You are on page 1of 4

Pusat Data LPM Forma Ushuluddin

Pro Redaksi HU SUARA MERDEKA

Refleksi Tragedi 11 September 2001


Memahami Kembali Fundamentalisme Agama
Oleh : Hatim Gazali
[Peneliti pada CRSe Yogyakarta]

Maraknya sebutan terorisme dan fundamentalisme yang dikaitkan kepada agama,


khususnya Islam secara tidak langsung menyudutkan dan mematikan agama. Agama
(baca: Islam) yang bertujuan untuk mensejahterakan manusia, justru dituduh sebagai
sarang teroris yang mengancam dunia. Ketakutan sebagian orang akan meluasnya
terorisme dan fundamentalisme agama semakin jelas. Pemerintah dan berbagai organisasi
berjuang membendung merebaknya fundamentalisme dan terorisme. Istilah teroris
semakin populer di forum internasioanl sehubungan dengan serangan terhadap dua
simbol utama kekuatan ekonomi dan militer AS, menara kembar World Trade Center
(WTC) di New York dan markas Pentagon di Washington DC pada tanggal 11
september 2001. Selang beberapa hari dari insiden itu, Gedung Putih, Amerika menuding
Osama Bin Laden sebagai mastermind dibalik serangan tersebut. Berbagai media massa
dan elektronik turut mengkampanyekannya pula.
Memang sampai saat ini, belum ada kriteria dan standarisasi yang pasti dan jelas
tentang terorisme dan terma fundamentalisme. Hanya saja, seringkali terma tersebut
digunakan untuk agama, khususnya kepada Islam. Ditudingnya agama sebagai sarang
teroris, kekerasan disebabkan karena tidak mencerminkan sikap agamis. Pemahaman
terhadap ajaran-ajaran agama dan pengamalan dalam kehidupan sehari-hari merupakan
cerminan dari sejauh mana seseorang melaksanakan ajaran-ajaran Tuhan. Posisi agama
semakin tersudut dan tidak menemukan relevansinya di tengah-tengah masyarakat.
Agama tidak lebih dari sekedar "hantu" di siang bolong yang sangat menakutkan bagi
semua orang.
Adalah wajar muncul sebutan terorisme dan fundamentalisme agama. Di akui
atau tidak, bahwa terorisme dan fundamentalisme tidak diajarkan dan tidak dianjurkan
oleh agama. Agama secara normatif mengajarkan kebaikan, kejujuran, toleransi dan
perdamaian. Tak ada agama manapun yang mengajarkan kejahatan dan kelicikan. Akan
tetapi, kemunculan terorisme dan fundamentalisme agama dipicu oleh dua hal. Pertama,
respon terhadap realitas sosial yang semakin tidak manusiawi. Kemajuan teknologi dan
pengetahuan yang diperolehnya justru mengancam kesejahteraan manusia. Max
Horkhemeimer, Mantan Direktur Sekolah Frankfurt memandang bahwa dibalik segala
kemegahan dan kemajuan abad kedua puluh ini, ternyata menyimpan senjata yang
nampaknya selalu mengancam martabat manusia. Situasi modern disebutnya sebagai
membius dan berdarah ini sebenarnya disebabkan oleh perkembangan pemikiran manusia
sendiri.
Kedua, adanya kepelbagaian penafsiran terhadap teks keagamaan. Perbedaan
interpretasi terhadapnya sebenarnya di dorong oleh berbagai aspek yaitu, karena faktor
geografis, pengetahuan, biologis dan lain sebagainya. Maka dari itu, sebagai kalangan
memaknai teks secara literal, rigid ada pula yang menafsirkannya secara substantif.
Pusat Data LPM Forma Ushuluddin

Adanya pluralitas interpretasi terhadap teks keagamaan adalah wajar dan harus
dilestarikan dengan baik sebagaimana yang telah terjadi pada masa silam. Misalnya
munculnya mazhab Syafi'i, Hanafi, Maliki, Hambali dalam hukum fiqh. Atau pun
Mu'tazilah, Syi'ah, Ahlussunnah Wal-Jamaah, Khawarij, Jabariyah, Murji'ah dan lain-lain
dalam hal teologi. Maka dari itu, perlu adanya kesadaran keanekaragaman pemahaman
terhadap teks agama.
Kelompok fundamentalis dalam memandang teks keagamaan terlalu kaku.
Penafsiran yang literal, rigid ini dilakukan sebagai upaya untuk memahami ajaran
agamanya secara benar dan baik. Akan tetapi, kelompok ini melupakan aspek historisitas
dari teks yang ditafsirkannya. Bahkan terkadang di antara mereka menolak adanya
penafsiran terhadap teks keagamaan. Sebab, teks yang merupakan kalam Tuhan tidak
bisa ditafsirkan manusia yang penuh dengan dosa dan kepentingan. Baginya, tugas
manusia hanya melaksanakan apa yang menjadi perintah dalam teks tersebut.
Terlepas dari itu semua, perlu ditegaskan di sini bahwa fundamentalisme dan
terorisme sebenarnya merupakan gejala sosial. Agama hanya dijadikan “bungkus” dari
sebuah kepentingan dari kelompok tertentu. Agama secara doktrinal sangat humanis dan
toleran. Namun dalam banyak kasus, fundamentalisme agama telah menggunakan teror
sebagai alat untuk mencapai tujuannya, sehingga kelompok ini diidentikkan dengan
terorisme.
Kelompok fundamentalis dalam konteks ke-Indonesiaan anteseden dan embrionya
sudah lama. Akan tetapi, semakin luasnya gerakan ini setelah terjadinya peristiwa 11
September. Bahkan, Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew sebagaimana yang dilansir
The Strait Times mengatakan bahwa Indonesia adalah sarang teroris. Menurut Lee, para
teroris dibiarkan berkeliaran di Indonesia. Hal ini karena istilah terorisme diasosiasikan
kepada kelompok-kelompok militan agama agama yang berhaluan keras seperti Front
Pembela Islam dengan tokohnya Habib Rizieq, Laskar Jihad Ahlussunah Waljamaah
dengan tokohnya Ja'far Umar Thalib, Majelis Mujahidin dengan tokohnya KH. Abu
Bakar Ba'asyir dan kelompok garis keras lainnya.
Adanya sinyalir keterkaitan agama (Islam) dengan terorisme internasional
mengandaikan adanya reorientasi pemahaman Islam dari yang keras, intoleran dan rigid
kepada yang lebih toleran dan ramah. salah satu penyebab kakunya dalam
menterjemahkan agama adalah penafsiran terhadap "kehendak Tuhan" dari satu
perspektif. Maka dari itu, agama harus ditafsirkan dari berbagai perspektif. Formulasi
Islam inklusif yang siap menjawab tantangan zaman merupakan kebutuhan mendesak.
Tanpa melakukan ini, adalah sangat mungkin adanya benturan peradaban yang akan
melululantakkan dunia seperti halnya yang menjadi keyakinan Huntington.
Untuk menangkis adanya benturan peradaban (clash of civilization), ada beberapa
hal yang harus diperhatikan dalam sistem keberagamaan kita. Pertama, perlu adanya
konsensus dan kesepakatan dari seluruh pihak untuk menampilkan agama secara terbuka
dan manusiawi. Kedua, perlu melakukan dekonstruksi ajaran-ajaran agama (Islam) yang
mengajarkan kekerasan. Misalnya ajaran untuk memerangi orang-orang kafir, musyrik.
Menyesuaikan hukum atau ajaran agama dengan realitas sosial adalah niscaya. Diakui
atau tidak, ajaran agama (Islam) sampai saat ini belum menyentuh pada akar persoalan
kemanusiaan. Para pemuka agama (kiai) lebih asyik membicarakan tentang ketuhanan,
keselamatan eskatologis daripada "teologi kosmosentrisme".
Ketiga, perlu adanya dialog antara Barat dan Timur, khususnya Islam. Terus
Pusat Data LPM Forma Ushuluddin

terang, Islam dalam kacamata Barat masih diwarnai oleh kecurigaan-kecurigaan.


Keempat, artikulasi dan aktualisasi nilai-nilai keagamaan yang universal dalam
kehidupan sehari-hari. Agama tidak untuk hanya dipercakapkan, melainkan dihayati
makna yang terselubung di dalamnya. Memahami secara mendalam sekaligus
mengaplikasikan religiusitas adalah berjalan secara bersamaan. Sosok seorang petani
yang kesadaran eksistensial sebagai petani bukan tidak mungkin lebih religius dari pada
sosok mahasiswa dakwah atau misi yang meneriakkan perdamaian. Hal ini disebabkan
karena – menurut Schuon -- agama lebih menekankan pada iman (faith), kebajikan dan
pengalaman daripada akal (rasio). Sikap yang Islami (pasrah dan tunduk) bukan lagi pada
wilayah teoritis, tetapi praksis.

Reorientasi Fundamentalisme Agama


Tujuan awal dari munculnya fundamentalisme agama sangat baik. Ia bercita-cita
untuk menyejahterakan seluruh manusia, terbebas dari belenggu-belenggu dan
penindasan. Untuk itu, kelompok ini menawarkan untuk kembali pada agama. Karena,
agama diyakininya akan mampu menyelesaikan segala persoalan dunia. Sirnanya perang
dingin dan kacaunya kiblat nilai telah menyebabkan agama mendadak dilihat sebagai
primadona baru peradaban yang menjanjikan. Ironisnya, upaya untuk mencapai target
dan cita-cita tersebut terkadang menggunakan kekerasan. Penggunaan kekerasan diyakini
sebagai bagian dari moral keagamaan yang mempertahankan agama dan imannya.
Kekerasan itulah yang menyebabkan kelompok ini dianggap sebagai teroris, garis
keras. Maka dari itu, reorientasi fundamentalisme agama adalah niscaya dan merupakan
kebutuhan yang sangat penting. Karena, siapapun tentu akan sepakat dengan cita-cita dari
kaum fundamentalis; mensejahterakan manusia. Oleh karenanya, mekanisme dakwah
dengan kekerasan yang dilakukan kaum fundamentalis merupakan pangkal utama untuk
menampilkan agama di tengah-tengah kehidupan sosial dengan baik dan ramah. Agama
tidak harus disampaikan dengan kekerasan, sehingga performance agama lebih halus dan
lembut. Allah berfirman dalam al-Quran bahwa tidak ada paksaan dalam (memeluk)
agama. Mengembangkan sikap toleransi dan inklusif terhadap perbedaan merupakan
prasyarat untuk bisa menampilkan agama secara komunikatif dan ramah.
Di samping itu pula, kaum fundamentalis harus menghadirkan format agama yang
baru melalui penafsiran ulang terhadap teks keagamaan. Komaruddin Hidayat
mengungkapkan bahwa jika memang agama diwahyukan untuk manusia, bukan manusia
untuk agama, maka salah satu ukuran baik-buruknya sikap hidup beragama adalah
menggunakan standar dan kategori kemanusiaan, bukan ideologi dan sentimen kelompok.
Jika bagi manusia itu tidak baik, apalagi bagi Tuhan, Sang Inspirator Kebenaran. Format
agama baru di sini, bukan agama yang baru, akan tetapi reformulasi ajaran-ajaran agama
yang sudah disesuaikan dengan realitas sosial. Agama memang harus dilihat dari
kacamata manusia, bukan dari Tuhan. Dengan demikian, membela agama secara mati-
matian tanpa mengerti maksud dan tujuan agama berarti membunuh dan mematikan daya
tawar agama di masa yang akan datang.
Mengembalikan agama pada dunianya yang semula, tidak ditumpangi oleh
pelbagai kepentingan manusia, mendudukkannya secara prorporsional dalam pluralitas
sosial, harus dilakukan sebagai upaya membendung fundamentalisme atau terorisme yang
berkedok agama. Agama diturunkan demi kesejahteraan dan keselamatan manusia.
Agama tidak untuk melestarikan peperangan. Perdamaian, persamaan, kesejahteraan
Pusat Data LPM Forma Ushuluddin

manusia itulah yang menjadi tujuan dan cita-cita diturunkannya agama.


Alamat : Jl. Ori II No 03 Papringan Depok Sleman Jogjakarta 55281. HP. 08174121513.
E-mail : hatimgazali02@hotmail.com, hatimgazali@yahoo.com
No Rekening : 228.007199761.901 BNI Kantor Cabang UGM Yogayakarta atas nama
Hatim Gazali.

You might also like