Professional Documents
Culture Documents
RINGKASAN
Pembangunan secara umum diartikan sebagai pemenuhan kesejahteraan individu yang meliputi
pendapatan per kapita, kebutuhan pendidikan, kesehatan, kualitas hidup termasuk kebutuhan akan
adanya harga diri. Dalam prakteknya perencanaan dan penyelenggaraan pembangunan sangat
dipengaruhi oleh cara pandang, hashab atau paradigma pembangunan yang dianut oleh para elit
pada masing-masing negara.
Paradigma yang berkembang dimulai dengan Teori Pembangunan Klasik yang terpecah menjadi
berbagai aliran dan menurunkan faham-faham kapitalisme dan sosialisme. Selanjutnya berkembang
pula teori-teori turunan seperti Teori Tahapan Linear, Teori Perubahan Struktural, Teori Revolusi
Ketergantungan Internasional, Tesis Pembangunan Dualistik, Teori Kontra Revolusi Neoklasik, dan
yang terakhir Paradigma Pembangunan Berkelanjutan.
Sejak kemerdekaan tahun 1945 pembangunan di Indonesia sendiri dapat dikatakan telah berganti-
ganti faham. Namun ada satu ciri yang khas, yaitu menerapkan teori-teori yang liberal namun dalam
situasi yang sangat sentralistik dan peranan pemerintah sangat dominan. Namun karena situasi local
spesific tidak terlalu dikenali dan didalami, selalu dihadapkan kepada keadaan dead lock baik di
masa Orde Lama maupun di masa Orde Baru.
HAKEKAT PEMBANGUNAN
Secara umum disepakati bahwa pembangunan adalah suatu proses perubahan yang mengarah
kepada peningkatan kesejahteraan manusia yang meliputi perbaikan tingkat hidup, kesehatan,
pendidikan, serta keadilan. Karena tumpuan dari proses perubahan tersebut adalah bidang ekonomi,
maka definisi dari pembangunan sering terfokus kepada definisi pembangunan ekonomi, yaitu: (1)
pemenuhan kesejahteraan individu yang sering diukur dalam bentuk pendapatan per kapita, (2)
pemenuhan kebutuhan pendidikan, kesehatan, dan kualitas hidup secara umum, dan (3) pemenuhan
akan adanya harga diri (self-esteem dan self-respect). (Goulet, 1971; Pearce and Warford, 1993).
Praktek-praktek perencanaan pembangunan sangat dipengaruhi oleh cara pandang, mazhab atau
paradigma pembangunan yang dianut oleh para elit dari masing-masing negara. Teori atau
paradigma tersebut dapat diklasifikasikan dan dirangkum sebagai berikut:
Teori Pembangunan Klasik memiliki tiga aliran, yaitu aliran-aliran Emile Durkheim, Max Weber,
dan Karl Marx.
a. Aliran Durkheim.
Menurut Durkheim pembangunan adalah proses perubahan masyarakat dalam dimensi kuantitatif
dan kualitatif, yaitu adanya perubahan orientasi masyarakat dari berfikir tradisional menjadi
modern. Karena itu akan terjadi perubahan tata nilai masyarakat dari yang berbasiskan solidaritas
mekanik menjadi solidaritas organik. Indikator yang bisa dilihat adalah tumbuh dan berkembangnya
organisasi-organisasi sosial ekonomi modern. Implikasi dari konsep pembangunan ini, masyarakat
berkembang secara bertahap sebagai berikut:
· Tahap Pra Industri: pada tahap ini hubungan sosial yang berkembang pada umumnya hanya terjadi
dalam kelompok masyarakat (isolasi fungsional);
· Tahap Industrialisasi: sebagai akibat dari proses industrialisasi maka terjadi perembesan (spill
over) struktur budaya modern dari pusat yang berada di kota ke daerah pinggiran yang berada di
pedesaan;
· Tahap Perkembangan: pusat secara terus menerus menyebarkan modernisasi sehingga tercapai
keseimbangan hubungan fungsional antara pusat dan pinggiran.
a. Aliran Weber.
Weber berpendapat bahwa pembangunan adalah perubahan orientasi masyarakat dari tradisional-
irasional menuju modern-rasional. Indikatornya adalah munculnya birokratisasi dalam setiap unsur
kehidupan yang dicapai melalui distribusi kekuasaan serta munculnya budaya oposisi di wilayah
pinggiran sebagai respon terhadap dominasi pusat yang berkepanjangan.
b. Aliran Marx.
Sedangkan menurut Karl Marx, pembangunan adalah perubahan sosial yang terjadi sebagai akibat
konflik sosial antar kelas, yang secara bertahap akan merubah kehidupan masyarakat. Esensi dari
teori ini adalah pembangunan akan mewujudkan masyarakat tanpa kelas (classless society) dan
materialisme sebagai hirarkinya. Berdasarkan teori Marx, masyarakat terbagi atas: (1) masyarakat
primitif, (2) masyarakat feodal, (3) masyarakat kapitalis, (4) masyarakat sosialis, dan (5)
masyarakat komunis.
Menurut Rostow, perubahan dari terbelakang (underdeveloped) menjadi maju (developed) dapat
dijelas dalam seri tahapan yang harus dilalui oleh semua negara. Sebelum suatu negara berkembang
menjadi negara maju, harus dilalui suatu tahap yang disebut tahap tinggal landas (take off). Teori ini
menyarankan agar negara-negara sedang berkembang (developing country) tinggal mengikuti saja
seperangkat aturan pembangunan tertentu untuk tinggal landas, sehingga pada gilirannya akan
berkembang menjadi negara maju. Prasyarat penting untuk dapat tinggal landas, suatu negara harus
mampu membangun pertanian, industri, dan perdaganganya sehingga mampu menghasilkan
pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Prasyarat penting lainnya adalah harus ada
mobilisasi tabungan dengan maksud untuk menciptakan investasi yang cukup untuk mempercepat
pertumbuhan ekonomi.
Teori Perubahan Struktural ini mempunyai dua model, yaitu Model Pembangunan Lewis dan Model
Perubahan Struktur dan Pola Pembangunan.
Dalam Model Pembangunan Lewis, perekonomian dianggap terdiri dari dua sektor: (1) Sektor
Tradisional, dengan ciri-ciri di pedesaan, subsisten, kelebihan tenaga kerja dan produktivitas
marjinalnya sama dengan nol; (2) Sektor Modern, dengan ciri-ciri di perkotaan, industri,
produktivitasnya tinggi, sebagai tempat penampungan tenaga kerja yang ditranfer sedikit demi
sedikit dari Sektor Tradisional. Model ini memfokuskan pada terjadinya proses pengalihan tenaga
kerja dan pertumbuhan ekonomi serta kesempatan kerja di Sektor Modern, yang dimungkinkan
dengan adanya perluasan lapangan kerja di Sektor Modern.
Model ini dikembangkan oleh Hollis Chenery yang menyarankan adanya perubahan struktur
produksi, yaitu pergeseran dari produksi barang pertanian ke produksi barang industri pada saat
pendapatan per kapita meningkat. Model ini menyatakan bahwa peningkatan tabungan dan investasi
perlu tetapi tidak harus cukup (necessary but not sufficient condition) untuk memungkinkan
terjadinya pertumbuhan ekonomi. Pola ini juga menyaratkan bahwa selain akumulasi modal fisik
dan manusia, diperlukan pula himpunan perubahan yang saling berkaitan dalam struktur
perekonomian suatu negara untuk terselenggaranya perubahan dari sistem ekonomi tradisional ke
sistem ekonomi modern. Perubahan struktur ini melibatkan seluruh fungsi ekonomi termasuk
tranformasi produksi dan perubahan dalam komposisi permintaan konsumen, perdagangan
internasional serta perubahan-perubahan sosial-ekonomi seperti urbanisasi, pertumbuhan dan
distribusi penduduk.
Pada dasawarsa 1970-an, teori dan model-model ketergantungan internasional kian mendapat
dukungan di Dunia Ketiga. Teori ini memadang bahwa negara-negara Dunia Ketiga telah menjadi
korban dari berbagai kelakuan kelembagaan politik dan ekonomi internasional maupun domestik.
Negara-negara Dunia Ketiga telah terjebak dalam hubungan ketergantungan dan dominasi oleh
negara-negara kaya. Teori ini mempunyai dua aliran, yaitu Model Ketergantungan Kolonial dan
Model Paradigma Palsu.
Teori Ketergantungan ini muncul sebagai antitesi terhadap Teori Modernisasi dan merupakan
variasi dari teori yang dikembangkan oleh Karl Marx (Marxian). Ketergantungan itu sendiri berarti
berarti situasi di mana ekonomi suatu negara dikondisikan oleh perkembangan dan ekspansi
ekonomi negara lain dan ekonomi negara tersebut tunduk padanya.
Tesis ini berlandaskan fenomena eksistensi ganda, yaitu adanya masyarakat yang kaya (superior)
dan adanya masyarakat yang miskin (inferior). Tesis ini memeiliki empat syarat:
· Dualisme merupakan prasyarat yang memungkinkan pihak yang superior dan inferior hidup
berdampingan pada suatu tempat dan waktu yang sama.
· Ko-eksistensi superior dan inferior bukan sesuatu yang bersifat transisional tetapi sesuatu yang
bersifar kronis.
· Superioritas dan inferioritas tidak menunjukan tanda-tanda melemah, bahkan keduanya cendrung
menguat untuk menjadi kekal.
· Saling keterkaitan antara unsur superioritas dan unsur inferioritas sehingga keberadaan unsur
superioritas sedikit atau sama sekali tidak meningkatkan unsur inferioritas.
Teori ini muncul pada dasawarsa 1980-an yang berhaluan konservatif yaitu politik yang dianut
Amerika, Kanada, Inggeris, dan Jerman Barat. Teori ini menyerukan agar diadakan swastanisasi
perusahaan-perusahaan milik pemerintah di negara-negara maju serta munculnya himbauan untuk
meninggalkan campur tangan pemerintah dalam perekonomian serta deregulasi di negara-negara
berkembang. Teori ini menegaskan bahwa keterbelakangan negara-negara berkembang bersumber
dari buruknya alokasi sumberdaya yang bertumpu pada kebijakan-kebijakan harga yang tidak tepat
dan campur tangan pemerintah yang berlebihan.
Proses kristalisai paradigma pembangunan berkelanjutan dimulai dari tahap perdebatan antara
pertumbuhan ekonomi dan kualitas lingkungan pada tahun 1960-an hingga tahun 1970-an.
Kemudian pada tahun 1980-an hingga awal tahun 1990-an mulai dikenal konsep dan argumen
pentingnya pembangunan berkelanjutan.
Pembangunan berkelanjutan memiliki tiga pendekatan, yaitu pendekatan ekonomi, ekologi, dan
sosial. Pendekatan ekonomi menekankan pada perolehan pendapatan yang berbasis pada
penggunaan sumberdaya yang efisien. Pendekatan ekologi menekankan pada pentingnya
perlindungan keanekaragaman hayati yang akan memberikan kontribusi pada keseimbangan
ekosistem dunia. Sedangkan pendekatan sosial menekankan pada pemeliharaan kestabilan sistem
sosial budaya meliputi penghindaran konflik keadilan baik dalam satu generasi maupun antar
generasi (Munasinghe, 1993).
· The Small Effective planners: menggunakan policies yang efektif terhadap sektor swasta, seperti
diterapkan di Malaysia dan Taiwan;
· The Free Enterprice Equivators: lebih menyerahkan perencanaan kepada kekuatan pasar atau
bahkan tidak ada perencanaan yang sesungguhnya, seperti di Philipina;
· The Doctrinaire Nationalist: yang merupakan perencanaan terpusat dan sangat menganut etatisme,
seperti di laksanakan di Ceylon, Birma, dan Indonesia.
Ditinjau dari teknik perencanaannya, teknik perencanaan yang sering dilakukan di Negara-negara
Sedang Berkembang adalah:
· Sectoral Planning atau Perencanaan Sektoral yang merencanakan kebijaksanaan dan kegiatan
usaha untuk mengembangkan suatu sektor kegiatan ekonomi tertentu;
· Integrated Public Investment Planning yaitu perencanaan investasi menyeluruh pada Sektor
Publik;
Sejak kemerdekaan hingga tahun 1960-an, berbagai upaya perencanaan pembangunan telah
dilakukan di Indonesia. Namun tidak satupun dari rencana-rencana tersebut mencapai tahap yang
matang dan membuahkan hasil yang memuaskan, yaitu (Tjokroamidjoyo 1982):
· Pada tanggal 12 April 1947 dibentuk Panitia Pemikir Siasat Ekonomi yang diketuai oleh
Mohammad Hatta. Panitia ini menghasilkan rencana sementara berjudul “Dasar Pokok Dari Pada
Plan Mengatur Ekonomi Indonesia”. Tapi rencana tersebut tidak sempat dilaksanakan karena
perjuangan fisik mempertahankan kemerdekaan.
· Pada bulan Juli tahun 1947 itu juga, di bawah pimpinan I.J. Kasimo dirumuskan “Plan Produksi
Tiga Tahun RI”. Tapi karena clash I dan II dengan penjajah rencana ini juga tidak sempat
dilaksanakan.
· Selanjutnya ada pula yang dinamakan “Rencana Pembangunan Lima Tahun 1956-1960” yang
disusun oleh Biro Perancang Negara yang diprakarsai oleh Sumitro Djojohadikusumo. Namun
pelaksanaannya tertunda hingga tahun 1958 dan pada tahun 1959 sudah diganti dengan rencana
baru.
· Pada tahun 1960 berhasil disusun lagi “Rencana Pembangunan Nasional Semesta Berencana 1961-
1969”. Namun dalam kenyataannya rencana ini lebih berupa “dokumen politik” dari pada rencana
pembangunan dalam arti yang sesungguhnya, tidak realistis, sehingga rencana kurang berjalan baik
dan keadaan ekonomi bertambah parah.
· Dalam keadaan ekonomi yang cukup kritis disusun pula “Perencanaan Ekonomi Perjuangan Tiga
Tahun” yang disebut juga “Rencana Banting Stir”. Rencana ini tidak pernah terselenggara dengan
baik dan tidak mampu menolong parahnya situasi ekonomi.
Akibat tidak satupun rencana pembangunan mendatangkan hasil, keadaan ekonomi Indonesia kian
bertambah parah hingga jatuhnya Pemerintahan Soekarno oleh kudeta Gerakan 30 September PKI
pada tahun 1965.
REPELITA
Belajar dari pengalaman sebelumnya, Pemerintahan Suharto menetapkan prioritas pada stabilisasi
ekonomi, terutama penurunan tingkat inflasi yang telah mencapai 600 persen pada tahun 1965 dan
1966, perbaikan keuangan pemerintah, dan rehabilitasi basis-basis ekonomi yang produktif.
Pengoperasian kekuatan-kekuatan pasar digalakan dari sebelumnya, investasi modal asing diundang
masuk, dan bantuan (pinjaman) luar negeri dicari secara aktif. Pemerintah meneruskan proses
pembangunan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) dengan tiga tujuan utama (Trilogi
Pembangunan) yaitu Stabilisasi, Pertumbuhan, dan Pemerataan.) Juga perlu dicatat bahwa
pembangunan pertanian dan pedesaan menjadi titik tolak pembangunan dengan tujuan ganda.
Pertama, kebutuhan untuk menjamin ketersediaan pangan di perkotaan dengan harga yang relatif
stabil; kedua, kebutuhan untuk menjaga kendali politik di daerah pedesaan (White 1989).
Gambaran mengenai kebijaksanaan dan strategi dari REPELITA adalah sebagai berikut
(Department of Information Republic of Indonesia 1991):
· REPELITA I (tahun fiskal 1969/1970 sampai 1973/1974) menekankan pada rehabilitasi
perekonomian terutama peningkatan produksi pertanian serta perbaikan irigasi dan sistem
transportasi.
· REPELITA III (tahun fiskal 1978/1979 – 1983/1984) diarahkan kepada tiga tujuan pokok, yaitu:
memperoleh distribusi yang lebih merata dari hasil-hasil pembangunan untuk kesejahteraan
masyarakat secara keseluruhan, menjaga pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi, dan menjaga
stabilitas nasional. Sementara itu prioritas pembangunan ditujukan pada Sektor Pertanian untuk
mencapai swasembada pangan serta industri pengolahan bahan baku menjadi barang jadi.
· REPELITA V (tahun fiskal 1989/1990 – 1993/1994) dinilai sangat menentukan karena merupakan
tahap akhir untuk persiapan menuju era tinggal landas (take off) pada periode REPELITA VI. Pada
masa REPELITA V ini pembangunan pada bidang ekonomi diberikan prioritas dengan penekanan
pada pembangunan pada Sektor Industri dengan didukung oleh pertumbuhan yang cukup tinggi dari
Sektor Pertanian.
Catatan yang perlu dikemukan pada rangkaian REPELITA di atas oil boom yang dimulai tahun
1973 memberikan sumbangan yang sangat menentukan pada Perekonomian Indonesia. Sejak
PELITA II anggaran pembangunan dapat melampaui budget. Ini dikarenakan meningkatnya
penerimaan negara dari ekspor minyak mentah. Sumbangan dari ekspor minyak dan gas bumi pada
nilai ekspor pada periode PELITA III meningkat rata-rata 75,2 persen per tahun. Sejalan dengan itu
terjadi perkembangan yang memuaskan dalam neraca pembayaran. Anggaran pembangunan selama
REPELITA III meningkat 274 persen. Selama periode REPELITA IV kecendrungan perkembangan
perekonomian global yang menguntungkan ditambah dengan turunnya harga minyak secara drastis
di pasaran internasional memaksa pemerintah untuk mengambil langkah-langkah penyesuaian
(readjustment and reform) di berbagai bidang seraya mencoba menggalakan ekspor non-migas
(Ibid.). Memasuki awal REPELITA VI agaknya Indonesia tidak berhasil menemukan jalan keluar
dalam menghadapi krisis ekonomi global. Pada periode REPELITA VI pun format keunggulan
komparatif (comparative advantages) dari Ekonomi Indonesia belum tampak. Hal itu diindikasikan
dengan tidak
mampu bersaingnya harga-harga sebagian besar produk pertanian maupun industri Indonesia di
pasaran internasional. Hal itu diperberat pula dengan masalah-masalah micro economy yang tidak
terselesaikan dan berbagai miss management di dalam bidang pemerintahan. Akibatnya pemerintah
mengalami kesulitan neraca pembayaran dan sangat mengandalkan hutang luar negeri yang sudah
sangat spektakuler jumlahnya. Akhirnya semuanya bermuara pada krisis politik sehingga Suharto
harus turun dari kursi kepresidenan.
REFERENSI:
World Without End, Economics, Environment and Sustainable Development. Oxford University
Press.
Economic Development in the Third World, Foutrh Edition. Longman Group Limited.
Tjokroamidjoyo, B. (1982)
Development Planning in Asia. Center for Development Planing, National Planning Association.
White, B. (1989)
“Java’s Green Revolution in Long-term Perspective” in: Prisma (English Edition), No. 48,
Desember 1989. Jakarta, LP3ES.