You are on page 1of 106

1

RINGKASAN DISERTASI

RANCANGBANGUN HUKUM DALAM


PENGELOLAAN PULAU-PULAU KECIL TERLUAR
KASUS PULAU MARORE DAN PULAU MIANGAS
PROVINSI SULAWESI UTARA

DENNY BENJAMIN ALBRECHT KARWUR

SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
2

Judul Disertasi

Rancangbangun Hukum dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar: Kasus


Pulau Marore dan Pulau Miangas, Provinsi Sulawesi Utara

Denny Benjamin Albrecht Karwur

NRP : C261030051

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

Komisi Pembimbing

Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA (Ketua)

Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS (Anggota)

Prof. Dr. Ir. Daniel R. Monintja (Anggota)

Dr. Ir. Victor Ph. Nikiluluw, MSc (Anggota)

Prof. Dr. Maria F. Indrati, SH, MH (Anggota)

Penguji Luar Komisi :

Prof. Dr. Hasjim Djalal, SH., MA

Prof. Dr.Ir. Alex S.W. Retraubun, MSc

Pimpinan Sidang:

Prof.Dr.Ir. Muladno, MSA

Ujian Terbuka pada :


Hari/tanggal : Jumat, 13 Agustus 2010
Pukul : 09.00 sampai selesai
Tempat : Ruang Sidang Lantai VI
IPB Bogor
3

ABSTRACT

DENNY BENJAMIN ALBRECHT KARWUR. Law Design in Managing Outermost


Small Islands: Case Marore Island and Miangas Island, North Sulawesi Province.
Under the supervision DIETRIECH G. BENGEN, ROKHMIN DAHURI, DANIEL R.
MONINTJA, VICTOR PH. NIKIJULUW, and MARIA F. INDRATI.

Small islands border region has a tremendous potential in supporting national


development. The determination of management policy is very important because of
the strategic of border marine resources existence. The islands in the border regions of
the country are vulnerable to the intervention of other countries and transnational
crimes. The concept of development policy of small islands in Indonesia must be
planned and implemented in an integrated manner for the development and welfare of
the nation.
The northern regions, i.e. the North Sulawesi Province, that locates next to the
Philippines is important for the integrity of the management of small islands and border
areas and of law enforcement in Indonesia. Target elements, elements and strategies
explain the delimitation of the nation borders between Indonesia and the Philippines, in
particular the Exclusive Economic Zone (EEZ) that overlaps each other, to optimize
the management of natural resources.
Draft of Law of Small Islands State Border and the provision of local
government authority to carry out assistance duty of border management and stating
Small Islands in the border regions as state islands and given a special certificate.

Keywords: Coastal Law, Delimitation of EEZ of Indonesia, Law Enforcement,


Management for Small Island State Border, Defense and security of state border,
Conservation, Environmental Preservation and Certificate of State Island
4

RINGKASAN

DENNY BENJAMIN ALBRECHT KARWUR, Rancangbangun hukum dan


Pelaksanaannya dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar di Provinsi
Sulawesi Utara, Dibimbing oleh DIETRIECH G. BENGEN, ROKHMIN DAHURI,
DANIEL R. MONINTJA, VICTOR PH. NIKIJULUW, dan MARIA F. INDRATI.

Pulau-pulau kecil wilayah perbatasan memiliki potensi sangat besar


dalam menunjang pembangunan nasional. Penentuan kebijakan pengelolaan
merupakan hal yang sangat penting, karena keberadaan (eksistensi)
sumberdaya kelautan perbatasan sangat strategis. Pulau-pulau di daerah
perbatasan wilayah negara rentan terhadap intervensi negara lain, dan kejahatan
transnasional. Konsep kebijakan pembangunan pulau-pulau kecil di Indonesia
harus direncanakan dan dilaksanakan secara terpadu untuk pembangunan
kesejahteraan bangsa dan negara Indonesia.
Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Indonesia bagian utara yang
perbatasan dengan negara Filipina, Provinsi Sulawesi Utara. Penelitian ini
mengkaji keterpaduan pengelolaan pulau kecil didaerah perbatasan dan
penegakan hukum Indonesia dengan perangkat peraturan perundang-undangan
yang berlaku. Berdasarkan elemen sasaran, elemen dan strategi menunjukkan
bahwa penetapan batas negara (delimitasi) khususnya Zona Ekonomi Eksklusif,
antara negara Indonesia dan Filipina yang tumpang tindih sehingga
mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam dapat maksimal.
Rancangbangun hukum dan pelaksanaannya diarahkan pada hubungan
diplomatik antar kedua negara dengan pertemuan bilateral menyelesaikan batas
wilayah negara, pengakuan wilayah secara bersama dan melaporkan kepada
Perserikatab Bangsa-Bangsa dalam bentuk Undang-Undang Perbatasan Negara
dan lampiran Peta Batas Negara. Pemberian kewenangan kepada pemerintah
daerah melaksanakan tugas pembantuan pengelolaan wilayah perbatasan.
Pulau-Pulau Kecil di perbatasan wilayah negara di tuangkan dalam bentuk
Sertifikat Pulau Negara.
Nilai skor faktor eksternal pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi
Sulawesi Utara adalah 2.339. Menurut David (2004), nilai skor di bawah 2.5
mengindikasikan bahwa pemanfaatan peluang dan mengatasi ancaman belum
efektif. Tingkat kepentingan yang paling atas dari faktor eksternal adalah respon
pengawasan perbatasan laut antar negara, yaitu mendapat bobot 0.126. Respon
pengawasan yang masih lemah ini perlu diperbaiki dengan penegakan perangkat
hukum dan peningkatan kapasitas kelembagaan pada unit kerja pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota,
Provinsi, sampai tingkat Nasional.
Pengawasan dan penegakan hukum sangat dibutuhkan agar dapat
diperoleh suatu kepastian hukum dalam menjaga kepentingan negara dari
gangguan asing. Bidang kelembagaan penegakan hukum pengelolaan pulau-
pulau kecil terluar perlu ditingkatkan sehingga terwujud penegakan peraturan
perUndang-Undangan, pengawasan, pemantauan, pengamanan, dan
pertahanan keamanan baik wilayah maupun sumberdaya.
Faktor eksternal didukung oleh kebijakan pemerintah untuk membentuk
kelembagaan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar yang merupakan
prioritas kedua dari faktor eksternal yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara dengan bobot
0.121. Dengan kelembagaan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden
Nomor 78 Tahun 2005 diharapkan setiap lembaga yang terkait mampu
melakukan koordinasi kelembagaan yang efektif dan mampu memainkan peran
5

sesuai kewenangannya. Faktor eksternal lain yang merupakan peluang dalam


peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar perbatsan negara antara lain
kebijakan nasional mendorong investasi, kebijakan pemerintah dalam pemberian
otoritas pengelolaan wilayah, meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan
internasional terhadap hasil sumberdaya alam, konvensi Internasional terhadap
hukum laut Indonesia dan kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara
tetangga.
Faktor-faktor lain sebagai peluang dan pendukung bagi peningkatan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, adalah peranan langsung aspek hukum
dan kelembagaan. Kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga
Filipina mampu mengkoordinasikan permasalahan wilayah perbatasan yang
menjadi hak masing-masing negara.
Ancaman dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar
adalah belum ada penetapan batas laut yang disepakati bersama (ZEE) dengan
bobot 0.113. Hal ini perlu untuk segera diselesaikan dan disepakati dengan
upaya-upaya politis dan diplomatis. Namun demikian adanya konflik kepentingan
antar stakeholder dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dengan bobot
0.099 dapat menjadi ancaman dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar
sehingga sering menimbulkan konflik yang sulit diselesaikan karena tidak
jelasnya kewenangan antar lembaga maupun antar pemerintahan pusat dan
daerah. Oleh karena itu, diperlukan keterpaduan dalam pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar.
Kondisi nyata dari pulau-pulau kecil perbatasan negara, saat ini adalah
pemanfaatan sumberdaya alam hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
saat ini dan masih adanya permasalahan di bidang hukum dan kelembagaan.
Bukti nyatanya adalah maraknya pencurian ikan di kawasan tersebut dan sampai
saat ini diakibatkan belum ada kepastian garis batas laut dan darat antara
Indonesia dan Filipina. Pada aspek sosial ekonomi juga belum menunjukkan
pertumbuhan, pulau-pulau tersebut masih mengalami keterisolasian dan tingkat
kesejahteraan yang rendah. Begitu juga dengan lemahnya sistem pendanaan
sehingga pelaksanaan program-program pembangunan belum bisa dilaksanakan
secara kontinu.
Komitmen pemerintah mengeluarkan kebijakan membentuk kelembagaan
baru dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Berdasarkan Peraturan
Presiden No 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar.
Dalam pengelolaan perlu kelembagaan yang merupakan wadah koordinasi non
struktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Kelembagaan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilaksanakan oleh tim
koordinasi yang telah dibentuk yang terdiri dari ketua Menteri Koordinator Bidang
Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) dan wakil ketua I merangkap
Anggota Menteri Perikanan dan Kelautan dan Wakil Ketua II merangkap Anggota
Menteri Dalam Negeri, sedangkan Sekretaris adalah Sekretaris Menteri
Koordinator Bidang Polhukam. Keanggotaan kelembagaan terdiri dari TNI,
kepolisian, badan intelijen dan kementerian yang lain. Keberhasilan pengelolaan
pulau-pulau kecil di perbatasan negara adalah pengembangan sebuah
mekanisme prosedural untuk mengkoordinasikan kebijakan anggaran dan
kebijakan pengelolaan.
Pelaksanaan Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008
Tentang Wilayah Negara, telah ditetapkan organisasi Badan Nasional Pengelola
Perbatasan dalam Peraturan Presiden. Menurut Peraturan Presiden Nomor 12
Tahun 2010 Tentang Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP). BNPP
sesuai Pasal 3, mempunyai tugas : penyusunan dan penetapan rencana induk
dan rencana aksi pembangunan Batas Wilayah Negara dan Kawasan
6

Perbatasan; pengoordinasian penetapan kebijakan dan pelaksanaan


pembangunan, pengelolaan serta pemanfaatan Batas Wilayah Negara dan
Kawasan Perbatasan; pengelolaan dan fasilitasi penegasan, pemeliharaan dan
pengamanan Batas Wilayah Negara; inventarisasi potensi sumber daya dan
rekomendasi penetapan zona pengembangan ekonomi, pertahanan, sosial
budaya, lingkungan hidup dan zona lainnya di Kawasan Perbatasan;
penyusunan program dan kebijakan pembangunan sarana dan prasarana
perhubungan dan sarana lainnya di Kawasan Perbatasan; penyusunan anggaran
pembangunan dan pengelolaan Batas Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan
sesuai dengan skala prioritas; pelaksanaan, pengendalian dan pengawasan
serta evaluasi dan pelapora pelaksanaan pembangunan dan pengelolaan Batas
Wilayah Negara dan Kawasan Perbatasan.
Mekanisme koordinasi dalam pembuatan keputusan mengenai
pengelolaan perbatasan negara dan konservasi sumberdaya pulau-pulau kecil
perbatasan negara: (1) koordinasi antara pemerintah dan kalangan swasta; (2)
koordinasi vertikal antara berbagai tingkatan pemerintah, kabupaten/kota,
provinsi dan pusat; dan (3) koordinasi horizontal antara berbagai sektor pada tiap
tingkatan pemerintahan.

Kata Kunci : Hukum Pesisir, Delimitasi ZEEI, Penegakan Hukum, Pengelolaan


Pulau Kecil Perbatasan Negara, Pertahan dan Keamanan Perbatasan Negara,
Sertifikat Pulau Negara.
7

PRAKATA

Puji dan syukur kehadirat Tuhan Allah, Yang Maha Esa, karena hanya
kemurahan dan bimbinganNya sehingga saya dapat menyelesaikan disertasi
sebagai karya ilmiah, dengan judul : Rancangbangun Hukum dan
Pelaksanaannya dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar di Provinsi
Sulawesi Utara. Pelaksanaan penelitian dilakukan di Pulau Marore Kabupaten
Kepulauan Sangihe dan Pulau Miangas Kabupaten Kepulauan Talaud di Provinsi
Sulawesi Utara. Data primer, sekunder dan informasi dari ekspert yang berasal
dari berbagai sumber yaitu Pemerintahan, Swasta, Perguruan Tinggi dan pihak
terkait lain.

Terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya penulis ucapkan kepada :

1 Prof. Dr. Ir. Dietricht G. Bengen, DEA, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS,
Prof.Dr. Ir. Daniel R. Monintja, Dr. Victor Ph. Nikijuluw, MSc, dan
Prof.Dr.Maria F. Indrati, SH,MH, selaku Komisi Pembimbing, atas segala
bimbingan, arahan selama penulis melakukan penelitian dan penulisan
disertasi ini
2 Prof.Dr. Mennofatria Boer, DEA, dan Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc selaku Ketua
dan Sekretaris Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
IPB, semua staf pengajar yang telah memberikan pendidikan dan
pengajaran.
3 Dr.Ir. Luky Adrianto, MSc dan Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MSi selaku penguji
luar komisi pada ujian tertutup, dan Prof.Dr. Hasjim Djalal, SH, MA dan
Prof.Dr.Ir. Alex S.W Retraubun, MSc selaku penguji luar komisi pada ujian
terbuka.
4 Drs. Sinyo H. Sarundajang, Gubernur Sulawesi Utara, Dr. Elly E. Lasut, MM,
selalu Bupati Kepulauan Talaud, Drs. Winsulangi Salindeho, selaku Bupati
Kepulauan Sangihe yang telah membantu dana, data dan informasi
5 Dirjen Pendidikan Tinggi yang telah memberikan kesempatan dan biaya
pendidikan (BPPS) dan Hibah Doktor untuk melanjutkan dan menyelesaikan
pendidikan Strata 3 di Institut Pertanian Bogor
6 Pimpinan Rektor, Dekan Fakultas Hukum dan Staf Universitas Sam Ratulangi
7 Ineke Togas, S.Sos, Istri, dengan penuh kesabaran mendampingi dan
mendorong, dan tercinta anak-anak Arthur L.M. Karwur, SE, MSi dan Fera D.
Mait, S.Pi (menantu), Mercy C.B. Karwur, SE dan Audy Opit SE (menantu),
Grace M.F. Karwur, SH, MH dan Lucky Tompunu, ST (menantu) serta cucu-
cucu Kenneth dan Rogelio, Adik Leenda, adik ipar Drs. Tonny Rasuh, anak-
anak Daryl dan Kevyn, kalian semua dengan setia selalu mendorong,
mendoakan keberhasilan menyeselesaikan studi.
8 Para nara sumber di Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Kementerian
Luar Negeri RI, Kementerian Dalam Negeri RI, Kementerian Sumberdaya
Energi dan Mineral RI, Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara,
Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe, Pemerintah Daerah
Kabupaten Kepulauan Talaud yang telah membantu data dan informasi
9 Teman-teman angkatan ke-8 dan teman-teman pada Program Studi SPL
serta semua mahasiswa asal Sulawesi Utara yang menempuh pendidikan di
IPB Bogor
10 Serta semua pihak yang tidak dapat penulis disebutkan satu persatu yang
telah membantu mengumpulkan data dan informasi serta membantu
menganalisis data
8

Penulis menyadari hasil karya disertasi ini perlu masukan demi


penyempurnaannya, kiranya karya tulis ini bermanfaat dan memperkaya literatur
ilmu pengetahuan khususnya Ilmu Hukum dan Ilmu Pengelolaan Pesisir dan
Lautan di Indonesia.

Bogor, Juli 2010

Denny Benjamin Albrecht Karwur


9

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Tomohon, Sulawesi Utara pada tanggal 28


November 1955 sebagai anak pertama dari ayah John Robert Karwur
(almarhum) dan bunda Dety Neltje Jansje Raintung (almarhumah), menikah
pada tanggal 22 September 1977 dengan Ineke Togas, dan dikaruniai tiga
orang anak yaitu Arthur, Mercy dan Grace.

Pendidikan Strata Satu (S1) di tempuh pada Fakultas Teknik Sipil Unsrat
tahun 1975-1978 (tidak dilanjutkan) kemudian pindah tahun 1980 pada Program
Studi Ilmu Hukum/ Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi,
lulus tahun 1987. Melanjutkan pendidikan Program Pendidikan Strata Dua (S2)
pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pembangunan / Hukum
Lingkungan, Pesisir dan Lautan, Universitas Sam Ratulangi, lulus pada tahun
1998.

Membantu Program UCE/CEPI – Indonesia-Canada tahun 1995-1997


dalam Program Lingkungan Hidup di Manado, selanjutnya sebagai Konsultan
Hukum pada Proyek Pesisir/Mitra Pesisir/ CRMP I-II /USAID, tahun 2003-2005
dengan kegiatan penyusunan Rancangan/Penetapan Peraturan Kampung/Desa
Pesisir dan Peraturan Daerah Kabupate Minahasa / Provinsi Sulawesi Utara
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut Berbasis Masyarakat, dan pada
tahun 2005-2007 membantu Program MCRMP dan COREMAP/DKP, tahun
2005-2007, dalam kegiatan penyusunan Rancangan Undang-Undang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang kemudian ditetapkan
menjadi Undang-Undang No. 27 Tahun 2007, serta membantu di 15 Provinsi
dan 42 Kabupaten Kota dalam penyusunan Rancangan/Penetapan Peraturan
Daerah Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Laut.

Tahun 2003 diterima untuk melanjutkan Pendidikan Strata Tiga (S3)


pada Program Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan, Institut Pertanian
Bogor, dengan biaya pendidikan dari Kementerian Pendidikan Nasional (BPPS).

Penulis diangkat sebagai Staf Pengajar / Pegawai Negeri Sipil sejak


tahun 1988 sampai saat ini, pada Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi
Manado.
10

DAFTAR ISI

ABSTRACT i
RINGKASAN ii
PRAKATA v
RIWAYAT HIDUP vii

PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Umum Penelitian 3
Pendekatan Pemecahan Masalah 4
Kerangka Pemikiran 5
METODE 7
Tempat dan Waktu Penelitian 7
Rancangan Penelitian 7
TAHAPAN PENELITIAN 8
Analisis Data 11
Analytical hierarchy process (AHP) 11
Analisis SWOT 14
Analisis Diagnosa dan Terapi Hukum
(Diagnosis and Therapy Analisys of Law) 15
HASIL DAN PEMBAHASAN 18
Batas Maritim Negara Indonesia –Filipina 18
Hirarki Rancangbangun Hukum Pesisir 19
Kriteria 20
Expert Judgment 20
Hasil Analisis DTAL 21
Harmonisasi 45
Hasil analisis AHP 47
Skenario Strategi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar 51
Sintesis 55
Sensivitas Analisis 55
Sensivitas Dinamis 56
Hasil Analisis Head to head 56
Rancangbangun Hukum menurut Pemerintah 57
Rancangbangun Hukum menurut Akademisi 58
11

Rancangbangun Hukum menurut Strategi Perwilayahan 58


Rancangbangun Hukum menurut Budaya Lokal 58
Rekomendasi Peran bagi Pemerintah Pusat, Provinsi dan
Kabupaten/Kota 59
Kajian Faktor Eksternal dan Internal 61
Faktor Eksternal 61
Faktor Internal 61
Hasil Evaluasi Eksternal dan Internal 64
Evaluasi Faktor Eksternal 64
Evaluasi Faktor Internal 66
Evaluasi Gabungan Faktor Strategis Eksternal dan Internal 69
Hasil Analisis SWOT 70
Strategi Kekuatan – Peluang: (Strengths – Opportunities (S-O) 72
Strategi Kekuatan – Ancaman: Strength – Threats (S-T 74
Strategi Kelemahan – Peluang: Weakness – Opportunities (W-O) 75
Strategi Kelemahan – Ancaman: Weakness – Threats (W-T) 76
KESIMPULAN 77
SARAN 80
DAFTAR PUSTAKA 82
LAMPIRAN 90
12

DAFTAR TABEL

1. Daftar ekspert dan instansi responden 10


2. Skala pendapat (nilai dan definisi) 12
3. Nilai konsistensi random 13
4. Penetapan alternatif sasaran rancangbangun hukum
dan pelaksanaannya 13
5. Informasi untuk analisis expert 20
6. Hasil analisis faktor AHP 48
7. Prioritas elemen factor 48
8. Prioritas elemen alternatif strategi 49
9. Analisis skenario 52
10. Alternatif skenario 53
11. Hasil kuesioner responden 54
12. Sosial ekonomi 54
13. Peran Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota 59
14. Matriks Evaluasi Faktor Eksternal 65
15. Matriks Evaluasi Faktor Strategis Internal 67
13

DAFTAR GAMBAR

1. Kerangka pemikiran 6
2. Peta Perbatasan Negara Indonesia – Filipina 7
3. Diagram tahapan penelitian 9
4. Analisis SWOT 14
5. Peta lokasi penelitian perbatasan negara Indonesia dan Filipina 18
6. Rancangbangun hukum pulau-pulau kecil terluar 19
7. Rancangbangun hukum dan pelaksanaannya pengelolaan
pulau kecil terluar 46
8. Hasil analisis faktor 48
9. Prioritas elemen alternatif strategi 49
10. Hasil analisis faktor sosial ekonomi 54
11. Sintesis rancangbangun penataan wilayah 55
12. Dinamik sensitif 56
13. Analisis head to head penataan batas wilayah dan pemerintah 57
14. Matriks SWOT 71
14

PENDAHULUAN

Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan
(archipelagic state) yang berciri nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayah
serta memiliki hak-hak berdaulat di luar wilayah kedaulatannya untuk dikelola
dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia
sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal
25A mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-
batas secara geografis berada pada posisi silang antara Samudra Pasifik dan
Samudra Hindia dengan panjang pantai 95.181 km2 dan dengan wilayah laut
seluas 5,8 juta km2 serta terdiri dari sekitar 17.480 pulau (Numberi 2009),
beserta semua ekosistem laut tropis produktif yang terurai, dikelilingi oleh pulau-
pulau kecil. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia memiliki
keanekaragaman habitat yang sangat tinggi, memiliki potensi sumberdaya alam
dan jasa-jasa lingkungan kelautan yang sangat besar, yang terdiri atas
sumberdaya alam dapat pulih (renewable resouces), dan sumberdaya alam tidak
dapat pulih (non-renewable resouces). Sumberdaya alam dapat pulih
diantaranya berbagai jenis ikan, terumbu karang, lamun dan mangrove.
Sumberdaya alam tidak dapat pulih meliputi minyak bumi, gas, mineral, bahan
tambang/galian seperti biji besi, pasir, timah, bauksit serta bahan tambang
lainnya; sedangkan jasa lingkungan pulau kecil yang sangat prospektif adalah
kegiatan pariwisata bahari.
Pulau-pulau kecil memiliki potensi sangat besar dalam menunjang
pembangunan nasional sehingga penentuan kebijakan pemanfaatan merupakan
hal yang sangat penting, karena dengan keberadaan pulau-pulau kecil inilah
maka keberadaan (eksistensi) sumberdaya kelautan menjadi strategis. Dengan
demikian, penting untuk dipahami seberapa besar dukungan keberadaan pulau-
pulau kecil terhadap keberlangsungan sumberdaya kelautan secara umum. Oleh
karena itu konsep kebijakan pembangunan pulau-pulau kecil di Indonesia yang
direncanakan, hendaknya berdasarkan azas kelestarian alam dan keberlanjutan
lingkungan yang ada; sehingga pada akhirnya pengembangan berbagai aktivitas
pembangunan secara terpadu di pulau-pulau kecil sebagai wujud pemanfaatan
15

sumberdaya alam dan jasa-jasa kelautan, diharapkan dapat menjadi faktor


pendukung pulau-pulau kecil Indonesia secara berkelanjutan (Bengen 2006).

Kegiatan pengelolaan pulau-pulau kecil menghadapi berbagai ancaman


baik dari aspek ekologi yaitu terjadinya penurunan kualitas lingkungan, seperti
pencemaran, perusakan ekosistem dan penangkapan ikan yang berlebihan
(overfishing) maupun dari aspek sosial yaitu rendahnya aksesibilitas dan
kurangnya penerimaan masyarakat lokal. Oleh karena itu, di dalam
mengantisipasi perubahan-perubahan dan ancaman-ancaman tersebut,
pengelolaan pulau-pulau kecil harus dilakukan secara komprehensif dan terpadu.
Kebijakan dan Strategi Nasional pengelolaan pulau-pulau kecil dapat berfungsi
sebagai referensi nasional (national reference) atau pedoman bagi kegiatan
lintas sektor baik pusat maupun daerah dalam mengembangkan dan
memanfaatkan pulau-pulau kecil, sehingga kebijakan dan strategi hukum
penetapan batas wilayah negara dan pengelolaan pulau-pulau kecil perbatasan,
sangat penting sehingga menyebabkan upaya pengelolaan pulau-pulau kecil
menjadi optimal.

Kegiatan pembangunan pesisir dan laut khususnya pulau-pulau kecil di


daerah perbatasan negara, dinyatakan berkelanjutan, jika kegiatan tersebut
mencapai tiga tujuan pembangunan berkelanjutan, yakni berkelanjutan secara
ekonomis, ekologis, dan sosial politik. Pulau-pulau kecil terluar dalam
pencapaian pembangunan dapat ditinjau dari 5 (lima) aspek yaitu : Sumberdaya
Alam, Sosial Budaya, Sosial Politik, Sosial Ekonomi dan Pertahanan Keamanan,
yang merupakan bagian dari pembangunan berlanjutan.

Pencapaian keterpaduan pengelolaan pulau-pulau kecil harus


mengetahui karakteristik pulau kecil yaitu karakteristik pulau-pulau kecil yang
biogeofisiknya menonjol menurut Bengen dan Retraubun (2006) yaitu :
(1) Terpisah dari habitat atau pulau induk (main land), sehingga bersifat
insuler,
(2) Sumberdaya air tawar yang terbatas, dimana daerah tangkapan airnya
relatif kecil,
(3) Peka dan rentan terhadap pengaruh eksternal baik alami maupun akibat
kegiatan manusia, misalnya badai dan gelombang besar serta
pencemaran,
16

(4) Memiliki sejumlah jenis endemik yang bernilai ekologis tinggi,


(5) Area perairan yang lebih luas dari area daratannya dan relatif terisolasi
dari daratan utama (benua atau pulau besar). Jika pulau tersebut berada
di batas suatu negara, maka keberadaan pulau tersebut mempunyai nilai
yang sangat strategis untuk penentuan teritorial suatu negara,
(6) Tidak mempunyai hinterland yang jauh dari pantai.

Berdasarkan karakteristik pulau-pulau kecil di atas maka pengelolaan


pulau-pulau kecil terluar, yang merupakan bagian dan tidak terpisahkan dari
pemanfaatan sumber daya di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, sehingga
perlu dilakukan zonasi oleh pemerintah provinsi maupun kabupaten kota dalam
wilayah hukum dan administrasi. Penyusunan rencana zonasi harus diserasikan,
diselaraskan dan diseimbangkan dengan rencana tata ruang wilayah.

Perencanaan dilakukan dengan mempertimbangkan :


(1) keserasian, keselarasan, dan keseimbangan dengan daya dukung
ekosistem, fungsi pemanfaatan dan fungsi perlindungan, dimensi ruang dan
waktu, dimensi teknologi dan sosial budaya, serta fungsi pertahanan dan
keamanan;
(2) keterpaduan pemanfaatan berbagai jenis sumber daya, fungsi, estetika
lingkungan, dan kualitas lahan pesisir; dan
(3) kewajiban untuk mengalokasikan ruang dan akses masyarakat dalam
pemanfaatan Pulau-Pulau Kecil yang mempunyai fungsi sosial dan ekonomi.

Pencapaian keterpaduan fungsi dari pulau-pulau kecil terluar harus


dituangkan dalam rencana zonasi dalam kurun waktu berlakunya yaitu selama 20
(dua puluh) tahun dan dapat ditinjau kembali setiap 5 (lima) tahun, dan
dituangkan dalam Peraturan Daerah.

Tujuan Umum Penelitian

Tujuan umum penelitian adalah merancangbangun hukum dan


pelaksanaannya dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan
negara, dengan mempertimbangkan keterpaduan pengelolaan pulau kecil di
wilayah pesisir bagi keberlanjutan pengelolaan sumberdaya, kesejahteraan
masyarakat dan pengakuan wilayah negara Republik Indonesia. Keterpaduan
17

mencakup aspek sumberdaya alam, sosial, ekonomi, budaya, hukum dan


kelembagaan. Secara spesifik tujuan penelitian ini adalah:

(1) Mengidentifikasi coastal problems/coastal disease di daerah perbatasan


negara dan menyelesaikan problem yang sudah sejak dahulu dan hingga
saat ini berlangsung terus-menerus antara lain: pencurian ikan oleh nelayan
asing, jalur laut pelintasan kapal asing, perusakan dan pencemaran
lingkungan, perdagangan illegal antar negara, penyelundupan, pelintas
batas masyarakat lokal, termasuk kejahatan transnasional seperti jalur
terorisme, perdagangan senjata, perdagangan ikan di tengah laut, narkotika,
woman traficking dan lainnya
(2) Mengidentifikasi dan upaya penegakan hukum internasional yang telah di
ratifikasi serta hukum nasional di wilayah pesisir dan laut sebagai upaya
strategi dan harmonisasi hukum dalam pengelolaan pulau-pulau kecil di
perbatasan negara,
(3) Merumuskan alternatif kebijakan penetapan kembali batas wilayah negara
(delimitasi) pulau perbatasan sebagai titik dasar (TD), dan titik referensi (TR)
pengukuran dan pemanfaatan sumberdaya di Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia, dalam meningkatan pendapatan negara dan daerah pada sektor
perikanan serta meningkatkan sosial ekonomi untuk kesejahteraan
masyarakat lokal.
(4) Merancangbangun hukum sebagai alternatif kebijakan nasional dan regional
yang sudah berlaku untuk pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil di
perbatasan negara.

Pendekatan Pemecahan Masalah

Karakteristik wilayah pesisir dan laut yang kompleks, terjadi konflik


pemanfaatan pesisir dan pulau-pulau kecil masih terus berlangsung, hal ini dapat
disebabkan karena laju peningkatan penduduk, peningkatan teknologi
mengakibatkan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil semakin rusak dan
berdampak negatif pada keberlanjutan sumberdaya untuk kesejahteraan
masyarakat Indonesia.

Permasalahan di wilayah pesisir sangat kompleks sehingga


menggambarkan keadaan pesisir dalam keadaan “sakit” yang telah berlangsung
terus menerus sejak dahulu hingga saat ini seperti: tindakan penambangan
18

terumbu karang, pasir, penanggkapan ikan dengan menggunakan bahan


peledak atau racun, pencemaran lingkungan dengan membuang limbah dari
kegiatan rumah-tangga, pabrik, pelabuhan laut, pertambangan, pemanfaatan
ruang laut untuk reklamasi, kegiatan budidaya perikanan, mutiara, rumput laut,
serta pemanfaatan pulau-pulau kecil untuk pariwisata dan lain-lain, sehingga
kegiatan-kegiatan tersebut berdampak positif akan terjadi penurunan fungsi
lingkungan dan konflik kepentingan antara pemerintah dengan masyarakat,
masyarakat dengan masyarakat, sehinga apabila kegiatan-kegiatan tersebut
yang sudah berlangsung sejak dahulu kala telah menjadi penyakit pesisir
(coastal disease), dimana suatu keadaan dari lingkungan pesisir yang
menyebabkan tidak alamiah, disfungsi atau kesukaran terhadap lingkungan yang
dipengaruhi. Untuk menyembuhkan penyakit perlu kebijakan dan program
bersama pemerintah dan masayrakat. Semua tingkah laku yang bertentangan
dengan norma kebaikan, stabilitas lokal, moral, hak milik, kekeluargaan,
kerukunan, disiplin, lingkungan hidup, kemanusiaan, adat istiadat dan hukum
formal perlu untuk penanggulangannya secara komperehensif dan dipertangung-
jawabkan secara ilmiah adalah patologi pesisir (coastal pathology).

Secara umum permasalahan yang ada di wilayah pesisir dan pulau-pulau


kecil sudah sangat memperihatinkan sehingga dapat disebut sebagai suatu
penyakit yang kronis karena tingginya kegiatan eksploitasi sumberdaya dan
pemanfaatannya yang berlangsung lama, dan terus menerus dilakukan untuk
berbagai kepentingan pemanfaatan pembangunan yang tidak memperhatikan
keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan, antara lain: sektor perikanan laut,
pertambangan, pemukiman, kepelabuhanan, kepariwisataan dan lain-lain,
sehingga kegiatan yang melampaui daya dukung lingkungan menyebabkan
masalah pesisir (coastal problems) sehinga dapat menjadi penyakit pesisir
(coastal disease) dan perlu perhatian dan penangganan penanggulan (terapi)
secara khusus berdasarkan hasil penelitian (diagnosa).

Kerangka Pemikiran

Indonesia merupakan negara kepulauan yang berbatasan dengan 10


negara di wilayah laut, dengan demikian Indonesia mempunyai peran dalam
politik luar negeri/internasional untuk menentukan persepsi kewilayahan dalam
konteks negara maritim, sehingga kepastian pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar, yang adalah batas negara merupakan suatu kajian yang harus segera
19

diselesaikan melalui berbagai pertemuan dan pembahasan internasional bilateral


maupun multilateral. Kerangka pemikiran pengelolaan adalah untuk
keberlanjutan sumberdaya, kesejahteraan masyarakat dan kepastian hukum.

Internal Eksternal

Masalah Hukum di
Pulau-Pulau Kecil

PULAU KECIL TERLUAR DI PERBATASAN NEGARA


Terluar

KEBIJAKAN TERPADU PENGELOLAAN PULAU –


(coastal desease)

RANCANG RANCANG
BANGUN BANGUN
HUKUM HUKUM
YANG
ANALISIS
YANG
SUDAH PERELEVAN RELEVAN
ADA SIAN
(Peraturan
(Peraturan per UU
per UU yang dicita-
yang citakan)
berlaku)

AHP SWOT DTAL

Gambar 1 Kerangka pemikiran

Coastal disease / Coastal conflict


1. Batas wilayah negara
2. Hak berdaulat di ZEE & Landas Kontinen
3. Hukum, sosial, ekonomi dan kesejahteraan masyarakat
4. Keterpencilan
5. Kesenjangan ekonomi
6. Transnational crimes , illegal fishing, illegal logging, illegal imigrant, trafficking,
terorims, people smuggling, narcotics, politic problem
7. Sarana dan prasarana terbatas
8. Pemanfaatan sumberdaya belum optimal
9. Pertahanan dan keamanan (security)
20

METODE

Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian telah dilakukan di Kabupaten Kepulauan Sangihe dan
Kabupaten Kepulauan Talaud di Provinsi Sulawesi Utara. Lokasi yang dipilih
untuk penelitian sangat menarik karena berbatasan langsung dengan negara

Sumber : Microsoft Encarta 2009

Gambar 1 Peta perbatasan Indonesia – Filipina di Sulawesi Utara

Filipina. Waktu penelitian pengambilan data primer telah dilakukan pada bulan
Mei dan Juni, karena keadaan cuaca dan laut di wilayah penelitian sangat
menunjang untuk penelitian, sedangkan pengambilan data sekunder dilakukan
sejak penyusunan usulan penelitian hingga proses pengolahan data.

Rancangan Penelitian

Berpijak dari kerangka pemikiran bahwa pengelolaan pulau-pulau kecil


terluar sangat strategis sehingga penelitan tentang perbatasan negara serta
pengelolaan pulau kecil dikaitkan dengan kebijakan dan penegakan hukum, perlu
diteliti dengan menganalisis potensi dan permasalahannya yang mencakup
aspek sumberdaya alam, sosial, ekonomi, budaya, hukum dan kelembagaan
termasuk pertahanan dan keamanan.

Hasil yang ditemukan dari penelitian yaitu konsep tentang pengelolaan


pulau-pulau kecil di daerah perbatasan negara dan konsep peraturan perundang-
undangan yang khusus mengatur tentang perbatasan negara.
21

Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud


ditetapkan sebagai lokasi penelitian setelah memperhatikan aspek-aspek yang
spesifik yaitu:

(1) Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud


merupakan wilayah yang berbatasan langsung dengan negara Filipina.
(2) Dari sekitar 124 pulau yang terdiri atas tiga gugusan kepulauan, maka
terdapat 11 pulau yang posisinya tercatat sebagai pulau-pulau terluar, baik
berpenghuni maupun tidak berpenghuni.
(3) Terdapatnya potensi sumberdaya alam dan jasa lingkungan seperti:
perikanan laut, pertanian tanaman kelapa pala dan cengkih; pariwisata
bahari, sehingga penanganan serta pemanfaatan pulau-pulau kecil terluar
dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat, harus segera
diimplementasikan.
(4) Perhatian pemerintah terhadap pulau-pulau kecil terluar harus lebih
ditingkatkan, karena sangat rentan terjadinya permasalahan: perusakan
lingkungan, pencurian ikan, pelintas batas, penyelundupan, dan perdagangan
manusia, pertahanan keamanan.
(5) Kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar belum tersedia secara
lengkap, sehingga penelitian ini dapat menghasilkan konsep formulasi hukum
dan pelaksanaannya serta informasi terkait untuk pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar.

TAHAPAN PENELITIAN
Berdasarkan kriteria di atas maka kegiatan penelitian telah dilakukan
dengan tahap persiapan yang mencakup penetapan lokasi, penyusunan
kuesioner, penentuan responden/key person untuk menjawab tujuan penelitian.
Tahap selanjutnya adalah pengumpulan data yang meliputi: data primer dan data
sekunder. Data primer dikumpulkan dari responden/key person dengan
menggunakan kuesioner dan wawancara yang mendalam/indept interview.
Pengumpulan data dilakukan di tiga lokasi, yaitu: Jakarta, Provinsi Sulawesi
Utara, dan Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kabupaten Kepulauan Talaud.
Setelah data terkumpul dilakukan pengolahan data dan analisis, kemudian
dilanjutkan dengan penyusunan disertasi sebagai tahap akhir. Tahapan
penelitian pengumpulan data sekunder menggunakan metode partipafory
appraisal dalam bentuk field research. Menurut Babbie (1991), bahwa field
22

research merupakan metode penelitian sosial yang menggunakan pengamatan


langsung terhadap status subjek penelitian pada kondisi yang sebenarnya. Field
research rnerupakan gabungan dari pengamatan partisipasi, pengamatan
langsung dan studi kasus, dan secara umum adalah metode penelitian sosial
yang bersifat kualitatif.

Persiapan
penelitian

Perumusan dan
Pengumpulan
penyusunan
data
proposal
penelitian

Penyusunan
kuesioner
Studi
Pustaka
an
Data
Data Sekunder
Primer

Pusat

Provinsi
Kabupaten

Pengolahan dan validasi Analisis Penulisan


data Data Disertasi

Gambar 2 Diagram tahapan penelitian

Teknik untuk melihat hubungan antar stakeholder dari berbagai lembaga


yang dijadikan expert berdasarkan analisis AHP, menggunakan teknik dengan
diagram Venn, yaitu merupakan teknik yang bermanfaat untuk melihat hubungan
masyarakat dengan berbagai lembaga yang terdapat di dalam lingkup penelitian.
Diagram venn memfasilitasi diskusi untuk mengidentifikasi pihak-pihak yang
berkaitan secara langsung maupun tak langsung terhadap permasalahan yang
dihadapi, serta menganalisa dan mengkaji perannya, kepentingannya untuk
masyarakat dan kelembagaan. Lembaga yang dikaji meliputi lembaga-lembaga
lokal, lembaga-lembaga pemerintah, perguruan tinggi dan lembaga-lembaga
swasta termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan orang-orang yang
berpengaruh. Diagram Venn bisa sangat umum atau topikal; mengenai orang
atau lembaga-lembaga tertentu yang menjadi objek informasi (expert), dan
23

kegiatannya berhubungan dengan kebijakan nasional, daerah dan hal-hal yang


besifat khusus.
Untuk kebutuhan penelitian diperlukan data primer dan data sekunder.
Data sekunder berupa data akurat (valid) dari instansi terkait dalam penelitian,
berupa data dan informasi yang langsung diperoleh melalui pengamatan
lapangan dan wawancara dengan expert pejabat pemerintah pusat dan
pemerintah daerah termasuk masyarakat di lokasi penelitian. Data dan informasi
diperlukan untuk memperoleh pemikiran key person dan responden sebagai
bahan formulasi kebijakan rancangbangun hukum dan pelaksanaan pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar di daerah perbatasan negara. Secara rinci key person
yang dipilih yang memiliki relevansi tugas dan fungsi secara langsung maupun
tidak langsung ditetapkan sebagai responden penelitian adalah yang memiliki
peran strategis tertera pada Tabel 1 berikut ini :

Tabel 1 Daftar ekspert dan instansi responden


No Expert Jabatan Fungsi
1 Kementerian Luar Kasubdit Perjanjian Politik, Penyelesaian
Negeri, Keamanan dan Kewilayahan, Perbatasan
Ditjen Hukum dan Perjanjian
Internasional
2 Kementerian Dalam Kasubdit Pesisir, Laut, dan Pulau- Pengelolaan
Negeri pulau Kecil Ditjen Bina Bangda Wilayah Pesisir
(Pembangunan Daerah) Daerah
3 Kementerian Direktur Tata Ruang Laut, Pesisir Pengelolaan
Kelautan dan dan Pulau Kecil Wilayah Pesisir
Perikanan & PPK
4 Kementerian Kasubdit Pembinaan Pembangunan
Pekerjaan Umum Pemanfaatan dan Pengendalian Infrastruktur
Penataan Ruang Direktorat
Penataan Ruang Wilayah II
5 TNI AL Kasi Hukum Lantamal VIII Pertahanan
Manado Keamanan
Negara
6 DPR RI Anggota Dewan Penetapan
Kebijakan
Nasional
7 DPRD SULUT Wakil Ketua DPRD Sulut Penetapan
Kebijakan
Daerah
8 Pemerintah RI Diplomat / Ahli Hukum Laut Peran
Internasional di
PBB
9 Pemerintah Filipina Konsulat Jenderal (Konjen) Peran
Filipina, di Manado Internasional di
PBB
24

10 Pemerintah Provinsi Kabid Pengembangan Wilayah Pelaksanaan


SULUT Bappeda Sulut tugas
pembantuan
11 Pemerintah Kepala Badan Perencanaan Pelaksanaan
Kabupaten Pembangunan Daerah tugas
Kepulauan Sangihe pembantuan
12 Pemerintah Bupati Kepulauan Talaud Pelaksanaan
Kabupaten tugas
Kepulauan Talaud pembantuan
13 Akademisi Dosen UNSRAT/UNPATI Kajian Akademik
14 Investor Ketua HNSI Sulut Pengembangan
Investasi
15 Tokoh Ketua Pusat Kajian Komunitas Informasi
Masyarakat/Adat Adat dan Budaya Bahari Yayasan Sejarah dan Adat
Marin-CRC Manado Istiadat

Tahapan analisis data rancanganbangun hukum dan pelaksanaan


pengelolaan pulau kecil terluar di perbatasan negara disajikan pada Gambar 2.
Analis data dilakukan dengan analisis kondisi awal dan kebijakan yang telah
dilakukan tentang pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara
dengan teknik field research / survey.

Analisis Data

Sebagai bagian untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini maka


dilakukan beberapa metode analisis yaitu :

Analytical hierarchy process (AHP)

Analisis kebijakan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP)


untuk pengambilan keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty.
Metode ini menstrukturkan masalah dalam bentuk hirarki dan memasukkan
pertimbangan-pertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas relatif. (Saaty
2003). Analisis kebijakan menggabungkan 5 (lima) prosedur umum yang lazim
dipakai dalam pemecahan permasalah, yaitu perumusan masalah (definisi),
peramalan (prediksi) rekomendasi (preskripsi), pemantauan, dan evaluasi (Dunn
2000). Perumusan masalah menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi
yang menimbulkan masalah kebijakan.

AHP merupakan analisis yang digunakan dalam pengambilan keputusan


dengan pendekatan system, Prosedur yang diwajibkan pada penggunaan
metode AHP adalah:
25

(1) Perumusan tujuan (sasaran), kriteria dan alternatif yang merupakan unsur-
unsur dari permasalahan yang dikaji,
(2) Penyusunan struktur hirarki,
(3) Penentuan prioritas bagi setiap kriteria dan alternatif dengan bantuan skala
nilai yang memadai, nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk
menentukan peringkat relatif dari seluruh kriteria dan alternatif, dan
(4) Konsistensi logis dengan menggunakan kriteria nilai consistency ratio (CR).

Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan Saaty


(1993) seperti dalam tabel skala pendapat sebagai berikut:

Tabel 2 Skala pendapat (nilai dan definisi)


Nilai Definisi
1 Sama penting (equal)
3 Sedikit lebih penting (moderate)
5 Jelas lebih penting (strong)
7 Sangat jelas penting (very strong)
9 Mutlak lebih penting (extreme)
2, 4, 6, 8 Apabila ragu antara dua nilai yang
berdekatan
1 / (1 – 9) Kebalikan nilai tingkat kepentingan dari
skala 1 – 9
Pembobotan kriteria

Kepentingan relatif dari tiap faktor dari setiap baris dari matrik dapat
dinyatakan sebagai bobot relatif yang dinormalkan (normalized relative)

Rasio Konsistensi AHP menurut Saaty bahwa di tentukan dengan


menggunakan nilai eigen max, dalam indeks konsistensi dari matriks berordo N,
dengan rumus :

Maximum - n
CI =
n -1
Dimana: CI = Indeks Konsistensi
max = Nilai eigen terbesar dari matriks berordo n

Nilai konsistensi dapat di cek melalui rasio konsistensi (CR) dengan

menggunakan table dibawah ini :


26

CI
CR =
RI

dimana CI = Indeks Konsistensui


RI = Nilai random

Table 3 Nilai konsistensi random


Matriks 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

Konsistensi
0 0 0.58 0.9 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 1.49
Random

Pada akhirnya inkonsistensi yang merupakan bagian dari nilai konsistensi


yang di hasilkan tidak dapat melebihi 10%, sehingga hasil yang dihasilkan dapat
di katakan valid, jika nilai inkonsistensi di atas 10% maka kriteria dan
rekomendasi keputusan yang dihasilkan harus di perbaharui kembali.

Tabel 4 Penetapan alternatif sasaran rancang bangun hukum dan


pelaksanaannya
No SASARAN ALTERNATIF
1 Pilihan rancang bangun hukum dan 1.1 Perundang-undangan
pelaksanaannya 1.1.1 Internasional
1.1.2 Nasional
1.1.3 regional
1.2 Kearifan lokal, adat /
tradisional
2 Pilihan pengelolaan pulau-pulau kecil 2.1 Pola konservasi
2.2 Pola adat istiadat
2.3 Pola usaha
3 Pilihan target pengelolaan 3.1 Pasar lokal / nasional
sumberdaya 3.2 Swadaya masyarakat
3.3 Investasi
3.4. Swakelola

4 Pilihan kelembagaan 4. 1 Pola konservasi


4.2 Pola pemberdayaan
4.3 Pola kemitraan
5 Pilihan hukum 5.1 Kebijakan nasional
5.2 Kebijakan regional
5.3 Kebijakan sektoral
5.4 Adat
kebiasaan/tradisional
27

Analisis SWOT
Analisa SWOT sebagai alat formulasi strategis, Analisa SWOT adalah
identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisa
ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan
peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan
kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan
keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan,
strategi, dan kebijakan pemerintah dalam bidang hukum. Dengan demikian
perencana strategis (strategic planner) harus menganalisa faktor-faktor strategis
pemerintah (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang
ada saat ini. Hal ini disebut dengan Analisis Situasi. Model yang paling populer
untuk analisis situasi adalah Analisis SWOT (Rangkuti, 1997).

Gambar 3 Analisis SWOT

Kebijakan pemerintah dan pemerintah daerah dalam menentukan strategi


kebijakan pulau-pulau kecil terluar di wilayah perbatasan Negara, berdasarkan
analisa SWOT, dapat mengambil keputusan penentuan Strategi Wilayah Negara
di Zona Ekonomi Eksklusif, khususnya antara negara Indonesia dan Filipina.

(1) Kuadran pertama merupakan kondisi yang paling baik, dimana


pemerintah memiliki banyak peluang dan kekuatan, dan strategi yang
paling sesuai adalah Strategi Pertumbuhan (Growth Oriented Strategy)
atau Strategi Agresif (Agresif Strategy)
(2) Kuadran kedua merupakan kondisi dimana pemerintah memiliki cukup
kekuatan, akan tetapi kondisi lingkungan kurang menguntungkan karena
28

banyaknya ancaman, sehingga strategi yang sesuai adalah Stragegi


Divesifikasi (Diversification Strategy)
(3) Kuadran ketiga merupakan kondisi dimana pemerintah memiliki cukup
peluang, akan tetapi tidak didukung kekuatan sehingga strategi yang
digunakan adalah Strategi Mengubah Haluan (Turn Around Strategy)
(4) Kuadran keempat merupakan kondisi yang paling tidak menguntungkan
dimana pemerintah memiliki banyak kelemahan dan ancaman sehingga
strategi yang sesuai adalah Strategi Bertahan (Defense Strategy)

Analisis Diagnosa dan Terapi Hukum (Diagnosis and Therapy Analisys of


Law)
Permasalahan pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil berpotensi
terjadinya disharmoni hukum pengelolaan, dicerminkan oleh adanya faktor-faktor
sebagai berikut:
(1) Jumlah peraturan perundang-undangan yang begitu banyak yang berlaku
untuk pengelolaan wilayah pesisir.
(2) Keberadaan hukum adat yang semakin termarjinalkan dalam pengelolaan
wilayah pesisir.
(3) Pluralisme dalam penerapan dan penegakan hukum di bidang
pengelolaan wilayah pesisir.
(4) Perbedaan kepentingan dan perbedaan penafsiran dari para stakeholders
sumber daya alam wilayah pesisir.
(5) Kesenjangan antara pemahaman teknis dan pemahaman hukum tentang
pengelolaan pesisir.
(6) Kendala hukum yang dihadapi dalam penerapan peraturan perundang-
undangan, yang terdiri atas mekanisme pengaturan, administrasi
pengaturan, antisipasi terhadap perubahan, dan penegakan hukum.
(7) Hambatan hukum yang dihadapi dalam penerapan peraturan perundang-
undangan, yaitu yang berupa tumpang tindih kewenangan dan benturan
kepentingan.
(8) Penerapan peraturan perundang-undangan dapat menimbulkan empat
kemungkinan dampak terhadap stakeholders, yaitu: diffused cost -
diffused benefit, diffused cost - concentrated benefit, concentrated cost -
diffused benefit, dan concentrated cost - concentrated benefit.
29

Berdasarkan disharmonisasi hukum maka permasalahan hukum


dilakukan dengan menggunakan analisis: Diagnosis and Therapy Analisys of
Law (DTAL), secara kualitatif terhadap peraturan perundang-undangan
nasional, regional dan adat (tradisonal) termasuk hukum internasional yang
diratifikasi.
Permasalahan di pulau-pulau kecil dijabarkan sebagai penyakit pesisir, di
diagnosa untuk mencari akar permasalahannya, kemudian dianalisis dengan
pendekatan sosio-yuridis, kemudian hasil yang diperoleh dilakukan terapi
sebagai upaya penanggulangan dan mengharmonisaikan pemberlakuan
peraturan.
Data hukum yang diperoleh dalam penelitian dianalisis dengan DTAL
melalui pendekatan-pendekatan, yaitu:
(1) Pendekatan historis (historical approach),
(2) Pendekatan undang-undang (statue approach),
(3) Pendekatan kasus (case approach),
(4) Pendekatan komparatif (comparative approach) dan
(5) Pendekatan konseptual (conceptual approach).

Analisis Pendekatan hukum meliputi:

(1) Pendekatan historis, (historical approach), dilakukan dengan menelaah latar


belakang apa yang dipelajari dan perkembangan mengenai isu yang dihadapi
dan relevan dengan masa kini
(2) Pendekatan Undang-Undang (statue approach) dilakukan dengan menelaah
semua undang-undang dan regulasi bersangkut-paut dengan isu hukum yang
sedang ditangani. Dengan Pendekatan undang-undang akan membuka
kesempatan bagi peneliti untuk mempelajari adakah konsistensi dan
kesesuaian antara undang-undang dan UUD atau antara regulasi dan UU.
Hasil dari telaah tersebut merupakan suatu argumen untuk memecahkan isu
yang dihadapi
(3) Pendekatan kasus (case approach) dilakukan dengan cara melakukan telaah
terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang dihadapi yang telah
menjadi keputusan yang tetap apakah di pengadilan atau di luar pengadilan.
Kasus ini baik yang terjadi di Indonesia atau di negara lain. Di dalam
pendekatan kasus, beberapa kasus ditelaah untuk referensi bagi suatu isu
hukum. Studi kasus (case study) merupakan yang terjadi dari berbagai aspek
30

hukum seperti hukum internasional, hukum pidana, hukum perdata, hukum


administrasi, hukum lingkungan dan hukum tata negara
(4) Pendekatan komparatif, (comparative approach), dilakukan dengan
membandingkan undang-undang suatu negara dengan undang-undang
negara lain. Disamping undang-undang yang dapat diperbandingkan adalah
putusan pengadilan dan perjanjian-perjanjian negara bertetangga. Kegunaan
pendekatan ini adalah untuk memperoleh persamaan dan perbedaan di
antara undang-undang tersebut
(5) Pendekatan konseptual, (conceptual approach), dilakukan beranjak dari
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang di dalam ilmu
hukum. Dengan mempelajari pandangan dan doktrin, maka peneliti akan
menemukan ide-ide yang melahirkan pengertian-pengertian hukum, konsep-
konsep hukum, dan asas-asas hukum yang relevan dengan isu yang
dihadapi. Pemahaman akan pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin
tersebut merupakan sandaran bagi peneliti dalam membangun suatu
argumentasi hukum dalam memecahkan isu yang dihadapi. (Marzuki 2005).

Mekanisme dalam mengharmonisasikan peraturan perundang-undangan


dengan pendekatan historis, undang-undang, kasus, komparatif dan konseptual
maka pertama-tama perlu diperjelas apa yang dimaksud dengan “peraturan
perundang-undangan” yang dikenal dalam cabang ilmu hukum yang bernama
“Hukum Tata Pengaturan” (Regelingsrecht; Regelungsrecht), di luar “peraturan
perundang-undangan” (wettelijke regels), ada lagi jenis peraturan lain yang
disebut “peraturan kebijakan” (beleidsregels; pseudo wetgeving). Peraturan
perundang-undangan adalah suatu keputusan dari suatu lembaga negara atau
lembaga pemerintahan yang dibentuk berdasarkan atribusian dan delegasian.
Atribusi kewenangan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan ialah
pemberian kewenangan membentuk peraturan perundangan-undang oleh
Undang-Undang Dasar atau Undang-Undang kepada lembaga
negara/pemerintah. Kewenangan tersebut melekat terus-menerus dan dapat
dilaksanakan atas prakarsa sendiri setiap waktu diperlukan, sesuai dengan
batas-batas yang diberikan.
31

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pulau-pulau kecil terluar di Indonesia ditinjau dari aspek pengelolaan


sumberdaya alam sangat kompleks keberadaannya, terutama apabila
dihubungkan dengan kegiatan pengembangan pembangunan pulau-pulau kecil
terluar di perbatasan negara. Potensi-potensi yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil
terluar sangatlah baik, unik, sehingga apabila tidak mengikuti prosedur
pengelolaan dan tidak dilindungi, maka sangat berpotensi terjadinya degradasi
lingkungan dan konflik antar masyarakat, kabupaten/kota, provinsi dan bahkan
antar negara.
Penatataguna dan kelola penyusunan suatu pola rancangbangun hukum
dan pelaksanaan pulau-pulau kecil terluar di wilayah Indonesia menjadi fokus
dalam penelitian ini, yaitu penelitian yang dilakukan di wilayah perbatasan
Negara Indonesia bagian utara, yang secara geografis berbatasan langsung
antara Negara Indonesia dan Negara Filipina, di Provinsi Sulawesi Utara,
Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud.

Gambar 4 Peta Lokasi penelitian perbatasan negara Indonesia dan Filipina

Batas Maritim Negara Indonesia -Filipina

Batas maritim Indonesia – Filipina sampai saat ini belum ditetapkan,


pertemuan-pertemuan bilateral yang melibatkan kedua negara dalam rangka
batas maritim masih terus dilakukan, dengan agenda-agenda yang resmi untuk
mecapai kesepakatan bersama. Kedudukan geografis negara Indonesia dan
Filipina masih bermasalah, sehingga perjanjian perbatasan yang harus di buat
32

adalah Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen. Hal ini
disebabkan jarak pulau terluar kedua negara lebih dari 24 mil laut. Pada
umumnya batas maritim antara Indonesia dan Filipina hampir seluruhnya terletak
di Laut Sulawesi dan hanya sebagian terletak di Laut Mindanao dan Laut Maluku
Utara. Panjang garis batas landas kontinen maupun garis batas Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia - Filipina di Laut Sulawesi lebih kurang 510 mil laut, dan luas
Zona Ekonomi Eksklusifnya sekitar 81.980 mil laut persegi. Jarak terlebar antara
pantai yang berhadapan sekitar 315 mil laut dan jarak terpendek 39 mil laut
antara Pulau Marore di Indonesia dan Pulau Sarangani di Filipina.

Hirarki Rancangbangun Hukum Pesisir


Dalam Analytical Hierarchy Process (AHP), hirarki Rancangbangun
Hukum Pesisir yang sudah di susun (gambar ) menjelaskan bahwa terdapat 3
level di dalamnya, yaitu Level 1 adalah representative dari tujuan penelitian yaitu
untuk merancang suatu produk Hukum Pesisir pulau-pulau terluar Indonesia, dan
level 2 adalah menunjukan faktor-faktor yang diperlukan dalam merancang
produk hukum pesisir dimana faktor tersebut adalah : sumber daya alam, sosial
ekonomi, pendanaan, hukum dan kelembagaan. Dalam faktor-faktor tersebut
terdapat pula sub-sub factor. Sedangkan level 3 adalah menununjukan beberapa
alternativ rancangbangun Hukum Pesisir menurut prespetif tiap-tiap bidang
pendukung yakni pemerintah, akademisi, perwilayahan, batas wilayah dan
budaya. Seperti pada Gambar 5
Rancang Bangun Hukum
Pulau-Pulau Kecil Terluar

Sumber Daya Sosial


Pendanaan Hukum Kelembagaan
Alam Ekonomi

@Perikanan @Pendidikan @APBN @Nasional @Nasional


@Perkebunan @Transportasi @APBD @International @Daerahl
@Adat-Istiadat @LOAN/GRANT
@Pemasaran

Rancang Bangun Rancang Bangun Rancang Bangun Rancang Bangun Rancang Bangun
Hukum Hukum Hukum Hukum Hukum
Menurut Menurut Menurut Menurut Menurut
Penataan Batas
Pemerintah Akademisi Strategi Perwilayaan
Wilayah Negara
Budaya Lokal

Gambar 5 Rancangbangun hukum pulau-pulau kecil terluar


33

Kriteria
Berdasarkan hirarki yang sudah tersusun, kriteria yang ada di ukur
dengan membandingkan dari sisi mana yang merupakan prioritas utama dalam
menunjang tujuan (goal) yang di tetapkan, sebagai contoh perbandingan antara
level 2 yaitu factor-faktor seperti sumber daya alam, social ekonomi, pendanaan,
kelembagaan dan hukum. Untuk menunjang pembuatan rancangabangun hukum
pesisir, dibandingkan manakah yang lebih penting, apakah faktor sumber daya
alam - sosial ekonomi, atau sosial ekonomi - hukum, atau hukum - pendanaan,
atau kelembagaan - pendanaan, dan seterusnya berdasarkan faktor dan sub
faktor hirarki.

Expert Judgment
Berdasarkan informasi-informasi di atas dan tujuan dari penelitian ini
diperlukan langkah-langkah akurat untuk mencapai tujuan akhir hasil penelitian.
Kriteria/faktor dan alternativ tersebut, akan saling bergantung satu sama lain
untuk mencapai tujuan (goal).
Penilaian untuk Expert dapat di identifikasikan melalui pengisian matriks
dengan angka-angka sebagaimana dalam teori AHP yang ada (1-10),
berdasarkan hasil dari interview atau kuisioner yang sudah dijalankan bagi para
expert (1)Kementerian Luar Negeri, (2)Kementerian Dalam Negeri
(3)Kementerian Kelautan dan Perikanan, (4)Kementerian Pekerjaan Umum,
(5)TNI AL, (6)DPR-RI, (7)DPRD SULUT, (8)Pemerintah RI, (9)Pemerintah
Filipina, (10)Pemerintah Provinsi SULUT, (11)Pemerintah Kepulauan Sangihe,
(12)Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud, [13)Akademisi, (14)Investor,
(15)Tokoh Masyarakat/Adat, seperti dalam Tabel 5

Tabel 5 Informasi untuk analisis expert


No EXPERT FUNGSI
1 Kementerian Luar Negeri, Penyelesaian Perbatasan
2 Kementerian Dalam Negeri Pengelolaan Wilayah Pesisir Daerah
3 Kementerian Kelautan dan Perikanan Pengelolaan Wilayah Pesisir & PPK
4 Kementerian Pekerjaan Umum, Pembangunan Infrastruktur
5 TNI AL, Pertahanan Keamanan Negara
6 DPR RI, Penetapan Kebijakan Nasional
7 DPRD SULUT, Penetapan Kebijakan Daerah
8 Pemerintah RI, Peran Internasional di PBB
9 Pemerintah Filipina, Peran Internasional di PBB
10 Pemerintah Provinsi SULUT, Pelaksanaan tugas pembantuan
11 Pemerintah Kabupaten Kepulauan Sangihe, Pelaksanaan tugas pembantuan
12 Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud, Pelaksanaan tugas pembantuan
13 Akademisi, Kajian Akademik
14 Investor, Pengembangan Investasi
15 Tokoh Masyarakat/Adat Informasi Sejarah dan Adat Istiadat
34

Hasil analisis Diagnosa dan Terapi Hukum

Dalam merancangbangun hukum dan pelaksanaanya di pulau-pulau


terluar perlu menganalisis dengan peraturan perUndang-Undangan dan
kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah Indonesia berdasrkan
permasalahan yang terjadi di wilayah tersebut. Undang-Undang Nomor 17 Tahun
1985 tentang Pengesahan UNCLOS 1982 dan Undang-Undang Nomor 43 Tahun
2008 tentang Wilayah Negara, merupakan landasan hukum untuk melakukan
rancangbangun hukum di perbatasan negara.

Nilai dasar dan landasan konstitusional dalam kehidupan bermasyarakat


berbangsa dan bernegara serta kebijakan pembangunan nasional mengacu
kepada Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) dalam UUD 1945 tersebut
dijabarkan dalam pasal demi pasal. Indonesia sebagai Negara kepulauan yang
bercirikan nusantara dinyatakan secara eksplisit dalam Pasal 25A (UUD 1945
hasil amandemen) merupakan landasan sekaligus acuan pemikiran dalam
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Demikian pula dengan Pasal 33 yang
secara eksplisit mengamanatkan bahwa sumber kekayaan alam yang dimiliki
pulau-pulau terluar harus dapat dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi
kemakmuran rakyat. Oleh karena itu pengelolaan pulau-pulau kecil terluar harus
menjamin bahwa
Dalam Pasal 25a Undang-Undang Dasar 1945 (hasil amandemen)
disebutkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) adalah Negara
kepulauan yang berciri nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-
haknya ditetapkan dengan Undang-Undang. Hal ini semakin mengukuhkan
eksistensi Negara Indonesia sebagai Negara maritim yang terdiri dari beberapa
pulau besar dan kecil yang tersebar di garis khatulistiwa.
Pengaturan tentang wilayah negara seperti yang tertian dalam Bab IXA,
Pasal 25A yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara
kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-batas dan hak-
haknya ditetapkan dengan undang-undang. Pasal 25A, telah diimplementasikan
dengan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008, dimana dalam undang undang
tersebut disebutkan bahwa wilayah negara adalah salah satu unsur negara yang
merupakan satu kesatuan wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan
kepulauan dan laut teritorial beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta
35

ruang udara di atasnya, termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di


dalamnya.
Dengan demikian maka pengaturan wilayah negara mempunyai tujuan
tertentu, dan berdasarkan Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 Pasal 3
menyebutkan bahwa Pengaturan Wilayah Negara bertujuan:

(1) menjamin keutuhan Wilayah Negara, kedaulatan negara, dan ketertiban di


Kawasan Perbatasan demi kepentingan kesejahteraan segenap bangsa;
(2) menegakkan kedaulatan dan hak-hak berdaulat; dan
(3) mengatur pengelolaan dan pemanfaatan Wilayah Negara dan Kawasan
Perbatasan, termasuk pengawasan batas-batasnya.

Secara jelas dan tegas disebutkan dalam angka (1) dan angka (2), bahwa
perlunya ketertiban di kawasan perbatasan dan pengelolaan pemanfaatan
wilayah negara dan kawasan perbatasan termasuk batas-batasnya untuk
kepentingan kesejahteraan masyarakat, seperti yang diamanatkan dalam UUD
1945 Pasal 33 Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.

Pengelolaan sumberdaya di pulau-pulau kecil terluar di perbatasan


negara merupakan bagian dari kekayaan alam yang dimiliki oleh bangsa
Indonesia yang harus di kelola dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat,
dimana pemanfaatannya harus juga mempertimbangkan akan keberlanjutan dari
sumberdaya.

Dalam hal landas kontinen Indonesia, termasuk depresi-depresi yang


terdapat di landas Kontinen Indonesia, berbatasan dengan negara lain,
penetapan garis batas landas kontinen dengan negara lain dapat dilakukan
dengan cara mengadakan perundingan untuk mencapai suatu persetujuan.
Landas Kontinen Indonesia telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1973. Dalam ketentuan umum, Pasal 1 huruf a sampai huruf c bahwa Landas
Kontinen Indonesia adalah dasar laut dan tanah di bawahnya di luar perairan
wilayah Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 4
Prp. Tahun 1960 sampai kedalaman 200 meter atau lebih, dimana masih
mungkin diselenggarakan eksplorasi dan eksploitasi kekayaan alam. Selanjutnya
kekayaan alam adalah mineral dan sumber yang tak bernyawa lainnya di dasar
36

laut dan/atau di dalam lapisan tanah di bawahnya bersama-sama dengan


organisme hidup yang termasuk dalam jenis sedinter yaitu organisme yang pada
masa perkembangannya tidak bergerak baik diatas maupun dibawah dasar laut
atau tak dapat bergerak kecuali dengan cara selalu menempel pada dasar laut
atau lapisan tanah di bawahnya. Kegiatan eksplorasi dan eksploitasi adalah
usaha-usaha pemanfaatan kekayaan alam dilandas kontinen.

Dengan demikian maka pengelolaan sumberdaya pulau-pulau kecil


terluar di perbatasan negara termasuk yang diatur dalam Undang-Undang
Landas Kontinen, dalam Pasal 3 disebutkan bahwa, dalam hal landas kontinen
Indonesia, termasuk depresi-depresi yang terdapat di landas Kontinen Indonesia,
termasuk berbatasan dengan negara lain, dimana penetapan garis batas landas
kontinen dengan negara lain dapat dan sudah dilakukan dengan cara
mengadakan perundingan untuk mencapai suatu persetujuan, maka pengelolaan
dapat dilakukan untuk kepentingan negara.

Hak berdaulat Indonesia dalam zona ekonomi eksklusif yaitu Hak


berdaulat Indonesia yang dimaksud oleh undang-undang ini tidak sama atau
tidak dapat disamakan dengan kedaulatan penuh yang dimiliki dan dilaksanakan
oleh Indonesia atas laut wilayah, perairan Nusantara dan perairan pedalaman
Indonesia. Berdasarkan hal tersebut diatas maka sanksi-sanksi yang diancam di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia berbeda dengan sanksi-sanksi yang diancam
di perairan yang berada dibawah kedaulatan Republik Indonesia tersebut.

Hak-hak lain berdasarkan hukum internasional adalah hak Republik


Indonesia untuk melaksanakan penegakan hukum dan hot pursuit terhadap
kapal-kapal asing yang melakukan pelanggaran atas ketentuan-ketentuan
peraturan perundang-undangan Indonesia mengenai zona ekonomi eksklusif.
Kewajiban lainnya berdasarkan hukum internasional adalah kewajiban Republik
Indonesia untuk menghormati hak-hak negara lain, misalnya kebebasan
pelayaran dan penerbangan (freedom of navigation and overflight) dan
kebebasan pemasangan kabel-kabel dan pipa-pipa bawah laut (freedom of the
laying of submarine cables and pipelines).

Bahwa sepanjang menyangkut sumber daya alam hayati dan non hayati
di dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di dalam batas-batas Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia hak berdaulat Indonesia dilaksanakan dan diatur
37

berdasarkan peraturan perundang-undangan Indonesia yang berlaku di bidang


landas kontinen serta persetujuan- persetujuan internasional tentang landas
kontinen yang menentukan batas-batas landas kontinen antara Indonesia
dengan negara-negara tetangga yang pantainya saling berhadapan atau saling
berdampingan dengan Indonesia.

Dengan adanya sifat-sifat dalam melaksanakan pengelolaan dan


konservasi sumber daya alam hayati, Pemerintah Republik Indonesia
menetapkan tingkat pemanfaatan baik di sebagian atau keseluruhan daerah di
Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Dimana dalam rangka konservasi sumber
daya alam hayati, Indonesia berkewajiban untuk menjamin batas panen lestari
(maximum sustainable yield) sumber daya alam hayatinya di Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia. Dengan memperhatikan batas panen lestari tersebut,
Indonesia berkewajiban pula menetapkan jumlah tangkapan sumber daya alam
hayati yang diperbolehkan (allowable catch). Dalam hal usaha perikanan
Indonesia belum dapat sepenuhnya memanfaatkan seluruh jumlah tangkapan
yang diperbolehkan tersebut, maka selisih antara jumlah tangkapan yang
diperbolehkan dan jumlah kemampuan tangkap (capacity to harvest).

Di samping itu Indonesia mempunyai yurisdiksi eksklusif atas pulau-pulau


buatan, instalasi-instalasi dan bangunan-bangunan tersebut termasuk yurisdiksi
yang berkaitan dengan pelaksanaan peraturan perundang-undangan di bidang
bea cukai, fiskal, kesehatan, keselamatan dan imigrasi. Demikian juga Indonesia
mempunyai yurisdiksi eksklusif tetapi pulau-pulau buatan, instalasi dan
bangunan-bangunan tersebut tidak memiliki status sebagai pulau dalam arti
wilayah negara dan oleh karena itu tidak memiliki laut teritorial sendiri dan
kehadirannya tidaklah mempengaruhi batas laut teritorial, Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia atau Landas Kontinen Indonesia.

Selanjutnya sebagai konsekuensi hukum atas diratifikasinya Konvensi


Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982 dengan Undang-
Undang Nomor 17 Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention
on The Law of the Sea 1982 menempatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
memiliki hak untuk melakukan pemanfaatan, konservasi, dan pengelolaan
sumber daya ikan di zona ekonomi eksklusif Indonesia dan laut lepas yang
dilaksanakan berdasarkan persyaratan atau standar internasional yang berlaku.
38

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan sudah tidak


dapat mengantisipasi perkembangan pembangunan perikanan, telah di ganti
dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 (dan perubahannya) menjadi
Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan di bidang perikanan
telah terjadi perubahan yang sangat besar, baik yang berkaitan dengan
ketersediaan sumber daya ikan, kelestarian lingkungan sumber daya ikan,
maupun perkembangan metode pengelolaan perikanan yang semakin efektif,
efisien, dan modern, sehingga pengelolaan perikanan perlu dilakukan secara
berhati-hati dengan berdasarkan asas manfaat, keadilan, kemitraan,
pemerataan, keterpaduan, keterbukaan, efisiensi, dan kelestarian yang
berkelanjutan. Untuk menjamin terselenggaranya pengelolaan sumber daya ikan
secara optimal dan berkelanjutan perlu ditingkatkan peranan pengawas
perikanan dan peran serta masyarakat dalam upaya pengawasan di bidang
perikanan secara berdaya guna dan berhasil guna.

Pelaksanaan penegakan hukum di bidang perikanan menjadi sangat


penting dan strategis dalam rangka menunjang pembangunan perikanan secara
terkendali dan sesuai dengan asas pengelolaan perikanan, sehingga
pembangunan perikanan dapat berjalan secara berkelanjutan. Oleh karena itu,
adanya kepastian hukum merupakan suatu kondisi yang mutlak diperlukan.
Undang-Undang ini lebih memberikan kejelasan dan kepastian hukum terhadap
penegakan hukum atas tindak pidana di bidang perikanan, yang mencakup
penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan, dengan
demikian perlu diatur secara khusus mengenai kewenangan penyidik, penuntut
umum, dan hakim dalam menangani tindak pidana di bidang perikanan.

Dalam kurun waktu dua dekade terakhir ini terjadi penurunan yang tajam
sediaan sumber daya ikan sehingga perikanan berada dalam kondisi kritis. Pada
tahun 1994 penurunan sediaan jenis ikan yang memiliki nilai komersial tinggi,
khususnya sediaan jenis ikan yang beruaya terbatas (straddling fish stocks) dan
jenis ikan yang beruaya jauh (highly migratory fish stocks), telah menimbulkan
keprihatian dunia. Jenis ikan yang beruaya terbatas merupakan jenis ikan yang
beruaya antara Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) suatu negara dan ZEE negara lain
sehingga pengelolaannya melintasi batas yurisdiksi beberapa negara.

Prinsip otonomi daerah menggunakan prinsip otonomi seluas-luasnya


dalam arti daerah diberikan kewenangan mengurus dan mengatur semua
39

urusan pemerintahan di luar yang menjadi urusan Pemerintah yang ditetapkan


dalam Undang-Undang ini. Daerah memiliki kewenangan membuat kebijakan
daerah untuk memberi pelayanan, peningkatan peranserta, prakarsa, dan
pemberdayaan masyarakat yang bertujuan pada peningkatan kesejahteraan
rakyat.
Seiring dengan prinsip itu penyelenggaraan otonomi daerah harus selalu
berorientasi pada peningkatan kesejahteraan masyarakat dengan selalu
memperhatikan kepentingan dan aspirasi yang tumbuh dalam masyarakat.

Pemerintah dapat menetapkan kawasan khusus di daerah otonom untuk


menyelenggarakan fungsi-fungsi pemerintahan tertentu yang bersifat khusus dan
untuk kepentingan nasional/berskala nasional, misalnya dalam bentuk kawasan
cagar budaya, taman nasional, pengembangan industri strategis, pengembangan
teknologi tinggi seperti pengembangan tenaga nuklir, peluncuran peluru kendali,
pengembangan prasarana komunikasi, telekomunikasi, transportasi, pelabuhan
dan daerah Peraturan Daerahgangan bebas, pangkalan militer, serta wilayah
eksploitasi, konservasi bahan galian strategis, penelitian dan pengembangan
sumber daya nasional, laboratorium sosial, lembaga pemasyarakatan spesifik.
Pemerintah wajib mengikutsertakan pemerintah daerah dalam pembentukan
kawasan khusus tersebut.

Di samping itu terdapat bagian urusan pemerintahan yang bersifat


concurrent artinya urusan pemerintahan yang penanganannya dapat
dilaksanakan bersama antara Pemerintah dan pemerintah daerah. Dengan
demikian setiap urusan pemerintahan yang bersifat concurrent senantiasa ada
urusan yang menjadi kewenangan Pemerintah, ada urusan pemerintahan yang
diserahkan kepada Provinsi, dan ada urusan yang diserahkan kepada
Kabupaten/Kota. Tugas pembantuan pada dasarnya merupakan keikutsertaan
Daerah atau Desa termasuk masyarakatnya atas penugasan atau kuasa dari
Pemerintah atau pemerintah daerah untuk melaksanakan urusan pemerintah di
bidang tertentu.

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang rentan mengalami kerusakan


akibat aktivitas orang dalam memanfaatkan sumber dayanya atau akibat
bencana alam. Selain itu, akumulasi dari berbagai kegiatan eksploitasi yang
bersifat parsial/sektoral di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil atau dampak
kegiatan lain di hulu wilayah pesisir yang didukung peraturan perUndang-
40

Undangan yang ada sering menimbulkan kerusakan Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
Peraturan perundang-undangan yang ada lebih berorientasi pada
eksploitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tanpa memperhatikan
kelestarian sumber daya. Sementara itu, kesadaran nilai strategis dari
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, terpadu,
dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak masyarakat
adat/lokal dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil seperti
sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig, terbatasnya ruang untuk partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
menunjukkan bahwa prinsip pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu
belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan
daerah. Sistem pengelolaan pesisir tersebut belum mampu mengeliminasi faktor-
faktor penyebab kerusakan dan belum memberi kesempatan kepada sumber
daya hayati untuk dapat pulih kembali secara alami atau sumber daya nonhayati
disubstitusi dengan sumber daya lain.
Keunikan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang rentan
berkembangnya konflik dan terbatasnya akses pemanfaatan bagi masyarakat
pesisir dan pulau-pulau kecil, perlu dikelola secara baik agar dampak aktivitas
manusia dapat dikendalikan dan sebagian wilayah pesisir dapat dipertahankan
untuk konservasi. Masyarakat perlu didorong untuk mengelola wilayah pesisirnya
dengan baik dan yang telah berhasil perlu diberi insentif, tetapi yang merusak
perlu diberi sanksi. Norma-norma Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil tersebut disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan,
pengendalian, dan pengawasan, dengan memperhatikan norma-norma yang
diatur dalam peraturan perUndang-Undangan lainnya

Negara berkepentingan untuk ikut mengatur pengelolaan dan


pemanfaatan di laut bebas dan dasar laut internasional sesuai dengan hukum
internasional. Pemanfaatan di laut bebas dan di dasar laut meliputi pengelolaan
kekayaan alam, perlindungan lingkungan laut dan keselamatan navigasi.
Pengelolaan Wilayah Negara dilakukan dengan pendekatan kesejahteraan,
keamanan dan kelestarian lingkungan secara bersama-sama. Pendekatan
kesejahteraan dalam arti upaya-upaya pengelolaan Wilayah Negara hendaknya
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi peningkatan kesejahteraan
masyarakat yang tinggal di Kawasan Perbatasan. Pendekatan keamanan dalam
41

arti pengelolaan Wilayah Negara untuk menjamin keutuhan wilayah dan


kedaulatan negara serta perlindungan segenap bangsa, sedangkan pendekatan
kelestarian lingkungan dalam arti pembangunan Kawasan Perbatasan yang
memperhatikan aspek kelestarian lingkungan yang merupakan wujud dari
pembangunan yang berkelanjutan. Peran Pemerintah dan Pemerintah Daerah
menjadi sangat penting terkait dengan pelaksanaan fungsi-fungsi pemerintahan
sesuai dengan prinsip otonomi daerah dalam mengelola pembangunan Kawasan
Perbatasan.

Dalam rangka menjaga keutuhan wilayah Negara, serta meningkatkan


kesejahteraan masyarakat di wilayah perbatasan, perlu dilakukan pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar dengan memperhatikan keterpaduan pembangunan di
bidang social, ekonomi, budaya, hukum, sumber daya manusia, pertahanan dan
keamanan; pulau-pulau kecil terluar Indonesia memiliki nilai strategis sebagai
Titik Dasar dari Garis Pangkal Kepulauan Indonesia dalam penetapan wilayah
Perairan Indonesia, Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia, dan Landas Kontinen
Indonesia;
Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah rangkaian kegiatan yang
dilakukan secara terpadu untuk memanfaatkan dan mengembangkan potensi
sumber daya pulau-pulau kecil terluar dari wilayah Republik Indonesia untuk
menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pulau Kecil Terluar
adalah pulau dengan luas areal kurang atau sama dengan 2000 km2 (dua ribu
kilomenter persegi) yang memiliki titik-titik dasar koordinat geografis yang
menghubungkan garis pangkal laut kepulauan sesuai dengan hukum
internasional dan nasional.

Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan dengan tujuan:


(1) menjaga keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, keamanan
nasional, pertahanan negara dan bangsa serta menciptakan stabilitas
kawasan;
(2) memanfaatkan sumberdaya alam dalam rangka pembangunan yang
berkelanjutan;
(3) memberdayakan masyarakat dalam rangka peningkatan kesejahteraan.

Prinsip pengelolaan pulau-pulau kecil terluar: a. Wawasan Nusantara; b.


berkelanjutan; c. berbasis masyarakat.
42

Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar mengacu pada Rencana Tata


Ruang Wilayah. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilakukan secara terpadu
antara Pemerintah, dan Pemerintah Daerah, meliputi bidang-bidang: a.
sumberdaya alam dan lingkungan hidup; b. infrastruktur dan perhubungan; c.
pembinaan wilayah; d. pertahanan dan keamanan; e. ekonomi, sosial, dan
budaya

Sasaran pembangunan pulau-pulau kecil antara lain :


(1) Terarahnya pengembangan kebijakan operasional pengelolaan pulau-pulau
kecil di daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota.
(2) Terwujudnya mekanisme pengelolaan pulau-pulau kecil, baik yang dilakukan
oleh Pemerintah, masyarakat, maupun dunia usaha dengan menempatkan
masyarakat sebagai pelaku utama dengan tetap memperhatikan kaidah-
kaidah kelestarian lingkungan.
(3) Tertatanya perencanaan dan implementasi kegiatan pengelolaan pulau-
pulau kecil yang sedang berjalan dan yang masih dalam tahap perencanaan
sesuai dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable
development).

Mekanisme pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil diatur sebagai


berikut:

(1) Pengelolaan pulau-pulau kecil sepenuhnya dilakukan oleh Pemerintah


Daerah Kabupaten/Kota bekerja sama dengan masyarakat dan dunia
usaha sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.
(2) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat melakukan inventarisasi dan
penamaan untuk pulau-pulau kecil yang belum mempunyai nama dengan
tetap memperhatikan penamaan pulau yang telah digunakan masyarakat,
dan sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.
(3) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota menyusun
rencana strategis dan rencana permintakatan (zonasi) untuk pengelolaan
pulau-pulau kecil di wilayahnya.
(4) Dalam perencanaan pengelolaan pulau-pulau tersebut, para pihak yang
berkepentingan harus menyusun rencana pengelolaan pulau-pulau kecil
dan membuat mintakat (zona) sesuai dengan tujuan pemanfaatannya.
43

(5) Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota dapat memberikan izin pengelolaan


pulau-pulau kecil dan wilayah perairannya kepada pihak ketiga sesuai
dengan hukum adat dan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.
(6) Khusus untuk pengelolaan pulau kecil oleh pihak ketiga dari luar negeri,
sebelum izin dikeluarkan, Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota terlebih
dahulu mengkonsultasikannya kepada Pemerintah.
(7) Pihak ketiga yang akan melakukan pengelolaan wajib menyusun rencana
investasi dan rencana aksi yang sejalan dengan rencana strategis
pembangunan daerah (Propeda) secara transparan yang akan dinilai oleh
Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/kota.
(8) Pihak ketiga dari luar negeri yang akan melakukan pengelolaan perlu
menyusun rencana investasi dan rencana aksi yang sejalan dengan
rencana strategis pembangunan daerah (Propeda) secara transparan yang
dinilai oleh Pemerintah.
(9) Pihak ketiga bersama Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota
diwajibkan melakukan dialog awal dengan masyarakat untuk mendapatkan
kesepakatan ide pengelolaan. Setelah mendapatkan kesepakatan, maka
dilakukan perencanaan pengelolaan pulau-pulau kecil dengan melibatkan
masyarakat setempat.
(10) Sebagai tindak lanjut pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil, pihak
ketiga harus melakukan Studi Amdal, termasuk Rencana Pemantauan
Lingkungan (RPL) dan Rencana
(11) Pengelolaan Lingkungan (RKL) untuk kegiatan-kegiatan yang diperkirakan
akan menimbulkan dampak penting terhadap lingkungan.
(12) Dalam pelaksanaan pengelolaan pulau-pulau kecil, pihak ketiga disarankan
dapat memanfaatkan potensi energi yang tersedia sebagai sumber energi
baru yaitu angin, pasut, gelombang, Ocean Thermal Energy Conversion
(OTEC), dan tenaga surya.
(13) Pemerintah, Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota menetapkan
pulau-pulau kecil yang akan dipergunakan sebagai tempat usaha industri
strategis sesuai dengan peraturan perUndang-Undangan yang berlaku.
(14) Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota bila diperlukan, dapat
menunjuk lembaga/dinas teknis yang membidangi kelautan dan perikanan
sebagai instansi di daerah yang bertanggung jawab dalam perencanaan,
44

pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kegiatan pengelolaan pulau-pulau


kecil dengan luas kurang atau sama dengan 2.000 km2.
(15) Masyarakat berperan serta dalam pengawasan pengelolaan pulau-pulau
kecil sejak dari tahap perencanaan sampai pelaksanaan.
(16) Dalam rangka pengendalian pengelolaan pulau-pulau kecil baik yang
sedang dan akan berjalan, Pemerintah Daerah Provinsi dan
Kabupaten/Kota wajib memberikan laporan secara berkala kepada Menteri
Kelautan dan Perikanan.
(17) Apabila pengelolaan pulau tersebut akan dikerjasamakan dengan pihak
ketiga, harus ada jaminan pengelolaan dan asuransi lingkungan
(environmental insurance) kepada Pemerintah.
(18) Dalam hal pengelolaan pulau-pulau kecil yang dilakukan oleh pihak ketiga,
yang aktivitas fisiknya dapat mengorbankan/menghilangkan fungsi dan
nilai-nilai ekosistem bioma penyangga setempat, maka Pemerintah,
Pemerintah Daerah Provinsi dan Kabupaten/Kota mempunyai hak untuk
mencairkan jaminan pengelolaan pulau-pulau kecil secara langsung tanpa
persetujuan dari pihak ketiga.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif


Indonesia, sebagai produk hukum nasional yang melanjutkan dan mengembangkan
isi dari pada Pengumuman Pemerintah 21 Maret 1980 tentang Zona Ekonomi
Eksklusif. Kajian terhadap Undang-Undang ini hanya membahas pasal-pasal yang
penting yang terkait dengan penelitian serta relevan dengan rancangbangun hukum.
Rumusan Zona Ekonomi Eksklusif sebagaimana tertuang dalam Pasal 2
berbunyi:

“Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia adalah jalur di luar dan berbatasan


dengan laut wilayah Indonesia sebagaimana ditetapkan berdasarkan
Undang-Undang yang berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi
dasar laut, tanah di bawahnya dan air di atasnya dengan batas terluas 200
(dua ratus) mil laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia".

Rumusan Zona Ekonomi Esklusif ini menyatakan bahwa suatu jalur laut
yang berada di luar laut wilayah yang meliputi antara dasar laut dan air di atasnya
dengan batas terluar 200 mii laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.
Sedangkan yang berhubungan dengara dasar laut dan tanah di bawahnya,
45

termasuk hak-hak berdaulat dan hak-hak lain serta yurisdiksi dan kewajiban-
kewajiban Indonesia (Pasal 4 ayat 2) dilakukan menurut peraturan perUndang-
Undangan landas Kontinen Indonesia, persetujuan-persetujuan antara Republik
Indonesia dengan negara-negara tetangga dan ketentuanketentuan hukurn
internasional yang berlaku. Hal yang penting lainnya adalah ketentuan yang
menyangkut penetapan garis batas Zona Ekonomi Eksklusif dengan negara
tetangga, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (1 ) yang berbunyi:

"Apabila Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia tumpang tindih dengan Zona


Ekonomi Eksklusif negara-negara yang pantainya saling berhadapan atau
berdampingan dengan Indonesia, maka batas Zona Ekonomi Eksklusif
antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan dengan persetujuan antara
Republik Indonesia dengan negara yang bersangkutan".

Rumusan tentang batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia yang tumpang


tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif negara-negara yang pantainya saling
berhadapan atau berdampingan akan ditetapkan melalui suatu persetujuan, dan
untuk kasus Indonesia dan Filipina sampai saat ini masih terus dilakukan pertemuan
bilateral.
Konvensi Hukum Laut 1982 yang telah diratifikasi oleh Pemerintah Indonesia
dengan Undang-Undang Nomor 17 tahun 1985 mengatur berbagai cara untuk
menyelesaikan masalah-masalah seperti Penetapan Batas Zona Ekonomi
Eksklusif antar negara yang pantainya berhadapan atau berdampingan
berdasarkan Pasal 74 Konvensi yang menetapkan sebagai berikut :

(1) Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara negara yang pantainya
berhadapan atau berdampingan harus diadakan dengan persetujuan atas
dasar hukum internasional, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Statuta
Mahkamah Internasional, untuk mencapai suatu pemecahan yang adil.
(2) Apabila tidak dapat dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas,
negara-negara yang bersangkutan harus menggunakan prosedur
penyelesaian sengketa yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of
the Sea, pada Bab XV.
(3) Sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam
Bab XV Bagian 1, Bagian 2 dan Bagian 3, Pasal 279 sampai dengan Pasal
46

299, negara-negara yang bersangkutan, dengan semangat saling


pengertian dan kerjasama, harus melakukan setiap usaha untuk
mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan, selama masa
peralihan ini, tidak membahayakan atau menghalangi dicapainya suatu
persetujuan akhir. Pengaturan demikian tidak boleh merugikan bagi
tercapainya penetapan akhir mengenai perbatasan.
(4) Dalam hal adanya suatu persetujuan yang berlaku antara negara-negara
yang bersangkutan, maka masalah yang bertalian dengan penetapan batas
zona ekonomi eksklusif harus ditetapkan sesuai dengan ketentuan
persetujuan itu.
Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif ini penting sekali artinya
untuk menentukan batas-batas kelautan sebagai akibat dari klaim negara-
negara pantai, seperti halnya klaim atas ZEE yang beberapa dasawarsa
terakhir ini menjadi bahan perbincangan luas di kalangan masyarakat
internasional.
Suatu perkembangan bagi Indonesia, bahwa dengan mengacu pada
Pasal 74 dan Pasal 83 Konvensi Hukum Laut 1982, Pemerintah Indonesia dan
Pemerintah Australia pada tanggal 14 Maret 1997 telah berhasil menandatangani
suatu Perjanjian tentang "Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif dan Batas-
batas Dasar Laut Tertentu". Dengan telah ditandatanganinya perjanjian batas ZEE
antara Pemerintah Indonesia dan Pemerintah Australia, maka bagi Indonesia hal ini
merupakan suatu kemajuan di bidang hukum laut. Karena dengan demikian makin
berkurang batas-batas ZEE Indonesia yang tumpang tindih dengan negara-negara
tetangga yang belum terselesaikan.
Dalam upaya untuk menyelesaikan masalah-masalah batas ZEE yang
tumpang tindih yang belum terselesaikan, maka sudah sepatutnya untuk dipikirkan
mengenai garis batas ZEE yang tumpang tindih seperti antara Indonesia (di
Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud, Provinsi
Sulawesi Utara) dan Filipina (di kepulauan Mindanao bagian Selatan).

Adapun yang menentukan tumpang tindihnya garis batas ZEE ke dua


negara tersebut adalah karena jarak antara pulau-pulau terluar yang ada di wilayah
Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud dengan pulau-
pulau terluar di Filipina Selatan adalah sebagai berikut :
47

"Antara Pulau Marore (Sangihe) dengan Pulau Balut (Filipina), jaraknya


adalah 35 mil laut; antara Pulau Kawio (Talaud) dengan Pulau Balut
(Filipina), jaraknya adalah 37 mil laut; dan antara Pulau Miangas (Talaud)
dengan San Agustin (Filipina), jaraknya adalah 50 mil laut".

ZEE mempunyai arti yang penting dalam rejim hukum laut yang baru ini.
Pentingnya ZEE ini dapat dilihat dari perhitungan-perhitungan berikut: Zona yang
lebarnya 200 mil laut itu akan meliputi kira-kira 13 juta mil laut persegi dari luas
daratan bumi dan mencakup lebih 80% dari persediaan ikan dunia dan 90%
sumber-sumber minyak lepas pantai. Pembentukan ZEE merupakan jawaban atas
keprihatinan dunia tentang ancaman bagi menipisnya sumber kekayaan alam yang
ada di darat. Potensi ekonomi dari sumber kekayaan alam hayati yang terdapat
pada ZEE ini nampaknya merupakan suatu alasan baik bagi negara pantai untuk
menetapkan ZEE ini sebagai Zona yang mempunyai arti bagi kepentingan semua
Negara. Peranan yang sangat penting dari ZEE ini sangat erat kaitannya dengan
pemanfaatan sumber-sumber kekayaan alam hayati di ZEE. Negara pantai
mempunyai kewajiban untuk menggalakkan tujuan pemanfaatan sumber kekayaan
hayati secara optimal di ZEE dengan memperhatikan tentang konservasi sumber
daya alam yang terdapat di ZEE tersebut.
Ketentuan Pasal 56 ayat (1) Konvensi dinyatakan bahwa negara pantai
menjalankan hak berdaulat di ZEE untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi,
konservasi dan pengelolahan sumber kekayaan alam. Hak berdaulat ini dinyatakan
sebagai hak eksklusif negara pantai, dalam arti bahwa apabila negara pantai tidak
mengeksplorasi ZEE atau mengeksplorasi sumber kekayaan alamnya, maka tiada
seorangpun dapat melakukan kegiatan itu tanpa persetujuan negara pantai yang
bersengketa. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi masalah dalam hal
eksplorasi dan eksploitasi serta untuk menghilangkan potensi perselisihan antara
negara-negara terutama yang menyangkut penetapan garis batas ZEE, maka perlu
mendapat perhatian yang serius untuk penyelesaiannya.

Berdasarkan Pasal 55 Konvensi, ZEE berada di bawah rejim hukum


khusus. Rejim hukum ZEE berbeda dengan rejim laut teritorial dan rejim laut
lepas. ZEE merupakan zona yang memiliki kesamaan ciri dari kedua rejim
tersebut, namun tidak termasuk pada salah satu diantaranya. Secara horizontal
batas ZEE dapat dilihat sebagai berikut; batas bagian dalam ZEE adalah batas
48

luar laut territorial, sedangkan batas terluar ZEE adalah tidak boleh melebihi
jarak sejauh 200 mil laut.

Selanjutnya di bagian luar ZEE adalah laut lepas, yang menurut Pasal 86
Konvensi, laut lepas berlaku bagi semua bagian dari laut yang tidak termasuk
dalam Zona Ekonomi Eksklusif, dalam laut teritorial atau dalam perairan
pedalaman suatu negara dan atau dalam perairan kepulauan suatu negara
kepulauan. Dalam hal ZEE antara negara yang pantainya berhadapan atau
berdampingan, maka penetapan garis batas ZEE tersebut harus dilakukan
melalui suatu perjanjian atas dasar hukum internasional untuk mencapai suatu
pemecahan yang adil. Dalam penetapan batas ZEE tersebut negara negara yang
bersangkutan wajib membuat peta dengan skala yang memadai untuk
menentukan posisinya dimana perlu. Daftar titik-titik koordinat-koordinat
geografis, yang merinci datum geodetik, dapat menggantikan garis batas terluar
atas garis-garis penetapan batas tersebut. Negara pantai harus mengumumkan
sebagaimana mestinya peta atau daftar koordinat geografis dan harus
mendepositkan satu copy setiap peta atau daftar demikian pada Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa.

Menurut Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi


Eksklusif Indonesia, adalah jalur di luar dan berbatasan dengan laut wilayah
Indonesia sebagaimana yang ditetapkan berdasarkan Undang-Undang yang
berlaku tentang perairan Indonesia yang meliputi dasar laut, tanah di bawahnya
dan air di atasnya dengan batas terluar 200 (dua ratus) mil laut diukur dari garis
pangkal laut wilayah Indonesia.
Demikian juga menurut ketentuan Pasal 1 Keputusan Presiden Filipina
Nomor 1599 Tahun 1978 tentang ZEE Filipina, menyebutkan "The economic
exclusive zone shall extend to a distance of two hundred nautical miles beyond
and from the baselines from which the territorial sea is measured.

Sedangkan pengertian Zona Ekonomi Ekslusif menurut Pasal 55


Konvensi Hukum Laut 1982 menyebutkan bahwa :

"Zona Ekonomi Ekslusif adalah suatu daerah di luar dan berdampingan


dengan laut teritorial yang tunduk pada rejim hukum khusus yang
ditetapkan dalam Bab ini berdasarkan mana hak-hak dan yuridiksi Negara
49

pantai dan hak-hak serta kebebasan-kebebasan Negara lain, diatur oleh


ketentuan-ketentuan yang relevan dan Konvensi ini".

Menurut Pasal 57 Konvensi Hukum Laut tahun 1982, lebar ZEE ditetapkan
sebagai berikut:

"Zona Ekonomi Ekslusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis
pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur".

Dari rumusan Pasal 55 dan Pasal 57 tersebut di atas dapat diketahui


dengan jelas bahwa yang dimaksud dengan ZEE adalah suatu daerah laut yang
berdampingan atau berbatasan dengan laut teritorial suatu negara pantai,
dengan lebar ZEE sejauh 200 mil laut yang dihitung dari garis pangkal, dari
mana negara pantai mengukur lebar laut teritorialnya.

Dengan ditetapkannya pula lebar laut teritorial negara pantai sejauh 12


mil laut maka dengan demikian lebar ZEE sebenarnya adalah 200 mil laut
dikurangi lebar laut teritorial 12 mil laut sehingga menjadi 188 mil laut.

Hak dan kewajiban Negara pantai di ZEE, sesuai konvensi yaitu Negara
pantai mempunyai hak-hak dan kewajiban kewajiban seperti yang telah
ditetapkan dalam Pasal 56 ayat (1) Konvensi, yaitu bahwa dalam Zona Ekonomi
Ekslusif Negara pantai mempunyai :

"(a) Hak-hak berdaulat untuk keperluan eksplorasi dan eksploitasi,


konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan alam, baik hayati
maupun non hayati, dari perairan di atas dasar laut dan dari dasar laut
dan tanah di bawahnya dan berkenaan dengan kegiatan lain untuk
keperluan eksplorasi dan eksploitasi ekonomi zona tersebut, seperti
produksi energi dari air, arus dan angin."

Di samping dari hak-hak berdaulat tersebut Negara pantai mempunyai


yurisdiksi yang berhubungan dengan:

"(b) (i) pembuatan dan pemakaian pulau buatan, instalasi dan


bangunan, (ii) riset ilmiah kelautan; dan (iii) perlindungan dan
pelestarian lingkungan laut"
50

Dalam Pasal 58 dijelaskan bahwa disamping melaksanakan hak-hak,


negara pantai juga harus melaksanakan kewajiban-kewajiban untuk
memperhatikan kepentingan-kepentingan negara lain berkenaan dengan hak-
hak untuk melakukan kebebasan pelayaran, kebebasan penerbangan dan
kebebasan untuk memasang kabel dan pipa di bawah laut, serta penggunaan
laut lainnya berdasarkan ketentuan Konvensi ini dan ketentuan lain dari hukum
internasional. Di samping itu pula Negara pantai tetap menghormati ketentuan-
ketentuan hukum mengenai laut lepas dan ketentuan-ketentuan hukum
internasional lainnya untuk menjamin kepentingan atau hak-hak negara lain
dalam melaksanakan kebebasan-kebebasan di laut sepanjang ketentuan hukum
(laut) internasional tersebut tidak bertentangan dengan ketentuan hukum negara
pantai di ZEE tersebut.

Berdasarkan ketentuan tersebut di atas, hak-hak berdaulat atas kekayaan


alam serta yurisdiksi-yurisdiksi tertentu yang berhubungan dengan hak-hak
tersebut tunduk pada ketentuan Negara Pantai, sedangkan pelayaran kapal-
kapal dan penerbangan pesawat adalah bebas bagi tiap negara. Oleh karena itu
status hukum ZEE tunduk pada rezim hukum khusus ("sui generis").

Wilayah ZEE Filipina ditetapkan dalam Keputusan Presiden (Presidential


Decree) Nomor 1599 tahun 1978. Dalam konsideran Keputusan Presiden
tersebut dinyatakan bahwa wilayah ZEE yang membentang sampai 200 mil laut
dari garis dasar darimana laut teriorial diukur adalah vital bagi kelangsungan dan
perkembangan ekonomi Republik Filipina. Pemagaran yuridis atas wilayah ZEE
tersebut adalah sah oleh karena zona demikian pada saat sekarang ini
merupakan suatu konsepsi hukum internasional yang diakui.

Berdasarkan Pasal 1 disebutkan bahwa ZEE Filipina adalah suatu


wilayah yang membentang sampai sejauh 200 mil laut yang berada diluar garis
dasar darimana laut teritorial diukur. Jika batas-batas luar (outer limit) wilayah
ZEE Filipina dalam posisi tumpang tindih dengan ZEE dari negara yang
berdekatan atau bertetangga, maka batas-batas bersama (common boundaries)
akan ditentukan dengan perjanjian dengan negara yang bersangkutan atau
sesuai dengan azas-azas hukum internasional tentang perbatasan yang
umumnya diakui.
51

Penetapan batas ZEE Filipina dengan negara lain, sejalan dengan teori
dan praktek penetapan batas (termasuk wilayah ZEE) antar negara yang
memungkinkan bagi dua negara yang memiliki wilayah ZEE dalam posisi
berhadapan atau berdampingan untuk menyelesaikannya berdasarkan
persetujuan. Persetujuan tersebut didasarkan pada azas-azas hukum
internasional tentang penetapan batas yang diakui secara umum, sebagaimana
yang tercermin dalam Pasal 74 ayat (1) Konvensi Hukum Laut tahun 1982.

Selanjutnya didalam Pasal 2 Keputusan Presiden tersebut dikemukakan


bahwa Negara Republik Filipina mempunyai kedaulatan atas laut wilayah, hak-
hak berdaulat atas Landas Kontinen dan ZEE yang dimilikinya, sekaligus
memiliki dan menjalankan hak-hak sebagai berikut :
(1) Hak berdaulat untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi, konservasi dan
pengelolaan sumber-sumber alam baik yang hidup ataupun yang tidak
(living or non-living), baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak
dapat diperbaharui, dari dasar laut, termasuk lapisan tanah sebelah
bawah dan yang berhubungan dengan kegiatan-kegiatan lain untuk
eksploitasi ekonomi dan eksplorasi sumber-sumber alam di zona
tersebut, seperti produksi energi dari air, arus dan angin;
(2) Hak eksklusif dan yurisdiksi sehubungan dengan didirikannya dan
dimanfaatkannya pulau-pulau buatan, terminal lepas pantai, instalasi dan
bangunan, pemeliharaan lingkungan kelautan, termasuk pencegahan dan
pengendalian pencemaran, dan penelitian ilmiah;
(3) Hak-hak lain sebagaimana diakui oleh hukum internasional atau praktek
negara.

Sedangkan dalam Pasal 3 menetapkan adanya persyaratan perjanjian


yang diadakan dengan Republik Filipina atau ijin yang diberikan olehnya atau di
bawah wewenang Republik Filipina. Ijin yang diberikan tersebut mengecualikan
hal-hal sebagai berikut:

(1) Mengekspolarasi atau mengeksploitir sumber-sumber alam apapun;


(2) Melakukan pencarian, penggalian atau operasi pengeboran terhadap
sumber-sumber alam;
(3) Melakukan penelitian;
(4) Mendirikan bangunan, memelihara atau mengoperasikan pulau buatan,
terminal lepas pantai, instalasi, atau bangunan atau cara lain; atau
52

(5) Melaksanakan suatu tindakan atau terlibat di dalam suatu kegiatan yang
bertentangan dengan atau merugikan hak-hak berdaulat dan yurisdiksi yang
ditetapkan disini.

Ketentuan-ketentuan Pasal 2 dan Pasal 3 tersebut sama dengan


ketentuan angka (b sampai g) dari Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 dan
Pasal 56 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 yang berkaitan dengan hak-hak,
yurisdiksi dan kewajiban negara pantai dalam wilayah ZEE.

Selanjutnya dalam Pasal 3 Keputusan Presiden tersebut dinyatakan


bahwa Neqara-negara lain akan merikmati di ZEE kebebasan hubungan dengan
navigasi dan penerbangan, pemasangan Kabel-kabel dan saluran pipa-pipa
dibawah laut, dan pemakaian lain yang secara internasional sah dari laut yang
berhubungan dengan navigasi dan komunikasi.
Ketentuan tersebut sama dengan ketentuan Pasal 4 Undang-Undang
Nomor 5 tahun 1983 dan Pasal 58 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 yang
berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban negara lain di wilayah ZEE.

Melalui Perjanjian hukum dan praktek penetapan batas wilayah (termasuk


ZEE) tersebar dalam berbagai konvensi Internasional, putusan mahkamah
internasional maupun ketentuan hukum nasional negara-negara yang
menyatakan bahwa penetapan batas wilayah ZEE antara dua negara yang
berdampingan atau berhadapan, dapat ditempuh melalui persetujuan atau
perjanjian antara kedua negara. Dengan kata lain, praktek penetapan batas
wilayah ZEE antara negara-negara sudah menjadi aturan kebiasaan
internasional, sehingga Indonesia dan Filipina dapat mencontohnya.
Praktek antar negara membenarkan bahwa selama ini sejumlah 70 atau
lebih negara yang telah menetapkan ketentuan tentang ZEE, dan lebih dari
sepertiganya memasukkan dalam perUndang-Undangannya yang merujuk pada
prinsip sama jarak seperti suatu solusi sementara sambil menunggu
penyelesaian penetapan batas melalui persetujuan.

Ketentuan hukum nasional Indonesia, juga mengatur mengenai


kemungkinan adanya penetapan batas antara Indonesia dengan negara lain,
rnelalui perjanjian. Dalam Pengumuman Pemarintah Republik Indonesia
mengenai ZEE Indonesia tanggal 21 Maret tahun 1980 menyebutkan bahwa
53

dalam hal garis batas ZEE Indonesia menimbulkan masalah penentuan batas
dengan negara lain yang letaknya berhadapan atau berdampingan dengan
Indonesia, Pemerintah Indonesia bersedia pada waktu yang tepat mengadakan
perundingan-perundingan dengan negara yang bersangkutan guna mencapai
persetujuan.

Ketentuan yang sama juga dikodifisir dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1983 yang menyebutkan bahwa apabila wilayah ZEE
Indonesia tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif neaara yang
pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas
Zona Ekonomi Eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan
dengan persetujuan antara Republik Indonesia dengan negara yang
bersangkutan.

Penetapan batas ZEE berdasarkan persetujuan juga diatur dalam


Perjanjian antara Indonesia dan Australia tentang Penetapan Batas ZEE dan
Batas-batas Laut Tertentu. Di dalam konsiderans perjanjian tersebut
dikemukakan bahwa Republik Indonesia dan Australia terikat oleh Konvensi
Hukum Laut PBB tahun 1982, khususnya berdasarkan ketentuan Pasal 74 dan
Pasal 83 yang menentukan bahwa batas ZEE dan landas kontinen antara kedua
negara yang pantainya berhadapan harus diatur dengan persetujuan
berdasarkan hukum internasional untuk mencapai suatu penyelesaian yang adil
(the delimitation of the economic exclusive zone and continental shelf between
States with opposite coasts shall be effected by agreement on the basis of
international law in order to achieve an equitable solution).

Ketentuan hukum nasional Filipina, khususnya yang berkaitan dengan


penetapan batas ZEE, juga mencantumkan penetapan wilayah berdasarkan
persetujuan. Dalam Pasal 1 Keputusan Presiden Nomor 1599 Tahun 1978
menyebutkan bahwa ZEE Filipina adalah suatu wilayah yang membentang
sampai sejauh 200 mil laut yang berada diluar garis dasar darimana laut teritorial
diukur. Jika batas-batas luar (outer limit) wilayah ZEE Filipina dalam posisi
tumpang tindih dengan ZEE dari negara yang berdekatan atau bertetangga,
maka batas-batas umum (common boundaries) akan ditentukan dengan
perjanjian dengan negara yang bersangkutan dan sesuai dengan azas-azas
hukum internasional tentang perbatasan yang umumnya diakui.
54

Penetapan batas wilayah ZEE antara Indonesia dan Filipina, harus


sejalan dengan ketentuan hukum internasional, dan bukan menurut ketentuan
hukum nasional semata-mata dari suatu negara. Dengan kata lain, ketentuan
hukum dan metode penatapan batas antara Indonesia dan Filipina, tidak boleh
dilakukan dengan menggunakan hukum nasional Indonesia atau Filipina,
melainkan didasarkan pada ketentuan-ketentuan internasional tentang
penetapan batas, sebagaimana diatur dalam berbagai konvensi dan
yurisprudensi internasional yang ada.

Penetapan batas wilayah ZEE secara permanen (persetujuan akhir)


antara kedua negara (termasuk Indonesia dan Filipina) juga dapat ditempuh
melalui pengaturan sementara yang bersifat praktis berdasarkan semangat
saling pengertian dan kerjasama antara kedua negara, mendahului persetujuan
akhir. Hal ini diatur dalam Pasal 74 ayat (3) Konvensi Hukum Laut yang
menyatakan bahwa sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana
ditentukan dalam ayat (1) dari Pasal ini, negara negara yang bersangkutan
dengan semangat saling pengertian dan kerjasama, harus melakukan setiap
usaha untuk mengadakan pengaturan sementara yang bersifat praktis dan
selama masa peralihan ini tidak membahayakan atau menghalangi dicapainya
suatu persetujuan akhir. Menurut Churchill dan Lowe, sambil memutuskan
penyelesaian sengketa, negara-negara yang berbatasan tersebut dapat
mengadakan usaha-usaha awal dalam bentuk memberlakukan perjanjian
sementara yang bersifat praktis berdasarkan ketentuan Pasal 74 ayat (3) dan
Pasai 83 ayat (3) Konvensi Hukum Laut. Contoh-contoh perjanjian tersebut
antara lain persetujuan Perancis-Tuvalu berdasarkan garis sama jarak yang
digunakan sebagai persetujuan perbatasan sementara atas suatu perbatasan
yang permanen, persetujuan Denmark-Swedia yang menetapkan bahwa selama
perbatasan disetujui (sebagai ditanda tangani pada tahun 1984) zona perikanan
eksklusif dalam wilayah Kattegat terletak diluar 12 mil dari pantai akan
ditempatkan berdasarkan yurisdiksi perikanan bersama Denmark-Swedia, dan
persetujuan Jepang Korea Selatan tahun 1974 berdasarkan Konvensi yang
mengeksploitir sumber daya alam dalam suatu wilayah yang disengketakan
didasar laut untuk kepentingan kedua negara.

Sama seperti ketentuan hukum nasional Indonesia, Filipina juga telah


mengumumkan wilayah ZEE sejauh 200 mil pada bulan Juni tahun 1978. Sistim
55

yang dianut Filipina dalam penetapan batas ZEE negaranya adalah sama
dengan yang dianut oleh Indonesia yakni "median line atau equidistance". Baik
Indonesia maupun Filipina keduanya juga adalah negara kepulauan. Dengan
terjadinya penetapan batas ZEE 200 mil laut oleh kedua belah pihak yang diukur
dari garis-garis pangkal darimana diukur laut teritorial masing-masing yang
mengelilingi kepulauannya, maka di bagian Selatan Pilipina (bagian selatan
Mindanao) dan bagian utara Indonesia (Sangihe dan Talaud Sulawesi Utara)
perlu diadakan penetapan batas-batasnya.

Sebagaimana diketahui bahwa Indonesia dan Filipina merupakan negara


kepulauan. Sebagai konsekwensi dari eksistensinya sebagai negara kepulauan,
maka setiap hak dan kewajiban yang berkaitan dengan konsepsi negara
kepulauan, akan berlaku terhadap kedua negara tersebut. Termasuk di
dalamnya mengenai penetapan batas bagi suatu negara kepulauan yang
berhadapan atau bersampingan dengan negara lain.

Dalam Pasal 15 Konvensi Hukum Laut tahun 1982 disebutkan bahwa


dalam hal pantai dua negara yang letaknya berhadapan atau berdampingan satu
sama lain, tidak satupun diantaranya berhak, kecuali ada persetujuan yang
sebaliknya antara mereka, untuk menetapkan batas laut teritorialnya melebihi
garis tengah yang titik-titiknya sama jaraknya dari titik-titik terdekat pada garis-
garis pangkal darimana lebar laut teritorial masing-masing negara diukur. Tetapi
ketentuan diatas tidak berlaku, apabila terdapat alasan historis atau keadaan
khusus lain yang menyebabkan perlunya menetapkan batas laut teritorial antara
kedua negara menurut suatu cara yang berlainan dengan ketentuan diatas.

Walaupun bukan dalam konteks Bab V Konvensi Hukum Laut 1982


mengenai ZEE, akan tetapi ketentuan Pasal 15 tersebut mengandung substansi
bahwa apabila suatu negara kepulauan memiliki pantai yang berhadapan atau
berdampingan dengan negara lain, maka negara tersebut harus mengadakan
penetapan wilayahnya dengan berdasarkan pada garis tengah.

Pengaturan mengenai prinsip sama jarak, juga ditetapkan dalam


Konvensi Jenewa tahun 1958 tentang Landas Kontinen yang menetapkan bahwa
batas landas kontinen akan ditentukan melalui persetujuan diantara negara-
negara yang berkepentinpan. Karena itu dalam hal tidak adanya persetujuan dan
kecuaii kalau garis batas iainnya dibenarkan oleh keadaan-keadaan khusus,
56

perbatasan akan ditentukan melalui penerapan dari prinsip sama jarak (Pasal 6
ayat (1) dan Pasal 6 ayat (2).

Pemakaian prinsip sama jarak (equidistance principle) sebagaimana


disebutkan diatas yang ditetapkan menurut garis sama jarak dari titik-titik yang
paling dekat dari pantai negara-negara (sebagaimana yang ditetapkan Komisi
Hukum Internasional selama tahun 1950-an) merupakan solusi yang mempunyai
keuntungan-keuntungan mengenai kesederhanaan dan kepastian. Hal ini
dibandingkan dengan penetapan batas berdasarkan kondisi suatu pulau (pulau
utama) di lepas pantai yang ternyata menciptakan penyimpangan besar-besaran
terhadap garis sama jarak.

Penetapan batas wilayah ZEE antara Indonesia dan Filipina dinilai akan
lebih mudah dibandingkan dengan penetapan batas wilayah ZEE antara
Indonesia dan Australia. Hal ini disebabkan bahwa tidak adanya keadaan-
keadan khusus (special circumstances) diantara pulau-pulau Indonesia dan
Filipina. Sebagai contoh, diantara pulau Marore (suatu pulau yang berada di
wilayah Sangihe Indonesia) dengan Pulau Balut (yang berada di Mindanao
Selatan-Filipina) yang jaraknya hanya 35 mil laut, tidak ada satupun pulau yang
berada pada posisi diantara kedua pulau tersebut. Hal yang sama juga antara
Pulau Kawio (yang ada di wilayah Sangihe Indonesia) dengan Pulau Balut (di
bagian selatan Filipina), yang hanya berjarak 37 mil laut. Demikian juga dengan
kondisi geografis antara Pulau Miangas (di Indonesia bagian utara Kabupaten
Kepulauan Talaud Indonesia) yang berhadapan dengan pulau San Agustin
Filipina yang berjarak 50 mil laut.
Dengan kata lain, diantara ketiga posisi ketiga pulau-pulau yang
berdampingan atau berdekatan tersebut, tidak ada satu pun pulau atau karang
yang diklaim sebagai milik, baik dari Indonesia maupun dari Filipina, untuk dapat
dijadikan dasar pengukuran sekaligus penetapan batas wilayah ZEE,
berdasarkan keadaan-keadaan tertentu.
Setiap pembentukan peraturan perUndang-Undangan harus
memperhitungkan efektifi tas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. Kedayagunaan dan
kehasilgunaan adalah bahwa setiap peraturan Perundang-undangan dibuat
karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kejelasan rumusan
57

adalah bahwa setiap peraturan perUndang-Undangan harus memenuhi


persyaratan teknis penyusunan peraturan perUndang-Undangan, sistematika
dan pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukumnya jelas dan mudah
dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam
pelaksanaannya.
Keterbukaan adalah bahwa dalam proses pembentukan peraturan
perUndang-Undangan mulai dari perencanaan, persiapan, penyusunan, dan
pembahasan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian seluruh lapisan
masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan
masukan dalam proses pembuatan peraturan perUndang-Undangan.
Selanjutnya dalam Pasal 6 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, dijabarkan juga bahwa
materi muatan peraturan perundangan harus memenuhi asas sebagai berikut,
yaitu pengayoman; kemanusiaan; kebangsaan; kekeluargaan; kenusantaraan;
bhineka tunggal ika; keadilan; kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan; ketertiban dan kapastian hukum; dan atau keseimbangan,
keserasian, dan keselarasan.
(1) Pengayoman adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndang-
Undangan harus berfungsi memberikan perlindungan dalam rangka
menciptakan ketentraman masyarakat.
(2) Kemanusiaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndang-
Undangan harus mencerminkan perlindungan dan penghormatan hak-hak
asasi manusia serta harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk
Indonesia secara proporsional.
(3) Kebangsaan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndang-
Undangan harus mencerminkan sifat dan watak bangsa Indonesia yang
pluralistik (kebhinekaan) dengan tetap menjaga prinsip negara kesatuan
Republik Indonesia.
(4) Asas kekeluargaan” adalah bahwa setiap materi muatan peraturan
perUndang-Undangan harus mencerminkan musyawarah untuk mencapai
mufakat dalam setiap pengambilan keputusan.
(5) Kenusantaraan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndang-
Undangan senantiasa memperhatikan kepentingan seluruh wilayah
Indonesia dan materi muatan peraturan perUndang-Undangan yang dibuat
58

di daerah merupakan bagian dari sistem hukum nasional yang berdasarkan


Pancasila.
(6) Bhinneka tunggal ika adalah bahwa materi muatan peraturan perUndang-
Undangan harus memperhatikan keragaman penduduk, agama, suku dan
golongan, kondisi khusus daerah, dan budaya khususnya yang menyangkut
masalah-masalah sensitif dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
(7) Keadilan adalah bahwa setiap materi muatan peraturan perUndang-
Undangan harus mencerminkan keadilan secara proporsional bagi setiap
warga negara tanpa kecuali.
(8) Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan adalah bahwa setiap
materi muatan peraturan perUndang-Undangan tidak boleh berisi hal-hal
yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang, antara lain, agama,
suku, ras, golongan, gender, atau status sosial.
(9) Ketertiban dan kepastian hukum adalah bahwa setiap materi muatan
peraturan perUndang-Undangan harus dapat menimbulkan ketertiban dalam
masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.
(10) Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan adalah bahwa setiap materi
Muatan Peraturan Perundang-undangan harus mencerminkan
keseimbangan, keserasian, dan keselarasan, antara kepentingan individu
dan masyarakat dengan kepentingan bangsa dan negara.

Harmonisasi
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang ditegaskan dalam pasal 17
ayat (3) menentukan bahwa “Dalam keadaan tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat
atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar Program
Legislasi Nasional (Prolegnas).” Ketentuan ini kemudian digunakan secara
bersama-sama oleh DPR-RI dan Pemerintah untuk melakukan pembahasan
suatu rancangan peraturan perundang-undang di luar Prolegnas.
Maksud dari pengharmonisasian peraturan perundang-undangan adalah
sebagai upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan dan
membulatkan konsepsi suatu rancangan peraturan perundang-undangan dengan
peraturan perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajat, maupun
yang lebih rendah, dan hal-hal lain selain peraturan perundang-undangan,
59

sehingga tersusun secara sistematis, tidak saling bertentangan atau tumpang


tindih (overlaping). Hal ini merupakan konsekuensi dari adanya hierarki peraturan
perundang-undangan.

Implementasi Hukum & Kelembagaan

Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, Peraturan Daerah

Konservasi
Undang- Undang

Perikanan
Undang- Undang

Pemerintahan Daerah
Undang- Undang

Wilayah Negara
Undang- Undang
Sumberdaya Alam
Undang- Undang

KONVENSI INTERNASIONAL YANG DIRATIVIKASI : UNCLOS 1982

Landasan Formil dan Materil


UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1945

Gambar 6 Rancangbangun hukum dan pelaksanaannya pengelolaan


pulau kecil terluar

Rancangbangun hukum dan pelaksanaannya menginventarisasi sejumlah


peraturan perUndang-Undangan yang mempunyai hubungan dengan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di perbatasan termasuk pengelolaan
wilayah pesisir.

Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-


undangan merupakan conditio sine quanon bagi Perancang agar peraturan
perundang-undangan yang dibuatnya tidak mudah dibatalkan melalui pengujian
ke Mahkamah Konstitusi (undang-undang) atau ke Mahkamah Agung (peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang).
Landasan Formil dan Materiil Konstitusional Peraturan Perundang-
undangan adalah Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945, sebagai sumber hukum yang utama dalam pembentukan peraturan
perundang-undangan. Dengan memahami konstitusi maka pembentukan
peraturan perundang-undangan mendapatkan landasan konstitusional yang
benar yang dipandu oleh nilai-nilai Pancasila yang terkandung dalam alinea
60

keempat Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945.

Undang-undang juga dapat diuji terhadap Undang-Undang Dasar, namun


pengujiannya bukanlah pengujian secara judicial melainkan pengujian secara
legislatif atau secara politis (legislative/Political Review) karena yang mengujinya
adalah lembaga politik atau lembaga legislatif yaitu Majelis Permusyawaratan
Rakyat (MPR) sebagaimana dimuat dalam Pasal 5 ayat (1) TAP MPR No.
III/MPR/2000 tentang Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-
undangan. TAP MPR ini sebagai pengganti TAP MPRS No. XX/MPRS/1966.

Dengan dibentuknya Mahkamah Konstitusi yang diberikan kewenangan


konstitusional menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar dan
kewenangan Mahkamah Agung yang semula didasarkan kepada undang-undang
sekarang diangkat ke dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 menjadi kewenangan konstitusional untuk menguji peraturan
perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang,
pemahaman landasan formil dan materiil konstitusional peraturan perundang-
undangan menjadi suatu conditio sine quanon bagi para Perancang dalam
melaksanakan tugas dan fungsinya menyusun/membuat peraturan perundang-
undangan agar peraturan perundang-undangan tersebut tidak mudah dibatalkan
oleh Mahkamah Konstitusi atau Mahkamah Agung.

Hasil analisis AHP


Susunan hirarki penetapan strategi merupakan penggambaran dari
analisis AHP yang mengaitkan sasaran, faktor, dan alternatif strategi.
rancangbangun hukum pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara.

Hasil analisis AHP dijelaskan lebih lanjut berikut ini :

(1) Prioritas elemen faktor


Faktor yang mempengaruhi dalam pembuatan rancangbangun hukum
peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar terdiri 5 faktor. Hasil
analisis faktor dalam AHP dari beberapa pendapat pakar dengan bantuan
pengolah data expert choice 2000 dapat dilihat pada Tabel 6 dan hasil
prioritas analisis faktor tersebut dapat dilihat pada Gambar 7
61

Tabel 6 Hasil analisis faktor AHP

Gambar 7 Hasil analisis faktor

Dari kriteria/faktor-faktor penunjang, setelah di masukan dalam suatu


program computer maka dapat di lihat melalui Table 8 Faktor hukum memiliki
nilai yang lebih tinggi (0.289) dibandingkan dengan ke-3 faktor lain sumber daya
alam (0.255), kelembagaan (0.231), pendanaan (0.144) dan sosial ekonomi
(0.081). dengan angka rasio inkonsistensi dari para expert adalah 0.08, rasio ini
dianggap masih dalam batas toleransi karena angka inkonsistensi harus dibawah
angka 0.1.

Tabel 7 Prioritas elemen faktor


No FAKTOR BOBOT PRIORITAS
1 Hukum 0.289 1
2 Sumber Daya Alam 0.255 2
3 Kelembagaan 0.231 3
4 Pendanaan 0.144 4
5 Sosial Ekonomi 0.081 5

Berdasarkan Tabel 7 faktor yang menduduki prioritas pertama yang


mempengaruhi pembuatan rancangbangun hukum adalah faktor hukum dengan
bobot 0.289. Bobot ini menunjukkan bahwa faktor hukum memiliki
peranan yang sangat besar dalam pembuatan rancangbangun hukum
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara. Hal ini disebabkan oleh
masih banyaknya permasalahan hukum dalam pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar, baik dari sisi eksternal ataupun internal (dalam negeri). Dari sisi ekternal,
62

permasalahan hukum yang terkait dengan negara tetangga adalah belum


adanya penetapan batas negara antara Indonesia dengan Filipina khususnya
untuk pemanfaatan potensi pulau-pulau kecil terluar.
Permasalahan hukum dari sisi internal (dalam negeri) adalah masih
kurangnya dukungan perangkat hukum dan peraturan dalam penyelenggaraan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar provinsi Sulawesi Utara. Aspek Hukum
menjadi titik tolak dari keseluruhan faktor pembuatan rancangbangun hukum
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar Provinsi Sulawesi Utara baik aspek sumber
daya alam, kelembagaan, pendanaan dan sosial ekonomi. Penegakan hukum
merupakan salah satu pilar utama untuk menegakkan kedudukan dan
kewenangan kelembagaan. Penegakan hukum yang efektif juga akan menjamin
sistem dan mekanisme hubungan kelembagaan yang efektif.
(2) Prioritas elemen strategi
Alternatif strategi perumusan rancangbangun hukum pulau-pulau kecil
terluar dalam rangka peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di
Sulawesi Utara terdiri dari 5, yaitu [1]rancangbangun hukum menurut
pemerintah, [2]rancangbangun hukum menurut akademisi,
[3]rancangbangun hukum menurut strategi perwilayahan, [4]rancangbangun
hukum menurut penataan batas wilayah negara, dan [5]rancangbangun
hukum menurut budaya lokal. Kelima strategi tersebut dianalisis dan hasil
analisis strategi dalam AHP dari beberapa pendapat pakar dengan bantuan
pengolah data expert choice dapat dilihat pada Tabel 7 dan hasil prioritas
elemen alternatif strategi tersebut dapat dilihat pada Tabel 8 dan analisis
alternatif strategi pada Gambar 8

Tabel 8 Prioritas elemen alternatif strategi

No STRATEGI RANCANGBANGUN BOBOT PRIORITAS


1 Rancangbangun Hukum Menurut Penataan 0.226 1
Batas Wilayah Negara
2 Rancangbangun Hukum Menurut Pemerintah 0.222 2
3 Rancangbangun Hukum Menurut Strategi 0.211 3
Perwilayahan
4 Rancangbangun Hukum Menurut Akademisi 0.180 4
5 Rancangbangun Hukum Menurut Budaya Lokal 0.161 5
63

Gambar 8 Hasil analisis alternatif strategi

Berdasarkan Tabel 8 strategi prioritas yang harus pertama kali dilakukan


adalah pembuatan rancangbangun hukum menurut penataan batas wilayah
negara. Implementasi rancangbangun hukum tersebut adalah dengan cara
penetapan batas wilayah yang disepakati Indonesia dan Filipina serta
peningkatan kerjasama bilateral dan internasional. Penetapan batas wilayah ini
menjadi prioritas pertama karena penetapan batas laut negara di daerah
perbatasan akan menjamin kepastian hukum untuk pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar di Sulawesi Utara. Pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di bidang
sumber daya alam, sosial ekonomi, pendanaan, hukum dan kelembagaan akan
lebih efektif jika penetapan batas negara jelas dan diakui oleh negara tetangga.
Oleh karena itu batas laut zona ekonomi eksklusif negara antara Indonesia dan
Filipina segera diselesaikan melalui pertemuan dan pembahasan internasional
bilateral maupun multilateral dan mendapat pengakuan masyarakat internasional
terhadap batas pengelolaan negara di wilayah laut, demi kepentingan
pengelolaan negara pantai di wilayah pesisir dan laut, keberlanjutan sumber
daya, kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat, keamanan pangan di laut,
keamanan dan pertahanan, serta kesatuan wilayah negara Republik Indonesia.
Kedua negara sepakat membahas permasalahan perbatasan negara
dalam forum bilateral, yaitu Joint Border Committee (JBC) RI-Filipina. Indonesia
diketuai oleh Pangdam VII Wirabuana dan Filipina diketuai oleh Philippines
South Commander. Forum ini melakukan pertemuan setiap tahun guna
membahas dan menyelesaikan masalah-masalah yang timbul di perbatasan
kedua negara.
Selain isu koordinasi dalam pengembangan kawasan perbatasan,
komitmen dan kebijakan Pemerintah untuk memberikan prioritas lebih tinggi
64

dalam pembangunan wilayah perbatasan telah mengalami reorientasi yaitu dari


orientasi keamanan (security approach) menjadi orientasi pembangunan
(prosperity/ development approach). Reorientasi ini, pada kasus kawasan
perbatasan di Provinsi Sulawesi Utara, dilakukan dengan mempertimbangkan
beberapa hal berikut: Pendekatan keamanan (security approach) yang
diterapkan Mabes ABRI di dalam penanganan KK Sosek Malindo, walaupun
berbeda namun diharapkan dapat saling menunjang dengan pendekatan
pembangunan (prosperity/ development approach). Terkait dengan beberapa
upaya yang telah disepakati di dalam pengembangan kawasan perbatasan antar
negara, diperlukan pertimbangan terhadap upaya percepatan pengembangan
kawasan perbataan tersebut melalui penanganan yang bersifat lintas sektor dan
lintas pendanaan.

Skenario Strategi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar


Strategi pembuatan rancangbangun hukum menurut penataan batas
wilayah negara (hasil analisis AHP) merupakan prioritas utama yang
dipertimbangkan untuk pencapaian tujuan, namun bukan berarti strategi tersebut
menjadi strategi tunggal dalam pencapain tujuan, karena masih ada prioritas
rancangbangun hukum lain yang memiliki unsur-unsur strategi yang juga menjadi
pertimbangan dalam pencapaian tujuan.
Penggunaan metode analisis prospektif diperlukan untuk memprediksi
kejadian di masa depan, sehingga dapat disusun alternatif skenario untuk
pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Faktor dalam menganalisis alternatif
skenario adalah unsur strategi dari kelima rancangbangun hukum yang
dihasilkan dari analisis AHP karena setiap unsur strategi merupakan kumpulan
usaha yang komprehensif untuk mencapai tujuan dalam rangka peningkatan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara.
Unsur strategi yang sama dari kelima rancangbangun digabungkan
sehingga menghasilkan 9 unsur strategi yang menjadi faktor dalam menganalisis
alternatif skenario. Berdasarkan pendapat pakar, prediksi kejadian di masa
depan untuk kurun waktu 5 – 10 tahun dapat dilihat pada Tabel 10
65

Tabel 9 Analisis skenario


FAKTOR SKENARIO
1A 1B 1C
Penetapan Batas Penetapan batas Penetapan batas Batas Wilayah laut
wilayah yang wilayah justru akan wilayah masih antara Indonesia
disepakati Indonesia merugikan Indonesia berbelit-belit dan dan Filipina
dan Filipina tidak menghasilkan menjadi semakin
sebuah kesepakatan jelas dan
menghasilkan
kesepakatan yang
win-win solution
2A 2B
Kerjasama bilateral Tetap dan kurang Semakin
dan Internasional memiliki pengaruh berkembang dan
dalam memperkuat memiliki pengaruh
posisi geografis yang signifikan
Indonesia dalam memperkuat
posisi geografis
Indonesia

3A 3B 3C
Program Pengelolaan Pelaksanaan Pelaksanaan Pelaksanaan
SDA dan jasa program kurang program tetap atau program berjalan
lingkungan kelautan mendukung statis efektif dan efisien
kelestarian sumber
daya alam
4A 4B
Sinergi kelembagaan Tetap dalam arti Semakin kuat dan
masih adanya efektif dalam
tumpang tindih menjalankan
wewenang dan antar masing-masing
lembaga kurang perannya
bersinergi dalam
mencapai tujuan
5A 5B 5C
Sistem pendanaan Semakin lemah Tetap Semakin kuat
karena tidak adanya
keseriusan dalam
pengontrolan dana
6A 6B 6C
Hukum dan Peraturan Gagal karena Tetap Mendukung dalam
Pengelolaan kesadaran hukum penyelenggaraan
masih rendah pengelolaan
7A 7B
Penataan ruang Tetap Mendukung dalam
wilayah penyelenggaraan
pengelolaan
8A 8B 8C
Sarana dan Prasarana Memberikan dampak Tetap dalam arti Semakin
Wilayah negatif terhadap tidak berpengaruh meningkatkan
aspek sosial dan aksesbilitas yang
ekonomi masyarakat memberikan
karena dampak positif
ketidakbijakan dalam terhadap aspek
pemanfaatan sarana sosial dan ekonomi
dan prasarana masyarakat
66

tersebut
9A 9B 9C
Keterpaduan antar Semakin buruk Tetap Semakin terpadu
stakeholder karena tidak adanya karena adanya
prinsip keterbukaan prinsip
dan tingkat keterbukaan dan
kepercayaan peran serta antar
masyarakat yang stake holder dalam
rendah terhadap pengelolaan
pemerintah

Berdasarkan alternatif kejadian pada masing-masing faktor, responden


pakar menyusun alternatif skenario yang mungkin terjadi dalam kurun waktu 5
tahun kaitannya dengan penyusunan dasar rekomendasi yang harus dilakukan.
Alternatif skenario yang mungkin terjadi terhadap peningkatan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara.

Tabel 10 Alternatif skenario


No Skenario Uraian Keadaan
1 Sangat Optimistik Penyusunan Rancangbangun hukum di
wilayah perbatasan negara dan
penetapan batas negara termasuk ZEE
2 Cukup Optimisrtik Penyusunan Rancangbangun hukum
dan menyelesaikan perundingan
bilateral batas negara dan ZEE
3 Optimistik dengan syarat pertama Penyelesaian Perundingan Bilateral
mengenai Batas Negara dan Nota
kesepakatan ZEE
4 Optimistik dengan syarat kedua Perundingan Bilateral penetapan ZEE
5 Pesimistik Penyelesaian Mahkamah Internasional

Dari kriteia/faktor-faktor penunjang, setelah di masukan dalam suatu


program computer maka dapat di lihat melalui Tabel 7, faktor hukum memiliki
nilai yang lebih tinggi (0.289) dibandingkan dengan ke-3 faktor lain yaitu sumber
daya alam (0.255), kelembagaan (0.231), pendanaan (0.144) dan sosial ekonomi
(0.081). dengan angka rasio inkonsistensi dari para expert adalah 0.08, rasio ini
dianggap masih dalam batas toleransi karena angka inkonsistensi harus dibawah
angka 0.1.
Bertitik tolak dari hasil kuisioner yang dijalankan dalam penelitian ini maka
dapat dilihat hasilnya yang sudah dimasukan dalam program expert choice 2000.
Sebagai contoh dapat di jelaskan dengan mengambil responden dari pihak
Kementerian Luar Negeri RI Tabel 11 dan Tabel 12 Sosial Ekonomi.
67

Tabel 11 Hasil kuesioner responden

Tabel 12 Sosial ekonomi

Dengan kriteria sosial ekonomi berdasarkan alternatif rancangbangun

produk hukum menurut pemerintah, akademisi, strategi perwilayahan, penataan

batas wilayah dan budaya lokal, setalah diisii nilai yang didapat dari para expert

dan dengan mengkalkulsikan angka-angka yang ada dalam matrik maka di dapat

: berdasarkan kriteria sumber daya alam, nilai terbesar yang didapat adalah

rancangbangun hukum menurut pemerintah (0.232), diikuti rancangbangun

hukum menurut strategy perwilayahan (0.223), rancangbangun menurut

penataan batas wilayah (0.200), rancangbangun hukum menurut akademisi

(0.193) dan rancangbangun hukum menurut budaya dengan nilai yang terkecil

0.154). Untuk rasio inkonsistensi adalah 0.04.

Gambar 9 Hasil analisis faktor sosial ekonomi


68

Sintesis
Sistesis adalah merupakan proses dari pembobotan dan kombinasi
prioritas dari model setelah dibuatnya penilaian dengan tujuan akhir yang sudah
ditetapkan. Penilaian dikombinasikan terhadap model dengan menggunakan
pembobotan dan proses dalam mencapai tujuan menggunakan semua nilai
untuk alternativ-alternatif rancangbangun produk hukum pesisir. Alternativ yang
terbaik adalah merupakan prioritas tertinggi yang dihasilkan dari Gambar 11
sintesis yang dihasilkan menunjukan bahwa rancangbangun hukum menurut
penataan batas wilayah mendapatkan prioritas tertinggi untuk di pilih dalam
menghasilkan produk rancangbangun hukum pesisir. Rancangbangun hukum
menurut penataan wilayah mendapatkan nilai 0.226, diikuti oleh RH menurut
pemerintah (0.222), RH strategi perwilayahan (0.211), RH menurut akademisi
(180), dan rancangbangun menurut biaya (0.161), sedangkan rasio inskonsitensi
adalah 0.04 yang masih dalam batas rasio normal.

Gambar 10 Sintesis rancangbangun penataan wilayah

Sensitivitas Analisis

Tujuan dari analisis sensitive adalah menujukan secara grafis bagaimana


perubahan-perubahan alternativ terhadap besarnya kepentingan dari tujuan yang
ingin di capai. Setiap analisa sensitiv bisa dihasilkan melalui tujuan atau
criteria/faktor yang ada dan dapat di bandingkan satu sama lainnya.
Dalam merancang produk rancangbangun hukum pesisir digunakan
beberapa analisa sensitif diantaranya adalah Sytem Dinamik dan System Head
to Head.
69

Sensitivitas dinamis

Dalam analisis dari sisi akademisi dengan mengacu pada tujuan yang
hendak dicapai maka sensitive dinamik berdasarkan kriteria/faktor yang ada
didapat nilai presentasi tertinggi (sisi kiri graph) yaitu criteria Hukum (28.9%),
Sumber Daya Alam (25.5%), Kelembagaan (23.1%), Pendanaan (14.4%).
Sensitive dinamik berdasarkan alternatif rancangbangun (sisi kanan graphic)
yaitu nilai tertinggi yang merupakan prioritas utama adalah RH. Menurut
penataan batas wilayah (23.9%), diikuti oleh RH menurut strategi perwilayahan
(22%), RH menurut pemerintah (20.9%), RH menurut akademisi (19.4%), RH
menurut budaya (13.8%)

Gambar 11 Dinamik sensitive

Analisis head to head

Sensitifitas Head to Head menunjukan perbandingan yang objektif dari


setiap alternativ yang ada dalam mencapai tujuan penelitian dalam hal ini
membandingkan semua produk Rancang Hukum yang di siapkan. Perbandingan
ini lebih fair karena membandingkan satu per satu alternativ pilihan, sehingga
keuntungan dan kekurangan alternativ bisa dilihat melalui score yang ada.
70

Gambar 12 Analisis head to head penataan batas wilayah dan pemerintah

Analisis head to head RH menurut penataan batas wilayah negara


dengan RH menurut Pemerintah maka dengan membandingkan bobot-bobot dari
kriteria yang ada di dapat hasil secara keseluruhan RH menurut penataan
wilayah negara mempunyai skala prioritas utama. Dalam perbandingan dengan
Rancangbangun Hukum lainnya juga disimpulkan bahwa RH menurut Penataan
Batas Wilayah Negara menjadi skala prioritas utama.

Rancangbangun Hukum Menurut Pemerintah


Rancangbangun hukum menurut pemerintah terdiri dari empat unsur
strategi yang memadukan kekuatan, kelemahan, peluang serta ancaman dari
peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Unsur dari rancangbangun
hukum menurut pemerintah adalah sebagai berikut :
(1) Pelaksanaan program Pengelolaan SDA dan jasa lingkungan kelautan
(S1,S3, O1,O2,O3)
(2) Pembangunan sistem dan sinergi kelembagaan pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar (W4,O6)
(3) Peningkatan kekuatan sistem pendanaan (W5, O1)
(4) Perumusan Hukum dan Peraturan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar
(W6,T2)
71

Rancangbangun Hukum Menurut Akademisi


Rancangbangun hukum menurut akademisi terdiri dari dua unsur strategi
yang memadukan kelemahan, peluang serta ancaman dari peningkatan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Unsur dari rancangbangun hukum menurut
akademisi adalah sebagai berikut :
(1) Pembangunan sistem dan sinergi kelembagaan pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar (W4,O6)
(2) Perumusan Hukum dan Peraturan Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar
(W6,T2)

Rancangbangun Hukum Menurut Strategi Perwilayahan


Rancangbangun hukum menurut strategi perwilayahan terdiri dari dua
unsur strategi yang memadukan kekuatan, kelemahan, dan peluang dari
peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Unsur dari rancangbangun
hukum menurut strategi perwilayahan adalah sebagai berikut :
(1) Penataan ruang wilayah pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara
(S1,S2, O1-3)
(2) Pembangunan Sarana dan Prasarana Wilayah (W1-3,O1-3)

Rancangbangun Hukum Menurut Penataan Batas Wilayah Negara


Rancangbangun hukum menurut penataan batas wilayah negara terdiri
dari dua unsur strategi yang memadukan kekuatan dan peluang dari peningkatan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Unsur dari rancangbangun hukum menurut
penataan batas wilayah negara adalah sebagai berikut :
(2) Penetapan Batas wilayah yang disepakati Indonesia dan Filipina (S2, O4,
O5)
(3) Peningkatan kerjasama bilateral dan Internasional (S2, O4, O5)

Rancangbangun Hukum Menurut Budaya Lokal


Rancangbangun hukum menurut budaya lokal terdiri dari satu unsur
strategi yang memadukan kelemahan dan ancaman dari peningkatan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Unsur dari rancangbangun hukum menurut
budaya lokal hanyalah peningkatan keterpaduan antar stakeholder dalam
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar (W4, T3)
72

Rekomendasi Peran bagi Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota

Dalam menentukan kebijakan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di


perbatasan, maka perlu mempertimbangkan akan pemberian kewenangan
pemerintah kepada pemerintah daerah khususnya menyangkut tugas
pembantuan yang berhubungan dengan perencanaan, pengelolaan keuangan,
pembinaan, pengawasan dan pertanggungjawaban.
Berikut ini merupakan rekomendasi identifikasi peran pemerintah pusat,
provinsi, dan kabupaten/kota dengan mempertimbangkan implementasi
desentralisasi pengelolaan sumberdaya wilayah pesisir kepada pemerintah
daerah:
Tabel 13 Peran Pemerintah Pusat, Provinsi, dan Kabupaten/Kota
Pusat Provinsi Kabupaten/Kota
Membuat UU dan PP Mempersiapkan strategi Bertanggung jawab
tentang pengelolaan pengelolaan dan langsung dengan
pulau kecil terluar bagi kebijakan regional. menjadi pelaksana
kepentingan nasional. •Membuat Petunjuk pengelolaan pulau-
•Menetapkan strategi Teknis Pengelolaan. pulau kecil di
pengelolaan tingkat •Menyusun dan perbatasan negara.
makro. mengkoordinasi Tata • Menyusun Master Plan
•Membuat kebijakan Ruang Pulau-Pulau dan menjabarkan
teknis dan pedoman Kecil di perbatasan petunjuk teknis
umum yang memuat negara. pengelolaan pulau kecil
prinsip-prinsip • Menyusun inventarisasi perbatsan negara.
pengelolaan pulau atau atlas sumberdaya • Membuat perencanaan
perbatasan negara. pulau kecil perbatasan spesifik kawasan
• Menetapkan standar negara. berdasarkan
kriteria dan aturan •Membuat aturan karakteristik khusus
umum lain bagi berdasarkan usulan wilayah dan kebutuhan
program pengelolaan kabupaten. masyarakat setempat.
pulau perbatasan. •Mengkoordinasi • Melakukan koordinasi
• Memberi masukan bagi kebijakan atau masalah masalah operasional
program pengelolaan lintas kabupaten/kota. dalam wilayah provinsi.
pulau di daerah • Monitoring dan evaluasi • Pelaksana perijinan
perbatasan. pengelolaan wilayah peman-faatan wilayah
• Koordinasi masalah pesisir di provinsi. atau sumberdaya
strategis menyangkut pesisir, melalui
lintas provinsi dan lintas sertifikasi.
negara. • Melakukan
• Melakukan pengawasan langsung
pengawasan dan pulau kecil perbatasan
evaluasi pengelolaan negara.
wilayah pesisir • Melakukan penegakan
nasional. hukum berdasarkan
•Merespon dan peraturan yang berlaku.
mengkoordinasi • Memajukan pendidikan
kebutuhan bantuan masyarakat bagi
73

teknis dan pembiayaan pengelolaan


daerah perbatasan. berkelanjutan.
•Menetapkan dan • Memberikan bantuan
menyalurkan bantuan teknis kemasyarakatan.
dana bagi program
pengelolaan daerah.
•Menetapkan kawasan
khusus bagi konservasi
perbatasan.

Rekomendasi rancangabangun hukum hendaknya lebih terfofus pada:


Pertama, merevisi kembali Undang-Undang Nomor.1 Tahun 1973 tentang
Landas Kontinen, agar Indonesia mempunyai dasar hukum yang lebih kuat untuk
mengatur Landas Kontinen Indonesia. Hal ini disebabkan pengertian landas
kontinen berdasarkan kedalaman air 200 meter (UNCLOS 1958) dengan
pengertian hukum landas kontinen yang berlaku sekarang (UNCLOS 1982)
adalah berbeda, yaitu kini sampai kelanjutan alamiah wilayah darat Indonesia.
Sementara Undang-Undang Landas Kontinen tersebut masih berdasarkan
UNCLOS 1958. Kedua, merevisi dan meningkatkan status hukum Peraturan
Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik
Garis Pangkal Kepulauan Indonesia menjadi Undang-undang serta
mendepositkannya kepada Sekjen PBB. Pemerintah Indonesia sampai saat ini
belum mendepositkan titik-titik pangkal tersebut kepada PBB. Padahal hal
tersebut sangat penting bagi Indonesia ketika akan melakukan penentuan titik-
titik perbatasan laut Indonesia. Ketiga, menetapkan dan mendepositkan batas-
batas wilayah laut Indonesia, termasuk batas landas kontinen. Khusus batas
lantas kontinen, Indonesia masih diberikan batas waktu sampai 2009, namun
hingga saat ini belum terselesaikan, untuk melakukan klaimnya di luar 200 mil
dari garis pangkal kepulauan nusantara. Karena apabila sampai batas waktu
tersebut belum menentukan, maka Indonesia hanya bisa mengklaim batas
landas kontinen sampai jarak 200 mil saja. Sampai saat ini baru tiga negara yang
sudah mengajukan klaim landas kontinennya ke PBB dari 148 negara yang
sudah meratifikasi UNCLOS 1982, yaitu Rusia (2001), Brasil (2004) dan Australia
(2004).

Konflik di wilayah perbatasan laut Indonesia hendaknya diselesaikan


secara lebih komprehensif. Selain itu juga dalam pelaksanaan pengelolaan
74

sumber daya di wilayah perbatasan, khususnya di pulau-pulau kecil hendaknya


tidak melanggar prinsip-prinsip otonomi seperti yang diatur dalam Undang-
Undang No 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang
No 33 Tahun 2004 tentang Perimbangan Keuangan Daerah serta jangan sampai
menghilangkan pulau-pulau kecil tersebut dari wilayah negara Indonesia.

Kajian Faktor Eksternal dan Internal


Kajian faktor eksternal dan internal ditujukan untuk mengetahui existing
condition (kondisi saat ini) dari aspek sumber daya alam, sosial ekonomi,
pendanaan, hukum, kelembagaan, dan internasional tentang pengelolaan pulau-
pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara.
Faktor-faktor eksternal dan internal ini diidentifikasi berdasarkan hasil
wawancara dan kuisioner oleh responden yang memiliki kompetensi di
bidangnya masing-masing berkaitan dengan permasalahan pulau-pulau kecil
terluar. Responden yang terlibat terdiri dari unsur pemerintah pusat, pemerintah
daerah, akademisi, dan masyarakat lokal. Hasil yang diperoleh dijelaskan
sebagai berikut :

Faktor eksternal
Faktor eksternal ini dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu peluang dan
ancaman. Peluang adalah existing condition dari segi eksternal yang dapat
dimanfaatkan untuk peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi
Sulawesi Utara, sedangkan ancaman adalah existing condition dari segi
eksternal yang harus diantisipasi dan ditanggulangi agar tujuan peningkatan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar tercapai.

Faktor internal
Faktor internal dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kekuatan dan
kelemahan. Kekuatan dalam hal ini adalah existing condition dari segi internal
yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar di provinsi Sulawesi Utara, sedangkan kelemahan adalah existing
condition dari segi internal yang harus diantisipasi agar tujuan peningkatan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar tercapai.

1 Kekuatan dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar


(1) Sumber daya alam dan jasa lingkungan kelautan yang besar.
75

Pulau-pulau kecil memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar
terutama sumber daya kelautan yaitu berbagai jenis ikan, terumbu karang,
lamun dan mangrove, sedangkan jasa lingkungan pulau kecil yang sangat
prospektif adalah kegiatan pariwisata bahari. Keberadaan potensi ini menjadi
strategis sebagai wujud pemanfaatan sumber daya alam dan jasa-jasa
kelautan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam rangka peningkatan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara.
(2) Posisi geografis yang cukup strategis.
Pulau-pulau kecil memiliki posisi geografis yang cukup strategis karena
berada di daerah perbatasan. Posisi strategis ini berpotensi dijadikan
kawasan pengembangan pelabuhan yaitu sebagai pintu masuk dan keluar
bagi Peraturan Daerahgangan barang dan jasa dari negara-negara tetangga.
Posisi yang strategis ini juga berpotensi sebagai basis pertahanan dan
keamanan negara. Potensi ini memegang peranan penting dalam rangka
pembangunan pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara.
(3) Adanya program dari pemerintah daerah untuk pembangunan pulau-pulau
kecil terluar.
Program pembangunan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara
sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RJMD) tahun 2005-2010. Adanya
program ini yang disertai dukungan anggaran dari APBD merupakan bagian
dari faktor kekuatan dalam meningkatkan pengelolaan sumber daya pesisir,
laut dan pulau-pulau kecil.

2 Kelemahan dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil Terluar


(1) Keterpencilan pulau-pulau kecil terluar.
Wilayah pulau-pulau terluar di Provinsi Sulawesi Utara yaitu Kabupaten
Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud merupakan wilayah
terpencil yang menyebabkan kendali pengawasan pemerintah menjadi sulit
untuk dilaksanakan sehingga menimbulkan potensi kerawanan sosial,
budaya, politik, hukum, dan pertahanan keamanan.
(2) Terbatasnya sarana dan prasarana perekonomian.
Wilayah pulau-pulau kecil terluar memiliki keterbatasan sarana dan
prasarana perekonomian seperti jalan raya, pelabuhan, pasar, penerangan
listrik, lembaga perbankan, sehingga berakibat pada kesejahteraan dan
76

pendapatan masyarakat yang rendah. Terbatasnya sarana dan prasarana ini


merupakan penghambat dalam pengelolaan wilayah pulau-pulau terluar.
(3) Terbatasnya sarana prasarana sosial.
Keterbatasan sarana dan prasarana sosial seperti kurangnya fasilitas
pendidikan, tidak tersedianya informasi dan komunikasi serta fasilitas
kesehatan mengakibatkan kualitas sumber daya manusia yang masih
rendah. Rendahnya kualitas SDM, berpengaruh terhadap pengelolaan
wilayah pulau-pulau terluar.
(4) Lemahnya koordinasi antar lembaga.
Koordinasi antar lembaga dalam mengelola wilayah pulau-pulau terluar
masih lemah dan tidak jelas karena masing-masing lembaga menjalanlan
perannya sendiri-sendiri bukan berdasar kebijakan bersama. Kelemahan ini
menyebabkan kurangnya integrasi perencanaan pengelolaan wilayah pulau-
pulau kecil
(5) Kontrol Pendanaan yang lemah.
Pendanaan yang tercakup dalam APBN, APBD, atau loan/grant dari
pemerintah ataupun lembaga donor untuk pelaksanaan program-program
pengelolaan wilayah pulau-pulau kecil belum memiliki pengontrolan yang
cukup baik sehingga diperlukan penegakan akuntabilitas publik dari
pelaksanaan program-program tersebut.
(6) Batas Maritim yang belum selesai.
Penetapan batas-batas maritim yang belum selesai masih diupayakan
percepatannya melalui kebijakan border diplomacy dan peningkatan
hubungan bilateral. Penegasan batas-batas pasti di lapangan dan di atas
peta belum dilaksanakan sehingga tidak diketahui oleh seluruh warga
negara Indonesia dan pembinaan batas dan wilayah perbatasan kurang
tersentuh pembangunan wilayah sehingga terjadi kesenjangan
pembangunan di perbatasan dari berbagai sektor.
(1) Belum tersosialisasinya Hukum Laut kepada masyarakat luas termasuk pada
pejabat eksekutif dan legislatif, serta implikasinya secara komprehensif.
Belum meningkatnya pengetahuan dan pemahaman aspek teknis dari hukum
laut 1982 dalam meningkatkan serta memperkuat posisi Indonesia dalam
berbagai perundingan perbatasan dan batas-batas maritim dengan negara
tetangga yang didukung oleh kekuatan-kekuatan para ahli hukum laut.
77

(2) Belum terencananya perencanaan nasional terpadu yang mengintegrasikan


kebijakan yang berbasis kelautan dengan juridiksi maritim dalam suatu
sistem Marine Space Database yang berwawasan Nusantara, merupakan
perspektif sosial politik dan pertahanan keamanan yang memancarkan
keutuhan dan kewibawaan negara-bangsa Indonesia sebagai negara
kepulauan terbesar di dunia.
(3) Belum adanya UU yang mengatur secara khusus mengenai pulau
perbatasan negara.
Karakteristik pulau-pulau kecil yang unik, tingkat keterpencilannya dan fungsi
pertahanan dan keamanan yang menonjol menyebabkan penanganan pulau-
pulau di perbatasan negara perlu mendapat perhatian khusus. Undang-
Undang yang telah di tetapkan, belum mengakomodasikan secara lengkap
untuk dijadikan sebagai pedoman pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.

Hasil Evaluasi Faktor Eksternal dan Internal


Faktor eksternal dan internal yang telah dijelaskan sebelumnya perlu
dievaluasi agar dapat mengetahui posisi internal dan eksternal pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara. Evaluasi dibagi dalam 2
(dua) kelompok, yaitu evaluasi faktor eksternal dan evaluasi internal.

Evaluasi faktor eksternal


Evaluasi faktor eksternal dilakukan dengan memberikan bobot, peringkat
dan skor pada masing-masing faktor. Berdasarkan Tabel 14, nilai skor faktor
eksternal pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara adalah
2.339. Menurut David (2004), nilai skor di bawah 2.5 mengindikasikan bahwa
pemanfaatan peluang dan mengatasi ancaman belum efektif. Tingkat
kepentingan yang paling atas dari faktor eksternal adalah respon pengawasan
perbatasan laut antar negara, yaitu mendapat bobot 0.126. Respon pengawasan
yang masih lemah ini perlu diperbaiki dengan penegakan perangkat hukum dan
peningkatan kapasitas kelembagaan pada unit kerja pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota, Provinsi, sampai
tingkat Nasional.
78

Tabel 14 Matriks Evaluasi Faktor Eksternal

FAKTOR INTERNAL BOBOT PERINGKAT SKOR


PELUANG
(5) Kebijakan nasional mendorong 0.107 0.533 0.272
investasi 0.115 2.133 0.246
(6) Kebijakan pemerintah dalam
pemberian otoritas pengelolaan 0.099 2.267 0.225
wilayah
(7) Meningkatnya kebutuhan pasar lokal
dan internasional terhadap hasil 0.105 2.733 0.288
sumber daya alam
(8) Konvensi Internasional terhadap 0.113 2.933 0.332
hukum laut Indonesia
(9) Kerjasama bilateral antara Indonesia 0.121 3.000 0.363
dengan negara tetangga
(10) Kebijakan pemerintah untuk
membentuk kelembagaan dalam
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.
Jumlah 1.726

ANCAMAN
(2)Belum ada penetapan batas laut 0.113 1.733 0.197
yang disepakati bersama (ZEE)
(3)Masih lemahnya respon pengawasan 0.126 1.733 0.218
perbatasan laut antar negara
(4)Adanya konflik kepentingan antar
stakeholer dalam pengelolaan pulau- 0.099 2.000 0.199
pulau kecil terluar.
0.613
Total 1 2.339

Pengawasan dan penegakan hukum sangat dibutuhkan agar dapat


diperoleh suatu kepastian hukum dalam menjaga kepentingan negara dari
gangguan asing. Sementara itu kapasitas pada bidang kelembagaan penegakan
hukum pengelolaan pulau-pulau kecil terluar perlu ditingkatkan sehingga
terwujud penegakan peraturan perUndang-Undangan, pengawasan,
pemantauan, pengamanan, dan pertahanan keamanan baik wilayah maupun
sumberdaya.
Faktor eksternal di atas juga didukung oleh kebijakan pemerintah untuk
membentuk kelembagaan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar yang
merupakan prioritas kedua dari faktor eksternal yang dapat dimanfaatkan untuk
peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara
dengan bobot 0.121. Dengan kelembagaan yang dibentuk berdasarkan
Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 diharapkan setiap lembaga yang
79

terkait mampu melakukan koordinasi kelembagaan yang efektif dan mampu


memainkan peran sesuai kewenangannya.
Faktor eksternal lain yang merupakan peluang dalam peningkatan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar antara lain kebijakan nasional mendorong
investasi, kebijakan pemerintah dalam pemberian otoritas pengelolaan wilayah,
meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap hasil
sumberdaya alam, konvensi Internasional terhadap hukum laut Indonesia dan
kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga. Faktor-faktor ini
dapat dimanfaatkan jadi peluang dan pendukung bagi peningkatan pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar, namun peranan untuk langsung adalah dari aspek
hukum dan kelembagaan. Kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara
tetangga khususnya Filipina diharapkan mampu mengkoordinasikan
permasalahan wilayah perbatasan yang menjadi hak masing-masing negara.
Disamping itu yang menjadi ancaman dalam peningkatan pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar adalah belum ada penetapan batas laut yang disepakati
bersama (ZEE) dengan bobot 0.113. Hal ini perlu untuk segera diselesaikan dan
disepakati dengan upaya-upaya politis dan diplomatis. Namun demikian adanya
konflik kepentingan antar stakeholder dalam pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar dengan bobot 0.099 dapat menjadi ancaman dalam pengelolaan pulau-
pulau kecil terluar sehingga sering menimbulkan konflik yang sulit diselesaikan
karena tidak jelasnya kewenangan antar lembaga maupun antar pemerintahan
pusat dan daerah. Oleh karena itu, diperlukan keterpaduan dalam pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar.

Evaluasi faktor internal


Evaluasi faktor internal dilakukan dengan memberikan bobot, peringkat
dan skor terbobot pada masing-masing faktor. Bobot menunjukkan tingkat
kepentingan, peringkat menunjukkan kekuatan utama atau kecil dan kelemahan
utama atau kecil, dan skor menunjukkan posisi kekuatan faktor strategis internal.
Matriks evaluasi faktor internal dapat dilihat pada Tabel 15 berikut :
80

Tabel 15 Matriks Evaluasi Faktor Strategis Internal


FAKTOR INTERNAL BOBOT PERINGKAT SKOR
KEKUATAN
1. Adanya program dari pemerintah 0.119 3.133 0.373
daerah untuk pembangunan pulau-
pulau kecil terluar
2. Posisi geografis yang cukup 0.105 3.200 0.335
strategis 0.105 2.667 0.279
3. Sumber daya alam dan jasa
lingkungan kelautan yang besar 0.987
Jumlah
KELEMAHAN
1. Keterpencilan pulau-pulau kecil
terluar
2. Terbatasnya sarana dan prasarana 0.100 2.200 0.220
perekonomian. 0.115 2.133 0.245
3. Terbatasnya sarana prasarana
sosial 0.113 2.067 0.234
4. Lemahnya koordinasi antar 0.116 2.200 0.256
lembaga 0.103 2.133 0.219
5. Belum adanya UU yang khusus
mengenai pulau-pulau kecil terluar 0.125 2.067 0.258
6. Kontrol Pendanaan yang lemah 1.431
Jumlah 2.418
Total

Berdasarkan Tabel 15, total skor faktor strategis internal mendapatkan


angka 2.418. Menurut David (2004), nilai skor di bawah 2.5 menunjukkan bahwa
faktor strategis internal berada pada posisi lemah. Dengan demikian keadaan
faktor internal pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara
lemah.
Faktor kekuatan internal yang dipandang memiliki peran yang besar
dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah adanya program dari
pemerintah daerah untuk pembangunan pulau-pulau kecil terluar dengan bobot
0.119. Program dari pemerintah yang telah ditetapkan untuk pembangunan
pulau-pulau kecil menjadi pendorong dan dukungan bagi lembaga terkait dalam
meningkatkan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar secara berkelanjutan.
Faktor kekuatan internal di atas sangat terkait dengan faktor kelemahan
internal yang memiliki tingkat kepentingan pertama yaitu kontrol pendanaan yang
lemah dengan bobot 0.125. Faktor pendanaan menjadi penting karena
merupakan anggaran bagi kegiatan-kegiatan pengelolaan wilayah pulau-pulau
kecil terluar dan pembangunan sarana dan prasarana. Pendanaan yang
81

diperoleh dari berbagai sumber perlu dilakukan pengontrolan dalam


penggunaannya agar terwujud hasil yang nyata dan efektif dalam meningkatkan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Jika dana tidak terkontrol maka peluang
terjadi penyalahgunaan dana semakin besar sehingga program pengelolaan
wilayah sulit dilaksanakan secara kontinu.
Keterbatasan sarana dan prasarana baik sosial dan ekonomi menjadi
faktor kelemahan yang cukup dominan dengan bobot 0.113 dan 0.115. Adanya
sarana dan prasarana yang dilakukan dengan penyediaan perangkat-perangkat
infrastruktur merupakan pendukung pengembangan pulau-pulau kecil terluar dan
sangat berpengaruh terhadap kelancaran terlaksananya program-program
pembangunan. Pembangunan infrastruktur seperti sarana perhubungan
mempermudah arus barang dan penumpang dalam memanfaatkan akses pasar-
pasar lokal, nasional dan internasional (Dahuri, 2003)
Rendahnya kualitas SDM (Sumber Daya Manusia) di pulau-pulau kecil
terluar adalah akibat dari keterbatasan sarana dan prasarana sosial. Kualitas
SDM merupakan hal yang sangat penting dan mendasar dalam pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar karena SDM tersebut adalah masyarakat lokal yang
akan terlibat langsung dalam program-program pembangunan sedangkan
mereka belum memiliki kesadaran dan pemahaman yang baik tentang arti
pentingnya pembangunan pulau-pulau kecil terluar. Sebagian besar penduduk di
kawasan itu kurang mendapatkan pendidikan yang layak dan tidak tersentuh
pemberdayaan SDM.
Faktor lain yang menjadi unsur kelemahan adalah lemahnya koordinasi
antar lembaga dengan bobot 0.116 dan belum adanya UU yang khusus
mengenai pulau-pulau kecil terluar dengan bobot 0.103. Kedua faktor ini adalah
permasalahan dalam aspek hukum dan kelembagaan. Kondisi ini menyebabkan
rendahnya kapasitas kelembagaan dan penegakan hukum sehingga sistem dan
operasional pengelolaan pulau-pulau kecil terluar menjadi kurang kondusif.
Faktor internal yang memiliki tingkat kepentingan cukup rendah adalah
posisi geografis yang cukup strategis dengan bobot 0.105, sumber daya alam
dan jasa lingkungan kelautan yang besar dengan bobot 0.105 dan keterpencilan
pulau-pulau kecil terluar dengan bobot 0.100. Faktor-faktor ini adalah bagian dari
keunikan dan menjadi ciri khas pulau-pulau tersebut baik dari sisi kelebihan
maupun kekurangannya yang tidak bisa diubah sehingga membuat tingkat
kepentingan faktor ini menjadi rendah. Namun demikian, faktor ini khususnya
82

sumberdaya alam dan jasa lingkungan kelautan dan posisi geografis yang cukup
strategis merupakan kekuatan yang besar di pulau-pulau terluar tersebut yang
ditandai dengan peringkat yang besar yaitu 3.200 untuk posisi geografis dan
2.667 untuk sumber daya dan jasa kelautan karena ke dua faktor tersebut adalah
potensi yang dimiliki oleh pulau yang bersangkutan. Jika lembaga-lembaga
terkait mampu mengelola pulau-pulau tersebut sesuai dengan potensinya maka
akan didapat hasil yang efektif dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar perbatasan negara. Pengelolaan di tujukan pada sektor perikanan yang
berpotensi untuk peningkatan devisa negara melalui eksport hasil penangkapan
di laut teritorial dan dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Eksport dapat
dilakukan di Kota General Santos Filipina berhubung pertimbangan biaya
transportasi apabila wilayah penangkapan di perbatasan dan lokasi pengumpul
di Kota Bitung, maka waktu dan jarak tempuh menjadi pertimbangan. Oleh
karena itu perlu peningkatan kerjasama Peraturan Daerahgangan dengan
mengacu pada harga kesepakatan yang saling menguntungkan kedua belah
pihak.

Evaluasi Gabungan Faktor Strategis Eksternal dan Internal

Hasil evaluasi faktor eksternal dan internal kemudian dievaluasi secara


bersama-sama untuk menentukan arah strategi selanjutnya. Evaluasi gabungan
ini menggunakan matriks IE (Internal dan Eksternal) yang dapat dilihat pada
Gambar 15. Pada matriks tersebut, total skor evaluasi faktor eksternal dan
internal diplotkan sehingga dapat diketahui posisi kuadran pengelolaan pulau-
pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara. Total skor evaluasi faktor eksternal
adalah 2.339 dan total skor evaluasi faktor internal adalah 2.418. Posisi ini
ditunjukkan oleh titik hitam yang berada dalam matriks kuadran V.

Berdasarkan dari matriks IE di atas, posisi peningkatan pengelolaan


pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara pada saat ini berada pada
kuadran V artinya pengelolaan pulau-pulau tersebut berada pada kondisi yang
stabil atau tetap yang menunjukkan bahwa pengelolaan di pulau tersebut masih
belum mengalami pertumbuhan dan perkembangan yang signifikan baik dari
aspek sumber daya alam, sosial ekonomi, pendanaan, hukum dan kelembagaan.

Hal ini merupakan kondisi nyata dari pulau-pulau tersebut saat ini seperti
pemanfaatan sumber daya alam hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
83

saat ini saja, masih adanya permasalahan di bidang hukum dan kelembagaan.
Salah satu bukti nyatanya antara lain maraknya pencurian ikan di kawasan
tersebut dan sampai saat ini masih belum ada kepastian garis batas laut dan
darat antara Indonesia dan Filipina. Pada aspek sosial ekonomi juga belum
menunjukkan pertumbuhan, pulau-pulau tersebut masih mengalami
keterisolasian dan tingkat kesejahteraan yang rendah. Begitu juga dengan
lemahnya sistem pendanaan sehingga pelaksanaan program-program
pembangunan belum bisa dilaksanakan secara kontinu.
Strategi yang harus dilakukan pada kondisi ini adalah melakukan
perbaikan secara internal dan menguatkan posisi eksternal sehingga skor dari
faktor internal dan eksternal meningkat. Faktor internal ditingkatkan dengan cara
membuat kelemahan-kelemahan utama menjadi kelemahan kecil dan kekuatan-
kekuatan kecil diusahakan menjadi kekuatan-kekuatan utama. Faktor eksternal
ditingkatkan skornya dengan membuat strategi yang dapat secara efektif
merespon dari faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi.

Hasil Matriks SWOT


Analisis SWOT adalah indentifikasi beberapa faktor secara sistematis
untuk merumuskan strategi pengelolaan pulau kecil terluar. Analisis ini
didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strenghts) dan
peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan
kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan
keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan,
strategis (strategic planner) harus menganalisis faktor-faktor strategis
peengelolaan pulau kecil terluar dalam kondisi yang ada pada saat ini.
Matriks SWOT (Strengths, Weakness, Opportunities, and Threats)
ditujukan untuk memformulasikan strategi-strategi peningkatan pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara atas dasar keterangan
matriks IE (Internal dan Eksternal) di atas. Faktor eksternal, peluang dan
ancaman akan disintesakan dengan faktor internal, kekuatan dan kelemahan
sehingga dapat menghasilkan beberapa strategi.
Beberapa alternatif strategi yang menjadi keterkaitan dengan penelitian
berdasarkan analisis SWOT akan menggambarkan keadaan dan situasi saat ini
di lokasi penelitian yang telah disusun dalam bentuk matriks.
84

Matriks SWOT dapat dilihat pada Gambar 13 Matriks SWOT yang


menghasilkan beberapa alternatif-alternatif strategi yang dapat dipilih.
Kekuatan (S) Kelemahan (W)
Internal 1 SDA dan jasa lingkungan 4 Keterpencilan pulau-
kelautan yang besar (S1) pulau kecil terluar (W1)
2 Posisi geografis cukup 5 Terbatasnya sarana dan
tinggi (S2) prasarana
3 Adanya program dari perekonomian. (W2)
pemerintah daerah untuk 6 Terbatasnya sarana
pembangunan pulau-pulau prasarana sosial (W3)
kecil terluar (S3) 7 Lemahnya koordinasi
antar lembaga (W4)
8 Kontrol Pendanaan yang
lemah (W5)
Eksternal Belum adanya UU yang
khusus mengenai pulau-
pulau kecil terluar (W6)
Peluang (O) SO WO
9 Kebijakan nasional
mendorong investasi (O1) Pelaksanaan program Pembangunan sistem
10 Kebijakan pemerintah dalam Pengelolaan SDA dan jasa dan sinergi kelembagaan
pemberian otoritas lingkungan kelautan pengelolaan pulau-pulau
pengelolaan wilayah (O2) (S1,S3, O1,O2,O3) kecil terluar (W4,O6)
11 Meningkatnya kebutuhan
pasar lokal dan internasional Penetapan Batas wilayah Pembangunan Sarana
terhadap hasil sumber daya yang disepakati Indonesia dan Prasarana Wilayah
alam (O3) dan Filipina (S2, O4, O5) (W1-3,O1-3)
12 Konvensi Internasional
terhadap hukum laut Peningkatan kerjasama Peningkatan kekuatan
Indonesia (O4) bilateral dan Internasional sistem pendanaan (W5,
13 Kerjasama bilateral antara (S2, O4, O5) O1)
Indonesia dengan negara
tetangga (O5) Penataan ruang wilayah
14 Kebijakan pemerintah untuk pulau-pulau kecil terluar di
membentuk kelembagaan Provinsi Sulawesi Utara
dalam pengelolaan pulau- (S1,S2, O1-3)
pulau kecil terluar (O6)
Ancaman (T) ST WT
15 Belum ada penetapan batas Penetapan Batas wilayah Perumusan Hukum dan
laut yang disepakati bersama yang disepakati Indonesia Peraturan Pengelolaan
(ZEE) (T1) dan Filipina (S2, T1, T2) Pulau-Pulau Kecil
16 Masih lemahnya respon Terluar (W6,T2)
pengawasan perbatasan laut
antar negara (T2) Peningkatan
17 Adanya konflik kepentingan Keterpaduan antar
antar stakeholder dalam stakeholder dalam
pengelolaan pulau-pulau kecil pengelolaan pulau-pulau
terluar (T3) kecil terluar (W4, T3)

Gambar 13 Matriks SWOT


85

Berdasarkan Gambar 13, alternatif strategi yang dapat dipilih untuk


peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Sulawesi Utara terdiri dari
10 pilihan. Strategi-strategi tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut :

Strategi Kekuatan – Peluang: (Strengths – Opportunities (S-O)


Kolom strategi S – O adalah strategi yang menggunakan kekuatan untuk
mengambil keuntungan dari peluang yang ada. Strategi tersebut antara lain :

Pelaksanaan program pengelolaan SDA dan jasa lingkungan kelautan

Strategi ini memanfaatkan kekuatan SDA dan jasa lingkungan kelautan


yang besar dan adanya program dari pemerintah daerah untuk pembangunan
pulau-pulau kecil terluar serta memanfaatkan peluang kebijakan nasional
mendorong investasi, kebijakan pemerintah dalam pemberian otoritas
pengelolaan wilayah dan meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan internasional
terhadap hasil sumber daya alam.

Sumber daya alam dan jasa lingkungan merupakan bagian dari potensi
yang dimiliki oleh pulau-pulau perbatasan. Program pengelolaan SDA dan jasa
lingkungan kelautan dilaksanakan dengan penyusunan rancangan Peraturan
Daerah tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan tersebut
pemerintah daerah menetapkan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan
untuk mencapai dan meningkatkan pengelolaan sumber daya pesisir secara
berkelanjutan. Pengelolaan secara berkelanjutan adalah suatu upaya
pemanfaatan sumber daya alam dan jasa lingkungan yang terdapat di pulau
untuk kesejahteraan manusia, artinya pemanfaatan tidak hanya dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan saat ini saja, tetapi juga menjamin generasi yang akan
datang. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain : pembangunan pulau-pulau kecil
secara berkelanjutan dan berbasis masyarakat, sosialisasi peringatan dini
bencana alam, manajemen kawasan pesisir secara terpadu, rencana tata ruang
pesisir secara terpadu, pengelolaan kawasan konservasi laut sebagai reservoir,
pengendalian pencemaran, bersih pantai dan laut, rehabilitasi ekosistem
mangrove, rehabilitasi ekosistem karang, pembuatan daerah perlindungan laut
dan kawasan konservasi laut daerah, cagar alam laut dan identifikasi penamaan
laut.
86

Program pengelolaan SDA dan jasa lingkungan kelautan juga


dilaksanakan guna memenuhi kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap
hasil sumber daya alam dan jasa lingkungan yang semakin meningkat.
Kebutuhan ini merupakan peluang mendorong pertumbuhan ekonomi, seperti
pemanfaatan jasa lingkungan untuk kegiatan pariwisata, budidaya perairan, yang
apabila dikembangkan secara optimal mampu memberikan kontribusi terhadap
peningkatan perekonomian masyarakat sekitarnya.

Peningkatan kerjasama bilateral dan internasional


Peningkatan kerjasama bilateral dan internasional sangat penting guna
meningkatkan dukungan dari dunia internasional dalam pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar. Mengingat pulau-pulau terluar di Provinsi Sulawesi Utara memiliki
posisi geografis yang strategis sebagai pintu masuk dan keluar bagi Peraturan
Daerahgangan barang dan jasa dari negara-negara tetangga dan memiliki
tingkat kerawanan yang tinggi terjadinya konflik pemanfaatan antar negara maka
salah satu upaya untuk mendukung stabilitas politik, ekonomi, pertahanan dan
keamanan kawasan adalah dengan melakukan kerjasama bilateral dan
internasional.

Penataan ruang wilayah pulau-pulau kecil terluar


SDA dan jasa lingkungan kelautan yang besar serta posisi geografis yang
cukup tinggi merupakan kekuatan yang dimiliki oleh pulau-pulau kecil terluar di
Provinsi Sulawesi Utara. Kekuatan internal ini perlu ditingkatkan nilainya untuk
menjadi kekuatan utama dengan cara melakukan penataan ruang wilayah
terhadap pemanfaatan SDA dan jasa lingkungan kelautan di pulau tersebut.
Penataan ruang wilayah pulau-pulau kecil terluar bertujuan untuk
menentukan lokasi atau wilayah yang dijadikan sebagai tempat penangkapan
ikan, budidaya perairan, wisata dan konservasi. Hal ini sangat penting dilakukan
agar tidak terjadi tumpang tindih kebijakan dan konflik pengelolaan. Sebelum
dilakukan penataan ruang, perlu diidentifikasi terlebih dahulu potensi dan
keunggulan pulau tersebut sehingga pemanfaatan ruang wilayah didasarkan
pada potensi pulau yang bersangkutan.
Kebijakan pemerintah dalam mendorong investasi dan pemberian
otonomi daerah menjadi motivasi pada pelaksanaan strategi ini. Dengan
penataan ruang wilayah, maka calon investor akan lebih tertarik
87

menginvestasikan dana karena melihat prospek yang cukup menguntungkan.


Begitu juga dengan pemberian otonomi daerah akan membuat pemerintah
daerah menjadi lebih leluasa menggunakan perannya dalam mengatur
kepentingan pengelolaan daerah masing-masing.

Penetapan batas wilayah yang disepakati Indonesia dan Filipina (S2, O4,
O5)
Batas wilayah darat dan laut antara Indonesia dan Filipina perlu
ditetapkan terutama berkaitan dengan masih banyak segmen kawasan pesisir
yang belum ditetapkan yang berkaitan dengan batas negara seperti pulau-pulau
terluar yang belum bernama, hal ini memiliki dimensi strategis kewilayahan
terutama penataan ruang laut yang berdampak sangat luas terhadap keamanan
dan kesejahteraan.
Penetapan batas wilayah ini memanfaatkan peluang Konvensi
Internasional terhadap hukum laut Indonesia dan kerjasama bilateral antara
Indonesia dengan negara tetangga khususnya Filipina. Adanya konvensi
internasional menjadi peluang bagi Indonesia untuk mendapatkan dukungan
yang besar dari dunia internasional. Konvensi Hukum Laut 1982 telah
memberikan hak kepada Indonesia untuk menetapkan batas-batas terluar dari
berbagai zona maritim dengan batas-batas maksimum yang sudah ditetapkan.
Penyelesaian permasalahan batas wilayah juga harus dilakukan dengan
peningkatan intensitas dialog antara Indonesia dan Filipina melalui kerjasama
bilateral dengan upaya-upaya politis dan diplomatis sehingga terwujud kepastian
garis batas wilayah laut dan darat antara Indonesia dan Filipina.

Strategi Kekuatan – Ancaman: Strength – Threats (S-T)


Strategi S-T merupakan strategi untuk menggunakan kekuatan yang
dimiliki oleh pulau-pulau terluar di Provinsi Sulawesi Utara dengan cara
menghindari ancaman. Strategi yang dapat dilakukan adalah :

Strategi penetapan batas wilayah


Strategi ini berusaha untuk meningkatkan nilai posisi geografis sebagai
kekuatan internal yang dimiliki oleh pulau tersebut dengan cara mengatasi
ancaman berupa belum adanya batas laut yang disepakati bersama dan masih
lemahnya respon pengawasan perbatasan laut antar negara. Strategi ini juga
ada di dalam strategi SO, namun dilihat dari faktor yang berbeda.
88

Penetapan batas yang disepakati Indonesia dan Filipina


Penetapan batas merupakan sebuah kepastian hukum yang dapat
menunjang berbagai kegiatan yang terkait dengan kewenangan pengelolaan
pulau pulau kecil terluar di bidang sumber daya alam, sosial ekonomi, hukum dan
kelembagaan seperti perikanan, pariwisata, pelayaran, pertambangan, serta
peraturan yang mengawasi kegiatan di bidang tersebut agar tidak terjadi
kesalahan wewenang dan tindakan illegal yang menyebabkan kerugian negara.

Strategi Kelemahan – Peluang: Weakness – Opportunities (W-O)


Strategi W-O dalam konteks peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar terbagi menjadi dua definisi, yang pertama adalah strategi W-O untuk
mengatasi kelemahan yang dimiliki, dengan memanfaatkan berbagai peluang
yang ada, yang kedua adalah strategi W-O untuk memanfaatkan peluang
dengan cara mengatasi kelemahan-kelamahan yang dimiliki.

Pembangunan sistem dan sinergi kelembagaan pengelolaan pulau-pulau


kecil terluar.

Meskipun sebelumnya sudah terdapat lembaga-lembaga yang


mempunyai kewenangan pengelolaan seperti Dewan Kelautan Indonesia, Ditjen
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta DKP, namun lembaga ini belum mampu
mengakomodir permasalahan di pulau tersebut dan masih banyak lembaga-
lembaga lainnya yang memiliki wewenang tumpang tindih dan kurang berfungsi
dengan sinkronasi yang baik. Akibatnya sulit melakukan koordinasi dalam
pelaksanaan di lapangan.
Dengan adanya komitmen yang kuat dari pemerintah maka pemerintah
mengeluarkan kebijakan membentuk kelembagaan baru dalam pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar. Berdasarkan Peraturan Presiden No 78 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar, disebutkan bahwa dalam
pengelolaan perlu kelembagaan yang merupakan wadah koordinasi non
struktural yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.
Kelembagaan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dilaksanakan oleh tim
koordinasi yang telah dibentuk yang terdiri dari ketua Menteri Koordinator Bidang
Politik Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam) dan wakil ketua I merangkap
Anggota Menteri Perikanan dan Kelautan dan Wakil Ketua II merangkap Anggota
89

Menteri Dalam Negeri, sedangkan Sekretaris adalah Sekretaris Menteri


Koordinator Bidang Polhukam. Keanggotaan kelembagaan terdiri dari TNI,
kepolisian, badan intelijen dan kementerian yang lain.
Dengan adanya kelembagaan baru ini, diharapkan lembaga tersebut
mampu menjalankan wewenangnya sesuai dengan fungsinya dan mampu
bersinergi dalam sistem pengelolaan pulau-pulau kecil terluar yang terintegrasi
sehingga terwujud pengelolaan yang efektif dan efisien.

Strategi Kelemahan – Ancaman: Weakness – Threats (W-T)


Strategi WT adalah strategi yang ditujukan untuk meminimalkan
kelemahan yang ada serta menghindari ancaman.

Perumusan hukum dan peraturan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar


(W6,T2)
Strategi ini ditujukan untuk mengatasi kelemahan belum adanya UU yang
khusus mengenai pulau-pulau kecil terluar dan ancaman masih lemahnya respon
pengawasan perbatasan laut antar negara. Dukungan perangkat hukum dan
peraturan sangat diperlukan guna menjamin kepastian hukum dalam
penyelenggaraan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar provinsi Sulawesi Utara.
Perangkat hukum dan peraturan dapat dirumuskan secara terintegrasi yang
mencakup keseluruhan aspek pengelolaan pulau-pulau kecil terluar provinsi
Sulawesi Utara baik aspek sumber daya alam dan lingkungan, pertahanan dan
keamanan, sosial ekonomi serta budaya dalam bentuk Undang-Undang,
peraturan pemerintah pusat dan daerah. Keberadaan perangkat hukum dan
peraturan ini akan menjadi pedoman bagi setiap institusi baik di pusat maupun
daerah dalam pemanfaatan pulau-pulau kecil terluar provinsi Sulawesi Utara.

Peningkatan keterpaduan antar stakeholder dalam pengelolaan pulau-


pulau kecil terluar (W4, T3)
Strategi ini ditujukan untuk mengatasi kelemahan koordinasi antar
lembaga dan mengatasi ancaman konflik kepentingan antar stakeholder dalam
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar. Stakeholder perlu dilibatkan pada proses
perencanaan, pelaksanaan, dan pengontrolan dalam pengelolaan pulau-pulau
kecil terluar. Dengan keterlibatan semua stakeholder baik dari lembaga
pemerintah pusat, daerah, instansi swasta, dan masyarakat dapat mengurangi
konflik akibat kepentingan yang berbeda antar stakeholder tersebut.
90

KESIMPULAN

Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian


penting dari ketahanan negara. Untuk itu setiap negara mempunyai kewenangan
menentukan batas wilayah yurisdiksinya masing-masing. Namun karena batas
terluar wilayah negara senantiasa berbatasan dengan wilayah kedaulatan negara
lain maka penetapan tersebut harus juga memperhatikan kewenangan otoritas
negara lain melalui suatu kerjasama dan pernjanjian, misalnya dalam bidang
survei dan penentuan batas wilayah darat maupun wilyah laut antara NKRI
dengan negara lain yang selama ini tertuang dalam bentuk MoU maupun
perjanjian-perjanjian penetapan garis batas laut.

UUD 1945 hasil amandemen dalam pasal 25A telah mengamanatkan


pembuatan UU untuk menetukan batas wilayah negara yang dijadikan pedoman
dalam mempertahankan kedaulatan NKRI, memperjuangkan kepentingan
nasional dan keselamatan bangsa, memperkuat potensi, memberdayakan dan
mengembangkan sumberdaya alam bagi kemakmuran seluruh bangsa
Indonesia. Dasar hukum wilayah negara telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 43 Tahun 2008 Tentang Wilayah Negara yang menjadi dasar hukum
untuk diketahui masyarakat internasional, terutama negara-negara yang
berbatasan dengan Indonesia, bahwa wilayah negara Kesatuan Republik
Indonesia, adalah salah satu unsur negara yang merupakan satu kesatuan
wilayah daratan, perairan pedalaman, perairan kepulauan dan laut teritorial
beserta dasar laut dan tanah di bawahnya, serta ruang udara di atasnya,
termasuk seluruh sumber kekayaan yang terkandung di dalamnya.

Permasalahan pulau-pulau kecil di perbatasan negara karena letaknya


yang strategis serta karakteristiknya yang unik, sehingga permasalahannya sangat
kompleks, oleh karena pihak pemerintah dan pemerintah daerah harus melakukan
tindakan yang cepat dan tepat serta konperenhensif dan berkelanjutan bagi
sumberdaya alamnya, sekaligus membahas suatu naskah akademis dan rancangan
undang-undang khusus pulau perbatasan negara.

Hasil analisis menunjukkan bahwa penetapan batas wilayah menjadi


prioritas utama dan dengan meningkatkan konsultasi regional dalam bidang
ekonomi negara tetangga, serta meningkatkan intensitas pertemuan bilateral antar
kedua negara (Indonesia dan Filipina), untuk mencari titik temu posisi titik dasar dan
91

titik referensi di laut, sebagai acuan batas dalam peta wilayah negara, kemudian
hasil kesepakatan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.

Pulau-pulau kecil terluar di perbatasan negara mempunyai tingkat


kerawanan terhadap pertahanan dan keamanan negara, terutama terhadap
kejahatan transnasional, namun fasilitas untuk menunjang sistem pengawasan
masih kurang terutama sarana dan prasarana, termasuk personil yang terlatih
khusus untuk menangkal aktivitas ancaman masuknya terorisme dan perdagangan
illegal seperti senjata dan bahan makanan.

Kondisi sosial ekonomi masyarakat masih tergantung pada hasil


sumberdaya alam yang tersedia, sedangkan dalam musim-musim tertentu
masyarakat terperangkap tidak bisa keluar dari pulau akibat cuaca dan musim
gelombang laut yang tinggi. Sehingga ketergantungan masyarakat terhadap
kebutuhan pangan harus di suplai dari negara tetangga karena jarak antar pulau
terluar dan pulau ibukota kabupaten sangat jauh.

Pelintas batas masih terus berlangsung karena hubungan kekeluargaan


yang sudah terjalin sejak dahulu, sehingga para pelintas batas terutama masyarakat
Pulau Marore dan Pulau Miangas yang telah kawin-mawin dengan penduduk /
masyarakat Filipina hingga saat ini tetap melakukan perkunjungan. Ketidak
mampuan pemerintah daerah untuk memulangkan masyarakat Indonesia yang
tinggal di Pulau Mindanao, karena penghasilan mereka lebih memadai dan lebih
banyak apabila dibandingkan dengan hasil pendapatan apabila bekerja di pulau-
pulau di Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan Talaud.

Karena penetapan kembali batas (delimitasi) ZEE sebagai konsep yang


dikembangkan oleh negara-negara kepulauan sejauh 200 mil yang menjadi hak
yurisdiksi belum ada kesepakatan, maka konsultasi bilateral dapat dilaksanakan
sekaligus antara penetapan ZEE dengan wilayah landas kontinen, sebagaimana
diatur dalam Konvensi Hukum Laut tahun 1982.

Indonesia dan Filipina merupakan dua negara kepulauan yang berbatasan,


dan telah meratifikasi UNCLOS 1982 sebagai perundang-undangan negara masing-
masing, sehingga mensyaratkan adanya ZEE masing-masing negara kepulauan.
Wilayah ZEE yang terletak di antara negara Indonesia dan Filipina sering terjadi
92

pelanggaran, terutama pencurian ikan, penyeludupan, dan kejahatan transnasional,


Oleh karenanya perlu dilakukan penanganan khusus oleh kedua negara.

Dalam penentuan batas yang berdasarkan konvensi, yurisprudensi dan


praktek negara tentang penetapan batas (delimitasi) maka penetapan batas wilayah
ZEE antara Indonesia dan Filipina dapat dilakukan dengan persetujuan dan
berpedoman pada prinsip sama jarak (equitable principles).

Kendala-kendala akibat belum adanya penetapan batas wilayah


ZEE antara Indonesia dan Filipina, adalah masalah teknis yuridis, hak -hak
perikanan tradisional, rute navigasi (ALKI), faktor sosio-kultural. Dalam
bidang kelautan dihadapi (1) masih adanya konflik antar sektor dalam
pemanfaatan sumber daya pesisir dan laut yang menyebabkan belum optimalnya
manfaat sumber daya ini jika dibandingkan dengan potensinya; (2) pengendalian
dan pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan terhadap illegal,
unreported and unregulated (IUU) fishing yang masih tumpang tindih antarsektor
karena banyaknya lembaga pengawas (TNI AL, Polair, DKP, Bakorkamla), masih
lemahnya penegakan hukum, serta kurang memadainya sarana dan prasarana
yang ada; (3) masih adanya pelanggaran dalam pemanfaatan sumber daya alam
dan aktivitas ekonomi yang tidak memperhatikan aspek lingkungan hidup yang
menimbulkan kerusakan, pencemaran, dan penurunan kualitas sumber daya
alam dan lingkungan hidup; (4) kurang memadainya kegiatan mitigasi dan
adaptasi terhadap dampak perubahan iklim pada wilayah pesisir dan pulau-pulau
kecil yang rentan; (5) kurangnya pemahaman pentingnya tata ruang laut dan
pulau-pulau kecil; (6) belum memadainya sarana dan prasarana di pulau-pulau
kecil dan masih adanya kesenjangan sosial-ekonomi antara pulau besar dan
pulau kecil, serta belum optimalnya pengelolaan pulau-pulau kecil terdepan; (7)
belum memadainya produk riset dan pemanfaatan hasil riset; serta (8) belum
memadainya kuantitas dan kualitas sumber daya manusia. Peraturan Daerah di
Provinsi Sulawesi Utara belum diadopsi oleh Kabupaten Kelautan Sangihe dan
Kabupaten Kepulauan Talaud, khusus tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir
Berbasis Masyarakat, walaupun Peraturan Daerah tersebut sudah disahkan sejak
tahun 2003.
93

SARAN

Berdasarkan sejumlah simpulan tersebut, dikemukakan beberapa saran


sebagai berikut :

(1) Praktek illegal fishing sangat merugikan masyarakat nelayan setempat


dan nelayan kapal perikanan Indonesia. Oleh karena itu perlu
peningkatan pengawasan dan penegakan hukum oleh pihak TNI AL dan
TNI AU termasuk peran serta pemerintah daerah dan masyarakat lokal.
(2) Menjaga kerukunan kekeluargaan antara masyarakat lokal pulau-pulau
terluar dengan masyarakat lokal Pulau Mindanao dan sekitarnya yang
telah menetap di Filipina, dengan mengindentifikasi jumlah dan status
kewarganegaraan. Hal ini diperlukan untuk mengetahui berapa jumlah
warga, pekerjaan, dan status kewarganegaraannya.
(3) Sebagai tindakan sementara menunggu ditetapkannya perjanjian batas
wilayah ZEE antara Indonesia dan Filipina, pemerintah Indonesia dan
Filipina memperketat penjagaan keamanan wilayah tersebut dari
tindakan-tindakan pelanggaran yang terjadi.
(4) Pemerintah Indonesia dan pemerintah Filipina menangani secara serius
mengenai status para warga negara yang berada atau tinggal di masing-
masing negara lain, dengan tanpa alasan yang sah. Tindakan ini akan
mengurangi kemungkinan terjadinya pelanggaran di wilayah masing-
masing negara.
(5) Pelanggaran di wilayah ZEE tersebut sangat merugikan kedua negara,
maka jalan keluar atas kondisi tersebut adalah merintis kembali
dilakukannya pembahasan tentang penetapan batas ZEE oleh
pemerintah Indonesia dan Filipina.
(6) Apabila diperlukan untuk penyusunan naskah akademis dan rancangan
undang-undangan khusus tentang pulau-pulau di perbatasan negara dan
peraturan pelaksanaannya seperti Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan
Presiden (Perpres), Keputusan Menteri (KepMen), Peraturan Daerah
(Perda) dan sebagainya, sebagai payung hukum yang berlaku secara
vertikal maupun secara horizontal.
(7) Perubahan status hukum dari Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005
tentang Pengelolaan Pulau Terluar menjadi Undang-Undang.
94

(8) Penyusunan Rencana Tata Ruang Pulau-Pulau Kecil terluar di


perbatasan negara harus berdasarkan peta yang dikeluarkan oleh
Bakosurtanal, dan tidak mengacu pada peta elektronik yang disajikan
lewat internet oleh Google yang salah mencantumkan informasi nama
pulau Miangas dalam peta, padahal dalam peta seharusnya pulau
Sarangani dan pulau Balut di Filipina (Gambar 12). Oleh karena itu perlu
usulan perbaikan dari pemerintah supaya peta elektronik dari perusahan
Google di Amerika Serikat agar di perbaiki sesuai yang benar, agar tidak
menimbulkan permasalahan dikemudian hari karena data dan informasi
yang salah.
(9) Status semua pulau-pulau terluar di Provinsi Sulawesi Utara dibuatkan
Sertifikat khusus sebagai Pulau Negara.
95

DAFTAR PUSTAKA

Abubakar A. 2004. Analisis Kebijakan Pemenfaatan Pulau-Pulau Kecil


Perbatasan (Kasus Pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan
Timur) Desertasi Doktor, Sekolah Pascasarjana IPB Bogor.

Agoes ER. 2002. Status Perbatasan Wilayah Negara Republik Indonesia dengan
Negara Tetangga, Makalah Dialog Kebijakan Kelautan dan Perikanan
Internasional : Masa depan Perbatasan Indonesia – Singapura. Direktorat
Kelembangaan Internasional DKP.

Agoes ER. 2004. Praktik Negara-Negara Atas Konsepsi Negara Kepulauan.


Jurnal Hukum Internasional Marine Law Affair Vol.1 No.3 April 2004. Hal.
441-463.

Analytic Hierarchy Processhttp://www.sli.unimelb.edu.au/subjects/451/418_2000/


lecture10/slides/mef1.pdf http:\\www.cdo.unimelb.edu.au\cdo.

Aqorau T. 2000. Illegal Fishing and Fisheries Law Enforcement in Small Island
Developing States: The Pacific Islands Experience. The International Journal
of Marine and Coastal Law. Vol 15, No 1 Kluwer Law International.

Arsana IMA. 2007. Batas Maritim Antar Negara, Sebuah Tinjauan Teknis dan
Yuridis. Gajah Mada University Press, Jogyakarta.

Baldacchino G.2008. Islands in Between: Martín García and other Geopolitical


Flashpoints. Island Studies Journal Vol. 3, No. 2, pp. 211-224

Bengen DG. 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta
Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB
Bogor.

Bengen D. dan Retraubun A. 2006. Menguak Realitas dan Urgensi Pengelolaan


Berbasis Eko-Sosio Sistem Pulau-Pulau Kecil P4L, Bogor.

Beller W. 1990. How to Sustain Small Island. In Beller, d’Ayala and P. Hein
(Eds). Sustainable Development and Environmental Management of Small
Island. Unesco, Paris.

Bess R, Rallapudi R. 2007. Spatial conflicts in New Zealand fisheries: The rights
of fishers and protection of the marine environment,.Marine Policy 31 : 719–
729

Billiana CS, Robert KW. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management :
Concepts and Practices. Island Press, Washington DC.

Botchway F. 2001. Good Governance: Th e Old, the New, the Principle, and the
Elements, Florida Journal of International Law, Vol 13, pp. 159, 161.

Brookfield HC. 1990. An Approach to Islands. In W.P. d’Ayala and P. Hein (Eds).
Sustainable Development and Environmental Management. Man and Biopher
series. Vol. 5.
96

Christie P. 2005. Is Integated Coastal Management Sustainale?. Ocean and


Coastal Management 48 : 208-232.

Churchill RR. and Lowe AV. 1991. The Law of The Sea. Manchester University
Press.

Clark JR. 1996. Coastal Zone Management. Handbook. Lewis Publishers. CRC
Press LLC. Boca Raton, Florida USA.

Cosquer G, Hangoüet JF. 2003. Delimitation of Land and Maritime Boundaries:


Geodetic and Geometric Bases. TS20 New Professional Tasks - Marine
Cadastres and Coastal Management, FIG Working Week Paris, France, April
13-17, 2003

Dahl C. 1997. Integrated costal resources management and community


participation in a small island setting. Ocean and Coastal Management 36 :
23 – 45.

Dahuri R. 1998. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, IPB
Bogor

Dahuri R. Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 2001. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.

Dahuri R. 2003. Keanekaragaman hayati laut, Aset pembangunan berkelanjutan


Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Danusaputro M. 1978. Wawasan Nusantara (dalam Ilmu, Politik dan Hukum).


Alumni. Bandung.

Direktorat Kelembagaan Internasional, Direktorat Jenderal Peningkatan


Kapasitas Kelembagaan dan Pemasaran, 2003. Batas-batas Maritim
Indonesia – Negara Tetangga, Departemen Kelautan dan Perikanan.

Dirhamsyah D. 2006. Indonesian legislative framework for coastal resources


management: A critical review and recommendation. Ocean & Coastal
Management 49 : 68–92

Djalal H. 1979. Perjuangan Indonesia di Bidang Hukum Laut. BPHN. Jakarta

[DKP]. 2003. Batas-Batas Maritim Indonesia–Negara Tetangga. Direktorat


Kelembagaan Internasional.

Draft Akhir Rencana Induk Pengelolaan Perbatasan Negara di Provinsi Sulawesi


Utara, Bappenas.t.t

Estache A. (ed). 1995. Decentralizing Infrastructure: Advantages and Limitations,


World Bank Discussion Paper 290, Washington D.C. p. 18.

Fanning L, ed. all. 2007. A large marine ecosystem governance framework.


Marine Policy 31 : 434–443
97

Ginting SP. 2006. Pengelolaan Perbatasan Laut, Prosiding Konferensi Nasional


2006 Pengelolaan Pesisir Lautan untuk meningkatkan Marwah Negeri, Dirjen
Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil DKP,

Griffith, Innis. 1992. Small Island Charateristics and their constrain is Sustainable
Development.

Griggs L, Lugten G. 2007. Veil over the nets (unravelling corporate liability for
IUU fishing offences.) Marine Policy 31 : 159–168

Hamzah A. 1988. Laut Teriritorial dan Perairan Indonesia, Akademi Presindo


Jakarta.

Harrison J. 2007. Judicial Law-Making and the Developing Order of the Oceans.
The International Journal of Marine and Coastal Law 22 : 283

Harte M, Barton J. 2007. Reforming management of commercial fisheries in a


small island territory. Marine Policy 31 : 371–378

Heazle M, Butcher JG.2007. Fisheries depletion and the state in Indonesia:


Towards a regional regulatory regime. Marine Policy 31 : 276–286

Herrera GE, Hoagland P. 2006. Commercial whaling, tourism, and boycotts: An


economic perspective. Marine Policy 30 : 261–269

Hilborn R. 2007. Defining success in fisheries and conflicts in objectives. Marine


Policy 31 : 153–158

Hyvättinen H, Hildén M. 2004. Environmental policies and marine engines effects


on the development and adoption of innovations. Marine Policy 28 : 491–502

Jentoft S. 2005. Fisheries co-management as empowerment. Marine Policy 29 :


1–7

Jentoft S. 2007. Limits of governability: Institutional implications for fisheries and


coastal governance. Marine Policy 31 : 360–370

Kartasaspoetra, G dan Kartasaputra, R.G 1984. Indonesia dalam lingkaran


Hukum Internasional (dari abad ke abad), Sumur Bandung.

Kay, R dan J. Alder. 1999. Coastal Planning and Management, Routiedge. New
York.

Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, DKP, Dep.


Hukum dan Ham, CRMP/Mitra Pesisir, 2005. Buku Narasi : Menuju
Harmonisasi Sistem Hukumsebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir
Indonesia.

Keyuan Z. 2005. Implementing The United Nations Convention on The Law of


The Sea in East Asia : Issues and Trends. Singapore Year Book of
International Law and Contributors.
98

Keyuan Z. 2008. Law of the Sea Issues Between the United States and East
Asian States. Ocean Development & International Law 39 : 69–93.

[KM] Keputusan Menteri KP Nomor 41 Tahun 2000 tentang Pedoman Umum


Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil yang Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat.

Koers WA. 1991. Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum laut,


Suatu. Ringkasan. Penerjemah Rusi M, M.Rizki & Wahyuni Bahar, Gajah
Mada University Press.Yogyakarta.

Kusumaatmadja M. 1978. Bunga Rampai Hukum laut, Binacipta Jakarta.

Kusumaatmadja M, Purwaka TH. 1996. Legal and Institutional Aspects of


Coastal Zone Management in Indonesia. Marine Policy. VOl. 20 No. 1. Pp.
63-86.

Laporan Bupati Kepulauan Talaud, 2005. Gambaran Umum dan Isu Strategis
Kabupaten Kepulauan Talaud 2005 pada kunjungan kerja Menteri Perikanan
dan Kelautan 14 Desember 2005.

Lembaga Pengkajian Hukum Internasional. Fakultas Hukum Universitas


Indonesia. 2004. Jurnal Hukum Internasional [Indonesian Journal of
International Law]. Vol.1 Nomor 3.

Luntungan R. 2000. Pengaturan Konvensi Hukum Laut 1982 dalam kaitannya


dengan Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan
Filipina. Tesis. Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Bandung.

Maarif MS. 2007. Pulau-Pulau Kecil Terluar: Ancaman dan Tantangan. Humas
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen
Kelautan dan Perikanan.

Manurung RM, 1982. Penegakan Hukum Di Perairan Yurisdiksi Nasional


Indonesia. Penerbit Surya Indah. Jakarta.

Marimin. 1999. Penyelesaian persoalan AHP dengan Criterium Decision Plus.


Jurusan Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian. IPB
Bogor.

Marimin. 2002. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial IPB
Press Bogor.

Marpaung L. 1993. Tindak Pidana Wilayah Perairan (Laut) Indonesia. Sinar


Grafika. Jakarta.

Mauna B. 2005. Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Penerbit PT. Alumni Bandung.

Marzuki PM. 2005. Penelitian Hukum. Prenada Media. Jakarta.

Miclat EFB, Ingles JA, 2006. Dumaup JNB. 2006. Planning across boundaries for
the conservation of the Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion. Ocean & Coastal
Management 49 : 597–609
99

Mikalsen KH, Hernes HK, Jentoft S. 2007. Leaning on user-groups: The role of
civil society in fisheries governance. Marine Policy 31 : 201–209

Mirah AD. 2007. Manajemen Stratejik Pengembangan Agroindustri Berbasis


Unggulan Wilayah, Draft Desertasi Institut Pertanian Bogor.

Monintja DR. 1996 Pemenfaatan Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia :


Suatu Tantangan Nasional, Orasi Ilmiah, IPB Bogor.

Nainggolan PP. ed. 2004. Batas Wilayah dan Situasi Perbatasan Indonesia,
Ancaman terhadap Integritas Teritorial. Tiga Putra Utama. Jakarta.

Nakajima, T and M. Machida. 1990. Island in Japan. In W.P. d’Ayala and P. Hein
(Eds). Sustainable Development and Environmental Management. Man and
Biopher series. Vol. 5.

Nikijuluw PH. 2002. Rezim Pengelolaan Sumberdaya Perikanan, P3R. PT.


Pustaka Cidesindo Jakarta.

Nikijuluw PH. 2008. Blue Water Crime: Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal.
PT. Pustaka Cidesindo Jakarta.

Numberi F. 2006. Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar. Dalam Buletin


Kelautan P3K. Departemen Kelautan dan Perikanan. Vol. IV. No.1 Maret
2006. Hal.12-25.

Ostrom, E and Schlager, E. 1996. The Formation of Property Rights in Henna, S,


Folke, C, Maler, K.G.1996. Rights to Nature: Ecological, Economic, Cultural,
and Political Principles of lnstitufions for the Environment [Editor]. Island
Press. Washington DC

Patlis JM. Knight M and Benoit J.2003. in press. Integrated Coastal Management
in Decentralizing Developing Countries: The General Paradigm, the U.S.
Model and the Indonesian Example, The Ocean Yearbook, Vol. 17, U.
Chicago Press, Chicago, IL.

Patlis JM. 2005. The role of law and legal institutions in determining the
sustainability of integrated coastal management project in Indonesia. Ocean
and Coastal Management 48 : 450-467.

Patlis JM. Purwaka TM. Perdanahardja WGH, editor. 2005. Menuju Harmonisasi
Sistem Hukum sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Departemen
Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM, bekerjasama
dengan Coastal Resources Management Project II [USAID]. Jakarta.

Pedoman Penyajian Karya Ilmiah. 2008. Edisi Kedua Cetakan Pertama. IPB
Press. Bogor.

Penataan Ruang Kawasan Perbatasan di Pulau Miangas Kabupaten Talaud


Provinsi Sulawesi Utara. 2007. Direktorat Jenderal Kelautan Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil Direktorat Tata Ruang Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.
Departemen Kelautan dan Perikanan.
100

Penyusunan Rencana Tata Ruang Terpadu di Pulau-Pulaui Kecil Terluar


(Marore, Miangas dan Marampit) Provinsi Sulawesi Utara. 2007. Direktorat
Jenderal Penataan Ruang. Departemen Pekerjaan Umum.

Prasad N. 2003. Small Island Quest for Economics Development, Asia-Pacific


Development Journal Vol. 10, No. 1.

Pratt M (tt) Geographical analysis in maritime boundary delimitation, International


Boundaries. Research Unit, Department of Geography, Durham University,
Durham DH1 3LE, UK. Web: www.dur.ac.uk/ibru

Purwaka T. 2003. Pokok-pokok pikiran untuk Mengembangkan Grand Design


Kelembagaan Kelautan dan Perikanan. Materi Kuliah Program Pascasarjana.
PS. Teknologi Kelautan IPB.

[PP] Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat


Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia.

[PP] Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-


Pulau Kecil Terluar.

Queffelec B, Cummins V, Bailly D. 2009. Integrated management of marine


biodiversity in Europe: Perspectives from ICZM and the evolving EU Maritime
Policy framework. Marine Policy 33 : 871-877.

Rangkuti. 1997. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis.Gramedia.


Jakarta

Rayfuse R, Warner R. 2008. Securing a Sustainable Future for the Oceans


Beyond National Juridiction : The Legal Basis for an Integrated Cross-
Sectoral Regime for High Seas Governance for 21st Century. The
International Journal of Marine and Coastal Law 23 : 399-421.

Retraubun ASW. 2006a. Pengelolaan Wilayah Perbatasan dan Pulau-Pulau


Kecil. Dalam Prosiding Konferensi Nasional (KONAS) V Pesisir, Laut dan
Pulau-pulau Kecil. Direktorat Jenderal, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Departemen Kelautan dan Perikanan.

Retraubun ASW. 2006b. Pengelolaan Wilayah Perbatasan dan Pulau-Pulau


Kecil. Buletin Kelautan P3K. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Vol.VI.Khusus September 2006.

Rutherford RJ, Herbert GJ, Coffen-Smout SS. 2005. Integrated ocean


management and the collaborative planning process: the Eastern Scotian
Shelf Integrated Management (ESSIM) Initiative. Marine Policy 29 : 75–83

Saaty TL. 1982. Decision Making for Leaders. Belmont California : Lifetime
Learning Publications.

Saaty TL. 2003. Pengambilan Keputusan bagi para pemimpin, Proses Hirarki
Analitik untuk pegambilan keputusan dalam situasi dan kompleks. PT.
Pustaka Binaman Pressindo Jakarta.
101

Sabarno 2003. Arti Penting Penataan Batas Wilayah dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Majalah Perbatasan Januari 2003.

Sarundajang, S.H. 2006. Kebijakan Pengembangan Pulau-pulau kecil terluar di


Provinsi Sulawesi Utara, Dalam Prosiding Konferensi Nasional (KONAS) V
Pesisir, Laut dan Pulau-pulau Kecil. Direktorat Jenderal, Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan.

Satria A, Matsuda Y. 2004. Decentralization of fisheries management in


Indonesia. Marine Policy 28 : 437–450

Seidman A. Seidman. RB and Abeyesekere N. 2001. Legislative Draft ing for


Democratic Social Change: A Manual for Drafters. Boston, Mass.: Kluwer
Law International.

Singarimbun M, Effendi S. (Editor) 1989. Metode Penelitian Survey. LP3ES


Jakarta.

Sutisna S. 2006. Pandangan Wilayah Perbatasan Indonesia: Aspek


Permasalahan Batas Maritim Indonesia. Pusat Pemetaan Batas Wilayah
Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional.

Soeprapto M.I. 1998. Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar dan


Pembentukannya. Penerbit Kanisius. Yogyakarta.

Subagyo PJ. 1993. Hukum laut Indonesia, Rineka Cipta Jakarta.

Sugiyono 2006. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Alfabeta.


Bandung

Syahmin AK. 1988. Beberapa Perkembangan dan Masalah Hukum laut


Internasional. Binacipta. Bandung.

SWOT Analysis. http://www.quickmba.com/strategy/swot/

Turner M and Hulme D. 1997. Governance, Administration and Development:


Making the State Work. Kumarian Press, West Hartford, CT., p. 122-124.

Thorpe A, Reid C, van Anrooy R, Brugere C. 2005. When fisheries influence


national policy-making: an analysis of the national development strategies of
major fish-producing nations in the developing world. Marine Policy 29 : 211–
222

[UU] Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945.

[UU] Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia.

[UU] Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif


Indonesia.

[UU] Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation


Convention on the Law of the Sea 1982.
102

[UU] Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia.

[UU] Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 tentang Perikanan.

[UU] Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

[UU] Undang-undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

[UU] Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah


Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

[UU] Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.

[UU] Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2009 tentang Persetujuan Pelaksanaan


Ketentuan Ketentuan Konvensi PBB tentang Hukum Laut 1982 yang
berkaitan dengan Konservasi dan Pengelolaan Sediaan Ikan yang beruaya
terbatas dan sediaan ikan yang beruaya jauh.

Valencia MJ, Danusaputro SM. 1984. Indonesia: Law of the Sea and Foreign
Policy Issues. Indonesian Guarterly. Vol. XII No. 4. p 486.

Verlaan PA. 2007. Experimental activities that intentionally perturb the marine
environment: Implications for the marine environmental protection and marine
scientific research provisions of the 1982 United Nations Convention on the
Law of the Sea. Marine Policy 31 : 210–216

Wila MRC. 2006. Konsepsi Hukum dalam Pengaturan dan Pengelolaan Wilayah
Perbatasan Antarnegara, Penerbit PT Alumni Bandung.

Wolff M. 2009. (Edited). Propical Water and their Livinf Resources : Ecology,
Assessment and Management. H.M. Hauschild GmbH, Bremen, Germany.
103

Daftar Peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan


pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil terluar.
Peraturan
No. Perundang- Nomor dan Tahun Tentang
undangan
1 Undang Undang Dasar Negara Tahun 1945 Perubahan Ke IV
2 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1960 Perairan Indonesia
3 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1960 Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria
4 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1962 Karantina Laut
5 Undang Undang Nomor 16 Tahun 1964 Bagi Hasil Perikanan
6 Undang Undang Nomor 11 Tahun 1967 Ketentuan Pokok
Pertambangan
7 Undang Undang Nomor 1 Tahun 1973 Landas Kontinen Indonesia
8 Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 Hukum Acara Pidana
9 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1983 Zona Ekonomi Eksklusif
Indonesia
10 Undang Undang Nomor 2 Tahun 1986 Peradilan Umum
11 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1986 Peradilan Tata Usaha Negara
12 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1990 Konservasi Sumber Daya
Alam dan Ekosistemnya
13 Undang Undang Nomor 9 Tahun 1990 Kepariwisataan
14 Undang Undang Nomor 5 Tahun 1991 Kejaksaan
15 Undang Undang Nomor 12 Tahun 1992 Sistem Budidaya Tanaman
16 Undang Undang Nomor 14 Tahun 1992 Lalulintas dan Angkutan Jalan
17 Undang Undang Nomor 15 Tahun 1992 Penerbangan
18 Undang Undang Nomor 16 Tahun 1992 Karantina Hewan Ikan dan
Tumbuhan
19 Undang Undang Nomor 21 Tahun 1992 Pelayaran
20 Undang Undang Nomor 23 Tahun 1992 Kesehatan
21 Undang Undang Nomor 24 Tahun 1992 Penataan Ruang
22 Undang Undang Nomor 10 Tahun 1995 Kepabeanan
23 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1996 Hak Tanggungan atas Tanah
beserta Benda-benda yang
berkaitan dengan Tanah.
24 Undang Undang Nomor 6 Tahun 1996 Perairan Indonesia
25 Undang Undang Nomor 7 Tahun 1996 Pangan
26 Undang Undang Nomor 15 Tahun 1997 Ketransmigrasian
27 Undang Undang Nomor 18 Tahun 1997 Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah
28 Undang Undang Nomor 20 Tahun 1997 Penerimaan Negara Bukan
Pajak
29 Undang Undang Nomor 21 Tahun 1997 Bea Perolehan Hak Atas
Tanah dan Bangunan
30 Undang Undang Nomor 23 Tahun 1997 Pengelolaan Lingkungan
Hidup
31 Undang Undang Nomor 4 Tahun 1999 Susunan dan Kedudukan
Majelis Permusyawaratan
104

Peraturan
No. Perundang- Nomor dan Tahun Tentang
undangan
Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan
Perwaklikan Rakyat Daerah
32 Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 Pemerintahan Daerah
33 Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
34 Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999 Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi
Kolusi dan Nepotisme
35 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
36 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
37 Undang Undang Nomor 36 Tahun 1999 Telekomunikasi
38 Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 Kehutanan
39 Undang Undang Nomor 43 Tahun 1999 Pokok Pokok Kepegawaian
40 Undang Undang Nomor 16 Tahun 2000 Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan
41 Undang Undang Nomor 17 Tahun 2000 Pajak Penghasilan
42 Undang Undang Nomor 34 Tahun 2000 Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah
43 Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 Minyak Bumi
44 Undang Undang Nomor 16 Tahun 2002 Yayasan
45 Undang Undang Nomor 3 Tahun 2002 Pertanahan Negara
46 Undang Undang Nomor 18 Tahun 2002 Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan dan Penerapan
Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi
47 Undang Undang Nomor 28 Tahun 2002 Bangunan Gedung
48 Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 Keuangan Negara
49 Undang Undang Nomor 27 Tahun 2003 Panas Bumi
50 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
51 Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 Kekuasaan Kehakiman
52 Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 Sumber Daya Air
53 Undang Undang Nomor 8 Tahun 2004 Peradilan Umum
54 Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004 Peradilan Tata Usaha Negara
55 Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
56 Undang Undang Nomor 18 Tahun 2004 Perkebunan
57 Undang Undang Nomor 19 Tahun 2004 Kehutanan
56 Undang Undang Nomor 25 Tahun 2004 Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional
59 Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 Perikanan
60 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah
105

Peraturan
No. Perundang- Nomor dan Tahun Tentang
undangan
61 Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah
62 Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 Penataan Ruang
63 Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil
64 Undang Undang Nomor 43 Tahun 2008 Wilayah Negara
65 Peraturan Nomor 47 Tahun 1997 Rencana Tata Ruang Wilayah
Pemerintah Nasional
66 Peraturan Nomor 19 Tahun 1999 Pengololaan Kualitas Air dan
Pemerintah Pengendalian Pencemaran Air
67 Peraturan Nomor 82 Tahun 2001 Pengendalian Pencemaran
Pemerintah Dan/Atau Perusakan Laut
68 Peraturan Nomor 12 Tahun 2010 Badan Nasional Pengelola
Presiden Perbatsan
69 Keputusan Nomor 32 Tahun 1990 Pengelolaan Kawasan Lindung
Presiden
70 Keputusan Menteri Nomor 41 Tahun 2000 Pedoman Umum Pengelolaan
Kelautan dan Pulau-pulau Kecil yang
Perikanan berkelanjutan dan Berbasis
Masyarakat
71 Keputusan Menteri Nomor 10 Tahun 2002 Pedoman Umum Perencanaan
Kelautan dan Pengelolaan Pesisir Terpadu
Perikanan
72 Peraturan Nomor 38 Tahun 2002 Daftar Koordinat Geografis
Pemerintah Titik-Titik Garis Pangkal
Kepulauan Indonesia
73 Peraturan Nomor 37 Tahun 2008 Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Pemerintah Nomor 38 Tahun
2002 Daftar Koordinat
Geografis Titik-Titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia
74 Peraturan Menteri Nomor Perencanaan Pengelolaan
Kelautan Per.16/Men/2008 Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil
75 Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
Terluar
76 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 Badan Nasional Pengelola
Perbatasan
77 Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2002 Pengelolaan Sumberdaya
Kabupaten Wilayah Pesisir Terpadu
Minahasa Berbasis Masyarakat
78 Peraturan Daerah Nomor 38 Tahun 2003 Pengelolaan Wilayah Pesisir
Provinsi Sulawesi dan Laut Terpadu Berbasis
Utara Masyarakat
106

CATATAN :

You might also like