Professional Documents
Culture Documents
ABSTRACT
Small islands border region has a tremendous potential in supporting national
development. The determination of management policy is very important because of the
strategic of border marine resources existence. The islands in the border regions of the
country are vulnerable to the intervention of other countries and transnational crimes. The
concept of development policy of small islands in Indonesia must be planned and
implemented in an integrated manner for the development and welfare of the nation. The
northern regions, i.e. the North Sulawesi Province, that locates next to the Philippines is
important for the integrity of the management of small islands and border areas and of law
enforcement in Indonesia. Target elements, elements and strategies explain the
Delimitation of the Nation Borders between Indonesia and the Philippines, in particular the
Exclusive Economic Zone (EEZ) that overlaps each other, to optimize the management of
natural resources. Draft of Law of Small Islands State Border and the provision of local
government authority to carry out assistance duty of border management and stating
Small Islands in the border regions as state islands and given a special certificate.
I. Pendahuluan
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan
(archipelagic state) yang berciri Nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayah
serta memiliki hak-hak berdaulat di luar wilayah kedaulatannya untuk dikelola dan
dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia. Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 25A mengamanatkan
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang
batasnya secara geografis berada pada posisi silang antara Samudra Pasifik dan
Samudra Hindia dengan panjang pantai 95.181 km2 dan dengan wilayah laut seluas
5,8 juta km2 serta terdiri dari sekitar 17.480 pulau, beserta semua ekosistem laut
tropis produktif. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia memiliki
keanekaragaman habitat yang sangat tinggi, memiliki potensi sumberdaya alam dan
1
Makalah ini merupakan bagian dari Disertasi yang disampaikan pada Seminar Sekolah Pascasarjana IPB
2
Mahasiswa Program Doktor SPs IPB Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
3
Ketua Komisi Pembimbing Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
4
Anggota Komisi Pembimbing Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
5
Anggota Komisi Pembimbing Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
6
Anggota Komisi Pembimbing Direktur Usaha dan Investasi Departemen Kelautan dan Perikanan RI
7
Anggota Komisi Pembimbing Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Hakim Mahkamah Konstitusi.
2
jasa-jasa lingkungan kelautan yang sangat besar, yang dapat pulih (renewable
resources), dan tidak dapat pulih (non-renewable resources).
Ekosistem wilayah pesisir dan laut merupakan lokasi beberapa ekosistem yang
unik dan saling terkait dinamis dan produktif. Ekosistem utama yang secara permanen
ataupun secara berkala tertutup air dan terbentuk melalui proses alami antara lain
ekosistem terumbu karang (coral reef), ikan (fish), rumput laut (seaweed), padang lamun
(seagrass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), hutan
mangrove (mangrove forest), estuaria, laguna, delta dan pulau-pulau kecil.
Pulau-pulau kecil memiliki potensi sangat besar dalam menunjang pembangunan
nasional sehingga penentuan kebijakan pemanfaatan karena keberadaan (eksistensi)
sumberdaya kelautan menjadi strategis. Oleh karena itu konsep kebijakan pembangunan
pulau-pulau kecil di Indonesia yang direncanakan, berdasarkan azas kelestarian alam dan
keberlanjutan lingkungan yang ada; sehingga penting untuk pengembangan berbagai
aktivitas pembangunan secara terpadu di pulau-pulau kecil menjadi faktor pendukung
pulau-pulau kecil Indonesia secara berkelanjutan.
Berpijak dari kerangka pemikiran bahwa pengelolaan pulau-pulau kecil terluar
sangat strategis sehingga penelitan tentang perbatasan negara serta pengelolaan pulau
kecil dikaitkan dengan kebijakan dan penegakan hukum, perlu diteliti dengan
menganalisis potensi dan permasalahannya yang mencakup aspek sumberdaya alam,
sosial, ekonomi, budaya, hukum dan kelembagaan termasuk pertahanan dan keamanan.
Secara umum permasalahan yang ada di wilayah pesisir dan laut termasuk pulau-
pulau kecil dapat disebut sebagai suatu penyakit yang kronis karena kegiatan eksploitasi
sumberdaya dan pemanfaatan sudah berlangsung sejak dahulu, dan tidak
memperhatikan keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan, antara lain: sektor perikanan
laut, pertambangan, pemukiman, kepelabuhanan, kepariwisataan dan lain-lain, sehingga
kegiatan yang melampaui daya dukung lingkungan menyebabkan konflik dan penyakit
pesisir (coastal disease).
Kawasan Perbatasan merupakan kawasan strategis dalam menjaga integritas
Wilayah Negara, maka diperlukan juga pengaturan secara khusus. Pengaturan batas-
batas Wilayah Negara dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum mengenai
ruang lingkup wilayah negara, kewenangan pengelolaan Wilayah Negara, dan hak–hak
berdaulat. Negara berkepentingan untuk ikut mengatur pengelolaan dan pemanfaatan di
laut bebas dan dasar laut internasional sesuai dengan hukum internasional. Pemanfaatan
3
di laut bebas dan di dasar laut meliputi pengelolaan kekayaan alam, perlindungan
lingkungan laut dan keselamatan navigasi. Pengelolaan Wilayah Negara dilakukan
dengan pendekatan kesejahteraan, keamanan dan kelestarian lingkungan secara
bersama-sama. Pendekatan keamanan dalam arti pengelolaan Wilayah Negara untuk
menjamin keutuhan wilayah dan kedaulatan negara serta perlindungan segenap bangsa.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting terkait dengan pelaksanaan
fungsi-fungsi pemerintahan sesuai dengan prinsip otonomi daerah dalam mengelola
pembangunan.
Gambar 1 Peta Batas Maritim Indonesia-Filipina / Pulau Miangas dan Pulau Marore
No Sasaran Alternatif
1 Pilihan rancang bangun hukum Perundang-undangan
dan pelaksanaannya 1.1 Internasional
1.2 Nasional
1.3 Regional
1.4 Kearifan lokal, adat / tradisional
2 Pilihan pengelolaan pulau-pulau 2.1 Pola konservasi
kecil 2.2 Pola adat istiadat
2.3 Pola usaha
3 Pilihan target pengelolaan 3.1 Pasar lokal / nasional
sumberdaya 3.2 Swadaya masyarakat
3.3 Investasi
3.4. Swakelola
4 Pilihan kelembagaan 4.1 Pola konservasi
4.2 Pola pemberdayaan
4.3 Pola kemitraan
5 Pilihan hukum 5.1 Kebijakan nasional
5.2 Kebijakan regional
5.3 Kebijakan sektoral
5.4 Adat kebiasaan/tradisional
Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen (LK) Indonesia memiliki hak-
hak berdaulat untuk memanfaatkan kekayaan sumberdaya. Sebagai negara kepulauan
Indonesia berhak untuk menetapkan perairan kepulauan pada sisi dalam dari garis-garis
pangkal kepulauannya dan perairan pedalaman pada perairan kepulauannya, dan pada
zona maritim harus diukur dari garis-garis pangkal atau garis dasar.
Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia pada tanggal 8 Agustus 1996, maka secara tegas telah menetapkan batas-
batas terluar (outer limit) kedaulatan dan yuridiksi Indonesia di laut, termasuk memberikan
dasar dalam menetapkan garis batas (boundary) dengan negara-negara tetangga yang
6
Pulau-pulau kecil (PPK) juga mempunyai peran yang sangat penting bagi
manusia, seperti mempengaruhi iklim global, siklus hidrologi, biogeokimia, dan penyerap
limbah (Dahuri 1998). Pulau-pulau kecil tersebut juga memberikan manfaat lain bagi
kehidupan manusia seperti pemanfaatan jasa lingkungan untuk kegiatan usaha
pariwisata, budidaya perairan yang dapat menambah pendapatan dan devisa, serta
sebagai tempat yang menyimpan plasma nuftah.
ANCAMAN
Belum ada penetapan batas laut yang disepakati bersama (ZEE) 0.113 1.733 0.197
Masih lemahnya respon pengawasan perbatasan laut antar negara 0.126 1.733 0.218
Adanya konflik kepentingan antar stakeholer dalam pengelolaan pulau- 0.099 2.000 0.199
pulau kecil terluar.
Jumlah 0.613
Total 2.339
kasus (case approach), (4) Pendekatan komparatif (Comparative approach) dan (5)
Pendekatan konseptual (conceptual approach).
Sejarah Kerajaan Tabukan merupakan kerajaan tertua di abad 15 di Sangihe dan
Talaud, Kerajaan di Sangihe hingga permulaan abad 20 mencakup wilayah pulau-pulau
Talaud.yaitu Kerajaan Tabukan, Manganitu, Kendahe-Tahuna Siau dan Tagulandang.
Kerajaan yang wilayahnya sampai ke Filipina adalah Kerajaan Kendahe, di Mindanao
yaitu Kerajaan Mindanau Kubis. Kerajaan Kendahe pisah dari Tubis meliputi Bahu,
Talawid, Kendahe, Kolongan, Batuwukala dan pulau-pulau sekitarnya termasuk Kawio,
Lipang, Miangas sampai Mindanau Selatan. Spanyol menguasai Filipina sampai wilayah
selatan di Zamboanga (1635), untuk mengontrol pelintasan perdagangan laut dari Maluku
tahun 1635, dan mempunyai benteng pertahanan di Pulau Siau sebagai pelabuhan
penghubung dan alur pelayaran Manila ke Maluku san sebaliknya.
Sesudah tahun 1663 Spanyol mempunyai target untuk menguasai bangsa
pribumi di Mindanao sampai Pulau-Pulau Selatan Filipina, sementara Belanda
memperkuat kedudukannya di utara Indonesia, khususnya Maluku (1663) dan Sulawesi
Utara (1664). Belanda menguasai pulau Miangas sejak tahun 1677 sampai bubarnya
VOC 1799, kemudian Filipina sejak 1891 memasukkan Miangas ke dalam wilayahnya
dengan nama La Palmas dalam peta Filipina. Belanda mengajukan masalah Miangas ke
Mahkamah Arbitrase Internasional dengan hakim Max Huber pada tanggal 4 April 1928
kemudian memutuskan Miangas menjadi milik sah Belanda (Hindia Belanda). Filipina
kemudian menerima keputusan tersebut. Perbatasan dengan Filipina, khususnya di
sebelah Selatan Mindanao antara Pulau Merampit, Mianggas, dan Marore yang oleh
Filipina dianggap berada di dalam perairan yang termasuk dalam persetujuan Amerika-
Spanyol 1898, dikembalikan kepada Belanda. Konferensi Meja Bundar adalah sebuah
pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den
Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949.
Salah satu hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah Serah terima
kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali
Papua Barat. Wilayah Indonesia di dalam perkembangannya mengalami pertambahan
luas yang sangat besar. pertama kali dengan Territoriale Zee en Maritime Kringen
Ordonantie(TZMKO)1939. Selanjutnya Pemerintah RI memperjuangkan konsepsi
Wawasan Nusantara mulai dari Deklarasi Djuanda, berbagai perundingan dengan negara
12
tetangga, sampai pada akhirnya konsep Negara Kepulauan diterima di dalam Konvensi
Hukum Laut PBB 1982 (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS ’82).
Berdasarkan konsepsi TZMKO tahun 1939, lebar laut wilayah perairan Indonesia
hanya meliputi jalur-jalur laut yang mengelilingi setiap pulau atau bagian pulau Indonesia
yang lebarnya hanya 3 mil laut. Sedangkan menurut UUD 1945, wilayah negara
Indonesia tidak jelas menunjuk batas wilayah negaranya. Wilayah negara proklamasi
adalah wilayah negara ex kekuasaan Hindia Belanda, hal ini sejalan dengan prinsip
hukum internasional uti possidetis juris. Dan selain itu, UUD 1945 tidak mengatur tentang
kedudukan laut teritorial.
Produk hukum mengenai laut teritorial baru dilakukan secara formal pada tahun
1958 dalam Konvensi Geneva. Pada tahun 1957, Pemerintah Indonesia melalui Deklarasi
Djuanda, mengumumkan secara unilateral /sepihak bahwa lebar laut wilayah Indonesia
adalah 12 mil.
Dengan UU No. 4/Prp tahun 1960 tentang Wilayah Perairan Indonesia ditetapkan
ketentuan tentang laut wilayah Indonesia selebar 12 mil laut dari garis pangkal lurus.
Perairan Kepulauan ini dikelilingi oleh garis pangkal yang menghubungkan titik-titik terluar
dari Pulau Terluar Indonesia. Semenjak Deklarasi Djuanda, Pemerintah Indonesia terus
memperjuangkan konsepsi Wawasan Nusantara di dalam setiap perundingan bilateral,
trilateral, dan multilateral dengan negara-negara di dunia ataupun di dalam setiap forum-
forum internasional. Puncak dari diplomasi yang dilakukan adalah dengan diterimanya
Negara Kepulauan di dalam UNCLOS 1982. Melalui UU No.17 tahun 1985, Pemerintah
Indonesia meratifikasi/mengesahkan UNCLOS 1982 tersebut dan resmi menjadi negara
pihak.
Sebagai tindak lanjut dari pengesahan UNCLOS 1982, Pemerintah Indonesia
telah menerbitkan UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dan Peraturan
Pemerintah No. 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia. Dua Landasan hukum tersebut, khususnya PP No.38
tahun 2002, telah memagari wilayah perairan Indonesia yang sejak dicabutnya UU No. 4
Prp tahun 1960 melalui UU No.6 tahun 1996. Selanjutnya dengan diundangkannya UU
No 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara Indonesia tidak memiliki batas wilayah
perairan yang jelas. Bagi Indonesia, UNCLOS 1982 merupakan tonggak sejarah yang
sangat penting, yaitu sebagai bentuk pengakuan internasional terhadap konsep Wawasan
Nusantara yang telah digagas sejak tahun 1957.
13
5.2. Saran
15
Daftar Pustaka
Agoes, E.R. 2002. Status Perbatasan Wilayah Negara Republik Indonesia dengan
Negara Tetangga, Makalah Dialog Kebijakan Kelautan dan Perikanan
Internasional : Masa depan Perbatasan Indonesia – Singapura. Direktorat
Kelembangaan Internasional DKP.
Beller, W.1990. How to Sustain Small Island. In Beller, d’Ayala and P. Hein (Eds).
Sustainable Development and Environmental Management of Small Island.
Unesco, Paris.
Bengen, D.G. 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip
Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB Bogor.
Cicin-Sain, Billiana, Knecht, Robert W. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management
: Concepts and Practices. Island Press, Washington DC.
Dahuri, R 1998. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, IPB
Bogor
Dahuri, R 2003. Keanekaragaman hayati laut, Aset pembangunan berkelanjutan
Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Griffith and Innis. 1992. Small Island Charateristics and their constrain is Sustainable
Development.
Luntungan, R. 2000. Pengaturan Konvensi Hukum Laut 1982 dalam kaitannya dengan
Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan Filipina. Tesis.
Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Bandung.
Maarif, M.S. 2007. Pulau-Pulau Kecil Terluar: Ancaman dan Tantangan. Humas
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen
Kelautan dan Perikanan.
Marimin. 1999. Penyelesaian persoalan AHP dengan Criterium Decision Plus. Jurusan
Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian. IPB Bogor.
Monintja, D.R. 1996 Pemenfaatan Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia : Suatu
Tantangan Nasional, Orasi Ilmiah, IPB Bogor.
16
Nikijuluw, P.H. 2008. Blue Water Crime : Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal. PT.
Pustaka Cidesindo Jakarta.
PP] Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
Terluar.
Rangkuti. 1997. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis.Gramedia. Jakarta.
Saaty, T.L. 2003. Pengambilan Keputusan bagi para pemimpin, Proses Hirarki Analitik
untuk pegambilan keputusan dalam situasi dan kompleks. PT. Pustaka Binaman
Pressindo Jakarta.
Salindeho, W., Sombowadile,P. 2008. Kawasan Sangihe-Talaud-Sitaro : Daerah
Perbatasan Keterbatasan Pembatasan. Fuspad Jogya.
Soeprapto, M.F.I. 1998. Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya.
Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
[UU] Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
[UU] Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation
Convention on the Law of the Sea 1982.
[UU] Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
[UU] Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.