You are on page 1of 11

Abu yazid bustomi, pemikiran tasawuf

A. Pendahuluan

Dalam makalah sederhana ini, penulis mencoba membahas keadaan dan sejarah dua sufi
besar terkenal hingga nama dan sejarahnya di masa kini masih sering di bahas para sejarawan.
Adalah Abu Yazid Bustami dan mansur al Hallaj dua orang sufi yang pada masanya telah
menambah goresan keanekaragaman bentuk tasawuf. Bustami dengan ajaran al ittihadnya telah
dikembangkan oleh Al Hallaj melalui ajarannya al hulul. Kedua bentuk ajaran ini tidak memiliki
banyak perbedaan, karena Al halaj meneruskan jejak seniornya Bustami. Ideology ini pernah
menebar hingga ke Asia tenggara khususnya di Indonesia. Di Indonesia tasawuf bukanlah benda
asing. Pada masa sejarah tertentu ia malah telah mempribumi dan anggun. Hamzah fanzuri dan
Syeikh Siti Jenar di jawa adalah dua dari sekian banyak nama sufi yang selalu saja berada pada
bibir sejarah Islam Indonesia. Riwayat Syeikh Siti Jenar malahan sering disejalurkan dengan
kisah-kisah Mansur Al Hallaj, walaupun ada perbedaan bobot zaman dan ungkapan kesufiannya.
Namun keduanya memiliki dimensi politik dalam menerima hukuman matinya. Jika Al Hallaj
terlibat ke dalam gerakan syiah garis keras Al Qaramithah sebagaimana dibuktikan dalam
pengadilannya, Syeikh Siti Jenar terlibat pada penghimpunan kekuatan unutk melawan Negara
Islam Indonesia Demak.

1. Abu Yazid Bustami

Abu Yazid al-Bustami (wafat 874 M) adalah seorang ahli sufi yang terkenal di
Persia sekitar abad ketiga hijriyah. Ia disebut-sebut sebagai sufi yang pertama kali
memperkenalkan faham fana’ dan baqa’ . Nama kecilnya adalah Thaifur. Sebelum ia mendalami
tasawuf ia mempelajari ilmu fiqh terutama mazhab Hanafi. Ia memperingatkan manusia agar
tidak terpedaya dengan seseorang sebelum melihat sebagaimana ia melakukan perintah dan
meninggalkan larangan Tuhan, menjaga ketentuan-ketentuan dan melaksanakan syari’at-Nya.
Selengkapnya perkataan beliau adalah :

“Kalau kamu melihat seseorang mempunyai keramat yang besar-besar, walaupun dia
sanggup terbang di udara maka janganlah kamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia
mengikuti perintah syari’at dan menjauhi batas-batas yang dilarang syari’at”. Setelah ia
mendalami tasawuf, ia memunculkan faham baqa’ dan fana’, dimana apabila ia telah fana’ dan
mencapai baqa’ maka keluarlah kata-kata yang ganjil yang jika tidak hati-hati memahami akan
menimbulkan kesan seolah-olah Abu Yazid mengaku dirinya sebagai Tuhan . Ia sering
dipandang pula sebagai sufi “yang mabuk” lantaran ia terlalu jauh mengucapkan kalimat
ketuhanan dalam dirinya.

Paham ini mendapat tanggapan yang berbeda dikalangan para ulama. Banyak yang pro
maupun kontra. Perbedaan sikap ini terutama dikalangan ulama sufi dan dikalangan ulama fiqh.
Oleh sebab itu penulis merasa tertarik untuk membahas hal ini dalam sebuah makalah singkat
yang fokusnya terutama pada tokoh pendiri, pokok-pokok ajaran dan beberapa analisa terhadap
ajaran-ajarannya yang dikembangkannya.

B. Riwayat Hidup Bustami

Al-Bustami atau dalam beberapa tulisan disebut juga Bistomi, Bustomi dan Bastomi
sering juga disebut Bayazid . Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Taifur ibn Surusyam. Ia lahir
diwilayah Qum di Persia Barat Laut tahun 188-261 H/804-875 M. Ia adalah putra seorang ayah
yang menganut keyakinan Zoroastria. Ayahnya Isa ibn Surusyam adalah pemuka masyarakat di
Biston dan ibunya dikenal sebgai zahid (orang yang meninggalkan keduniaan) dan kakaknya
Surusyam sebelum memeluk Islam adalah penganut agama Majusi .

Al Bustami mempelajari ilmu fiqh terutama mazhab Hanafi lalu kemudian mendalami
tasawuf. Sebagian besar kehidupan “sufi” dan “abid”nya dilaluinya di Biston. Ia selalu mendapat
tekanan dari para ulama Mutakallimin (Teolog) serta Penduduk di kota kelahirannya yang tidak
mengizinkan ia tinggal menyebabkan ia terusir dari negerinya sampai akhirnya wafat pada tahun
261 H bertepatan dengan tahun 875 M .

Al-Bustami tidak meninggalkan karangan atau tulisan tetapi ia terkenal lantaran ucapan-
ucapannya. Terkadang ungkapannya dipandang sebagai al-syathahat atau ungkapan ketuhanan
misalnya ungkapannya :

“Maha suci Aku, Maha suci Aku, betapa besar keagungan-Ku” yang belakangan
dikumpulkan dalam kitab al-Luma (buku pancaran sinar) yang ditulis oleh al-Sarraj . Setelah ia
wafat para ahli sufi masih banyak mengunjungi makam al-Bustami, misalnya al-Hujwiri, bahkan
sejumlah ahli sufi lainnya menaruh hormatterhadap al-Bustami meski bukan berarti mereka
menerima kalimat-kalimatnya tanpa koreksi.

Pengikut al-Bustami kemuidian mengembangkan ajaran tasawufdengan membentuk


suatu aliran tarikat bernama Taifuriyah yang diambil dari nisbah al-Bustami yakni Taifur.
Pengaruh terikat ini masih dapat dilihat dibeberapa dunia Islam seperti Zaousfana’, Maghrib
(meliputi Maroko, al-Jazair, Tunisia), Chittagong dan Bangladesh. Makam al-Bustami terletak
ditengah kota Biston dan dijadikan objek ziarah oleh masyarakat. Sebagian masyarakat
mempercayai sebagai wali atau orang yang memiliki kekaramatan. Sultan Moghul, Muhammad
Khudabanda memberi kubahpada makamnya pada tahun 713 H / 1313 M atas saran penasehat
agama sultan bernama Syaikh Syafaruddin .

C. Pokok Ajaran Tasawuf al-Bustami : al-Fana’, al-Baqa’, dan al-Ittihad

Ahli sufi berpendapat bahwa terdapat dua aliran tasawuf pada abad ketiga hijriah.
Pertama,aliran sufi yang pendapat-pendapatnya moderat, tasawufnya selalu merujuk kepada Al-
Qur’an dan al-Sunnah atau dengan kata lain tasawuf yang mengacu kepada syari’at dan para
sufinya adalah para ulama terkenal serta tasawufnya didominasi oleh ciri-ciri normal. Kedua,
adalah aliran sufi yang terpesona dengan keadaan-keadaan fana’ sering mengucapkan kata-kata
yang ganjil yang terkenal dengan nama syathahat, yaitu ucapan-ucapan ganjil yang dikeluarkan
seorang sufi ketika ia berada digerbang ittihad . Mereka menumbuhkan konsep-konsep manusia
melebur dengan Allah yang disebut ittihad ataupun hulul dan ciri-ciri aliran ini cenderung
metafisis.

Diantara sufi yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan adalah Abu
Yazid al-Bustami yang sekaligus dipandang sebagai pembawa faham al-Fana’, al-Baqa’, dan al-
ittihad. Dari segi bahasa al-Fana’ berarti binasa , Fana’ berbeda dengan al-Fasad (rusak). Fana’
artinya tidak nampaknya sesuatu, sedangkan Fasad atau rusak adalah berubahnya sesuatu
menjadi sesuatu yang lain . Menurut ahli sufi, arti Fana’ adalah hilangnya kesadaran pribadi
dengan dirinya sendiri atau dengan sesuatu yang lazimnya digunakan pada diri. Fana’juga berarti
bergantinya sifat-sifat kemanusiaan dengan sifat-sifat ketuhanan dan dapat pula berarti hilangnya
sifat-sifat tercela .

Mustafa Zahri mengatakan bahwa yang dimaksud Fana’ adalah lenyapnya inderawi atau
kebasyariahan, yakni sifat sebagai manusia biasa yang suka pada syahwat dan hawa nafsu. Orang
yang telah diliputi hakikat ketuhanan, sehingga tiada lagi melihat alam baharu, alam rupa dan
alam wujud ini, maka ia akan dikatakan Fana’ dari alam cipta atau dari alam makhluk . Selain itu
Fana’ juga dapat berarti hilangnya sifat-sifat buruk lahir bathin.

Sebagai akibat dari Fana’ adalah Baqa’, secara harfiah Baqa’ berarti kekal sedangkan
dalam pandangan kaum sufi, Baqa’ adalah kekalnya sifat-sifat terpuji dan sifat-sifat Tuhan dalam
diri manusia. Karena sifat-sifat kemanusiaan (basyariah) telah lenyap maka yang kekal dan
tinggal adalah sifat-sifat ilahiyah atau ketuhanan. Fana’ dan Baqa’ ini menurut ahli tasawuf
datang beriringan sebgaimana ungkapan mereka :”Apabila nampak nur ke Baqa’an, maka
Fana’lah yang tiada dan Baqa’lah yangkekal”. Juga ungkapan mereka : “Tasawuf itu adalah
mereka Fana’ dari dirinya dan Baqa’ dengan Tuhannya, karena kehadiran mereka bersama
Allah”.

Abu Yazid al-Bustami berpendapat bahwa manusia hakikatnya se-esensi dengan Allah,
dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu melebur eksitensi keberadaan-Nya sebagi suatu
pribadi sehingga ia tidak menyadari dirinya.

Menurut al-Qusyairi, Fana’ yang dimaksud adalah : Fana’nya seseorang dari dirinya dan
makhluk lain, terjadi dengan hilangnya kesadaran tentang dirinya dan tentang mahkluk lain itu.
Sebenarnya dirinya tetap ada dan demikian pula mahkluk lain ada, tetapi ia tidak sadar lagi pada
mereka dan pada dirinya .

Diantara kaum sufi ada yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu dengan Tuhan.
Seorang sufi yang sampai pada tingkat ma’rifah akan melihat Tuhan dengaqn mata sanubarinya .
Menurut al-Syathi, proses penghancuran sifat-sifat basyariah, disebut Fana’ al-sifat dan proses
penghancuran tentang irodah dirinya disebut Fana’ al-irodah serta proses penghancuran tentang
adanya wujud dirinya dan zat yang lain disekitarnya disebut Fana’ al-nafs .
Apabila seorang sufi telah sampai kepada Fana’ al-nafs yaitu tidak disadarinya wujud
jasmaniyah, maka yang tinggal adalah wujud rohaniahnya dan ketika itu ia bersatu dengan Tuhan
secara ruhani.

Dari berbagai uraian tersebut diketahui bahwa yang dituju dengan Fana’ dan Baqa’
adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan bathiniah dengan Tuhan, sehingga yang
disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya. Dengan demikian materimanusianya tetap ada, sama
sekali tidak hancur, demikianlah juga alam sekitarnya, yang hilang atau hancur hanya kesadaran
dirinya sebagai manusia, ia tidak lagi merasakan jasad kasarnya.
Al-Kalabazi (wafat 380 H) menjelaskan bahwa keadaan Fana’ itu tidak bisa berlangsung terus-
menerus sebab kelangsungannya yang terus-menerus akan menghentikan organ-organ tubuh
untuk melaksanakan fungsinya sebagai hamba Allah dan peranannya sebagain khalifah di muka
bumi .

Bila seseorang telah Fana’ atau tidak sadar lagi tentanmg wujudnya sendiri dan wujud
lain disekitarnya pada saat itulah ia sampai kepada Baqa’ dan berlanjut kepada Ittihad. Fana’ dan
Baqa’ menurut sufi adalah kembar dan tak terpisahkan sebagaimana ungkapan mereka : “Siapa
yang menghilangkan sifat-sifatnya, maka yang ada adalah sifat-sifat Tuhan” .
Dengan tercapainya Fana’ dan Baqa’ maka seorang sufi dianggap telah sampai kepada tingkat
ittihad atau menyatu dengan yang Maha Tunggal (Tuhan) yang oleh Bayazid disebut “Tajrid
Fana’ fi at- Tauhid” yaitu dengan perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai oleh sesuatu apapun .
Dalam ajaran ittihad, yang dilihat hanya satu wujud meskipun sebenarnya ada dua wujud yaitu
Tuhan dan manusia. Karena yang dilihat dan yang dirasakan hanya satu wujud maka dalam
ittihad ini bisa jadi pertukaran peranan antara manusia dengan Tuhan. Dalam suasana seperti ini
mereka merasa bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan dimana antara yang mencinta dan yang
dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu memanggil yang lain dengan kata-kata “Hai
Aku” . Dalam keadaan Fana’ si sufi yang bersangkutan tidak mempunyai kesadaran lagi
sehingga ia berbicara atas nama Tuhan.

Al-Bustami ketika telah Fana’ dan mencapai Baqa’ maka dia mengucapkan kata-kata
ganjil seperti :

“ Tidak ada Tuhan melainkan aku, sembahlah aku, Maha suci aku, Maha suci aku, Maha
besar aku”. Selanjutnya diceritakan bahwa seorang lelaki lewat rumah Abu Yazid (al-Bustami)
dan mengetok pintu, Abu Yazid bertanya : “Siapa yang engkau cari ?” jawabnya : “Abu Yazid”.
Lalu Abu Yazid mengatakan : “Pergilah, dirumah ini tidak ada kecuali Allah yang Maha Kuasa
dan Maha Tinggi” .

Ittihad ini dipandang sebagai penyelewengan (inhiraf) bagi orang yang toleran, akan
tetapi bagi orang yang keras berpegang pada agama hal ini dipandang sebagai suatu kekufuran.
Faham ittihad ini selanjutnya dapat mengambil bentuk hulul dan wahdat al-wujud.
Ittihad juga adalah hal yang sama yang dijadikan faham oleh al-Hallaj (lahir 224 H / 858 M)
dengan fahamnya al-Hulul yang berarti penyatuan meliputi : a) penyatuan substansial antara
jasad dan ruh; b) penyatuan ruh dengan Tuhan dalam diri manusia; c) inkarnasi suatu aksiden
dalam substansinya; d) penyatuan bentuk dengan materi pertama dan e) hubungan antara suatu
benda dengan tempatnya .

Meskipun demikian terdapat perbedaan al-Hulul dengan ittihad yaitu dalam hulul, jasad
al-hallaj tidak lebur sedangkan dalam ittihad dalam diri al-Bustami lebur dan yang ada hanya diri
Allah. Dan dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud dan dalam hulul ada dua wujud yang
bersatu dalam satu tubuh.

Faham sufi yang juga dekat dengan faham Ittihad ini adalah dengan faham wahdat al-
wujud yang diperkenalkan oleh Ibn Araby wafat tahun 638 H/ 1240 M). Faham wahdat al-wujud
ini menurut Harun Nasution adalah merupakan kelanjutan dari faham al-Hulul. Konsep wahdat
al-wujud ini memahami bahwa aspek ketuhanan ada dalam tiap mahkluk, bukan hanya manusia
sebagaimana yang dikatakan al-Hallaj .

Paham fana’, Baqa’, dan Ittihad menurut kaum sufi sejalan dengan konsep pertemuan
dengan Allah. Fana’ dan Baqa’ juga dianggap merupakan jalan menuju pertemuan dengan Tuhan
sesuai dengan Firman Allah SWT yang bunyinya :

“Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka hendaklah ia


mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia mempersekutukan seorang pun dalam beribadat
kepada-Nya” (Q.S. al-Kahfi, 18 : 110)

Hal yang lebih jelas mengenai proses Ittihad dapat pula kita simak melalui ungkapan al-
Bustami : “Pada suatu hari ketika saya dinaikkan ke hadirat Allah, Ia berkata, “Hai Abu Yazid,
mahkluk-Ku ingin melihatmu, aku menjawab, hiasilah aku dengan keesaan itu, sehingga apabila
mahkluk itu melihatku mereka akan berkata :“Kami tetap melihat engkau, maka yang demikian
adalah engkau dan aku tidak ada disana” .

Hal ini merupakan ilustrasi proses terjadinya Ittihad, Demikian juga dalam ungkapan Abu
Yazid : “Tuhan berkata : semua mereka kecuali engkau adalah mahklukku, aku pun berkata :
Aku adalah engkau, engkau adalah aku dan aku adalah engkau . sebenarnya kata-kata “Aku”
bukanlah sebagai gambaran dari diri Abu Yazid, tetapi gambaran Tuhan, karena ia telah bersatu
dengan Tuhan sehingga dapat dikatakan bahwa Tuhan bicara melalui lidah Abu Yazid sedang
Abu Yazid tidak mengetahui dirinya Tuhan.

D. Beberapa Analisa Terhadap Ungkapan-ungkapan al-Bustami

Apabila dilihat sepintas, maka dari ungkapan-ungkapan al-Bustami dapat


dikategorikan sebagai paham yang menyimpang dari ketentuan agama seperti pernyataannya
“Aku ini adalah Allah tiada Tuhan selain aku, maka sembahlah aku” yang telah dikemukakan
diatas. Secara harfiah al-Bustami seakan-akan mengaku sebagai Tuhan pada saat Fana’. Namun
kalau kita perhatikan kata-kata beliau dalam keadaan biasa (tidak dalam keadaan Fana’) yang
mengatakan “kalau kamu lihat seseorang mempunyai keramat yang besar-besar,walaupun dia
sanggup terbang di udara maka janganlahkamu tertipu, sebelum kamu lihat bagaimana dia
mengikuti perintah syari’at dan dan menjauhi batas-batas yang dilarang syari’at”, maka dapat
dipahami bahwa al-Bustami dalam tasawuf tidaklah keluar dari garis-garis syari’at. Memang
ungkapan-ungkapan al-Bustami seakan-akan beliau mengaku dirinya Tuhan, namun sebenarnya
bukan itu yang dimaksudnya, karena kata-kata itu adalah firman Tuhan yang disalurkan lewat
lidah al-Bustami yang sedang dalam keadaan Fana’al-nafs. Dalam hal ini beliau menjelaskan :

“Sesungguhnya yang berbicara melalui lidahku adalah dia sementara aku telah Fana’”.
Jadi sebenarnya Abu Yazid tidaklah mengaku dirinya sebagai Tuhan, namun perkataanya
menimbulkan berbagai tanggapan.

Al-Tusi mengatakan : Ucapan ganji (al-Syaht) adalah ungkapan yang ditafsirkan lidah
atas limpahan intuisi dari dalam relung hatinya dan dibarengi seruan . Seorang sufi yang sedang
trance tidak bisa mengendalikan diri sepenuhnya sehingga sulit untuk bisa mengendalikan apa
yang bergejolak dalam kalbunya dan membuat seseorang mengungkapkan kata-kata yang sulit
dipahami oleh pendengarnya.

Oleh sebab itu menurut al-Tusi, bila seorang sufi sedang Fana’ dari hal-hal yang
berkenaan dengan dirinya, bukan berarti ia kehilangan sifat-sifat basyariahnya sebab sifat itu
tidak dapat sirna dari diri manusia. Akan sangat berbahaya dari keyakinan seorang muslim jika
menganggap kefana’an adalah kefana’an sifat-sifat manusia dan ia bersifatkan sifat-sifat
ketuhanan. Menurut pendapat yang mengatakan ketika Fana’ hilang sifat-sifat mereka dan masuk
sifat-sifat Yang Maha Benar adalah keliru, karena dapat mengantar mereka kepada Hulul atau
penyatuan manusia dengan Tuhan. Sebab Tuhan tidak Hulul dalam kalbu tetapi yang bertempat
dalam kalbu adalah keimanan kepada-Nya, pembenaran kepada-Nya dan pengenalan akan dia.
Louis Massignon menyatakan bahwa ungkapan yang muncul pada seorang sufi diluar sadarnya
berarti telah Fana’ dari dirinya sendiri serta kekal dalam zat Yang Maha Benar, sehingga ia
mengucap dalam kalam Yang Maha Benar dan bukan ucapannya sendiri dan perkataan tersebut
tidak akan terucap dalam kondisi normal bahkan akan ditolak oleh dirinya sendiri .
Al-Junaid mengatakan bahwa seorang sufi yang dalam keadaan trance tidak mengucapkan
tentang dirinya sendiri tapi tentang apa yang disaksikannya yaitu Allah. Ia sangat terbuai
sehingga tidak ada yang disaksikan kecuali Allah. Al-Junaidi menilai bahwa al-Bustami adalah
termasuk para sufi yang tidak bisa mengendalikan diri serta tunduk pad intiusi sehingga tidak
bisa menjadi panutan sufi lainnya. Demikian pula menurut Ibn Taimiyah bahwa seorang sufi
yang trance dihapus saja, bukan untuk dituturkan dan dilaksanakan. Semantara itu ulama yang
berpegang teguh kepada syari’at secara zhahir menuduhnya sebagai sufi kafir karena
menyamakan dirinya dengan Allah dan ulama yang lain mentolerir ucapan semacam itu
dianggap sebagai penyelewengan dan bukan kekafiran .
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas ternyata ungkapan-ungkapan al-Bustami
disampaikan dalam keadaan Fana’ dan tidak dapat dijadikan pedoman karena diucapkan dalam
keadaan tidak sadar atau tidak dalam keadaan mukallaf yangb sempurna, oleh sebab itu, tidaklah
tepat kalau ia dituduh sebagai seorang sufi yang kafir. Lagi pula faham Fana’ dan Baqa’ yang
ditujukan untuk mencapai ittihad itu dapat dipandang sejalan dengan konsep liqa al-arabbi.Fana’
dan Baqa’ merupakan jalan menuju perjumpaan dengan Tuhan. Hal ini sejalan dengan Firman
Allah SWT pada surah Al-Kahfi ayat 110 diatas, ayat tersebut memberi isyarat bahwa Allah
SWT telah memberi peluang kepada manusia untuk menemuinya, bahkan karena sudah merasa
terlalu dekat dengan Tuhan al-Bustami telah merasa berittihad dengan-Nya. Konasep Fana’ dan
Baqa’ ini juga di ilhami dari isyarat ayat yang berbunyi :

“Semua yang ada di bumi ini adalah binasa (26) dan tetap kekal wajah Tuhanmu yang
mempunyai kebesaran dan kemuliaan (27)”. (QS. Al-Rahman, 55 : 26-27)

Abu Yazid al-Bustomi (w. 874 M)

Beliau dipandang sebagai sufi pertama yang mempunyai faham fana dan baqa. Hal ini terlihat
dari kata-katanya : “ Aku tahu Tuhan melalui diriku, hingga aku hancur, kemudian aku tahu
padaNYA melalui diriNya, maka akupun hidup. Faham fana dan baqa ini sebagai salah satu
prasyarat seseorang dapat bersatu dengan Tuhan, karena selama belum dapat menghancurkan
dirinya, ia tak akan dapat bersatu dengan Tuhan. Fana yang dicari sufi adalah penghancuran diri,
yakni hancurnya perasaan atau kesadaran tentang adanya tubuh kasar manusia, sehingga yang
tinggal wujud rohaninya dan ketika itu dapatlah ia bersatu dengan Tuhan.

PEMAHAMAN SUMBER AJARAN : AL-QUR’AN DAN HADITS.

1. Pemahaman Ahli Tasawuf.

a. Dalam memahami al-Qur’an dan Hadits kaum sufi mengambil makna bathin yang diyakininya
sebagai makna yang dimaksud oleh Allah swt. Karena dibalik dalil-dalil yang berupa kata-kata
dan kalimat terdapat beberapa makna yang sangat dalam dan sangat halus. Hakekat al-Qur’an
tidak hanya terbatas pada pengertian yang bersifat lahiriah saja tetapi tersirat makna bathin yang
merupakan makna yang terpenting. Namun mereka menyatakan, bahwa makna bathin tidak akan
tercapai sebelum menetapkan makna lahir.

b. Pengetahuan tentang rahasia di dalam al-Qur’an dapat diketahui oleh kaum sufi melalui ilmu
isyarat dan melalui pengamalan ajaran al-Qur’an dan Hadits, baik amal lahir maupun amal
bathin, sehingga Allah akan melimpahkan ilmu Ladunni, yakni ilmu yang belum pernah mereka
ketahui.

2. Pemahaman Failosof.

a. Al-Qur’an dan Hadits dipahami dengan menggunakan pendekatan filosofis baik yang berusaha
untuk mengadakan sintesis atau sinkretisasi antara teori filsafat dengan ayat al-Qur’an maupun
berupaya untuk menolak teori filsafat yang dianggap bertentangan dengan ayat-ayat al-Qur’an.

b. Ta’wil merupakan salah satu cara yang banyak ditempuh oleh failosof dalam memahami nash-
nash al-Qur’an dan hakekat syara’.

c. Pemahaman akal melalui filsafat terhadap al-Qur’an adalah tidak bertentangan dengan ajaran
Islam. Karena failosof menyakini akal bersesuaian dengan wahyu. Dan pemahaman ini
dilakukan agar hikmah, hakikat atau inti dari ajaran agama dapat dimengerti dan dipahami secara
seksama.

d. Tokoh dan karyanya, seperti : Al-Farabi, karyanya Fusus al-Hukm, Fahr al-Razi, karyanya
Mafatih al-Ghaib.

3. Pemahaman Fuqaha.

a. Para Fuqaha mengutamakan pemahaman / penafsiran al-Qur’an dan Hadits terhadap ayat-ayat
yang berhubungan dengan hukum dan menetapkan hukum-hukum fiqih daripadanya.. Al-
Qurthubi dengan bukunya Jami’ ahkam al-Qur’an , Ibnu ‘Araby dan Al-Jashshash dengan
bukunya Ahkam al-Qur’an dapat mewakili bagaimana pemahaman mereka terhadap al-Qur’an.

b. Dalam memahami al-Qur’an mereka terikat pada asbab al-nuzul, kaidah bahasa Arab, dan
menggunakan pendekatan bil al-ma’tsur sepanjang memungkinkan.

c. Metode muqorin kadangkala mereka gunakan dalam pemahamannya terhadap al-Qur’an


dengan mengemukakan pendapat-pendapat madzhabnya.
AKIBAT-AKIBAT DAN PREDIKSI PEMIKIRAN ISLAM

1. Dalam Bidang Filsafat mengakibatkan tumbuhnya sikap kritis di kalangan ummat Islam dan
pemahaman yang seksama terhadap ajaran Islam. Sehingga ajaran Islam tidak dilihat sebagai
sesuatu yang formalistik tetapi menjadi lebih bermakna dan mampu menangkap hikmah serta inti
dari ajaran Islam itu sendiri. Hanya saja sikap pro dan kontra terhadap filsafat sebagaimana
terjadi pada masa lampau hendaknya disikapi secara arif dan bijaksana, sehingga filsafat
ditempatkan pada proporsi yang benar sebagai pisau analisa ajaran Islam. Dan kiranya kajian
filsafat tidak terjebak pada kajian sejarah filsafat dan perlu diperkenalkan sejak SLTA. Model
kajian filsafat seperti M.Amin Abdullah, Otto Horrasowitz, Majid Fakhry, Harun Nasution,
Ahmad Fu’ad al-Ahwani, dan Juhaya S.Praja perlu terus dikembangkan, sehingga filsafat Islam
mempunyai bentuknya yang utuh.

2. Dalam bidang kalam, yang telah melahirkan banyak aliran telah menjerumuskan kita pada
kajian masa lalu yang banyak dipengaruhi oleh politik dan fanatisme. Masa kini dan masa
mendatang dengan telah dipahaminya metode berpikir setiap aliran, kiranya kajian kalam akan
lebih murni dan bebas fanatik. Kajian kalam yang telah dilaksanakan oleh ulama dulu dapat
dijadikan model untuk kajian mendatang, baik pada obyek materialnya maupun pada objek
formalnya. Kajian sejarah aliran dan perbandingannya juga dapat dijadikan salah satu tangga
untuk mencapai kesempurnaan dengan dapat disimpulkannya kelebihan dan kekurangan masing-
masing aliran. Sehingga harapan Islam yang satu, ummat yang satu dan tercapai.

3. Dalam bidang tasawuf yang telah melahirkan tarekat sebagai organisasi sufi hendaknya tidak
membawa ummat kepada saling mengklaim, bahwa tarekatnya yang paling benar dan mampu
membawa kepada Tuhan, tetapi dapat dijadikan sebagai khazanah ummat Islam dalam upayanya
untuk selalu ingin sedekat mungkin dengan Tuhan, walaupun kajian kritis, mana yang mu’tabar
dan tidak perlu terus dikembangkan agar tidak terjerumus kepada hal-hal yang bersifat penalaran
atau pengamalan tanpa dasar syari’at.

4. Dalam bidang hukum yang telah memunculkan berbagai pranata sosial, budaya dan politik,
seperti lembaga peradilan, perkawinan, wakaf, negara dan mu’amalah perlu terus dikembangkan
karena melihat sifat dari hukum atau fiqih itu yang terikat oleh situasi dan kondisi sosial-
kemasyarakatan, geografis dan demografis serta perkembangan ilmu dan teknologi yang secara
tidak langsung telah memberikan dampak positif dan negatif yang perlu dengan segera mendapat
pemecahan.
5. Dalam bidang pemahaman al-Qur’an dan Hadits, telah melahirkan berbagai macam
pendekatan, metode dan corak penafsiran. Metode Maudhu’iy perlu terus dikembangkan, karena
untuk saat ini dapat disebut sebagai metode yang mampu menangkap pesan Allah yang ada
dalam al-Qur’an, terbebas dari pandangan aliran dan madzhab serta pembahasan yang bertele-
tele, juga mampu memecahkan persoalan kehidupan dengan sinar al-Qur’an.

You might also like