Professional Documents
Culture Documents
1. Pendahuluan
2. Survei
3. Fotogrammetri
4. Remote Sensing
5. Sistem Informasi Geografi
Bahan Kuliah : Ilmu Ukur Wilayah 1
Dosen : Prof. Dr. Ir. Ahmad Munir
1. Pendahuluan
Tujuan survei adalah untuk menyajikan informasi secara kuantitatif dan teliti dari
permukaan bumi, mencakup keadaan alam dan keadaan yang telah diubah oleh
aktivitas manusia. Penyajian bentuk dipresentasikan dalam bentuk cetakan (hard
copy) atau dalam bentuk data digital (soft copy) yang selanjutnya dapat diolah
dengan komputer.
Sebelum penerapan photografi dalam pengukuran dan survei, semua peta yang
dibuat hanya berdasarkan survei lapangan saja. Cara pengukuran seperti ini
kapasitasnya sangat terbatas dan memerlukan waktu yang lama dalam
pelaksanaannya. Walaupun demikian, pengukuran seperti ini tetap saja dilakukan
karena desakan kebutuhan untuk keperluan pekerjaan teknik seperti irigasi,
perpipaan, teknik lingkungan dan pekerjaan sipil lainnya. Pada pekerjaan teknik
sipil tersebut, jika tidak disupport dengan data survei, mak akan menyulitkan
kegiatan design, perencanaan dan pekerjaan konstruksi.
Bahan Kuliah : Ilmu Ukur Wilayah 2
Dosen : Prof. Dr. Ir. Ahmad Munir
Acuan Ellipsoid
Bentuk speris permukaan bumi telah dipostulatkan oleh Pythagoras Erastosthenes
(276 sebelum Masehi), seperti terlihat pada gambar Gambar 1.1. Teori yang
berpendapat bahwa bentuk bumi datar masih diterima hingga abad ke 16, setelah
itu pada abad ke 17, berbagai metode pengukuran mulai dikembangkan dan
Bahan Kuliah : Ilmu Ukur Wilayah 3
Dosen : Prof. Dr. Ir. Ahmad Munir
akhirnya membuktikan bahwa bentuk bumi yang sebenarnya tidak datar tetapi
bulat. Pada saat itu, ditemukan pula bahwa diameter polar tidak sama dengan
diameter equator atau dengan kata lain bentuk bumi adalah ellips (ellipsoid).
Meskipun demikian pada saat itu belum berhasil dibuktikan apakah diameter polar
lebih besar atau lebih kecil dari diameter equator.
Penjabaran dari pengukuran yang dilakukan oleh Erastosthenes dapat dilihat pada
Gambar 1.1 dan yang dilakukan oleh dua Tim Peneliti Perancis dapat dilihat pada
Gambar 1.2.
Bahan Kuliah : Ilmu Ukur Wilayah 4
Dosen : Prof. Dr. Ir. Ahmad Munir
Measurement of ERATOSTHENES
Well
L
R=
∆ϕ
d
tg∆ϕ = → ∆ϕ
l
Gambar 1.1. Pengukuran yang dilakukan oleh ERATOSTHENES
L : jarak antara ALEXANDRIE and SYENA (diukur dengan menggunakan hewan
Onta; L : kecepatan x waktu).
Pengukuran yang dilakukan oleh Academi Ilmu Pengetahuan Prancis
L3 LAPLAND (Foo)
Lα FRANCE (50 0 )
b
R3 R2
a R1 L1 PERN (~00
∆ϕ 3 ∆ϕ 2 ∆ϕ 1
b
R3 R2
a R1
∆ϕ 3 ∆ϕ 2
Bentuk bulat telur atau oval (ellipse) yang mempunyai garis bujur (meridian), jika
berputar pada sumbunya maka akan membentuk ellipsoid atau spheroid. Bentuk
bulat telur (ellips) dapat difenisikan dengan berbagai cara. Defenisi berikut ini
merupakan definisi secara geodesi. Terdapat dua defenisi bentuk ellips bumi
secara geodesi yaitu bentuk ellips bumi menurut HAYFORD dan bentuk ellips
WGS 84. Kedua defenisi bentuk ellips tersebut menjabarkan 3 parameter dengan
cara yang sama tetapi mempunyai nilai yang berbeda. Penjabaran parameter
defenisi ellips adalah :
a : semi-major axis
1
a2 − b2 2
e : excertricity : 2
a
Bahan Kuliah : Ilmu Ukur Wilayah 7
Dosen : Prof. Dr. Ir. Ahmad Munir
a−b
f : flattering : f =
a
b2
e2 : 1 − 2 = 2 f − f 2
a
Letak atau posisi suatu titik di atas permukaan bumi membutuhkan suatu
referensi. Referensi yang digunakan adalah sistem koordinat. Koordinat yang
digunakan pada suatu bidang ellipsoid adalah sistem koordinat geodesi (geodetic
coordinates). Pada sistem koordinat ini, posisi digambarkan sebagai lintang
(latitude) dan bujur (longitude). Sebagai illustrasi, gambaran berikut untuk
merepresentasi titik P pada suatu bidang ellipsoid. Pembahasan tentang
koordinat akan dibahas lebih mendalam pada pokok bahasan proyeksi pada bab
selanjutnya.
F
Normal
Meridian
GREENWHICH
Pada Gambar 1.4, garis khatulistiwa (garis equator) membentuk suatu bidang
yang disebut bidang equator. Jika diatrik suatu garis nomal dari bidang tersebut
menuju titik P maka akan membentuk sudut ϕ sudut yang disebut sudut lintang
(latitude).
Pada Gambar 1.4. terdapat suatu garis yang disebut garis meridian
(GREENWICH). Jika ditarik suatu garis dari kedua kutub ellips melalui “w”.
kemudian dari pertemuan antara garis khatulistiwa ditarik suatu garis menuju titik
pusat bidang khatulistiwa dan ditarik pula suatu garis dari pertemuan antara garis
meridian dengan khatulistiwa, maka kedua garis tersebut membentuk suatu sudut
dan sudut yang terbentuk disebut sebagai sudut bujur (longitude) (?).
Perlu diketahui bahwa garis normal yang dibentuk tidak melalui titik pusat ellipsoid
atau titik pusat bidang khatulistiwa. Posisi sembarang titik yang ada di atas
permukaan ellipsoid membentuk dua jari-jari kelengkungan yaitu jari
kelengkungan yang dibentuk oleh bidang meridian (meridian plane) (rm) dan jari-
jari kelengkungan yang dibentuk oleh bidang vertikal, lihat gambar berikut :
P (ϕ )
b
a
a
rn : 1
(1 − e 2 sin 2 ϕ ) 2
Suatu ruang yang terbatas pada suatu bidang ellipsoid dapat diperkirakan sebagai
suatu best fitting sphere. Pada titik P dengan latitude ϕ . Jari-jari dari “best fitting
sphere” adalah :
R = rm rn
Suatu ruang segitiga dapat terbentuk pada suatu ruang berbentuk bola.
Bahan Kuliah : Ilmu Ukur Wilayah 10
Dosen : Prof. Dr. Ir. Ahmad Munir
Pada suatu ruang segitiga membentuk suatu sudut dalam segi tiga yang dapat
dinyatakan dengan derajat menit dan detik. Terdapat 27 hubungan antara sudut
dan sisi segitiga. Pada Gambar 1.7 berlaku hubungan
0 < a + b + c < 2?
? < A + B + d < 3?
Cos a = Cos b Cos c + Sin b Sin c Cos A
sin a sin b sin c
= =
sin A sin B sin C
Pada gambar 1.7 terdapat suatu besaran yang disebut spherical excess ( ε ) yang
diturunkan dari segitiga tersebut di atas (Gambar 1.7)
A + B + C = 1800 + ε
Nilai ε adalah .
S 1
ε= 2
. ≈ 0,005" S ( Km 2 )
R sin 1"
Dimana S merupakan luas segi tiga, R merupakan jari-jari bola. Contoh hasil
pada sisi segitiga ~ 20 km merupakan nilai spherical excess ε = 1”
Secara praktis, nilai spherical excess dihitung sebagai berikut :
Bahan Kuliah : Ilmu Ukur Wilayah 11
Dosen : Prof. Dr. Ir. Ahmad Munir
Rumus LHUILIER
a + b + c = 2p
maka :
ε p ( p − a) ( p − b ) ( p − c )
tg = tg .tg .tg .tg
4 2 2 2 2
Rumus CAGNOLI
Catatan :
Untuk : a ~ b ~ c ˜ 30 Km : ε ~2”
a ~ b ~ c ˜ 50 Km : ε ~5”
Theorema LEGENDRA
Theorema ini menjelaskan perbandingan antara segitiga spheres (segi tiga yang
mempunyai sisi yang melengkung) dengan segitiga biasa (segitiga yang
mempunyai sisi yang lurus). Jika misalkan a, b, c adalah panjang sisi suatu segi
tiga spheris dan a, ß, ? merupakan sudut yang terletak diagram sisi tersebut (lihat
gambar). Dan jika a’, b’, c’, merupakan panjang sisi segi tiga bersisi lurus dan a’,
ß’, ?’ merupakan besar sudut pada sisi depannya (lihat gambar). Jika kedua sisi
tersebut dibandingkan maka diperoleh suatu nilai n yang mempunyai hubungan
berikut :
Theorema LEGENDRE
a’ = a, b’ = b, c’ = c
Bahan Kuliah : Ilmu Ukur Wilayah 12
Dosen : Prof. Dr. Ir. Ahmad Munir
LEGENDRE Additaments
ε α3
α'= α − α'= α −
3 6R 2
ε sin β
β'= β − β'=α'
3 sin α
sin β ' b3
b =α b = b2
sin α ' 6R 2
Bahan Kuliah : Ilmu Ukur Wilayah 13
Dosen : Prof. Dr. Ir. Ahmad Munir
F2
− GMm −
F1 = − u1
r2
m mengalami percepatan
−
F1 − − GM _
= g1 = u1 ( g 1 ≈ g1 ,81...m / s 2 )
m r2
Gaya axis fugal yang bekerja pada massa m
− −
F 2 = mω 2 rp u 2 ( g 1 ~ 9,81.... m / s 2 )
Massa yang mengalami percepatan axisfugal
−
F2 − _
= g 2 = ω 2 rp u 2 ( g 2 ~ 1 : 300 g 1 ~ 0,03 m / s 2 )
m
Bahan Kuliah : Ilmu Ukur Wilayah 14
Dosen : Prof. Dr. Ir. Ahmad Munir
−
Arah vertikal dinyatakan sebagai g
− − −
g = g1+ g 2
Potensial bumi
− −
Potensial g 1 dan g 2 dinyatakan dengan V1 maka diperoleh hubungan :
dV1 GM
= − 2 = g1
dr r
GM
V1 = + cons tan ta (1)
r
−
Hubungan antara g 2 dengan V2 sebagai berikut :
dV 2
= ϖ 2 rp = g 2
drp
1 2 2
V2 = ω r p + cons tan t ( 2)
2
Potensial total dari bumi adalah
W = V1 + V 2
GM 1 2 2
W= + ϖ r p + cons tan t
r 2
Equipotensial permukaan (“equipotential surface”) dari bumi dinyatakan sebagai
W yaitu :
W = constant
Gaya tarik bumi besarnya sama pada semua titik pada permukaan equipotensial.
Terdapat suatu nilai yang tertinggi. Pada permukaan equipotensial salah satu
diantaranya dipilih sebagai “GEOID”.
GEOID merupakan model fisik permukaan bumi. Pada model fisik bumi,
dipermukaan laut tidak ada variasi vertikal, tetapi permukaan tanah mempunyai
variasi vertikal yang sangat beragam, dengan demikian diperlukan suatu garis
acuan untuk menyamakannya, garis ini disebut sebagai garis GEOID. Bentuk
garis GEOID pada model fisik bumi adalah sebagai berikut :
Bahan Kuliah : Ilmu Ukur Wilayah 15
Dosen : Prof. Dr. Ir. Ahmad Munir
Direction of gravity
(2) ocean
(3)
(1)
Direction of gravity
Gambar 1.9. Representasi model fisik dan mathematik bentuk permukaan bumi
(1) ellipsoid : mathematical model, (2) geoid :physical model, (3) topographic
surface
Arah gaya tarik bumi tegak lurus pada garis GEOID. Pada dasarnya garis GEOID,
tidak secara tepat berada pada permukaan laut, karena permukaan laut berubah
sesuai tinggi pasang dan surut. Besarnya gravitasi pada permukaan GEOID
sama, dengan demikian sering disebut segitiga equipotensial.
Pada model fisik bumi terdapat beberapa garis equipotensial, salah satunya
terdapat pada permukaan GEOID. Ilustrasi garis-garis equipotensial pada model
fisik bumi sebagai berikut :
equipotential surface
Jika seandainya massa bumi seragam pada sembarang tempat dan mempunyai
topografi yang sama pada semua tempat, maka geoid berimpit dengan ellipsoid,
dan mempunyai titik pusat bumi, tetapi kenyataannya massa bumi dan elevasinya
tidak sama pada semua tempat, dengan demikian garis geoid kadang-kadang
berada di atas garis ellipsoid, seperti terlihat pada Gambar 1.11.
mean ellipsoid
Mass deficiency
Lintang ( ϕ ' ) merupakan sudut antara equator dan meridian dari suatu bidang
vertikal pada titik P’. Bujur( λ ' ) merupakan sudut antara meridian dari
GREENWICH dan meridian astronomis pada titik P’. Harus dicatat bahwa,
disebabkan karena adanya perpindahan relatif dari bumi terhadap sumbunya,
maka pengukuran astronomis ϕ ' dan λ ' memerlukan koreksi. Nilai korekasi yang
ditetapkan menurut standar International yang dikenal sebagai Conventional
International Origin (C.I.O) nilai koreksi yang diberikan adalah 0,1 arc detik.
Bahan Kuliah : Ilmu Ukur Wilayah 17
Dosen : Prof. Dr. Ir. Ahmad Munir
GEODESI GRAVIMETRI
Jika suatu massa dengan berat w berada pada suatu bidang equipotensial
berpindah ke bidang equipotensial lain, maka akan mengalami mengalami
perubahan berat dw, beratnya menjadi w + dw
W
dh
W-dN
Pengukuran gravitasi di udara dan di atas laut lebih sulit dilakukan sebab alat gravimeter
dalam keadaan bergerak. Efek pergerakan harus ditiadakan dengan menerapkan faktor
koreksi yang disebut sebagai EOTROS.
GRAVITASI NORMAL
Suatu titik P (dengan koordinat x, y, z) mempunyai potensial gravitasi
GM 1 2 2
W = + w r p
r 2
Atau
dm w 2 2
W = G∫ + (x + y 2 )
r 2
Dimana, G adalah konstanta gravitasi universal, dm adalah elemen massa bumi r’
jarak elemen massa dari titik P dan w adalah kecepatan rotasi bumi.
Persamaan tersebut di atas tidak dapat diselesaikan sebab persamaan integral
memerlukan batas atas dan batas bawah elemen massa bumi yang menjadi batas
perhitungan. Nilai W dapat ditentukan dengan cara W = V + T, dimana V adalah
potensial normal, T adalah deviasi permukaan equipotensial.
Gravitasi normal pada permukaan ellipsoid terrestrial disimbolkan dengan γ , yang
besarnya sama dengan :
δV
γ = = 978 , 0318 (1 + 0 , 0053024 sin 2
ϕ − 0 , 0000059 sin 2
2 ϕ ) cm / det
δh
Bahan Kuliah : Ilmu Ukur Wilayah 19
Dosen : Prof. Dr. Ir. Ahmad Munir
Perubahan nilai geoid dapat ditentukan dan anomaly gravitasi. Rumus STOKES :
1 R
4π γ σ∫
N= . ∆g ς (ϖ )d σ
Diamana :
N : jarak antara ellipsoid dan geoid
R : jari rata bumi
γ : nilai gravitasi rata-rata bumi
dσ : elemen diferensial luas
ω : jarak elemen luas dengan titik dimana dilakukan perhitungan (misalkan titik N)
ς (ω ) : Fungsi Stokes’
∆g : anomaly gravitasi rata-rata pada elemen luat dσ
Jika ∆g diketahui dalam angals dan permukaan dipartisi dalam ukuran 1o x 1o, persamaan
di atas dapat diselesaikan dengan intgeral, sehingga persamaan di atas berubah menjadi :
mm
N = 0,1293
mgal
∑ ∆g ς (ω )
Hubungan antara geoid dan ellisoid dalam geodesi terdapat tiga persamaan, lihat gambar
berikut :
Bahan Kuliah : Ilmu Ukur Wilayah 20
Dosen : Prof. Dr. Ir. Ahmad Munir
Vertical of P”
P” TOPOGRAPHIC
(1)
SURFACE
(2) Vertical of P’
P’ GEOID
Normal
N
(3)
p
ELLIPSOID
M E
H H
P”
semi minor axis
Topography
geoid
R vertical of P” ellipsoid
normal of P”
Center of
ellipsoid
semi major axis
Fig 1.9
φ : geocentre latitude
ϕ ': astronomic latitude
ϕ : geoditic latitude
R : geocentre radius
h : ellipsoid height of the topographic po int
H : tinggi titik di atas geoid
N : geoidical height
ξ : deplesi vertikal pada bidang meridian
Bahan Kuliah : Ilmu Ukur Wilayah 22
Dosen : Prof. Dr. Ir. Ahmad Munir
Deviasi vertical
Deviasi vertical sering terjadi
Surveying observation are usually made with instruments levelled by means of spirit
bubbles and therefore, the observation are made relative to the goid or the local vertical.
Before being used in geoditic calculation, they must be corrected for differences between
the geoid and the reference allipsoid or differences between the vertical to the geoid and
the normal to the ellipsoid (fig. 1.10)
Level line of light
Topography
Elevation of the vertical
geoid
NORMAL VERTICAL
ellipsoid
Fig. 1.10
The angle between the normal to the geoid (vertical) and the normal to the ellipsoid is the
“diffection of the vertical”, the component in the meridian plane is the N.S component ( ξ ),
the component in the E.W dirrection is ( η ).
Relation between geoditic and astronomical coordinates
ϕ = ϕ '−ξ
λ = λ '−η sec ϕ '
133 Azzimuth
Geoditic azimuth : (A)
Bahan Kuliah : Ilmu Ukur Wilayah 23
Dosen : Prof. Dr. Ir. Ahmad Munir
The azimuth from a point P to apoint Q on the allipsoid may be defined as the angle
between two planes, both containing the normal to the ellipsoid in P, one of which
contains the rotation axis, the other point Q (fig. 1.12) the angle is measured clock wit
from north.
Ellipsoidal normal at P
Fig. 1.12
Astronomical azimuth (A’)
It is also angle between two plane, both containing the vertical at P, one of which contains
a parellel to the rotation axis, the other the point Q.
The astronomical azimuth is assumed to be reduced to the CIO pole.
Relation between the geoditic and astronomical azimuth
The relation is given by the LAPLACE is equation
A = A'−(λ '−λ ) sin ϕ
The raltion enables geoditic azimuth at any station to be determined from a combination of
astronomical azimuth and longitude observations.
Bahan Kuliah : Ilmu Ukur Wilayah 24
Dosen : Prof. Dr. Ir. Ahmad Munir
Penggambaran letak atau posisi suatu titik di atas permukaan bumi dinyatakan
dengan koordinat geodesi (geodetic coordinat) yang biasanya dinyatakan dengan
(ϕ,λ). Penggambaran letak di atas bidang datar, dinyatakan dengan koordinat
bidang datar (plane coordinat) (X,Y). Pemahaman proyeksi dalam pengukuran
wilayah merupakan hal yang sangat penting, sebab proyeksi adalah dasar
pemetaan dalam usaha mendapatkan bentuk ubahan dari dimensi tertentu
menjadi bentuk dimensi yang lain secara sistimatik, sehingga menghasilkan
geometri baru dengan penyimpangan geometrik minimal. Koordinat yang
diperoleh dari konversi data analog menjadi digital adalah koordinat digitasi.
Operator Sistem Informasi Geografi hanya dapat bekerja pada sistem koordinat
geodesi dan datar.
Y
P
P
χ
λ
λ Y
Sistim Proyeksi
Proyeksi dapat digoongkan menurut:
Tipe proyeksi: pada tipe ini termasuk conic projection, cylindric projection, plane
(azimuthal) projection.
Y
A
χ
P λ
p
Sifat proyeksi:
Posisi titik yang ada pada kulit bola dapat dinyatakan sebagai Koordinat Geodesi
(Geodetic Coordinate). Representasi koordinat geodesi menjadi koordinat bidang
Bahan Kuliah : Ilmu Ukur Wilayah 26
Dosen : Prof. Dr. Ir. Ahmad Munir
Conic projection
χ λ
Sistem Koordinat
Representasi posisi terhadap suatu titik dan referensi tertentu yang dinyatakan
dalam besaran vektor ( besaran sudut dan atau besaran panjang . Reprsentasi
Bahan Kuliah : Ilmu Ukur Wilayah 27
Dosen : Prof. Dr. Ir. Ahmad Munir
Titik dan referensi tersebut tergantung pada Sistim Proyeksi yang dipakai, seperti
yang telah dijelasikan di atas.
Ada dua sistim koordinat yang dapat dipakai pada penentuan posisi di atas
permukaan bumi, yaitu : . Koordinat Geodesi yang dinyatakan sebagai Lintang,
Bujur dan h (tinggi geometrik) dimana besaran geometri dimaksud dalan satuan
sudut (Lintang dan Bujur) dan h (tinggi geometric dalam satuan panjang).
h merupakan tampilan atribut, bukan vektor. Tinggi geometrik h jarang
dicantumkan karena penentuannya tidak sederhana. Titik acuan awal telah
disepakati secara universal yaitu untuk Garis Acuan awal untuk Bujur atau Bujur =
0º adalah garis Meridian. Garis ini melalui Greenwich (di negara Inggris), disebut
Bujur Barat jika Bujur tersebut sebelah barat Meridian 0º atau Timur jika Bujur
tersebut sebelah Timur Meridian 0º. Garis acuan untuk Lintang atau Lintang = 0º
adalah garis Equator atau Katulistiwa, positip kearah Kutub Utara dan Negatip
arah Kutub Selatan. Koordinat Orthometrik 2 Dimensi yang dinyatakan sebagai X,
Y, h ( tinggi orthometrik berupa atribut), dimana semua unsur geometriknya
dinyatakan besaran panjang. Suatu peta yang baik akan menyatakan koordinat
Geodesi maupun Orthometrik pada lembar yang sama. Hubungan antara
koordinat geodesi dengan koordinat bidang datar adalah sebagai berikut:
X = f 1(χ , λ )
Y = f 2( χ , λ )
Transformasi
internasional. Misanya koordinat UTM. Konversi data digital hasil digitasi tidak
dapat dipakai pada operator SIG, dengan demikian koordinat hasil didgitasi
selanjutnya diproses dengan cara melakukan transformasi. Posisi relatif suatu titik
dapat ditentukan dengan bantuan instrumen Global Positioning System (GPS).
Peta rupa bumi yang dikeluarkan oleh Bakosurtanal biasanya telah menggunakan
titik tetap yang menggunakan sistem koordinat UTM (Universal Tranvers
Mercator).
koordinat.
Grid merupakan perpotongan garis-garis sejajar terhadap dua garis tadi dengan
jarak sama , bukan proyeksi dari garis bujur dan lintang. 3º dipakai dengan alasan
bahwa garis meridian pusat merupakan garis meridian ditengah Zone UTM.
Selanjutnya njutnya dalam proses transformasi tersebut menghasilkan perubahan
Bujur menjadi komponen EASTING (dlm satuam meter) dan Lintang menjadi
komponen NORTHING (satuan meter), perlu diingat dalam Kaidah UTM tidak
dikenal nilai negatip (minus) maka ditetapkan Nilai Origin dari Northing adalah
10,000,000.00 m artinya jika posisi titik tersebut diselatan Ekuator maka nilai
Satuan sudut dalam radian yang didapat dari transformasi tersebut negatip, untuk
menghindari nilai negatif, ditambahkan nilai origin 10,000,000.00 m, begitu halnya
Bahan Kuliah : Ilmu Ukur Wilayah 30
Dosen : Prof. Dr. Ir. Ahmad Munir
untuk EASTING, pada posisi Barat dari MC dianggap negatip ditambah dengan
nilai origin 500,000.00 m.
Nilai Origin Northing 10,000,000 m, hal ini dihitung dari besar sudut antara equator
dengan Kutub Selatan sebesar 90º maka 90 x 111 km = 9990 km = 9,990,000 m
dibulatkan menjadi 10,000,000 m. Nilai Origin Easting 500,000 m dipakai dengan
alasan bahwa besar sudut antara MC (Meridian Central) terhadap tepi lembar
peta UTM sebesar 3º, analognya didapatkan nilai 333 km atau 333,000 m
diperlebar menjadi 500,000 m Untuk memeriksa apakah terjadi kesalahan
prosedure transformasi tersebut dapat dilakukan perhitungan pendekatan
sederhana secara manual sbb: Beda Bujur titik A terhadap MC (Meridian Central)
= 129º - 126º 45’ 55” = 2º 14’ 05” barat MC, yang berarti -2º 14’ 05”, nilai ini
dikalikan 111317 m = - 248,762 m (Koordinat semu). Karena Origin Easting =
500,000 maka harga Easting (X) titik A pendekatan = 500,000 – 248,762 =
251,238.000 m. Jadi, harga Easting (X) titik A secara pendekatan m 000 . 238 ,
251 . , analog untuk Northing (Y).
Fasilitas konversi ini telah disediakan dalam Map Info saat membuat File TAB.
Dapat dilihat saat menentukan pilihan Projection, tentukan pilihan tersebut
dengan memperhatikan Proyeksi yang dimiliki oleh file peta didalam file MAP
INFO tersebut :
1. Jika sistim koordinat yang digunakan bersifat lokal maka pilih “Non Earth”
Projection, artinya data spasial tersebut terbatas pada satu sistim koordinat
lokal yang digunakan, jika suatu ada data spasial lainnya yang mempunyai
sistim koordinat berbeda maka data-data spasial tersebut tidak dapat
disajikan secara terpadu. Untuk itu perlu adanya penyatuan sistim
koordinat dari masing-masing data spasial tersebut.
Bahan Kuliah : Ilmu Ukur Wilayah 31
Dosen : Prof. Dr. Ir. Ahmad Munir
2. Jika data spasial masukan mempunyai koordinat geografi (Lintang /Bujur atau
Long/Lat), maka pilih category Longitude/Latitude, selanjutnya tentukan Spheroide
Referensi (Category/Member): Logitude/Latitude WGS 84, karena spheroid
Nasional merupakan adopsi dari WGS 84.
3. Jika data spasial masukan mempunyai Koordinat UTM (North/East), maka pilih
category Universal Transverse Mercator (WGS 84) selanjutnya tentukan Zone.
Jika Zone dari data spasial tersebut belum diketahui maka melalui peta dasar
dapat di interpolasi Bujur yang melalui tengah data spasial tersebut mis Bº.
Gunakan rumus mencari Nomor Zone : Nomor Zone =ROUNDUP (o o B
6) + 30.
Suatu peta merepresentasikan fitur geografis atau fenomena spasial yang memuat
informasi tentang lokasi dan atributnya. Informasi yang ada pada peta mendeskripsikan
posisi atau fenomena geografis dari suatu permukaan bumi dan hubungan antara fenomena
yang dimaksud.
Fitur Peta
Fitur peta terdiri dari titik, garis dan luasan. Titik merepresentasikan lokasi tunggal,
titik digambarkan apabila suatu obyek lokasi terlalu kecil untuk direpresentasikan dengan
sebuah garis. Garis adalah sekumpulan titik pada suatu koordinat yang saling berhubungan,
garis digambarkan apabila terlalu kecil untuk dinyatakan sebagai suatu luasan. Luasan
merepresentasikan garis yang tertutup yang memuat informasi yang homogen. Pemetaan
dengan Sistem Informasi Geografi (SIG) menggunakan sistem koordinat pemetaan x-y.
Elemen dasar yang menyusun suatu peta terdiri atas titik dan garis. Titik
dapat merepresentasikan, misalnya kota, pasar, atau pusat pelayanan lainnya,
sedangkan garis dipakai untuk mewakili batas wilayah, jaringan jalan, sungai dan
sebagainya. Kumpulan garis dapat membentuk kesatuan menjadi polygon.
2 3
A 7 4
6 1
II B
C
I 5
5 1
2
4 7 6
3
Data SIG
Merupakan bagian penting dari SIG. Pengumpulan data dapat dari survey
dan sumber lainnya misalnya fasilitas penyedian jasa komesial. Cara yang paling
umum pemasukan data SIG adalah digitasi data dari peta yang telah digambarkan
pada kertas, foto udara atau hasil penginderaan jauh dengan satelit (remote
sensing). Digitasi merupakan proses tranfer informasi dari sumber yang yang telah
disebutkan diatas menjadi bentuk digital dengan cara yang sistematik.
Penginderaan jauh merupakan proses identifikasi obyek permukaan bumi
dari ketinggian tertentu. Obyek dapat dibedakan berdasarkan sifat pemancaran
gelombangnya. Saat ini, provider penyedia jasa pengideraan jauh dengan satelite
seperti: Landsat, SPOT dan AVHRR. Citra satelite dapat diklasifikasikan menurut
lebar swath, resolusi spasial (saptial resolution) dan resolusi radiometrik
(radiometric resolution). Lebar swath adalah lebar dari suatu garis scanning.
Resolusi spasial adalah luasan terkecil dari permukaan bumi yang masih dapat
diidentifikasi pada citra. Resolusi radiometrik adalah sensitivitas radiometrik yang
tergantung pada sejumlah level atau tingkatan obyek yang masih dapat
dibedakan. Resolusi radiometrik biasanya dinyatakan dengan angka biner atau
bits. Dari sumber data seperti yang telah dijelaskan maka dapat dibuat sistem
basis data yang dapat diproses dengan instrumen SIG, dapat dibedakan:
1. Data spasial berbentuk vektor : dapat bersumber dari survey terrestrial, hasil
interpretasi foto udara, citra satelit dan/atau peta tematik lainnya.
2. Data spasial berbentuk raster : bersumber dari scanning langsung hasil
rekaman satelit (satellite imagery) atau foto udara.
Bahan Kuliah : Ilmu Ukur Wilayah 37
Dosen : Prof. Dr. Ir. Ahmad Munir
Basis data adalah himpunan dari beberapa berkas data atau tabel yang
disimpan dengan suatu struktur tertentu, sehingga saling-berkaitan diantara
anggota himpunan data, dapat ditampilkan, dan dimanipulasi oleh perangkat
lunak manajemen basis data, untuk keperluan tertentu dan memiliki kaitan erat
dengan data spasial. Manajemen data meliputi semua operasi penyimpanan,
pengaktipan kembali, penyimpanan kembali, dan pencetakkan semua data yang
diperoleh dari masukan data. Pada dasarnya SIG adalah Sistem Manajemen
Basis Data Spasial, yang mampu memadukan informasi spasial berupa peta
dengan tingkat otomasi yang tinggi.
Sumberdaya Manusia
Sumberdaya manusia merupakan bagian terintegrasi dalam komponen
SIG. Sumberdaya manusia bervariasi mulai dari operator tingkat rendah sampai
dengan tenaga ahli SIG.
Metodologi
Metodologi merupakan kunci pengembangan SIG untuk penerapannya
pada berbagai bidang. Metodologi dapat berwujud sebagai basis pengetahuan
(knowledge base) SIG. Saat ini telah banyak algoritma yang telah dikembangkan
untuk mendukung pemanfaatan SIG, misalnya metoda simulasi, sistem pakar
(expert system) dan algoritma jaringan saraf (neural network algorithm). Amien
(2000) telah mengembangkan model sistem pakar SIG untuk evaluasi lahan dan
Ahmad Munir et al (2001) telah mengembangkan model simulasi dan algoritma
jaringan saraf SIG untuk peramalan erosi seperti yang telah dibahas dalam buku
ini.
Bahan Kuliah : Ilmu Ukur Wilayah 38
Dosen : Prof. Dr. Ir. Ahmad Munir
Manusi Softwar
a e
SIG SIG
Metodologi
Hardwar
e
Da Data
SIG memiliki kekuatan utama pada kemanpuan logical yang dapat menghubungkan
atribut dengan data spasial. Suatu peta digital dalam SIG tidak mempunyai makna penting
jika peta digital tersebut tersebut belum dapat mengekspresikan suatu informasi. Hubungan
antara atribut dengan data spasial dapat memberikan arti penting dalam pososisinya
sebagai peta yang diproses dengan SIG. Peta yang demikian sudah dapat digunakan untuk
keperluan tertentu. Jumlah atribut menunjukkan kemanpuan peta mengekspresikan
informasi yang muatnya. Entitas atau nilai atribut dapat dibuat dari entitas yang telah ada
beserta atributnya.
Penjabaran nilai entitas peta dapat dinyatakan dengan fungsi matematis
misalnya untuk sembarang lokasi x, nilai yang diturunkan dari suatu atribut U
dapat diberikan oleh fungsi :
Ui = f(A,B,C,…) (1.1)
dimana A,B,C,… adalah nilai-nilai atribut yang digunakan untuk
mengestimasi atribut Ui. Ekspresi matematis seperti tersebut merupakan cara
yang paling umum dari suatu model mengenai penurunan atribut-atribut pada
posisi titik x dimana tergantung pada atribut aslinya. Operator-operator logika
matematis dapat menghasilkan atribut baru beserta nilainya berdasarkan atribut
yang ada, dengan menggunakan atribut geografi bernilai, dapat berupa: operasi
yang menggunakan logika matematik sederhana, operasi boolean yang diberi
bobot, operasi aritmatika sederhana, dan lain-lain. Penurunan entitas baru dapat
pula dilakukan dengan menghubungkan atribut data spasial dengan model
simulasi matematik dari suatu fenomena yang kompleksitasnya tinggi, seperti
yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti pada Pusat Studi Sumberdaya Alam
dan Lingkungan Universitas Hasanuddin Makassar. Diantaranya adalah
pembuatan Model Erosi yang berbasisi Sistem Informasi Geografi yang dibahas
lebih rinci pada bab berikut dalam buku ini. Teknik ini dikenal sebagai embeddable
SIG (SIG yang dapat ditambahkan).