You are on page 1of 21

Jenis Autisme

Autisme Masa Kanak


administrator

Autisme Masa kanak ( Childhood Autism )

Autisme Masa Kanak adalah gangguan perkembangan pada anak yang gejalanya sudah tampak
sebelum anak tersebut mencapai umur 3 tahun. Perkembangan yang terganggu adalah dalam
bidang :

1. Komunikasi : kualitas komunikasinya yang tidak normal, seperti ditunjukkan dibawah ini :

 Perkembangan bicaranya terlambat, atau samasekali tidak berkembang.


 Tidak adanya usaha untuk berkomunikasi dengan gerak atau mimik muka untuk
mengatasi kekurangan dalam kemampuan bicara.
 Tidak mampu untuk memulai suatu pembicaraan atau memelihara suatu pembicaraan dua
arah yang baik.
 Bahasa yang tidak lazim yang diulang-ulang atau stereotipik.
 Tidak mampu untuk bermain secara imajinatif, biasanya permainannya kurang variatif.

Pemutakhiran Terakhir ( Senin, 29 September 2008 08:52 )

PDD-NOS
administrator

Gangguan Perkembangan Pervasif YTT (PDD-NOS)

PDD-NOS juga mempunyai gejala gangguan perkembangan dalam bidang komunikasi, interaksi
maupun perilaku, namun gejalanya tidak sebanyak seperti pada Autisme Masa kanak.
Kualitas dari gangguan tersebut lebih ringan, sehingga kadang-kadang anak-anak ini masih bisa
bertatap mata, ekspresi fasial tidak terlalu datar, dan masih bisa diajak bergurau. 
Sindroma Rett
administrator

Sindroma Rett adalah gangguan perkembangan yang hanya dialami oleh anak wanita.
Kehamilannya normal, kelahiran normal, perkembangan normal sampai sekitar umur 6 bulan.
Lingkaran kepala normal pada saat lahir.
 
Mulai sekitar umur 6 bulan mereka mulai mengalami kemunduran perkembangan. Pertumbuhan
kepala mulai berkurang antara umur 5 bulan sampai 4 tahun. Gerakan tangan menjadi tak
terkendali, gerakan yang terarah hilang, disertai dengan gangguan komunikasi dan penarikan diri
secara sosial. Gerakan-gerakan otot tampak makin tidak terkoordinasi.Seringkali memasukan
tangan kemulut, menepukkan tangan dan membuat gerakan dengan dua tangannya seperti orang
sedang mencuci baju.. Hal ini terjadi antara umur 6-30 bulan.
 
Terjadi gangguan berbahasa, perseptif maupun ekspresif disertai kemunduran psikomotor yang
hebat.
Yang sangat khas adalah timbulnya gerakan-gerakan tangan yang terus menerus seperti orang
yang sedang mencuci baju yang hanya berhenti bila anak tidur.  
 
Gejala-gejala lain yang sering menyertai adalah gangguan pernafasan, otot-otot yang makin kaku
, timbul kejang, scoliosis tulang punggung, pertumbuhan terhambat dan kaki makin mengecil
(hypotrophik). Pemeriksaan EEG biasanya menunjukkan kelainan.

Disintegrasi Masa Kanak


administrator

Pada Gangguan Disintegrasi Masa Kanak, hal yang mencolok adalah bahwa anak tersebut telah
berkembang dengan sangat baik selama beberapa tahun, sebelum terjadi kemunduran yang hebat.
Gejalanya biasanya timbul setelah umur 3 tahun.
 
Anak tersebut biasanya sudah bisa bicara dengan sangat lancar, sehingga kemunduran tersebut
menjadi sangat dramatis. Bukan saja bicaranya yang mendadak terhenti, tapi juga ia mulai
menarik diri dan ketrampilannyapun ikut mundur. Perilakunya menjadi sangat cuek dan juga
timbul perilaku berulang-ulang dan stereotipik.
 
Bila melihat anak tersebut begitu saja , memang gejalanya menjadi sangat mirip dengan autisme.
Sindrom Asperger
administrator

Seperti pada Autisme Masa Kanak, Sindrom Asperger (SA) juga lebih banyak terdapat pada
anak laki-laki daripada wanita.
Anak SA juga mempunyai gangguan dalam bidang komunikasi, interaksi sosial maupun
perilaku, namun tidak separah seperti pada Autisme.

Pada kebanyakan dari anak-anak ini perkembangan bicara tidak terganggu. Bicaranya tepat
waktu dan cukup lancar, meskipun ada juga yang bicaranya agak terlambat. Namun meskipun
mereka pandai bicara, mereka kurang bisa komunikasi secara timbal balik. Komunikasi biasanya
jalannya searah, dimana anak banyak bicara mengenai apa yang saat itu menjadi obsesinya,
tanpa bisa merasakan apakah lawan bicaranya merasa tertarik atau tidak. Seringkali mereka
mempunyai cara bicara dengan tata bahasa yang baku dan dalam berkomunikasi kurang
menggunakan bahasa tubuh. Ekspresi muka pun kurang hidup bila dibanding anak-anak lain
seumurnya.
 
Mereka biasanya terobsesi dengan kuat pada suatu benda/subjek tertentu, seperti mobil, pesawat
terbang, atau hal-hal ilmiah lain. Mereka mengetahui dengan sangat detil mengenai hal yang
menjadi obsesinya. Obsesi inipun biasanya berganti-ganti.Kebanyakan anak SA cerdas,
mempunyai daya ingat yang kuat dan tidak mempunyai kesulitan dalam pelajaran disekolah.
 
Mereka mempunyai sifat yang kaku, misalnya bila mereka telah mempelajari sesuatu aturan,
maka mereka akan menerapkannya secara kaku, dan akan merasa sangat marah bila orang lain
melanggar peraturan tersebut. Misalnya : harus berhenti bila lampu lalu lintas kuning, membuang
sampah dijalan secara sembarangan.

Dalam interaksi sosial juga mereka mengalami kesulitan untuk berinteraksi dengan teman
sebaya. Mereka lebih tertarik pada buku atau komputer daripada teman. Mereka sulit berempati
dan tidak bisa melihat/menginterpretasikan ekspresi wajah orang lain.

Perilakunya kadang-kadang tidak mengikuti norma sosial, memotong pembicaraan orang


seenaknya, mengatakan sesuatu tentang seseorang didepan orang tersebut tanpa merasa bersalah
(mis. “Ibu, lihat, bapak itu kepalanya botak dan hidungnya besar ”). Kalau diberi tahu bahwa
tidak boleh mengatakan begitu, ia akan menjawab : “Tapi itu kan benar Bu.”

Anak SA jarang yang menunjukkan gerakan-gerakan motorik yang aneh seperti mengepak-
ngepak atau melompat-lompat atau stimulasi diri.
Sindrom Gangguan Autisme (Autism Syndrome Disorder )
administrator

Istilah autisme dikemukakan oleh Dr Leo Kanner pada 1943. Ada banyak definisi yang
diungkapkan para ahli. Chaplin menyebutkan: “Autisme merupakan cara berpikir yang
dikendalikan oleh kebutuhan personal atau oleh diri sendiri, menanggapi dunia berdasarkan
penglihatan dan harapan sendiri, dan menolak realitas, keasyikan ekstrem dengan pikiran dan
fantasi sendiri”.

Pakar lain mengatakan: “Autisme adalah ketidaknormalan perkembangan yang sampai yang
sampai sekarang tidak ada penyembuhannya dan gangguannya tidak hanya mempengaruhi
kemampuan anak untuk belajar dan berfungsi di dunia luar tetapi juga kemampuannya untuk
mengadakan hubungan dengan anggota keluarganya.”

Semua masalah perilaku anak autis menunjukkan 3 serangkai gangguan yaitu: kerusakan di
bidang sosialisasi, imajinasi, dan komunikasi. Sifat khas pada anak autistik adalah: (1)
Perkembangan hubungan sosial yang terganggu, (2) gangguan perkembangan dalam komunikasi
verbal dan non-verbal, (3) pola perilaku yang khas dan terbatas, (4) manifestasi gangguannya
timbul pada tiga tahun yang pertama.

Teori awal menyebutkan, ada 2 faktor penyebab autisme, yaitu: (1). Faktor psikososial, karena
orang tua “dingin” dalam mengasuh anak sehingga anak menjadi “dingin” pula; dan (2). Teori
gangguan neuro-biologist yang menyebutkan gangguan neuroanatomi atau gangguan biokimiawi
otak. Pada 10-15 tahun terakhir, setelah teknologi kedokteran telah canggih dan penelitian mulai
membuahkan hasil. Penelitian pada kembar identik menunjukkan adanya kemungkinan kelainan
ini sebagian bersifat genetis karena cenderung terjadi pada kedua anak kembar.

Meskipun penyebab utama autisme hingga saat ini masih terus diteliti, beberapa faktor yang
sampai sekarang dianggap penyebab autisme adalah: faktor genetik, gangguan pertumbuhan sel
otak pada janin, gangguan pencernaan, keracunan logam berat, dan gangguan auto-imun. Selain
itu, kasus autisme juga sering muncul pada anak-anak yang mengalami masalah pre-natal,
seperti: prematur, postmatur, pendarahan antenatal pada trisemester pertama-kedua, anak yang
dilahirkan oleh ibu yang berusia lebih dari 35 tahun, serta banyak pula dialami oleh anak-anak
dengan riwayat persalinan yang tidak spontan.

Gangguan autisme mulai tampak sebelum usia 3 tahun dan 3-4 kali lebih banyak pada anak laki-
laki, tanpa memandang lapisan sosial ekonomi, tingkat pendidikan orang tua, ras, etnik maupun
agama, dengan ciri fungsi abnormal dalam tiga bidang: interaksi sosial, komunikasi, dan perilaku
yang terbatas dan berulang, sehingga kesulitan mengungkapkan perasaan maupun keinginannya
yang mengakibatkan hubungan dengan orang lain menjadi terganggu. Gangguan perkembangan
yang dialami anak autistik menyebabkan tidak belajar dengan cara yang sama seperti anak lain
seusianya dan belajar jauh lebih sedikit dari lingkungannya bila dibandingkan dengan anak lain.
Autisme merupakan kombinasi dari beberapa kegagalan perkembangan, biasanya mengalami
gangguan pada:

1. Komunikasi, perkembangan bahasa sangat lambat atau bahkan tidak ada sama sekali.
Penggunakan kata-kata yang tidak sesuai dengan makna yang dimaksud. Lebih sering
berkomunikasi dengan menggunakan gesture dari pada kata-kata; perhatian sangat
kurang.
2. Interaksi Sosial, lebih senang menyendiri dari pada bersama orang lain; menunjukkan
minat yang sangat kecil untuk berteman; response terhadap isyarat sosial seperti kontak
mata dan senyuman sangat minim.
3. Gangguan Sensorik, mempunyai sensitifitas indra (penglihatan, pendengaran, peraba,
pencium dan perasa) yang sangat tinggi atau bisa pula sebaliknya.
4. Gangguan Bermain, anak autistik umumnya kurang memiliki spontanitas dalam
permainan yang bersifat imajinatif; tidak dapat mengimitasi orang lain; dan tidak
mempunyai inisiatif.
5. Perilaku, bisa berperilaku hiper-aktif ataupun hipo-pasif; marah tanpa sebab jelas;
perhatian yang sangat besar pada suatu benda; menampakkan agresi pada diri sendiri dan
orang lain; mengalami kesulitan dalam perubahan rutinitas.

Gangguan lain yang mempengaruhi fungsi otak penyandang autisme adalah: Epilepsi, Retardasi
Mental, Down Syndrome atau gangguan genetis lain. Melihat gangguan-gangguan yang biasanya
menyertai gejala autisme seperti yang dikemukakan di atas, menyebabkan banyak orang
beranggapan bahwa penyandang autisme tidak mempunyai harapan untuk sembuh dan hidup
normal. Namun intervensi behavioral, biologis, dan edukasional terbukti dapat dijadikan alat
untuk mengurangi efek-efek autisme yang merusak. Ada 3 pendekatan utama dalam terapi
terhadap penderita autisme, yaitu: (1). Pendekatan Psiko-dinamis; (2). Pendekatan Behavioral;
dan (3). Medis.

PENDEKATAN TERAPI AUTISME


Autisme sejauh ini memang belum bisa disembuhkan (not curable) tetapi masih dapat diterapi
(treatable). Menyembuhkan berarti “memulihkan kesehatan, kondisi semula, normalitas”. Dari
segi medis, tidak ada obat untuk menyembuhkan gangguan fungsi otak yang menyebabkan
autisme. Beberapa simptom autisme berkurang seiring dengan pertambahan usia anak, bahkan
ada yang hilang sama sekali.

Dengan intervensi yang tepat, perilaku-perilaku yang tak diharapkan dari pengidap autisme dapat
dirubah. Namun, sebagian besar individu autistik dalam hidupnya akan tetap menampakkan
gejala-gejala autisme pada tingkat tertentu. Sebenarnya pada penanganan yang tepat, dini,
intensif dan optimal, penyandang autisme bisa normal. Mereka masuk ke dalam mainstream
yang berarti bisa sekolah di sekolah biasa, dapat berkembang dan mandiri di masyarakat, serta
tidak tampak ”gejala sisa”. Kemungkinan normal bagi pengidap autisme tergantung dari berat
tidaknya gangguan yang ada.

Terapi dengan Pendekatan Psikodinamis

Pendekatan terapi berorientasi psikodinamis terhadap individu autistik berdasarkan asumsi


bahwa penyebab autisme adalah adanya penolakan dan sikap orang tua yang “dingin” dalam
mengasuh anak. Terapi Bettelheim dilakukan dengan menjauhkan anak dari kediaman dan
pengawasan orang tua. Kini terapi dengan pendekatan psikodinamis tidak begitu lazim
digunakan karena asumsi dasar dari pendekatan ini telah disangkal oleh bukti-bukti yang
menyatakan bahwa autisme bukanlah akibat salah asuhan melainkan disebabkan oleh gangguan
fungsi otak.. Pendekatan yang berorientasi Psiko-dinamis didominasi oleh teori-teori awal yang
memandang autisme sebagai suatu masalah ketidakteraturan emosional.

Terapi Dengan Intervensi Behavioral

Pendekatan Behavioral telah terbukti dapat memperbaiki perilaku individu autistik. Pendekatan
ini merupakan variasi dan pengembangan teori belajar yang semula hanya terbatas pada sistem
pengelolaan ganjaran dan hukuman (reward and punishment). Prinsipnya adalah mengajarkan
perilaku yang sesuai dan diharapkan serta mengurangi/mengeliminir perilaku-perilaku yang
salah pada individu autistik. Pendekatan ini juga menekankan pada pendidikan khusus yang
difokuskan pada pengembangan kemampuan akademik dan keahlian-keahlian yang berhubungan
dengan pendidikan. Saat ini ada beberapa sistem behavioral yang diterapkan pada individu
dengan kebutuhan khusus seperti autisme:

1. Operant Conditioning (konsep belajar operan). Pendekatan operan merupakan penerapan


prinsip-prinsip teori belajar secara langsung. Prinsip pemberian ganjaran dan hukuman:
perilaku yang positif akan mendapatkan konsekuensi positif (reward), sebaliknya perilaku
negatif akan mendapat konsekuensi negatif (punishment). Dengan demikian diharapkan
inti dan tujuan utama dari pendekatan ini yaitu mengembangkan dan meningkatkan
perilaku positif, serta mengurangi perilaku negatif yang tidak produktif.
2. Cognitive Learning (konsep belajar kognitif).Struktur pengajaran pada pendekatan ini
sedikit berbeda dengan konsep belajar operan. Fokusnya lebih kepada seberapa baik
pemahaman individu autistik terhadap apa yang diharapkan oleh lingkungan. Pendekatan
ini menggunakan ganjaran dan hukuman untuk lebih menegaskan apa yang diharapkan
lingkungan terhadap anak autistik. Fokusnya adalah pada seberapa baik seorang penderita
autistik dapat memahami lingkungan disekitarnya dan apa yang diharapkan oleh
lingkungan tersebut terhadap dirinya. Latihan relaksasi merupakan bentuk lain dari
pendekatan kognitif. Latihan ini difokuskan pada kesadaran dengan menggunakan tarikan
napas panjang, pelemasan otot-otot, dan perumpamaan visual untuk menetralisir
kegelisahan.
3. Social Learning (konsep belajar sosial). Ketidakmampuan dalam menjalin interaksi sosial
merupakan masalah utama dalam autisme, karena itu pendekatan ini menekankan pada
pentingnya pelatihan keterampilan sosial (social skills training). Teknik yang sering
digunakan dalam mengajarkan perilaku sosial positif antara lain: modelling (pemberian
contoh), role playing (permainan peran), dan rehearsal (latihan/pengulangan). Pendekatan
belajar sosial mengkaji perilaku dalam hal konteks sosial dan implikasinya dalam fungsi
personal.

Salah satu bentuk modifikasi dari intervensi behavioral yang banyak di terapkan di pusat-pusat
terapi di Indonesia adalah teknik modifikasi tatalaksana perilaku oleh Ivar Lovaas. Terapi ini
menggunakan prinsip belajar-mengajar untuk mengajarkan sesuatu yang kurang atau tidak
dimiliki anak autis. Misalnya anak diajar berperhatian, meniru suara, menggunakan kata-kata,
bagaimana bermain. Hal yang secara alami bisa dilakukan anak-anak biasa, tetapi tidak dimiliki
anak penyandang autisme. Semua keterampilan yang ingin diajarkan kepada penyandang
autisme diberikan secara berulang-ulang dengan memberi imbalan bila anak memberi respons
yang baik. awalnya imbalan bisa berbentuk konkret seperti mainan, makanan atau minuman.
Tetapi sedikit demi sedikit imbalan atas keberhasilan anak itu diganti dengan imbalan sosial,
misalnya pujian, pelukan dan senyuman.

Bentuk-bentuk psikoterapi menggunakan pendekatan behavioral (behavior therapy) kepada


anak/individu dengan ASD, bersumber pada teori belajar, khususnya pengondisian operan
Skinner. Perspektif behaviorisme Skinner memandang individu sebagai organisme yang
perbendaharaan tingkah lakunya di peroleh melalui belajar.

Skinner membedakan dua tipe respons tingkah laku: responden dan operan (operant). Respons
(tingkah laku) selalu didahului oleh stimulus dan tingkah laku responden diperoleh melalui
belajar serta bisa dikondisikan. Skinner yakin kecenderungan organisme untuk mengulang
ataupun menghentikan tingkah lakunya di masa datang tergantung pada hasil atau konsekuensi
(pemerkuat/positive dan negative reinforcer) yang diperoleh oleh organisme/individu dari
tingkah lakunya tersebut. Para ahli teori belajar membagi pemerkuat (reinforcer) menjadi dua:
(1) pemerkuat primer (unconditioned reinforcer), adalah kejadian atau objek yang memiliki sifat
memperkuat secara inheren tanpa melalui proses belajar seperti: makanan bagi yang lapar;
sedangkan (2) pemerkuat sekunder (pemerkuat sosial) merupakan hal, kejadian, atau objek
memperkuat respons melalui pengalaman pengondisian atau proses belajar pada organisme.
Meskipun menurut Skinner nilai pemerkuat sekunder belum tentu sama pada setiap orang,
namun pemerkuat sekunder memiliki daya yang besar bagi pembentukan dan pengendalian
tingkah laku.

Thorndike dan Watson memandang bahwa "organisme dilahirkan tanpa sifat-sifat sosial atau
psikologis; perilaku adalah hasil dari pengalaman; dan perilaku di gerakkan atau dimotivasi oleh
kebutuhan untuk memperbanyak kesenangan dan mengurangi penderitaan". Behavioris melalui
beberapa eksperimen seperti: metode pelaziman klasik (classical conditioning), operant
conditioning, dan konsep belajar sosial (social learning) menyimpulkan bahwa manusia sangat
plastis sehingga dapat dengan mudah di bentuk oleh lingkungan.

Intervensi Biologis

Intervensi biologis mencakup pemberian obat dan vitamin kepada individu autistik. Pemberian
obat tidak telalu membantu bagi sebagian besar anak autistik. Secara farmakologis hanya sekitar
10-15% pengidap autisme yang cocok dan terbantu oleh pemberian obat-obatan dan vitamin.

RAPIDITAS PENGIDAP AUTISME

Jumlah penderita autisme terus meningkat, di Amerika telah dinyatakan sebagai national-
alarming, karena peningkatan jumlah penderita dari tahun ke tahun cukup mengkhawatirkan.
Prevalensi penderita autisme secara umum, terus menunjukkan peningkatan, pada 1987
ditemukan pada 1:5000 penduduk, sepuluh tahun berikutnya perbandingannya menjadi 1:500,
kemudian menjadi 1:250 di tahun 2000. Pada 2001 Center for Disease Control and Prevention
autisme dijumpai pada 2-6 per 1.000 orang atau 1 di antara 150 penduduk, sedangkan pada
tahun-tahun berikutnya diperkirakan peningkatannya mencapai 10-17% per tahun, yang berarti
akan terdapat 4 juta penyandang autisme di Amerika pada dekade berikutnya.

Berdasarkan data di Poliklinik Jiwa Anak Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo
Jakarta, pada 1989 tercatat hanya 2 pasien autisme. Pada 2000, meningkat menjadi 103 anak. Di
RS Pondok Indah Jakarta Selatan hampir setiap hari datang seorang pasien autisme baru. Di
RSUD Soetomo Surabaya, pada 1997 jumlahnya meningkat drastis sampai 20 anak per tahun,
dari hanya 2-3 orang anak di tahun-tahun sebelumnya. Data yang diungkapkan oleh ahli autisme
di Indonesia, pada tahun 80-an pasien autis masih sangat jarang tapi memasuki tahun 90-an
kasus autisme mulai muncul 1-2 pasien baru setiap harinya dan terus meningkat jumlahnya
hingga 4-5 pasien baru di tahun 2000.

Pusat Pengamatan dan Pengkajian Tumbuh Kembang Anak (PPPTKA/P3TKA) Yogyakarta,


sejak 1982 hingga 1990, anak yang terdiagnosis autisme berjumlah 40 anak. Data tersebut
mengungkapkan 87,5 % merupakan anak laki-laki, serta 50% merupakan anak pertama. Data
pada Yayasan Autisme Semarang (YAS), jumlah penyandang autisme yang telah terdeteksi
sampai Juni 2003 mencapai 165 anak dengan rentang usia 2-17 tahun. Jumlah tersebut belum
dapat disebut angka pasti karena jumlah pengidap autisme yang tidak terdeteksi bisa jadi lebih
banyak lagi, akibat ketidaktahuan masyarakat mengenai gangguan perkembangan ini serta biaya
diagnosa autisme yang memang relatif mahal.

Autisme tidak dapat didiagnosis hanya dengan observasi tunggal, melainkan harus dilakukan
observasi terhadap perkembangan anak dan perubahannya dalam suatu jangka yang lama.
Idealnya seorang anak yang diduga mengidap autisme perlu diperiksa secara multidisiplin oleh
dokter anak, dokter syaraf, psikolog, terapi wicara, konsultan pendidikan, atau pakar lain yang
ahli dalam bidang autisme. Biaya yang harus dikeluarkan untuk menegakkan diagnosa autisme
menjadi sangat mahal.

PENYEBAB, KRITERIA DIAGNOSTIK DAN GEJALANYA

Belum ada kesepakatan mengenai penyebab utama autisme. Para ahli hanya meyakini
disebabkan oleh multifaktor yang saling berkaitan satu sama lain, seperti: faktor genetik,
abnormalitas sistem pencernaan (gastro-intestinal), polusi lingkungan, disfungsi imunologi,
gangguan metabolisme (inborn error), gangguan pada masa kehamilan/persalinan, abnormalitas
susunan syaraf pusat/struktur otak, dan abnormalitas biokimiawi.

Awalnya autisme diduga sebagai kegagalan orang tua dalam pengasuhan anak, yaitu perilaku
orang tua terutama ibu yang “dingin” dalam mengasuh anak sehingga anak menjadi “dingin”
pula. Faktor psikologis dianggap sebagai pencetus autisme yang menyebabkan anak menolak
dunia luar. Teori ini selanjutnya dikenal dengan teori psikososial serta populer sekitar tahun
1950-1960.

Teori tersebut kemudian disusul dengan teori neurologis. Dari berbagai gangguan perkembangan
otak, mungkin gangguan autisme adalah yang paling menarik dan misterius. Hal ini akibat
kompleksitas berbagai sistem otak yang berinteraksi dan rumit karena mengenai aspek sosial,
kognitif dan linguistik sehingga sangat erat dengan komunikasi dan humanitas. Penelitian dalam
bidang neoroanatomi, neorofisiologi, neorokimiawi dan genetika pada beberapa anak
penyandang autisme menunjukkan adanya gangguan atau kelainan pada perkembangan sel-sel
otak selama dalam kandungan. Pada saat pembentukan sel-sel tersebut terjadi gangguan
oksigenasi, pendarahan, keracunan, infeksi TORCH yang mengganggu kesempurnaan
pembentukan sel otak di beberapa tempat.

Faktor lain yang juga diduga dan diyakini penyebab autisme adalah faktor perinatal, yaitu:
selama kehamilan, gangguan pembentukan sel otak oleh berbagai faktor penyebab, serta
berbagai faktor sesaat setelah kelahiran. Selain itu, pengobatan pada ibu hamil juga dapat
merupakan faktor resiko yang menyebabkan autisme. Komplikasi yang paling sering dilaporkan
berhubungan dengan autisme adalah pendarahan trisemester pertama dan gawat janin disertai
aspirasi mikonium saat mendekati kelahiran. Kasus autisme ditemukan pada masalah-masalah
pranatal, seperti: premature, postmature, pendarahan antenatal pada trisemester pertama-kedua,
umur ibu lebih dari 35 tahun, serta banyak dialami anak-anak dengan riwayat persalinan yang
tidak spontan serta “repiratory distress syndrome”.

Adanya gangguan struktur dan fungsi otak disebabkan oleh: (1) herediter/genetik, dimana
saudara dari para penyandang autisme mempunyai resiko puluhan kali untuk dapat menyandang
autisme dibandingkan dengan anak-anak lain yang tidak mempunyai saudara yang menyandang
autisme; (2) proses selama kehamilan dan persalinan. Diduga infeksi virus pada awal kehamilan,
komplikasi kehamilan dan persalinan, dapat berkaitan dengan lahirnya anak autisme.

Pada beberapa kasus, ditemukan bahwa autisme memang berkaitan dengan masalah genetik,
walaupun hingga kini belum ditemukan gen tertentu yang berhubungan secara langsung
menyebabkan autisme. Para ahli meyakini bahwa gen yang mendasari autisme sangat kompleks
dan mungkin terdiri atas kombinasi beberapa gen. Teori yang meyakini faktor genetik
memegang peran penting dalam terjadinya autisme diungkapkan pada tahun 1977. Hubungan
autisme dan masalah genetik ini dibuktikan dengan kenyataan bahwa 2,5% hingga 3% autisme
ditemukan pada saudara dari pengidap autisme, yang berarti jauh lebih tinggi jika dibandingkan
dengan populasi normal.

Faktor lain yang juga dituding adalah gangguan susunan syaraf pusat. Gangguan metabolisme
yang mengganggu kerja otak seperti: kekurangan vitamin, mineral, enzim, dsb.; alergi makanan;
gangguan pencernaan; infeksi dinding usus oleh jamur, virus, bakteri; keracunan logam berat;
serta gangguan kekebalan tubuh juga sering dikaitkan dengan munculnya autisme pada anak
yang semula terlahir normal tapi mulai menampakkan gejala autisme sekitar usia 2 tahun.

Selain merupakan gangguan perkembangan yang disebabkan oleh multifaktor, autisme juga
mempunyai gejala yang sangat beragam pada tiap individu. Inkonsistensi gejala yang muncul
pada seorang anak serta derajat gangguan yang bervariasi antara anak yang satu dan yang lainnya
memerlukan ketelitian, pengetahuan dan pengalaman para profesional dalam mendiagnosis
autisme. Disamping itu, juga diperlukan diagnosis banding untuk membedakan autisme dengan
gangguan perkembangan yang lain seperti: schizofrenia pada anak, retardasi mental, gangguan
perkembangan berbahasa ekspresif ataupun reseptif, sindrom asperger, gangguan pendengaran,
dll.

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV). Kategori diagnostik autisme
terus mengalami perubahan dari tahun ke tahun seiring dengan kemajuan riset mengenai autisme.
Diagnosis autisme dibuat jika ditemukan sejumlah kriteria yang terdaftar didalam DSM-IV:

Harus ada sedikitnya 6 atau lebih gejala dari a., b., dan c., dengan paling tidak 2 gejala
dari a., dan masing-masing 1 gejala dari tiap b. dan c.:

1. Gangguan kualitatif dalam interaksi sosial yang timbal balik, yang dimanifestasikan
melalui paling tidak 2 dari gejala-gejala dibawah ini: (a) Gangguan yang berarti dalam
tingkah laku nonverbal, seperti pandangan/tatapan mata, ekspresi wajah, postur tubuh,
dan gerak anggota badan yang mengatur interaksi sosial. (b) Kegagalan untuk
membangun hubungan dengan teman sebaya yang sesuai dengan tingkat perkembangan
mentalnya. (c) Kurangnya spontanitas dalam berbagi kesenangan, minat, dan
hasil/prestasi dengan orang lain (misalnya: jarang memperlihatkan, membawa, atau
menunjukkan benda/hal yang ia minati). (d) Kurang mampu mengadakan hubungan
sosial dan emosional yang timbal balik.
2. Gangguan kualitatif dalam komunikasi, yang dimanifestasikan melalui paling tidak 1 dari
gejala-gejala dibawah ini: (a) Mengalami keterlambatan atau sama sekali tidak ada
perkembangan bahasa lisan (tidak ada upaya untuk menggantinya dengan cara
berkomunikasi yang lain seperti gerak badan atau mimik wajah). (b) Kemampuan bicara
sangat individual, ditandai dengan gangguan dalam kemampuan untuk memulai dan
melakukan pembicaraan dengan orang lain. (c) Penggunaan bahasa yang aneh dan
diulang-ulang. (d) Kurang variasi dan spontanitas dalam permainan berpura-pura atau
peniruan sosial yang sesuai dengan perkembangan mentalnya.
3. Perilaku, minat dan aktifitas yang terbatas dan berulang-ulang, yang dimanifestasikan
oleh paling tidak 1 dari gejala-gejala di bawah ini: (a) Keasyikan yang tidak wajar dalam
hal fokus dan intensitas terhadap suatu pola minat yang terbatas dan berulang-ulang. (b)
Terpaku terhadap rutinitas atau ritual yang tak ada gunanya. (c) Perilaku motorik yang
terbatas dan berulang-ulang (misalnya: mengepakkan atau memutar tangan dan jari, atau
menggerak-gerakkan seluruh anggota badan). (d) Keasyikan yang berlebihan terhadap
bagian tertentu dari objek/benda.

Sebelum usia 3 tahun terjadi keterlambatan atau abnormalitas fungsi yang tampak pada
paling tidak 1 dari bidang-bidang berikut ini: a. interaksi sosial, b. bahasa yang digunakan
dalam komunikasi sosial, atau c. permainan yang bersifat simbolis atau imajinatif.

Gangguan tidak disebabkan oleh Sindroma Rett atau gangguan disintegratif masa kanak-
kanak.

Secara umum ada beberapa gejala yang tampak pada individu autisme sebelum mencapai usia 3
tahun, gejala-gejala tersebut adalah sebagai berikut:

1. Gangguan dalam bidang komunikasi verbal dan nonverbal: (a) Terlambat berbicara. (b)
Berbicara dengan bahasa yang tidak dapat dimengerti orang lain. (c) Bila kata-kata mulai
diucapkan, tidak mengerti artinya. (d) Bicara tidak dipakai untuk komunikasi. (e) Banyak
meniru atau membeo (echolalia). (f) Beberapa anak sangat pandai menirukan nyanyian,
nada maupun kata-katanya, tanpa mengerti artinya, sebagian dari anak-anak ini tetap tak
dapat bicara sampai dewasa. (g) Bila menginginkan sesuatu, menarik tangan yang
terdekat dan mengharapkan tangan tersebut melakukan sesuatu untuknya.
2. Gangguan dalam bidang interaksi sosial: (a) Menolak/menghindari tatapan mata. (b)
Tidak mau menengok bila dipanggil. (c) Seringkali menolak untuk dipeluk. (d) Tak ada
usaha untuk melakukan interaksi dengan orang lain, lebih asyik main sendiri. (e) Bila
didekati untuk diajak bermain malah menjauh.
3. Gangguan dalam perilaku: (a) Pada anak autistik terlihat adanya perilaku berlebihan
(excess) atau kekurangan (deficit). Contoh perilaku yang berlebihan misalnya:
hiperaktivitas motorik seperti tidak bisa diam, jalan mondar-mandir tanpa tujuan yang
jelas, melompat-lompat, dan mengulang-ngulang suatu gerakan tertentu. Contoh perilaku
yang kekurangan adalah: duduk dengan tatapan kosong, melakukan permainan yang
sama/monoton, sering duduk diam terpukau oleh suatu hal misalnya benda yang berputar.
(b) Kadang ada kelekatan tertentu pada benda tertentu yang terus dipegangnya dan
dibawa kemana-mana. (c) Perilaku yang ritualistik.
4. Gangguan dalam perasaan/emosi: (a) Tidak dapat ikut merasakan yang dirasakan oleh
orang lain, misalnya melihat anak menangis tidak akan merasa kasihan malah merasa
terganggu, dan mungkin anak yang mendatangi anak tersebut dan memukulnya. (b)
Kadang tertawa-tawa sendiri, menangis atau marah-marah tanpa sebab yang nyata. (c)
Sering mengamuk tak terkendali, terutama jika tidak mendapatkan apa yang diinginkan,
bisa menjadi agresif atau destruktif.
5. Gangguan dalam persepsi sensoris: (a) Mencium-cium atau mengigit mainan atau benda-
benda apa saja. (b) Bila mendengar suara tertentu langsung menutup telinga. (c) Tidak
menyukai rabaan atau pelukan. (d) Merasa sangat tidak nyaman jika dipakaikan pakaian
dari bahan yang kasar.
6. Gejala tersebut tidak harus ada pada setiap anak penyandang autisme. Pada penyandang
autisme yang berat mungkin hampir semua gejala itu ada, namun pada kelompok yang
tergolong ringan hanya terdapat sebagian dari gejala-gejala tersebut.

Autisme merupakan spectrum disorder, sehingga gejala dan karakteristik yang tampak pada
setiap individu autistik sangat beragam kombinasinya, dari ringan sampai berat. Karena itu tidak
ada standard “tipe” tertentu bagi individu autistik.

Terapi Makanan
administrator

Terapi Diet pada Gangguan Autisme

Sampai saat ini belum ada obat atau diet khusus yang dapat memperbaiki struktur otak atau
jaringan syaraf yang kelihatannya mendasari gangguan autisme. Seperti diketahui gejala yang
timbul pada anak dengan gangguan autisme sangat bervariasi, oleh karena itu terapinya sangat
individual tergantung keadaan dan gejala yang timbul, tidak bisa diseragamkan. Namun akan
sulit sekali membuat pedoman diet yang sifatnya sangat individual. Perlu diperhatikan bahwa
anak dengan gangguan autisme umumnya sangat alergi terhadap beberapa makanan. Pengalaman
dan perhatian orangtua dalam mengatur makanan dan mengamati gejala yang timbul akibat
makanan tertentu sangat bermanfaat dalam terapi selanjutnya. Terapi diet disesuaikan dengan
gejala utama yang timbul pada anak. Berikut beberapa contoh diet anak autisme.

1. Diet tanpa gluten dan tanpa kasein

Berbagai diet sering direkomendasikan untuk anak dengan gangguan autisme. Pada umumnya,
orangtua mulai dengan diet tanpa gluten dan kasein, yang berarti menghindari makanan dan
minuman yang mengandung gluten dan kasein.

Gluten adalah protein yang secara alami terdapat dalam keluarga “rumput” seperti
gandung/terigu, havermuth/oat, dan barley. Gluten memberi kekuatan dan kekenyalan pada
tepung terigu dan tepung bahan sejenis, sedangkan kasein adalah protein susu. Pada orang sehat,
mengonsumsi gluten dan kasein tidak akan menyebabkan masalah yang serius/memicu
timbulnya gejala. Pada umumnya, diet ini tidak sulit dilaksanakan karena makanan pokok orang
Indonesia adalah nasi yang tidak mengandung gluten. Beberapa contoh resep masakan yang
terdapat pada situs Autis.info ini diutamakan pada menu diet tanpa gluten dan tanpa kasein. Bila
anak ternyata ada gangguan lain, maka tinggal menyesuaikan resep masakan tersebut dengan
mengganti bahan makanan yang dianjurkan. Perbaikan/penurunan gejala autisme dengan diet
khusus biasanya dapat dilihat dalam waktu antara 1-3 minggu. Apabila setelah beberapa bulan
menjalankan diet tersebut tidak ada kemajuan, berarti diet tersebut tidak cocok dan anak dapat
diberi makanan seperti sebelumnya.

Makanan yang dihindari adalah :

 Makanan yang mengandung gluten, yaitu semua makanan dan minuman yang dibuat dari
terigu, havermuth, dan oat misalnya roti, mie, kue-kue, cake, biscuit, kue kering, pizza,
macaroni, spageti, tepung bumbu, dan sebagainya.
 Produk-produk lain seperti soda kue, baking soda, kaldu instant, saus tomat dan saus
lainnya, serta lada bubuk, mungkin juga menggunakan tepung terigu sebagai bahan
campuran. Jadi, perlu hati-hati pemakaiannya. Cermati/baca label pada kemasannya.
 Makanan sumber kasein, yaitu susu dan hasil olahnya misalnya, es krim, keju, mentega,
yogurt, dan makanan yang menggunakan campuran susu.
 Daging, ikan, atau ayam yang diawetkan dan diolah seperti sosis, kornet, nugget, hotdog,
sarden, daging asap, ikan asap, dan sebagainya. Tempe juga tidak dianjurkan terutama
bagi anak yang alergi terhadap jamur karena pembuatan tempe menggunakan fermentasi
ragi.
 Buah dan sayur yang diawetkan seperti buah dan sayur dalam kaleng.

Makanan yang dianjurkan adalah :


 Makanan sumber karbohidrat dipilih yang tidak mengandung gluten, misalnya
beras, singkong, ubi, talas, jagung, tepung beras, tapioca, ararut, maizena,
bihun, soun, dan sebagainya.
 Makanan sumber protein dipilih yang tidak mengandung kasein, misalnya susu
kedelai, daging, dan ikan segar (tidak diawetkan), unggas, telur, udang, kerang,
cumi, tahu, kacang hijau, kacang merah, kacang tolo, kacang mede, kacang
kapri dan kacang-kacangan lainnya.
 Sayuran segar seperti bayam, brokoli, labu siam, labu kuning, kangkung, tomat,
wortel, timun, dan sebagainya.
 Buah-buahan segar seperti anggur, apel, papaya, mangga, pisang, jambu, jeruk,
semangka, dan sebagainya.

2. Diet anti-yeast/ragi/jamur

Diet ini diberikan kepada anak dengan gangguan infeksi jamur/yeast. Seperti telah dijelaskan
sebelumnya bahwa pertumbuhan jamur erat kaitannya dengan gula, maka makanan yang
diberikan tanpa menggunakan gula, yeast, dan jamur.

Makanan yang perlu dihindari adalah :

 Roti, pastry, biscuit, kue-kue dan makanan sejenis roti, yang menggunakan gula
dan yeast.
 Semua jenis keju.
 Daging, ikan atau ayam olahan seperti daging asap, sosis, hotdog, kornet, dan
lain-lain.
 Macam-macam saus (saus tomat, saus cabai), bumbu/rempah, mustard,
monosodium glutamate, macam-macam kecap, macam-macam acar (timun,
bawang, zaitun) atau makanan yang menggunakan cuka, mayonnaise, atau
salad dressing.
 Semua jenis jamur segar maupun kering misalnya jamur kuping, jamur merang,
dan lain-lain.
 Buah yang dikeringkan misalnya kismis, aprokot, kurma, pisang, prune, dan lain-
lain.
 Fruit juice/sari buah yang diawetkan, minuman beralkohol, dan semua minuman
yang manis.
 Sisa makanan juga tidak boleh diberikan karena jamur dapat tumbuh dengan
cepat pada sisa makanan tersebut, kecuali disimpan dalam lemari es.

Makanan tersebut dianjurkan untuk dihindari 1-2 minggu. Setelah itu, untuk mencobanya
biasanya diberikan satu per satu. Bila tidak menimbulkan gejala, berarti dapat dikonsumsi.

Makanan yang dianjurkan adalah :

 Makanan sumber karbohidrat: beras, tepung beras, kentang, ubi, singkong,


jagung, dan tales. Roti atau biscuit dapat diberikan bila dibuat dari tepaung yang
bukan tepung terigu.
 Makanan sumber protein seperti daging, ikan, ayam, udang dan hasil laut lain
yang segar.
 Makanan sumber protein nabati seperti kacang-kacangan (almod, mete, kacang
kedelai, kacang hijau, kacang polong, dan lainnya). Namun, kacang tanah tidak
dianjurkan karena sering berjamur.
 Semua sayuran segar terutama yang rendah karbohidrat seperti brokoli, kol,
kembang kol, bit, wortel, timun, labu siam, bayam, terong, sawi, tomat, buncis,
kacang panjang, kangkung, tomat, dan lain-lain.
 Buah-buahan segar dalam jumlah terbatas.

3. Diet untuk alergi dan inteloransi makanan

Anak autis umumnya menderita alergi berat. Makanan yang sering menimbulkan alergi adalah
ikan, udang, telur, susu, cokelat, gandum/terigu, dan bias lebih banyak lagi. Cara mengatur
makanan untuk anak alergi dan intoleransi makanan, pertama-tama perlu diperhatikan sumber
penyebabnya. Makanan yang diduga menyebabkan gejala alergi/intoleransi harus dihindarkan.
Misalnya, jika anak alergi terhadap telur, maka semua makanan yang menggunakan telur harus
dihindarkan. Makanan tersebut tidak harus dipantang seumur hidup. Dengan bertambahnya umur
anak, makanan tersebut dapat diperkenalkan satu per satu, sedikit demi sedikit.

Cara mengatur makanan secara umum

1. Berikan makanan seimbang untuk menjamin agar tubuh memperoleh semua zat
gizi yang dibutuhkan untuk keperluan pertumbuhan, perbaikan sel-sel yang rusak
dan kegiatan sehari-hari.
2. Gula sebaiknya dihindari, khususnya bagi yang hiperaktif dan ada infeksi jamur.
Fruktosa dapat digunakan sebagai pengganti gula karena penyerapan fruktosa
lebih lambat disbanding gula/sukrosa.
3. Minyak untuk memasak sebaiknya menggunakan minyak sayur, minyak jagung,
minyak biji bunga matahari, minyak kacang tanah, minyak kedelai, atau minyak
olive. Bila perlu menambah konsumsi lemak, makanan dapat digoreng.
4. Cukup mengonsumsi serat, khususnya serat yang berasal dari sayuran dan
buah-buahan segar. Konsumsi sayur dan buah 3-5 porsi per hari.
5. Pilih makanan yang tidak menggunakan food additive (zat penambah rasa, zat
pewarna, zat pengawet).
6. Bila keseimbangan zat gizi tidak dapat dipenuhi, pertimbangkan pemberian
suplemen vitamin dan mineral (vitamin B6, vitmin C, seng, dan magnesium).
7. Membaca label makanan untuk mengetahui komposisi makanan secara lengkap
dan tanggal kadaluwarsanya.
8. Berikan makanan yang cukup bervariasi. Bila makanan monoton, maka anak
akan bosan.
9. Hindari junk food seperti yang saat ini banyak dijual, ganti dengan buah dan
sayuran segar.

ANAK AUTISME ADALAH PENGUMPUL DATA

Ceramah sepanjang dua hari yang diberikan oleh Prof Buitelaar itu juga menyinggung
bagaimana seorang anak autisme dalam mengembangkan inteligensianya. Inteligensia anak-anak
kelompok autisme sebetulnya cukup beragam, mulai dari yang mental retarded hingga yang
mempunyai inteligensia tinggi. Namun yang menarik disini adalah sekalipun anak itu merupakan
anak autisme dengan IQ yang tidak tinggi sekalipun, ada yang mampu mengumpulkan informasi
atau data sangat luar biasa. Misalnya ia mampu menyebutkan nama-nama burung hingga ratusan.
Ia mampu membedakan dan menyebutkan setiap nama burung itu. Namun tidak lebih dari itu
saja.

Pada anak autisme yang mempunyai inteligensia tinggi, biasa disebut sebagai Asperger.
Kelompok ini adalah kelompok autisme yang mempunyai perkembangan fungsi yang tinggi
yang kemudian disebut High Function. Nama Asperger sendiri diambil dari nama seorang dokter
anak Hans Asperger dari Austria, adalah yang pertama kali mengemukakan kasus autisme ini.
Kelompok ini memang mempunyai gangguan berbahasa, tetapi tidak mengalami gangguan
perkembangan bicara. Perkembangan bicaranya sesuai dengan jadwal, atau dengan kata lain
tidak mengalami keterlambatan bicara. Sekalipun tidak terlambat bicara, berbahasanya sangat
kaku.

Anak-anak Asperger ini saat kecilnya sering disangka anak berbakat (gifted children), namun
ternyata apa yang dikuasai lebih menjurus pada kemampuan meregistrasi atau pengumpul data,
sehingga tidak bisa dikelompokkan sebagai anak berbakat. Kelompok Asperger ini seringkali
justru sangat terlambat terdeteksi, karena selain ia mempunyai inteligensia yang baik, juga
tidak mengalami keterlambatan bicara. Inteligensianya sering menutupi kekurangannya.
Buitelaar mengakui cukup sulit membedakan anak-anak berbakat (gifted children) yang
mempunyai inteligensia sangat tinggi namun mengalami gangguan bersosialisasi sebagaimana
halnya dengan kelompok Asperger.

Gangguan bersosialisasi pada anak-anak berbakat (gifted children) menurut Buitelaar lagi, lebih
banyak disebabkan karena bahasa yang dikuasai anak-anak berbakat sangat berbeda dengan
anak-anak lainnya, atau teman sepermainannya. Seringkali anak-anak normal, teman
sepermainannya tidak mengerti apa yang dibicarakan oleh anak-anak berbakat (gifted) ini.
Sekalipun antara anak berbakat (gifted children) dan kelompok Asperger mempunyai kesamaan
berkemampuan mengumpulkan pengetahuan yang luar biasa, namun tetap Asperger sebagai
kelompok autisme, adalah individu yang mengalami kegagalan dalam melihat konteks dan
hubungan antar data dalam pengetahuan tersebut.

Ia memberikan contoh, andaikan ada dua anak yang satu adalah Asperger dan yang satu adalah
anak berbakat (gifted child), mereka mempunyai minatan yang sama pada misalnya berbagai
macam dinosaurus. Anak autisme hanya akan mengumpulkan data tentang berbagai macam
dinosaurus, tentang kehidupannya, namun tak mampu menganalisa hubungan dinosaurus dengan
kehidupan ini di mana justru kemampuan ini dimiliki oleh anak-anak berbakat (gifted child).

Anak autisme juga hanya mempunyai bidang minatan yang sangat sempit, berbeda dengan
anak-anak normal, ataupun anak-anak berbakat (gifted) di mana bisa mempunyai bidang minatan
yang luas. Buitelaar mencotohkan pada pasiennya yang setiap datang hanya menceritakan
tentang mesin cucinya.

Perkembangan fantasi dan imajinasi anak-anak autisme juga sangat kurang. Sehingga
andaikan anak ini diajak bermain fantasi ia tidak
akan bisa. Ia hanya mampu melakukan suatu kegiatan yang tidak menggunakan fantasi dan
imajinasinya. Andaikan ia memperhatikan satu benda, misalnya sebuah mobil-mobilan ia hanya
akan memperhatikan satu bagian saja, dan tak bisa memainkan mobilan itu sebagaimana anak-
anak lainnya.

Dalam kesempatan seminar kali ini juga dipamerkan puluhan lukisan hasil karya Osi, seorang
penyandang autisme berusia 18 tahun, putra dari pasangan Ir Buggi Rustamadji, MSc yang juga
direktur sekolah lanjutan atas Fredofios, dan Ibu Soedarjati MA. Osi mampu menggambar
dengan sangat baik, dengan warna-warna yang memikat, dan sangat realis. Temanya adalah apa
yang dilihat dan dialaminya sehari-hari. Misalnya keramaian di kota, tempat menjemur baju, di
restorant, saudara-saudaranya, ayah dan ibunya.

Teman Osi, Opik, adalah sesama penyandang autisme juga memamerkan karya-karya, tak kalah
dengan karya Osi yang puluhan banyaknya. Namun yang menarik dari kedua pelukis
penyandang autisme ini adalah, karya lukisannya bagai sebuah suatu laporan pandangan mata
yang detil, sangat perfek, dan tanpa dibumbui oleh suatu unsur imajinasi. Di sinilah kekhususan
dari perkembangan kognitif penyandang autisme. Sekalipun di dalam gambar- gambarnya itu
juga berdiri gambar manusia, namun manusia-manusia yang digambarkan itu adalah detil yang
melengkapi apa yang dilaporkan. Bukan sebuah karya imajinasi yang menjelaskan banyak arti.
Akan berbeda misalnya dengan karya gambar seorang anak berbakat, di mana karya-karya penuh
dengan fantasi dan imajinasi, bahkan seringkali tidak realis sama sekali.
10 Jenis Terapi Autisme
administrator

Akhir-akhir ini bermunculan berbagai cara / obat / suplemen yang ditawarkan dengan iming-
iming bisa menyembuhkan autisme. Kadang-kadang secara gencar dipromosikan oleh si penjual,
ada pula cara-cara mengiklankan diri di televisi / radio / tulisan-tulisan.
 
Para orang tua harus hati-hati dan jangan sembarangan membiarkan anaknya sebagai kelinci
percobaan. Sayangnya masih banyak yang terkecoh , dan setelah mengeluarkan banyak uang
menjadi kecewa oleh karena hasil yang diharapkan tidak tercapai.
Dibawah ini ada 10 jenis terapi yang benar-benar diakui oleh para professional dan memang
bagus untuk autisme. Namun, jangan lupa bahwa Gangguan Spectrum Autisme adalah suatu
gangguan proses perkembangan, sehingga terapi jenis apapun yang dilakukan akan memerlukan
waktu yang lama. Kecuali itu, terapi harus dilakukan secara terpadu dan setiap anak
membutuhkan jenis terapi yang berbeda.

1) Applied Behavioral Analysis (ABA)

ABA adalah jenis terapi yang telah lama dipakai , telah dilakukan penelitian dan didisain khusus
untuk anak dengan autisme. Sistem yang dipakai adalah memberi pelatihan khusus pada anak
dengan memberikan positive reinforcement (hadiah/pujian). Jenis terapi ini bias diukur
kemajuannya. Saat ini terapi inilah yang paling banyak dipakai di Indonesia.

2) Terapi Wicara

Hampir semua anak dengan autisme mempunyai kesulitan dalam bicara dan berbahasa. Biasanya
hal inilah yang paling menonjol, banyak pula individu autistic yang non-verbal atau kemampuan
bicaranya sangat kurang.
Kadang-kadang bicaranya cukup berkembang, namun mereka tidak mampu untuk memakai
bicaranya untuk berkomunikasi/berinteraksi dengan orang lain.

Dalam hal ini terapi wicara dan berbahasa akan sangat menolong.

3) Terapi Okupasi

Hampir semua anak autistik mempunyai keterlambatan dalam perkembangan motorik halus.
Gerak-geriknya kaku dan kasar, mereka kesulitan untuk memegang pinsil dengan cara yang
benar, kesulitan untuk memegang sendok dan menyuap makanan kemulutnya, dan lain
sebagainya. Dalam hal ini terapi okupasi sangat penting untuk melatih mempergunakan otot -otot
halusnya dengan benar.

4) Terapi Fisik

Autisme adalah suatu gangguan perkembangan pervasif. Banyak diantara individu autistik
mempunyai gangguan perkembangan dalam motorik kasarnya.

Kadang-kadang tonus ototnya lembek sehingga jalannya kurang kuat. Keseimbangan tubuhnya
kurang bagus. Fisioterapi dan terapi integrasi sensoris akan sangat banyak menolong untuk
menguatkan otot-ototnya dan memperbaiki keseimbangan tubuhnya.

5) Terapi Sosial

Kekurangan yang paling mendasar bagi individu autisme adalah dalam bidang komunikasi dan
interaksi . Banyak anak-anak ini membutuhkan pertolongan dalam ketrampilan berkomunikasi 2
arah, membuat teman dan main bersama ditempat bermain. Seorang terqapis sosial membantu
dengan memberikan fasilitas pada mereka untuk bergaul dengan teman-teman sebaya dan
mengajari cara2nya.

6) Terapi Bermain

Meskipun terdengarnya aneh, seorang anak autistik membutuhkan pertolongan dalam belajar
bermain. Bermain dengan teman sebaya berguna untuk belajar bicara, komunikasi dan interaksi
social. Seorang terapis bermain bisa membantu anak dalam hal ini dengan teknik-teknik tertentu.

7) Terapi Perilaku.

Anak autistik seringkali merasa frustrasi. Teman-temannya seringkali tidak memahami mereka,
mereka merasa sulit mengekspresikan kebutuhannya, Mereka banyak yang hipersensitif terhadap
suara, cahaya dan sentuhan. Tak heran bila mereka sering mengamuk. Seorang terapis perilaku
terlatih untuk mencari latar belakang dari perilaku negatif tersebut dan mencari solusinya dengan
merekomendasikan perubahan lingkungan dan rutin anak tersebut untuk memperbaiki
perilakunya,

8) Terapi Perkembangan
Floortime, Son-rise dan RDI (Relationship Developmental Intervention) dianggap sebagai terapi
perkembangan. Artinya anak dipelajari minatnya, kekuatannya dan tingkat perkembangannya,
kemudian ditingkatkan kemampuan sosial, emosional dan Intelektualnya. Terapi perkembangan
berbeda dengan terapi perilaku seperti ABA yang lebih mengajarkan ketrampilan yang lebih
spesifik.

9) Terapi Visual

Individu autistik lebih mudah belajar dengan melihat (visual learners/visual thinkers). Hal inilah
yang kemudian dipakai untuk mengembangkan metode belajar komunikasi melalui gambar-
gambar, misalnya dengan metode …………. Dan PECS ( Picture Exchange Communication
System). Beberapa video games bisa juga dipakai untuk mengembangkan ketrampilan
komunikasi.

10) Terapi Biomedik

Terapi biomedik dikembangkan oleh kelompok dokter yang tergabung dalam DAN! (Defeat
Autism Now). Banyak dari para perintisnya mempunyai anak autistik. Mereka sangat gigih
melakukan riset dan menemukan bahwa gejala-gejala anak ini diperparah oleh adanya gangguan
metabolisme yang akan berdampak pada gangguan fungsi otak. Oleh karena itu anak-anak ini
diperiksa secara intensif, pemeriksaan, darah, urin, feses, dan rambut. Semua hal abnormal yang
ditemukan dibereskan, sehingga otak menjadi bersih dari gangguan. Terrnyata lebih banyak anak
mengalami kemajuan bila mendapatkan terapi yang komprehensif, yaitu terapi dari luar dan dari
dalam tubuh sendiri (biomedis).

You might also like