You are on page 1of 16

1

DELIMITASI ZONA EKONOMI EKSKLUSIF SEBAGAI STRATEGI PENGELOLAAN


PULAU-PULAU KECIL TERLUAR DI PROVINSI SULAWESI UTARA 1
(Delimitation of Exclusive Economic Zone as Managing Strategies for
the Outermost Small Islands in the North Sulawesi Province)1

Denny B.A. Karwur2, Dietriech G. Bengen3, Rokhmin Dahuri4, Daniel R.


Monintja5, Victor Ph. Nikijuluw6 dan Maria F. Indrati7.

ABSTRACT
Small islands border region has a tremendous potential in supporting national
development. The determination of management policy is very important because of the
strategic of border marine resources existence. The islands in the border regions of the
country are vulnerable to the intervention of other countries and transnational crimes. The
concept of development policy of small islands in Indonesia must be planned and
implemented in an integrated manner for the development and welfare of the nation. The
northern regions, i.e. the North Sulawesi Province, that locates next to the Philippines is
important for the integrity of the management of small islands and border areas and of law
enforcement in Indonesia. Target elements, elements and strategies explain the
Delimitation of the Nation Borders between Indonesia and the Philippines, in particular the
Exclusive Economic Zone (EEZ) that overlaps each other, to optimize the management of
natural resources. Draft of Law of Small Islands State Border and the provision of local
government authority to carry out assistance duty of border management and stating
Small Islands in the border regions as state islands and given a special certificate.

Keywords: Coastal Law, Delimitation of EEZ of Indonesia, Certificate of State Island

I. Pendahuluan
Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara kepulauan
(archipelagic state) yang berciri Nusantara mempunyai kedaulatan atas wilayah
serta memiliki hak-hak berdaulat di luar wilayah kedaulatannya untuk dikelola dan
dimanfaatkan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat Indonesia. Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 Pasal 25A mengamanatkan
bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah sebuah negara kepulauan yang
batasnya secara geografis berada pada posisi silang antara Samudra Pasifik dan
Samudra Hindia dengan panjang pantai 95.181 km2 dan dengan wilayah laut seluas
5,8 juta km2 serta terdiri dari sekitar 17.480 pulau, beserta semua ekosistem laut
tropis produktif. Wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil Indonesia memiliki
keanekaragaman habitat yang sangat tinggi, memiliki potensi sumberdaya alam dan

1
Makalah ini merupakan bagian dari Disertasi yang disampaikan pada Seminar Sekolah Pascasarjana IPB
2
Mahasiswa Program Doktor SPs IPB Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan
3
Ketua Komisi Pembimbing Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
4
Anggota Komisi Pembimbing Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
5
Anggota Komisi Pembimbing Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB
6
Anggota Komisi Pembimbing Direktur Usaha dan Investasi Departemen Kelautan dan Perikanan RI
7
Anggota Komisi Pembimbing Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Hakim Mahkamah Konstitusi.
2

jasa-jasa lingkungan kelautan yang sangat besar, yang dapat pulih (renewable
resources), dan tidak dapat pulih (non-renewable resources).

Ekosistem wilayah pesisir dan laut merupakan lokasi beberapa ekosistem yang
unik dan saling terkait dinamis dan produktif. Ekosistem utama yang secara permanen
ataupun secara berkala tertutup air dan terbentuk melalui proses alami antara lain
ekosistem terumbu karang (coral reef), ikan (fish), rumput laut (seaweed), padang lamun
(seagrass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach), hutan
mangrove (mangrove forest), estuaria, laguna, delta dan pulau-pulau kecil.
Pulau-pulau kecil memiliki potensi sangat besar dalam menunjang pembangunan
nasional sehingga penentuan kebijakan pemanfaatan karena keberadaan (eksistensi)
sumberdaya kelautan menjadi strategis. Oleh karena itu konsep kebijakan pembangunan
pulau-pulau kecil di Indonesia yang direncanakan, berdasarkan azas kelestarian alam dan
keberlanjutan lingkungan yang ada; sehingga penting untuk pengembangan berbagai
aktivitas pembangunan secara terpadu di pulau-pulau kecil menjadi faktor pendukung
pulau-pulau kecil Indonesia secara berkelanjutan.
Berpijak dari kerangka pemikiran bahwa pengelolaan pulau-pulau kecil terluar
sangat strategis sehingga penelitan tentang perbatasan negara serta pengelolaan pulau
kecil dikaitkan dengan kebijakan dan penegakan hukum, perlu diteliti dengan
menganalisis potensi dan permasalahannya yang mencakup aspek sumberdaya alam,
sosial, ekonomi, budaya, hukum dan kelembagaan termasuk pertahanan dan keamanan.
Secara umum permasalahan yang ada di wilayah pesisir dan laut termasuk pulau-
pulau kecil dapat disebut sebagai suatu penyakit yang kronis karena kegiatan eksploitasi
sumberdaya dan pemanfaatan sudah berlangsung sejak dahulu, dan tidak
memperhatikan keberlanjutan sumberdaya dan lingkungan, antara lain: sektor perikanan
laut, pertambangan, pemukiman, kepelabuhanan, kepariwisataan dan lain-lain, sehingga
kegiatan yang melampaui daya dukung lingkungan menyebabkan konflik dan penyakit
pesisir (coastal disease).
Kawasan Perbatasan merupakan kawasan strategis dalam menjaga integritas
Wilayah Negara, maka diperlukan juga pengaturan secara khusus. Pengaturan batas-
batas Wilayah Negara dimaksudkan untuk memberikan kepastian hukum mengenai
ruang lingkup wilayah negara, kewenangan pengelolaan Wilayah Negara, dan hak–hak
berdaulat. Negara berkepentingan untuk ikut mengatur pengelolaan dan pemanfaatan di
laut bebas dan dasar laut internasional sesuai dengan hukum internasional. Pemanfaatan
3

di laut bebas dan di dasar laut meliputi pengelolaan kekayaan alam, perlindungan
lingkungan laut dan keselamatan navigasi. Pengelolaan Wilayah Negara dilakukan
dengan pendekatan kesejahteraan, keamanan dan kelestarian lingkungan secara
bersama-sama. Pendekatan keamanan dalam arti pengelolaan Wilayah Negara untuk
menjamin keutuhan wilayah dan kedaulatan negara serta perlindungan segenap bangsa.
Pemerintah dan Pemerintah Daerah menjadi sangat penting terkait dengan pelaksanaan
fungsi-fungsi pemerintahan sesuai dengan prinsip otonomi daerah dalam mengelola
pembangunan.

II. Metode Penelitian


2.1 Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Kabupaten Kepulauan Sangihe dan Kabupaten Kepulauan
Talaud di Provinsi Sulawesi Utara. Lokasi yang dipilih untuk penelitian sangat menarik
karena berbatasan langsung dengan negara Filipina.

Gambar 1 Peta Batas Maritim Indonesia-Filipina / Pulau Miangas dan Pulau Marore

2.2 Metode Analytical Hierarchy Process (AHP)


Analisis kebijakan menggunakan Analytical Hierarchy Process (AHP) untuk
pengambilan keputusan yang dikembangkan oleh Thomas L. Saaty. Metode ini
menstrukturkan masalah dalam bentuk hirarki dan memasukkan pertimbangan-
pertimbangan untuk menghasilkan skala prioritas relatif. (Saaty 2003). Perumusan
4

masalah menghasilkan informasi mengenai kondisi-kondisi yang menimbulkan masalah


kebijakan.

Tabel 1 Penetapan alternatif sasaran rancangbangun hukum dan pelaksanaannya

No Sasaran Alternatif
1 Pilihan rancang bangun hukum Perundang-undangan
dan pelaksanaannya 1.1 Internasional
1.2 Nasional
1.3 Regional
1.4 Kearifan lokal, adat / tradisional
2 Pilihan pengelolaan pulau-pulau 2.1 Pola konservasi
kecil 2.2 Pola adat istiadat
2.3 Pola usaha
3 Pilihan target pengelolaan 3.1 Pasar lokal / nasional
sumberdaya 3.2 Swadaya masyarakat
3.3 Investasi
3.4. Swakelola
4 Pilihan kelembagaan 4.1 Pola konservasi
4.2 Pola pemberdayaan
4.3 Pola kemitraan
5 Pilihan hukum 5.1 Kebijakan nasional
5.2 Kebijakan regional
5.3 Kebijakan sektoral
5.4 Adat kebiasaan/tradisional

2.3 Metode Analisis SWOT


Analisa SWOT sebagai alat formulasi strategis, Analisa SWOT adalah identifikasi
berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan strategi. Analisa ini didasarkan pada
logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (Strenggths) dan peluang (Opportunities),
namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan (Weaknesses) dan ancaman
(Threats). Proses pengambilan keputusan strategis selalu berkaitan dengan
pengembangan misi, tujuan,strategi, dan kebijakan pemerintah dalam bidang hukum.
Dengan demikian perencana strategis (strategic planner) harus menganalisa faktor-faktor
strategis pemerintah (kekuatan, kelemahan,peluang dan ancaman) dalam kondisi yang
ada saat ini. Hal ini disebut dengan Analisis Situasi. Model yang paling populer untuk
analisis situasi adalah Analisis SWOT (Rangkuti, 1997).Kebijakan pemerintah dan
pemerintah daerah dalam menentukan strategi kebijakan pulau-pulau kecil terluar di
wilayah perbatasan negara. Berdasarkan analisa SWOT, dapat mengambil keputusan
penentuan Strategi Wilayah Negara di Zona Ekonomi Eksklusif khususnya antara negara
Indonesia dan Filipina.
5

2.4 Diaknosa dan Terapi Analisis Hukum


Pendekatan hukum menggunakan analisis: Diagnosis and Therapy Analisys of
Law (DTAL), secara kualitatif terhadap peraturan perundang-undangan nasional,
regional dan adat (tradisonal) termasuk hukum internasional yang diratifikasi.Data hukum
yang diperoleh dalam penelitian dianalisis dengan DTAL melalui pendekatan-pendekatan,
yaitu: (1) Pendekatan historis (historical approach), (2) Pendekatan undang-undang
(statue approach), (3) Pendekatan kasus (case approach), (4) Pendekatan komparatif
(Comparative approach) dan (5) Pendekatan konseptual (conceptual approach).

III. KAJIAN PUSTAKA


3.1 Hukum Laut Indonesia
Kedudukan Indonesia sebagai negara kepulauan (archipelagic state) telah diakui
sejak Indonesia meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tanggal 31
Desember 1985 melalui Undang-Undang No.17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United
Nations Convention on the Law of the Sea 1982. Konvensi ini telah memberi pengakuan
terhadap status Indonesia sebagai suatu negara kepulauan, dengan menetapkan batas-
batas terluar dari berbagai zona maritim, dengan batas-batas maksimum yang ditetapkan
sebagai berikut:
 Laut teritorial sebagai bagian dari wilayah negara: 12 mil laut
 Zona tambahan dimana negara memiliki yuridiksi khusus: 24 mil laut
 Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE): 200 mil laut, dan
 Landas kontinen: antara 200-350 mil laut atau sampai dengan 100 mil laut dari
isobath (kedalaman) 2.500 meter.

Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) dan Landas Kontinen (LK) Indonesia memiliki hak-
hak berdaulat untuk memanfaatkan kekayaan sumberdaya. Sebagai negara kepulauan
Indonesia berhak untuk menetapkan perairan kepulauan pada sisi dalam dari garis-garis
pangkal kepulauannya dan perairan pedalaman pada perairan kepulauannya, dan pada
zona maritim harus diukur dari garis-garis pangkal atau garis dasar.
Dengan diundangkannya Undang-Undang No. 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia pada tanggal 8 Agustus 1996, maka secara tegas telah menetapkan batas-
batas terluar (outer limit) kedaulatan dan yuridiksi Indonesia di laut, termasuk memberikan
dasar dalam menetapkan garis batas (boundary) dengan negara-negara tetangga yang
6

berbatasan. Undang-undang tersebut telah dilengkapi dengan Peraturan Pemerintah No.


38 Tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-titik Pangkal Garis Pangkal
Kepulauan Indonesia.
Indonesia sebagai negara kepulauan, dalam arti laut mempunyai makna sebagai
satu kesatuan wilayah, memiliki dua aspek utama yaitu keamanan (security) dan
kesejahteraan (prosperity), sehingga penetapan batas-batas terluar wilayah sebagai
yuridiksi negara di laut dengan negara-negara yang bertetangga perlu dilaksanakan.
Penetapan batas merupakan kepastian hukum yang dapat menunjang berbagai kegiatan
pembangunan nasional dibidang pertahanan keamanan, perikanan, pariwisata,
pelayaran, pertambangan seperti: eksplorasi dan eksploitasi mineral-gas dasar laut dan
tanah di bawahnya, termasuk harta warisan muatan kapal tenggelam, dan lain
sebagainya. Penyempurnaan batas-batas wilayah dan yuridiksi negara di laut harus dapat
menunjukkan tegaknya wibawa Republik Indonesia sebagai negara yang merdeka dan
berdaulat, terwujudnya rasa aman, perekonomian dan teknologi yang maju untuk
meningkatkan kesejahteraan masyarakat melalui pengelolaan wilayah pesisir dan laut
terpadu.

3.2 Pulau dan pulau-pulau kecil


Definisi pulau dalam pasal 121 UNCLOS, adalah daratan yang dibentuk secara
alamiah yang dikelilingi oleh air dan yang ada di atas permukaan air pada air pasang.
Sedangkan definisi pulau sebagaimana yang tercantum dalam Undang-undang Nomor
17 tahun 1985 (Bab VIII Pasal 121 ayat 1) bahwa: Pulau adalah massa daratan yang
terbentuk secara alamiah, dikelilingi oleh air dan selalu berada/muncul di atas permukaan
air pasang tinggi. Sedangkan, pulau-pulau kecil secara harafiah merupakan kumpulan
pulau berukuran kecil yang secara fungsional saling berinteraksi dari sisi ekologi,
ekonomi, sosial dan budaya. Interaksi ini menyebabkan pulau-pulau kecil tersebut
terpisah dari pulau induknya (mainland). Karakteristik pulau-pulau kecil yang sangat
menonjol menurut Griffith dan Inniss (1992) serta Beller, 1990) adalah:
 terpisah dari habitat pulau induk sehingga bersifat insuler
 memiliki persediaan air tawar yang sangat terbatas, termasuk air tanah atau air
permukaan
 rentan terhadap gangguan eksternal, baik alami maupun akibat kegiatan manusia
 memiliki spesies endemik yang memiliki fungsi ekologi yang tinggi, dan
7

 tidak memiliki daerah hinterland.

Pulau-pulau kecil (PPK) juga mempunyai peran yang sangat penting bagi
manusia, seperti mempengaruhi iklim global, siklus hidrologi, biogeokimia, dan penyerap
limbah (Dahuri 1998). Pulau-pulau kecil tersebut juga memberikan manfaat lain bagi
kehidupan manusia seperti pemanfaatan jasa lingkungan untuk kegiatan usaha
pariwisata, budidaya perairan yang dapat menambah pendapatan dan devisa, serta
sebagai tempat yang menyimpan plasma nuftah.

3.3 Potensi Pulau-Pulau Kecil Terluar


Pulau-pulau kecil terluar merupakan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang berbatasan dengan negara tetangga, sehingga keberadaannya
mempunyai arti yang strategis dalam proses pembangunan. Menurut Dahuri (1998),
potensi pulau-pulau perbatasan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) potensi
sumberdaya alam dan jasa lingkungan, (2) potensi ekonomi, dan (3) potensi sebagai
bisnis pertahanan negara.
Permasalahan yang terjadi di pulau-pulau kecil terluar adalah kondisinya yang
relatif terisolasi dan jauh dari pulau induk, terbatasnya sarana dan prasarana
perekonomian seperti : jalan raya, pelabuhan, pasar, penerangan listrik, lembaga
perbankan, sehingga kesejahteraan dan pendapatan masyarakat rendah, kualitas
sumberdaya manusia rendah akibat kurangnya fasilitas pendidikan, informasi dan
komunikasi serta fasilitas kesehatan (Bengen 2004).
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil di wilayah sesuai dengan
Pasal 5 dan 6 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007, meliputi kegiatan perencanaan,
pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian terhadap interaksi manusia dalam
memanfaatkan Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta proses alamiah secara
berkelanjutan dalam upaya meningkatkan kesejahteraan Masyarakat dan menjaga
keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil wajib dilakukan dengan cara
mengintegrasikan kegiatan: (a). antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah; (b). antar
Pemerintah Daerah; (c). antar sektor; (d). antara Pemerintah, Dunia Usaha, dan
Masyarakat; (e). antara Ekosistem darat dan Ekosistem laut; dan (f). antara ilmu
pengetahuan dan prinsip-prinsip manajemen.
8

IV. Hasil dan Pembahasan


Pulau-pulau kecil terluar merupakan wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yang berbatasan dengan negara tetangga, sehingga keberadaannya
mempunyai arti yang strategis dalam proses pembangunan. Potensi pulau-pulau
perbatasan dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) potensi sumberdaya alam dan
jasa lingkungan, (2) potensi ekonomi, dan (3) potensi pertahanan negara.

4.1 Hasil Analisis Evaluasi Faktor Eksternal


Evaluasi faktor eksternal dilakukan dengan memberikan bobot, peringkat dan skor
pada masing-masing faktor. Matriks evaluasi faktor eksternal dapat dilihat pada Tabel 1
berikut :
Tabel 1 Matriks Evaluasi Faktor Eksternal
FAKTOR INTERNAL BOBOT PERINGKAT SKOR
PELUANG
Kebijakan nasional mendorong investasi 0.107 0.533 0.272
Kebijakan pemerintah dalam pemberian otoritas pengelolaan wilayah 0.115 2.133 0.246
Meningkatnya kebutuhan pasar lokal dan internasional terhadap hasil 0.099 2.267 0.225
sumber daya alam
Konvensi Internasional terhadap hukum laut Indonesia 0.105 2.733 0.288
Kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara tetangga 0.113 2.933 0.332
Kebijakan pemerintah untuk membentuk kelembagaan dalam 0.121 3.000 0.363
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.
Jumlah 1.726

ANCAMAN
Belum ada penetapan batas laut yang disepakati bersama (ZEE) 0.113 1.733 0.197
Masih lemahnya respon pengawasan perbatasan laut antar negara 0.126 1.733 0.218
Adanya konflik kepentingan antar stakeholer dalam pengelolaan pulau- 0.099 2.000 0.199
pulau kecil terluar.
Jumlah 0.613
Total 2.339

Berdasarkan Tabel 1, nilai skor faktor eksternal pengelolaan pulau-pulau kecil


terluar di provinsi Sulawesi Utara adalah 2.339. Tingkat kepentingan yang paling atas dari
faktor eksternal adalah respon pengawasan perbatasan laut antar negara yaitu mendapat
bobot 0.126. Respon pengawasan yang masih lemah ini perlu diperbaiki dengan
penegakan perangkat hukum dan peningkatan kapasitas kelembagaan pada unit kerja
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dari tingkat Desa, Kecamatan, Kabupaten/Kota,
Provinsi, sampai tingkat Nasional. Pengawasan dan penegakan hukum sangat
dibutuhkan agar dapat diperoleh suatu kepastian hukum dalam menjaga kepentingan
negara dari gangguan asing. Sementara itu kapasitas pada bidang kelembagaan
penegakan hukum pengelolaan pulau-pulau kecil terluar perlu ditingkatkan sehingga
9

terwujud penegakan peraturan perundangan, pengawasan, pemantauan, pengamanan,


dan pertahanan keamanan baik wilayah maupun sumberdaya.
Faktor eksternal di atas juga didukung oleh kebijakan pemerintah untuk
membentuk kelembagaan dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar yang merupakan
prioritas kedua dari faktor eksternal yang dapat dimanfaatkan untuk peningkatan
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di provinsi Sulawesi Utara dengan bobot 0.121.
Dengan kelembagaan yang dibentuk berdasarkan Peraturan Presiden No 78 Tahun
2005 diharapkan setiap lembaga yang terkait mampu melakukan koordinasi kelembagaan
yang efektif dan mampu memainkan peran sesuai kewenangannya.
Faktor eksternal lain yang merupakan peluang dalam peningkatan pengelolaan
pulau-pulau kecil terluar antara lain kebijakan nasional mendorong investasi, kebijakan
pemerintah dalam pemberian otoritas pengelolaan wilayah, meningkatnya kebutuhan
pasar lokal dan internasional terhadap hasil sumber daya alam, konvensi Internasional
terhadap hukum laut Indonesia dan kerjasama bilateral antara Indonesia dengan negara
tetangga. Faktor-faktor ini dapat dimanfaatkan jadi peluang dan pendukung bagi
peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar, namun peranan untuk langsung
adalah dari aspek hukum dan kelembagaan. Kerjasama bilateral antara Indonesia dengan
negara tetangga khususnya Filipina. Disamping itu yang menjadi ancaman dalam
peningkatan pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah belum ada penetapan batas laut
yang disepakati bersama (ZEE) dengan bobot 0.113. Hal ini perlu untuk segera
diselesaikan dan disepakati dengan upaya-upaya politis dan diplomatis. Konflik
kepentingan antar stakeholer dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar dengan bobot
0.099 dapat menjadi ancaman dalam pengelolaan pulau-pulau kecil terluar sehingga
menimbulkan konflik karena tidak jelasnya kewenangan antar lembaga maupun antar
pemerintahan pusat dan daerah. Oleh karena itu, diperlukan keterpaduan dalam
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar.

4.2 Hasil Analisis Evaluasi Faktor Internal


Evaluasi faktor internal dilakukan dengan memberikan bobot, peringkat dan skor
terbobot. Bobot menunjukkan tingkat kepentingan. Matriks evaluasi faktor internal dapat
dilihat pada Tabel 2 berikut :
Tabel 2 Matriks Evaluasi Faktor Internal
FAKTOR INTERNAL BOBOT PERINGKAT SKOR
KEKUATAN
10

1. Adanya program dari pemerintah daerah untuk pembangunan


pulau-pulau kecil terluar 0.119 3.133 0.373
2. Posisi geografis yang cukup strategis 0.105 3.200 0.335
3. Sumber daya alam dan jasa lingkungan kelautan yang besar 0.105 2.667 0.279
Jumlah 0.987
KELEMAHAN
Keterpencilan pulau-pulau kecil terluar 0.100 2.200 0.220
Terbatasnya sarana dan prasarana perekonomian. 0.115 2.133 0.245
Terbatasnya sarana prasarana sosial 0.113 2.067 0.234
Lemahnya koordinasi antar lembaga 0.116 2.200 0.256
Belum adanya UU yang khusus mengenai pulau-pulau kecil terluar 0.103 2.133 0.219
Kontrol Pendanaan yang lemah 0.125 2.067 0.258
Jumlah 1.431
Total 2.418

Berdasarkan Tabel 2, total skor faktor strategis internal mendapatkan angka


2.418. Hal ini menunjukkan bahwa faktor strategis internal berada pada posisi lemah.
Dengan demikian keadaan faktor internal pengelolaan pulau-pulau kecil terluar di provinsi
Sulawesi Utara lemah.
Faktor kekuatan internal yang dipandang memiliki peran yang besar dalam
pengelolaan pulau-pulau kecil terluar adalah adanya program dari pemerintah daerah
untuk pembangunan pulau-pulau kecil terluar dengan bobot 0.119. Program dari
pemerintah yang telah ditetapkan untuk pembangunan pulau-pulau kecil menjadi
pendorong dan dukungan bagi lembaga terkait dalam meningkatkan pengelolaan pulau-
pulau kecil terluar secara berkelanjutan. Namun faktor kekuatan internal di atas sangat
terkait dengan faktor kelemahan internal yang memiliki tingkat kepentingan pertama yaitu
kontrol pendanaan yang lemah dengan bobot 0.125. Faktor pendanaan menjadi penting
karena merupakan anggaran bagi kegiatan-kegiatan pengelolaan wilayah pulau-pulau
kecil terluar dan pembangunan sarana dan prasarana. Keterbatasan sarana dan
prasarana baik sosial dan ekonomi menjadi faktor kelemahan yang cukup dominan
dengan bobot 0.113 dan 0.115. Adanya sarana dan prasarana yang dilakukan dengan
penyediaan perangkat-perangkat infrastruktur merupakan pendukung pengembangan
pulau-pulau kecil terluar dan sangat berpengaruh terhadap kelancaran terlaksananya
program-program pembangunan.

4.3 Hasil Diagnosa dan Terapi Analisis Hukum


Penyusunan Kebijakan Kelautan Nasional dilandaskan pada peraturan
perundangan dan kebijakan terkait sejalan dengan perkembangan sejarah bangsa
Indonesia dalam upaya mengatur dan menata kehidupan berbangsa dan bernegara.
Analisis hukum dilakukan dengan 5 (lima ) pendekatan yaitu : (1) Pendekatan historis
(historical approach), (2) Pendekatan undang-undang (statue approach), (3) Pendekatan
11

kasus (case approach), (4) Pendekatan komparatif (Comparative approach) dan (5)
Pendekatan konseptual (conceptual approach).
Sejarah Kerajaan Tabukan merupakan kerajaan tertua di abad 15 di Sangihe dan
Talaud, Kerajaan di Sangihe hingga permulaan abad 20 mencakup wilayah pulau-pulau
Talaud.yaitu Kerajaan Tabukan, Manganitu, Kendahe-Tahuna Siau dan Tagulandang.
Kerajaan yang wilayahnya sampai ke Filipina adalah Kerajaan Kendahe, di Mindanao
yaitu Kerajaan Mindanau Kubis. Kerajaan Kendahe pisah dari Tubis meliputi Bahu,
Talawid, Kendahe, Kolongan, Batuwukala dan pulau-pulau sekitarnya termasuk Kawio,
Lipang, Miangas sampai Mindanau Selatan. Spanyol menguasai Filipina sampai wilayah
selatan di Zamboanga (1635), untuk mengontrol pelintasan perdagangan laut dari Maluku
tahun 1635, dan mempunyai benteng pertahanan di Pulau Siau sebagai pelabuhan
penghubung dan alur pelayaran Manila ke Maluku san sebaliknya.
Sesudah tahun 1663 Spanyol mempunyai target untuk menguasai bangsa
pribumi di Mindanao sampai Pulau-Pulau Selatan Filipina, sementara Belanda
memperkuat kedudukannya di utara Indonesia, khususnya Maluku (1663) dan Sulawesi
Utara (1664). Belanda menguasai pulau Miangas sejak tahun 1677 sampai bubarnya
VOC 1799, kemudian Filipina sejak 1891 memasukkan Miangas ke dalam wilayahnya
dengan nama La Palmas dalam peta Filipina. Belanda mengajukan masalah Miangas ke
Mahkamah Arbitrase Internasional dengan hakim Max Huber pada tanggal 4 April 1928
kemudian memutuskan Miangas menjadi milik sah Belanda (Hindia Belanda). Filipina
kemudian menerima keputusan tersebut. Perbatasan dengan Filipina, khususnya di
sebelah Selatan Mindanao antara Pulau Merampit, Mianggas, dan Marore yang oleh
Filipina dianggap berada di dalam perairan yang termasuk dalam persetujuan Amerika-
Spanyol 1898, dikembalikan kepada Belanda. Konferensi Meja Bundar adalah sebuah
pertemuan antara pemerintah Republik Indonesia dan Belanda yang dilaksanakan di Den
Haag, Belanda dari 23 Agustus hingga 2 November 1949.
Salah satu hasil dari Konferensi Meja Bundar (KMB) adalah Serah terima
kedaulatan dari pemerintah kolonial Belanda kepada Republik Indonesia Serikat, kecuali
Papua Barat. Wilayah Indonesia di dalam perkembangannya mengalami pertambahan
luas yang sangat besar. pertama kali dengan Territoriale Zee en Maritime Kringen
Ordonantie(TZMKO)1939. Selanjutnya Pemerintah RI memperjuangkan konsepsi
Wawasan Nusantara mulai dari Deklarasi Djuanda, berbagai perundingan dengan negara
12

tetangga, sampai pada akhirnya konsep Negara Kepulauan diterima di dalam Konvensi
Hukum Laut PBB 1982 (United Nation Convention on the Law of the Sea/UNCLOS ’82).
Berdasarkan konsepsi TZMKO tahun 1939, lebar laut wilayah perairan Indonesia
hanya meliputi jalur-jalur laut yang mengelilingi setiap pulau atau bagian pulau Indonesia
yang lebarnya hanya 3 mil laut. Sedangkan menurut UUD 1945, wilayah negara
Indonesia tidak jelas menunjuk batas wilayah negaranya. Wilayah negara proklamasi
adalah wilayah negara ex kekuasaan Hindia Belanda, hal ini sejalan dengan prinsip
hukum internasional uti possidetis juris. Dan selain itu, UUD 1945 tidak mengatur tentang
kedudukan laut teritorial.
Produk hukum mengenai laut teritorial baru dilakukan secara formal pada tahun
1958 dalam Konvensi Geneva. Pada tahun 1957, Pemerintah Indonesia melalui Deklarasi
Djuanda, mengumumkan secara unilateral /sepihak bahwa lebar laut wilayah Indonesia
adalah 12 mil.
Dengan UU No. 4/Prp tahun 1960 tentang Wilayah Perairan Indonesia ditetapkan
ketentuan tentang laut wilayah Indonesia selebar 12 mil laut dari garis pangkal lurus.
Perairan Kepulauan ini dikelilingi oleh garis pangkal yang menghubungkan titik-titik terluar
dari Pulau Terluar Indonesia. Semenjak Deklarasi Djuanda, Pemerintah Indonesia terus
memperjuangkan konsepsi Wawasan Nusantara di dalam setiap perundingan bilateral,
trilateral, dan multilateral dengan negara-negara di dunia ataupun di dalam setiap forum-
forum internasional. Puncak dari diplomasi yang dilakukan adalah dengan diterimanya
Negara Kepulauan di dalam UNCLOS 1982. Melalui UU No.17 tahun 1985, Pemerintah
Indonesia meratifikasi/mengesahkan UNCLOS 1982 tersebut dan resmi menjadi negara
pihak.
Sebagai tindak lanjut dari pengesahan UNCLOS 1982, Pemerintah Indonesia
telah menerbitkan UU No. 6 tahun 1996 tentang Perairan Indonesia dan Peraturan
Pemerintah No. 38 tahun 2002 tentang Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis
Pangkal Kepulauan Indonesia. Dua Landasan hukum tersebut, khususnya PP No.38
tahun 2002, telah memagari wilayah perairan Indonesia yang sejak dicabutnya UU No. 4
Prp tahun 1960 melalui UU No.6 tahun 1996. Selanjutnya dengan diundangkannya UU
No 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara Indonesia tidak memiliki batas wilayah
perairan yang jelas. Bagi Indonesia, UNCLOS 1982 merupakan tonggak sejarah yang
sangat penting, yaitu sebagai bentuk pengakuan internasional terhadap konsep Wawasan
Nusantara yang telah digagas sejak tahun 1957.
13

Kondisi wilayah pulau-pulau terluar di Indonesia sangat kompleks ditinjau dari


aspek pengelolaan sumberdaya dan yang ada terutama dihubungkan dengan kegiatan
pengembangan pembangunan di pulau-pulau kecil. Potensi-potensi yang dimiliki oleh
pulau-pulau terluar sangatlah baik, unik, karena apabila tidak dilindungi sangat berpotensi
konflik baik antar warga masyarakat maupun antar kabupaten/kota, provinsi dan bahkan
antar Negara.
Penataguna penyusunan suatu pola rancangan hukum pulau-pulau kecil terluar di
wilayah Indonesia menjadi fokus dimana secara geografis berbatasan langsung antara
Negara Indonesia dan Negara Filipina, di Provinsi Sulawesi Utara. Batas maritim
Indonesia – Filipina sampai saat ini belum ditetapkan, pertemuan-pertemuan bilateral
yang melibatkan kedua negara dalam rangka batas maritim masih terus dilakukan,
dengan agenda-agenda yang resmi untuk mecapai kesepakatan bersama. Kedudukan
geografis negara Indonesia dan Filipina masih bermasalah, sehingga perjanjian
perbatasan yang harus di buat adalah Zona Tambahan, Zona Ekonomi Eksklusif dan
Landas Kontinen.
Hal ini disebabkan jarak pulau terluar kedua negara lebih dari 24 mil laut. Panjang
garis batas landas kontinen maupun garis batas Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia -
Filipina di Laut Sulawesi lebih kurang 510 mil laut, dan luas Zona Ekonomi Eksklusifnya
sekitar 81.980 mil laut persegi. Jarak terlebar antara pantai yang berhadapan sekitar 315
mil laut dan jarak terpendek 39 mil laut antara Pulau Marore di Indonesia dan Pulau
Saranggani di Filipina. Pemerintah Indonesia terus menunjukkan juridiksi teritorial di
kawasan perbatasan Pulau Miangas di Kabupaten Kepulauan Talaud, dan Pulau Marore
di Kepulauan Kabupaten Sangihe, Sulawesi Utara, terutama dilakukan melalui
pembangunan ekonomi (prosperity aproach). Perhatian serius yang dicurahkan oleh
Pemerintah Pusat sehinga tidak menjadi persoalan krusial di kemudian hari.
Undang-Undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara. Dalam Pasal 1
butir 9 disebutkan bahwa landas kontinen Indonesia adalah meliputi dasar laut dan tanah
di bawahnya dari area di bawah permukaan laut yang di luar laut territorial,sepanjang
kelanjutan alamiah wilayah daratan hingga pinggiran luar tepi kontinen, atau hingga suatu
jarak 200 mil laut dari garis pangkal dimana lebar laut territorial diukur, dalam hal pinggiran
luar tepi kontinen tidak mencapai jarak tersebut, hingga paling jauh 350 mil laut sampai
dengan jarak 100 mil laut dari garis kedalaman 2500 meter. Menyikapi ketentuan Pasal 1
butir 9 tersebut maka ketentuan tentang batas landas kontinen tersebut masih belum
14

dapat dilaksanakan atau dijadikan acuan sepenuhnya. Artinya masih memungkinkan


terjadinya konflik tentang pengakuan wilayah Indonesia dengan Negara tetangga.
Berdasarkan hasil yang diharapkan maka ditemukan konsep Delimitasi Zona
Ekonomi Eksklusif Indonesia sebagai Strategi Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil di daerah
perbatasan negara dan konsep peraturan perundang-undangan yang khusus mengatur
tentang pulau-pulau kecil terluar perbatasan negara.

V. Kesimpulan dan Saran


5.1 Kesimpulan
Rancangbangun hukum pulau-pulau perbatasan merupakan bagian penting dari
ketahanan negara. Dasar hukum wilayah negara telah diatur dalam UU Nomor 43 Tahun
2008 tentang Wilayah Negara yang menjadi dasar hukum untuk diketahui masyarakat
internasional, terutama negara-negara yang berbatasan dengan Indonesia, bahwa
wilayah negara Kesatuan Republik Indonesia. Berdasarkan uraian tersebut diatas, maka
Peneliti dapat mengemukakan sejumlah simpulan, sebagai berikut :
1. Pembangunan kelautan Indonesia adalah bagian integral dari pembangunan
nasional, dan juga pembangunan kedaulatan dan yurisdiksi nasional di laut, untuk
didayagunakan dan dimanfaatkan bagi kesejahteraan bangsa Indonesia.
2. ZEE sebagai konsep yang dikembangkan oleh negara-negara Latin, adalah suatu
daerah sejauh 200 mil yang berada diluar laut teritorial dimana tiap negara berhak
melaksanakan hak dan yurisdiksinya.
3. Di wilayah ZEE yang terletak diantara negara Indonesia dan Filipina terjadi sejumlah
pelanggaran/kejahatan, baik pencurian ikan, penyeludupan maupun pelanggaran
lainnya.
4. Praktek negara tentang penetapan batas, wilayah ZEE antara Indonesia dan Filipina
dapat dilakukan dengan persetujuan dan berpedoman pada prinsip sama jarak
(equitable principles).
5. Kendala-kendala penetapan batas wilayah ZEE antara Indonesia dan Filipina, adalah
masalah teknis yuridis, hak-hak perikanan tradisional, rute navigasi, faktor sosio-
kuttural dan penetapan secara berbarengan antara ZEE dan landas kontinen.

5.2. Saran
15

Berdasarkan sejumlah simpulan tersebut, maka dapat dikemukakan beberapa


saran sebagai berikut :
1 Pemerintah Indonesia dan Filipina memperketat penjagaan keamanan wilayah
tersebut dari tindakan-tindakan pelanggaran/kejahatan yang terjadi.
2 Merintis segera dilakukannya perjanjian penetapan batas ZEE oleh pemerintah
Indonesia dan Filipina.
3 Peraturan perundang-undangan yang sudah ada dituangkan dalam bentuk peraturan
pelaksanaannya PP, Kepres, KepMen dan sebagainya, sebagai payung hukum yang
berlaku secara vertikal maupun secara horizontal
4. Konvensi Hukum Laut 1982 yang berlaku di Indonesia harus memiliki blueprint
pembangunan kelautan
5 Penerbitan Sertifikat Pulau Negara untuk pulau-pulau wilayah perbatasan.

Daftar Pustaka
Agoes, E.R. 2002. Status Perbatasan Wilayah Negara Republik Indonesia dengan
Negara Tetangga, Makalah Dialog Kebijakan Kelautan dan Perikanan
Internasional : Masa depan Perbatasan Indonesia – Singapura. Direktorat
Kelembangaan Internasional DKP.
Beller, W.1990. How to Sustain Small Island. In Beller, d’Ayala and P. Hein (Eds).
Sustainable Development and Environmental Management of Small Island.
Unesco, Paris.
Bengen, D.G. 2004. Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan Laut serta Prinsip
Pengelolaannya. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB Bogor.
Cicin-Sain, Billiana, Knecht, Robert W. 1998. Integrated Coastal and Ocean Management
: Concepts and Practices. Island Press, Washington DC.
Dahuri, R 1998. Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu, IPB
Bogor
Dahuri, R 2003. Keanekaragaman hayati laut, Aset pembangunan berkelanjutan
Indonesia, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Griffith and Innis. 1992. Small Island Charateristics and their constrain is Sustainable
Development.
Luntungan, R. 2000. Pengaturan Konvensi Hukum Laut 1982 dalam kaitannya dengan
Penetapan Batas Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan Filipina. Tesis.
Program Pascasarjana Universitas Padjadjaran. Bandung.
Maarif, M.S. 2007. Pulau-Pulau Kecil Terluar: Ancaman dan Tantangan. Humas
Direktorat Jenderal Kelautan, Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Departemen
Kelautan dan Perikanan.
Marimin. 1999. Penyelesaian persoalan AHP dengan Criterium Decision Plus. Jurusan
Teknologi Industri Pertanian Fakultas Teknologi Pertanian. IPB Bogor.
Monintja, D.R. 1996 Pemenfaatan Ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia : Suatu
Tantangan Nasional, Orasi Ilmiah, IPB Bogor.
16

Nikijuluw, P.H. 2008. Blue Water Crime : Dimensi Sosial Ekonomi Perikanan Ilegal. PT.
Pustaka Cidesindo Jakarta.
PP] Peraturan Presiden Nomor 78 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Pulau-Pulau Kecil
Terluar.
Rangkuti. 1997. Analisis SWOT Teknik Membedah Kasus Bisnis.Gramedia. Jakarta.
Saaty, T.L. 2003. Pengambilan Keputusan bagi para pemimpin, Proses Hirarki Analitik
untuk pegambilan keputusan dalam situasi dan kompleks. PT. Pustaka Binaman
Pressindo Jakarta.
Salindeho, W., Sombowadile,P. 2008. Kawasan Sangihe-Talaud-Sitaro : Daerah
Perbatasan Keterbatasan Pembatasan. Fuspad Jogya.
Soeprapto, M.F.I. 1998. Ilmu Perundang-undangan, Dasar-dasar dan Pembentukannya.
Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
[UU] Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia.
[UU] Undang-Undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan United Nation
Convention on the Law of the Sea 1982.
[UU] Undang-undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan
Pulau-Pulau Kecil.
[UU] Undang-undang Nomor 43 Tahun 2008 tentang Wilayah Negara.

You might also like