Professional Documents
Culture Documents
Adanya pluralitas interpretasi terhadap teks keagamaan adalah wajar dan harus
dilestarikan dengan baik sebagaimana yang telah terjadi pada masa silam. Misalnya
munculnya mazhab Syafi'i, Hanafi, Maliki, Hambali dalam hukum fiqh. Atau pun
Mu'tazilah, Syi'ah, Ahlussunnah Wal-Jamaah, Khawarij, Jabariyah, Murji'ah dan lain-lain
dalam hal teologi. Maka dari itu, perlu adanya kesadaran keanekaragaman pemahaman
terhadap teks agama.
Kelompok fundamentalis dalam memandang teks keagamaan terlalu kaku.
Penafsiran yang literal, rigid ini dilakukan sebagai upaya untuk memahami ajaran
agamanya secara benar dan baik. Akan tetapi, kelompok ini melupakan aspek historisitas
dari teks yang ditafsirkannya. Bahkan terkadang di antara mereka menolak adanya
penafsiran terhadap teks keagamaan. Sebab, teks yang merupakan kalam Tuhan tidak
bisa ditafsirkan manusia yang penuh dengan dosa dan kepentingan. Baginya, tugas
manusia hanya melaksanakan apa yang menjadi perintah dalam teks tersebut.
Terlepas dari itu semua, perlu ditegaskan di sini bahwa fundamentalisme dan
terorisme sebenarnya merupakan gejala sosial. Agama hanya dijadikan “bungkus” dari
sebuah kepentingan dari kelompok tertentu. Agama secara doktrinal sangat humanis dan
toleran. Namun dalam banyak kasus, fundamentalisme agama telah menggunakan teror
sebagai alat untuk mencapai tujuannya, sehingga kelompok ini diidentikkan dengan
terorisme.
Kelompok fundamentalis dalam konteks ke-Indonesiaan anteseden dan embrionya
sudah lama. Akan tetapi, semakin luasnya gerakan ini setelah terjadinya peristiwa 11
September. Bahkan, Menteri Senior Singapura Lee Kuan Yew sebagaimana yang dilansir
The Strait Times mengatakan bahwa Indonesia adalah sarang teroris. Menurut Lee, para
teroris dibiarkan berkeliaran di Indonesia. Hal ini karena istilah terorisme diasosiasikan
kepada kelompok-kelompok militan agama agama yang berhaluan keras seperti Front
Pembela Islam dengan tokohnya Habib Rizieq, Laskar Jihad Ahlussunah Waljamaah
dengan tokohnya Ja'far Umar Thalib, Majelis Mujahidin dengan tokohnya KH. Abu
Bakar Ba'asyir dan kelompok garis keras lainnya.
Adanya sinyalir keterkaitan agama (Islam) dengan terorisme internasional
mengandaikan adanya reorientasi pemahaman Islam dari yang keras, intoleran dan rigid
kepada yang lebih toleran dan ramah. salah satu penyebab kakunya dalam
menterjemahkan agama adalah penafsiran terhadap "kehendak Tuhan" dari satu
perspektif. Maka dari itu, agama harus ditafsirkan dari berbagai perspektif. Formulasi
Islam inklusif yang siap menjawab tantangan zaman merupakan kebutuhan mendesak.
Tanpa melakukan ini, adalah sangat mungkin adanya benturan peradaban yang akan
melululantakkan dunia seperti halnya yang menjadi keyakinan Huntington.
Untuk menangkis adanya benturan peradaban (clash of civilization), ada beberapa
hal yang harus diperhatikan dalam sistem keberagamaan kita. Pertama, perlu adanya
konsensus dan kesepakatan dari seluruh pihak untuk menampilkan agama secara terbuka
dan manusiawi. Kedua, perlu melakukan dekonstruksi ajaran-ajaran agama (Islam) yang
mengajarkan kekerasan. Misalnya ajaran untuk memerangi orang-orang kafir, musyrik.
Menyesuaikan hukum atau ajaran agama dengan realitas sosial adalah niscaya. Diakui
atau tidak, ajaran agama (Islam) sampai saat ini belum menyentuh pada akar persoalan
kemanusiaan. Para pemuka agama (kiai) lebih asyik membicarakan tentang ketuhanan,
keselamatan eskatologis daripada "teologi kosmosentrisme".
Ketiga, perlu adanya dialog antara Barat dan Timur, khususnya Islam. Terus
Pusat Data LPM Forma Ushuluddin