Professional Documents
Culture Documents
RINGKASAN DISERTASI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2010
2
Judul Disertasi
NRP : C261030051
Komisi Pembimbing
Pimpinan Sidang:
ABSTRACT
RINGKASAN
PRAKATA
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Allah, Yang Maha Esa, karena hanya
kemurahan dan bimbinganNya sehingga saya dapat menyelesaikan disertasi
sebagai karya ilmiah, dengan judul : Rancangbangun Hukum dan
Pelaksanaannya dalam Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar di Provinsi
Sulawesi Utara. Pelaksanaan penelitian dilakukan di Pulau Marore Kabupaten
Kepulauan Sangihe dan Pulau Miangas Kabupaten Kepulauan Talaud di Provinsi
Sulawesi Utara. Data primer, sekunder dan informasi dari ekspert yang berasal
dari berbagai sumber yaitu Pemerintahan, Swasta, Perguruan Tinggi dan pihak
terkait lain.
1 Prof. Dr. Ir. Dietricht G. Bengen, DEA, Prof. Dr. Ir. Rokhmin Dahuri, MS,
Prof.Dr. Ir. Daniel R. Monintja, Dr. Victor Ph. Nikijuluw, MSc, dan
Prof.Dr.Maria F. Indrati, SH,MH, selaku Komisi Pembimbing, atas segala
bimbingan, arahan selama penulis melakukan penelitian dan penulisan
disertasi ini
2 Prof.Dr. Mennofatria Boer, DEA, dan Dr.Ir. Luky Adrianto, M.Sc selaku Ketua
dan Sekretaris Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
IPB, semua staf pengajar yang telah memberikan pendidikan dan
pengajaran.
3 Dr.Ir. Luky Adrianto, MSc dan Dr. Ir. Achmad Fahrudin, MSi selaku penguji
luar komisi pada ujian tertutup, dan Prof.Dr. Hasjim Djalal, SH, MA dan
Prof.Dr.Ir. Alex S.W Retraubun, MSc selaku penguji luar komisi pada ujian
terbuka.
4 Drs. Sinyo H. Sarundajang, Gubernur Sulawesi Utara, Dr. Elly E. Lasut, MM,
selalu Bupati Kepulauan Talaud, Drs. Winsulangi Salindeho, selaku Bupati
Kepulauan Sangihe yang telah membantu dana, data dan informasi
5 Dirjen Pendidikan Tinggi yang telah memberikan kesempatan dan biaya
pendidikan (BPPS) dan Hibah Doktor untuk melanjutkan dan menyelesaikan
pendidikan Strata 3 di Institut Pertanian Bogor
6 Pimpinan Rektor, Dekan Fakultas Hukum dan Staf Universitas Sam Ratulangi
7 Ineke Togas, S.Sos, Istri, dengan penuh kesabaran mendampingi dan
mendorong, dan tercinta anak-anak Arthur L.M. Karwur, SE, MSi dan Fera D.
Mait, S.Pi (menantu), Mercy C.B. Karwur, SE dan Audy Opit SE (menantu),
Grace M.F. Karwur, SH, MH dan Lucky Tompunu, ST (menantu) serta cucu-
cucu Kenneth dan Rogelio, Adik Leenda, adik ipar Drs. Tonny Rasuh, anak-
anak Daryl dan Kevyn, kalian semua dengan setia selalu mendorong,
mendoakan keberhasilan menyeselesaikan studi.
8 Para nara sumber di Kementerian Kelautan dan Perikanan RI, Kementerian
Luar Negeri RI, Kementerian Dalam Negeri RI, Kementerian Sumberdaya
Energi dan Mineral RI, Pemerintah Daerah Provinsi Sulawesi Utara,
Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Sangihe, Pemerintah Daerah
Kabupaten Kepulauan Talaud yang telah membantu data dan informasi
9 Teman-teman angkatan ke-8 dan teman-teman pada Program Studi SPL
serta semua mahasiswa asal Sulawesi Utara yang menempuh pendidikan di
IPB Bogor
10 Serta semua pihak yang tidak dapat penulis disebutkan satu persatu yang
telah membantu mengumpulkan data dan informasi serta membantu
menganalisis data
8
RIWAYAT HIDUP
Pendidikan Strata Satu (S1) di tempuh pada Fakultas Teknik Sipil Unsrat
tahun 1975-1978 (tidak dilanjutkan) kemudian pindah tahun 1980 pada Program
Studi Ilmu Hukum/ Hukum Pidana, Fakultas Hukum Universitas Sam Ratulangi,
lulus tahun 1987. Melanjutkan pendidikan Program Pendidikan Strata Dua (S2)
pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pembangunan / Hukum
Lingkungan, Pesisir dan Lautan, Universitas Sam Ratulangi, lulus pada tahun
1998.
DAFTAR ISI
ABSTRACT i
RINGKASAN ii
PRAKATA v
RIWAYAT HIDUP vii
PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Tujuan Umum Penelitian 3
Pendekatan Pemecahan Masalah 4
Kerangka Pemikiran 5
METODE 7
Tempat dan Waktu Penelitian 7
Rancangan Penelitian 7
TAHAPAN PENELITIAN 8
Analisis Data 11
Analytical hierarchy process (AHP) 11
Analisis SWOT 14
Analisis Diagnosa dan Terapi Hukum
(Diagnosis and Therapy Analisys of Law) 15
HASIL DAN PEMBAHASAN 18
Batas Maritim Negara Indonesia –Filipina 18
Hirarki Rancangbangun Hukum Pesisir 19
Kriteria 20
Expert Judgment 20
Hasil Analisis DTAL 21
Harmonisasi 45
Hasil analisis AHP 47
Skenario Strategi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil Terluar 51
Sintesis 55
Sensivitas Analisis 55
Sensivitas Dinamis 56
Hasil Analisis Head to head 56
Rancangbangun Hukum menurut Pemerintah 57
Rancangbangun Hukum menurut Akademisi 58
11
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
1. Kerangka pemikiran 6
2. Peta Perbatasan Negara Indonesia – Filipina 7
3. Diagram tahapan penelitian 9
4. Analisis SWOT 14
5. Peta lokasi penelitian perbatasan negara Indonesia dan Filipina 18
6. Rancangbangun hukum pulau-pulau kecil terluar 19
7. Rancangbangun hukum dan pelaksanaannya pengelolaan
pulau kecil terluar 46
8. Hasil analisis faktor 48
9. Prioritas elemen alternatif strategi 49
10. Hasil analisis faktor sosial ekonomi 54
11. Sintesis rancangbangun penataan wilayah 55
12. Dinamik sensitif 56
13. Analisis head to head penataan batas wilayah dan pemerintah 57
14. Matriks SWOT 71
14
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan
(archipelagic state) yang berciri nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayah
serta memiliki hak-hak berdaulat di luar wilayah kedaulatannya untuk dikelola
dan dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia
sebagaimana diamanatkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal
25A mengamanatkan bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah
sebuah negara kepulauan yang berciri Nusantara dengan wilayah yang batas-
batas secara geografis berada pada posisi silang antara Samudra Pasifik dan
Samudra Hindia dengan panjang pantai 95.181 km2 dan dengan wilayah laut
seluas 5,8 juta km2 serta terdiri dari sekitar 17.480 pulau (Numberi 2009),
beserta semua ekosistem laut tropis produktif yang terurai, dikelilingi oleh pulau-
pulau kecil. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia memiliki
keanekaragaman habitat yang sangat tinggi, memiliki potensi sumberdaya alam
dan jasa-jasa lingkungan kelautan yang sangat besar, yang terdiri atas
sumberdaya alam dapat pulih (renewable resouces), dan sumberdaya alam tidak
dapat pulih (non-renewable resouces). Sumberdaya alam dapat pulih
diantaranya berbagai jenis ikan, terumbu karang, lamun dan mangrove.
Sumberdaya alam tidak dapat pulih meliputi minyak bumi, gas, mineral, bahan
tambang/galian seperti biji besi, pasir, timah, bauksit serta bahan tambang
lainnya; sedangkan jasa lingkungan pulau kecil yang sangat prospektif adalah
kegiatan pariwisata bahari.
Pulau-pulau kecil memiliki potensi sangat besar dalam menunjang
pembangunan nasional sehingga penentuan kebijakan pemanfaatan merupakan
hal yang sangat penting, karena dengan keberadaan pulau-pulau kecil inilah
maka keberadaan (eksistensi) sumberdaya kelautan menjadi strategis. Dengan
demikian, penting untuk dipahami seberapa besar dukungan keberadaan pulau-
pulau kecil terhadap keberlangsungan sumberdaya kelautan secara umum. Oleh
karena itu konsep kebijakan pembangunan pulau-pulau kecil di Indonesia yang
direncanakan, hendaknya berdasarkan azas kelestarian alam dan keberlanjutan
lingkungan yang ada; sehingga pada akhirnya pengembangan berbagai aktivitas
pembangunan secara terpadu di pulau-pulau kecil sebagai wujud pemanfaatan
15
Kerangka Pemikiran
Internal Eksternal
Masalah Hukum di
Pulau-Pulau Kecil
RANCANG RANCANG
BANGUN BANGUN
HUKUM HUKUM
YANG
ANALISIS
YANG
SUDAH PERELEVAN RELEVAN
ADA SIAN
(Peraturan
(Peraturan per UU
per UU yang dicita-
yang citakan)
berlaku)
METODE
Filipina. Waktu penelitian pengambilan data primer telah dilakukan pada bulan
Mei dan Juni, karena keadaan cuaca dan laut di wilayah penelitian sangat
menunjang untuk penelitian, sedangkan pengambilan data sekunder dilakukan
sejak penyusunan usulan penelitian hingga proses pengolahan data.
Rancangan Penelitian
TAHAPAN PENELITIAN
Berdasarkan kriteria di atas maka kegiatan penelitian telah dilakukan
dengan tahap persiapan yang mencakup penetapan lokasi, penyusunan
kuesioner, penentuan responden/key person untuk menjawab tujuan penelitian.
Tahap selanjutnya adalah pengumpulan data yang meliputi: data primer dan data
sekunder. Data primer dikumpulkan dari responden/key person dengan
menggunakan kuesioner dan wawancara yang mendalam/indept interview.
Pengumpulan data dilakukan di tiga lokasi, yaitu: Jakarta, Provinsi Sulawesi
Utara, dan Kabupaten Kepulauan Sangihe, Kabupaten Kepulauan Talaud.
Setelah data terkumpul dilakukan pengolahan data dan analisis, kemudian
dilanjutkan dengan penyusunan disertasi sebagai tahap akhir. Tahapan
penelitian pengumpulan data sekunder menggunakan metode partipafory
appraisal dalam bentuk field research. Menurut Babbie (1991), bahwa field
22
Persiapan
penelitian
Perumusan dan
Pengumpulan
penyusunan
data
proposal
penelitian
Penyusunan
kuesioner
Studi
Pustaka
an
Data
Data Sekunder
Primer
Pusat
Provinsi
Kabupaten
Analisis Data
(1) Perumusan tujuan (sasaran), kriteria dan alternatif yang merupakan unsur-
unsur dari permasalahan yang dikaji,
(2) Penyusunan struktur hirarki,
(3) Penentuan prioritas bagi setiap kriteria dan alternatif dengan bantuan skala
nilai yang memadai, nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk
menentukan peringkat relatif dari seluruh kriteria dan alternatif, dan
(4) Konsistensi logis dengan menggunakan kriteria nilai consistency ratio (CR).
Kepentingan relatif dari tiap faktor dari setiap baris dari matrik dapat
dinyatakan sebagai bobot relatif yang dinormalkan (normalized relative)
Maximum - n
CI =
n -1
Dimana: CI = Indeks Konsistensi
max = Nilai eigen terbesar dari matriks berordo n
CI
CR =
RI
Konsistensi
0 0 0.58 0.9 1.12 1.24 1.32 1.41 1.45 1.49
Random
Analisis SWOT
Analisa SWOT sebagai alat formulasi strategis, Analisa SWOT adalah
identifikasi berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisa
ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strengths) dan
peluang (Opportunities), namun secara bersamaan dapat meminimalkan
kelemahan (Weaknesses) dan ancaman (Threats). Proses pengambilan
keputusan strategis selalu berkaitan dengan pengembangan misi, tujuan,
strategi, dan kebijakan pemerintah dalam bidang hukum. Dengan demikian
perencana strategis (strategic planner) harus menganalisa faktor-faktor strategis
pemerintah (kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman) dalam kondisi yang
ada saat ini. Hal ini disebut dengan Analisis Situasi. Model yang paling populer
untuk analisis situasi adalah Analisis SWOT (Rangkuti, 1997).
adalah Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif dan Landas Kontinen. Hal ini
disebabkan jarak pulau terluar kedua negara lebih dari 24 mil laut. Pada
umumnya batas maritim antara Indonesia dan Filipina hampir seluruhnya terletak
di Laut Sulawesi dan hanya sebagian terletak di Laut Mindanao dan Laut Maluku
Utara. Panjang garis batas landas kontinen maupun garis batas Zona Ekonomi
Eksklusif Indonesia - Filipina di Laut Sulawesi lebih kurang 510 mil laut, dan luas
Zona Ekonomi Eksklusifnya sekitar 81.980 mil laut persegi. Jarak terlebar antara
pantai yang berhadapan sekitar 315 mil laut dan jarak terpendek 39 mil laut
antara Pulau Marore di Indonesia dan Pulau Sarangani di Filipina.
Rancang Bangun Rancang Bangun Rancang Bangun Rancang Bangun Rancang Bangun
Hukum Hukum Hukum Hukum Hukum
Menurut Menurut Menurut Menurut Menurut
Penataan Batas
Pemerintah Akademisi Strategi Perwilayaan
Wilayah Negara
Budaya Lokal
Kriteria
Berdasarkan hirarki yang sudah tersusun, kriteria yang ada di ukur
dengan membandingkan dari sisi mana yang merupakan prioritas utama dalam
menunjang tujuan (goal) yang di tetapkan, sebagai contoh perbandingan antara
level 2 yaitu factor-faktor seperti sumber daya alam, social ekonomi, pendanaan,
kelembagaan dan hukum. Untuk menunjang pembuatan rancangabangun hukum
pesisir, dibandingkan manakah yang lebih penting, apakah faktor sumber daya
alam - sosial ekonomi, atau sosial ekonomi - hukum, atau hukum - pendanaan,
atau kelembagaan - pendanaan, dan seterusnya berdasarkan faktor dan sub
faktor hirarki.
Expert Judgment
Berdasarkan informasi-informasi di atas dan tujuan dari penelitian ini
diperlukan langkah-langkah akurat untuk mencapai tujuan akhir hasil penelitian.
Kriteria/faktor dan alternativ tersebut, akan saling bergantung satu sama lain
untuk mencapai tujuan (goal).
Penilaian untuk Expert dapat di identifikasikan melalui pengisian matriks
dengan angka-angka sebagaimana dalam teori AHP yang ada (1-10),
berdasarkan hasil dari interview atau kuisioner yang sudah dijalankan bagi para
expert (1)Kementerian Luar Negeri, (2)Kementerian Dalam Negeri
(3)Kementerian Kelautan dan Perikanan, (4)Kementerian Pekerjaan Umum,
(5)TNI AL, (6)DPR-RI, (7)DPRD SULUT, (8)Pemerintah RI, (9)Pemerintah
Filipina, (10)Pemerintah Provinsi SULUT, (11)Pemerintah Kepulauan Sangihe,
(12)Pemerintah Kabupaten Kepulauan Talaud, [13)Akademisi, (14)Investor,
(15)Tokoh Masyarakat/Adat, seperti dalam Tabel 5
Secara jelas dan tegas disebutkan dalam angka (1) dan angka (2), bahwa
perlunya ketertiban di kawasan perbatasan dan pengelolaan pemanfaatan
wilayah negara dan kawasan perbatasan termasuk batas-batasnya untuk
kepentingan kesejahteraan masyarakat, seperti yang diamanatkan dalam UUD
1945 Pasal 33 Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya
dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besar kemakmuran
rakyat.
Bahwa sepanjang menyangkut sumber daya alam hayati dan non hayati
di dasar laut dan tanah di bawahnya yang terletak di dalam batas-batas Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia hak berdaulat Indonesia dilaksanakan dan diatur
37
Dalam kurun waktu dua dekade terakhir ini terjadi penurunan yang tajam
sediaan sumber daya ikan sehingga perikanan berada dalam kondisi kritis. Pada
tahun 1994 penurunan sediaan jenis ikan yang memiliki nilai komersial tinggi,
khususnya sediaan jenis ikan yang beruaya terbatas (straddling fish stocks) dan
jenis ikan yang beruaya jauh (highly migratory fish stocks), telah menimbulkan
keprihatian dunia. Jenis ikan yang beruaya terbatas merupakan jenis ikan yang
beruaya antara Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) suatu negara dan ZEE negara lain
sehingga pengelolaannya melintasi batas yurisdiksi beberapa negara.
Undangan yang ada sering menimbulkan kerusakan Sumber Daya Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
Peraturan perundang-undangan yang ada lebih berorientasi pada
eksploitasi Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil tanpa memperhatikan
kelestarian sumber daya. Sementara itu, kesadaran nilai strategis dari
pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil secara berkelanjutan, terpadu,
dan berbasis masyarakat relatif kurang. Kurang dihargainya hak masyarakat
adat/lokal dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil seperti
sasi, mane’e, panglima laot, awig-awig, terbatasnya ruang untuk partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
menunjukkan bahwa prinsip pengelolaan pesisir dan pulau-pulau kecil terpadu
belum terintegrasi dengan kegiatan pembangunan dari berbagai sektor dan
daerah. Sistem pengelolaan pesisir tersebut belum mampu mengeliminasi faktor-
faktor penyebab kerusakan dan belum memberi kesempatan kepada sumber
daya hayati untuk dapat pulih kembali secara alami atau sumber daya nonhayati
disubstitusi dengan sumber daya lain.
Keunikan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil yang rentan
berkembangnya konflik dan terbatasnya akses pemanfaatan bagi masyarakat
pesisir dan pulau-pulau kecil, perlu dikelola secara baik agar dampak aktivitas
manusia dapat dikendalikan dan sebagian wilayah pesisir dapat dipertahankan
untuk konservasi. Masyarakat perlu didorong untuk mengelola wilayah pesisirnya
dengan baik dan yang telah berhasil perlu diberi insentif, tetapi yang merusak
perlu diberi sanksi. Norma-norma Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil tersebut disusun dalam lingkup perencanaan, pemanfaatan, pengelolaan,
pengendalian, dan pengawasan, dengan memperhatikan norma-norma yang
diatur dalam peraturan perUndang-Undangan lainnya
Rumusan Zona Ekonomi Esklusif ini menyatakan bahwa suatu jalur laut
yang berada di luar laut wilayah yang meliputi antara dasar laut dan air di atasnya
dengan batas terluar 200 mii laut diukur dari garis pangkal laut wilayah Indonesia.
Sedangkan yang berhubungan dengara dasar laut dan tanah di bawahnya,
45
termasuk hak-hak berdaulat dan hak-hak lain serta yurisdiksi dan kewajiban-
kewajiban Indonesia (Pasal 4 ayat 2) dilakukan menurut peraturan perUndang-
Undangan landas Kontinen Indonesia, persetujuan-persetujuan antara Republik
Indonesia dengan negara-negara tetangga dan ketentuanketentuan hukurn
internasional yang berlaku. Hal yang penting lainnya adalah ketentuan yang
menyangkut penetapan garis batas Zona Ekonomi Eksklusif dengan negara
tetangga, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 ayat (1 ) yang berbunyi:
(1) Penetapan batas zona ekonomi eksklusif antara negara yang pantainya
berhadapan atau berdampingan harus diadakan dengan persetujuan atas
dasar hukum internasional, sebagaimana ditetapkan dalam Pasal 38 Statuta
Mahkamah Internasional, untuk mencapai suatu pemecahan yang adil.
(2) Apabila tidak dapat dicapai persetujuan dalam jangka waktu yang pantas,
negara-negara yang bersangkutan harus menggunakan prosedur
penyelesaian sengketa yang ditentukan dalam Undang-Undang Nomor 17
Tahun 1985 Tentang Pengesahan United Nations Convention on The Law of
the Sea, pada Bab XV.
(3) Sambil menunggu suatu persetujuan sebagaimana ditentukan dalam
Bab XV Bagian 1, Bagian 2 dan Bagian 3, Pasal 279 sampai dengan Pasal
46
ZEE mempunyai arti yang penting dalam rejim hukum laut yang baru ini.
Pentingnya ZEE ini dapat dilihat dari perhitungan-perhitungan berikut: Zona yang
lebarnya 200 mil laut itu akan meliputi kira-kira 13 juta mil laut persegi dari luas
daratan bumi dan mencakup lebih 80% dari persediaan ikan dunia dan 90%
sumber-sumber minyak lepas pantai. Pembentukan ZEE merupakan jawaban atas
keprihatinan dunia tentang ancaman bagi menipisnya sumber kekayaan alam yang
ada di darat. Potensi ekonomi dari sumber kekayaan alam hayati yang terdapat
pada ZEE ini nampaknya merupakan suatu alasan baik bagi negara pantai untuk
menetapkan ZEE ini sebagai Zona yang mempunyai arti bagi kepentingan semua
Negara. Peranan yang sangat penting dari ZEE ini sangat erat kaitannya dengan
pemanfaatan sumber-sumber kekayaan alam hayati di ZEE. Negara pantai
mempunyai kewajiban untuk menggalakkan tujuan pemanfaatan sumber kekayaan
hayati secara optimal di ZEE dengan memperhatikan tentang konservasi sumber
daya alam yang terdapat di ZEE tersebut.
Ketentuan Pasal 56 ayat (1) Konvensi dinyatakan bahwa negara pantai
menjalankan hak berdaulat di ZEE untuk tujuan eksplorasi dan eksploitasi,
konservasi dan pengelolahan sumber kekayaan alam. Hak berdaulat ini dinyatakan
sebagai hak eksklusif negara pantai, dalam arti bahwa apabila negara pantai tidak
mengeksplorasi ZEE atau mengeksplorasi sumber kekayaan alamnya, maka tiada
seorangpun dapat melakukan kegiatan itu tanpa persetujuan negara pantai yang
bersengketa. Untuk mengantisipasi kemungkinan terjadi masalah dalam hal
eksplorasi dan eksploitasi serta untuk menghilangkan potensi perselisihan antara
negara-negara terutama yang menyangkut penetapan garis batas ZEE, maka perlu
mendapat perhatian yang serius untuk penyelesaiannya.
luar laut territorial, sedangkan batas terluar ZEE adalah tidak boleh melebihi
jarak sejauh 200 mil laut.
Selanjutnya di bagian luar ZEE adalah laut lepas, yang menurut Pasal 86
Konvensi, laut lepas berlaku bagi semua bagian dari laut yang tidak termasuk
dalam Zona Ekonomi Eksklusif, dalam laut teritorial atau dalam perairan
pedalaman suatu negara dan atau dalam perairan kepulauan suatu negara
kepulauan. Dalam hal ZEE antara negara yang pantainya berhadapan atau
berdampingan, maka penetapan garis batas ZEE tersebut harus dilakukan
melalui suatu perjanjian atas dasar hukum internasional untuk mencapai suatu
pemecahan yang adil. Dalam penetapan batas ZEE tersebut negara negara yang
bersangkutan wajib membuat peta dengan skala yang memadai untuk
menentukan posisinya dimana perlu. Daftar titik-titik koordinat-koordinat
geografis, yang merinci datum geodetik, dapat menggantikan garis batas terluar
atas garis-garis penetapan batas tersebut. Negara pantai harus mengumumkan
sebagaimana mestinya peta atau daftar koordinat geografis dan harus
mendepositkan satu copy setiap peta atau daftar demikian pada Sekretaris
Jenderal Perserikatan Bangsa Bangsa.
Menurut Pasal 57 Konvensi Hukum Laut tahun 1982, lebar ZEE ditetapkan
sebagai berikut:
"Zona Ekonomi Ekslusif tidak boleh melebihi 200 mil laut dari garis
pangkal dari mana lebar laut teritorial diukur".
Hak dan kewajiban Negara pantai di ZEE, sesuai konvensi yaitu Negara
pantai mempunyai hak-hak dan kewajiban kewajiban seperti yang telah
ditetapkan dalam Pasal 56 ayat (1) Konvensi, yaitu bahwa dalam Zona Ekonomi
Ekslusif Negara pantai mempunyai :
Penetapan batas ZEE Filipina dengan negara lain, sejalan dengan teori
dan praktek penetapan batas (termasuk wilayah ZEE) antar negara yang
memungkinkan bagi dua negara yang memiliki wilayah ZEE dalam posisi
berhadapan atau berdampingan untuk menyelesaikannya berdasarkan
persetujuan. Persetujuan tersebut didasarkan pada azas-azas hukum
internasional tentang penetapan batas yang diakui secara umum, sebagaimana
yang tercermin dalam Pasal 74 ayat (1) Konvensi Hukum Laut tahun 1982.
(5) Melaksanakan suatu tindakan atau terlibat di dalam suatu kegiatan yang
bertentangan dengan atau merugikan hak-hak berdaulat dan yurisdiksi yang
ditetapkan disini.
dalam hal garis batas ZEE Indonesia menimbulkan masalah penentuan batas
dengan negara lain yang letaknya berhadapan atau berdampingan dengan
Indonesia, Pemerintah Indonesia bersedia pada waktu yang tepat mengadakan
perundingan-perundingan dengan negara yang bersangkutan guna mencapai
persetujuan.
Ketentuan yang sama juga dikodifisir dalam Pasal 3 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1983 yang menyebutkan bahwa apabila wilayah ZEE
Indonesia tumpang tindih dengan Zona Ekonomi Eksklusif neaara yang
pantainya saling berhadapan atau berdampingan dengan Indonesia, maka batas
Zona Ekonomi Eksklusif antara Indonesia dan negara tersebut ditetapkan
dengan persetujuan antara Republik Indonesia dengan negara yang
bersangkutan.
yang dianut Filipina dalam penetapan batas ZEE negaranya adalah sama
dengan yang dianut oleh Indonesia yakni "median line atau equidistance". Baik
Indonesia maupun Filipina keduanya juga adalah negara kepulauan. Dengan
terjadinya penetapan batas ZEE 200 mil laut oleh kedua belah pihak yang diukur
dari garis-garis pangkal darimana diukur laut teritorial masing-masing yang
mengelilingi kepulauannya, maka di bagian Selatan Pilipina (bagian selatan
Mindanao) dan bagian utara Indonesia (Sangihe dan Talaud Sulawesi Utara)
perlu diadakan penetapan batas-batasnya.
perbatasan akan ditentukan melalui penerapan dari prinsip sama jarak (Pasal 6
ayat (1) dan Pasal 6 ayat (2).
Penetapan batas wilayah ZEE antara Indonesia dan Filipina dinilai akan
lebih mudah dibandingkan dengan penetapan batas wilayah ZEE antara
Indonesia dan Australia. Hal ini disebabkan bahwa tidak adanya keadaan-
keadan khusus (special circumstances) diantara pulau-pulau Indonesia dan
Filipina. Sebagai contoh, diantara pulau Marore (suatu pulau yang berada di
wilayah Sangihe Indonesia) dengan Pulau Balut (yang berada di Mindanao
Selatan-Filipina) yang jaraknya hanya 35 mil laut, tidak ada satupun pulau yang
berada pada posisi diantara kedua pulau tersebut. Hal yang sama juga antara
Pulau Kawio (yang ada di wilayah Sangihe Indonesia) dengan Pulau Balut (di
bagian selatan Filipina), yang hanya berjarak 37 mil laut. Demikian juga dengan
kondisi geografis antara Pulau Miangas (di Indonesia bagian utara Kabupaten
Kepulauan Talaud Indonesia) yang berhadapan dengan pulau San Agustin
Filipina yang berjarak 50 mil laut.
Dengan kata lain, diantara ketiga posisi ketiga pulau-pulau yang
berdampingan atau berdekatan tersebut, tidak ada satu pun pulau atau karang
yang diklaim sebagai milik, baik dari Indonesia maupun dari Filipina, untuk dapat
dijadikan dasar pengukuran sekaligus penetapan batas wilayah ZEE,
berdasarkan keadaan-keadaan tertentu.
Setiap pembentukan peraturan perUndang-Undangan harus
memperhitungkan efektifi tas Peraturan Perundang-undangan tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, yuridis maupun sosiologis. Kedayagunaan dan
kehasilgunaan adalah bahwa setiap peraturan Perundang-undangan dibuat
karena memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat dalam mengatur
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Kejelasan rumusan
57
Harmonisasi
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang ditegaskan dalam pasal 17
ayat (3) menentukan bahwa “Dalam keadaan tertentu, Dewan Perwakilan Rakyat
atau Presiden dapat mengajukan rancangan undang-undang di luar Program
Legislasi Nasional (Prolegnas).” Ketentuan ini kemudian digunakan secara
bersama-sama oleh DPR-RI dan Pemerintah untuk melakukan pembahasan
suatu rancangan peraturan perundang-undang di luar Prolegnas.
Maksud dari pengharmonisasian peraturan perundang-undangan adalah
sebagai upaya untuk menyelaraskan, menyesuaikan, memantapkan dan
membulatkan konsepsi suatu rancangan peraturan perundang-undangan dengan
peraturan perundang-undangan lain, baik yang lebih tinggi, sederajat, maupun
yang lebih rendah, dan hal-hal lain selain peraturan perundang-undangan,
59
Konservasi
Undang- Undang
Perikanan
Undang- Undang
Pemerintahan Daerah
Undang- Undang
Wilayah Negara
Undang- Undang
Sumberdaya Alam
Undang- Undang
3A 3B 3C
Program Pengelolaan Pelaksanaan Pelaksanaan Pelaksanaan
SDA dan jasa program kurang program tetap atau program berjalan
lingkungan kelautan mendukung statis efektif dan efisien
kelestarian sumber
daya alam
4A 4B
Sinergi kelembagaan Tetap dalam arti Semakin kuat dan
masih adanya efektif dalam
tumpang tindih menjalankan
wewenang dan antar masing-masing
lembaga kurang perannya
bersinergi dalam
mencapai tujuan
5A 5B 5C
Sistem pendanaan Semakin lemah Tetap Semakin kuat
karena tidak adanya
keseriusan dalam
pengontrolan dana
6A 6B 6C
Hukum dan Peraturan Gagal karena Tetap Mendukung dalam
Pengelolaan kesadaran hukum penyelenggaraan
masih rendah pengelolaan
7A 7B
Penataan ruang Tetap Mendukung dalam
wilayah penyelenggaraan
pengelolaan
8A 8B 8C
Sarana dan Prasarana Memberikan dampak Tetap dalam arti Semakin
Wilayah negatif terhadap tidak berpengaruh meningkatkan
aspek sosial dan aksesbilitas yang
ekonomi masyarakat memberikan
karena dampak positif
ketidakbijakan dalam terhadap aspek
pemanfaatan sarana sosial dan ekonomi
dan prasarana masyarakat
66
tersebut
9A 9B 9C
Keterpaduan antar Semakin buruk Tetap Semakin terpadu
stakeholder karena tidak adanya karena adanya
prinsip keterbukaan prinsip
dan tingkat keterbukaan dan
kepercayaan peran serta antar
masyarakat yang stake holder dalam
rendah terhadap pengelolaan
pemerintah
batas wilayah dan budaya lokal, setalah diisii nilai yang didapat dari para expert
dan dengan mengkalkulsikan angka-angka yang ada dalam matrik maka di dapat
: berdasarkan kriteria sumber daya alam, nilai terbesar yang didapat adalah
(0.193) dan rancangbangun hukum menurut budaya dengan nilai yang terkecil
Sintesis
Sistesis adalah merupakan proses dari pembobotan dan kombinasi
prioritas dari model setelah dibuatnya penilaian dengan tujuan akhir yang sudah
ditetapkan. Penilaian dikombinasikan terhadap model dengan menggunakan
pembobotan dan proses dalam mencapai tujuan menggunakan semua nilai
untuk alternativ-alternatif rancangbangun produk hukum pesisir. Alternativ yang
terbaik adalah merupakan prioritas tertinggi yang dihasilkan dari Gambar 11
sintesis yang dihasilkan menunjukan bahwa rancangbangun hukum menurut
penataan batas wilayah mendapatkan prioritas tertinggi untuk di pilih dalam
menghasilkan produk rancangbangun hukum pesisir. Rancangbangun hukum
menurut penataan wilayah mendapatkan nilai 0.226, diikuti oleh RH menurut
pemerintah (0.222), RH strategi perwilayahan (0.211), RH menurut akademisi
(180), dan rancangbangun menurut biaya (0.161), sedangkan rasio inskonsitensi
adalah 0.04 yang masih dalam batas rasio normal.
Sensitivitas Analisis
Sensitivitas dinamis
Dalam analisis dari sisi akademisi dengan mengacu pada tujuan yang
hendak dicapai maka sensitive dinamik berdasarkan kriteria/faktor yang ada
didapat nilai presentasi tertinggi (sisi kiri graph) yaitu criteria Hukum (28.9%),
Sumber Daya Alam (25.5%), Kelembagaan (23.1%), Pendanaan (14.4%).
Sensitive dinamik berdasarkan alternatif rancangbangun (sisi kanan graphic)
yaitu nilai tertinggi yang merupakan prioritas utama adalah RH. Menurut
penataan batas wilayah (23.9%), diikuti oleh RH menurut strategi perwilayahan
(22%), RH menurut pemerintah (20.9%), RH menurut akademisi (19.4%), RH
menurut budaya (13.8%)
Faktor eksternal
Faktor eksternal ini dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu peluang dan
ancaman. Peluang adalah existing condition dari segi eksternal yang dapat
dimanfaatkan untuk peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi
Sulawesi Utara, sedangkan ancaman adalah existing condition dari segi
eksternal yang harus diantisipasi dan ditanggulangi agar tujuan peningkatan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar tercapai.
Faktor internal
Faktor internal dibagi ke dalam dua kelompok, yaitu kekuatan dan
kelemahan. Kekuatan dalam hal ini adalah existing condition dari segi internal
yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar di provinsi Sulawesi Utara, sedangkan kelemahan adalah existing
condition dari segi internal yang harus diantisipasi agar tujuan peningkatan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar tercapai.
Pulau-pulau kecil memiliki potensi sumber daya alam yang cukup besar
terutama sumber daya kelautan yaitu berbagai jenis ikan, terumbu karang,
lamun dan mangrove, sedangkan jasa lingkungan pulau kecil yang sangat
prospektif adalah kegiatan pariwisata bahari. Keberadaan potensi ini menjadi
strategis sebagai wujud pemanfaatan sumber daya alam dan jasa-jasa
kelautan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi dalam rangka peningkatan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara.
(2) Posisi geografis yang cukup strategis.
Pulau-pulau kecil memiliki posisi geografis yang cukup strategis karena
berada di daerah perbatasan. Posisi strategis ini berpotensi dijadikan
kawasan pengembangan pelabuhan yaitu sebagai pintu masuk dan keluar
bagi Peraturan Daerahgangan barang dan jasa dari negara-negara tetangga.
Posisi yang strategis ini juga berpotensi sebagai basis pertahanan dan
keamanan negara. Potensi ini memegang peranan penting dalam rangka
pembangunan pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara.
(3) Adanya program dari pemerintah daerah untuk pembangunan pulau-pulau
kecil terluar.
Program pembangunan pulau-pulau kecil terluar di Provinsi Sulawesi Utara
sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 4 Tahun 2005 tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RJMD) tahun 2005-2010. Adanya
program ini yang disertai dukungan anggaran dari APBD merupakan bagian
dari faktor kekuatan dalam meningkatkan pengelolaan sumber daya pesisir,
laut dan pulau-pulau kecil.
ANCAMAN
(2)Belum ada penetapan batas laut 0.113 1.733 0.197
yang disepakati bersama (ZEE)
(3)Masih lemahnya respon pengawasan 0.126 1.733 0.218
perbatasan laut antar negara
(4)Adanya konflik kepentingan antar
stakeholer dalam pengelolaan pulau- 0.099 2.000 0.199
pulau kecil terluar.
0.613
Total 1 2.339
sumberdaya alam dan jasa lingkungan kelautan dan posisi geografis yang cukup
strategis merupakan kekuatan yang besar di pulau-pulau terluar tersebut yang
ditandai dengan peringkat yang besar yaitu 3.200 untuk posisi geografis dan
2.667 untuk sumber daya dan jasa kelautan karena ke dua faktor tersebut adalah
potensi yang dimiliki oleh pulau yang bersangkutan. Jika lembaga-lembaga
terkait mampu mengelola pulau-pulau tersebut sesuai dengan potensinya maka
akan didapat hasil yang efektif dalam peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil
terluar perbatasan negara. Pengelolaan di tujukan pada sektor perikanan yang
berpotensi untuk peningkatan devisa negara melalui eksport hasil penangkapan
di laut teritorial dan dalam Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia. Eksport dapat
dilakukan di Kota General Santos Filipina berhubung pertimbangan biaya
transportasi apabila wilayah penangkapan di perbatasan dan lokasi pengumpul
di Kota Bitung, maka waktu dan jarak tempuh menjadi pertimbangan. Oleh
karena itu perlu peningkatan kerjasama Peraturan Daerahgangan dengan
mengacu pada harga kesepakatan yang saling menguntungkan kedua belah
pihak.
Hal ini merupakan kondisi nyata dari pulau-pulau tersebut saat ini seperti
pemanfaatan sumber daya alam hanya dilakukan untuk memenuhi kebutuhan
83
saat ini saja, masih adanya permasalahan di bidang hukum dan kelembagaan.
Salah satu bukti nyatanya antara lain maraknya pencurian ikan di kawasan
tersebut dan sampai saat ini masih belum ada kepastian garis batas laut dan
darat antara Indonesia dan Filipina. Pada aspek sosial ekonomi juga belum
menunjukkan pertumbuhan, pulau-pulau tersebut masih mengalami
keterisolasian dan tingkat kesejahteraan yang rendah. Begitu juga dengan
lemahnya sistem pendanaan sehingga pelaksanaan program-program
pembangunan belum bisa dilaksanakan secara kontinu.
Strategi yang harus dilakukan pada kondisi ini adalah melakukan
perbaikan secara internal dan menguatkan posisi eksternal sehingga skor dari
faktor internal dan eksternal meningkat. Faktor internal ditingkatkan dengan cara
membuat kelemahan-kelemahan utama menjadi kelemahan kecil dan kekuatan-
kekuatan kecil diusahakan menjadi kekuatan-kekuatan utama. Faktor eksternal
ditingkatkan skornya dengan membuat strategi yang dapat secara efektif
merespon dari faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi.
Sumber daya alam dan jasa lingkungan merupakan bagian dari potensi
yang dimiliki oleh pulau-pulau perbatasan. Program pengelolaan SDA dan jasa
lingkungan kelautan dilaksanakan dengan penyusunan rancangan Peraturan
Daerah tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Peraturan tersebut
pemerintah daerah menetapkan kegiatan-kegiatan yang akan dilaksanakan
untuk mencapai dan meningkatkan pengelolaan sumber daya pesisir secara
berkelanjutan. Pengelolaan secara berkelanjutan adalah suatu upaya
pemanfaatan sumber daya alam dan jasa lingkungan yang terdapat di pulau
untuk kesejahteraan manusia, artinya pemanfaatan tidak hanya dilakukan untuk
memenuhi kebutuhan saat ini saja, tetapi juga menjamin generasi yang akan
datang. Kegiatan-kegiatan tersebut antara lain : pembangunan pulau-pulau kecil
secara berkelanjutan dan berbasis masyarakat, sosialisasi peringatan dini
bencana alam, manajemen kawasan pesisir secara terpadu, rencana tata ruang
pesisir secara terpadu, pengelolaan kawasan konservasi laut sebagai reservoir,
pengendalian pencemaran, bersih pantai dan laut, rehabilitasi ekosistem
mangrove, rehabilitasi ekosistem karang, pembuatan daerah perlindungan laut
dan kawasan konservasi laut daerah, cagar alam laut dan identifikasi penamaan
laut.
86
Penetapan batas wilayah yang disepakati Indonesia dan Filipina (S2, O4,
O5)
Batas wilayah darat dan laut antara Indonesia dan Filipina perlu
ditetapkan terutama berkaitan dengan masih banyak segmen kawasan pesisir
yang belum ditetapkan yang berkaitan dengan batas negara seperti pulau-pulau
terluar yang belum bernama, hal ini memiliki dimensi strategis kewilayahan
terutama penataan ruang laut yang berdampak sangat luas terhadap keamanan
dan kesejahteraan.
Penetapan batas wilayah ini memanfaatkan peluang Konvensi
Internasional terhadap hukum laut Indonesia dan kerjasama bilateral antara
Indonesia dengan negara tetangga khususnya Filipina. Adanya konvensi
internasional menjadi peluang bagi Indonesia untuk mendapatkan dukungan
yang besar dari dunia internasional. Konvensi Hukum Laut 1982 telah
memberikan hak kepada Indonesia untuk menetapkan batas-batas terluar dari
berbagai zona maritim dengan batas-batas maksimum yang sudah ditetapkan.
Penyelesaian permasalahan batas wilayah juga harus dilakukan dengan
peningkatan intensitas dialog antara Indonesia dan Filipina melalui kerjasama
bilateral dengan upaya-upaya politis dan diplomatis sehingga terwujud kepastian
garis batas wilayah laut dan darat antara Indonesia dan Filipina.
KESIMPULAN
titik referensi di laut, sebagai acuan batas dalam peta wilayah negara, kemudian
hasil kesepakatan dituangkan dalam peraturan perundang-undangan.
SARAN
DAFTAR PUSTAKA
Agoes ER. 2002. Status Perbatasan Wilayah Negara Republik Indonesia dengan
Negara Tetangga, Makalah Dialog Kebijakan Kelautan dan Perikanan
Internasional : Masa depan Perbatasan Indonesia – Singapura. Direktorat
Kelembangaan Internasional DKP.
Aqorau T. 2000. Illegal Fishing and Fisheries Law Enforcement in Small Island
Developing States: The Pacific Islands Experience. The International Journal
of Marine and Coastal Law. Vol 15, No 1 Kluwer Law International.
Arsana IMA. 2007. Batas Maritim Antar Negara, Sebuah Tinjauan Teknis dan
Yuridis. Gajah Mada University Press, Jogyakarta.
Bengen DG. 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta
Prinsip Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB
Bogor.
Beller W. 1990. How to Sustain Small Island. In Beller, d’Ayala and P. Hein
(Eds). Sustainable Development and Environmental Management of Small
Island. Unesco, Paris.
Bess R, Rallapudi R. 2007. Spatial conflicts in New Zealand fisheries: The rights
of fishers and protection of the marine environment,.Marine Policy 31 : 719–
729
Billiana CS, Robert KW. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management :
Concepts and Practices. Island Press, Washington DC.
Botchway F. 2001. Good Governance: Th e Old, the New, the Principle, and the
Elements, Florida Journal of International Law, Vol 13, pp. 159, 161.
Brookfield HC. 1990. An Approach to Islands. In W.P. d’Ayala and P. Hein (Eds).
Sustainable Development and Environmental Management. Man and Biopher
series. Vol. 5.
96
Churchill RR. and Lowe AV. 1991. The Law of The Sea. Manchester University
Press.
Clark JR. 1996. Coastal Zone Management. Handbook. Lewis Publishers. CRC
Press LLC. Boca Raton, Florida USA.
Dahuri R. 1998. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, IPB
Bogor
Dahuri R. Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 2001. Pengelolaan Sumber Daya
Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta.
Griffith, Innis. 1992. Small Island Charateristics and their constrain is Sustainable
Development.
Griggs L, Lugten G. 2007. Veil over the nets (unravelling corporate liability for
IUU fishing offences.) Marine Policy 31 : 159–168
Harrison J. 2007. Judicial Law-Making and the Developing Order of the Oceans.
The International Journal of Marine and Coastal Law 22 : 283
Kay, R dan J. Alder. 1999. Coastal Planning and Management, Routiedge. New
York.
Keyuan Z. 2008. Law of the Sea Issues Between the United States and East
Asian States. Ocean Development & International Law 39 : 69–93.
Laporan Bupati Kepulauan Talaud, 2005. Gambaran Umum dan Isu Strategis
Kabupaten Kepulauan Talaud 2005 pada kunjungan kerja Menteri Perikanan
dan Kelautan 14 Desember 2005.
Maarif MS. 2007. Pulau-Pulau Kecil Terluar: Ancaman dan Tantangan. Humas
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen
Kelautan dan Perikanan.
Marimin. 2002. Teori dan Aplikasi Sistem Pakar dalam Teknologi Manajerial IPB
Press Bogor.
Mauna B. 2005. Hukum Internasional, Pengertian Peranan dan Fungsi dalam Era
Dinamika Global, Penerbit PT. Alumni Bandung.
Miclat EFB, Ingles JA, 2006. Dumaup JNB. 2006. Planning across boundaries for
the conservation of the Sulu-Sulawesi Marine Ecoregion. Ocean & Coastal
Management 49 : 597–609
99
Mikalsen KH, Hernes HK, Jentoft S. 2007. Leaning on user-groups: The role of
civil society in fisheries governance. Marine Policy 31 : 201–209
Nainggolan PP. ed. 2004. Batas Wilayah dan Situasi Perbatasan Indonesia,
Ancaman terhadap Integritas Teritorial. Tiga Putra Utama. Jakarta.
Nakajima, T and M. Machida. 1990. Island in Japan. In W.P. d’Ayala and P. Hein
(Eds). Sustainable Development and Environmental Management. Man and
Biopher series. Vol. 5.
Nikijuluw PH. 2008. Blue Water Crime: Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal.
PT. Pustaka Cidesindo Jakarta.
Patlis JM. Knight M and Benoit J.2003. in press. Integrated Coastal Management
in Decentralizing Developing Countries: The General Paradigm, the U.S.
Model and the Indonesian Example, The Ocean Yearbook, Vol. 17, U.
Chicago Press, Chicago, IL.
Patlis JM. 2005. The role of law and legal institutions in determining the
sustainability of integrated coastal management project in Indonesia. Ocean
and Coastal Management 48 : 450-467.
Patlis JM. Purwaka TM. Perdanahardja WGH, editor. 2005. Menuju Harmonisasi
Sistem Hukum sebagai Pilar Pengelolaan Wilayah Pesisir Indonesia.
Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas, Departemen
Kelautan dan Perikanan, Departemen Hukum dan HAM, bekerjasama
dengan Coastal Resources Management Project II [USAID]. Jakarta.
Pedoman Penyajian Karya Ilmiah. 2008. Edisi Kedua Cetakan Pertama. IPB
Press. Bogor.
Saaty TL. 1982. Decision Making for Leaders. Belmont California : Lifetime
Learning Publications.
Saaty TL. 2003. Pengambilan Keputusan bagi para pemimpin, Proses Hirarki
Analitik untuk pegambilan keputusan dalam situasi dan kompleks. PT.
Pustaka Binaman Pressindo Jakarta.
101
Sabarno 2003. Arti Penting Penataan Batas Wilayah dalam Negara Kesatuan
Republik Indonesia, Majalah Perbatasan Januari 2003.
Valencia MJ, Danusaputro SM. 1984. Indonesia: Law of the Sea and Foreign
Policy Issues. Indonesian Guarterly. Vol. XII No. 4. p 486.
Verlaan PA. 2007. Experimental activities that intentionally perturb the marine
environment: Implications for the marine environmental protection and marine
scientific research provisions of the 1982 United Nations Convention on the
Law of the Sea. Marine Policy 31 : 210–216
Wila MRC. 2006. Konsepsi Hukum dalam Pengaturan dan Pengelolaan Wilayah
Perbatasan Antarnegara, Penerbit PT Alumni Bandung.
Wolff M. 2009. (Edited). Propical Water and their Livinf Resources : Ecology,
Assessment and Management. H.M. Hauschild GmbH, Bremen, Germany.
103
Peraturan
No. Perundang- Nomor dan Tahun Tentang
undangan
Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat dan Dewan
Perwaklikan Rakyat Daerah
32 Undang Undang Nomor 22 Tahun 1999 Pemerintahan Daerah
33 Undang Undang Nomor 25 Tahun 1999 Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Daerah
34 Undang Undang Nomor 28 Tahun 1999 Penyelenggaraan Negara yang
Bersih dan Bebas dari Korupsi
Kolusi dan Nepotisme
35 Undang Undang Nomor 30 Tahun 1999 Arbitrase dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa
36 Undang Undang Nomor 31 Tahun 1999 Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi
37 Undang Undang Nomor 36 Tahun 1999 Telekomunikasi
38 Undang Undang Nomor 41 Tahun 1999 Kehutanan
39 Undang Undang Nomor 43 Tahun 1999 Pokok Pokok Kepegawaian
40 Undang Undang Nomor 16 Tahun 2000 Ketentuan Umum dan Tata
Cara Perpajakan
41 Undang Undang Nomor 17 Tahun 2000 Pajak Penghasilan
42 Undang Undang Nomor 34 Tahun 2000 Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah
43 Undang Undang Nomor 22 Tahun 2001 Minyak Bumi
44 Undang Undang Nomor 16 Tahun 2002 Yayasan
45 Undang Undang Nomor 3 Tahun 2002 Pertanahan Negara
46 Undang Undang Nomor 18 Tahun 2002 Sistem Nasional Penelitian,
Pengembangan dan Penerapan
Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi
47 Undang Undang Nomor 28 Tahun 2002 Bangunan Gedung
48 Undang Undang Nomor 17 Tahun 2003 Keuangan Negara
49 Undang Undang Nomor 27 Tahun 2003 Panas Bumi
50 Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial
51 Undang Undang Nomor 4 Tahun 2004 Kekuasaan Kehakiman
52 Undang Undang Nomor 7 Tahun 2004 Sumber Daya Air
53 Undang Undang Nomor 8 Tahun 2004 Peradilan Umum
54 Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004 Peradilan Tata Usaha Negara
55 Undang Undang Nomor 10 Tahun 2004 Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan
56 Undang Undang Nomor 18 Tahun 2004 Perkebunan
57 Undang Undang Nomor 19 Tahun 2004 Kehutanan
56 Undang Undang Nomor 25 Tahun 2004 Sistem Perencanaan
Pembangunan Nasional
59 Undang Undang Nomor 31 Tahun 2004 Perikanan
60 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Pemerintahan Daerah
105
Peraturan
No. Perundang- Nomor dan Tahun Tentang
undangan
61 Undang Undang Nomor 33 Tahun 2004 Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan
Pemerintah Daerah
62 Undang Undang Nomor 26 Tahun 2007 Penataan Ruang
63 Undang Undang Nomor 27 Tahun 2007 Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau Kecil
64 Undang Undang Nomor 43 Tahun 2008 Wilayah Negara
65 Peraturan Nomor 47 Tahun 1997 Rencana Tata Ruang Wilayah
Pemerintah Nasional
66 Peraturan Nomor 19 Tahun 1999 Pengololaan Kualitas Air dan
Pemerintah Pengendalian Pencemaran Air
67 Peraturan Nomor 82 Tahun 2001 Pengendalian Pencemaran
Pemerintah Dan/Atau Perusakan Laut
68 Peraturan Nomor 12 Tahun 2010 Badan Nasional Pengelola
Presiden Perbatsan
69 Keputusan Nomor 32 Tahun 1990 Pengelolaan Kawasan Lindung
Presiden
70 Keputusan Menteri Nomor 41 Tahun 2000 Pedoman Umum Pengelolaan
Kelautan dan Pulau-pulau Kecil yang
Perikanan berkelanjutan dan Berbasis
Masyarakat
71 Keputusan Menteri Nomor 10 Tahun 2002 Pedoman Umum Perencanaan
Kelautan dan Pengelolaan Pesisir Terpadu
Perikanan
72 Peraturan Nomor 38 Tahun 2002 Daftar Koordinat Geografis
Pemerintah Titik-Titik Garis Pangkal
Kepulauan Indonesia
73 Peraturan Nomor 37 Tahun 2008 Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Pemerintah Nomor 38 Tahun
2002 Daftar Koordinat
Geografis Titik-Titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia
74 Peraturan Menteri Nomor Perencanaan Pengelolaan
Kelautan Per.16/Men/2008 Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil
75 Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
Terluar
76 Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2010 Badan Nasional Pengelola
Perbatasan
77 Peraturan Daerah Nomor 2 Tahun 2002 Pengelolaan Sumberdaya
Kabupaten Wilayah Pesisir Terpadu
Minahasa Berbasis Masyarakat
78 Peraturan Daerah Nomor 38 Tahun 2003 Pengelolaan Wilayah Pesisir
Provinsi Sulawesi dan Laut Terpadu Berbasis
Utara Masyarakat
106
CATATAN :