah mengenai rencana kerja tahunan, rencana kerja departemen, rencana
tahunan
anggaran telah dikeluarkan, dengan memperkenalkan (i) anggaran berbasis kinerja dan output,
(ii) klasifikasi
GFS-, (iii) unifikasi anggaran dengan re-klasifikasi terhadap kategori anggaran.
• Peraturan pelaksanaan mengenai akuntansi berbasis akrual belum terlaksana.
• Sistem Perbendaharaan
• Kantor Akuntansi Regional (KAR) dan kantor verifikasi kabupaten/kota (Kasipa) kini sudah
disatukan ke dalam
Kanwil dan KPPN.
• Kantor pembayaran daerah (KPPN) akan memegang fungsi verifikasi internal.
• Rekening dengan Saldo Nihil (zero balance account) sedang diujicobakan pada 50 kantor
perbendaharaan
daerah (KPPN), tetapi sebagian besar pengeluaran masih dilaksanakan melalui berbagai
rekening
pemerintah.
• Regulasi mengenai manajemen kas belum tersedia.
• Audit
• Kehadiran dan kondisi staf BPK di daerah telah mengalami perkembangan yang bagus. Kini
BPK telah
memiliki kantor di 16 provinsi dengan pegawai berjumlah 3.500 orang.
• UU mengenai Audit Keuangan Negara memerlukan tujuh peraturan pelaksanaan, dan tidak
satu pun dari
peraturan ini yang telah dikeluarkan oleh pemerintah.
• UU No. 15/2006 tentang BPK yang dikeluarkan pada November 2006, tetapi peraturan
pelaksanaannya
masih tertunda.
Sumber: Bappenas.
77 Bab ini berfokus pada Pengelolaan Keuangan Publik pemerintah pusat. Untuk PKP di
daerah, lihat Bab 7.
Page 4

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
106
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Diagram 6.1 Kesenjangan antara anggaran dan realisasinya
-15.0
-10.0
-5.0
0.0
5.0
10.0
15.0
20.0
25.0
30.0
FY 01
FY 02
FY 03
FY 04
FY 05
Total Pengeluaran
Pengeluaran Pemerintah Pusat
Belanja Pegawai
Belanja Barang
Belanja Modal
Subsidi
Belanja Pembangunan
Transfer ke daerah
%
Sumber: DepKeu, Bank Dunia.
Catatan: Angka-angka dalam persen dari total pengeluaran sebelum revisi pertengahan tahun.,
Diagram 6.2 Pencairan Pengeluaran Non-Rutin
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Jan
Feb
Mar Apr May
Jun
Jul
Aug
Sep
Oct Nov Dec
Bulanan 06
Bulanan 05
Bulanan 01-04
Kumulatif 06
Kumulatif 05
Kumulatif 01-04
%
Sumber: DepKeu, Stafi Bank Dunia.
Catatan:Angka-angka dalam bentuk persen dari total anggaran tahunan. TA 01 -04 mengacu
pada pengeluaran pembangunan, TA 2005 dan 2006 mengacu pada pengeluaran modal dan
pengeluaran barang dan jasa
Sejauh ini, beberapa indikator
utama tentang kinerja anggaran
pemerintah belum mengalami
perbaikan, terutama mengenai
indikator realisasi anggaran. Realisasi
pengeluaran pemerintah pusat selalu
menyimpang dari rencana awal. Subsidi
dan transfer anggaran kepada
pemerintah daerah cenderung
diperkirakan terlalu rendah, yang
mengakibatkan terjadinya kelebihan
pengeluaran secara keseluruhan. Pada
saat yang sama, beberapa bagian dari
anggaran tersebut—terutama realisasi
pengeluaran
modal/pengeluaran
pembangunan—sering lebih rendah
daripada penentuan anggaran awal
(Diagram 6.1). Di samping itu, sekitar
50 persen dari total pengeluaran modal
baru bisa terealisir pada kuartal terakhir
tahun yang bersangkutan. Selama
kurun waktu lima tahun yang telah
lewat, pengeluaran dimulai secara perlahan dan semakin gencar menjelang akhir tahun
anggaran (Diagram 6.2). Pola
pengeluaran seperti ini menimbulkan keperihatinan sebab hal ini menghambat pelaksanaan
proyek. Akibat lain dari
hal ini adalah pelaksanaan proyek dimulai agak terlambat, dan untuk proyek-proyek yang
memerlukan penyelesaian
selama beberapa tahun, pelaksanaan proyek selalu terhenti di awal tahun.
Pencairan yang lamban dan cenderung menumpuk dibelakang, merupakan gejala dari
tantangan yang lebih
berat yang harus dihadapi pada setiap tahapan siklus manajemen keuangan publik. Ada
tiga alasan pokok
yang dapat menjelaskan kesulitan dalam pelaksanaan anggaran yang efisien: (i) lemahnya
penyiapan anggaran; (ii)
pelaksanaan anggaran yang kaku; dan (iii) hambatan implementasi.
Pertama, lemahnya penyiapan anggaran, terutama taksiran yang jauh lebih rendah dari
harga minyak, telah
menyebabkan revisi anggaran besar-besaran pada pertengahan tahun (dikeluarkan pada
bulan Agustus).
Sejak tahun 2001, revisi pertengahan tahun mencapai rata-rata sebanyak 13 persen dari total
anggaran. Revisi yang
Page 5

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
107
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
begitu besar telah mengurangi kredibilitas anggaran yang telah disetujui dan mempersulit
pelaksanaannya, karena
hanya ada sisa waktu selama empat bulan untuk melaksanakan hasil revisi yang begitu besar dan
seringkali berupa
peningkatan anggaran yang cukup besar (lihat Kotak 6.1). Hal ini membaik secara substansial di
tahun 2006 dalam
arti revisi pertengahan tahun hanya sedikit saja karena asumí harga minyak telah disesuaikan
pada waktu penyiapan
anggaran.
Kotak 6.1 Estimasi yangterlalu rendah terhadap harga minyak
Dari tahun 2003 sampai 2005, Indonesia mencantumkan anggaran penerimaan agregat dan
pengeluaran subsidi BBM secara
lebih rendah karena menentukan asumsi harga minyak yang lebih rendah. Harga minyak
merupakan parameter yang sangat
penting dalam penentuan anggaran sebab 28 persen dari pendapatan langsung berasal dari
minyak dan gas (Pertamina)
atau secara tidak langsung melalui pajak atas produk-produk migas. Pada tahun-tahun
belakangan ini rata-rata harga minyak
50 persen lebih tinggi daripada yang diproyeksikan pada awal penentuan anggaran (lihat Tabel di
bawah ini). Asumsi harga
minyak memiliki dampak langsung terhadap tingkat alokasi anggaran kepada pemerintah daerah
sebab dana DAU ditentukan
sebesar 26 persen dari penerimaan pemerintah. Dengan adanya revisi kenaikan anggaran pada
tahun 2005, DAU sebenarnya
hanya berjumlah 19 persen dari total anggaran. Pada 2006, anggaran menggunakan asumsi harga
minyak yang lebih tinggi—
dan lebih realistis, yang menyebabkan kenaikan transfer dana DAU sebesar 65 persen.79
Anggaran vs. realisasinya
Harga Minyak
Total Pengeluaran
Anggaran
(AS$/barel)
Realisasi
(AS$/barel)
Selisih (%)
Anggaran
(Rp triliun)
Realisasi
(Rp triliun)
Selisih (%)
2001
24
24.6
2.5
341,562.6
295,113.5
15.74
2002
22
23.5
6.8
315,529.2
344,008.9
-8.28
2003
22
28.8
30.9
376,505.2
370,591.6
1.60
2004
22
37.2
69.1
423,974.9
374,351.2
13.26
2005
24
51.8
115.8
508,938.0
397,769.5
27.95
Sumber: DepKeu
Kedua, pemerintah masih menerapkan proses pelaksanaan anggaran yang cenderung
kaku. Kontrol yang
rinci terhadap input bertujuan untuk menjamin komposisi anggaran agar sesuai dengan
prioritas politik dan
anggaran tersebut tidak akan diubah selama pelaksanaannya. Dokumen pengeluaran
(DIPA), walaupun sekarang
ini telah dikeluarkan pada permulaan tahun anggaran didasarkan pada anggaran per pos (line
item) sehingga kurang
fleksibel untuk melakukan penyesuaian dalam komposisi input yang diperlukan untuk
melaksanakan suatu kegiatan.
Re-alokasi anggaran antar DIPA dari program-program yang tertunda kepada program yang
berjalan lebih baik yang
dapat mendorong pelaksanaan anggaran yang memuaskan secara keseluruhan memerlukan
proses revisi yang
panjang yang melibatkan anggota DPR. Dengan memberikan fleksibilitas yang lebih besar dalam
proses pelaksanaan
anggaran untuk mempercepat realisasi pengeluaran anggaran akan memerlukan
dicantumkannya tujuan dan target
kinerja yang kredibel dan menerapkan langkah-langkah pengamanan, termasuk kemampuan
untuk melakukan
pemantauan dan pelaporan yang cukup dengan tujuan untuk mengurangi risiko
ketidakkonsistenan dengan tujuan
awal program dan pemanfaatan dana yang tidak sebagaimana mestinya.
Ketiga, pencairan anggaran yang berjalan lamban sangat terkait dengan isu-isu lanjutan
yang berhubungan
dengan kapasitas kelembagaan. khususnya, kapasitas untuk menyelesaikan proses pengadaan
tepat waktu
dengan prosedur sesuai dengan ketentuan pengadaan yang semakin ketat
Penyiapan dan Persetujuan Anggaran
Mengingat masalah yang ada dalam melakukan estimasi penerimaan dan dalam
menentukan target
anggaran yang realistis, perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan keseluruhan mutu
penyiapan
anggaran. Peningkatan mutu anggaran dapat dilaksanakan dengan memperbaiki mutu perkiraan
makro-ekonomi
dan penyusunan model, dan meningkatkan kemampuan estimasi penerimaan. Di samping itu,
mutu penyusunan
78 Lihat Bab 7 untuk analisis lebih rinci mengenai pengalihan dana ke daerah pada 2006.
Page 6

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
108
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
anggaran pengeluaran perlu diperhatikan secara terpisah. Inisiatif ini berkaitan baik dengan
upaya untuk melakukan
peningkatan kapasitas kelembagaan dan perubahan dalam proses penyiapan anggaran.
Tanggung jawab untuk membuat perencanaan dan menyusun anggaran dibagi antara
Bappenas, Departemen
Keuangan dan departemen teknis. Pembagian tugas antara Bappenas, Departemen Keuangan
(Ditjen Anggaran
dan Ditjen Perbendaharaan) dan jajaran departemen yang lain dirancang untuk mencapai (i)
Penyiapan anggaran
berbasis kebijakan, dan (ii) penerapan pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up) (Diagram 6.3).
Setiap departemen
dan lembaga menyiapkan rencana kerja masing-masing (Renja-KL) dengan merujuk rencana
kerja pemerintah
secara keseluruhan (RKP) dan pagu anggaran indikatif. Setelah melalui pembahasan dengan
DPR, departemen teknis
selanjutnya menyiapkan rencana kerja dan rencana anggaran mereka (RKA-KL) berdasarkan
revisi pagu dari Ditjen
Anggaran, Dokumen pengeluaran (DIPA) disiapkan oleh departemen dan selanjutnya
diserahkan kepada Ditjen
Perbendaharaan untuk memperoleh persetujuan. Pada saat yang sama, Ditjen Anggaran akan
memeriksa kesesuaian
antara DIPA dan RKA-KL. Hal ini lalu diikuti oleh pelaksanaan anggaran, yang melibatkan
departemen dan Ditjen
Perbendaharaan.
Diagram 6.3 Siapa yang bertanggung jawab? Tanggung jawab dalam siklus manajemen
pengeluaran
publik
Bappenas
Jajaran
Kementerian
DepKeu,
Ditjen Anggaran
DepKeu, Ditjen
Perbendaharaan
Kabinet/
Presiden
DPR
Annual Work Plans
with indicative Budget
Ceilings
(RenjaKL Ministerial
Regulation)
Ensure Consistency
with Government
Work Plan
Ensure
Consistency with
Budget Priorities
Temporary Budget
Ceilings
Draft Presidential
Decree on Budget
Enactment
Presidential
Decree on Budget
Enactment
Draf t
Spending Warrants
(DIPA)
Issuance
Spending Warrants
(DIPA)
Review and
Adjusment of
Spending
Warrants
Fiscal Policy Statement
Deliberation of
Government
Workplan and Fiscal
Policy Framework
Deliberation of
Workplan and
Budget
Deliberation and
Approval of Budget
Law
Budget Law
(UU APBN)
General Policy and
Budget Priorities
Annual
workplan and
Budget
(RKA-KL)
Annual Workplans
and Budgets (Annex
to Budget Law)
Draft Budget Law)
(RAPBN)
Annual Government
Work Plan
(RKP Government
Regulation)
lir
p
A-
yr
a
u
n
aJ
g
ni
n
n
al
P
<
r
e
b
m
e
v
o
N-
y
a
M
n
oit
ar
a
p
er
P
t
e
g
d
u
B
<
r
e
b
m
e
c
e
D
n
oit
u
c
ex
E
t
e
g
d
u
B
Sumber: Bappenas, staf Bank Dunia, PP No. 21 tentang RKA-KL.
Integrasi perencanaan dan penganggaran lebih lanjut dapat merupakan bagian dari
langkah menuju
penganggaran berbasis kinerja. Anggaran diharapkan didasarkan pada kebijakan yang ada dan
disusun dengan
prinsip dari bawah ke atas. Sejauh ini, proses ini baru diatas kertas dengan dampak yang terbatas
terhadap keputusan
mengenai alokasi anggaran.
Page 7

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
109
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Indonesia bergerak dengan lambat menuju penentuan anggaran berbasis kinerja. Rencana
pembangunan
jangka menengah (RPJM) yang ada sekarang memuat 32 bidang prioritas, sekitar 250 program,
dan 1.300 kegiatan
untuk menangani prioritas-prioritas ini. Baik UU No. 17/2003 maupun UU No. 25/2004 telah
secara formal memperkuat
hubungan antara perencanaan dan penentuan anggaran. Program yang diuraikan di dalam RPJM,
rencana kerja
tahunan pemerintah (RKP), dan rencana kerja departemen (Renja-KL) secara formal dijadikan
pedoman oleh jajaran
departemen dalam menyusun rencana anggaran.
Akan tetapi, pada kenyataannya proses pengambilan keputusan pada jajaran departemen,
Ditjen Anggaran,
Bappenas, dan DPR masih lebih didorong oleh fokus terhadap komposisi input anggaran
daripada kesesuaian
program pengeluaran dengan prioritas dan tujuan politik. Alokasi dan pelaksanaan
anggaran masih didasarkan
pada input (line item) yang terperinci yang membatasi fleksibilitas pengeluaran dalam satu
program dan melemahkan
manfaat dari penyusunan anggaran berbasis kinerja. Sejalan dengan hal itu, hanya ada sedikit
kemajuan yang telah
diperoleh dalam rangka mengembangkan anggaran yang berorientasi pada kinerja, apalagi
pengembangan budaya
kerja yang berorientasi pada kinerja. Proses pelaksanaan akan memakan waktu yang cukup lama
dan belum ada
strategi yang jelas untuk merealisasikannya. Apalagi, pada tahun anggaran sebelum-sebelumnya,
bagian anggaran
yang berjumlah besar seperti subsidi tidak dimasukkan dalam proses perencanaan dan
penganggaran. Pada proses
penyusunan anggaran untuk tahun anggaran 2008 pemerintah telah bergerak ke arah cakupan
proses anggaran
yang lebih komprehensif.
Siklus penyusunan anggaran sekarang yang secara ketat bersifat tahunan tidak mampu
memenuhi kebutuhan
investasi publik jangka menengah. Untuk mengatasi tantangan ini, pada tahun 2008 Indonesia
merencanakan
melaksanakan Kerangka Kerja Pengeluaran Jangka Menengah (MTEF). Regulasi dalam UU
tentang Keuangan Negara
menyediakan pagu indikatif anggaran yang dikeluarkan untuk waktu dua tahun mendatang. Akan
tetapi, pada
anggaran 2006 dan 2007 pagu anggaran sementara telah dikeluarkan hanya untuk satu tahun
anggaran kedepan.
DPR memiliki wewenang yang sangat kuat dalam proses pembahasan besaran yang
dirancang dalam
persetujuan anggaran tahunan. Anggaran yang sekarang berbasis input, rinci dan memiliki
peran yang penting
dalam focus yang kuat terhadap pengawasan dimuka (ex-ante). Sejalan dengan hal itu,
pembahasan di tubuh DPR
cenderung berfokus pada pos-pos anggaran (line item) dan diskusi mengenai hal-hal yang sangat
rinci dan bukan
pada alokasi anggaran secara keseluruhan, prioritas politik, dan pencapaian hasil. Kenyataannya,
setiap pos dalam
anggaran harus disetujui atau ditolak oleh DPR. Di samping itu, DPR juga memiliki wewenang
untuk mengubah
perkiraan pendapatan dan asumsi makroekonomi yang dijadikan dasar penyusunan anggaran.
Page 8

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
110
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Kotak 6.2 Keterlibatan DPR dalam proses penganggaran
DPR berperan aktif pada keseluruhan siklus anggaran. UU No. 25/2004 tentang Sistem
Perencanaan Pembangunan Nasional
Pasal 25 dan UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara Pasal 12 menyatakan bahwa penyiapan
anggaran seharusnya
berdasarkan rencana kerja pemerintah (RKP). RKP bersama-sama dengan pernyataan kebijakan
fiskal dan kerangka kerja
makroekonomi diserahkan kepada DPR pada bulan Mei tahun sebelumnya untuk dilakukan
pembahasan (UU No. 17/2003
Pasal 13). Kesepakatan pembahasan yang berhasil dicapai akan menjadi rujukan bagi
Departemen dan lembaga pemerintah
untuk menyiapkan usulan anggaran (RKA-KL). Kementerian dana lembaga lalu mengirimkan
RKA-KL kepada Komisi di DPR
yang menjadi rekan kerja pada pertengahan bulan Juni untuk pembahasan awal. Hasil
pembahasan awal ini lalu dikirimkan
kepada DepKeu pada pertengahan bulan Juli sebagai Rujukan untuk menyusun anggaran tahun
berikutnya (UU No. 17/2003
Pasal 14). Pemerintah lalu menyerahkan Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(R-APBN) kepada DPR pada
bulan Agustus tahun sebelumnya untuk dibahas (UU No. 17/2003 Pasal 15).
Pembahasan dilakukan sebagai berikut:
Sidang Pleno: DPR menyampaikan pandangan umum terhadap usulan pemerintah dan
pemerintah menyampaikan
Tanggapan atas pandangan umum tersebut.
Dengar pendapat dengan Komisi Anggaran: Pembahasan berfokus pada asumsi makroekonomi,
pendapatan
pemerintah, prioritas pengeluaran, dan pendanaan atas defisit anggaran.
Pembahasan dengan Komisi-Komisi Sektoral: Pembahasan berfokus pada RKA-KL.
Keputusan mengenai UU Rencana Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (R-APBN) harus
diambil paling sedikit dua bulan
sebelum dimulainya periode anggaran, yaitu bulan Oktober tahun sebelumnya (UU No. 17 Pasal
15). DPR lalu memberikan
persetujuan rincian anggaran berdasarkan unit organisasi, jenis pengeluaran, fungsi
pengeluaran, program dan kegiatan (UU
No. 17 Pasal 15). Sebagai tindak lanjut dari penetapan anggaran, Presiden lalu mengeluarkan
Peraturan Presiden (Perpres)
tentang rincian anggaran pada bulan November. Berdasarkan keputusan ini, kementerian dan
lembaga lalu melakukan revisi
terhadap RKA-KL dan menyiapkan dokumen pelaksanaan anggaran (DIPA) pada bulan
Desember.



Sistem anggaran Indonesia menghadapi kesulitan jika diperlukan adanya fleksibilitas.
Akhir-akhir ini Indonesia
menghadapi berbagai bencana alam berskala besar. Peristiwa itu menimbulkan tuntutan yang
tinggi terhadap
sistem pengelolaan keuangan publik: bencana alam menuntut pemerintah untuk memberikan
tanggapan cepat,
dan biasanya memerlukan realokasi dan mobilisasi sumber daya dalam skala besar untuk tahun
yang bersangkutan.
Secara umum, Indonesia memiliki sistem penganggaran yang tidak fleksibe berkaitan dengan
realokasi anggaran
untuk tahun yang sedang berjalan. Lembaga pemerintah menerima anggaran terpisah untuk
pembayaran gaji dan
pengeluaran operasional lainnya. Hanya dengan persetujuan DPR dana tersebut dapat
disalurkan untuk maksud yang
berbeda atau antar pengeluaran operasional, investasi, dan program. Seperti yang terjadi di
sebagian besar negara
lain, Indonesia hanya memiliki dana cadangan yang sangat kecil di tingkat pusat untuk
memenuhi pengeluaran
umum yang tidak terduga (Untuk kajian tentang kinerja pengeluaran publik Indonesia setelah
bencana tsunami pada
bulan Desember 2004 dibandingkan dengan negara lain, lihat makalah yang akan datang Fengler
et.al, 2007 ).
Pelaksanaan Anggaran
Pada tahun 2005, pola pencairan anggaran yang menumpuk pada akhir tahun lebih
terlihat daripada
biasanya dan kemajuan yang diperoleh pada tahun 2006 mengenai hal ini masih
mengecewakan. Pada
akhir tahun 2005, pemerintah hanya menggunakan 68 persen dari belanja modal dan 72 persen
dari belanja barang
dibandingkan dengan jumlah anggaran yang telah disetujui. Lima puluh empat persen dari total
belanja modal
baru bisa dikeluarkan pada bulan Desember. Walaupun sedikit mengalami perbaikan daripada
2005, catatan realisasi
anggaran pada tahun anggaran 2006 masih memperihatinkan. Sementara agregat realisasi belanja
pemerintah untuk
bulan September 2006 telah mencapai 62 persen dari anggaran yang terutama disebabkan oleh
realisasi anggaran
rutin yang tepat waktu seperti gaji pegawai, komponen pengeluaran pemerintah pusat yang
bersifat variabel masih
sangat dipengaruhi oleh penundaan pengeluaran. Sampai September 2006 hanya 41 persen dari
target belanja
modal dan 40 persen dari anggaran untuk pengadaan barang dan jasa yang bisa direalisasikan.
Kakunya kerangka kerja pelaksanaan anggaran yang ada sekarang merupakan salah satu
faktor penyebab
menumpuknya anggaran pada akhir tahun. Sebagai akibat dari upaya pemerintah untuk
melakukan akselerasi
pengeluaran dalam kuartal pertama pada tahun anggaran yang sedang berjalan, dokumen
pengeluaran anggaran
(DIPA) untuk 2006 dikeluarkan pada awal tahun anggaran. DIPA harus mencantumkan
Pimpinan Proyek, Bendahara,
dan Staf Bagian Pengadaan yang bertanggung jawab terhadap proyek tersebut. Walaupun
sebagian besar DIPA
Page 9

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
111
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
dikeluarkan pada bulan Januari 2006, sebagian besar staf proyek belum ditunjuk oleh instansi
pelaksana proyek.79
Seleksi staf terjadi pada kuartal pertama dari tahun anggaran, yang mungkin menyebabkan
penundaan pelaksanaan
proyek. Dilaporkan, sejumlah DIPA dikeluarkan walaupun tidak lengkap, tetapi pencairan
dananya diblokir.
Masalah ini diperbesar oleh fakta bahwa alokasi dan DIPA hanya dilakukan untuk satu
tahun. Kerangka
peraturan mengenai penganggaran memungkinkan adanya luncuran anggaran pada tahun
berikutnya, tetapi hal itu
hanya berkaitan dengan alokasi anggaran dalam satu tahun. Dengan demikian, anggaran untuk
pelaksanaan proyek
yang memerlukan waktu beberapa tahun mengalami banyak kendala. Anggaran dalam satu tahun
telah menumpuk
di akhir tahun, pelaksanaan proyek tertunda pada setiap tahun anggaran dan, dalam beberapa
kasus, pendanaan
untuk proyek terhenti sama sekali untuk beberapa tahun walaupun kemudian muncul lagi untuk
dilanjutkan(Diagram
6.4).80
Diagram 6.4 Profil skema pencairan proyek
Tahun 1
Tahun 2
Tahun 3
Tahun 4
Tahun 5
Waktu
Pencairan Dana
Sumber: Staf Bank Dunia.
Pendekatan tunda lalu jalan (stop-and-go) tentang penentuan anggaran ini telah
menyebabkan timbulnya
inefisiensi yang sangat besar dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek. Fasilitas
penganggaran untuk
beberapa tahun perlu dirancang dengan memperhitungkan berbagai isu kepemerintahan dalam
konteks kelembagaan
di Indonesia. Pendekatan yang dapat dilakukan dengan hati-hati adalah dengan menganggarkan
biaya proyek multi
tahun di satu tahun anggaran dengan uang dialokasikan pada rekening khusus dengan hak
pencairan yang hanya
dimiliki oleh organisasi pelaksana proyek.
Alokasi anggaran seharusnya disesuaikan dengan kapasitas penyerapan. Pada tahun-
tahun terakhir ini,
anggaran untuk hampir seluruh lembaga pelaksana anggaran telah meningkat cukup
besar. Akan tetapi,
daya serap lembaga tersebut kini mendapat tekanan. Hubungan yang lemah antara perencanaan
dan penentuan
anggaran sebagian merupakan penyebab dari hal tersebut. Baik rencana kerja pemerintah (RKP)
maupun rencana
anggaran kementerian dan lembaga (RKA-KL) tidak memperhitungkan perencanaan proyek dan
pengadaan.
Akibatnya, jumlah anggaran untuk belanja modal dari program tersebut cenderung menjadi lebih
tinggi daripada
kapasitas penyerapan dari lembaga yang akan menggunakan anggaran tersebut. Penganggaran
yang melebihi
kapasitas penyerapan akan menimbulkan tekanan kuat untuk menggunakan anggaran melebihi
kapasitas, terutama
dalam sistem anggaran tahunan yang ketat dengan mengorbankan mutu pengeluaran tersebut.
Perencanaan dan
penganggaran harus bersifat pragmatis dan mempertimbangkan secara matang kapasitas
penyerapan lembaga
yang akan menggunakan anggaran tersebut.
Pengembangan kapasitas penyerapan lembaga dan keterampilan staf sangat diperlukan.
Mengingat bahwa
hampir 30 persen dari anggaran dialokasikan untuk proyek (belanja modal dan barang),
seharusnya lebih banyak
yang harus dikerjakan untuk mengembangkan kapasitas penyerapan kementerian dan lembaga.
Keterampilan
perencanaan dan pengadaan perlu didorong dan Lembaga Administrasi Negara (LAN) dapat
ditugaskan untuk
memberikan layanan tersebut. LAN dapat merekrut para pelatih tambahan yang berasal dari
jajaran kementerian. Jika
dipandang perlu, departemen pengguna anggaran seharusnya juga diizinkan untuk merekrut dan
melatih staf demi
kepentingan pelaksanaan proyek-proyek tersebut.
79 Format DIPA baru diperkenalkan pada 2005. Pada tahun sebelumnya, pemerintah
mengeluarkan DIP hanya untuk pengeluaran pembangunan.
Secara historis, dokumen anggaran baru bisa dikeluarkan pada kuartal pertama atau kedua pada
tahun anggaran, dalam beberapa hal, bahkan bisa
pada kuartal berikutnya. Format DIP yang digunakan sebelumnya juga mencantumkan tim
pelaksanaan proyek.
80 Dapat dikatakan bahwa masalah ini merupakan masalah besar karena kegiatan ekonomi,
seperti pembangunan jalan atau gedung sekolah,
akan dapat didistribusikan lebih merata lagi pada setiap tahun anggaran. Sehingga, pembayaran
untuk setiap kontrak sering dilaksanakan setelah
pekerjaan selesai yang didasarkan pada tingkat penyelesaian pekerjaan. Sehingga,pelaksanaan
proyek bermasalah dan kegiatan ekonomi menjadi
tidak seimbang.
Page 10

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
112
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Sistem manajemen kas yang terpecah-pecah merusak transparansi dan akuntabilitas
pelaksanaan anggaran.
Pelaksanaan rekening perbendaharaan tunggal (TSA) dari sudut pandang UU No. 1/2004 tentang
perbendaharaan
negara masih terus berjalan. Pengaturan saldo nihil dengan bank-bank komersil telah berhasil
diujicobakan pada 50
kantor perbendaharaan daerah terpilih (KPPN) dan pelaksanaan lebih lanjut sedang diuji pada
178 kantor KPPN akan
mampu melakukan konsolidasi terhadap lebih dari 1.000 jenis rekening perbendaharaan pada
satu TSA. Sementara
itu, sebagian besar anggaran masih dilaksanakan melalui rekening bank pada bank komersial
yang dipegang oleh unit
pengeluaran dan pejabat pemerintah. Menurut laporan hasil pemeriksaan yang dilakukan oleh
BPK tahun 2005, ini
termasuk Rp 8,5 triliun yang disimpan dalam sekitar 1.300 rekening giro dan deposito yang tidak
tercatat dalam sistem
perbendaharaan negara. Dana yang tersimpan di luar buku (off books) ini tidak saja
menyebabkan distorsi terhadap
neraca konsolidasi kas pemerintah, tetapi juga sangat rentan terhadap penggelapan dan tindakan
korupsi. Pelaksanaan
peraturan pemerintah mengenai pengelolaan kas akan memperluas kewenangan Menteri
Keuangan untuk menutup
rekening bank tidak terotorisasi semacam itu dan akan menyediakan perangkat hukum untuk
melaksanakan sensus
terhadap seluruh rekening pemerintah pada tahun 2007.
Pengadaan
Kerangka hukum dan perundang-undangan tentang pengadaan barang dan jasa untuk
kepentingan publik
telah mengalami kemajuan cukup pesat dengan dikeluarkannya Keputusan Presiden
(Keppres) No. 80/2003.
Keppres ini mendorong penerapan prinsip-prinsip dasar dalam proses pengadaan barang dan jasa
yang transparan,
terbuka, adil, kompetitif, ekonomis, dan efisien. Dengan kata lain, hal ini memenuhi sebagian
besar kelaziman yang
berlaku secara internasional, dan mengatasi berbagai kekurangan yang sangat serius yang terjadi
pada sistem yang
diberlakukan sebelumnya.
Akan tetapi, pengadaan publik masih membingungkan akibat instrumen hukum yang
berlapis-lapis di setiap
tingkat pemerintahan. Pelaksanaan sistem desentralisasi memungkinkan pemerintah daerah
untuk melakukan
pengaturan tersendiri untuk melakukan pengadaan publik. Departemen dan BUMN dapat juga
mengeluarkan
peraturan mengenai pengadaan publik. Dampak dari instrumen yang berbeda-beda terhadap
pengadaan publik
belum terdokumentasikan. Akan tetapi, mungkin terjadi hal-hal yang tidak konsisten dalam
aplikasinya akibat terjadi
kesalahpahaman dan/atau perbedaan penafsiran terhadap berbagai peraturan.
Page 11

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
113
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Kotak 6.3 Sistem Indikator Baseline (BIS) Internasional untuk pengadaan
Sistem Indikator Baseline Internasional (BIS) untuk pengadaan merupakan metodologi, yang
dikembangkan bersama
antara OECD dan Bank Dunia, untuk melakukan analisis kuantitatif dan kualitatif atas sistem
pengadaan publik. Penilaian
itu berdasarkan 12 indikator dasar, yang dibagi menjadi empat kelompok yang disebut pilar: (i)
peraturan dan perundang-
undangan, (ii) kelembagaan dan kapasitas pengelolaan, (iii) operasional pengadaan dan praktik
pasar, dan (iv) integritas sistem
pengadaan publik. Dengan menggunakan BIS, penilaian terhadap sistem pengadaan publik di
Indonesia telah dilaksanakan
pada tahun 2001. Hasil analisis ini tampak seperti diagram di bawah ini. Penilaian ini akan
disempurnakan lagi pada Laporan
Penilaian Pengadaan (CPAR) tahun anggaran 2007 dengan menggunakan versi 4 dari indikator
ini, sebagai tambahan dari
indicator kepatuhan/kinerja yang mengukur kinerja sesungguhnya dari sistem ini.
Tingkat pencapaian menggunakan pilar BIS
0
25
50
75
100
Kerangka kerja Legislatif
Kerangka kerja Institusional
Operasional Proc dan
Kinerja Pasar
Integritas dan
Transparansi
Indonesia
Tingkat Kepuasan
Skor menunjukkan persentasi terhadap elemen baseline yang menunjukan “standar praktek yang
baik” yang diinginkan
yang mampu dipenuhi oleh negara tertentu. Tingkat baseline untuk kinerja yang memuaskan
berada pada angka 50 persen
pada setiap indikator. Walaupun umunya memiliki nilai dibawah tingkat baseline, Indonesia
memiliki skor lebih baik dalam
hal indikator peraturan dan perundang-undangan serta integritas tetapi kurang baik untuk kinerja
pasar dan kerangka
kelembagaan.
Sumber: Metodologi OECD 2006 untuk melakukan penilaian terhadap sistem pengadaan
nasional.
Regulasi pengadaan publik melalui keputusan Presiden tidak berada pada tingkat hukum
yang cukup tinggi.
Masalah utamanya adalah bahwa dalam lingkungan desentralisasi, regulasi pengadaan publik
melalui keputusan
presiden tidak menetapkan prinsip-prinsip dasar dan kebijakan yang mengatur pengadaan publik
pada tingkat
perundang-perundangan yang cukup tinggi. Inilah yang menyebabkan mengapa ada kebutuhan
terhadap UU
pengadaan yang memperhatikan baik kelaziman yang berlaku secara internasional maupun
kepentingan spesifik
Indonesia. Bappenas, melalui Lembaga Kebijakan Pengadaan Nasional (LKPN) sedang dalam
proses penyiapan
rancangan UU tentang pengadaan. Pengesahan UU yang baru tentang pengadaan ini akan
memperkuat kerangka
perundang-undangan dan mampu menyiapkan instrumen hukum dengan jangkauan yang cukup
panjang.
Secara historis, tidak ada satu lembaga atau pejabat pemerintah pusat yang berwenang
untuk meletakkan
kebijakan yang sama dan konsisten mengenai hal ini, serta memastikan adanya sanksi dan
mekanisme
penegakan yang harus jelas. Keppres No. 80/2003 membutuhkan pembentukan Lembaga
Kebijakan Pengadaan
Nasional (LKPN). Tugas persiapan LKPN telah rampung dan pengaturan interim sudah
dilaksanakan untuk pembentukan
LKPN di dalam Bappenas yang bertujuan untuk memperkuat lembaga baru ini dan secara
perlahan akan menjadi
badan yang mandiri.
Ada kebutuhan untuk membentuk LKPN sebagai lembaga independen dan berdayaguna
dengan
kelengkapan sumber daya yang memadai. Sementara LKPN yang ada dalam Bappenas
memegang tanggung
jawab utama dalam hal kebijakan pengadaan, situasi kelembagaan yang ada sekarang tidak
menyediakan fungsi
untuk memberikan nasihat kepada lembaga yang melakukan pengadaan, mengumpulkan data
kinerja pengadaan,
membina komunitas pengadaan di antara pejabat publik, atau menentukan sistem layanan
terhadap keluhan dan,
yang paling penting, pengembangan secara berkelanjutan tentang sistem pengadaan publik.
Page 12

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
114
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Pelaksanaan pelatihan tingkat dasar dan ujian untuk mendapatkan sertifikat bagi praktisi
pengadaan
merupakan insiatif yang penting.Keahlian pengadaan hanya terbatas pada sekelompok kecil
individu dalam jajaran
departemen tertentu. Tidak ada kader praktisi pengadaan, dan tidak ada jalur karir atau sistem
insentif yang jelas baik
untuk manajemen proyek maupun manajemen pengadaan, Pimpro dan panitia tender kembali
menduduki posisi
mereka sebelumnya setelah proyek selesai dilaksanakan. Hal ini telah menimbulkan fragmentasi
dalam menghimpun
pengalaman pengadaan di kalangan PNS. Keppres No. 80/2003 telah menentukan bahwa bulan
Januari 2005 sebagai
tenggat waktu untuk melakukan sertifikasi anggota panitia tender dalam hal pengadaan untuk
keperluan pokok.
Tanggal ini telah diubah dua kali dan kini menjadi Januari 2008.
Sertifikasi praktisi pengadaan tingkat menengah dan tinggi akan diperkenalkan di masa
yang akan datang
tetapi tanggal spesifik masih belum ada. Persentase PNS yang telah lulus ujian sertifikasi
tingkat dasar pada akhir
tahun 2006 jumlahnya kurang dari 12 persen dari 168.000 orang PNS yang telah mengikuti ujian.
Usulan sertifikasi bagi
praktisi pengadaan merupakan langkah awal untuk menuju ke arah yang benar tetapi ada begitu
banyak permintaan
yang masih harus dipenuhi. Pemerintah seharusnya mempertimbangkan tambahan imbalan
setelah mereka berhasil
memperoleh sertifikat atas tanggung jawab yang lebih besar serta mendorong para praktisi untuk
meniti karir lewat
kemampuan mereka.
Regulasi sebelumnya memiliki dampak membatasi persaingan dan membagi pasar dalam
negeri, dengan
memberi jaminan bahwa UKM dapat diberikan kontrak kerja pada yurisdiksi pemerintah
daerah tempat
mereka berdomilisi. Keberhasilan membuka pasar berdasarkan Keppres No. 80/2003 masih
harus diteliti mengingat
adanya lingkungan desentralisasi yang masih baru dan kemungkinan praktik-praktik yang
dilakukan di tingkat provinsi
dan instrumen hukum yang berdampak terhadap partisipasi di tingkat daerah. Akan tetapi,
ketidakhadiran UU
pengadaan dengan jangkauan yang luas pada dasarnya mengurangi efektifitas penghentian
praktik-praktik semacam
itu. Penyusunan dokumen standard lelang merupakan langkah maju yang cukup besar untuk
menjamin konsistensi
instrumen ini di setiap lembaga dan pemerintah tingkat daerah. Penyusunan dokumen semacam
ini sedang dalam
proses dan diharapkan dapat diujicobakan pada tahun 2007.
Isu pokok yang dihadapi dalam pengadaan publik dalam rangka pelaksanaan reformasi
pengadaan di
Indonesia adalah transparansi dan korupsi. Salah satu inisiatif penting untuk memperluas
transparansi dan akses
terhadap peluang mengikuti tender adalah melalui e-procurement. Draft UU yang sedang
disiapkan menyediakan
kerangka hukum secara keseluruhan mengenai otorisasi dan pemanfaatan tanda tangan
elektronik. Langkah
penting berikutnya untuk pembentukan LKPN adalah mengembangkan sebuah rencana induk
untuk melaksanakan
sistem pengadaan elektronik yang akan menentukan protokol umum yang harus dilaksanakan di
seluruh Indonesia,
mengembangkan sistem pengadaan elektronik yang kokoh, dan melaksanakan draft keputusan
presiden.
Dirasakan ada kebutuhan untuk memperkuat pengawasan internal terutama kapasitas
penegakan
aturan dalam lembaga pemerintahan, termasuk pelaksanaan sanksi yang ketat dan tegas
jika terjadi
penyalahgunaan dan kinerja yang tidak baik. Sementara Keppres No. 80/2003
memungkinkan untuk mengikuti
prosedur penyampaian keluhan, hal itu diarahkan melalui lembaga pemakai (pembeli) dan tidak
bersifat independen.
Selain itu, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Komisi Pengawasan Persaingan Usaha
(KPPU) memegang peran
penting terkait dengan penanganan keluhan terhadap isu korupsi yang menjadi tugas KPK dan
persaingan yang
tidak adil yang menjadi wewenang KPPU. Pengaturan ini menimbulkan isu mengenai reliabilitas
dan efisiensi sistem
penyampaian keluhan. Dalam hal mekanisme sanksi, ada ketentuan mengenai anti-korupsi di
dalam Keppres No.
80/2003. Akan tetapi, sepanjang kapasitas itu terus-menerus pada posisi yang lemah, gaji yang
rendah dan tidak ada
jalur karir yang memuaskan bagi praktisi pengadaan publik, tidak ada mekanisme penanganan
keluhan yang baik,
dan tidak ada sanksi tegas untuk tindak korupsi, maka perbuatan korupsi akan tetap tumbuh
subur.
Audit
Penguatan fungsi audit internal dan eksternal menjadi semakin penting sewaktu Indonesia
melakukan
modernisasi pada sektor publiknya. Dengan pelaksanaan sistem desentralisasi pengeluaran
publik yang
komprehensif dan kebutuhan untuk meningkatkan fleksibilitas anggaran lembaga pemerintah,
ditambah dengan
kebutuhan untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas pengeluaran publik sesuai dengan
kelaziman umum
yang dapat diterima, maka reformasi di bidang pemeriksaan/audit menjadi sesuatu yang sangat
penting.
Page 13

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
115
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Tabel 6.2 Peta Audit
Lembaga
Akuntabel
Kepada
Cakupan
Kapasitas
Kehadiran di
Daerah
Jenis audit
Audit Eksternal
BPK
Badan Pemeriksa
Seluruh
pemerintah
3,500
stafi
16 provinsi
Umumnya audit
tentang kepatuhan,
kadang-kadang audit
kinerja
Audit Internal
BPKP
Presiden
melalui Menteri
Pemberdayaan
Paratur Negara
Kementerian
termasuk
anggaran
dekonsentrasi
6,800 stafi
25 Provinsi
Umumnya untuk audit
kinerja
Inspektur Jenderal
Menteri
Kementeri
termasuk
anggaran
dekonsentrasi
2,300 stafi
Tidak Ada
Umumnya audit kinerja
Auditor pemerintah
daerah (Bawasda)
Gubernur/Bupati
Pemerintah
daerah
16,000
stafi
Semua staf
bekerja di 440
kabupaten/
kota
Baik audit kepatuhan
maupun kinerja
Sumber: Penilaian staf Bank Dunia berdasarkan perundang-undangan yang berlaku dan
wawancara dengan pejabat pemerintah, Profil BPK 2006.
Penentuan kelembagaan yang rumit dan kerangka peraturan yang bersifat terfragmentasi
tidak mendorong
terjadinya transparansi, akuntabilitas, dan koordinasi di antara lembaga pemeriksa.
Selanjutnya, tampaknya
tidak ada mekanisme informal yang berlaku untuk mengatasi hambatan struktural bagi
tercapainya audit yang efisien
dan efektif . Oleh karena itu, auditor terlatih dan bersertifikat yang jumlhanya sangat terbatas di
Indonesia tidak
dimanfaatkan secara efektif dan efisien sebagaimana mestinya. Di samping itu, hanya laporan
dari BPK yang diteliti
oleh pejabat-pejabat yang dipilih dan tersedia untuk umum.
Laporan yang disampaikan oleh BPK kepada umum dan kepada DPR sangat bersifat
umum dan tidak memiliki
karakteristik dari suatu laporan audit. Penyimpangan yang ditemukan dalam audit
disampaikan dengan secara
sangat umum menggunakan klasifikasi secara garis besar, seperti (i) tidak sesuai, yang meliputi
penyimpangan yang
tidak sesuai dengan ketentuan, (ii) praktik-praktik yang tidak ekonomis dan tidak efisien, dan
(iii). ketidakefektifan, yang
meliputi pengeluaran yang tidak sesuai dengan tujuan semula. Kebanyakan dari penyimpangan
yang dilaporkan
kepada DPR termasuk dalam kategori tidak sesuai. Tidak ada uraian lebih rinci yang
dicantumkan dalam laporan itu,
walaupun laporan itu mestinya meliputi penyimpangan yang berskala luas mulai dari yang sangat
serius sampai
dengan pelanggaran kecil.
BPK adalah lembaga independen tetapi dapat memperoleh manfaat dari peran DPR yang
kuat untuk meminta
akuntabilitasnya jika hal ini dilakukan dengan hati-hati. Sesuai dengan UUD 1945, UU
tentang Pemeriksaan
Keuangan Negara tidak mengatur tentang akuntabilitas eksternal bagi BPK. BPK hanya
bertanggung jawab terhadap
anggota badan pemeriksanya, yang diangkat oleh DPR melalui keputusan presiden. Badan ini
memutuskan sendiri
apakah anggota mereka harus mengundurkan diri atau tidak.
Ada sejumlah manfaat dari pemberian peran yang lebih kuat kepada DPR untuk meminta
akuntabilitas BPK:
(i) keterlibatan DPR akan menciptakan tekanan yang lebih kuat untuk membuat tindakan audit
menjadi relevan dan
responsif, (ii) keterlibatan DPR dapat memperkuat kesadaran publik terhadap BPK dan laporan
yang dibuatnya, (iii)
penguatan peran DPR akan menjadi tekanan untuk memacu efisiensi dan efektivitas BPK.
Perhatian seharusnya diberikan untuk mendefinisikan peran DPR secara jelas sehubungan
dengan
keberadaan lembaga pemeriksaan dan laporan mereka sehingga seluruh stakeholders
mengetahui dan
sepakat terhadap peran mereka. Mekanisme yang baik perlu diberlakukan—baik melalui
komisi yang baru atau
terpisah (Komisi Rekening Publik dan Audit), komisi yang sudah ada, sub-komisi dari komisi
yang sudah ada, atau
Page 14

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
116
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
organisasi khusus atau baru, Di samping itu, anggota DPR dan sekretariat mereka perlu
membangun kapasitas yang
diperlukan untuk menangani laporan pemeriksaan dan informasi secara konstruktif.
Kini BPK memiliki mandat yang lebih luas tetapi masih memiliki keterbatasan terhadap
perannya yang
semakin luas tersebut. UU No. 5/1973 telah menentukan BPK sebagai lembaga pemeriksa
“tertinggi” di Indonesia.
UU tentang pemeriksaan negara baru ditetapkan pada tahun 2004 dan memberikan mandat
kepada BPK untuk
melakukan pemeriksaan kepada seluruh lembaga pemerintah di setiap tingkat. BPK juga
melakukan pemeriksaan
terhadap BUMN, kecuali BUMN yang memperoleh modal melalui pasar modal Indonesia, dan
dalam hal itu ketentuan
yang ada mengharuskan perusahaan-perusahaan yang sudah terdaftar diaudit oleh perusahaan
auditor yang
terdaftar. Lembaga militer sekarang ini tidak harus diperiksa. Menurut UU tentang Audit Negara,
BPK melaksanakan
audit keuangan, audit kinerja, dan audit forensik. BPK menyampaikan laporan tahunan dan
laporan semester kepada
DPR atas pemeriksaan yang dilakukan dan menyampaikan laporan pemeriksaan pemerintah
daerah. Laporan ini
memberikan penilaian terhadap laporan keuangan instansi yang diaudit dan serta memberikan
komentar terhadap
penyimpangan-penyimpangan yang ditemui di dalam pelaksanaan anggaran yang mungkin
ditemukan. Di samping
itu, BPK juga berwenang untuk menentukan standar pemeriksaan untuk lembaga pemerintah,
walaupun mereka
masih belum mengeluarkan standar tersebut untuk penggunaan internal
Tingkat staf BPK tidak sesuai dengan mandat barunya. Lembaga pemeriksaan eksternal
yang hanya memiliki
sekitar 3.500 pegawai diharapkan mampu menjamin mutu pemeriksaan internal dari
hampir 25.000 staf.
Sebelum penetapan UU tentang audit negara, pemeriksaan keuangan merupakan tugas BPK dan
BPKP sebagai lembaga
pemeriksa internal dari pemerintah. Kini BPKP memiliki mandat yang jelas yaitu untuk
melakukan pemeriksaan internal
bersama-sama dengan lembaga pemeriksa lain (seperti, Inspektur Jenderal pada setiap
Departemen). Perubahan
dalam tanggung jawab ini tidak seluruhnya tercermin dalam realokasi staf dan sumber daya
antara kedua lembaga
pemeriksa ini. Akibatnya adalah bahwa BPKP memiliki sumber daya yang sangat bagus
dibandingkan dengan BPK.
Misalnya, BPKP kini memiliki kantor di 26 provinsi di seluruh Indonesia, sementara BPK hanya
memiliki kantor di 16
provinsi pada akhir tahun 2006.
Mandat BPK relatif jelas tetapi strateginya tidak sesuai dengan kemampuan dan jumlah
staf yang ada
saat ini. UU No. 15/2004 tentang audit negara telah memberikan kejelasan atas peran yang
berbeda dari lembaga
pemeriksa dengan cara menyatakan BPK sebagai lembaga pemeriksa eksternal yang independen
pada seluruh
tingkat pemerintahan, baik di pusat maupun daerah. Pada tahun 2001 BPK menyiapkan rencana
pengembangan
institusional dan telah melaksanakan langkah praktis untuk menyiapkan diri sehubungan dengan
perluasan mandat
yang dimilikinya. Strategi internal BPK untuk periode 2006-10 telah disiapkan dan rencana
pelaksanaan taktisnya
sedang dalam penyelesaian tahap akhir. Mengingat tantangan yang dihadapi BPK dalam
memberikan layanan
pemeriksaan eksternal dasar dalam bidang pengelolaan keuangan, dan mengingat kapasitas yang
dimilikinya saat
ini, maka fokus pekerjaannya sekarang lebih baik diarahkan pada pemberian layanan audit
keuangan tradisional yang
bermutu tinggi, tepat waktu, daripada menyampaikan agenda pemeriksaan yang rumit dan
canggih.
Sementara UU tentang audit negara memberikan mandat yang semakin kuat kepada BPK,
namun masih
belum jelas dalam hal tata pemerintahan internalnya dan struktur manajemen. UU yang
terpisah mengenai
aspek-aspek semacam ini kini sedang disusun dan dipandang penting untuk mengukuhkan dasar
lembaga ini
sehingga akan diakui sebagai lembaga yang kredibel dan independen.
Mandat dan pembagian tugas antara ketiga lembaga pemeriksaan yang ada sekarang
tidak jelas. Audit Internal
berada dalam ruang lingkup kerja BPKP, Inspektorat Jenderal (Itjen) yang bertugas pada setiap
Departemen, dan fungsi
pemeriksaan di tingkat provinsi dan kabupaten/kota dilakukan oleh Bawasda. BPKP didirikan
berdasarkan keputusan
presiden pada tahun 1983. Selanjutnya, mandat BPKP telah berubah melalui berbagai keputusan
presiden. Pada saat
ini, mandat BPKP menjadi tidak jelas, dapat membantu Itjen, pemerintah provinsi atau
kabupaten/kota atas undangan
pemerintah daerah, dan mereka dapat menyediakan pelatihan bagi lembaga-lembaga ini.
Walaupun mandatnya
telahberkurang secara signifikan, BPKP masih memiliki kantor-kantor dengan staf lengkap yang
terdesentralisasi di 26
provinsi dan stafnya yang penuh berjumlah 6.800 orang tidak digunakan secara optimal. Jumlah
staf BPKP yang masih
begitu besar belum mencerminkan pengurangan terhadap mandat yang dimiliki saat ini, terutama
jika dibandingkan
dengan BPK sebagai lembaga pemeriksa eksternal. Selain itu, laporan dari BPKP tidak
disampaikan kepada umum atau
DPR.
Page 15

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
117
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Itjen memiliki peran yang berbeda pada setiap Departemen. Mandat Itjen yang
sebenarnya, staf, dan
kegiatannya ditentukan oleh kemeterian yang bersangkutan. Oleh karena itu, Itjen bertindak
sebagai lembaga
tersendiri sesuai dengan jumlah menteri dan kegiatan pemeriksaan biasanya terfokus pada
masalah-masalah rutin
teknis dan kinerja, termasuk ketaatan kepada standar teknis yang berlaku. Oleh karena itu, latar
belakang profesi staf
Itjen, biasanya meliputi kualifikasi teknis dan bukannya akunting atau pemeriksaan keuangan.
Audit mereka dilakukan
secara acak atau sesuai dengan rencana pemeriksaan tahunan yang sudah disetujui, tetapi tidak
berdasarkan pada
metodologi berbasis risiko.
Bawasda melakukan pemeriksaan umum terhadap pengeluaran anggaran daerah, tetapi
mereka tidak
memiliki kapasitas yang memadai. Audit terhadap transaksi keuangan masing-masing dari ke
33 pemerintah
provinsi dan lebih dari 440 pemerintah kabupaten/kota dilaksanakan berdasarkan ketentuan
kelembagaan yang
sangat rumit. Bawasda terdapat di setiap kabupaten/kota, tetapi staf Bawasda biasanya tidak
memiliki keterampilan
untuk melaksanakan tanggung jawab pemeriksaan. Di samping itu, setiap sumber pendanaan
yang berbeda pada
pemerintah daerah diperiksa oleh lembaga pemeriksa yang berbeda pula. Dengan demikian,
Bawasda mendapat
dukungan dari BPKP, Itjen, BPK dan Bawasda pada kabupaten/kota lain dalam rangka
pelaksanaan pemeriksaan
terhadap pemerintah daerah masing-masing. BPK merupakan lembaga pemeriksa eksternal dari
seluruh pemerintah
daerah. Itjen pada Departemen Dalam Negeri mengkoordinasikan seluruh kegiatan dari lembaga
pemeriksaan internal
dalam melaksanakan fungsi pemeriksaan mereka untuk setiap kabupaten/kota. Bawasda
menyampaikan laporan
tahunan mereka kepada masing-masing daerah dan mengirimkan salinan laporan mereka kepada
Itjen Departemen
Dalam Negeri, Bawasda Provinsi, dan pihak yang diperiksa. Laporan mereka tidak disampaikan
kepada publik atau
DPR. Akan tetapi, BPK menyampaikan rangkuman dan konsolidasi hasil laporan kepada DPR
dan rangkuman itu
mencakup seluruh Bawasda.
Pengawasan terhadap pengeluaran dan sistem pembayaran sedang ditingkatkan, tetapi
pelaksanaannya
masih belum memuaskan. Untuk meningkatkan tanggung jawab dan akuntabilitas terhadap
anggaran pada jajaran
departemen, tugas pemberian perintah pembayaran telah dialihkan kepada departemen. Hal ini
telah menimbulkan
pemisahan yang lebih baik antara fungsi verifikasi transaksi dan pelaksanaan pembayaran.
Sementara pemisahan
tugas-tugas ini sudah dirancang dengan baik, pelaksanaan di lapangan tidak seluruhnya
memuaskan karena tidak
adanya standar yang jelas mengenai bukti-bukti akuntansi, prosedur verifikasi, dan unit
pemeriksa pra bayar di instansi
pembelanja. Salah satu kelemahan endemis yang perlu diperhatikan bahwa dalam praktik
akuntansi berkaitan dengan
mutu bukti-bukti akuntansi yang dapat diterima oleh Ditjen Perbendaharaan
Page 16

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
118
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Rekomendasi Kebijakan
Reformasi yang sedang berjalan dalam penyiapan, pelaksanaan, dan pemeriksaan
anggaran dapat
mengambil manfaat dari adanya evaluasi yang dilakukan secara sistematis dan
berkelanjutan terhadap
sistem anggaran di Indonesia. Biasanya, kajian terhadap pengeluaran lebih berfokus pada
pengeluaran sektoral dan
semakin sering menganalisis aspek-aspek kelembagaan dari pelaksanaan anggaran. Laporan pada
bab ini merupakan
upaya pertama yang cukup komprehensif dalam melakukan analisis dimensi kuantitatif kinerja
anggaran di Indonesia.
Beberapa kegiatan tindak lanjut masih sedang disiapkan atau dapat digali lebih jauh untuk terus
memperkuat dasar
analisis dari keputusan anggaran dan membudayakan evaluasi anggaran. Kegiatan tindak lanjut
ini termasuk: (i)
survei penelusuran pengeluaran publik untuk mengidentifikasi kebocoran; (ii) World Bank
Country Procurement
Assessment Report (CPAR) untuk menilai kemajuan modernisasi pengadaan; dan (iii) analisis
tentang peran DPR
mengenai pengawasan pra-laksana purna-laksana (ex ante dan ex post) terhadap anggaran.
Penyiapan dan pelaksanaan anggaran
Pelaksanaan Penganggaran Berbasis Kinerja (PBB) dan Kerangka Pengeluaran Jangka
Menengan (MTEF).
Mengingat sifat dari perubahan itu sendiri, maka diperlukan visi jangka panjang. Perlu disusun
suatu peta perjalanan
yang realistik, operasional, dan komprehensif untuk melakukan reformasi penganggaran dengan
mempertimbangkan
kondisi tata pemerintahan Indonesian yang unik, lingkungan pengawasan yang lemah, dan
masalah korupsi yang
sudah dikenal luas. Pada saat yang sama, perubahan yang mampu dicapai, dapat terlihat jelas
bentuknya, dan
didefinisikan dengan jelas harus dilaksanakan dalam jangka waktu pendek untuk menjawab
tekanan politik untuk
melakukan perubahan secara cepat dan menjaga momentum reformasi. Perubahan jangka pendek
semacam itu
dapat meliputi peninjauan dan penyederhanan terhadap dokumen anggaran, pembuatan laporan
tentang hasil yang
dicapai tiap tahun bagi program-program yang dilaksanakan di setiap departemen, serta otorisasi
penganggaran
multi tahun bagi proyek-proyek investasi berskala besar yang memerlukan waktu penyelesaian
selama beberapa
tahun.
Untuk jangka menengah, pengawasan terhadap output seharusnya secara perlahan
menggantikan
pengawasan terhadap input dan pos-pos anggaran (line item). Reformasi proses anggaran,
berikut isi dan struktur
dokumen anggaran, merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam memperkenalkan
penganggaran berbasis
kinerja. Anggaran berbasis kinerja (PBB) sering dipahami sebagai alat untuk menunjukkan
bahwa pengawasanterhadap
input digantikan oleh pengawasan terhadap output dan bahwa tanggung jawab keuangan dan
manajemen dari
unit pelaksana anggaran mengalami peningkatan. Manajer diberikan kebebasan untuk mengelola,
tetapi pada saat
yang sama mereka harus akuntabel atas hasil yang mereka capai terhadap penggunaan dana milik
publik. Mengingat
bahwa isu tentang tata pemerintahan sangat rentan di Indonesia dan mengingat adanya
pengawasan ex post yang
lemah saat ini, upaya untuk melakukan perubahan dalam bidang ini seharusnya diawali dengan
kehati-hatian dan
pengawasan ex post yang perlu diperkuat sebelum pengawasan terhadap input diperlunak.
Pembahasan dan persetujuan anggaran oleh DPR seharusnya disesuaikan untuk berfokus
pada kebijakan
dan prioritas pengeluaran. DPR memiliki wewenang yang kuat dalam pembahasan ex ante dan
persetujuan
terhadap penentuan anggaran tahunan. Anggaran berbasis input, rinci, dan memiliki peranan
penting atas fokus
yang kuat terhadap pengawasan ex ante. Sehingga, pembahasan DPR cenderung berfokus pada
diskusi mengenai
pos-pos pengeluaran secara rinci dan bukan alokasi anggaran secara keseluruhan, prioritas
politik, dan hasil yang
hendak dicapai. Cara-cara untuk melakukan peningkatan kapasitas, serta upaya untuk melakukan
reformasi
kelembagaan, seharusnya menjadi fokus untuk memperjelas peran DPR dalam penyiapan
anggaran dengan tujuan
untuk memfokuskan pada pembahasan mengenai hasil dan prioritas penggunaan anggaran.
Proses untuk mobilisasi anggaran tahun berjalan dan realokasi sumber daya keuangan
pada masa bencana
harus disederhanakan. Harus ada upaya untuk mengembangkan proses anggaran jalur cepat
untuk digunakan
pada waktu terjadi kebutuhan yang luar biasa untuk pengeluaran publik sementara tetap
memelihara kerangka
pengamanan untuk memastikan dana publik digunakan secara efektif dan efisien.
Page 17

Kajian Pengeluaran Publik Indonesia 2007


Kajian Pengeluaran Publik Indonesia: Memaksimalkan Peluang Baru
119
BAB 6 Manajemen Keuangan Publik
Pengadaan
Pembentukan lembaga baru pengadaan merupakan kontribusi sistemik yang penting
untuk memberantas
korupsi, yang pada gilirannya akan membuat harga input menjadi lebih rendah dan
meningkatkan tata kelola
pengadaan. Di samping itu, diperlukan pelaksanaan strategi e-procurement secara komprehensif
agar mampu
berkontribusi untuk meningkat transparansi dan kompetisi pasar.
Audit
Banyaknya peraturan terpisah yang mengatur pemeriksaan eksternal dan internal tidak
memberikan ruang
koordinasi dan kejelasan. Konsolidasi terhadap peraturan di bawah satu undang-undang dan
menyederhanakan
pemberian wewenang untuk mengeluarkan keputusan dan peraturan sekunder akan memberikan
transparansi yang
lebih luas dan mendorong tercapainya peraturan-peraturan yang konsisten.
Ada potensi sinergi dan manfaat lain untuk melakukan konsolidasi mengenai ketiga
lembaga pemeriksa
internal menjadi satu lembaga. Konsolidasi lembaga pemeriksa internal memiliki kelebihan di
bawah ini:
Koordinasi yang lebih baik terhadap pemeriksaan internal tanpa terjadi duplikasi.
Akan tersedia sumber daya yang lebih banyak untuk mengembangkan produk-produk audit baru
dan akan
ada potensi untuk menghemat biaya untuk mendukung layanan pendukung seperti manajemen
SDM, dan
manajemen keuangan.
Koordinasi dan kerja sama yang lebih baik antara lembaga pemeriksa internal dan eksternal
karena hanya
ada dua pihak yang perlu berkoordinasi.
Memperkuat kemandirian pemeriksaan internal. Hal ini sangat penting di daerah.
Pelaksanaan akuntansi berbasis akrual memiliki implikasi yang sangat luas terhadap
keterampilan para
pejabat anggaran, auditor , dan pemakai anggaran dan rekening nasional, termasuk
anggota DPR. Menurut
UU No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, anggaran untuk 2006 harus sudah disampaikan
berdasarkan sistem akrual
dan laporan keuangan pada tahun itu harus pula disampaikan dan diaudit dengan basis akrual.
Pelaksanaan yang
dilakukan secara bertahap untuk melaksanakan reformasi tersebut harus direncanakan dengan
memperhatikan tingkat
keterampilan saat ini dan harus pula meliputi kegiatan pelatihan antar lain bagi auditor internal
dan eksternal

Berikut ini adalah versi HTML dari berkas http://www.bappenas.go.id/get-file-


server/node/2965/.
G o o g l e membuat versi HTML dari dokumen tersebut secara otomatis pada saat menelusuri
web.
REFORMASI MANAJEMEN KEUANGAN PEMERINTAH :
SEBUAH TINJAUAN
Awan Setiawan *)
Pengantar
Tulisan ini diharapakan dapat menjadi input bagi para perencana di Bappenas khususnya
dalam pelaksanaan 3 (tiga) agenda Repenas Transisi, yang salah satunya adalah “mempercepat
reformasi”, yang dalam tulisan ini fokus pada manajemen keuangan pemerintah. Walapun
informasi yang disampaikan tidak cukup komprehensif, namun menurut hemat kami isu tersebut
masih cukup aktual, terutama mendorong Reposisi Bappenas dan kembali kepada track yang
benar.
Pendahuluan
Manajemen keuangan pemerintah merupakan salah satu kunci penentu keberhasilan
pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan dalam kerangka nation and state building.
Adanya manajemen keuangan pemerintah yang baik akan menjamin tercapainya tujuan
pembangunan secara khusus, dan tujuan berbangsa dan bernegara secara umum. Karenanya,
langkah-langkah strategis dalam konteks penciptaan, pengembangan, dan penegakan sistem
manajemen keuangan yang baik merupakan tuntutan sekaligus kebutuhan yang semakin tak
terelakkan dalam dinamika pemerintahan dan pembangunan.
Munculnya perhatian yang besar akan pentingnya manajemen keuangan pemerintah
dilatarbelakangi oleh banyaknya tuntutan, kebutuhan atau aspirasi yang harus diakomodasi di
satu sisi, dan terbatasnya sumberdaya keuangan pemerintah di sisi lain. Dengan demikian,
pencapaian efektivitas dan efisiensi keuangan pemerintah semakin mengemuka untuk
diperjuangkan perwujudnya.
Dalam upaya perwujudan manajemen keuangan pemerintah yang baik, terdapat pula
tuntutan yang semakin aksentuatif untuk mengakomodasi, menginkorporasi, bahkan
mengedepankan nilai-nilai good governance. Beberapa nilai yang relevan dan urgen untuk
diperjuangkan adalah antara lain transparansi, akuntabilitas, serta partisipasi masyarakat dalam
proses pengelolaan keuangan dimaksud, disamping nilai-nilai efektivitas dan efisiensi tentu saja.
Dalam konteks yang lebih visioner, manajemen keuangan pemerintah tidak saja harus
didasarkan pada prinsip-prinsip good governance, tetapi harus diarahkan untuk mewujudkan
nilai-nilai dimaksud.
Sebagaimana dibahas dalam artikel Mulia P. Nasution berjudul “Reformasi Manajemen
Keuangan Pemerintah” (Jurnal Forum Inovasi, Desember – Februari 2003), pemerintah
Indonesia sebenarnya sudah memberi perhatian yang sungguh-sungguh untuk mengakomodasi
dan mewujudkan harapan dan tuntutan di atas. Upaya mewujudkan manajemen keuangan
pemerintah yang baik, antara lain, diperjuangkan dengan memperhatikan prinsip dan nilai-nilai
good governance. Yang selama ini sudah dilakukan adalah dengan membahas RUU Keuangan
Negara yang sudah diundangkan DPR pada tanggal 9 Maret 2003 lalu (jadi setelah artikel ini
ditulis) menjadi UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Terdapat 4 prinsip dasar
pengelolaan keuangan negara yang menjadi fokus perhatian utama dalam UU ini, yaitu (1)
akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja, sehingga muncul kerangka kerja baru dengan nama
“Anggaran Berbasis Kinerja (Performance Budget)” yang pada saat ini sedang diujicobakan
pelaksasanaannya dan diharapkan dimulai pada tahun anggaran 2005; (2) keterbukaan dan setiap
transaksi keuangan pemerintah; (3) pemberdayaan manajer profesional; dan (4) adanya lembaga
pemeriksa eksternal yang kuat, profesional, dan mandiri serta dihindarinya duplikasi dalam
pelaksanaan pemeriksaan (double accounting). Berdasarkan keempat prinsip tersebut, maka
artikel ini menempatkan reformasi perbendaharaan dan reformasi di bidang auditing sebagai
agenda yang mendesak.
Urgensi
Pentingnya reformasi keuangan pemerintah dengan beberapa bidang di atas sebagai
fokusnya, dalam penilaian penulis ini, dilatarbelakangi oleh beberapa pertimbangan strategis
yang terutama diwakili oleh luasnya skala persoalan yang harus diatasi. Persoalan-persoalan
dimaksud antara lain :
Pertama, rendahnya efektivitas dan efisiensi penggunaan keuangan pemerintah akibat
maraknya irasionalitas pembiayaan kegiatan negara. Kondisi ini disertai oleh rendahnya
akuntabilitas para pejabat pemerintah dalam mengelola keuangan publik. Karenanya, muncul
tuntutan yang meluas untuk menerapkan sistem anggaran berbasis kinerja.
Kedua, tidak adanya skala prioritas yang terumuskan secara tegas dalam proses pengelolaan
keuangan negara yang menimbulkan pemborosan sumber daya publik. Selama ini, hampir tidak
ada upaya untuk menetapkan skala prioritas anggaran di mana ada keterpaduan antara rencana
kegiatan dengan kapasitas sumber daya yang dimiliki. Juga harus dilakukan analisis biaya-
manfaat (cost and benefit analysis) sehingga kegiatan yang dijalankan tidak saja sesuai dengan
skala prioritas tetapi juga mendatangkan tingkat keuntungan atau manfaat tertentu bagi publik.
Persoalan ketiga yang menuntut dilakukannya reformasi manajemen keuangan pemerintah
adalah terjadinya begitu banyak kebocoran dan penyimpangan, misalnya sebagai akibat adanya
praktek KKN.
Keempat dan terakhir adalah rendahnya profesionalisme aparat pemerintah dalam mengelola
anggaran publik. Inilah merupakan sindrom klasik yang senantiasa menggerogoti negara-negara
yang ditandai oleh superioritas pemerintah. Dinamika pemerintah, termasuk pengelolaan
keuangan di dalamnya, tidak dikelola secara profesional sebagaimana dijumpai dalam
manajemen sektor swasta. Jarang ditemukan ada manajer yang profesional dalam sektor publik.
Bahkan terdapat negasi yang tegas untuk memasukkan kerangka kerja sektor swasta ke dalam
sektor publik di mana nilai-nilai akuntabilitas, profesionalisme, transparansi, dan economic of
scale menjadi kerangka kerja utamanya.
Dengan memperhatikan beberapa patologi tersebut, artikel ini sampai pada beberapa
rekomendasi strategis yang pada intinya ingin mengembalikan manajemen keuangan
pemerintah dalam bentuk anggaran sebagai alat akuntabilitas, manajemen dan kebijakan
ekonomi yang sehat.
Menarik dari pembahasan penulis ini adalah adanya upaya untuk memisahkan secara tegas
antara kewenangan administratif dan kewenangan kebendaharaan. Dalam penilaian penulis ini
kewenangan administratif seyogyanya berada dan diatur oleh masing-masing
departemen/lembaga pemerintah, sementara kewenangan kebendaharaan berada di tangan
Menteri Keuangan. Kewenangan administratif meliputi otoritas untuk melakukan perikatan
(kontrak) atau tindakan-tindakan lain yang mengakibatkan terjadinya penerimaan atau
pengeluaran negara serta perintah untuk melakukan pembayaran atau menagih penerimaan
yang timbul sebagai konsekuensi dari suatu perikatan. Sedangkan kewenangan kebendaharaan
meliputi tidak boleh secara sempit ditafsirkan sebagai sekedar fungsi kasir untuk membayarkan
tagihan atau mengelola penerimaan, tetapi juga meliputi otoritas untuk meneliti kebenaran
penerimaan dan pengeluaran tersebut. Dalam konteks ini, Menteri Keuangan bertindak sebagai
kasir, pengawas, sekaligus sebagai fund manager.
Pembagian yang demikian sangat menarik untuk dibahas sejalan dengan munculnya
kontroversi yang luas pasca diundangkannya UU Nomor 17 Tahun 2003. Bagi mereka yang pro
dengan UU tersebut, Menteri Keuangan dan Departemen Keuangan sudah saaatnya diberi
kewenangan yang lebih luas, tidak saja untuk mengelola keuangan negara an sich tetapi juga
melakukan verifikasi atas penerimaan dan pengeluaran tersebut serta otoritas di bidang
perencanaan yang secara langsung maupun tidak langsung akan menghapus – atau tepatnya
mengurangi – peran dan fungsi Bappenas serta keberadaan BUMN lainnya (Kontan, 24 Maret
2003, Republika, 15 April 2003, Koran Tempo 27 Maret 2003). Argumentasi yang demikian
dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa badan yang mengelola anggaran seharusnya
dilibatkan secara aktif untuk turut menentukan perencanaan pembangunan. Dengan demikian,
ada sinergi dan rasionalitas yang tinggi antara rencana kegiatan yang diusulkan dengan kapasitas
anggaran yang tersedia.
Sementara itu muncul juga kelompok kedua yang menentang diberlakukannya UU ini. Bagi
mereka, mendelegasikan wewenang penganggaran dan perencanaan yang begitu besar kepada
Departemen Keuangan sama halnya dengan memberi “cek kosong” kepada lembaga tersebut.
Argumentasi ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa, pertama, penyerahan mandat
absolut kepada Departemen Keuangan jelas sangat bertentangan dengan prinsip pemerintahan
yang baik (good governance), terutama transparansi dan akuntabilitas. Adanya wewenang
perencanaan dan penganggaran pada satu lembaga akan menyebabkan tidak bekerjanya
mekanisme check and balance, dan kedua, UU tersebut secara langsung telah mempreteli hak
prerogatif presiden dalam melakukan reorganisasi dan restrukturisasi Kementerian Negara; dan
ketiga, Departemen Keuangan diidentifikasi sebagai salah satu pusat masalah dalam
pengelolaan anggaran di Indonesia sehingga sangat tidak bijak untuk mendelegasikan wewenang
yang besar kepada sebuah lembaga yang memang bermasalah (Forum Indonesia Raya, 2003).
Terlepas dari pro dan kontra di atas, UU tersebut sebenarnya ingin mengintroduksi sebuah
kerangka kerja baru yang bersemangatkan nilai-nilai good governance, terutama efektivitas dan
efisiensi walaupun kurang memberikan garansi bagi terwujudnya akuntabilitas dan transparansi
karena absennya mekanisme check and balance. UU ini berusaha mendorong terwujudnya suatu
kerangka hukum yang jelas tentang tata cara pengelolaan keuangan negara yang bersih dari
korupsi, penyelewengan, atau penyimpangan. Misalnya ada ketentuan untuk membatasi defisit
anggaran sebesar maksimum 60% dari PDB dan dalam penyusunan APBD, defisit anggaran
tidak boleh melebihi 3% dan utang tidak boleh melebihi 60% dari PDRB. UU tersebut sekaligus
mengganti pedoman pelaksanaan keuangan negara yang masih merupakan warisan Hindia
Belanda, yaitu ICW Stbl 1925 Nomor 448.
Semangat baru yang dikedepankan oleh UU ini adalah adanya pengawasan yang semakin
meningkat dimana diamanatkan bahwa laporan kepada badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus
diajukan selambat-lambatnya 6 bulan setelah tahun anggaran berakhir. Demikian juga, para
pejabat maupun publik yang terbukti merugikan keuangan negara diwajibkan untuk mengganti
kerugian dimaksud (Pasal 35 Ayat 1). Demikian halnya dengan kemungkinan untuk menuntut
bendahara negara secara pribadi yang terbukti melakukan kelalaian, penyelewengan, atau
korupsi termasuk kewajiban untuk mengganti kerugian atas keuangan negara (Sinar Harapan, 6
Mei 2003).
Selain nilai-nilai yang diperjuangkan melalui UU di atas, ada juga langkah maju – walaupun
masih pada tataran wacana – yang sedang diupayakan dan menjadi kesepakatan semua pihak,
yaitu perlunya upaya untuk mengefektifkan fungsi pengawasan dan pemeriksaan pengelolaan
keuangan negara. Selama ini, fungsi tersebut dijalankan oleh BPKP sebagai state auditor.
Lembaga ini diberi kewenangan untuk melakukan verifikasi atas semua pos penerimaan dan
pengeluaran pembangunan negara yang dilakukan setiap akhir tahun anggaran. Banyak temuan
yang berhasil menyelamatkan sumberdaya negara, walaupun tidak sedikit juga yang luput dari
pengawasan. Pembenahan internal dalam tubuh BPKP mutlak dilakukan karena lembaga yang
dianggapa sebagai benteng terakhir dalam manajemen keuangan negara ini juga tidak lepas
dari masalah. Muncul penilaian bahwa BPKP adalah bagian dari masalah (a part of the problem).
Lembaga itu tidak jarang terlibat dalam konspirasi dengan pihak kedua yang sangat merugikan
keuangan negara.
Jika BPKP sebagai state auditor masih terbelit pada berbagai masalah, maka salah satu
alternatif yang bisa ditempuh adalah dengan mendayagunakan independent external auditor. Ini
merupakan lembaga pemeriksa independen yang berasal dari luar pemerintah semisal konsultan-
konsultan akuntansi publik yang kini banyak berkembang. Banyak contoh yang memperlihatkan
bagaimana kiprah dan kontribusi positif lembaga-lembaga tersebut dalam menyelematkan
keuangan negara. Sebut saja apa yang dilakukan Anderson Counsultant, sebuah perusahaan
konsultan internasional, yang berhasil membongkar kroni Soeharto. Lembaga-lembaga semacam
itu bisa dipekerjakan untuk menopangan kinerja keuangan pemerintah.
Apa yang telah dipaparkan di atas tidak hanya menjadi pekerjaan rumah pemerintah pusat.
Bersamaan implementasi otonomi daerah, reformasi manajemen keuangan pemerintah perlu
juga dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Bahkan reformasi keuangan pemerintah daerah
semakin mendesak dilakukan mengingat masih terbatasnya kemampuan manajemen keuangan
di kalangan pemerintah daerah di satu sisi, dan semakin banyaknya anggaran pembangunan dan
pelayanan publik yang mengalir ke daerah menyusul implementasi otonomi daerah di sisi lain.
Gejala-gejala KKN dalam manajemen keuangan daerah, proses tender yang tidak terbuka, dan
parktek-praktek manipulatif lainnya kini sudah semakin merebak di daerah. Muncul pula keluhan
bahwa implementasi otonomi daerah hanya memindahkan borok permasalah dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah justru ketika masyaraklat semakin mengharapkan kondisi
kehidupan dan kesejahteraan yang semakin baik. Fasilitasi yang dilakukan oleh World Bank
bekerjasama dengan Bappenas, Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Keuangan RI
dalam skema program Initiatives for Local Governance Reform (ILGR) adalah dalam kerangka
penegakan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara itu.
Di atas semua itu, tulisan singkat ini juga memberikan perhatian khusus pada penegakan
integritas dan profesionalisme SDM aparat pelaksana. Bagaimanapun idealnya sebuah
aransemen kebijakan, jika tidak didukung oleh kapasitas dan moral pejabat yang baik maka
kebijakan tersebut tidak akan banyak bermanfaat. Langkah-langkah capacity building untuk
peningkatan profesionalisme aparat pelaksana, baik yang berwenang mengelola keuangan
negara maupun pejabat yang menggunakannya, sangat mendesak dilakukan karena diidentifikasi
bahwa salah satu persoalan yang menimbulkan kesemrawutan pengelolaan keuangan
pemerintah terletak pada rendahnya kapasitas aparat. Pemberdayaan kapasitas aparat tersebut,
sekali lagi, tidak hanya terbatas pada aparat di pusat tetapi juga aparat daerah. Hanya jika
terdapat SDM yang memiliki integritas dan moral yang tinggi serta kemampuan manajerial dan
operasional yang tinggi baru langkah-langkah reformasi keuangan pemerintah yang telah
dirumuskan dalam berbagai paket kebijakan tersebut berhasil diimplementasikan.
Kesimpulan

Dari beberapa poin yang disampaikan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut.
Pertama, langkah-langkah reformasi keuangan pemerintah sangat diperlukan mengingat
banyaknya persoalan yang berkembang pada sektor itu seperti rendahnya tingkat efektivitas dan
efisiensi pemanfaatan anggaran, irasionalitas dalam pengelolaan, serta banyaknya penyimpangan
atau penyalahgunaan.
Kedua, langkah-langkah reformasi keuangan pemerintah harus dituntun oleh dan diarahkan
menuju terwujudnya nilai-nilai good governance yang dilakukan secara serentak baik di pusat
maupun daerah.
Ketiga, mengingat masalah kebendaharaan dan auditing dilihat sebagai dua titik terlemah
dalam manajemen keuangan pemerintah, maka langkah-langkah reformasi harus diarahkan
untuk mengatasi permasalahan tersebut. Untuk masalah kebendaharaan, langkah reformasi bisa
dilakukan dengan menegakkan sistem check and balance di mana ada pembagian peran yang
jelas antara Departemen Keuangan dan departemen teknis lainnya. Pembagian kerja dimaksud
tetap harus diarahkan pada perwujudan efisiensi dan efektivitas pengelolaan anggaran di
samping adanya jaminan transparansi dan akuntabilitas.
Keempat, di luar berbagai paket kebijakan yang sudah bagus, diperlukan satu langkah lagi
yang sangat menentukan yaitu peningkatan kapasitas aparat, baik yang berhubungan langsung
dengan pengelolaan anggaran maupun tidak langsung. Kunci keberhasilan reformasi
manajemen keuangan daerah tidak hanya terletak pada kebijakan yang didesain dengan baik
tetapi juga pada SDM yang akan mengimplementasikan 

.
Serial Manajemen Keuangan Negara

Tuesday, 08 September 2009 09:34

ADA APA DENGAN SPPD?


Oleh: Drs Ronny Assa MM
(Widyaiswara Departemen Keuangan RI di Balai Diklat Keuangan Manado)

Kutipan:
’’Walaupun berpotensi bernilai milyaran rupiah, harus mengalah kepada SPPD yang kecil
kemungkinan bernilai ratusan juta rupiah untuk setiap satu SPPD. Harus diakui bahwa secara
tradisional, SPPD berfungsi sebagai salah satu ‘’alat’’ untuk upaya pencapaian secara maksimal
pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dari masing-masing satuan kerja instansi publik.’’

SPPD, akronim dari Surat Perintah Perjalanan Dinas. Hari-hari ini akronim tersebut begitu
populer. Bahkan memiliki daya magis tersendiri. Setiap hari ada saja berita melalui media cetak
atau elektronik yang mengupas dan mengulas akronim tersebut. Bukan rahasia lagi bahwa
beberapa oknum pejabat negara dan/atau pejabat struktural pemerintahan harus berhadapan
dengan si ‘’lid’’ dan kemudian si ‘’dik’’ dari kepolisian (maupun kejaksaan) dan bahkan harus
rela dititipkan di hotel prodeo, karena terindikasi penyalahgunaan SPPD. Di jajaran pejabat
negara, ada oknum-oknum ketua, wakil ketua, ketua fraksi dan anggota biasa dari institusi
legislatif. Di jajaran pejabat struktural, ada pejabat eselon dua atau tiga termasuk bendahara.
Semuanya harus bersedia untuk mengikuti tahapan penyelidikan (lid) dan/atau penyidikan (dik),
karena terkait dengan akronim popular SPPD tersebut.
So, ada apa dengan SPPD? Begitu menarik kah? Daya pikat apakah yang dimilikinya? Bahkan,
ada satu dokumen yang disebut Surat Perintah Pencairan Dana, yang sebenarnya kalau disingkat
akan mempunyai akronim yang sama yaitu SPPD, tapi Surat Perintah Pencairan Dana ini harus
rela mengalah untuk tidak disingkat SPPD tapi menjadi SP2D. Padahal satu dokumen SP2D,
dapat bernilai milyaran rupiah. Setiap kali satuan kerja instansi pemerintah menerbitkan Surat
Perintah Membayar (SPM), maka akan diikuti dengan terbitnya SP2D oleh Kantor Pelayanan
Perbendaharaan Negara (KPPN) untuk alokasi APBN, atau Bagian Keuangan Pemda untuk
alokasi APBD, barulah pengeluaran negara tersebut dapat dicairkan atau dipindahbukukan ke
rekening rekanan pada bank yang ditunjuk. Jadi setelah SPM, masih dibutuhkan SP2D agar
anggaran tersebut dapat diterima oleh yang berhak.
Walaupun berpotensi bernilai milyaran rupiah, harus mengalah kepada SPPD yang kecil
kemungkinan bernilai ratusan juta rupiah untuk setiap satu SPPD. Harus diakui bahwa secara
tradisional, SPPD berfungsi sebagai salah satu ‘’alat’’ untuk upaya pencapaian secara maksimal
pelaksanaan tugas pokok dan fungsi dari masing-masing satuan kerja instansi publik. Hebatnya
lagi, alat tersebut muncul dalam berbagai lini. Sejak dari tahapan perencanaan (planning),
akronim tersebut telah berfungsi. Tahapan pelaksanaan (organizing and actuating) sampai ke
tahapan pertanggungjawaban atau pelaporan (controlling) juga muncul fungsi dari SPPD
dimaksud. Koordinasi, konsolidasi, dan sejenisnya sangat akrab dengan akronim tersebut.
Semuanya dilakukan sebagai upaya memaksimalkan pencapaian tupoksi masing-masing satuan
kerja. Dengan kata lain, SPPD merupakan salah satu media penunjang untuk pencapaian sasaran
dari program dan/atau kegiatan yang dicanangkan.
HAK & KEWAJIBAN PENERIMA SPPD
Lalu, apa sih SPPD ini. Apa kelebihan dan kekurangannya? Kenapa sangat mudah
disalahgunakan? Apa hak dan kewajiban dari si penerima SPPD? Memang ada perubahan yang
cukup mendasar terutama tentang biaya-biaya apa saja yang dapat diberikan/diterima oleh
seseorang yang mendapat tugas untuk melakukan perjalanan dinas. Dulu, dengan Peraturan
Menteri Keuangan No. 7 tahun 2003, biaya yang direstui untuk suatu perjalanan dinas,
berdasarkan standarisasi yang terdiri dari uang tiket dan uang lumpsum dan dibayarkan sekaligus.
Misalnya untuk tiket Manado-Jakarta bernilai Rp.1.600.000,- (walaupun tiket yang dibeli lebih
murah atau lebih mahal) di samping uang lumpsum yang dikalikan dengan jumlah hari perjalanan
dinas sesuai SPPD. Kini, dengan Peraturan Menteri Keuangan No. 45 dan 62 tahun 2007 dan
ditegaskan lagi Peraturan Direktur Jenderal Perbendaharaan Departemen Keuangan No. 34 dan
37 tanggal 18 dan 20 Juni 2007, pengeluaran yang direstui bersifat At Cost atau Biaya Riil yang
dikeluarkan pada saat melakukan perjalanan dinas. Biaya riil artinya, biaya yang dikeluarkan
sesuai bukti-bukti pengeluaran yang sah. Biaya perjalanan dinas ini, meliputi biaya dari tempat
kedudukan ke tempat yang dituju, dan kembalinya, yang terdiri dari 3 (tiga) komponen:
1.) Uang Harian, diberikan secara lumpsum (dibayarkan sekaligus) dengan perhitungan jumlah
hari perjalanan dinas dikalikan tarif uang harian yang sudah distandarisasi Menteri Keuangan.
Sebagai contoh tujuan ke Jakarta untuk 3 (tiga) hari (berangkat tanggal 1 kembali tanggal 3),
dengan tarif uang harian di Jakarta = Rp. 450.000,-/hari/orang, maka yang bersangkutan akan
menerima uang harian yang dibayarkan secara lumpsum sebesar Rp1.350.000,- Uang Harian ini
untuk: Uang Makan, Uang Saku, dan Transport Lokal selama di Jakarta. Jadi yang bersangkutan
tidak dapat melakukan klaim lagi untuk penggunaan taxi/bus way atau biaya makan walau
mempunyai bukti-bukti pengeluaran tanggal 1 sampai dengan tanggal 3 tersebut. (Uang harian
tujuan ke Sulawesi Utara = Rp300.000,-). Uang Harian diberikan dengan tidak mengenal
perbedaan golongan/pangkat/jabatan dari seseorang yang melakukan perjalanan dinas. Semuanya
sama dengan tarif yang berlaku.
2). Biaya Transport Pegawai, meliputi biaya angkutan sejak dari tempat kedudukan (tempat/kota
kantor/satuan kerja berada) sampai ke tempat tujuan (tempat/kota tujuan). Dengan contoh tujuan
ke Jakarta di atas, dan menggunakan jasa pesawat udara, maka biaya transport tersebut meliputi:
a). Biaya angkutan/taxi dari rumah ke airport (untuk Sulawesi Utara dengan standarisasi
maksimal Rp.80.000,-), b). Uang tiket, Airport Tax, dan retribusi di airport bila ada. Semuanya
dibayarkan sesuai dengan biaya riil yang terjadi. c). Biaya angkutan/taxi dari airport di Jakarta ke
tempat tujuan (standarisasi tarif taxi di Jakarta Rp.140.000,-). Selain pesawat udara dapat
menggunakan jasa angkutan lainnya (kapal laut/ferry/kereta api/bus, atau kendaraan lainnya).
3). Biaya Penginapan, yaitu Biaya riil untuk hotel atau tempat penginapan lainnya bila tidak
tersedia hotel. Selanjutnya, siapa berhak atas fasilitas hotel apa? Diatur sebagai berikut:
a. Hotel Bintang 5= Untuk Pejabat Negara (Ketua/Wakil Ketua dan Anggota Lembaga Tinggi
Negara, Menteri dan setingkat Menteri:
b. Hotel Bintang 4 = Untuk Pejabat Negara Lainnya dan Pejabat Eselon I/II;
c. Hotel Bintang 3= Untuk Pejabat Eselon III dan PNS Gol.IV;
d. Hotel Bintang 2 = Untuk Pejabat Eselon IV dan PNS Gol.III;
e. Hotel Bintang I = Untuk PNS Golongan II dan I.

POTENSI PENYALAHGUNAAN
Tidak ada suatu kebijakan yang paripurna. Apalagi di alam reformasi, perubahan terasa begitu
cepat terjadi. Bagaimana baik dan lengkapnya sebuah aturan, pasti akan ada
kekurangan/kelemahannya. Paling tidak, disalahpersepsikan. Demikian juga aturan mengenai
SPPD ini. Terlepas dari kasus-kasus yang diindikasikan terjadi penyalahgunaan SPPD selama ini,
memang terhadap SPPD terdapat sejumlah peluang penyalahgunaan dan sangat mudah dilakukan.
Potensi-potensi tersebut antara lain:
1) Perjalanan Dinas Fiktif (SPPD fiktif), Perjalanan dinas tidak dilakukan tapi SPPD terbit.
SPPD tersebut biasanya dikirim via pos ke Satker/kota tempat tujuan yang tertera dalam SPPD
fiktif dimaksud. Setelah ditanda-tangani dan dibubuhi stempel dikirim kembali ke Satker
penerbit SPPD;
2) Perjalanan Dinas Setengah Fiktif. Yaitu perjalanan dinas hanya dilakukan oleh 1 atau 2
orang saja, tapi SPPD yang terbit lebih dari untuk 1 atau 2 orang itu;
3) Satu kali melakukan perjalanan dinas namun dua kali dibayar. Terkadang
undangan/pemberitahuan dari Jakarta telah ditegaskan bahwa SPPD ditanggung pengundang
(Jakarta), tapi di tempat asal masih juga diterbitkan SPPD. Sehingga di Manado cair di Jakarta
juga cair.
4) Tiket dimark-up. Tiket Rp850.000,- (biaya riil), dapat menjadi Rp1.850.000,- atau lebih.
Caranya dengan mendatangi oknum-oknum tertentu di biro perjalanan/travel agen, dan dengan
sedikit fee keluarlah print-out tiket Rp1.850.000,- menggantikan biaya riil Rp850.000,- padahal
dengan jasa dan nomor penerbangan yang sama;
5) Biaya Penginapan/Hotel dimark-up. Menginap di kamar dengan tarif Rp.200-300 ribuan, tapi
dengan sedikit fee, jadilah slip pembayaran hotel Rp 800 ribuan;
6) Biaya Taxi dari/ke airport. Menggunakan bis damri Rp2.000,- atau angkutan umum lainnya,
tapi diganti dengan Surat Pernyataan yang ditanda-tangani KPA bahwa yang bersangkutan
menggunakan taxi senilai Rp. 140.000,-(atau Rp80.000,- di Manado);
7) Paket Perjalanan Dinas Fiktif. Di airport besar seperti Cengkareng, telah ada ‘’calo-calo jasa
nakal’’ yang menjajahkan paket perjalanan dinas aspal (bukti-buktinya seolah-olah asli). Mulai
dari tiket, lengkap dengan airport tax, boarding pass, dan slip/kuitansi hotel. Jadi seolah-olah
memang benar melakukan perjalanan dinas dan didukung dengan bukti seolah-olah autentik.
SEKADAR SIMULASI
Bila terjadi penyalahgunaan SPPD dan diasumsikan kasus seperti butir no. 7 di atas untuk tujuan
Jakarta selama 3 hari, maka dengan rincian biaya yang meliputi: Taxi di Manado pp, tiket
penerbangan pp, airport tax pp, taxi di Jakarta pp, hotel 2 malam, uang harian 3 hari, akan
berpotensi pengeluaran sekitar 7 jutaan rupiah untuk 1 (satu) orang. Suatu jumlah yang tidak
kecil, bukan? Semoga bermanfaat.#

Berita Terbaru

• Pemilih Pemula Terabaikan


• Segera Mulai Pilkada
• YL Tinggal Memilih
• KAHMI: HJP Layak Wali Kota
• Liputo Terpilih Calon dari PKS
• KPU Diminta Konsentrasi Pada Tugas Sendiri
• KPU Diminta Berhati Besar
• FPDIP: KPU Hambat Pilkada
• LSM ‘KJ’ Minta Ditertibkan
• Hadirkan Arifin Ilham
• Blazer 525 Didesak Dikembalikan
• Jabatan Adalah Amanah
• Jangan Bawa Agama dalam Politik Praktis
• Usung Tema Pertobatan Nasional
• Menelusuri Perayaan Imlek (2)
• Lumentut-Tulungen Berpeluang
• Hari Ini, Diskusi Rayon Manado di TWM
• Stok Beras Kurang Ulah Spekulan
• Ritzy paket Spesial di Valentine
• Raih Top Leader Of The Year 2009
• AirAsia Masih Berpeluang
• Couple Competition- Barongsai Hebohkan IT Center
• As Gratis 1.000 SMS / Hari
• Bursa Hongkong Cerah
• Cina Pandu Bursa Korea
• Bigung Imlek Atau Valday
• Coklat dan Angpao Selalu Diharapkan
• Did You Know
• Valentine Tak Terlupakan
• Waruga Dilihat Dari Kaca Mata Seni Budaya (3)
• Cinta Sejati
• Dilirik 'Pirates 4'
• Raul Main ke Rumah KD
• HIDUP LAGI
• Rugi Besar
• Saha “Bunuh” Chelsea
• Tango Tanpa Riquelme
• Capello Berharap Inggris vs Italia di Final
• Ambisi Muniain Ke PD
• Bintang Diprediksi Kesulitan

POKOK-POKOKPENGELOLAAN PELAKSANAANANGGARAN PENDAPATAN DAN


BELANJA NEGARA (APBN) : 1 POKOK-POKOKPENGELOLAAN
PELAKSANAANANGGARAN PENDAPATAN DAN BELANJA NEGARA (APBN)
TUJUAN UTAMA REFORMASI : 2 TUJUAN UTAMA REFORMASI MEWUJUDKAN
GOOD GOVERNANCE DAN CLEAN GOVERNMENT REFORMASI ADMINISTRATIF
Slide 3 : 3 SEMULA DENGAN PENDEKATAN GOVERNMENT FINANCIAL
ADMINISTRATION MENJADI PENDEKATAN GOVERNMENT FINANCIAL
MANAGEMENT HASILNYA ADANYA PEMISAHAN YANG TEGAS ANTARA MENTERI
KEUANGAN SELAKU CHIEF FINANCIAL OFFICER DAN MENTERI MENTERI TEKNIS
SELAKU CHIEF OPERATIONAL OFFICER
AMANDEMEN UUD ’45 MENGHASILKAN : 4 AMANDEMEN UUD ’45
MENGHASILKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 17 TAHUN 2003 TENTANG
KEUANGAN NEGARA UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 2004 TENTANG
PERBENDAHARAAN NEGARA UNDANG-UNDANG NOMOR 15 TAHUN 2004
TENTANG PEMERIKSAAN PELAKSANAAN ANGGARAN PENDAPATAN dan
BELANJA NEGARA (APBN)
ANGGARAN : 5 ANGGARAN MENURUT UU NOMOR 17 TAHUN 2003 MEMPUNYAI 3
TUJUAN UTAMA : 1. STABILITAS FISKAL MAKRO 2. ALOKASI SUMBER DAYA
SESUAI PRIORITAS 3. PEMANFAATAN ANGGARAN SECARA EFEKTIF EFISIEN
PERUBAHAN SISTEM ANGGARAN : 6 PERUBAHAN SISTEM ANGGARAN
PENERAPAN PRINSIP PERENCANAAN DAN PENGANGGARAN DGN PERSPEKTIF
JANGKA MENENGAH PENGANGGARAN TERPADU MEMADUKAN (UNIFIYING)
ANGGARAN PENERAPAN PENGANGGARAN BERBASIS KINERJA
KEUANGAN NEGARA : 7 KEUANGAN NEGARA PENGERTIAN PASAL 1 ANGKA 1
UU NOMOR 17 TAHUN 2003 ttg KEUANGAN NEGARA menetapkan “KEUANGAN
NEGARA ADALAH SEMUA HAK DAN KEWAJIBAN YANG DAPAT DINILAI DENGAN
UANG, SERTA SEGALA SESUATU BAIK BERUPA UANG MAUPUN BARANG YANG
DAPAT DIJADIKAN MILIK NEGARA BERHUBUNG DENGAN PELAKSANAAN HAK
DAN KEWAJIBAN TERSEBUT “
HAK DAN KEWAJIBAN NEGARA : 8 HAK DAN KEWAJIBAN NEGARA HAK
NEGARA UNTUK MEMUNGUT PAJAK MENGELUARKAN DAN MENGADAKAN
UANG DAN MELAKUKAN PINJAMAN KEWAJIBAN NEGARA UTK
MENYELNGGARAKAN TUGAS LAYANAN UMUM PEMERINTAHAN NEGARA DAN
MEMBAYAR TAGIHAN PIHAK KETIGA PENERIMAAN NEGARA PENGELUARAN
NEGARA KEKAYAAN NEGARA YG DIKELOLA SENDIRI ATAU OLEH PIHAK LAIN
BERUPA UANG, TERMASUK KEKAYAAN YG DIPISAHKAN PADA PERUSAHAAN
NEGARA.
GOVERNMENT FINANCIAL MANAGEMENT : 9 GOVERNMENT FINANCIAL
MANAGEMENT PERUBAHAN SECARA ADMINISTRATIF ? SEMULA PENDEKATAN
GOVERNMENT FINANCIAL ADMINISTRATION BERUBAH KE PENDEKATAN
GOVERNMENT FINANCIAL MANAGEMENT MEMISAHKAN KEWENANGAN
ANTARA MENTERI KEUANGAN selaku CHIEF FINANCIAL OFFICER dengan MENTERI-
MENTERI TEKNIS selaku CHIEF OPERATIONAL OFFICER
PEMBAGIAN KEWENANGAN AKAN MEMBERIKAN JAMINAN AKAN : : 10
PEMBAGIAN KEWENANGAN AKAN MEMBERIKAN JAMINAN AKAN :
TERLAKSANANYA MEKANISME SALING UJI (CHECK AND BALANCE) DALAM
PELAKSANAAN PENGELUARAN NEGARA KEJELASAN AKUNTABILITAS MENTERI
KEUANGAN SEBAGAI BENDAHARA UMUM NEGARA dan MENTERI TEKNIS sebagai
PENGGUNA ANGGARAN
PENGELOLAAN KEUANGAN DIMAKSUD adalah :DITETAPKAN DLM BAB VIII
UUD 1945 (amandemen) : : 11 PENGELOLAAN KEUANGAN DIMAKSUD adalah
:DITETAPKAN DLM BAB VIII UUD 1945 (amandemen) : WUJUD PENGELOLAAN
DALAM BENTUK ANGGARAN PEMERINTAH , YANG MELIPUTI PENDAPATAN dan
BELANJA NEGARA (APBN) YG DIBUAT SETIAP TAHUN SEBELUM DILAKSANAKAN
HARUSLAH TERLEBIH DAHULU MENDAPATKAN PERSETUJUAN dari DEWAN
PERWAKILAN RAKYAT
UU NO 17 2003 ttg KEUANGAN NEGARA : 12 UU NO 17 2003 ttg KEUANGAN
NEGARA “ ANGGARAN PEMERINTAH ITU MERUPAKAN RENCANA KEUANGAN
TAHUNAN PEMERINTAH YG DISETUJUI oleh LEMBAGA LEGISLATIF” TERMASUK
DLM PENGERTIAN ITU : UNDANG-UNDANG TTG APBN UNDANG-UNDANG TTG
PERUBAHAN APBN - UNDANG UNDANG TTG PERTANGGUNGJAWABAN APBN
Keuangan Negara dlm perspektif lain, : : 13 Keuangan Negara dlm perspektif lain, : SUDUT
PANDANG ILMU POLITIK SUDUT PANDANG ILMU HUKUM ? MENGHIMPUN
SUMBER-SUMBER ? MEMBEBANKAN KEWAJIBAN KEUANGAN SUDUT PANDANG
EKONOMI
PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA : 14 PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA
DARI SUDUT PENGERTIAN KEUANGAN NEGARA DGN PENGELOLAAN KEUANGAN
DLM RANGKA PENYELENGGARAAN PEMERINTAHAN HASIL REFORMASI
MANAJEMEN KEUANGAN NEGARA
PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN NEGARA : 15
PENGELOLAAN DAN PERTANGGUNGJAWABAN KEUANGAN NEGARA Pelaksanaan
APBN/D Pelaksanaan pnenerimaan & pengeluaran negara/daerah Pengelolaan kas Pengelolaan
piutang dan utang negara/daerah Pengelolaan investyasi dan barang milik negara/daerah
Penyelenggaraan akuntansi dan informasi manajemen keuangan negara/daerah Penyusunan
laporan pertanggungjawaban perlaksanaan APBN/APBD Penyelesaian kerugian negara/daerah
Pengelolaan BADAN LAYANAN UMUM Perumusan standar, kebijakan serta sistem dan
prosedur yg berkaitan dgn pengelolaan keuangan negara dlm rangka pelaksanaan APBN/APBD
TUGAS MENTERI KEUANGAN SELAKU PENGELOLA FISKAL : : 16 TUGAS
MENTERI KEUANGAN SELAKU PENGELOLA FISKAL : Menyusun kebijakan fiskal dan
kerangka ekonomi makro Menyusun rancangan APBN dan rancangan perubahannya
Mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran Melakukan perjanjian internasional dibidang
keuangan Melaksanaan pemungutan pendapatan negara yg telah ditetapkan dengan undang-
undang Melaksanakan fungsi bendaharawan umum negara Menyusun laporan keuangan yg
merupakan pertanggungjawaban pekaksanaan APBN Melaksanakan tugas-tugas dibidang
pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan undang-undang
MENTERI/PIMPINAN LEMBAGA sebagai PENGGUNA ANGGARAN/PENGGUNA
BARANG : 17 MENTERI/PIMPINAN LEMBAGA sebagai PENGGUNA
ANGGARAN/PENGGUNA BARANG Menyusun rancangan anggaran kementerian/lembaga
yang dipimpinnya Menyusun dokumen pelaksanaan anggaran Melaksanakan anggaran
kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya Melaksanakan pemungutan PNBP dan
menyetorkannya ke KAS NEGARA Mengelola piutang dan utang negara yang menjadi
tanggung jawab kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya Mengelola barang
milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab kementerian negara/lembaga yang
dipimpinnya Menyusun dan menyampaikan keuangan kementerian negara/lembaga yang
dipimpinnya Melaksanakan tugas2 lain yang menjadi tanggung jawabnya berdasarkan ketentuan
undang-undang
PEJABAT PERBENDAHARAAN NEGARA : 18 PEJABAT PERBENDAHARAAN
NEGARA Berdasarkan UU Nomor 1 tahun 2004 Tentang PERBENDAHARAAN NEGARA
Pengguna Anggaran/Barang pada kementerian negara/lembaga; Bendaharawan Umum/Daerah
Bendahara Penerimaan/Pengeluaran
ANGGARAN NEGARA INDONESIA : 19 ANGGARAN NEGARA INDONESIA PASAL 23
UUD 1945 (amandemen ke-3) “ APBN sebagai wujud pengelolaan keuangan ditetapkan setiap
tahun dengan UU dan dilaksanakan secara terbuka dan bertanggung jawab untuk sebesar-
besarnya bagi kemakmuran rakyat” Cakupan hak budget lembaga lehgislatif Persetujuan atas
belanja Persetujuan atas sumber-sumber penerimaan untuk membiayai belanja yang telah
disetujui
Siklus Anggaran : 20 Siklus Anggaran Tahap Tahap Persiapan (Budget Prepare) Tahap
Pengesahan (An-actment) Tahap Pelaksanaan Tahap Pemeriksaan (Penyesuaian dgn
Terminology UU nmr 15 tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pertanggung Jawaban pelaksanaan
Anggaran, yang memberikan manfaat bagi pengendalian pelaksanaan) Tahap Pertanggung
Jawaban
1. Tahap Persiapan : 21 1. Tahap Persiapan Cara Penyusunan Anggaran A z a s Pendekatan
Penyusunan Anggaran Perbandingan
1. Cara Penyusunan Anggaran : 22 1. Cara Penyusunan Anggaran Bottom up Planning Top
down Planning Mixing (campuran) s/d thn 2004 - Usulan anggaran dep./lembg (DUK/DUP) -
Penyusunan Nota Keuangan dan RAPBN - Pengesahan Nota Keuangan dan RAPBN menjadi
Undang-Undang - Penyusunan Satuan Tiga oleh Direktorat Jenderal Anggaran
Slide 23 : 23 - Pembahasan oleh Direktorat Jenderal Anggaran - Penyempurnaan
DIK/DIP/SPAAP Oleh Dit.Jen. Anggaran atau Kanwil DJA - Pengesahan DIK/DIP Oleh
Dit.Jen. Anggaran atau Kanwil DJA - Pelaksanaan Anggaran Oleh Dit.Jen. Anggaran atau
Kanwil DJA
2. A Z A S : 24 2. A Z A S Azas umum penyelenggaraan negara selama ini Azas Kepastian
hukum (principle of legal security) Azas tertib penyelenggara negara Azas kepentingan umum
KonsepGood Governance dan Clean Government : 25 KonsepGood Governance dan Clean
Government Asas akuntabilitas yg berorientasi pada hasil (result oriented accountibility) Asas
profesionalitas Asas proporsionalitas Asas keterbukaan dlm pengelolaan keuangan negara
(transparancy) Asas pemerikasaan keuangan
3. Pendekatan penyusunan anggaran : 26 3. Pendekatan penyusunan anggaran Pengeluaran
berperspektif jangka menengah (MTEF = Medium Term Expenditure Framework) Penganggaran
Terpadu (Unified Budget) Penganggaran berbasis kinerja (Performance budget)
4. Proses penganggaran mulai thn 2005 : 27 4. Proses penganggaran mulai thn 2005
Penyampaian pagu sementara oleh MENKEU/DJAPK Usulan Anggaran Kementerian/Lembaga
(Penyusunan RKA-KL)oleh Kementerian/Lembaga RKA-KL dibahas dibahas dgn Komisi
terkait di DPR Penelaahan oleh DJAPK Penyempurnaan Nota Keuangan dan RKA-KL
Disampaikan ke DPR dibahas dan ditetapkan menjadi lampiran APBN Penyusunan satuan
anggaran/penyusunan rincian anggaran oleh DJAPK Penyusunan DIPA/SRAA oleh
Kementerian/Lembaga Pengesahan DIPA oleh DJPBN/Kanwil DJPBN Pelaksanaan Anggaran
oleh DJPBN, Kanwil DJPBN/KPPN
2. TAHAP PENGESAHAN : 28 2. TAHAP PENGESAHAN TAHAP PENGESAHAN
Rencana Anggaran melalui pembahasan2 antara pemerintah dgn DPR stlh RUU APBN
disampaikan oleh Presiden dgn pidato kenegaraan tgl 16 Agustus dlm bentuk NOTA
KEUANGAN. RAPBN yg telah disetujui selanjutnya disahkan menjadi UU APBN oleh Presiden
diundangkan dalam Lembaran Negara
3. TAHAP PELAKSANAAN : 29 3. TAHAP PELAKSANAAN Pelaksanaan berpedoman pada
DIPA dilakukan oleh masing2 Satker selama satu tahun dimulai tanggal 1 Januari hingga 31
Desember
4. TAHAP PENGAWASAN : 30 4. TAHAP PENGAWASAN Tahapan yang sifatnya memberi
manfaat terhadap pengendalian pelaksanaan masing2 kegiatan, sehingga dapat dilakukan
perbaikan jika diketahui adanya kelainan dalam pelaksanaan.
5. TAHAP PERTANGGUNGJAWABAN : 31 5. TAHAP PERTANGGUNGJAWABAN
Penyampaian laporan keuangan Kementerian negara/Lembaga dan berpedoman pada : Keppres
RI nmr 42 tahun 2002 ttg APBN Kep.MenKeu nmr 337/KMK.012/2003 Akuntabilitas dan
keterbukaan dlm pengelolaan keuangan negara, termasuk prestasi kerja yang dicapai atas
penggunaan anggaran.
DIPA dan POKOK-POKOK PELAKSANAAN ANGGARAN : 32 DIPA dan POKOK-
POKOK PELAKSANAAN ANGGARAN Kebijakan Umum Fungsi DIPA DIPA
KEBIJAKAN UMUM : 33 KEBIJAKAN UMUM Menyempurnakan manajemen Belanja
Negara guna peningkatan efisiensi dan efektifitas pengelolaan Mencerminkan integritas
dokumen anggaran masa lalu,berbasis kinerja dan berorientasi pada kerangka pengeluaran
berjangka menengah dan standar akuntansi pemerintah
Fungsi DIPA : 34 Fungsi DIPA Sebagai pedoman dalam merealisasi anggarannya Sebagai
perencanaannya Sebagai penegndalian/pengawasan Sebagai pelaporan dan evaluasi Dokumen
pendukung kegiatan akuntansi pemerintah
D I P A : 35 D I P A DIPA Kantor Pusat DIPA Kantor Daerah DIPA dakam rangka pelaksanaan
Dekonsentrasi DIPA dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan
DIPA Kantor Pusat : 36 DIPA Kantor Pusat Pelaksanaannya dilakukan oleh Kantor Pusat
Kementerian Negara/Lembaga Penelaahan dilakukan secara bersama Dit PA DJPBN dgn
Kementerian Negar/Lembaga Menteri/Pimpinan Lembaga atau Pejabat yang ditunjuk
menetapkan DIPA Direktur Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan menetapkan
Surat Pengesahan
DIPA Kantor Daerah : 37 DIPA Kantor Daerah Pelaksanaannya dilakukan dilakukan oleh
Kantor Daerah/Instansi Vertikal Kementerian Negara/ Lembaga. Penelaahan dilakukan secara
bersama antara Kanwil DJPBN dgn Kantor Daerah/Instansi Vertika Kementerian
Negara/lembaga Kepala Kantor Daerah/Instansi Vertikal Kementerian Negara/lembaga atau
pejabat ditunjuk menetapkan DIPA dan Kanwil DJPBN an Menteri Keuangan Menetapkan SP
DIPA dlm rangka pelaksanaan Dekonsentrasi : 38 DIPA dlm rangka pelaksanaan
Dekonsentrasi Pelaksanaannya dilimpahkan kpd Gubernur Penelaahan DIPA dilakukan secara
bersama antara Kanwil DJPBN dgn Dinas terkait atas nama Gubernur Gubernur atau Kepala
Dinas atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan DIPA Kanwil DJPBN atas nama Menteri
Keuangan menetapkan Surat Pengesagan (SP) DIPA
DIPA dlm rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan : 39 DIPA dlm rangka pelaksanaan Tugas
Pembantuan Pelaksanannya ditugaskan kpd Gubernus/Bupati/ Walikota/Kepala Desa Penelaahan
DIPA dilakukan secara bersama antara Dit.PA DJPBN dgn Kementerian Negara/ Lembaga
terkait Menteri/Pimpinan Lembaga atau Pejabat yang ditunjuk menetapkan DIPA Direktur
Jenderal Perbendaharaan atas nama Menteri Keuangan menetapkan SP DIPA
Slide 40 : 40 DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN TAHUN ANGGARAN 2005
1A. UMUM Nomor SP Kementerian Lembaga Unit Organisasi Propinsi Halaman IA.1
Anggaran Tahun 2005 Rp Keterangan a. Pinjaman Luar Negeri (1) Valuta Asing US $ Rp 1.
Rupiah Murni Rp. (2) RPLN US $ Rp 2. PNBP Rp. b. Hibah (1) Valuta Asing US $ Rp 3.
Pinjaman/Hibah Luar Negeri (2) RPLN US $ Rp 2. Rincian Pinjaman Hibah Luar Negeri
Slide 41 : 41 Halaman II DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN II. RINCIAN
PENGELUARAN (RIBUAN RUPIAH) Nomor SP: Halaman ii Keterangan : 1 – Pegawai 2 –
Barang 3 – Modal 4 – Bunga Hutang 5 – Subsidi 6 – Bantuan Sosial 7 – Hibah 8 – Lain-lain
Jakarta, Desember 2004 Nama NIP
Slide 42 : 42 DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN II. RINCIAN
PENGELUARAN (RIBUAN RUPIAH) Nomor SP Kementerian/Lembaga Unit Organisasi
Propinsi Jakarta, Desember 2004 Halaman III

AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH SEBAGAI BAGIAN DARI MANAJEMEN


KEUANGAN DAERAH
By dhanialfitra
AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH
SEBAGAI BAGIAN DARI
MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH
Manajemen keuangan daerah merupakan alat untuk mengelola rumah tangga pemerintah daerah.
Salah satu bagian dari manajemen keuangan daerah adalah akuntansi keuangan daerah.
Akuntansi keuangan daerah merupakan salah satu bentuk tata usaha dalam manajemen
keuangan daerah selain tata umum atau administrasi. Akuntansi keuangan daerah merupakan
bagian dari akuntansi sektor publik. Tingkatan tertinggi dalam sektor publik adalah tingkatan
negara. Manajemen atau pengelolaan keuangan daerah terdiri atas pengurusan umum dan
pengurusan khusus. Pengurusan umum berkenaan dengan APBD, sedangkan pengurusan khusus
berkenaan dengan barang-barang inventaris kekayaan daerah. Akuntansi keuangan daerah
merupakan kegiatan akuntansi yang terdapat pada pengurusan APBD maupun pengurusan
barang-barang inventaris kekayaan daerah.
KEUANGAN NEGARA DAN RUANG LINGKUPNYA
Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban Negara yang dapat dinilai dengan uang, serta
segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik Negara
berhubung pelaksana hak dan kewajiban tersebut. Ruang lingkup keuangan Negara adalah semua
unsur keuangan atau kekayaan yang menjadi tanggung jawab Negara. Ruang lingkup keuangan
Negara dibagi menjadi dua yaitu yang dikelola langsung oleh pemerintah dan yang
dipisahakan pengurusannya. Keuangan Negara yang dikelola langsung oleh pemerintah pusat
adalah komponen keuangan Negara yang mencakup seluruh penerimaan dan pengeluarannya
yang meliputi lembaga tertinggi Negara, lembaga tinggi Negara, departemen, lembaga non
departemen, dan bagian anggaran pembiayaan dan perhitungan. Keuangan Negara yang
dipisahkan pengurusannya adalah komponen keuangan Negara yang pengurusannya dipisahkan
dan cara pengelolaannya berdasarkan hukum publik yang meliputi BUMN.
Keuangan Negara diadministrasi melalui pengurusan keuangan Negara yang dibagi menjadi dua
yaitu pengurusan umum (administrative) dan pengurusan khusus (bendaharawan).
Pengurusan umum berisi hak penguasaan dilaksanakan oleh otorisator, sedangkan yang berisi
hak memberikan perintah menagih dan membayar adalah ordonator. Otorisator adalah presiden
sedangkan ordonator dipegang oleh menteri keuangan.
Pengurusan khusus dilaksanakan oleh bendaharawan yang dibagi dua macam, yaitu :
1. Bendaharawan yang mengurus uang. Bendaharawan ini terdiri atas bendaharawan khusus
dan bendaharawan umum. Bendaharawan umum mengurus penerimaan maupun
pengeluaran Negara, sedangkan bendaharawan khusus mengurus penerimaan saja atau
pengeluaran Negara saja.
2. Bendaharawan yang mengurus barang.
APBN DAN APBD
Anggaran adalah rencana kegiatan yang diwujudkan dalam bentuk finansial, meliputi usulan
pengeluaran yang diperkirakan untuk suatu periode waktu tertentu, beserta cara-cara memenuhi
pengeluaran tersebut. Karena APBN dan APBD merupakan inti keuangan (akuntansi)
pemerintahan dalam era Pra reformasi dan selama era tersebut anggaran merupakan satu-satunya
informasi keuangan yang dihasilkan pemerintah.
APBN
APBN merupakan inti pengurusan umum , dan sebagai anggaran Negara yang selalu
menyebutkan pengeluaran terlebih dahulu, baru penerimaan hal ini berbeda dengan anggaran
perusahaan yang pada umumnya selalu mendahulukan penyusunan penerimaannya. Dalam arti
sempit anggaran Negara berarti rencana pengeluaran dan penerimaan dalam satu tahun saja.
Dalam arti luas anggaran Negara berarti jangka waktu perencanaan, pelaksanaan, dan
pertanggungjawaban anggaran.
Adapun fungsi dari anggaran Negara yaitu :
1. Sebagai pedoman bagi pemerintah dalam mengelola Negara untuk suatu periode di masa
mendatang.
2. Sebagai alat pengawas bagi masyarakat terhadap kebijaksanaan yang telah dipilih
pemerintah karena sebelum anggaran Negara dijalankan harus mendapat persetujuan
DPR terlebih dahulu.
3. Sebagai alat pengawas bagi masyarakat terhadap kemampuan pemerintah dalam
melaksanakan kebijaksanaan yang telah dipilihnya karena pada akhirnya anggaran harus
dipertanggungjawabkan pelaksanaanya oleh pemerintah kepada DPR.
Anggaran Negara memiliki suatu daur anggaran yaitu suatu proses anggaran yang terus menerus
yang dimulai dari tahap penyusunan anggaran oleh yang berwenang. Daur anggaran Negara
Republik Indonesia ada Lima tahap yaitu :
1. Penyusunan dan pengajuan Rancangan Anggaran (Rancangan Undang-Undang APBN)
oleh Pemerintah Kepada DPR.
o Berdasarkan UUD 1945 Pasal 23, tiap tahun APBN ditetapkan dengan Undang-
Undang.
o Bertanggungjawab dalam penyusunan anggaran adalah kekuasaan eksekutif.

o Proses penyusunan dan pengajuan Rancangan Undang-Undang APBN :

• Penerbitan Surat EdaranMenteri Keuangan yang berisi permintaan sumbangan anggaran


dalam bentuk Daftar Usulan Kegiatan (DUK) belanja rutin dan Daftar Usulan Proyek
(DUP) untuk belanja pembangunan.
• DUK dan DUP masing-masing departemen/lembaga disampaikan kepada Direktorat
Jenderal Anggaran (DJA) Depkeu. DUP juga disampaikan ke Bappenas.
• DUK dibahas di DJA, DUP dibahas di DJA dan Bappenas.
• Pembuatan Rancangan Anggaran oleh Menteri Keuangan dengan melibatkan Gubernur
Bank Sentral dan Menteri-menteri yang lain dalam tingkat dewan moneter.
• Penyusunan Nota Keuangan oleh Depkeu yang berisi antara lain:
o Kebijakan fiscal dan moneter

o Perkembangan harga-harga, gaji, dan upah


o Taksiran penerimaan dan pengeluaran Negara untuk tahun mendatang

o Jumlah uang yang beredar

 Inspektorat Jendral Departemen/Lembaga.


 Inspektorat Wilayah Provinsi.
 Inspektorat Wilayah Kabupaten/Kotamadya yang bersifat sektoral.
 BPKP
1. Pembahasan dan persetujuan DPR atas RUU-APBN dan penetapan undang-undang
APBN.
o Sebelum tahun anggaran baru dimulai, pemerintah menyampaikan Rancangan
Undang-undang APBN, nota keuangan, dan perincian lebih lanjut kepada DPR,
jika di setujui maka RUU tersebut disahkan menjadi undang-undang dan jika
tidak mengggunakan undang-undang tahun lalu (Pasal 23 ayat (1) UUD 1945).
o Undang-undang APBN mewajibkan pemerintah menyusun laporan realisasi pada
pertangan tahun anggaran berikut prognosa 6 bulan berikutnya.
o Penyusunan perhitungan dan pelaksanaan APBN akan diperiksa dan disampaikan
selambat-lambatnya 2 tahun
2. Pelaksanaan anggaran, akuntansi, dan pelaporan keuangan oleh pemerintah.
o Kepres perincian lebih lanjut yang dipakai sebagai dasar pelaksaan anggaran oleh
pemerintah.
o Daftar isian kegiatan, daftar isian proyek, dan surat keputusan otorisasi(DIK, DIP,
dan SKO) merupakan dokumen dasar pelaksanaan anggaran. Ketiganya
merupakan kredit anggaran
Setelah DIK diterima oleh kepala kantor dan DIP oleh pimpinan proyek
o
/bendaharawan proyek, maka bisa diajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP)
baik SPPR (Rutin) dan SPPP (Pembangunan) ke Kantor Perbendaharaan dan
Keuangan Negara (KPKN).
o KPKN menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM), SPM-DU digunakan untuk
kas kecil, dana awal, sedangkan SPM-GU untuk pengisian kembali kas kecil,
SPM-LS digunakan untuk pengeluaran diatas Rp10.000.0000.00, diuangkan ke
KPKN.
o DIK dan DIP ini disebut sebagai otorisasi kredit anggaran (dana anggaran) yang
disebut allotment.
o DIK diterbitkan perbagian anggaran, sedangkan DIP diterbitkan perproyek/
bagian proyek.
3. Pemeriksaan pelaksanaan anggaran dan akuntansi oleh aparat pengawasan fungsional.
o Pengawasan dilakukan oleh Badan Pemeriksa Keuangan (Bapeka).

o Pengawasan fungsional dapat dilakukan oleh :

• Kepala kantor/pemimpin proyek/bendaharawan harus menyampaikan Laporan Keadaan


Kredit Anggaran(LKKA) dan Laporan Keadaan Kas (LKK).
o Jumlah penerimaan dan pengeluaran Neagara dalam 1 tahun.

o SAL/SAK, yaitu realisasi penerimaan dikurangi realisasi pengeluaran.

o Perincian SAL/SAK.

1. Pembahasan dan persetujuan DPR atas Perhitungan Anggaran Negara (PAN) dan
penetapan undang-undang PAN.
o Perhitungan anggaran (pelaksanaan anggaran) dibuat oleh pemerintah untuk
diperiksa oleh Bapeka. Perhitungan anggaran disampaikan ke DPR selambat-
lambatnya 18 bulan setelah tahun anggaran.
o Pertanggungjawaban pemerintah tersebut sebagai Perhitungan Anggaran Negara
(PAN). PAN disusun atas Perhitungan Anggaran.
o Isi PAN :

Pembukuan APBN menggunakan basis kas (Pasal 1 Kepres Nomer 16 Tahun 1994 tentang
pelaksanaan APBN)
APBD
Adalah suatu anggaran daerah yang memiliki beberapa unsur yaitu :
1. Rencana kegiatan suatu daerah, beserta uraian dan rinciannya.
2. Adanya sumber penerimaan yang merupakan target minimal untuk memenuhi biaya-
biaya sehubungan dengan aktivitas-aktivas tersebut.
3. Jenis proyek yang dituangkan dalam bentuk angka.
4. Periode anggaran, biasanya 1 tahun.
Di era pra reformasi, bentuk dan susunan APBD mengalami perubahan 2 kali.
Karakteristik APBD di era reformasi antara lain :
1. APBD disusun oleh DPRD bersama Kepala Daerah (Pasal30 UU No 5/1975).
2. Line item atau pendekatan tradisional yang dipakai dalam penyusunan anggaran.
3. Penyusunan dan penetapan perhitungan APBD merupakan pertanggungjawaban APBD
kepada Menteri dalam Negeri.
4. Pengawasa APBD berdasar objek pendapatan daerah, dan pengawasan pengeluaran
daerah.
5. Pengawasan pengeluaran daerah berdasar tiga unsur yaitu unsure ketaatan pada peratura
perundangan, kehematan dan keefisiensi, dan hasil program (untuk proyek-proyek
daerah).
6. Sistem akuntansi keuangan daerah menggunakan stelsel cameral (tata buku anggaran)
bukannya stelsel komersial (tata buku kembar berpasangan), tujuan pembukuan keuangan
daerah pada era tersebut adalah pembukuan pendapatan.
KEUANGAN DAERAH, MANAJEMEN KEUANGAN DAERAH, DAN AKUNTANSI
KEUANGAN DAERAH
Keuangan daerah dapat diartikan sebagai : “semua hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan
uang, baik berupa uang ataupun barang yang dapat dijadikan sebagai kekayaan daerah sepanjang
belum dimiliki oleh Negara atau daerah yang lebih tinggi serta pihak-pihak lain yang sesuai
dengan ketentuan dan perundangan yang berlaku”
• Yang dimaksud dengan semua hak adalah hak untuk memungut sumber-sumber
penerimaan daerah seperti pajak daerah, retribusi daerah, hasil perusahaan milik daerah,
dan hak untuk penerimaan lain.
• Sedangkan semua kewajiban adalah kewajiban untuk mengeluarkan uang untuk
membayar tagihan-tagihan kepada daerah
• Keuangan daerah dikelola melalui manajemen keuangan daerah. Jadi, manajemen
keuangan daerah adalah pengorganisasian dan pengelolaan sumber-sumber daya atau
kekayaan yang ada pada suatu daerah untuk mencapai tujuan. Alat untuk melaksanakan
manajemen keuangan daerah disebut dengan tata usaha daerah. Tata usaha keuangan
daerah dibagi menjadi dua golongan, yaitu : tata usaha umum dan tata usaha keuangan.
Tata usaha umum menyangkut kegiatan surat menyurat, mengagenda, mengekspedisi,
menyimpan surat-surat penting. Tata usaha keuangan adalah tata buku yang merupakan
rangkaian kegiatan yang dilakukan secara sistematis di bidang keuangan berdasar prinsip
dan standar-standar tertentu sehingga dapat memberikan informasi aktual di bidang
keuangan. Tata usaha keuangan inilah yang disebut akuntansi keuangan daerah.
• Di era informasi keuangan daerah ini, tata usaha keuangan daerah tersebut tidak memadai
sebagai penghasil informasi yang dikehendaki oleh PP nomor 105 tahun 2000 dan
Kepmendagri nomor 29 tahun 2002. Hal ini dikarenakan karena adanya :
o Keharusan membuat laporan aliran kas dan neraca

o Tuntutan pembuatan anggaran kinerja yang memerlukan informasi keuangan


lebih detail
o Keharusan penerapan pusat pertanggungjawaban yang menuntut adanya informasi
mengenai pendapatan, biaya, dan investasi.
o Keharusan mengelola asset daerah dengan lebih baik.

KEDUDUKAN AKUNTANSI KEUANGAN DAERAH DI DALAM MANAJEMEN


KEUANGAN DAERAH
Salah satu pengertian manajemen keuangan daerah adalah definisi manajemen keuangan daerah
sebagai usaha-usaha yang dilakukan manajer, yakni pemerintah daerah, dalam membelanjakan
dana yang dimiliki daerah sesuai dengan kebutuhan dan karakteristik daerah tersebut dan dalam
mendapatkan dana yang dibutuhkan untuk membiayai pengeluaran tersebut. Kedudukan
akuntansi keuangan daerah didalam manajemen keuangan daerah yaitu tata usaha merupakan
alat untuk melaksanakan manajemen keuangan daerah. Alat ini terbagi menjadi dua kelompok
yakni tata usaha umum dan tata usaha keuangan. Akuntansi keuangan daerah sering disebut
sebagai tata usaha keuangan.
Berikut ini adalah versi HTML dari berkas http://www.bappenas.go.id/get-file-
server/node/2965/.
G o o g l e membuat versi HTML dari dokumen tersebut secara otomatis pada saat menelusuri
web.
REFORMASI MANAJEMEN KEUANGAN PEMERINTAH :
SEBUAH TINJAUAN
Awan Setiawan *)
Pengantar
Tulisan ini diharapakan dapat menjadi input bagi para perencana di Bappenas khususnya
dalam pelaksanaan 3 (tiga) agenda Repenas Transisi, yang salah satunya adalah “mempercepat
reformasi”, yang dalam tulisan ini fokus pada manajemen keuangan pemerintah. Walapun
informasi yang disampaikan tidak cukup komprehensif, namun menurut hemat kami isu tersebut
masih cukup aktual, terutama mendorong Reposisi Bappenas dan kembali kepada track yang
benar.
Pendahuluan
Manajemen keuangan pemerintah merupakan salah satu kunci penentu keberhasilan
pembangunan dan penyelenggaraan pemerintahan dalam kerangka nation and state building.
Adanya manajemen keuangan pemerintah yang baik akan menjamin tercapainya tujuan
pembangunan secara khusus, dan tujuan berbangsa dan bernegara secara umum. Karenanya,
langkah-langkah strategis dalam konteks penciptaan, pengembangan, dan penegakan sistem
manajemen keuangan yang baik merupakan tuntutan sekaligus kebutuhan yang semakin tak
terelakkan dalam dinamika pemerintahan dan pembangunan.
Munculnya perhatian yang besar akan pentingnya manajemen keuangan pemerintah
dilatarbelakangi oleh banyaknya tuntutan, kebutuhan atau aspirasi yang harus diakomodasi di
satu sisi, dan terbatasnya sumberdaya keuangan pemerintah di sisi lain. Dengan demikian,
pencapaian efektivitas dan efisiensi keuangan pemerintah semakin mengemuka untuk
diperjuangkan perwujudnya.
Dalam upaya perwujudan manajemen keuangan pemerintah yang baik, terdapat pula
tuntutan yang semakin aksentuatif untuk mengakomodasi, menginkorporasi, bahkan
mengedepankan nilai-nilai good governance. Beberapa nilai yang relevan dan urgen untuk
diperjuangkan adalah antara lain transparansi, akuntabilitas, serta partisipasi masyarakat dalam
proses pengelolaan keuangan dimaksud, disamping nilai-nilai efektivitas dan efisiensi tentu saja.
Dalam konteks yang lebih visioner, manajemen keuangan pemerintah tidak saja harus
didasarkan pada prinsip-prinsip good governance, tetapi harus diarahkan untuk mewujudkan
nilai-nilai dimaksud.
Sebagaimana dibahas dalam artikel Mulia P. Nasution berjudul “Reformasi Manajemen
Keuangan Pemerintah” (Jurnal Forum Inovasi, Desember – Februari 2003), pemerintah
Indonesia sebenarnya sudah memberi perhatian yang sungguh-sungguh untuk mengakomodasi
dan mewujudkan harapan dan tuntutan di atas. Upaya mewujudkan manajemen keuangan
pemerintah yang baik, antara lain, diperjuangkan dengan memperhatikan prinsip dan nilai-nilai
good governance. Yang selama ini sudah dilakukan adalah dengan membahas RUU Keuangan
Negara yang sudah diundangkan DPR pada tanggal 9 Maret 2003 lalu (jadi setelah artikel ini
ditulis) menjadi UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Terdapat 4 prinsip dasar
pengelolaan keuangan negara yang menjadi fokus perhatian utama dalam UU ini, yaitu (1)
akuntabilitas berdasarkan hasil atau kinerja, sehingga muncul kerangka kerja baru dengan nama
“Anggaran Berbasis Kinerja (Performance Budget)” yang pada saat ini sedang diujicobakan
pelaksasanaannya dan diharapkan dimulai pada tahun anggaran 2005; (2) keterbukaan dan setiap
transaksi keuangan pemerintah; (3) pemberdayaan manajer profesional; dan (4) adanya lembaga
pemeriksa eksternal yang kuat, profesional, dan mandiri serta dihindarinya duplikasi dalam
pelaksanaan pemeriksaan (double accounting). Berdasarkan keempat prinsip tersebut, maka
artikel ini menempatkan reformasi perbendaharaan dan reformasi di bidang auditing sebagai
agenda yang mendesak.
Urgensi

Pentingnya reformasi keuangan pemerintah dengan beberapa bidang di atas sebagai


fokusnya, dalam penilaian penulis ini, dilatarbelakangi oleh beberapa pertimbangan strategis
yang terutama diwakili oleh luasnya skala persoalan yang harus diatasi. Persoalan-persoalan
dimaksud antara lain :
Pertama, rendahnya efektivitas dan efisiensi penggunaan keuangan pemerintah akibat
maraknya irasionalitas pembiayaan kegiatan negara. Kondisi ini disertai oleh rendahnya
akuntabilitas para pejabat pemerintah dalam mengelola keuangan publik. Karenanya, muncul
tuntutan yang meluas untuk menerapkan sistem anggaran berbasis kinerja.
Kedua, tidak adanya skala prioritas yang terumuskan secara tegas dalam proses pengelolaan
keuangan negara yang menimbulkan pemborosan sumber daya publik. Selama ini, hampir tidak
ada upaya untuk menetapkan skala prioritas anggaran di mana ada keterpaduan antara rencana
kegiatan dengan kapasitas sumber daya yang dimiliki. Juga harus dilakukan analisis biaya-
manfaat (cost and benefit analysis) sehingga kegiatan yang dijalankan tidak saja sesuai dengan
skala prioritas tetapi juga mendatangkan tingkat keuntungan atau manfaat tertentu bagi publik.
Persoalan ketiga yang menuntut dilakukannya reformasi manajemen keuangan pemerintah
adalah terjadinya begitu banyak kebocoran dan penyimpangan, misalnya sebagai akibat adanya
praktek KKN.
Keempat dan terakhir adalah rendahnya profesionalisme aparat pemerintah dalam mengelola
anggaran publik. Inilah merupakan sindrom klasik yang senantiasa menggerogoti negara-negara
yang ditandai oleh superioritas pemerintah. Dinamika pemerintah, termasuk pengelolaan
keuangan di dalamnya, tidak dikelola secara profesional sebagaimana dijumpai dalam
manajemen sektor swasta. Jarang ditemukan ada manajer yang profesional dalam sektor publik.
Bahkan terdapat negasi yang tegas untuk memasukkan kerangka kerja sektor swasta ke dalam
sektor publik di mana nilai-nilai akuntabilitas, profesionalisme, transparansi, dan economic of
scale menjadi kerangka kerja utamanya.
Dengan memperhatikan beberapa patologi tersebut, artikel ini sampai pada beberapa
rekomendasi strategis yang pada intinya ingin mengembalikan manajemen keuangan
pemerintah dalam bentuk anggaran sebagai alat akuntabilitas, manajemen dan kebijakan
ekonomi yang sehat.
Menarik dari pembahasan penulis ini adalah adanya upaya untuk memisahkan secara tegas
antara kewenangan administratif dan kewenangan kebendaharaan. Dalam penilaian penulis ini
kewenangan administratif seyogyanya berada dan diatur oleh masing-masing
departemen/lembaga pemerintah, sementara kewenangan kebendaharaan berada di tangan
Menteri Keuangan. Kewenangan administratif meliputi otoritas untuk melakukan perikatan
(kontrak) atau tindakan-tindakan lain yang mengakibatkan terjadinya penerimaan atau
pengeluaran negara serta perintah untuk melakukan pembayaran atau menagih penerimaan
yang timbul sebagai konsekuensi dari suatu perikatan. Sedangkan kewenangan kebendaharaan
meliputi tidak boleh secara sempit ditafsirkan sebagai sekedar fungsi kasir untuk membayarkan
tagihan atau mengelola penerimaan, tetapi juga meliputi otoritas untuk meneliti kebenaran
penerimaan dan pengeluaran tersebut. Dalam konteks ini, Menteri Keuangan bertindak sebagai
kasir, pengawas, sekaligus sebagai fund manager.
Pembagian yang demikian sangat menarik untuk dibahas sejalan dengan munculnya
kontroversi yang luas pasca diundangkannya UU Nomor 17 Tahun 2003. Bagi mereka yang pro
dengan UU tersebut, Menteri Keuangan dan Departemen Keuangan sudah saaatnya diberi
kewenangan yang lebih luas, tidak saja untuk mengelola keuangan negara an sich tetapi juga
melakukan verifikasi atas penerimaan dan pengeluaran tersebut serta otoritas di bidang
perencanaan yang secara langsung maupun tidak langsung akan menghapus – atau tepatnya
mengurangi – peran dan fungsi Bappenas serta keberadaan BUMN lainnya (Kontan, 24 Maret
2003, Republika, 15 April 2003, Koran Tempo 27 Maret 2003). Argumentasi yang demikian
dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa badan yang mengelola anggaran seharusnya
dilibatkan secara aktif untuk turut menentukan perencanaan pembangunan. Dengan demikian,
ada sinergi dan rasionalitas yang tinggi antara rencana kegiatan yang diusulkan dengan kapasitas
anggaran yang tersedia.
Sementara itu muncul juga kelompok kedua yang menentang diberlakukannya UU ini. Bagi
mereka, mendelegasikan wewenang penganggaran dan perencanaan yang begitu besar kepada
Departemen Keuangan sama halnya dengan memberi “cek kosong” kepada lembaga tersebut.
Argumentasi ini dilatarbelakangi oleh pertimbangan bahwa, pertama, penyerahan mandat
absolut kepada Departemen Keuangan jelas sangat bertentangan dengan prinsip pemerintahan
yang baik (good governance), terutama transparansi dan akuntabilitas. Adanya wewenang
perencanaan dan penganggaran pada satu lembaga akan menyebabkan tidak bekerjanya
mekanisme check and balance, dan kedua, UU tersebut secara langsung telah mempreteli hak
prerogatif presiden dalam melakukan reorganisasi dan restrukturisasi Kementerian Negara; dan
ketiga, Departemen Keuangan diidentifikasi sebagai salah satu pusat masalah dalam
pengelolaan anggaran di Indonesia sehingga sangat tidak bijak untuk mendelegasikan wewenang
yang besar kepada sebuah lembaga yang memang bermasalah (Forum Indonesia Raya, 2003).
Terlepas dari pro dan kontra di atas, UU tersebut sebenarnya ingin mengintroduksi sebuah
kerangka kerja baru yang bersemangatkan nilai-nilai good governance, terutama efektivitas dan
efisiensi walaupun kurang memberikan garansi bagi terwujudnya akuntabilitas dan transparansi
karena absennya mekanisme check and balance. UU ini berusaha mendorong terwujudnya suatu
kerangka hukum yang jelas tentang tata cara pengelolaan keuangan negara yang bersih dari
korupsi, penyelewengan, atau penyimpangan. Misalnya ada ketentuan untuk membatasi defisit
anggaran sebesar maksimum 60% dari PDB dan dalam penyusunan APBD, defisit anggaran
tidak boleh melebihi 3% dan utang tidak boleh melebihi 60% dari PDRB. UU tersebut sekaligus
mengganti pedoman pelaksanaan keuangan negara yang masih merupakan warisan Hindia
Belanda, yaitu ICW Stbl 1925 Nomor 448.
Semangat baru yang dikedepankan oleh UU ini adalah adanya pengawasan yang semakin
meningkat dimana diamanatkan bahwa laporan kepada badan Pemeriksa Keuangan (BPK) harus
diajukan selambat-lambatnya 6 bulan setelah tahun anggaran berakhir. Demikian juga, para
pejabat maupun publik yang terbukti merugikan keuangan negara diwajibkan untuk mengganti
kerugian dimaksud (Pasal 35 Ayat 1). Demikian halnya dengan kemungkinan untuk menuntut
bendahara negara secara pribadi yang terbukti melakukan kelalaian, penyelewengan, atau
korupsi termasuk kewajiban untuk mengganti kerugian atas keuangan negara (Sinar Harapan, 6
Mei 2003).
Selain nilai-nilai yang diperjuangkan melalui UU di atas, ada juga langkah maju – walaupun
masih pada tataran wacana – yang sedang diupayakan dan menjadi kesepakatan semua pihak,
yaitu perlunya upaya untuk mengefektifkan fungsi pengawasan dan pemeriksaan pengelolaan
keuangan negara. Selama ini, fungsi tersebut dijalankan oleh BPKP sebagai state auditor.
Lembaga ini diberi kewenangan untuk melakukan verifikasi atas semua pos penerimaan dan
pengeluaran pembangunan negara yang dilakukan setiap akhir tahun anggaran. Banyak temuan
yang berhasil menyelamatkan sumberdaya negara, walaupun tidak sedikit juga yang luput dari
pengawasan. Pembenahan internal dalam tubuh BPKP mutlak dilakukan karena lembaga yang
dianggapa sebagai benteng terakhir dalam manajemen keuangan negara ini juga tidak lepas
dari masalah. Muncul penilaian bahwa BPKP adalah bagian dari masalah (a part of the problem).
Lembaga itu tidak jarang terlibat dalam konspirasi dengan pihak kedua yang sangat merugikan
keuangan negara.
Jika BPKP sebagai state auditor masih terbelit pada berbagai masalah, maka salah satu
alternatif yang bisa ditempuh adalah dengan mendayagunakan independent external auditor. Ini
merupakan lembaga pemeriksa independen yang berasal dari luar pemerintah semisal konsultan-
konsultan akuntansi publik yang kini banyak berkembang. Banyak contoh yang memperlihatkan
bagaimana kiprah dan kontribusi positif lembaga-lembaga tersebut dalam menyelematkan
keuangan negara. Sebut saja apa yang dilakukan Anderson Counsultant, sebuah perusahaan
konsultan internasional, yang berhasil membongkar kroni Soeharto. Lembaga-lembaga semacam
itu bisa dipekerjakan untuk menopangan kinerja keuangan pemerintah.
Apa yang telah dipaparkan di atas tidak hanya menjadi pekerjaan rumah pemerintah pusat.
Bersamaan implementasi otonomi daerah, reformasi manajemen keuangan pemerintah perlu
juga dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Bahkan reformasi keuangan pemerintah daerah
semakin mendesak dilakukan mengingat masih terbatasnya kemampuan manajemen keuangan
di kalangan pemerintah daerah di satu sisi, dan semakin banyaknya anggaran pembangunan dan
pelayanan publik yang mengalir ke daerah menyusul implementasi otonomi daerah di sisi lain.
Gejala-gejala KKN dalam manajemen keuangan daerah, proses tender yang tidak terbuka, dan
parktek-praktek manipulatif lainnya kini sudah semakin merebak di daerah. Muncul pula keluhan
bahwa implementasi otonomi daerah hanya memindahkan borok permasalah dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah justru ketika masyaraklat semakin mengharapkan kondisi
kehidupan dan kesejahteraan yang semakin baik. Fasilitasi yang dilakukan oleh World Bank
bekerjasama dengan Bappenas, Departemen Dalam Negeri, dan Departemen Keuangan RI
dalam skema program Initiatives for Local Governance Reform (ILGR) adalah dalam kerangka
penegakan transparansi dan akuntabilitas pengelolaan keuangan negara itu.
Di atas semua itu, tulisan singkat ini juga memberikan perhatian khusus pada penegakan
integritas dan profesionalisme SDM aparat pelaksana. Bagaimanapun idealnya sebuah
aransemen kebijakan, jika tidak didukung oleh kapasitas dan moral pejabat yang baik maka
kebijakan tersebut tidak akan banyak bermanfaat. Langkah-langkah capacity building untuk
peningkatan profesionalisme aparat pelaksana, baik yang berwenang mengelola keuangan
negara maupun pejabat yang menggunakannya, sangat mendesak dilakukan karena diidentifikasi
bahwa salah satu persoalan yang menimbulkan kesemrawutan pengelolaan keuangan
pemerintah terletak pada rendahnya kapasitas aparat. Pemberdayaan kapasitas aparat tersebut,
sekali lagi, tidak hanya terbatas pada aparat di pusat tetapi juga aparat daerah. Hanya jika
terdapat SDM yang memiliki integritas dan moral yang tinggi serta kemampuan manajerial dan
operasional yang tinggi baru langkah-langkah reformasi keuangan pemerintah yang telah
dirumuskan dalam berbagai paket kebijakan tersebut berhasil diimplementasikan.
Kesimpulan

Dari beberapa poin yang disampaikan di atas, dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai
berikut.
Pertama, langkah-langkah reformasi keuangan pemerintah sangat diperlukan mengingat
banyaknya persoalan yang berkembang pada sektor itu seperti rendahnya tingkat efektivitas dan
efisiensi pemanfaatan anggaran, irasionalitas dalam pengelolaan, serta banyaknya penyimpangan
atau penyalahgunaan.
Kedua, langkah-langkah reformasi keuangan pemerintah harus dituntun oleh dan diarahkan
menuju terwujudnya nilai-nilai good governance yang dilakukan secara serentak baik di pusat
maupun daerah.
Ketiga, mengingat masalah kebendaharaan dan auditing dilihat sebagai dua titik terlemah
dalam manajemen keuangan pemerintah, maka langkah-langkah reformasi harus diarahkan
untuk mengatasi permasalahan tersebut. Untuk masalah kebendaharaan, langkah reformasi bisa
dilakukan dengan menegakkan sistem check and balance di mana ada pembagian peran yang
jelas antara Departemen Keuangan dan departemen teknis lainnya. Pembagian kerja dimaksud
tetap harus diarahkan pada perwujudan efisiensi dan efektivitas pengelolaan anggaran di
samping adanya jaminan transparansi dan akuntabilitas.
Keempat, di luar berbagai paket kebijakan yang sudah bagus, diperlukan satu langkah lagi
yang sangat menentukan yaitu peningkatan kapasitas aparat, baik yang berhubungan langsung
dengan pengelolaan anggaran maupun tidak langsung. Kunci keberhasilan reformasi
manajemen keuangan daerah tidak hanya terletak pada kebijakan yang didesain dengan baik
tetapi juga pada SDM yang akan mengimplementasikan
KEUANGAN NEGARA

Manajemen keuangan adalah salah satu substansi proble manajemen pendidikan. Kedudukannya
sangat krusial dan strategis karena ia dipandang sebagai “bahan bakarnya” pendidikan. Yang
berarti bahwa hampir semua bentuk layanan pendidikan, membutuhkan kucuran sumber daya
keuangan.

Sumber-sumber keuangan dalam manajemen keuangan di sekolah meliputi: (1) pemerintah pusat
atau negara, (2)pemerintah kabupaten/kota, (3)sumbanagnh dan pembiayaan pendidikan, (4)
dana masyarakat atau orang tua peserta didik, (5)sumber lainnya seperti hibaha,atau sumber lain
yang tidak bertentangna dengan peraturan perundang-undangan, (6) yayasana/penylenggara
sekolah swasta yang lazimnya menyediakan anggaran rutin operasional SD swasta (Depdiknas,
2002)

Membicarakan keuangan sekolah, memang tidak bisa lepas dari masalah keuangan
Negara. sesuai dengan Undang-undang No. 17 tahun 1965 penjelasan pada lembaran Negara No
1776 dijelaskan bahwa

A. Pengertian Keuangan Negara

Keuangan Negara adalah hak dan kewajiban yang dapat dinilai dengan uang dan segala sesuatu
baik berupa uang maupun barang dapat dijadikan “hak milik negara”.

Keuangan Negara dapat diartikan juga sebagai suatu bentuk kekayaan pemerintah yang diperoleh
dari penerimaan, hutang, pinjaman pemerintah, atau bisa berupa pengeluaran pemerintah,
kebijakan fiscal, dan kebijakan moneter.

B. Ruang lingkup keuangan Negara meliputi:

1. penerimaan negara
2. pengeluaran negara

3. hutang dan pinjaman negara

4. kebijakan keuangan yang terdiri dari kebijakan moneter, Kebijakan fiscal dan kebijakan
keuangan internasional dan mengelola hutang pemerintah

1. Penerimaan keuangan Negara meliputi;

1. Keuangan Negara yang berasal dari dalam negeri;

1. Keuntungan dari perusahan-perusahan, meliputi:BUMN, perusahaan-perusahaan baik


PMA Maupun PMDN
2. Pajak
3. Menciptakan uang baru
4. Meminjam pada bank
5. Pinjaman pada masyarakat
6. Denda-denda
7. Cukai
8. Retribusi
2. Keuangan Negara yang berasal dari luar negeri

1. Pinjaman-pinjaman biak, pinjamana kepada negara maupun pinjaman kepada


oraganisasi-organisasi negara
2. Hadiah hadiah, rampasan perang
2. Pengeluaran keuangan Negara meliputi:

Pengeluaran pemerintah menyangkut seluruh pengeluaran untuk membiayai


program-program/kegiatan – kegiatan dimana pengeluaran-pengeluaran itu ditujukan
pencapaian kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan .

Kegiatan-kegiatan dari segi pengeluaran ini dilakukan dengan menggunakan sejumlah


resources dan product, baik dalam melaksanakan tugas-tugasnya untuk kemakmuran
masyarakat dengan menggunakan uang. Pengeluaran dengan menggunakan uang inilah
yng dimaksud pengeluaran pemerintah.

Pengeluaran Negara untuk kemakmuran masyarakat meliputi;


1. Pengeluaran untuk pendidikan
2. Pengeluaran untuk kesejahteraan masyarakat
3. Pengeluaran untuk keamanan dan pertahanan.
4. Pengeluran untuk pemanfaatan sumber-sumber alam
5. Pengeluaran untuk bunga modal anggaran.
6. Pengeluaran untuk pengagkutan dan komunikasi
C. Cara menyusun RAPBN;

RAPBN disusun oleh menteri keuanagan pada tiap tahun anggran. RAPBN disusun berdasarkan
kebutuhan negara.

Setiap penyusunan anggaran perlu diperhatikan dan dipelajari unsure-unsur beberpa jauh usaha-
usaha tersebut dpat dilaksanakan dalam tahun anggaran. Yang perlu diperhatikan dalam
penyusunan RAPBN adalah

1. Penerimaan keuangan negara


2. Kemampuan akan sumber-sumber atau factor-faktor produksi yang tersedia di dalam
negeri
3. Keadaan sumber-sumber yang berhubungan dengan tenaga dan bahan-bahan yang berasal
dari luar.
4. Harus diperhatikan terhadap pelaksanaan anggaran pada tahun yang dan juga tahun
anggaran yang sedang berjalan karena kemungkinan ada anggaran-anggaran yang tidak
mungkin dilaksanakan
Apabila rencana anggaran telah selesai dibuat maka usulan rencana anggaran tersebut
disampaikan kepda DPR unutk dipelajari diolah dan mungkin perubhan-perubahan dalam
prosesnya.

D. Kebijakan keuangan Negara

Pengeluaran pemerintah menyangkut seluruh pengeluaran untuk membiayai program-


proram/ kegiatan – kegiatan dimana pengeluaaran-pengeluaran itu ditujukan untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat.

Kegiatan-kegiatan dari segi pengeluaran ini dilakukan dengan menggunakan sejumlah


resources dan product, baik dalam melaksanakan tugas-tugasnya untuk kemakmuran masyarakat
dengan menggunakan uang. Pengeluaran dengan menggunakan uang inilah yang dimaksud
pengeluaran negara. Kebijakan-kebijakan negara meliputi:

1. Kebijakan moneter

Kebijakan moneter adalah tindakan kebijakan yang berhubungan dengan jumlah


uang yang beredar di masyarakat.

2. Kebijakan Fiskal

Kebijakan fiskal adalah tindakan kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah, yang berkaitan
dengan pendapatan dan pengeluaran uang. Kebijakan ini erat hubungannya dengan
kebijakan moneter karena yang satu saling mempengaruhi yang lain. Kebijakan fiskal ini
tercermin dalam anggaran, yang di Indonesia dinamakan Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) untuk lingkupan nasional. Sedangkan untuk lingkupan daerah
dinamakan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).

Dari namanya itu dapat diketahui bahwa anggaran mempunyai 2 sisi, yakni sisi
pendapatan (reveues) dan pengeluaran/belanja (expenditures). Sisi pendapatan berisi
macam, jumlah, dan dari mana diperolehnya dana; sedangkan sisi belanja berisi macam,
jumlah dana ke sektor mana dana harus dikeluarkan.

Keuangan Negara Bab I Ketentuan Umum Pasal 3 menyebutkan poin-poin yang menjadi
ketentuan umum keuangan negara sebagai berikut:
(1) Keuangan negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan,
efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa
keadilan dan kepatutan
Setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara tertib, taat pada peraturan
perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Pengelolaan keuangan negara mencakup keseluruhan kegiatan perencanaan, penguasaan,
penggunaan, pengawasan, dan pertanggung-jawaban.
(2) APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun
ditetapkan dengan undang-undang
(3) APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun
ditetapkan dengan Peraturan Daerah
(4) APBN/APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi,
distribusi, dan stabilisasi
Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan
pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman bagi
manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman untuk menilai
apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan.
Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi
pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas
perekonomian.
Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa
keadilan dan kepatutan.
Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara
dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian.
(5) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara
dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN
(6) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban
daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD.
(7) Surplus penerimaan negara/daerah dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran
negara/daerah tahun anggaran berikutnya.
(8) Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat (7)
untuk membentuk dana cadangan atau penyertaan pada Perusahaan Negara/Daerah
harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD.
Selanjutnya, Pasal 4 dan Pasal 5 mengatur hal-hal sebagai berikut:
• Tahun Anggaran meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan
tanggal 31 Desember (Pasal 4).
• Satuan hitung dalam penyusunan, penetapan, dan pertanggungjawaban APBN/APBD
adalah mata uang Rupiah, sedangkan penggunaan mata uang lain dalam pelaksanaan
APBN/APBD diatur oleh Menteri Keuangan sesuai de- ngan ketentuan perundangan-
undangan yang berlaku. (Pasal 5)
Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan negara,
pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka, dan
bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang
Dasar.
Sesuai dengan amanat Pasal 23C Undang-Undang Dasar 1945, Undang-undang tentang
Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang
Dasar tersebut ke dalam asas-asas umum yang meliputi baik asas-asas yang telah lama dikenal
dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan, asas universalitas, asas kesatuan,
dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai pencerminan best practices (penerapan
kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan keuangan negara, antara lain:
• akuntabilitas, berorientasi pada hasil
• profesionalitas
• proporsionalitas
• keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara
• pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri
Asas-asas umum tersebut diperlukan pula untuk menjamin terselenggaranya prinsip-prinsip
pemerintahan daerah sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Bab VI Undang-Undang Dasar
1945.
Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam undang-undang tentang keuangan negara,
UU No. 17/2003 bukan hanya menjadi acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara,
tetapi juga dimaksudkan untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi
daerah di Negara Kesatuan Republik Indonesia.

You might also like