You are on page 1of 37

Analgesik untuk Nyeri Kanker

Ibarat sebilah pisau, nyeri bagi manusia mempunyai dua makna yang berlawanan. Di satu sisi,
nyeri bisa memberi manfaat yakni sebagai “alarm’ terjadinya suatu kelainan atau penyakit dalam
tubuh sehingga seseorang akan aware bahwa dirinya telah mengidap suatu penyakit yang
berbahaya dan mengancam jiwa. Tapi di sisi lain, nyeri boleh jadi malapetaka, seperti pada
pasien kanker, yang mengganggu kualitas hidup dan mengurangi produktivitas pasien.

Bagi penderita kanker, nyeri termasuk pada keluhan yang paling ditakuti. Oleh
karena itu, tujuan utama terapi nyeri kanker adalah meredakan nyeri secara nyata untuk
memelihara status fungsional yang diinginkan, kualitas hidup yang realistis, dan proses kematian
yang tenang.

Menurut Dr.Boediwarsono dari kelompok perawatan paliatif dan bebas nyeri tim
penanggulangan penyakit kanker FK UNAIR-RSUD Dr.Soetomo Surabaya, obat-obat analgesik
memegang peran utama dalam penanggulangan nyeri kanker, di samping modalitas lainnya.
Namun pemberian analgesik itu haruslah dilakukan dengan tepat dan strategis. “Jadi, ada
langkah-langkah yang harus diikuti dalam pemberian analgesik. Langkah pertama adalah
pemberian analgesik non opiat dengan dosis penuh. Bila nyeri masih ada, secara bertahap dosis
dinaikkan hingga dosis maksimal atau ditambah analgesik ajuvan. Langkah kedua, pemberian
non opiat plus analgesik adjuvan ditambah opiat lemah. Langkah terakhir, pemberian opiat kuat
plus analgesik adjuvan,” jelas Dr. Boediwarsono

Lebih lanjut Dr.Boediwarsono mengatakan, analgesik yang biasa digunakan untuk


pengobatan nyeri kanker adalah aspirin 500 mg dan parasetamol mg setiap 4-6 jam untuk tahap
awal. Analgesik lain yang juga sering diresepkan pada tahap awal ini adalah kelompok NSAID
(nabumeton). Sedangkan analgesik adjuvan yang digunakan terdiri dari obat-obat khusus yang
bisa membantu meredakan nyeri, seperti antidepresan, anthistamin, kafein, steroid, fenotiazin,
serta antikonvulsan. Sementara untuk opiat kuat biasa diberikan morfin injeksi.
Parasetamol
Pada awal penemuannya tahun1973, berbagai penelitian tentang parasetamol sempat
diabaikan. Perhatian akan parasetamol baru dilayangkan saat era 1980-an. Waktu itu tengah
gencar dilakukan upaya mencari analgetik alternatif dari dua senyawa yang menjadi satu-satunya
tumpuan dalam menghilangkan rasa nyeri. Yakni senyawa yang terkandung dalam white willow
bark (akhirnya dikenal dengan salisin yang kemudian dikembangkan jadi aspirin) dan cinchona
bark . Pencarian alternatif dilakukan karena keberadaan kedua pohon tersebut mulai langka.
Hingga akhirnya Harmon Northop Morse berhasil mensintesa parasetamol melalui reduksi p-
nitrophenol dengan asam asetat.
Parasetamol kerap disebut dengan acetaminophen. Keduanya adalah nama kimia dari
senyawa N-acetyl-para-aminophenol dan para-acetyl-amino-phenol. Pada beberapa artikel
ilmiah, nama ini sering disingkat jadi apap, untuk N-acetyl-para-aminophenol. Obat ini
memiliki efek analgesia dan antipiretik, sehingga kerap digunakan untuk mengurangi sakit
kepala, demam, dan sakit serta nyeri minor lainnya. Parasetamol sangat aman jika diberikan
sesuai dosis yang direkomendasikan. Tak ayal lagi obat ini sangat gampang diperoleh dan
banyak sekali digunakan untuk mengatasi flu dan cold di seluruh jagad raya ini. Namun perlu
diperhatikan, akses yang gampang ini memperbesar kemungkinan overdosis baik yang sengaja
dilakukan (upaya bunuh diri) atau tanpa disadari.
Selain itu, parasetamol juga efektif menangani nyeri yang lebih parah. Hal ini tentu
sangat menguntungkan, karena bisa menurunkan kemungkinan penambahan dosis NSAId atau
opiod. Dengan demikian tentu bisa meminimalkan efek samping menyeluruh. Adapun formulasi
parasetamol yang paling sering digunakan adalah sediaan tablet.
Mekanisme parasetamol telah lama diduga sama dengan aspirin karena kesamaan dalam
struktur. Diperkirakan parasetamol bekerja mengurangi produksi prostaglandin yang terlibat
dalam proses nyeri dan edema, dengan menghambat enzim cyclooxygenase (COX). Meski
demikian, ada perbedaan penting antara efek keduanya. Seperti diketahui, prostaglandin
berpartisipasi terhadap respon inflamatori, tapi parasetamol tidak memperlihatkan efek anti
inflamasi.
Lebih lanjut, COX juga menghasilkan tromboksan yang membantu pembekuan darah,
jadi aspirin mengurangi pembekuan darah, sementara parasetamol tidak. Terakhir hal yang
cukup menjadi misteri, aspirin serta NSAID lainnya biasanya memiliki efek merusak pada
saluran cerna, sedangkan parasetamol aman. Padahal, ketiga obat tersebut sama-sama
menghambat prostaglandin yang memegang peranan sebagai pelindung saluran cerna.

Setelah ditelusuri, ternyata aspirin bekerja dengan menghambat COX secara irreversibel
dan langsung memblokade sisi aktif enzim. Sementara parasetamol secara tidak langsung
menghambat COX, sehingga efek blokade ini jadi tidak efektif dengan kehadiran peroksida. Ini
mungkin menjelaskan kenapa parasetamol efektif pada sistem saraf pusat dan sel endotelial, tapi
tidak untuk platelet dan sel imun yang memiliki kadar tinggi peroksida.
Pada 2002 Swierkosz TA dkk telah melaporkan, parasetamol secera selektif menghambat
suatu varian enzim COX yang berbeda dari COX-1 dan COX-2. Enzim ini hanya dikeluarkan di
otak dan spinal cord, akhirnya sekarang disebut sebagai COX-3. Bagaimana mekanisme yang
jelas masih belum dimengerti, tapi penelitian lebih lanjut terus mencoba menguak misteri
tersebut.
Parasetamol dimetabolisme terutama di hati, dimana sebagian besar diantaranya (60-
90% dari dosis terapeutik) dirubah menjadi senyawa yang tak aktif melaui konjugasi dengan
sulfat dan glukoronida. Metabolit ini kemudian dieksresikan ke ginjal. Hanya sejumlah kecil (5-
10% dari dosis terapeutik) dimetabolisme melalui hati dengan sistem enzim cytochrome
P450(khususnya CYP2E1).
Efek toksik parasetamol yang kerap digembar-gemborkan, sebenarnya terkait hanya
dengan sebuah metabolit alkilasi minornya (N-acetyl-p-benzo-quinone imine, disingkat NAPQI).
Jadi, efek toksik yang muncul bukanlah karena parasetaml itu sendiri atau metabolit utamanya.
Pada dosis yang lazim digunakan, metabolit toksik NAPQI secara cepat didetoksifikasi melalui
kombinasi irreversibel dengan gugus sulfhydryl dari glutation, menghasilkan konjugasi non
toksik yang akhirnya dikeluarkan melalui ginjal.
Paracetamol memiliki indeks terapeutik yang sempit. Artinya, dosis terapi tidak terentang
jauh dengan dosis toksik. Tanpa pengobatan yang tepat, overdosis parasetamol bisa
menyebabkan gagal hati dan kematian dalam beberapa hari. Dosis toksis parasetamol sangat
bervariasi. Pada dewasa, dosis tunggal di atas 10 gram atau 150 mg/kg bisa menyebabkan
toksisitas. Toksisitas juga bisa terjadi pada dosis multiple yang lebih kecil dalam 24 jam
melebihi kadar tersebut, atau bahkan pemberian jangka panjang dosis serendahnya 4 g/hari.
Berbeda dengan aspirin, parasetamol aman diberikan pada anak dan tidak terkait dengan
risiko Reye's syndrome pada anak dengan penyakit virus. Paracetamol juga aman digunakan saat
hamil, tidak berefek penutupan fetal ductus arteriosus(seperti yang dilakukan NSAIDs ).
Codein
Codein atau methylmorphine merupakan suatu opiat digunakan sebagai analgesik,
antitusif, dan antidiare. Obat ini dipasarkan sebagai garam codein sulfate dan codein phosphate.
Codein adalah alkaloid yang ditemukan dalam opium, sekitar 0,3 – 3,0 %. Meskipun codein bisa
diekstrak dari opium, sebagian besar codein yang ada saat ini disintesa dari morfin melalui
proses O-methylation.
Di pasaran, codein juga tersedia dalam preparat kombinasi dengan parasetamol sebagai
co-codamol, dengan aspirin sebagai co-codaprin, atau dengan ibuprofen. Kombinasi ini
mengurangi nyeri yang lebih besar ketimbang penggunaan masing-masingnya. Kolaborasi
codein ini juga memungkinkan penggunaanya untuk nyeri yang hebat, semisal nyeri akibat
penyakit kanker.
Codein dipertimbangkan sebagai prodrug, karena dimetabolisme menjadi morfin.
Meskipun demikian, obat ini kurang potensial dibandingkan morfin itu sendiri. Hal ini
disebabkan karena hanya 10% codein yang dirubah menjadi morfin. Oleh karena itu, obat ini
juga menyebabkan ketergantungan yang lebih rendah dari morfin.
Secara teoritis, agar memberikan efek analgesia setara dengan morfin oral 30 mg, dosis
oral codein yang harus diberikan adalah sekitar 200 mg. Namun pada praktiknya cara ini tidak
digunakan. Pasalnya, pada pemberian dosis tunggal besar dari 60 mg dan tidak lebih dari 240 mg
per hari ada suatu ceiling effect.
Perubahan codein menjadi morfin terjadi di hati dan dikatalisis oleh enzim cytochrome
P450, CYP2D6. Oleh karena itu efek analgesia codein sangat tergantung pada kinerja dan
keberadaan CYP2D6. Sekitar 6–10% populasi Kaukasia memiliki fungsional CYP2D6 yang
jelek, sehingga codein tidak efektif sebagai analgesia untuk pasien ini. Hal ini terungkap dari
studi yang dilakukan Rossi dkk pada 2004. Obat-obatan yang menghambat CYP2D6 bisa
mengurangi bahkan secara eksrim bisa menghilangkan efek codein. Di antaranya adalah
selective serotonin reuptake inhibitors semisal fluoxetine dan citalopram
Untuk menimbulkan efek analgesia, codein melalui metabolitnya, morfin, terikat dengan
reseptor μ-opioid. Sedangkan codein sendiri memiliki afinitas lemah terhadap reseptor μ-opioid
ini.
Efek samping yang umum dijumpai pada penggunaan codein di antaranya, mual, muntah,
mulut kering, gatal-gatal, drowsiness, miosis, orthostatic hypotension, retensi urin, dan
konstipasi. Toleransi terhadap berbagai efek codein bisa terjadi pada penggunaan jangka
panjang, termasuk efek terapeutik.
Morfin
Sebagai senyawa aktif opium, morfin tampil sebagai analgesik opiat yang sangat kuat.
Seperti opiat lainnya semisal heroin, morfin bekerja langsung pada sistem saraf pusat untuk
mengurangi nyeri, dan terkadang juga pada sinap arcuate nucleus. Nama morfin sendiri berasal
dari kata Morpheus yang merupakan Dewa Pemimpi dalam mitologi Yunani.
Morfin pertama kali diisolasi pada 1804 oleh ahli farmasi Jerman Friedrich Wilhelm
Adam Sertürner. Tapi morfin belum digunakan hingga dikembangkan hypodermic needle (1853).
Morfin digunakan untuk mengurangi nyeri dan sebagai cara penyembuhan dari ketagihan
alkohol dan opium.
Potensi analgesia yang kuat, akhirnya membuat morfin menjadi tumpuan untuk
mengatasi kasus nyeri parah di rumah sakit. Misalnya saja, mengatasi nyeri pasca bedah, nyeri
karena trauma, mengurangi nyeri parah kronik semisal pada penderita kanker dan batu ginjal
serta nyeri punggung. Di samping itu, morfin juga digunakan sebagai adjuvan pada anestesi
umum.
Morfin merupakan agonis reseptor opioid, dengan efek utama mengikat dan mengaktivasi
reseptor µ-opioid pada sistem saraf pusat. Aktivasi reseptor ini terkait dengan analgesia, sedasi,
euforia, physical dependence dan respiratory depression. Morfin juga bertindak sebagai agonis
reseptor κ-opioid yang terkait dengan analgesia spinal dan miosis.
Di dalam tubuh, morfin terutama dimetabolisme menjadi morphine-3-glucuronide dan
morphine-6-glucuronide (M6G). Pada hewan pengerat, M6G tampak memiliki efek analgesia
lebih potensial ketimbang morfin sendiri. Sedang pada manusia M6G juga tampak sebagai
analgesia. Perihal signifikansi pembentukan M6G terhadap efek yang diamati dari suatu dosis
morfin, masih jadi perdebatan diantara ahli farmakologi.
Morfin diberikan secara parenteral dengan injeksi subkutan, intravena, maupun epidural.
Saat diinjeksikan, terutama intravena, morfin menimbulkan suatu sensasi kontraksi yang intensif
pada otot. Oleh karena itu bisa menimbulkan semangat luar biasa. Tak heran bila dikalangan
militer terkadang menggunakan autoinjector untuk memperoleh manfaat tersebut.
Pemberian secara oral, biasa dalam sediaan eliksir, solusio, serbuk, atau tablet. Morfin
jarang disuplai dalam bentuk suppositoria. Potensi pemberian oral hanya seperenam hingga
sepertiga dari parenteral. Hal ini dikarenakan bioavailabitasnya yang kurang baik. Saat ini morfin
juga tersedia dalam bentuk kapsul extended-release untuk pemberian kronik dan juga formulasi
immediate-release.
Sebuah review dilakukan oleh Wiffen PJ dkk tentang penggunaan morfin oral untuk nyeri
kanker. Review yang dilaporkan dalam The Cochrane Database of Systematic Reviews 2006
Issue 3 ini mengikutkan 55 studi (3061 subjek) yang memenuhi kriteria. Empat belas studi
membandingkan preparat oral sustained release morphine (MSR) dengan immediate release
morphine (MIR). Delapan studi membandingkan MSR dengan kekuatan yang berbeda. Sembilan
studi membandingkan MSR oral dengan MSR rectal. Satu studi masing-masing
membandingkan: MSR tablet dengan MSR suspensi; MSR dengan frekuensi dosis yang berbeda;
MSR dengan non-opioid; MIR dengan non opioid; morfin oral dengan morfin epidural; dan MIR
dengan rute pemberian yang berbeda.
Hasil review memperlihatkan, morfin merupakan analgesik efektif untuk mengatasi
nyeri kanker. Pengurangan nyeri tidak berbeda untuk sediaan MSR dan MIR. MSR efektif untuk
dosis 12 atau 24 jam tergantung pada formulasinya. Efek samping umum dijumpai, namun hanya
4% pasien yang menghentikan pengobatan karena tidak bisa menolerir.

Efek samping yang umum dijumpai pada pemberian morfin adalah gangguan mental,
euforia, lethargy, dan pandangan kabur. Morfin juga mengurangi rasa lapar, menghambat refleks
batuk, dan menyebabkan konstipasi.
(Arnita)
Codein (kodein)
codipront, coditam
Golongan Sediaan Penyakit/indikasi Alasan penggunaan
Penghilang nyeri Tablet: 30 mg (fosfat) Penghilang nyeri opioid
golongan opioid potensi rendah untuk
(analgesik opioid) nyeri rignan samapi
sedang
Indikasi:
Nyeri ringan sampai sedang
Kontraindikasi :
Depresi napas, penyakit paru obstruktif, serangan asma akut
Perhatian :
Gangguan hati dan ginjal; ketergantungan; kehamilan; menyusui; overdosis
Kehamilan dan meyusui :
Kehamilan :
• Trimester 3 : menekan pernapasan neonates; efek putus obat pada neonates dengan ibu
yang tergantung obat; risiko henti kerja lambung dan aspirasi pneumonia pada ibu selama
persalinan
Menyusui :
• Jumlah terlalu sedikit untuk berbahaya; namun ibu memiliki keberagaman dalam
memetabolisme codein- risiko overdosis morfin pada bayi
Interaksi : opioid analgesik
Alkohol Meningkatkan efek hipotensif dan sedasi saat opioid analgesik diberikan
bersama alkohol
Antibakterial Kadar alfentanil dalam darah ditingkatkan oleh eritromisin; hindari
premedikasi dengan opioid anlagesik disarankan oleh pabrik
ciprofloxacin, mengurangi kadar ciprofloxacin dalam darah saat
ciprofloxacin sebagai antibiotik profilaksis; rifampicin meingkatkan
metabolism metadon, mengurangi efek
Antikoagulan Tramadol meningkatkan efek antikoagulan koumarin;
dextropropoxyphene mungkin meningkatkan efek antikoagulan
koumarin
Antidepresan Kadar konsentrasi metadon dalam darah mungkin ditingkatkan
fluvoxamin; mungkin meningkatkan efek serotoninergik saat petidin
atau tramadol diberikan dengan duloxetine; mungkin eksitasi atau
depresi system saraf pusat-SSP (hipertensi atau hipotensi) saat opioid
alanlgesik diberikan dengan MAOI, hindari penggunaan bersama dan 2
minggu setelah berhenti MAOI; eksitasi atau depresi SSP (hipertensi
atau hipotensi) saat petidin diberikan dengan MAOI, hindari penggunaan
bersama dan 2 minggu setelah berhenti MAOI; mungkin eksitasi SSP
atau depresi (hipertensi atau hipotensi) saat opioid analgesik diberikan
dengan meclobemide; mungkin eksitasi SSP atau depresi (hipertensi atau
hipotensi) saat dextrometorphan atau petidin diberikan dengan
meclobemide, hindari penggunaan bersama; menignkatkan risiko
toksisitas SSP saat tramadol diberikan dengan SSRI atau trisiklik; efek
sedasi mungkin meningkat saat analgesik opioid diberikan dengan
trisiklik
Antiepilepsi Kadar metadon dalam darah diturunkan oleh carbamazepin;
dextropropoxyphen meningkatkan efek carbamazepin; efek tramadol
diturunkan oleh carbamazepin; fenitoin meningkatkan metabolism
metadon, mengurangi efek dan risiko reaksi putus obat
Antijamur Ketokonazol menghambat metabolism buprenorphin, kurangi dosis
buprenorphin; metabolism fentanil dihambat oleh flukonazol, risiko
depresi napas lebih lama atau lebih lambat muncul; kadar fentanil dalam
darah mungkin ditingkatkan oleh flukonazol dan itrakonazol;
vorikonazol meningkatkan kadar alfentanil dan metadon dalam darah,
pertimbangkan menurunkan dosis alfentanil dan metadon
Antihistamin Efek sedasi mungkin meningkat saat analgesik opioid diberikan dengan
antihistamin sedative
Antipsikotik Meningkatkan efek sedasi dan hipotensi saat analgesik opioid diberikan
dengan antipsikotik; meningkatkan risiko kejang saat tramadol diberikan
dengan antipsikotik
Antiviral Kadar metadon mungkin diturunkan oleh abacavir dan nevirapin; kadar
metadon dalam darah diturunkan oleh efavirenz, fosemprenavir,
melfinavir, dan ritonavir; ritonavir meningkatkan kadar
dextropropoxyphen, ririko toksisitas hindari penggunaan bersama; kadar
buprenorphin dalam darah mungkin ditingkatkan oleh ritonavir;kadar
petidin dalam darah dikurangi oleh ritonavir, tetapi kadar metabolit
toksik petidin dalam darah meningkat, hindari penggunaan bersamaan;
ritonavir mungkin mengurangi kadar morfin dalam darah, meningkatkan
kadar fentanil dalam darah; metadon mungkin meningkatkan kadar
zidovudin dalam darah
Ansiolitik dan hipnotik mengingkatkan efek sedasi saat analgesik opioid diberikan dengan
ansiolitik dan hipnotik
Atomoxetine Meningkatkan risiko aritmia ventricular saat metadon diberikan dengan
atomoxetine; mungkin meningkatkan risiko kejang saat tramadol
diberikan dengan atomoxetine
Penyekat beta Morfin mungkin meningkatkan kadar esmolol dalam darah
Penyekat kanal kalsium Metabolism alfentanil dihambat oleh diltiazem, risiko depresi napas
lebih lama atau terlambat untuk muncul
Domperidone Analgesik opioid melawan efek domperidon pada kerja saluran cerna
Dopaminergik Risiko toksisitas SSP saat petidin diberikan dengan rasagiline, hindari
petidin 2 minggu setelah rasagiline; hindari penggunaan bersama
dextrometorphan dengan rasagiline; hiperpireksia dan toksisitas SSP
dilaporkan saat petidin diberikan dengan selegiline, hindari penggunaan
bersama; perhatian dengan tramadol disarankan pabrik selegiline
5HT3 antagonis Efek tramadol mungkin dilawan oleh ondansetron
Memantine Meningkatkan risiko toksisitas SSP saat dextrometorphan diberikan
dengan memantine (pabrik memantine menyarankan penghindaran
pemakaian bersama)
Metoclopramide Analgesik opioid melawan efek metoclopramide pada efek saluran cerna
Obat untuk ulkus Metabolism analgesik opioid dihambat oleh cimetidine, mengingkatkan
kadar dalam darah
Dosis :
Nyeri ringan sampai sedang, per oral, DEWASA 30-60 mg tiap 4 jam bila perlu, maksimal
240mg/hari; ANAK 1-12 tahun, 0.5-1 mg/kg tiap 4-6 jam bila perlu; maksimal 240 mg sehari
Cara pelarutan dan pemberian :
Efek yang tidak diinginkan :
Konstipasi bis menyulitkan pada penggunaan jangka panjang; pusing, mual, muntah; kesulitan
BAK; spasme ureter atau saluran empedu; mulut kering, sakit kepala, berkeringat, pelebaran
pembuluh darah di wajah; pada dosis terapi, kodein lebih rendah kemungkinan darpada morfin
untuk menyebabkan toleransi, ketergantungan, euphoria, sedasi atau efek yang tidak diinginkan
lainnya
(Codipront, Coditam)
Golongan Sediaan Penyakit/indikasi
Penghilang nyeri golonganTablet: 30 mgPenghilang nyeri opioid potensi rendah
opioid (analgesik opioid) (fosfat) untuk nyeri rignan samapi sedang
Kodein merupakan prodrug, karena di saluran pencernaan kodein diubah menjadi
bentuk aktifnya, yakni morfin dan kodeina-6-glukoronida (1). Sekitar 5-10% kodein akan
diubah menjadi morfin, sedangkan sisanya akan menjadi bentuk yang bebas, atau
terkonjugasi dan membentuk kodeina-6-glukoronida (70%), norkodeina (10%),
hidromorfona (1%). Seperti halnya obat golongan opiat lainnya, kodein dapat
menyebabkan ketergantungan fisik, namun efek ini relatif sedang bila dibandingkan
dengan senyawa golongan opiat lainnya.
INDIKASI : Nyeri ringan sampai sedang, batuk (antitusif), diare, dan irritable bowel
syndrome
KONTRAINDIKASI : Depresi napas, penyakit paru obstruktif, serangan asma akut
Perhatian : Gangguan hati dan ginjal; ketergantungan; kehamilan; menyusui; overdosis.
Kehamilan : Trimester 3 : menekan pernapasan neonates; efek putus obat pada neonates dengan
ibu yang tergantung obat; risiko henti kerja lambung dan aspirasi pneumonia pada ibu selama
persalinan
Menyusui : Jumlah terlalu sedikit untuk berbahaya; namun ibu memiliki keberagaman dalam
memetabolisme codein- risiko overdosis morfin pada bayi
DOSIS :
Nyeri ringan sampai sedang, per oral, DEWASA 30-60 mg tiap 4 jam bila perlu, maksimal
240mg/hari; ANAK 1-12 tahun, 0.5-1 mg/kg tiap 4-6 jam bila perlu; maksimal 240 mg sehari
EFEK SAMPING
Konstipasi bis menyulitkan pada penggunaan jangka panjang; pusing, mual, muntah; kesulitan
BAK; spasme ureter atau saluran empedu; mulut kering, sakit kepala, berkeringat, pelebaran
pembuluh darah di wajah; pada dosis terapi, kodein lebih rendah kemungkinan darpada morfin
untuk menyebabkan toleransi, ketergantungan, euphoria, sedasi atau efek yang tidak diinginkan
lainnya
INTERAKSI OBAT : (Opioid analgesic)
Alkohol Meningkatkan efek hipotensif dan sedasi saat opioid analgesik
diberikan bersama alkohol
Antibakterial Kadar alfentanil dalam darah ditingkatkan oleh eritromisin;
hindari premedikasi dengan opioid anlagesik disarankan oleh
pabrik ciprofloxacin, mengurangi kadar ciprofloxacin dalam
darah saat ciprofloxacin sebagai antibiotik profilaksis; rifampicin
meingkatkan metabolism metadon, mengurangi efek
Antikoagulan Tramadol meningkatkan efek antikoagulan koumarin;
dextropropoxyphene mungkin meningkatkan efek antikoagulan
koumarin
Antidepresan Kadar konsentrasi metadon dalam darah mungkin ditingkatkan
fluvoxamin; mungkin meningkatkan efek serotoninergik saat
petidin atau tramadol diberikan dengan duloxetine; mungkin
eksitasi atau depresi system saraf pusat-SSP (hipertensi atau
hipotensi) saat opioid alanlgesik diberikan dengan MAOI, hindari
penggunaan bersama dan 2 minggu setelah berhenti MAOI;
eksitasi atau depresi SSP (hipertensi atau hipotensi) saat petidin
diberikan dengan MAOI, hindari penggunaan bersama dan 2
minggu setelah berhenti MAOI; mungkin eksitasi SSP atau
depresi (hipertensi atau hipotensi) saat opioid analgesik diberikan
dengan meclobemide; mungkin eksitasi SSP atau depresi
(hipertensi atau hipotensi) saat dextrometorphan atau petidin
diberikan dengan meclobemide, hindari penggunaan bersama;
menignkatkan risiko toksisitas SSP saat tramadol diberikan
dengan SSRI atau trisiklik; efek sedasi mungkin meningkat saat
analgesik opioid diberikan dengan trisiklik
Antiepilepsi Kadar metadon dalam darah diturunkan oleh carbamazepin;
dextropropoxyphen meningkatkan efek carbamazepin; efek
tramadol diturunkan oleh carbamazepin; fenitoin meningkatkan
metabolism metadon, mengurangi efek dan risiko reaksi putus
obat
Antijamur Ketokonazol menghambat metabolism buprenorphin, kurangi
dosis buprenorphin; metabolism fentanil dihambat oleh
flukonazol, risiko depresi napas lebih lama atau lebih lambat
muncul; kadar fentanil dalam darah mungkin ditingkatkan oleh
flukonazol dan itrakonazol; vorikonazol meningkatkan kadar
alfentanil dan metadon dalam darah, pertimbangkan menurunkan
dosis alfentanil dan metadon
Antihistamin Efek sedasi mungkin meningkat saat analgesik opioid diberikan
dengan antihistamin sedative
Antipsikotik Meningkatkan efek sedasi dan hipotensi saat analgesik opioid
diberikan dengan antipsikotik; meningkatkan risiko kejang saat
tramadol diberikan dengan antipsikotik
Antiviral Kadar metadon mungkin diturunkan oleh abacavir dan nevirapin;
kadar metadon dalam darah diturunkan oleh efavirenz,
fosemprenavir, melfinavir, dan ritonavir; ritonavir meningkatkan
kadar dextropropoxyphen, ririko toksisitas hindari penggunaan
bersama; kadar buprenorphin dalam darah mungkin ditingkatkan
oleh ritonavir;kadar petidin dalam darah dikurangi oleh ritonavir,
tetapi kadar metabolit toksik petidin dalam darah meningkat,
hindari penggunaan bersamaan; ritonavir mungkin mengurangi
kadar morfin dalam darah, meningkatkan kadar fentanil dalam
darah; metadon mungkin meningkatkan kadar zidovudin dalam
darah
Ansiolitik danmengingkatkan efek sedasi saat analgesik opioid diberikan
hipnotik dengan ansiolitik dan hipnotik
Atomoxetine Meningkatkan risiko aritmia ventricular saat metadon diberikan
dengan atomoxetine; mungkin meningkatkan risiko kejang saat
tramadol diberikan dengan atomoxetine
Penyekat beta Morfin mungkin meningkatkan kadar esmolol dalam darah
Penyekat kanalMetabolism alfentanil dihambat oleh diltiazem, risiko depresi
kalsium napas lebih lama atau terlambat untuk muncul
Domperidone Analgesik opioid melawan efek domperidon pada kerja saluran
cerna
Dopaminergik Risiko toksisitas SSP saat petidin diberikan dengan rasagiline,
hindari petidin 2 minggu setelah rasagiline; hindari penggunaan
bersama dextrometorphan dengan rasagiline; hiperpireksia dan
toksisitas SSP dilaporkan saat petidin diberikan dengan
selegiline, hindari penggunaan bersama; perhatian dengan
tramadol disarankan pabrik selegiline
5HT3 antagonis Efek tramadol mungkin dilawan oleh ondansetron
Memantine Meningkatkan risiko toksisitas SSP saat dextrometorphan
diberikan dengan memantine (pabrik memantine menyarankan
penghindaran pemakaian bersama)
Metoclopramide Analgesik opioid melawan efek metoclopramide pada efek
saluran cerna
Obat untukMetabolism analgesik opioid dihambat oleh cimetidine,
ulkus mengingkatkan kadar dalam darah
Phenobarbotal (fenobarbital-luminal)
(Ditalin, piptal, sibital)

Golongan Sediaan Penyakit/indikasi Alasan penggunaan


Antikejang/antiepilepsi Injeksi : 200 mg/ml Semua bentuk epilepsy Efektif dan tidak mahal
(Phenobarbital sodium) kecuali tipe absence.
Cairan oral : 15 mg/5 Pemantauan konsentrasi
ml (Phenobarbital) tepeutik di plasma dapat
meningkatkan efikasi
Tablet : 15-100 mg dan keamanan
(Phenobarbital)
Obat dalam control internasional di bawah konvensi bahan psikotropik
Indikasi:
Kejang umum tonik-klonik; kejang parsial; kejang pada neonates; kejang demam; status
epileptikus
Kontraindikasi :
Porfiria; kejang tipe absense
Perhatian :
Usia lanjut, lemah-tidak berdaya, anak (dapat menyebabkan perubahan perilaku); gangguan
fungsi ginjal atau fungsi hati, depresi napas (hindari jika berat; hindari penghentian mendadak
Dapat menggangu kemamapuan melakukan tugas terampil, contoh mengoperasikan mesin,
menyetir
Kehamilan dan meyusui :
Kehamilan :
• Barbiturate trimester 1,2,3 :
○ kelainan janin dilaporkan
○ Trimester 3 : efek putus obat pada neonates; depresi napas pada neonates jika
digunakan selama persalinan
• Phenobarbital : kelainan congenital
Menyusui :
• Pehnobarbital : hindari jika memungkinkan; mengantuk dapat terjadi tetapi risiko kecil;
satu laporan methemoglobinemia dengan Phenobarbital dan fenitoin
Interaksi : barbiturat
Alkohol Meningkatkan efek sedasi saat barbiturate
diberikan dengan alkohol
Antiaritmia Barbiturate meningkatakn metabolism
disopyramide, menurunkan kadar dalam darah
Antibakterial Barbiturate meningkatkan metabolism
kloramfenikol, doksisiklin, metronidazol,
mengurangi kadar dalam darah; Phenobarbital
mungkin mengurangi kadar firampisin dalam
darah; pehnobarbital mengurangi kadar
telitromisin dalam darah, hindari selama dan
untuk 2 minggu setelah Phenobarbital
Antikoagulan Barbiturate meningkatkan metabolism
koumarin, mengurangi efek antikoagulan
Antidepresan Phenobarbital mengurangi kadar paroxetine
dalam darah; Phenobarbital meningkatkan
metabolism mianserin, mengurangi kadar dalam
darah; efek antikejang barbiturate mungkin
dilawan oleh MAOI dan antidepresi trisiklik
(ambang kejang menurun); efek antikejang
barbiturate dilawan oleh SSRI,trisiklik, ambang
kejang menurun; barbiturate mungkin
meningkatkan metabolism trisiklik, mengurangi
kadar dalam darah
Antiepilepsi Phenobarbital mengurangi kadar carbamazepin,
lamotrigin, tiagabin, dan zonisamide dalam
darah; phenobarnital mungkin megurangi
konsentrasi ethosuximide dalam darah;
konsentrasi Phenobarbital dalam darah
meningkat oleh oxcarbazepin, juga kadar
metabolit aktif oxcarbazepin dalam darah
menurun; kadar Phenobarbital dalam darah
seringkali meningkat oleh fenitoin, kadar
fenitoin dalam darah seringkali berkurang tetapi
dapat meningkat; efek sedasi meningkat saat
barbiturate diberikan dengan primidone; kadar
Phenobarbital dalam darah meningkat oleh
valproat, kadar valproat dalam darah menurun;
kadar Phenobarbital dalam darah mungkin
berkurang oleh vigabatrin
Antijamur Phenobarbital mungkin mengurangi kadar
itrakonazol dan posaconazol dalam darah;
Phenobarbital mungkin mengurangi kadar
voriconazole dalam darah, hindari pemakaian
bersama; Phenobarbital mengurangi penyerapan
griseofulvin, mengurangi efeknya
Antipsikotik Efek antikejang barbiturate dilawan oleh
antipsikotik (ambang kejang menurun);
Phenobarbital meningkatkan metabolism
haloperidol, mengurangi kadar dalam darah;
kadar dalam darah kedua obat menurun saat
Phenobarbital diberikan dengan chlorpromazine;
Phenobarbital mungkin mengurangi kadar
aripiprazole dalam darah, tingkatkan dosis
aripiprazole
Antiviral Phenobarbital mungkin mengurangi kadar
abacavir, darunavir, fosamprenavir, dan
lopinavir dalam darah; hindari Phenobarbital
disarankan pabrik etravirine; barbiturate
mungkin mengurangi kadar indinavir, nelfinavir,
dan saquinavir dalam darah; Phenobarbital
mungkin mengurangi kadar indinavir dalam
darah, juga kadar Phenobarbital dalam darah
mungkin meningkat
Ansiolitik dan hipnotik Phenobarbital seringkali mengurangi kadar
clonazepam dalam darah
Penyekat beta Barbiturate menurunkan kadar metoprolol dan
timolol dalam darah; barbiturate mungkin
mengurangi kadar propanolol dalam darah
Penyekat kanal kalsium Barbiturate mengurangi efek felodipin dan
isradipin; barbiturate mungkin mengurangi efek
dihidropiridin, diltiazem dan verapamil
Glikosida jantung Barbiturate meningkatkan metabolism digitoxin,
mengurangi efeknya
Kortikosteroid Barbiturate meningkatkan metabolism
kortikosteroid, mengurangi efeknya
Sitotoksik Phenobarbital mungkin mengurangi kadar
etoposide dalam darah; Phenobarbital
mengurangi konsentrasi irinotecan dalam darah
dan metabolit aktifnya
Diuretik Phenobarbital mengurangi kadar eplerenone
dalam darah- hindari penggunaan bersamaan;
meningkatkan risiko osteomalasia saat
Phenobarbital diberikan dengan inhibitor
karbonat anhidrase
Folat Kadar Phenobarbital dalam darah mungkin
dikurangi oleh folat
Antagonis hormone Barbiturate meningkatkan metabolism
gestrinone, mengurangi kadar dalam darah;
barbiturate mungkin meningkatkan
metabolismetoremifene, mengurangi konsentrasi
dalam darah
Antagonis leukotrien Phenobarbital mengurangi kadar montelukas
dalam darah
Lofexidine Meningkatkan efek sedasi saat barbiturate
diberikan dengan lofexidine
Estrogen Barbiturate meningkatkan metabolism estrogen,
mengurangi efek kontrasepsi
Memantine Efek barbiturate mungkin dikurangi oleh
memantine
Progestogen Barbiturate meningkatkan metabolism
progestogen, mengurangi efek kontrasepsi
Sodium oxtbate Barbiturate meningkatkan efek sodium oxybate,
hindari pemakaian bersama
Simpatomimetik Kadar Phenobarbital dalam darah mungkin
ditingkatkan oleh metilphenidat
Tacrolimus Phenobarbital mengurangi kadar tacrolimus
dalam darah
Teofilin Barbiturate meningkatkan metabolism teofilin,
mengurangi efek
Hormone tiroid Barbiturate meningkatkan metabolism hormone
tiroid, dapat meningkatkan kebutuhan hormone
tiroid pada hipotiroidisme
Tibolone Barbiturate meningkatkan metabolism tibolone,
mengurangi kadar dalam darah
Vitamin Barbiturate mungkin meningkatkan kebutuhan
vitamin D
Dosis :
Kejang umum tonik-klonik, kejang parsial, per oral, DEWASA 60-180 mg saat malam; ANAK
sampai 8 mg/kg sehari
Kejang demam, per oral, ANAK samapi 8 mg/kg sehari
Kejang neonatal, injeksi intravena (l arutkan 1:10 dengan air untuk injeksi), neonates 5-10 mg/kg
tiap 20-30 menit sampai konsentrasi plasma 40mg/liter
Status epileptikus, injeksi intravena (larutkan 1: 10 dengan air untuk injeksi), DEWASA
10mg/kg dengan kecepatan tidak lebih dari 100 mg/menit (sampai dosis maksimal 1 g); ANAK
5-10 mg/kg dengan kecepatan tidak lebih dari 30 mg/menit
Catatan : konsentrasi plasma untuk respon optimal 15-40 mg/liter (65-170 mikromol/liter)
Cara pelarutan dan pemberian :
Efek yang tidak diinginkan :
Sedasi, depresi mental, ataksia, nistagmus; reaksi kulit alergi termasuk yang jarang : dermatitis
eksfoliatif, nekrolisis epidermal toksik, sindrom steven Johnson (eritema multiforma);
paradoxical excitement, tidak bisa istirahat dan kebingungan pada usia lanjut; iritabilitas dan
hiperaktifitas pada anak; anemia megaloblastik (dapat ditatalaksana dengan asam folat),
osteomalasia; status epileptikus (pada penghentian pengobatan); hipotensi, syok, laringospasme,
dan henti napas/apnoe (dengan injeksi intravena)
Prednison [ Index Informasi Obat ] Deskripsi
- Nama & Struktur 17-hydroxy-17-(2-hydroxyacetyl)-10,13-dimethyl-
Kimia : 7,8,9,10,12,13,14,15,16,17-decahydro-6H- cyclopenta[a]phenanthrene-
3,11-dione
- Sifat Fisikokimia Prednison adalah serbuk kristalin berwarna putih, tak berbau. Sangat
: sedikit larut dalam air, sedikit larut dalam etanol, methanol, kloroform,
dan dioksan. BM 358,428 g/mol
- Keterangan Prednison merupakan pro drug, yang di dalam hati akan segera diubah
:
menjadi prednisolon, senyawa aktif steroid.
Golongan/Kelas Terapi Hormon, obat Endokrin Lain dan Kontraseptik Nama Dagang
- Erlanison - Kokosone - Pehacort - Predsil
- Sohoson - Trifacort - Dellacorta
Indikasi
Gangguan endokrin:
- Insufisiensi adrenokortikal primer atau sekunder (hidrokortison atau kortison merupakan
pilihan pertama, namun analog sintetisnya juga dapat digunakan)
- Hiperplasia adrenal congenital/bawaan
- Hiperkalsernia terkait kanker
- Tiroiditis nonsuppuratif
Penyakit Rheumatoid
Sebagai terapi tambahan untuk penggunaan jangka pendek pada terapi penyakit-penyakit:
- Psoriatic arthritis
- Rheumatoid arthritis, termasuk Rheumatoid arthritis pada anak
- Ankylosing spondylitis
- Bursitis akut dan subakut
- Tenosynovitis nonspesifik akut
- Gouty arthritis akut
- Osteoarthritis pasca-traumatik
- Synovitis of Osteoarthritis
- Epicondylitis
Penyakit-penyakit Kolagen
Apabila keadaan penyakit makin memburuk atau sebagai terapi perawatan pada kasus-
kasus:
- Systemic lupus erythematosus
- Systemic-dermatomyositis (polymyositis)
- Acute rheumatic carditis
Penyakit-penyakit kulit tertentu:
- Pemphigus
- Bullous dermatitis herpetiformis
- Erythema multiforme parah (Stevens-Johnson syndrome)
- Exfoliative dermatitis
- Mycosis fungoides
- Psoriasis parah
- dermatitis seborrhea parah
Penyakit-penyakit Alergi
Mengendalikan kondisi alergi yang parah yang tidak memberikan hasil yang memadai pada
terapi konvensional:
- Rhinitis yang disebabkan alergi
- Asma bronkhial
- dermatitis kontak
- dermatitis atopik
- Serum sickness
- Reaksi-Reaksi hipersensitivitas terhadap obat
Penyakit-penyakit mata
Penyakit-penyakit mata akut atau kronis yang parah terkait proses alergi atau radang,
seperti:
- Allergic cornea marginal ulcers
- Herpes zoster ophthalmicus
- Radang segmen anterior
- Diffuse posterior uveitis and choroiditis
- Sympathetic ophthalmia
- Konjungtivitis alergik
- Keratitis
- Chorioretinitis
- Optic neuritis
- Iritis dan iridocyclitis
Penyakit-penyakit saluran pernafasan:
- Symptomatic sarcoidosis
- Loeffler's syndrome yang tidak dapat dikendalikan dengan cara lain
- Berylliosis
- Tuberkulosis yang parah, tetapi harus diberikan bersama dengan kemoterapi anti
tuberculosis yang sesuai
- Aspiration pneumonitis
Penyakit-penyakit Hematologis
- Trombositopenia purpura idiopatik pada orang dewasa
- Trombositopenia sekunder pada orang dewasa
- Anemia hemolitik yang disebabkan Reaksi autoimmun
- Anemia sel darah merah (Erythroblastopenia)
- Anemia hipoplastik congenital/bawaan (erythroid)
Penyakit-penyakit keganasan (neoplastik)
Sebagai terapi paliatif untuk:
- Leukemia dan limfoma pada orang dewasa
- Leukemia akut pada anak-anak
Edema
- Untuk menginduksi diuresis atau remisi proteinuria pada sindroma nefrotik tanpa uremia,
jenis idiopatik atau yang disebabkan oleh lupus eritematosus
Penyakit-penyakit sistem pencernaan
Untuk membantu pasien melewati periode kritis pada penyakit-penyakit:
- Kolitis ulseratif
- Enteritis regional
Penyakit pada Sistem Syaraf
Multiple sclerosis akut yang makin parah
Lain-lain
- Tuberculous meningitis disertai penghambatan subarachnoid, tetapi harus diberikan
bersama-sama dengan kemoterapi antituberculous yang sesuai
- Trichinosis disertai gangguan syaraf atau gangguan miokardial
Dosis, Cara Pemberian dan Lama Pemberian
Prednison adalah kortikosteroid sintetik yang umum diberikan per oral, tetapi dapat juga
diberikan melalui injeksi intra muskular (im, iv), per nasal, atau melalui rektal. Dosis awal sangat
bervariasi, dapat antara 5 – 80 mg per hari, bergantung pada jenis dan tingkat keparahan penyakit
serta respon pasien terhadap terapi. Tetapi umumnya dosis awal diberikan berkisar antara 20 –
80 mg per hari. Untuk anak-anak 1 mg/kg berat badan, maksimal 50 mg per hari. Dosis harus
dipertahankan atau disesuaikan, sesuai dengan respon yang diberikan. Jika setelah beberapa
waktu tertentu hasil yang diharapkan tidak tercapai, maka terapi harus dihentikan dan diganti
dengan terapi lain yang sesuai.
Farmakologi
Efek utamanya sebagai glukokortikoid. Glukokortikoid alami (hidrokortison dan kortison),
umumnya digunakan dalam terapi pengganti (replacement therapy) dalam kondisi defisiensi
adrenokortikal. Sedangkan analog sintetiknya (prednison) terutama digunakan karena efek
imunosupresan dan anti radangnya yang kuat. Glukokortikoid menyebabkan berbagai efek
metabolik. Glukokortikoid bekerja melalui interaksinya dengan protein reseptor spesifik yang
terdapat di dalam sitoplasma sel-sel jaringan atau organ sasaran, membentuk kompleks hormon-
reseptor. Kompleks hormon-reseptor ini kemudian akan memasuki nukleus dan menstimulasi
ekspresi gen-gen tertentu yang selanjutnya memodulasi sintesis protein tertentu. Protein inilah
yang akan mengubah fungsi seluler organ sasaran, sehingga diperoleh, misalnya efek
glukoneogenesis, meningkatnya asam lemak, redistribusi lipid, meningkatnya reabsorpsi
natrium, meningkatnya reaktivitas pembuluh terhadap zat vasoaktif , dan efek anti radang.
Apabila terapi prednison diberikan lebih dari 7 hari, dapat terjadi penekanan fungsi adrenal,
artinya tubuh tidak dapat mensintesis kortikosteroid alami dan menjadi tergantung pada
prednison yang diperoleh dari luar. Oleh sebab itu jika sudah diberikan lebih dari 7 hari,
penghentian terapi prednison tidak boleh dilakukan secara tiba-tiba, tetapi harus bertahap dan
perlahan-lahan. Pengurangan dosis bertahap ini dapat dilakukan selama beberapa hari, jika
pemberian terapinya hanya beberapa hari, tetapi dapat memerlukan berminggu-minggu atau
bahkan berbulan-bulan jika terapi yang sudah diberikan merupakan terapi jangka panjang.
Penghentian terapi secara tiba-tiba dapat menyebabkan krisis Addisonian, yang dapat membawa
kematian. Untuk pasien yang mendapat terapi kronis, dosis berseling hari kemungkinan dapat
mempertahankan fungsi kelenjar adrenal, sehingga dapat mengurangi efek samping ini.
Pemberian prednison per oral diabsorpsi dengan baik. Prednison dimetabolisme di dalam hati
menjadi prednisolon, hormon kortikosteroid yang aktif.
Stabilitas Penyimpanan
Simpan pada suhu 15º - 30ºC
Kontraindikasi
Infeksi jamur sistemik dan hipersensitivitas terhadap prednison atau komponen-komponen
obat lainnya.
Efek Samping
Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit :
- Retensi cairan tubuh
- Retensi natrium
- Kehilangan kalium
- Alkalosis hipokalemia
- Gangguan jantung kongestif
- Hipertensi
Gangguan Muskuloskeletal :
- Lemah otot
- Miopati steroid
- Hilangnya masa otot
- Osteoporosis
- Putus tendon, terutama tendon Achilles
- Fraktur vertebral
- Nekrosis aseptik pada ujung tulang paha dan tungkai
- Fraktur patologis dari tulang panjang
Gangguan Pencernaan :
- Borok lambung (peptic ulcer) kemungkinan disertai perforasi dan perdarahan
- Borok esophagus (Ulcerative esophagitis)
- Pankreatitis
- Kembung
- Peningkatan SGPT (glutamate piruvat transaminase serum), SGOT (glutamate
oksaloasetat transaminase serum), dan enzim fosfatase alkalin serum. Umumnya tidak tinggi dan
bersifat reversibel, akan turun kembali jika terapi dihentikan.
Gangguan Dermatologis :
- Gangguan penyembuhan luka
- Kulit menjadi tipis dan rapuh
- Petechiae dan ecchymoses
- Erythema pada wajah
- Keringat berlebuhan
Gangguan Metabolisme :
- Kesetimbangan nitrogen negatif, yang disebabkan oleh katabolisme protein
Gangguan Neurologis :
- Tekanan intrakranial meningkat disertai papilledema (pseudo-tumor cerebri), biasanya
setelah terapi
- Konvulsi
- Vertigo
- Sakit kepala
Gangguan Endokrin :
- Menstruasi tak teratur
- Cushingoid
- Menurunnya respons kelenjar hipofisis dan adrenal, terutama pada saat stress, misalnya
pada trauma, pembedahan atau Sakit
- Hambatan pertumbuhan pada anak-anak
- Menurunnya toleransi karbohidrat
- Manifestasi diabetes mellitus laten
- Perlunya Peningkatan dosis insulin atau OHO (Obat Hipoglikemik Oral) pada pasien
yang sedang dalam terapi diabetes mellitus
- Katarak subkapsular posterior
- Tekanan intraokular meningkat
- Glaukoma
- Exophthalmos
Lain-lain :
- Urtikaria dan reaksi alergi lain, reaksi anafilaktik atau hipersensitivitas
Interaksi

- Dengan Obat Lain :


1) Obat-obat yang menginduksi enzim-enzim hepatik, seperti fenobarbital, fenitoin, dan
rifampisin dapat meningkatkan klirens kortikosteroid. Oleh sebab itu jika terapi kortikosteroid
diberikan bersama-sama obat-obat tersebut, maka dosis kortikosteroid harus ditingkatkan untuk
mendapatkan hasil sebagaimana yang diharapkan.
2) Obat-obat seperti troleandomisin and ketokonazol dapat menghambat metabolisme
kortikosteroid, dan akibatnya akan menurunkan klirens atau ekskresi kortikosteroid. Oleh sebab
itu jika diberikan bersamaan, maka dosis kortikosteroid harus disesuaikan untuk menghindari
toksisitas steroid.
3) Kortikosteroid dapat meningkatkan klirens aspirin dosis tinggi yang diberikan secara
kronis. Hal ini dapat menurunkan kadar salisilat di dalam serum, dan apabila terapi
kortikosteroid dihentikan akan meningkatkan risiko toksisitas salisilat. Aspirin harus digunakan
secara berhati-hati apabila diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid pada pasien yang
menderita hipoprotrombinemia.
4) Efek kortikosteroid pada terapi antikoagulan oral bervariasi. Beberapa laporan
menunjukkan adanya peningkatan dan laporan lainnya menunjukkan adanya penurunan efek
antikoagulan apabila diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid. Oleh sebab itu indeks
koagulasi harus selalu dimonitor untuk mempertahankan efek antikoagulan sebagaimana yang
diharapkan.
- Dengan Makanan : -

Pengaruh

- Terhadap Kehamilan : Faktor risiko kehamilan FDA : Katagori C

- Terhadap Ibu Menyusui : Tidak ada data mengenai penggunaan vaksin selama
menyusui. World Health Organization Rating menyebutkan kompatibel bagi ibu menyusui.
Thomson Lactation Rating menyebutkan risiko terhadap bayi kecil.2

- Terhadap Anak-anak : Dapat terjadi penghambatan pertumbuhan yang tak dapat pulih
kembali, oleh sebab itu tidak boleh diberikan jangka panjang.

- Terhadap Hasil Laboratorium : -

Parameter Monitoring
-
Bentuk Sediaan
Tablet 5 mg, Kaptab 5 mg
Peringatan
Pasien yang sedang dalam terapi imunosupresan sangat rentan terhadap infeksi, antara
lain infeksi oleh virus, bakteri, jamur, protozoa, dan lain-lain. Oleh sebab itu harus benar-benar
dijaga agar terhindar dari sumber infeksi. Kortikosteroid dapat menutupi gejala-gejala infeksi
atau penyakit lain, dan infeksi baru dapat saja terjadi dalam periode penggunaannya. Terapi
kortikosteroid jangka panjang dapat menyebabkan katarak subkapsular posterior, glaucoma,
yang juga dapat merusak syaraf penglihatan, dan dapat memperkuat infeksi mata sekunder yang
disebabkan oleh virus ataupun jamur. Pemberian vaksin hidup ataupun vaksin hidup yang
dilemahkan, merupakan kontraindikasi untuk pasien yang sedang mendapat terapi kortikosteroid
dosis imunosupresan. Vaksin yang dibunuh atau diinaktifkan dapat saja diberikan, tetapi
responnya biasanya tidak memuaskan. Pemberian kortikosteroid pada pasien hipotiroidism
ataupun sirosis biasanya menunjukkan efek kortikosteroid yang lebih kuat. Kortikosteroid harus
diberikan secara sangat berhati-hati pada pasien dengan herpes simpleks okular karena risiko
terjadinya perforasi kornea.
Kasus Temuan Dalam Keadaan Khusus
-
Informasi Pasien
Pasien yang sedang mendapat terapi imunosupresan sedapat mungkin harus menghindari
sumber-sumber infeksi, sebab sistem imunnya sedang tidak berjalan baik. Apabila mendapat
infeksi, harus segera mendapat pertolongan medis tanpa tunda.
Mekanisme Aksi
Sebagai glukokortikoid, bersifat menekan sistem imun, anti radang.
Monitoring Penggunaan Obat
-
Daftar Pustaka
Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, 2000
Suharti K Suherman. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid, Analog Sintetik dan
Antagonisnya. Dalam: Farmakologi dan Terapi edisi 4, 2004. Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Deltasone, Rx List, The Internet Drug Index @ http://www.rxlist.com/cgi/
generic/pred_od.htm
Prednisone, Medline Plus @ www.nlm.nih.gov/medlineplus/
druginfo/medmaster/a601102.html
Prednisone, Drugs.com @ www.drugs.com/prednisone.html
nama dagang

- Erlanison - Kokosone - Pehacort - Predsil


- Sohoson - Trifacort - Dellacorta

dosis

Prednison adalah kortikosteroid sintetik yang umum diberikan per oral, tetapi dapat juga
diberikan melalui injeksi intra muskular (im, iv), per nasal, atau melalui rektal. Dosis awal sangat
bervariasi, dapat antara 5 – 80 mg per hari, bergantung pada jenis dan tingkat keparahan penyakit
serta respon pasien terhadap terapi. Tetapi umumnya dosis awal diberikan berkisar antara 20 –
80 mg per hari. Untuk anak-anak 1 mg/kg berat badan, maksimal 50 mg per hari. Dosis harus
dipertahankan atau disesuaikan, sesuai dengan respon yang diberikan. Jika setelah beberapa
waktu tertentu hasil yang diharapkan tidak tercapai, maka terapi harus dihentikan dan diganti
dengan terapi lain yang sesuai.

indikasi

Gangguan endokrin
• Insufisiensi adrenokortikal primer atau sekunder (hidrokortison atau kortison merupakan
pilihan pertama, namun analog sintetisnya juga dapat digunakan)
• Hiperplasia adrenal congenital/bawaan
• Hiperkalsernia terkait kanker
• Tiroiditis nonsuppuratif
Penyakit Rheumatoid
Sebagai terapi tambahan untuk penggunaan jangka pendek pada terapi penyakit-penyakit:
• Psoriatic arthritis
• Rheumatoid arthritis, termasuk Rheumatoid arthritis pada anak
• Ankylosing spondylitis
• Bursitis akut dan subakut
• Tenosynovitis nonspesifik akut
• Gouty arthritis akut
• Osteoarthritis pasca-traumatik
• Synovitis of Osteoarthritis
• Epicondylitis
Penyakit-penyakit Kolagen
Apabila keadaan penyakit makin memburuk atau sebagai terapi perawatan pada kasus-kasus:
• Systemic lupus erythematosus
• Systemic-dermatomyositis (polymyositis)
• Acute rheumatic carditis
Penyakit-penyakit kulit tertentu
• Pemphigus
• Bullous dermatitis herpetiformis
• Erythema multiforme parah (Stevens-Johnson syndrome)
• Exfoliative dermatitis
• Mycosis fungoides
• Psoriasis parah
• dermatitis seborrhea parah
Penyakit-penyakit Alergi
Mengendalikan kondisi alergi yang parah yang tidak memberikan hasil yang memadai pada
terapi konvensional:
• Rhinitis yang disebabkan alergi
• Asma bronkhial
• dermatitis kontak
• dermatitis atopik
• Serum sickness
• Reaksi-Reaksi hipersensitivitas terhadap obat
Penyakit-penyakit mata
Penyakit-penyakit mata akut atau kronis yang parah terkait proses alergi atau radang, seperti:
• Allergic cornea marginal ulcers
• Herpes zoster ophthalmicus
• Radang segmen anterior
• Diffuse posterior uveitis and choroiditis
• Sympathetic ophthalmia
• Konjungtivitis alergik
• Keratitis
• Chorioretinitis
• Optic neuritis
• Iritis dan iridocyclitis
Penyakit-penyakit saluran pernafasan
• Symptomatic sarcoidosis
• Loeffler's syndrome yang tidak dapat dikendalikan dengan cara lain
• Berylliosis
• Tuberkulosis yang parah, tetapi harus diberikan bersama dengan kemoterapi anti
tuberculosis yang sesuai
• Aspiration pneumonitis
Penyakit-penyakit Hematologis
• Trombositopenia purpura idiopatik pada orang dewasa
• Trombositopenia sekunder pada orang dewasa
• Anemia hemolitik yang disebabkan Reaksi autoimmun
• Anemia sel darah merah (Erythroblastopenia)
• Anemia hipoplastik congenital/bawaan (erythroid)
Penyakit-penyakit keganasan (neoplastik)
Sebagai terapi paliatif untuk:
• Leukemia dan limfoma pada orang dewasa
• Leukemia akut pada anak-anak
Edema
• Untuk menginduksi diuresis atau remisi proteinuria pada sindroma nefrotik tanpa uremia,
jenis idiopatik atau yang disebabkan oleh lupus eritematosus
Penyakit-penyakit sistem pencernaan
Untuk membantu pasien melewati periode kritis pada penyakit-penyakit:
• Kolitis ulseratif
• Enteritis regional
Penyakit pada Sistem Syaraf
Multiple sclerosis akut yang makin parah
Lain-lain
• Tuberculous meningitis disertai penghambatan subarachnoid, tetapi harus diberikan
bersama-sama dengan kemoterapi antituberculous yang sesuai
• Trichinosis disertai gangguan syaraf atau gangguan miokardial

kontraindikasi

Infeksi jamur sistemik dan hipersensitivitas terhadap prednison atau komponen-komponen obat
lainnya.

efek samping

Gangguan keseimbangan cairan dan elektrolit


• Retensi cairan tubuh
• Retensi natrium
• Kehilangan kalium
• Alkalosis hipokalemia
• Gangguan jantung kongestif
• Hipertensi
Gangguan Muskuloskeletal
• Lemah otot
• Miopati steroid
• Hilangnya masa otot
• Osteoporosis
• Putus tendon, terutama tendon Achilles
• Fraktur vertebral
• Nekrosis aseptik pada ujung tulang paha dan tungkai
• Fraktur patologis dari tulang panjang
Gangguan Pencernaan
• Borok lambung (peptic ulcer) kemungkinan disertai perforasi dan perdarahan
• Borok esophagus (Ulcerative esophagitis)
• Pankreatitis
• Kembung
• Peningkatan SGPT (glutamate piruvat transaminase serum), SGOT (glutamate
oksaloasetat transaminase serum), dan enzim fosfatase alkalin serum. Umumnya tidak
tinggi dan bersifat reversibel, akan turun kembali jika terapi dihentikan.
Gangguan Dermatologis
• Gangguan penyembuhan luka
• Kulit menjadi tipis dan rapuh
• Petechiae dan ecchymoses
• Erythema pada wajah
• Keringat berlebuhan
Gangguan Metabolisme
• Kesetimbangan nitrogen negatif, yang disebabkan oleh katabolisme protein
Gangguan Neurologis
• Tekanan intrakranial meningkat disertai papilledema (pseudo-tumor cerebri), biasanya
setelah terapi
• Konvulsi
• Vertigo
• Sakit kepala
Gangguan Endokrin
• Menstruasi tak teratur
• Cushingoid
• Menurunnya respons kelenjar hipofisis dan adrenal, terutama pada saat stress, misalnya
pada trauma, pembedahan atau Sakit
• Hambatan pertumbuhan pada anak-anak
• Menurunnya toleransi karbohidrat
• Manifestasi diabetes mellitus laten
• Perlunya Peningkatan dosis insulin atau OHO (Obat Hipoglikemik Oral) pada pasien
yang sedang dalam terapi diabetes mellitus
• Katarak subkapsular posterior
• Tekanan intraokular meningkat
• Glaukoma
• Exophthalmos
Lain-lain
• Urtikaria dan reaksi alergi lain, reaksi anafilaktik atau hipersensitivitas

interaksi

Dengan Obat Lain :


• Obat-obat yang menginduksi enzim-enzim hepatik, seperti fenobarbital, fenitoin, dan
rifampisin dapat meningkatkan klirens kortikosteroid. Oleh sebab itu jika terapi
kortikosteroid diberikan bersama-sama obat-obat tersebut, maka dosis kortikosteroid
harus ditingkatkan untuk mendapatkan hasil sebagaimana yang diharapkan.
• Obat-obat seperti troleandomisin and ketokonazol dapat menghambat metabolisme
kortikosteroid, dan akibatnya akan menurunkan klirens atau ekskresi kortikosteroid. Oleh
sebab itu jika diberikan bersamaan, maka dosis kortikosteroid harus disesuaikan untuk
menghindari toksisitas steroid.
• Kortikosteroid dapat meningkatkan klirens aspirin dosis tinggi yang diberikan secara
kronis. Hal ini dapat menurunkan kadar salisilat di dalam serum, dan apabila terapi
kortikosteroid dihentikan akan meningkatkan risiko toksisitas salisilat. Aspirin harus
digunakan secara berhati-hati apabila diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid
pada pasien yang menderita hipoprotrombinemia.
• Efek kortikosteroid pada terapi antikoagulan oral bervariasi. Beberapa laporan
menunjukkan adanya peningkatan dan laporan lainnya menunjukkan adanya penurunan
efek antikoagulan apabila diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid. Oleh sebab itu
indeks koagulasi harus selalu dimonitor untuk mempertahankan efek antikoagulan
sebagaimana yang diharapkan.
Dengan Makanan : -

mekanisme kerja

Sebagai glukokortikoid, bersifat menekan sistem imun, anti radang.

bentuk sediaan

Tablet 5 mg, Kaptab 5 mg

parameter monitoring

stabilitas penyimpanan

informasi pasien

Pasien yang sedang mendapat terapi imunosupresan sedapat mungkin harus menghindari
sumber-sumber infeksi, sebab sistem imunnya sedang tidak berjalan baik. Apabila mendapat
infeksi, harus segera mendapat pertolongan medis tanpa tunda.
Pasien yang sedang dalam terapi imunosupresan sangat rentan terhadap infeksi, antara lain
infeksi oleh virus, bakteri, jamur, protozoa, dan lain-lain. Oleh sebab itu harus benar-benar dijaga
agar terhindar dari sumber infeksi. Kortikosteroid dapat menutupi gejala-gejala infeksi atau
penyakit lain, dan infeksi baru dapat saja terjadi dalam periode penggunaannya. Terapi
kortikosteroid jangka panjang dapat menyebabkan katarak subkapsular posterior, glaucoma,
yang juga dapat merusak syaraf penglihatan, dan dapat memperkuat infeksi mata sekunder yang
disebabkan oleh virus ataupun jamur. Pemberian vaksin hidup ataupun vaksin hidup yang
dilemahkan, merupakan kontraindikasi untuk pasien yang sedang mendapat terapi kortikosteroid
dosis imunosupresan. Vaksin yang dibunuh atau diinaktifkan dapat saja diberikan, tetapi
responnya biasanya tidak memuaskan. Pemberian kortikosteroid pada pasien hipotiroidism
ataupun sirosis biasanya menunjukkan efek kortikosteroid yang lebih kuat. Kortikosteroid harus
diberikan secara sangat berhati-hati pada pasien dengan herpes simpleks okular karena risiko
terjadinya perforasi kornea.

Salah kaprah dengan CTM (obat ngantuk)


CTM-Antihistamin Pemicu Kantuk
Chlorpheniramin maleat atau lebih dikenal dengan CTM merupakan
salah satu antihistaminika yang memiliki efek sedative (menimbulkan rasa
kantuk). Namun, dalam penggunaannya di masyarakat lebih sering sebagai
obat tidur dibanding antihistamin sendiri. Keberadaanya sebagai obat
tunggal maupun campuran dalam obat sakit kepala maupun influenza lebih
ditujukan untuk rasa kantuk yang ditimbulkan sehingga pengguna dapat
beristirahat.
CTM memiliki indeks terapetik (batas keamanan) cukup besar dengan
efek samping dan toksisitas relatif rendah. Untuk itu sangat perlu diketahui
mekanisme aksi dari CTM sehingga dapat menimbulkan efek antihistamin
dalam tubuh manusia. Menurut Dinamika Obat (ITB,1991), CTM merupakan
salah satu antihistaminika H1 (AH1) yang mampu mengusir histamin secara
kompetitif dari reseptornya (reseptor H1) dan dengan demikian mampu
meniadakan kerja histamin.
Di dalam tubuh adanya stimulasi reseptor H1 dapat menimbulkan
vasokontriksi pembuluh-pembuluh yang lebih besar, kontraksi otot (bronkus,
usus, uterus), kontraksi sel-sel endotel dan kenaikan aliran limfe. Jika
histamin mencapai kulit misal pada gigitan serangga, maka terjadi
pemerahan disertai rasa nyeri akibat pelebaran kapiler atau terjadi
pembengkakan yang gatal akibat kenaikan tekanan pada kapiler. Histamin
memegang peran utama pada proses peradangan dan pada sistem imun.
CTM sebagai AH1 menghambat efek histamin pada pembuluh darah,
bronkus dan bermacam-macam otot polos. AH1 juga bermanfaat untuk
mengobati reaksi hipersensitivitas dan keadaan lain yang disertai pelepasan
histamin endogen berlebih. Dalam Farmakologi dan Terapi edisi IV (FK-
UI,1995) disebutkan bahwa histamin endogen bersumber dari daging dan
bakteri dalam lumen usus atau kolon yang membentuk histamin dari histidin.
Dosis terapi AH1 umumnya menyebabkan penghambatan sistem saraf
pusat dengan gejala seperti kantuk, berkurangnya kewaspadaan dan waktu
reaksi yang lambat. Efek samping ini menguntungkan bagi pasien yang
memerlukan istirahat namun dirasa menggangu bagi mereka yang dituntut
melakukan pekerjaan dengan kewaspadaan tinggi. Oleh sebab itu, pengguna
CTM atau obat yang mengandung CTM dilarang mengendarai kendaraan.
Jadi sebenarnya rasa kantuk yang ditimbulkan setelah penggunaan
CTM merupakan efek samping dari obat tersebut. Sedangkan indikasi CTM
adalah sebagai antihistamin yang menghambat pengikatan histamin pada
resaptor histamin.

ctm
Indikasi:
Pengobatan pada gejala-gejala alergis, seperti: bersin, rinorrhea, urticaria, pruritis, dll.

Kontra Indikasi:
N/A

Komposisi:
Tiap tablet mengandung:
Chlorpheniramini maleas 4 mg

Efek Samping:
Kadang-kadang menyebabkan rasa ngantuk.

Perhatian:
Selama minum obat ini, jangan mengendarai kendaraan bermotor atau menjalankan mesin.

Takaran Pemakaian:
Dewasa: 3 - 4 kali sehari 0.5 - 1 tablet.
Anak-anak 6 - 12 tahun: 0.5 dosis dewasa.
Anak-anak 1 - 6 tahun: 0.25 dosis dewasa.

Penyimpanan:
Simpan di tempat yang kering dan tertutup rapat.

HARUS DENGAN RESEP DOKTER

Jenis: Tablet

Produsen: PT Zenith Pharmaceuticals


CTM atau Chlorpheniramin itu termasuk golongan obat antihistamin, mempunyai
sebagai obat anti alergi. Dan CTM bekerja di Susunan Saraf Pusat kita. Ini
memjelaskan kenapa CTM juga menimbulkan rasa kantuk yang kuat. Maka sangat
tidak dianjurkan meminum obat ini jika kita hendak bepergian.

Obat ini termasuk obat keras, jadi pemakaiannya harus berhati-hati. Dan kami
manganjurkan untuk mengunakannya hanya jika memang diperlukan. Walaupun
anda, misalnya minum hanya 2 hari sekali... perlu anda ketahui, bahwa sistem
eliminasi obat tubuh manusia tidak sama untuk tiap orangnya. Jika sistem eliminasi
obat tubuh anda lambat, obat / zat ini akan terakumulasi / menumpuk sedikit demi
sedikit dalam organ tubuh dalam. Obat yang menumpuk ini bisa menyebabkan
kerusakan pada organ juga. Jadi sekali lagi kami tekankan untuk memakan obat ini
jika memang anda membutuhkan saja.
Tidak hanya CTM, obat lain juga.

Alergi itu sebenarnya adalah reaksi tubuh kita terhadap zat / sesuatu yang asing
dan berbahaya bagi tubuh kita. Menangani alergi tidak hanya selalu dengan obat.
Kita perlu kaji kembali apa penyebab munculnya reaksi alergi ini, misalnya suatu
makanan atau minuman. Jika mengetahui penyebab, kita bisa melakukan tindakan
preventif, sehingga alergi tidak muncul, 'kan?

Cobalah pola hidup sehat yang cocok dengan tubuh anda, olah raga teratur dan
jaga kebersihan tubuh, rumah dan lingkungan sekitar anda dengan baik.

Cobalah konsultasikan keadaan alergi anda ke dokter anda. Dia akan bisa
mendiagnosa dengan tepat setelah melihat langsung keadaan anda.
Efedrin HCI Dosis
Indikasi : antiasma
Cara pakai : oral

Dosis : anak 0,8-16 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 4 dosis; dewasa 3


x 10-30 mg/hari, mkas. 50 mg/kali atau maks. 150 mg/hari
Sediaan : tab. 25 mg
Levo-N-etilefedrin HCl atau Efedrin
Khasiatnya adalah dekongestan dan juga dapat melonggarkan saluran nafas
(bronkodilator). Perlu dipakai hati-hati pada penderita hipertensi.

Efedrina (En: Ephedrine; EPH) adalah sympathomimetic amine yang umumnya dipakai sebagai
stimulan, penekan nafsu makan, obat pembantu berkonsentrasi, pereda hidung tersumbat dan
untuk merawat hypotensi yang berhubungan dengan anaesthesia. Efedrina mempunyai struktur
yang sama dengan turunan sintetis Amphetamine dan Methamphetamine. Secara kimia, senyawa
ini adalah alkaloid yang diturunkan dari berbagai tumbuhan bergenus Ephedra (keluarga
Ephedraceae). Bahan ini secara umum dipasarkan dalam bentuk hidroclorida dan sulfat.

Efedrin : *Asmadex, * Asmasolon, * Bronchicum”


Derivat – adrenalin ini memiliki efek sentral lebih kuat dengan efek bronchodilatasi lebih ringan
dan bertahan lebih lama (4 jam). Efedrin dapat diberikan secara oral maka banyak digunakan
sebagai obat asma (bebas berbatas tanpa resep) dalam berbagai sediaan populer, walaupun efek
sampingnya dapat membahayakan.
Resorpsinya baik dan dalam waktu ¼ – 1 jam sudah terjadi bronchodilatasi. Di dalam hati,
sebagian zat dirombak ekskresinya terutama lewat urin secara utuh. Plasma ½-nya 3-6 jam.
Efek samping, pada orang yang peka, efedrin dalam dosis rendah sudah dapat menimbulkan
kesulitan tidur, tremor, gelisah dan gangguan berkemih. Pada overdose, timbul efek berbahaya
terhadap SSP dan jantung (palpitasi) (3,4).
Efedrin
Contoh nama dagang: asmadex, asmasolon, bronchicum, asficap, bronhitin ekspektoran
chlorkol, ephedrin HCl, ephedrini HCl berlico, erladrine, OBH erla, paracetin, pimtracol,
takarajima, asmano, asthma soho, Cold, ersylan, kafsir, koffex/ koffex for children, mixadin, neo
napacin, noscapax, oskadryl, phenadex, ponoclin, ponoclin D, prinasma, theochodil, thymcal.
Merupakan derivat-adrenalin ini memiliki efek sentral lebih kuat dengan efek bronchodilatasi
lebih ringan dan bertahan lebih lama (4 jam). Efedrin dapat diberikan secara oral, maka banyak
digunakan sebagai obat asma.
Resorpsinya baik dan dalam waktu ¼ – 1 jam sudah terjadi bronchodilatasi. Didalam hati,
sebagai zat dirombak; eksresinya terutama lewat urin secara utuh. Plasma t ½ -nya 3-6 jam. Efek
samping pada orang yang peka, efedrin dalam dosis rendah sudah dapat menimbulkan kesulitan
tidur, tremor, gelisah, dan gangguan berkemih. Pada overdose, timbul efek berbahaya SSP dan
jantung palpitasi. Dosis 3-6 dd 25-50 mg, anak-anak 2-3 mg/kg/hari dalam tetes (anti mampat)
larutan 1%, tidak boleh digunakan dalam jangka waktu lama.
v Indikasi
Asma, bronkitis, emfisema.
v Kontra Indikasi
Hipertensi, trombosis koroner, hipertiroid, glaukoma, sudut tertutup, DM. gangguan hati,
penyakit jantung iskemik.
v Perhatian
v Efek Samping
Takikardi, aritmia, eksrasistol dan ventrikuler, pembesaran prostat. Nervourness, tremor,
insomnia, retensi urin dapat terjadi pada penderita hipertrofi prostat.
*febilpropanolamin (norefedrin, koldex®, triaminic®) daya kerja dan penggunaan sama dengan
efedrin tetapi bertahan lebih lama. Efek sentralnya lebih ringan. Obat ini banyak tersedia dalam
sediaan anti-pilek dan anti selesma, dalam kombinasi dengan selesma, dalam kombinasi dengan
analgetika, antihistaminika, dan/ atau obat batuk. Dosis 3 dd 25-50 mg (HCL),tetes hidung 1-3%.

*aminofilin
Theophyllinum et Ethylenediaminum. (C7H8N4O2)2,C2H4(NH2)2
Nama Dagang: Amicain, Aminophyllinum, Phyllocontin.
v Indiksai
Asma dan penyakit paru obstruksi kronis.
v Kontra Indikasi
Hipersensitivitas terhadap teofilin dan ethylendiamine.
v Efek Samping
Efek samping yang sering terjadi : Saluran cerna : diare, mual dan muntah; Neurologi : pusing,
sakit kepala, insomnia, dan tremor; Renal : diuresis;
Efek samping serius : Cardiovascular : Atrial fibrilasi, Bradiaritmia apabila administrasi terlalu
cepat dapat menyebabkan Cardiac arrest, Takiaritmia Dermatologic : Erythroderma;
Gastrointestinal : Necrotizing enterocolitis in fetus OR newborn; Immunologic : Immune
hypersensitivity reaction; Neurologic : perdarahan pada intracranial, kejang.
TRISULFA

GOLONGAN
GENERIK

Tiap kaplet : Sulfadiazin 167 mg, Sulfamerazin 167 mg, Sulfadimidin 167 mg.

INDIKASI

Nocardiosis, limfogranuloma venereum dan meliodosis, pencegahan pada demam rematik


apabila Penisilin G dan Eritromisin tidak dapat digunakan.

KONTRA INDIKASI

Penderita yang peka terhadap Sulfonamida, penderita dengan kerusakan ginjal, wanita hamil dan
menyusui, bayi berusia kurang dari 2 bulan.

EFEK SAMPING

Mual, muntah, anoreksia (kehilangan nafsu makan), reaksi hipersensitif pada kulit, sindroma
Steven-Johnson pada anak, jarang sekali diskrasia darah, diare.

KEMASAN
Kaplet 1000 biji.

DOSIS

Dewasa : 3-4 kali sehari 1-2 kaplet.


TRISULFA
Trisulfa adalah kombinasi dari tiga sulfonamida biasanya sulfadiazin, silfamerazin
dan sulfamezathin dalam perbandingan yang sama. Karena dosis setiap obat hanya
sepertiga dari obat biasa dan daya larutnya masing-masing tidak saling dipengaruhi,
maka bahaya kristaluria sangat diperkecil, cukup dengan minum lebih dari 1,5 liter
air sehari selama pengobatan.
Trisulfa

Komposisi :
Trisulfapirimida 500 mg
Indikasi :
Pengobatan infeksi disentri, baksiler, meningitis, pneunomia, infeksi saluran kemih, infeksi saluran pencernaan.
Kemasan :
Pot 1.000 kaplet
OBH COMBI PLUS DWS 100ML
Price: Call for Pricing
Top of Form
1085

Bottom of Form

Kandungan
Tiap 5 ml mengandung Succus liq 167mg, Paracetamol 150mg, Ammonium Chloride
50mg, Ephedrine Hydrochloride 2.5 mg, Chlorpheniramine Maleate 1.00mg.Alkohol
2.00%.

Indikasi
Utk meredakan batuk yg disertai gejala-gejala flu, seperti demam, sakit kepala,
hidung tersumbat dan bersin-bersin.

Kontra Indikasi
Penderita dg ggn fungsi hati yg berat. Penderita hipersensitif thd komponen obat
ini.

Efek Samping

Perhatian

Dosis
Dws dan anak-anak diatas 12 thn: 3xsehari 3 sendok takar (5ml)

Interaksi
Penderita dg ggn fungsi hati yg berat. Penderita hipersensitif thd komponen obat
ini.

Kemasan
Penderita dg ggn fungsi hati yg berat. Penderita hipersensitif thd komponen obat
ini.

You might also like