Professional Documents
Culture Documents
)
ADAB BERPUASA
3 Votes
BAB I
PENDAHULUAN
Qawaidul Ushuliyah (kaidah-kaidah Ushul) adalah suatu kebutuhan bagi kita semua
khususnya mahasiswa Azhar, calon mujtahid yang akan meneruskan perjuangan
pendahulu-pendahulu kita dalam membela dan menegakkan islam dimanapun berada.
Banyak dari kita yang kurang mengerti bahkan ada yang belum mengerti sama sekali apa
itu Qawaidul ushuliyah. Maka dari itu, kami selaku penyusun mencoba untuk
menerangkan tentang kaidah-kaidah ushul, mulai dari pengertian, perkembangan,
sumber-sumbernya, dan beberapa urgensi dari kaidah-kaidah ushul.
Makalah ini disusun bertujuan agar kita mengetahui, memahami dan mengerti tentang
hal-hal yang berhubungan dengan kaidah-kaidah ushul, mulai dari definisi, sumber-
sumber, rukun, syarat, perbedaannya dengan kaidah-kaidah fiqh, hubungannya dengan
ilmu ushul fiqh dan buku-buku yang menjadi subernya.
BAB II
PENGERTIAN
Sebagai studi ilmu agama pada umumnya, kajian ilmu tentang kaidah-kaidah ushul
diawali dengan definisi. Defenisi ilmu tertentu diawali dengan pendekatan kebahasaan.
Dalam studi ilmu kaidah ushul fiqh, kita kita akan mencoba menjelaskan beberapa
permasalahan mulai dari defenisi kaidah secara bahasa dan istilah, defenisi ushul fiqh
secara bahasa dan istilah, defenisi kaidah-kaidah ushuliyyah secara bersamaan. Didalam
seluruh defenisi tadi terdapat perbedaan pendapat dalam kalangan ulama, penyusun akan
mencoba menulis beberapa defenisi dari kalangan ulama atau hanya sekedar menulis
defenisi yang menurut penyusun lebih rajih atau lebih kuat.
Defenisi kaidah
Qawaid merupakan bentuk jamak dari qaidah, yang kemudian dalam bahasa indonesia
disebut dengan istilah kaidah yang berarti aturan atau patokan. Dalam bahasa arab,
kaidah memilik banyak arti diataranya: al-asas (dasar atau pondasi), al-Qanun (peraturan
dan kaidah dasar), al-Mabda’ (prinsip), dan al-nasaq (metode atau cara). Al Qi’dah (cara
duduk, yang baik atau yang buruk), Qo’id ar rojul (Istrinya), Dzul Qo’dah (nama salah
satu bulan qomariyah yang mana orang orab tidak mengadakan perjalanan didalamnya)
dan lain sebagainya.
Dari seluruh arti tadi dapat kita simpulkan bahwa kaidah secara bahasa artinya tidak akan
keluar dari dasar atau pondasi dan tempat sesuatu.
Adapun secara istilah banyak sekali defenisi yang di buat oleh para ulama, tetapi yang
paling lengkap dan paling baik menurut penyusun adalah:
”Suatu perkara kulli (kaidah-kaidah umum) yang berlaku pada semua bagian-
bagiannya.“
Untuk defenisi ushul fiqh sengaja penyusun tidak sebutkan karena sudah ada yang
membahasnya..
Dr. Jailany mendefinisikan sebagai:” hukum kulli (berifat umum) yang berdiri diatasnya
furu’ fiqhiyah yang di bentuk dengan bentuk umum dan akurat”.
Defenisi ini belum maani’ karena kaidah-kaidah fiqh masih masuk didalamnya.
Prof. Dr. Muhammad Syabir mendefinisikan sebagai:” ”Suatu perkara kulli (kaidah-
kaidah umum) yang dengannya bisa sampai pada pengambilan kesimpulan hukum
syar’iyyah al far’iyyah dari dalil-dalilnya yang terperinci”.
Defenisi yang menurut penyusun lebih akurat adalah:” Hukum kulli (umum) yang
dibentuk dengan bentuk yang akurat yang menjadi perantara dalam pengambilan
kesimpulan fiqh dari dalil-dalil, dan cara penggunaan dalil serta kondisi pengguna dalil”.
BAB III
Secara global, kaidah-kaidah ushul fiqh bersumber dari naql (Al-Qur’an dan Sunnah),
‘Akal (prinsip-prinsip dan nilai-nilai), bahasa (Ushul at tahlil al lughawi), yang secara
terperinci kita jelaskan dibawah ini.
Pertama: Al Qur’an.
Al Qur’an merupakan firman Allah SAW yang diturunkan kepada nabi Muhammad
SAW, untuk membebaskan manusia dari kegelapan. Kitab ini adalah kitab undang-
undang yang mengatur seluruh kehidupan manusia, firman Allah yang Maha mengetahui
apa yang bermanfaat bagi manusia dan apa yang berbahaya, dan merupakan obat bagi
ummat dari segalah penyakitnya. Allah berfirman :
“dan Kami turunkan dari Al Quran suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi
orang-orang yang beriman dan Al Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang
yang zalim selain kerugian”. (QS. AL Isra: 82)
“dan Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu
dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri”.
(QS An Nahl: 89)
Ini adalah kedudukan al Qur’an. Penyusun yakin semua orang tahu itu, maka tidak perlu
di perpanjang di sini.
3. Adat atau kebiasaan di akui sebagai hukum pada permasalahan yang tidak memiliki
dalil, dengan dalil
حذ العفو وأمر بالعرف وأعرض عن الجاهلين
Kedua: As Sunnah
Jika seluruh perintah Allah telah disampaian oleh Rasulullah kepada umat, selesailah
tugasnya dan wajib bagi umat untuk memperhatikan risalah yang di sampaikan oleh
rasulullah. Allah berfirman yang artinya:
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa orang rasul. Apakah jika Dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang
(murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, Maka ia tidak dapat mendatangkan
mudharat kepada Allah sedikitpun, dan Allah akan memberi Balasan kepada orang-
orang yang bersyukur”. (QS. Ali Imran: 144)
Banyak sekali ayat Al Qur’an yang menjelaskan bahwa sunnah Rasulullah adalah
merupakan salah satu sumber agama islam, diantaranya firman Allah dalam surat Ali
Imran ayat: 53,132,144, 172 juga didalam surat An Nisa ayat: 42, 59, 61, 64, 65, dan
masih banyak lagi. Bahkan didalam surat Al Hasyr Allah berfirman:
“apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya
bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat
keras hukumannya.“
Ketiga: Ijma’
1. Ijma’ Sahabat bahwa “hukum yang di hasilkan dari hadits ahad dapat di terima”.
2. Ijma’ Sahabat bahwa “hukum terbagi menjadi 5 macam”.
3. Ijma’ Sahabat bahwa “syariat nabi Muhammad menghapus seluruh syariat yang
sebelumnya”.
Keempat: Akal
Akal memiki kedudukan yang tinggi didalam syariat islam, karena kita tidak akan faham
islam tanpa akal. Sebagai contoh, Apa dalil yang menunjukkan bahwa Allah itu ada? Jika
dijawab Al Qur’an, Apa dalil yang menunjukkan bahwa Al Qur’an benar-benar dari
Allah? Jika dijawab I’jaz, apa dalil yang menunjukkan bahwa I’jazul quran sebagai dalil
bahwa alqur’an bersumber dari Allah SWT? Dan seterusnya. Dengan demikian dapat kita
fahami bahwa islam tidak akan kita fahami tanpa akal, oleh karena itulah akal merupakan
syarat taklif dalam islam.
Meskipun demikian, ada satu hal yang harus di perhatikan dengan seksama, bahwa akal
tidak bisa berkerja sendiri tanpa syar’I. Akal hanyalah sarana untuk mengetahui hukum-
hukum Allah melalui dalil-dalil al quran dan hadits. Allah lah yang menjadi hakim, dan
akal merupakan sarana untuk memahami hukum-hukum Allah tersebut.
1. Ilmu Ushuluddin
• Baik dan buruk dapat diketahui dengan syar’I bukan dengan akal
• Rasulullah tidak menetapkan ijtihad yang salah
• Tidak ada yang ma’sum kecuali nabi
• Syari’at islam menghapus syari’at sebelumnya
• Domir goib kadang-kadang kembali pada kalimat yang tidak tertulis, dan itu bisa
di ketahui melalui siyaaq kalimat.
• Kalimat Aina ( )أينmenunjukkan tempat (syarat ataupun istifham) dan ( )متي و أيان
menunjukkan waktu (syarat atupun istifham)
• Fi’il madi jika menjadi fiil syarat, ia berubah menjadi kaliamat insyaa menurut
kesepakatan ahli nahwu.
• ( )إليmenunjukkan akhir sesuatu (waktu maupun tempat)
• Dan sebagainya.
o Kaidah سد الذرائع
o Kaidah adat dan kebiasaan merupakan dalil yang di akui
o Kaidah المصالح المرسلة
• Domir goib kadang-kadang kembali pada kalimat yang tidak tertulis, dan itu bisa
di ketahui melalui siyaaq kalimat.
• Kalimat Aina ( )أينmenunjukkan tempat (syarat ataupun istifham) dan ( )متي و أيان
menunjukkan waktu (syarat atupun istifham)
• Fi’il madi jika menjadi fiil syarat, ia berubah menjadi kaliamat insyaa menurut
kesepakatan ahli nahwu.
• ( )إليmenunjukkan akhir sesuatu (waktu maupun tempat)
• Dan sebagainya.
3. Ilmu Fiqih
BAB IV
Ketika kita melihat sebuah kaidah ushul, ( النهي للكرارlarangan menunjukkan pengulangan)
umpamanya kita akan menemukan 4 rukun didalamnya:
BAB V
Ketika kita melihat defenis dari ushul fiqh dan kaidah-kaidah ushul, akan jelas sekali
perbedaan atara keduanya. Tetapi meskipun demikian, keduanya tidak akan bisa
dipisahkan karena ilmu kaidah-kaidah ushul merupakan bagian dari ilmu ushul fiqh.
Hubungan antara keduanya adalah hubungan atara umum dan khusus (ilmu ushul fiqh
lebih umum dari ilmu kaidah-kaidah ushul).
• Mayoritas kaidah-kaidah ushul adalah nilai yang di ambil dari ushul fiqh (ushul
fiqh jauh lebih luas pembahasannya daripada kaidah-kaidah ushul).
• Perbedaan dalam segi maudu’ (tema). Tema kaidah-kaidah ushul adalah ushul
fiqh itu sendiri adapun tema ushul fiqh adalah al- adillah al ijmaliayah min
hautsu dobthi al fiqh.
• Dari segi Tujuan. Tujuan dari kaidah-kaidah ushul adalah menyempurnakan ushul
fiqh dengan cara menyempurnakan nilai-nilai ushul dengal lafaz yang singkat,
dan mengembalikan nilai-nilai tersebut kepada nilai yang lebih umum yang
menjadi kaidah buat kaidah tersebut. Dengan demikian tujuan ilmu kaidah-
kaidah ushul adalah ingin memberikan bentuk lain untuk ushul fiqh dalam bentuk
kaidah yang lebih singkat dan sistematis. Adapun tujuan ushul fiqh adalah
pencapaian nilai-nilai yang dapat menyempurnakan ijtihad dalam fiqh.
• Dari segi histories (Apakah ushul fiqh muncul terlebih dahulu atau kaidah-kaidah
ushul?)
Sahabat-sahabat Rasulullah, tabi’in dan yang mengikuti mereka sejak dahulu telah
berijithad dengan memakai kaidah-kaidah ushul. Kemudian pembahasan semakin luas
hingga muncullah ilmu ushul fiqh. Demikian juga ilmu ushul fiqh semakin luas hingga di
butuhkan kaidah-kaidah singkat yang dapat dengan mudah diterapkan oleh seorang
mujtahid, dan inilah yang menjadi tonggak munculnya ilmu kaidah-kaidah ushul. Dengan
demikian kaidah-kaidah ushul lebih dahulu muncul dari ilmu ushul fiqh, dah ilmu ushul
fiqh muncul sebelum munculnya ilmu kaidah-kaidah ushul.
BAB VI
Persamaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqh terletak pada kesaaman sebagai wasilah
pengambilan hukum. Keduanya merupakan prinsip umum yang mencakup masalah-
masalah dalam kajian syari’ah. Oleh karena itu, dalam perspetif ini kaidah ushul
sangatlah mirip dengan kaidah fiqih.
Namun, kita pun bisa melihat perbedaan yang signifikan dari kedua kaidah tersebut,
secara ringkas perbedaan kedua kaidah tersebut adalah sebagai berikut :
1. Kaidah ushul pada hakikatnya adalah qa’idah istidlaliyah yang menjadi wasilah
para mujtahid dalam istinbath (pengambilan) sebuah hukum syar’iyah amaliah.
Kaidah ini menjadi alat yang membantu para mujtahid dalam menentukan suatu
hukum. Dengan kata lain, kita bisa memahami, bahwa kaidah ushul bukanlah
suatu hukum, ia hanyalah sebuah alat atau wasilah kepada kesimpulan suatu
hukum syar’i. Sedangkan, kaidah fiqih adalah suatu susunan lafadz yang
mengandung makna hukum syar’iyyah aghlabiyyah yang mencakup di bawahnya
banyak furu’. Sehingga kita bisa memahami bahwa kaidah fiqih adalah hukum
syar’i. Dan kaidah ini digunakan sebagai istihdhar (menghadirkan) hukum bukan
istinbath (mengambil) hukum (layaknya kaidah ushul). Misalnya, kaidah ushul
“al-aslu fil amri lil wujub” bahwa asal dalam perintah menunjukan wajib. Kaidah
ini tidaklah mengandung suatu hukum syar’i. Tetapi dari kaidah ini kita bisa
mengambil hukum, bahwa setiap dalil (baik Qur’an maupun Hadits) yang
bermakna perintah menunjukan wajib. Berbeda dengan kaidah fiqih “al-dharar
yuzal” bahwa kemudharatan mesti dihilangkan. Dalam kaidah ini mengandung
hukum syar’i, bahwa kemudharatan wajib dihilangkan.
2. Kaidah ushul dalam teksnya tidak mengandung asrarus syar’i (rahasia-rahasia
syar’i) tidak pula mengandung hikmah syar’i. Sedangkan kaidah fiqih dari
teksnya terkandung kedua hal tersebut.
3. Kaidah ushul kaidah yang menyeluruh (kaidah kulliyah) dan mencakup seluruh
furu’ di bawahnya. Sehingga istitsna’iyyah (pengecualian) hanya ada sedikit
sekali atau bahkan tidak ada sama sekali. Berbeda dengan kaidah fiqih yang
banyak terdapat istitsna’iyyah, karena itu kaidahnya kaidah aghlabiyyah (kaidah
umum).
4. Perbedaan antara kaidah ushul dan kaidah fiqih pun bisa dilihat dari maudhu’nya
(objek). Jika Kaidah ushul maudhu’nya dalil-dalil sam’iyyah. Sedangkan kaidah
fiqih maudhu’nya perbuatan mukallaf, baik itu pekerjaan atau perkataan. Seperti
sholat, zakat dan lain-lain
5. Kaidah-kaidah ushul jauh lebih sedikit dari kaidah-kaidah fiqh.
6. Kaidah-kaidah ushul lebih kuat dari kaidah-kaidah fiqh. Seluruh ulama sepakat
bahwa kaidah-kaidah ushul adalah hujjah dan mayoritas dibangun diatas dalil
yang qot’I. Adapun kaidah-kaidah fiqh ulama berbeda pendapat. Sebagian
mengatakan bahwa kaidah-kaidah fiqh bukan hujjah secara mutlaq, sebagian
mengatakan hujjah bagi mujtahid ‘alim dan bukank hujjah bagi selainnya,
sebagian yang lain mengatakan bahwa kaidah-kaidah tersebut hujjah secara
mutlak.
7. Kaidah-kaidah ushul lebih umum dari kaidah-kaidah fiqh
BAB VII
Manfaat sesuatu bisa dilihat dari buah atau nilai yang di hasilkannya, begitu juga dengan
kaidah-kaidah ushul. Jika kita ingin mengetahui manfaat serta kedudukannya maka
hendaklah kita melihat kepada nilai atau buah yang dihasilkan oleh kaidah-kaidah ushul
fiqh itu sendiri.. Setiap manusia berbuat sesuai dengan kemaslahatannya, jika tidak ada
maslahat (minimal dalam pandangannya), ia tidak akan melaksanakannya. Maslahat
dibagi dua, dunia dan akhirat. Sebagai muslim tentu berkeyakinan bahwa maslahat dunia
adalah sarana untuk mencapat kebahagiaan utama di akhirat nanti.
Setelah ilmu aqidah, ilmu yang membahas tentang hukum-hukum praktis merupakan
ilmu yang paling penting dan harus dikuasai. Hukum-hukum ini bisa di ketahui, baik
dengan cara taqlid atau ijtihad. Beribadah atas dasar taqlid tidak sama derajatnya jika
dibandingkan dengan beribadah atas dasar ijitihad. Imam Ghazali berkata:” Sebaik-baik
ilmu adalah ilmu yang menggabungkan antara akal dan as-sam’ (Al-Qur’an dan
Sunnah) dan yang menyertakan pendapat dan syara’”.
Abu Bakar Al-Qoffal As-Syasyi berkata dalam bukunya “al-ushul”:” Ketahuilah bahwa
Nash yang mencakup segala kejadian tidak ada, dan hukum-hukum memiliki ushul dan
furu’ , dan furu’ tidak bisa diketahui kecuali dengan ushul, dan nilai-nilai itu tidak dapat
di ketahui kecuali dengan ilmu fiqh dan ushul fiqh. Ilmu ini diambil dari syara’ dan akal
yang suci secara bersamaan. Ia tidak menolak syara’ tidak pula menolak akal. Karena
keutamaan ilmu ini lah, banyak orang yang mempelajarinya. Ulama yang faham ushul
fiqh dan kaidah-kaidahnya adalah ulama yang tinggi derajatnya, tinggi wibawanya
,memiliki banyak pengikut dan murid. Maka hendaklah memulai dengan ushul untuk
mengetahui hukum-hukum furu“.
1. Dapat mengangkat derajat seseorang dari taqlid menjadi yaqin. Allah berfirman
yang artinya:” niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman di
antaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. dan
Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan“. (QS. Al-Mujadalah: 11)
2. Kaidah-kaidah ushul merupakan asas dan pondasi seluruh ilmu-ilmu islam
lainnya. Maka ilmu fiqh, tafsir, hadits dan ilmu kalam tidak akan sempurna
tanpanya. Kaidah-kaidah ushul menjadikan pemahaman terhadap al-quran dan
sunnah dan sumber-sumber islam lainnya menjadi akurat.
3. Dengan memahami kaidah-kaidah ushul, seseorang dapat dengan mudah
mengambil kesimpulan-kesimpulan hukum syari’ah al-far’iyyah dari dalil-
dalilnya langsung dan terus melaksanakannya. Karena kaidah-kaidah ushul
merupakan sarana yang menghantarkan seseorang pada hukum-hukum fiqh.
4. kaidah-kaidah ushul berusaha membentuk kembali ilmu ushul fiqh dalam bentuk
yang baru, lebih singkat dan akurat yang dapat membantu seorang mujtahid dalam
pengambilan hukum.
5. Seorang yang faham ushul fiqh dan kaidah-kaidahnya akan dapat dengan mudah
mengcounter pemikiran-pemikiran yang berusaha menyerang hukum-hukum
islam yang telah mapan seperti wajibnya rajam, hudud dan lain sebagainya.
6. Tujuan akhir adalah untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Kedudukan dan keutamaan sebuah ilmu tidak lepas dari tema, objek, tujuan, apa yang di
bahas, besar kebutuhan, kekuatan dalilnya serta maslahat yang dihasilkannya. Semakin
besar faedahnya semakin tinggi pula kedudukannya. Kaidah-kaidah ushul memiliki
kedudukan tinggi, yaitu berada pada urutan pertama setelah ilmu akidah.
Penjelasannya:
1. Dari segi faedah dan buah yang di hasilkan oleh kaidah-kaidah ushul, penyusun
telah jelaskan pada penjelasan faedah-faedah ushul fiqh diatas.
2. Dari segi objeknya, penyusun telah jelaskan bahwa objek kaidah-kaidah ushul
adalah ushul fiqh itu sendiri dari segi keakuratannya. Juga membahas nilai-nilai
ushul fiqh untuk di undang-undangkan. Jika ilmu ushul fiqh memiliki kedudukan
tinggi dalam islam, bagaimanakah kedudukan sebuah ilmu yang bertugas
menambah keakuratan ushul fiqh?
3. Dari segi tujuannya, tujuannya adalah pengambilan hukum syara’ yang praktis
dari dalil-dali syara’ dan memperjuangkannya serta memberikan keakuratan
dalam berijtihad dan kondisi mujtahid. Usaha untuk mengetahui hukum-hukum
Allah adalah merupakan kewajiban terpenting dan merupakan tujuan penciptaan
kita di dalam kehidupan ini. Ilmu apapun yang memiliki tujuan ini adalah ilmu
yang memiliki kedudukan tinggi.
4. Dari segi kebutuhan. Tidak ada kebahagiaan didunia maupun di akhirat tanpa
syari’at Allah. Dan syariat Allah tidak akan dapat diketahui tanpa kaidah-kaidah
ushul. Ma la yatimmu al-fadil illa bihi fahuwa faadhil.
BAB VIII
1. Ta’sis An Nazor karya Ubaidillah bin Umar bin Isa Ad Dabusy (364-430 H)
2. Takhrijul Al-Furu’ Ala Al-Ushul karya Mahmud bin Ahmad bin Mahmud Abu Al
Manqib Al Jinzani (573-656 H)
3. Miftah Al-Wusul ila takhrij al-furu’ ala al-Ushul karya Syarif At Tilmisany (710-
771 H)
4. At Tamhid fi at-takhrij al-furu’ ala al-ushul karya Al Isnawi (7.4-772 H)
5. Al-Qowaid wa al-Fawaid Al-Ushuliyah wa ma yata’allaqu biha min al-Ahkam al-
far’iyyah karya Ibn Al-Liham Al Hanbaly ( wafat tahun 803 H)
6. Al-Wusul ila Qowaid al-ushul karya imam Muhammad bin Abdullah bin Ahmad
bin Muhammad Al Hanafy ( wafat tahun 1007 H)
7. At-Tahrir karya Kamal bin Al Hamam (matan)
8. At-Tanqih karya Ibnu Mas’ud Al-Hanafi (matan)
9. Mu’tasar al-muntaha al-ushuly karya Ibnu Al-Hajib (matan)
10. Al-Waroqot fi Ushul Al-Fiqh karya Al-Juwaini
11. Minhaj Al-Ushul ila ilmi al-ushul karya Al-Baidawy
12. Raudhatunnazir wa jannatul muanzir karya Ibnu Qudamah
13. Al-Ihkam fi Ushul al-ahkam karya Al-Amadi
14. Al-Irsyad wa at-taqrib karya Abu Bakar Al-Baqillani
15. Ushul Fiqh karya Syekh Al-Hadary (wafat tahun 1927 M)
16. Ilmu Ushul fiqh karya Syekh Abdul Wahab Khalaf (1888 – 1956 M)
17. Taqnin Ushul Fiqh karya Dr. Muhammad Zaki Abdul Bar
BAB IX
PENUTUP
Kesimpulan
1. Kaidah-kaidah ushul fiqh adalah ilmu yang mandiri. Seluruh ulama sepakat
bahwa perbedaan antara ilmu dengan ilmu yang lain disebabkan oleh faktor tema
atau objek serta tujuan dari ilmu itu sendiri. Ilmu Kaidah-kaidah ushul fiqh
memiliki objek dan tujuan yang berbeda dengan ilmu lainnya bahkan berbeda
dengan objek serta tujuan ilmu Ushul fiqh. Itu artinya ilmu kaidah-kaidah ushul
fiqh adalah ilmu yang berdiri sendiri.
2. Kaidah-kaidah ushul, apakah merupakan dalil atau tidak dapat dikategorikan pada
dua kategori yaitu: Pertama: Kaidah-kaidah ushul yang berdiri sendiri yaitu yang
berpatokan pada sumber-sumber islam seperti Al qur’an adalah hujjah, begitu
juga dengan sunnah, ijma’ qiyas, masholih mursalah, saddu ad dzaroi’ dan
Istishab. Diantara kaidah ini ada yang disepakati oleh ulama sebagai hujjah dan
ada yang masih dalam perdebatan dikalangan ulama. Kedua: Kaidah-kaidah
yang tidak berdiri sendiri tetapi hanya sebuah alat. Kaidah-kaidah itu adalah yang
diambil dari bahasa arab dan lainnya. Yang kedua ini bukan merupakan dalil yang
mandiri tetapi hanya berfungsi sebagai sarana.
3. Ilmu kaidah-kaidah ushul fiqh tidak bisa dipisahkan dari ilmu ushul fiqh itu
sendiri. Karena ilmu ini merupakan bagian dari ilmu ushul fiqh. Hubuangan
antara keduanya adalah hubungan antara umum dan khusus