Professional Documents
Culture Documents
Ibarat sebilah pisau, nyeri bagi manusia mempunyai dua makna yang berlawanan. Di satu sisi,
nyeri bisa memberi manfaat yakni sebagai “alarm’ terjadinya suatu kelainan atau penyakit dalam
tubuh sehingga seseorang akan aware bahwa dirinya telah mengidap suatu penyakit yang
berbahaya dan mengancam jiwa. Tapi di sisi lain, nyeri boleh jadi malapetaka, seperti pada
pasien kanker, yang mengganggu kualitas hidup dan mengurangi produktivitas pasien.
Bagi penderita kanker, nyeri termasuk pada keluhan yang paling ditakuti. Oleh
karena itu, tujuan utama terapi nyeri kanker adalah meredakan nyeri secara nyata untuk
memelihara status fungsional yang diinginkan, kualitas hidup yang realistis, dan proses kematian
yang tenang.
Menurut Dr.Boediwarsono dari kelompok perawatan paliatif dan bebas nyeri tim
penanggulangan penyakit kanker FK UNAIR-RSUD Dr.Soetomo Surabaya, obat-obat analgesik
memegang peran utama dalam penanggulangan nyeri kanker, di samping modalitas lainnya.
Namun pemberian analgesik itu haruslah dilakukan dengan tepat dan strategis. “Jadi, ada
langkah-langkah yang harus diikuti dalam pemberian analgesik. Langkah pertama adalah
pemberian analgesik non opiat dengan dosis penuh. Bila nyeri masih ada, secara bertahap dosis
dinaikkan hingga dosis maksimal atau ditambah analgesik ajuvan. Langkah kedua, pemberian
non opiat plus analgesik adjuvan ditambah opiat lemah. Langkah terakhir, pemberian opiat kuat
plus analgesik adjuvan,” jelas Dr. Boediwarsono
Setelah ditelusuri, ternyata aspirin bekerja dengan menghambat COX secara irreversibel
dan langsung memblokade sisi aktif enzim. Sementara parasetamol secara tidak langsung
menghambat COX, sehingga efek blokade ini jadi tidak efektif dengan kehadiran peroksida. Ini
mungkin menjelaskan kenapa parasetamol efektif pada sistem saraf pusat dan sel endotelial, tapi
tidak untuk platelet dan sel imun yang memiliki kadar tinggi peroksida.
Pada 2002 Swierkosz TA dkk telah melaporkan, parasetamol secera selektif menghambat
suatu varian enzim COX yang berbeda dari COX-1 dan COX-2. Enzim ini hanya dikeluarkan di
otak dan spinal cord, akhirnya sekarang disebut sebagai COX-3. Bagaimana mekanisme yang
jelas masih belum dimengerti, tapi penelitian lebih lanjut terus mencoba menguak misteri
tersebut.
Parasetamol dimetabolisme terutama di hati, dimana sebagian besar diantaranya (60-
90% dari dosis terapeutik) dirubah menjadi senyawa yang tak aktif melaui konjugasi dengan
sulfat dan glukoronida. Metabolit ini kemudian dieksresikan ke ginjal. Hanya sejumlah kecil (5-
10% dari dosis terapeutik) dimetabolisme melalui hati dengan sistem enzim cytochrome
P450(khususnya CYP2E1).
Efek toksik parasetamol yang kerap digembar-gemborkan, sebenarnya terkait hanya
dengan sebuah metabolit alkilasi minornya (N-acetyl-p-benzo-quinone imine, disingkat NAPQI).
Jadi, efek toksik yang muncul bukanlah karena parasetaml itu sendiri atau metabolit utamanya.
Pada dosis yang lazim digunakan, metabolit toksik NAPQI secara cepat didetoksifikasi melalui
kombinasi irreversibel dengan gugus sulfhydryl dari glutation, menghasilkan konjugasi non
toksik yang akhirnya dikeluarkan melalui ginjal.
Paracetamol memiliki indeks terapeutik yang sempit. Artinya, dosis terapi tidak terentang
jauh dengan dosis toksik. Tanpa pengobatan yang tepat, overdosis parasetamol bisa
menyebabkan gagal hati dan kematian dalam beberapa hari. Dosis toksis parasetamol sangat
bervariasi. Pada dewasa, dosis tunggal di atas 10 gram atau 150 mg/kg bisa menyebabkan
toksisitas. Toksisitas juga bisa terjadi pada dosis multiple yang lebih kecil dalam 24 jam
melebihi kadar tersebut, atau bahkan pemberian jangka panjang dosis serendahnya 4 g/hari.
Berbeda dengan aspirin, parasetamol aman diberikan pada anak dan tidak terkait dengan
risiko Reye's syndrome pada anak dengan penyakit virus. Paracetamol juga aman digunakan saat
hamil, tidak berefek penutupan fetal ductus arteriosus(seperti yang dilakukan NSAIDs ).
Codein
Codein atau methylmorphine merupakan suatu opiat digunakan sebagai analgesik,
antitusif, dan antidiare. Obat ini dipasarkan sebagai garam codein sulfate dan codein phosphate.
Codein adalah alkaloid yang ditemukan dalam opium, sekitar 0,3 – 3,0 %. Meskipun codein bisa
diekstrak dari opium, sebagian besar codein yang ada saat ini disintesa dari morfin melalui
proses O-methylation.
Di pasaran, codein juga tersedia dalam preparat kombinasi dengan parasetamol sebagai
co-codamol, dengan aspirin sebagai co-codaprin, atau dengan ibuprofen. Kombinasi ini
mengurangi nyeri yang lebih besar ketimbang penggunaan masing-masingnya. Kolaborasi
codein ini juga memungkinkan penggunaanya untuk nyeri yang hebat, semisal nyeri akibat
penyakit kanker.
Codein dipertimbangkan sebagai prodrug, karena dimetabolisme menjadi morfin.
Meskipun demikian, obat ini kurang potensial dibandingkan morfin itu sendiri. Hal ini
disebabkan karena hanya 10% codein yang dirubah menjadi morfin. Oleh karena itu, obat ini
juga menyebabkan ketergantungan yang lebih rendah dari morfin.
Secara teoritis, agar memberikan efek analgesia setara dengan morfin oral 30 mg, dosis
oral codein yang harus diberikan adalah sekitar 200 mg. Namun pada praktiknya cara ini tidak
digunakan. Pasalnya, pada pemberian dosis tunggal besar dari 60 mg dan tidak lebih dari 240 mg
per hari ada suatu ceiling effect.
Perubahan codein menjadi morfin terjadi di hati dan dikatalisis oleh enzim cytochrome
P450, CYP2D6. Oleh karena itu efek analgesia codein sangat tergantung pada kinerja dan
keberadaan CYP2D6. Sekitar 6–10% populasi Kaukasia memiliki fungsional CYP2D6 yang
jelek, sehingga codein tidak efektif sebagai analgesia untuk pasien ini. Hal ini terungkap dari
studi yang dilakukan Rossi dkk pada 2004. Obat-obatan yang menghambat CYP2D6 bisa
mengurangi bahkan secara eksrim bisa menghilangkan efek codein. Di antaranya adalah
selective serotonin reuptake inhibitors semisal fluoxetine dan citalopram
Untuk menimbulkan efek analgesia, codein melalui metabolitnya, morfin, terikat dengan
reseptor μ-opioid. Sedangkan codein sendiri memiliki afinitas lemah terhadap reseptor μ-opioid
ini.
Efek samping yang umum dijumpai pada penggunaan codein di antaranya, mual, muntah,
mulut kering, gatal-gatal, drowsiness, miosis, orthostatic hypotension, retensi urin, dan
konstipasi. Toleransi terhadap berbagai efek codein bisa terjadi pada penggunaan jangka
panjang, termasuk efek terapeutik.
Morfin
Sebagai senyawa aktif opium, morfin tampil sebagai analgesik opiat yang sangat kuat.
Seperti opiat lainnya semisal heroin, morfin bekerja langsung pada sistem saraf pusat untuk
mengurangi nyeri, dan terkadang juga pada sinap arcuate nucleus. Nama morfin sendiri berasal
dari kata Morpheus yang merupakan Dewa Pemimpi dalam mitologi Yunani.
Morfin pertama kali diisolasi pada 1804 oleh ahli farmasi Jerman Friedrich Wilhelm
Adam Sertürner. Tapi morfin belum digunakan hingga dikembangkan hypodermic needle (1853).
Morfin digunakan untuk mengurangi nyeri dan sebagai cara penyembuhan dari ketagihan
alkohol dan opium.
Potensi analgesia yang kuat, akhirnya membuat morfin menjadi tumpuan untuk
mengatasi kasus nyeri parah di rumah sakit. Misalnya saja, mengatasi nyeri pasca bedah, nyeri
karena trauma, mengurangi nyeri parah kronik semisal pada penderita kanker dan batu ginjal
serta nyeri punggung. Di samping itu, morfin juga digunakan sebagai adjuvan pada anestesi
umum.
Morfin merupakan agonis reseptor opioid, dengan efek utama mengikat dan mengaktivasi
reseptor µ-opioid pada sistem saraf pusat. Aktivasi reseptor ini terkait dengan analgesia, sedasi,
euforia, physical dependence dan respiratory depression. Morfin juga bertindak sebagai agonis
reseptor κ-opioid yang terkait dengan analgesia spinal dan miosis.
Di dalam tubuh, morfin terutama dimetabolisme menjadi morphine-3-glucuronide dan
morphine-6-glucuronide (M6G). Pada hewan pengerat, M6G tampak memiliki efek analgesia
lebih potensial ketimbang morfin sendiri. Sedang pada manusia M6G juga tampak sebagai
analgesia. Perihal signifikansi pembentukan M6G terhadap efek yang diamati dari suatu dosis
morfin, masih jadi perdebatan diantara ahli farmakologi.
Morfin diberikan secara parenteral dengan injeksi subkutan, intravena, maupun epidural.
Saat diinjeksikan, terutama intravena, morfin menimbulkan suatu sensasi kontraksi yang intensif
pada otot. Oleh karena itu bisa menimbulkan semangat luar biasa. Tak heran bila dikalangan
militer terkadang menggunakan autoinjector untuk memperoleh manfaat tersebut.
Pemberian secara oral, biasa dalam sediaan eliksir, solusio, serbuk, atau tablet. Morfin
jarang disuplai dalam bentuk suppositoria. Potensi pemberian oral hanya seperenam hingga
sepertiga dari parenteral. Hal ini dikarenakan bioavailabitasnya yang kurang baik. Saat ini morfin
juga tersedia dalam bentuk kapsul extended-release untuk pemberian kronik dan juga formulasi
immediate-release.
Sebuah review dilakukan oleh Wiffen PJ dkk tentang penggunaan morfin oral untuk nyeri
kanker. Review yang dilaporkan dalam The Cochrane Database of Systematic Reviews 2006
Issue 3 ini mengikutkan 55 studi (3061 subjek) yang memenuhi kriteria. Empat belas studi
membandingkan preparat oral sustained release morphine (MSR) dengan immediate release
morphine (MIR). Delapan studi membandingkan MSR dengan kekuatan yang berbeda. Sembilan
studi membandingkan MSR oral dengan MSR rectal. Satu studi masing-masing
membandingkan: MSR tablet dengan MSR suspensi; MSR dengan frekuensi dosis yang berbeda;
MSR dengan non-opioid; MIR dengan non opioid; morfin oral dengan morfin epidural; dan MIR
dengan rute pemberian yang berbeda.
Hasil review memperlihatkan, morfin merupakan analgesik efektif untuk mengatasi
nyeri kanker. Pengurangan nyeri tidak berbeda untuk sediaan MSR dan MIR. MSR efektif untuk
dosis 12 atau 24 jam tergantung pada formulasinya. Efek samping umum dijumpai, namun hanya
4% pasien yang menghentikan pengobatan karena tidak bisa menolerir.
Efek samping yang umum dijumpai pada pemberian morfin adalah gangguan mental,
euforia, lethargy, dan pandangan kabur. Morfin juga mengurangi rasa lapar, menghambat refleks
batuk, dan menyebabkan konstipasi.
(Arnita)
Codein (kodein)
codipront, coditam
Golongan Sediaan Penyakit/indikasi Alasan penggunaan
Penghilang nyeri Tablet: 30 mg (fosfat) Penghilang nyeri opioid
golongan opioid potensi rendah untuk
(analgesik opioid) nyeri rignan samapi
sedang
Indikasi:
Nyeri ringan sampai sedang
Kontraindikasi :
Depresi napas, penyakit paru obstruktif, serangan asma akut
Perhatian :
Gangguan hati dan ginjal; ketergantungan; kehamilan; menyusui; overdosis
Kehamilan dan meyusui :
Kehamilan :
• Trimester 3 : menekan pernapasan neonates; efek putus obat pada neonates dengan ibu
yang tergantung obat; risiko henti kerja lambung dan aspirasi pneumonia pada ibu selama
persalinan
Menyusui :
• Jumlah terlalu sedikit untuk berbahaya; namun ibu memiliki keberagaman dalam
memetabolisme codein- risiko overdosis morfin pada bayi
Interaksi : opioid analgesik
Alkohol Meningkatkan efek hipotensif dan sedasi saat opioid analgesik diberikan
bersama alkohol
Antibakterial Kadar alfentanil dalam darah ditingkatkan oleh eritromisin; hindari
premedikasi dengan opioid anlagesik disarankan oleh pabrik
ciprofloxacin, mengurangi kadar ciprofloxacin dalam darah saat
ciprofloxacin sebagai antibiotik profilaksis; rifampicin meingkatkan
metabolism metadon, mengurangi efek
Antikoagulan Tramadol meningkatkan efek antikoagulan koumarin;
dextropropoxyphene mungkin meningkatkan efek antikoagulan
koumarin
Antidepresan Kadar konsentrasi metadon dalam darah mungkin ditingkatkan
fluvoxamin; mungkin meningkatkan efek serotoninergik saat petidin
atau tramadol diberikan dengan duloxetine; mungkin eksitasi atau
depresi system saraf pusat-SSP (hipertensi atau hipotensi) saat opioid
alanlgesik diberikan dengan MAOI, hindari penggunaan bersama dan 2
minggu setelah berhenti MAOI; eksitasi atau depresi SSP (hipertensi
atau hipotensi) saat petidin diberikan dengan MAOI, hindari penggunaan
bersama dan 2 minggu setelah berhenti MAOI; mungkin eksitasi SSP
atau depresi (hipertensi atau hipotensi) saat opioid analgesik diberikan
dengan meclobemide; mungkin eksitasi SSP atau depresi (hipertensi atau
hipotensi) saat dextrometorphan atau petidin diberikan dengan
meclobemide, hindari penggunaan bersama; menignkatkan risiko
toksisitas SSP saat tramadol diberikan dengan SSRI atau trisiklik; efek
sedasi mungkin meningkat saat analgesik opioid diberikan dengan
trisiklik
Antiepilepsi Kadar metadon dalam darah diturunkan oleh carbamazepin;
dextropropoxyphen meningkatkan efek carbamazepin; efek tramadol
diturunkan oleh carbamazepin; fenitoin meningkatkan metabolism
metadon, mengurangi efek dan risiko reaksi putus obat
Antijamur Ketokonazol menghambat metabolism buprenorphin, kurangi dosis
buprenorphin; metabolism fentanil dihambat oleh flukonazol, risiko
depresi napas lebih lama atau lebih lambat muncul; kadar fentanil dalam
darah mungkin ditingkatkan oleh flukonazol dan itrakonazol;
vorikonazol meningkatkan kadar alfentanil dan metadon dalam darah,
pertimbangkan menurunkan dosis alfentanil dan metadon
Antihistamin Efek sedasi mungkin meningkat saat analgesik opioid diberikan dengan
antihistamin sedative
Antipsikotik Meningkatkan efek sedasi dan hipotensi saat analgesik opioid diberikan
dengan antipsikotik; meningkatkan risiko kejang saat tramadol diberikan
dengan antipsikotik
Antiviral Kadar metadon mungkin diturunkan oleh abacavir dan nevirapin; kadar
metadon dalam darah diturunkan oleh efavirenz, fosemprenavir,
melfinavir, dan ritonavir; ritonavir meningkatkan kadar
dextropropoxyphen, ririko toksisitas hindari penggunaan bersama; kadar
buprenorphin dalam darah mungkin ditingkatkan oleh ritonavir;kadar
petidin dalam darah dikurangi oleh ritonavir, tetapi kadar metabolit
toksik petidin dalam darah meningkat, hindari penggunaan bersamaan;
ritonavir mungkin mengurangi kadar morfin dalam darah, meningkatkan
kadar fentanil dalam darah; metadon mungkin meningkatkan kadar
zidovudin dalam darah
Ansiolitik dan hipnotik mengingkatkan efek sedasi saat analgesik opioid diberikan dengan
ansiolitik dan hipnotik
Atomoxetine Meningkatkan risiko aritmia ventricular saat metadon diberikan dengan
atomoxetine; mungkin meningkatkan risiko kejang saat tramadol
diberikan dengan atomoxetine
Penyekat beta Morfin mungkin meningkatkan kadar esmolol dalam darah
Penyekat kanal kalsium Metabolism alfentanil dihambat oleh diltiazem, risiko depresi napas
lebih lama atau terlambat untuk muncul
Domperidone Analgesik opioid melawan efek domperidon pada kerja saluran cerna
Dopaminergik Risiko toksisitas SSP saat petidin diberikan dengan rasagiline, hindari
petidin 2 minggu setelah rasagiline; hindari penggunaan bersama
dextrometorphan dengan rasagiline; hiperpireksia dan toksisitas SSP
dilaporkan saat petidin diberikan dengan selegiline, hindari penggunaan
bersama; perhatian dengan tramadol disarankan pabrik selegiline
5HT3 antagonis Efek tramadol mungkin dilawan oleh ondansetron
Memantine Meningkatkan risiko toksisitas SSP saat dextrometorphan diberikan
dengan memantine (pabrik memantine menyarankan penghindaran
pemakaian bersama)
Metoclopramide Analgesik opioid melawan efek metoclopramide pada efek saluran cerna
Obat untuk ulkus Metabolism analgesik opioid dihambat oleh cimetidine, mengingkatkan
kadar dalam darah
Dosis :
Nyeri ringan sampai sedang, per oral, DEWASA 30-60 mg tiap 4 jam bila perlu, maksimal
240mg/hari; ANAK 1-12 tahun, 0.5-1 mg/kg tiap 4-6 jam bila perlu; maksimal 240 mg sehari
Cara pelarutan dan pemberian :
Efek yang tidak diinginkan :
Konstipasi bis menyulitkan pada penggunaan jangka panjang; pusing, mual, muntah; kesulitan
BAK; spasme ureter atau saluran empedu; mulut kering, sakit kepala, berkeringat, pelebaran
pembuluh darah di wajah; pada dosis terapi, kodein lebih rendah kemungkinan darpada morfin
untuk menyebabkan toleransi, ketergantungan, euphoria, sedasi atau efek yang tidak diinginkan
lainnya
(Codipront, Coditam)
Golongan Sediaan Penyakit/indikasi
Penghilang nyeri golonganTablet: 30 mgPenghilang nyeri opioid potensi rendah
opioid (analgesik opioid) (fosfat) untuk nyeri rignan samapi sedang
Kodein merupakan prodrug, karena di saluran pencernaan kodein diubah menjadi
bentuk aktifnya, yakni morfin dan kodeina-6-glukoronida (1). Sekitar 5-10% kodein akan
diubah menjadi morfin, sedangkan sisanya akan menjadi bentuk yang bebas, atau
terkonjugasi dan membentuk kodeina-6-glukoronida (70%), norkodeina (10%),
hidromorfona (1%). Seperti halnya obat golongan opiat lainnya, kodein dapat
menyebabkan ketergantungan fisik, namun efek ini relatif sedang bila dibandingkan
dengan senyawa golongan opiat lainnya.
INDIKASI : Nyeri ringan sampai sedang, batuk (antitusif), diare, dan irritable bowel
syndrome
KONTRAINDIKASI : Depresi napas, penyakit paru obstruktif, serangan asma akut
Perhatian : Gangguan hati dan ginjal; ketergantungan; kehamilan; menyusui; overdosis.
Kehamilan : Trimester 3 : menekan pernapasan neonates; efek putus obat pada neonates dengan
ibu yang tergantung obat; risiko henti kerja lambung dan aspirasi pneumonia pada ibu selama
persalinan
Menyusui : Jumlah terlalu sedikit untuk berbahaya; namun ibu memiliki keberagaman dalam
memetabolisme codein- risiko overdosis morfin pada bayi
DOSIS :
Nyeri ringan sampai sedang, per oral, DEWASA 30-60 mg tiap 4 jam bila perlu, maksimal
240mg/hari; ANAK 1-12 tahun, 0.5-1 mg/kg tiap 4-6 jam bila perlu; maksimal 240 mg sehari
EFEK SAMPING
Konstipasi bis menyulitkan pada penggunaan jangka panjang; pusing, mual, muntah; kesulitan
BAK; spasme ureter atau saluran empedu; mulut kering, sakit kepala, berkeringat, pelebaran
pembuluh darah di wajah; pada dosis terapi, kodein lebih rendah kemungkinan darpada morfin
untuk menyebabkan toleransi, ketergantungan, euphoria, sedasi atau efek yang tidak diinginkan
lainnya
INTERAKSI OBAT : (Opioid analgesic)
Alkohol Meningkatkan efek hipotensif dan sedasi saat opioid analgesik
diberikan bersama alkohol
Antibakterial Kadar alfentanil dalam darah ditingkatkan oleh eritromisin;
hindari premedikasi dengan opioid anlagesik disarankan oleh
pabrik ciprofloxacin, mengurangi kadar ciprofloxacin dalam
darah saat ciprofloxacin sebagai antibiotik profilaksis; rifampicin
meingkatkan metabolism metadon, mengurangi efek
Antikoagulan Tramadol meningkatkan efek antikoagulan koumarin;
dextropropoxyphene mungkin meningkatkan efek antikoagulan
koumarin
Antidepresan Kadar konsentrasi metadon dalam darah mungkin ditingkatkan
fluvoxamin; mungkin meningkatkan efek serotoninergik saat
petidin atau tramadol diberikan dengan duloxetine; mungkin
eksitasi atau depresi system saraf pusat-SSP (hipertensi atau
hipotensi) saat opioid alanlgesik diberikan dengan MAOI, hindari
penggunaan bersama dan 2 minggu setelah berhenti MAOI;
eksitasi atau depresi SSP (hipertensi atau hipotensi) saat petidin
diberikan dengan MAOI, hindari penggunaan bersama dan 2
minggu setelah berhenti MAOI; mungkin eksitasi SSP atau
depresi (hipertensi atau hipotensi) saat opioid analgesik diberikan
dengan meclobemide; mungkin eksitasi SSP atau depresi
(hipertensi atau hipotensi) saat dextrometorphan atau petidin
diberikan dengan meclobemide, hindari penggunaan bersama;
menignkatkan risiko toksisitas SSP saat tramadol diberikan
dengan SSRI atau trisiklik; efek sedasi mungkin meningkat saat
analgesik opioid diberikan dengan trisiklik
Antiepilepsi Kadar metadon dalam darah diturunkan oleh carbamazepin;
dextropropoxyphen meningkatkan efek carbamazepin; efek
tramadol diturunkan oleh carbamazepin; fenitoin meningkatkan
metabolism metadon, mengurangi efek dan risiko reaksi putus
obat
Antijamur Ketokonazol menghambat metabolism buprenorphin, kurangi
dosis buprenorphin; metabolism fentanil dihambat oleh
flukonazol, risiko depresi napas lebih lama atau lebih lambat
muncul; kadar fentanil dalam darah mungkin ditingkatkan oleh
flukonazol dan itrakonazol; vorikonazol meningkatkan kadar
alfentanil dan metadon dalam darah, pertimbangkan menurunkan
dosis alfentanil dan metadon
Antihistamin Efek sedasi mungkin meningkat saat analgesik opioid diberikan
dengan antihistamin sedative
Antipsikotik Meningkatkan efek sedasi dan hipotensi saat analgesik opioid
diberikan dengan antipsikotik; meningkatkan risiko kejang saat
tramadol diberikan dengan antipsikotik
Antiviral Kadar metadon mungkin diturunkan oleh abacavir dan nevirapin;
kadar metadon dalam darah diturunkan oleh efavirenz,
fosemprenavir, melfinavir, dan ritonavir; ritonavir meningkatkan
kadar dextropropoxyphen, ririko toksisitas hindari penggunaan
bersama; kadar buprenorphin dalam darah mungkin ditingkatkan
oleh ritonavir;kadar petidin dalam darah dikurangi oleh ritonavir,
tetapi kadar metabolit toksik petidin dalam darah meningkat,
hindari penggunaan bersamaan; ritonavir mungkin mengurangi
kadar morfin dalam darah, meningkatkan kadar fentanil dalam
darah; metadon mungkin meningkatkan kadar zidovudin dalam
darah
Ansiolitik danmengingkatkan efek sedasi saat analgesik opioid diberikan
hipnotik dengan ansiolitik dan hipnotik
Atomoxetine Meningkatkan risiko aritmia ventricular saat metadon diberikan
dengan atomoxetine; mungkin meningkatkan risiko kejang saat
tramadol diberikan dengan atomoxetine
Penyekat beta Morfin mungkin meningkatkan kadar esmolol dalam darah
Penyekat kanalMetabolism alfentanil dihambat oleh diltiazem, risiko depresi
kalsium napas lebih lama atau terlambat untuk muncul
Domperidone Analgesik opioid melawan efek domperidon pada kerja saluran
cerna
Dopaminergik Risiko toksisitas SSP saat petidin diberikan dengan rasagiline,
hindari petidin 2 minggu setelah rasagiline; hindari penggunaan
bersama dextrometorphan dengan rasagiline; hiperpireksia dan
toksisitas SSP dilaporkan saat petidin diberikan dengan
selegiline, hindari penggunaan bersama; perhatian dengan
tramadol disarankan pabrik selegiline
5HT3 antagonis Efek tramadol mungkin dilawan oleh ondansetron
Memantine Meningkatkan risiko toksisitas SSP saat dextrometorphan
diberikan dengan memantine (pabrik memantine menyarankan
penghindaran pemakaian bersama)
Metoclopramide Analgesik opioid melawan efek metoclopramide pada efek
saluran cerna
Obat untukMetabolism analgesik opioid dihambat oleh cimetidine,
ulkus mengingkatkan kadar dalam darah
Phenobarbotal (fenobarbital-luminal)
(Ditalin, piptal, sibital)
Pengaruh
- Terhadap Ibu Menyusui : Tidak ada data mengenai penggunaan vaksin selama
menyusui. World Health Organization Rating menyebutkan kompatibel bagi ibu menyusui.
Thomson Lactation Rating menyebutkan risiko terhadap bayi kecil.2
- Terhadap Anak-anak : Dapat terjadi penghambatan pertumbuhan yang tak dapat pulih
kembali, oleh sebab itu tidak boleh diberikan jangka panjang.
Parameter Monitoring
-
Bentuk Sediaan
Tablet 5 mg, Kaptab 5 mg
Peringatan
Pasien yang sedang dalam terapi imunosupresan sangat rentan terhadap infeksi, antara
lain infeksi oleh virus, bakteri, jamur, protozoa, dan lain-lain. Oleh sebab itu harus benar-benar
dijaga agar terhindar dari sumber infeksi. Kortikosteroid dapat menutupi gejala-gejala infeksi
atau penyakit lain, dan infeksi baru dapat saja terjadi dalam periode penggunaannya. Terapi
kortikosteroid jangka panjang dapat menyebabkan katarak subkapsular posterior, glaucoma,
yang juga dapat merusak syaraf penglihatan, dan dapat memperkuat infeksi mata sekunder yang
disebabkan oleh virus ataupun jamur. Pemberian vaksin hidup ataupun vaksin hidup yang
dilemahkan, merupakan kontraindikasi untuk pasien yang sedang mendapat terapi kortikosteroid
dosis imunosupresan. Vaksin yang dibunuh atau diinaktifkan dapat saja diberikan, tetapi
responnya biasanya tidak memuaskan. Pemberian kortikosteroid pada pasien hipotiroidism
ataupun sirosis biasanya menunjukkan efek kortikosteroid yang lebih kuat. Kortikosteroid harus
diberikan secara sangat berhati-hati pada pasien dengan herpes simpleks okular karena risiko
terjadinya perforasi kornea.
Kasus Temuan Dalam Keadaan Khusus
-
Informasi Pasien
Pasien yang sedang mendapat terapi imunosupresan sedapat mungkin harus menghindari
sumber-sumber infeksi, sebab sistem imunnya sedang tidak berjalan baik. Apabila mendapat
infeksi, harus segera mendapat pertolongan medis tanpa tunda.
Mekanisme Aksi
Sebagai glukokortikoid, bersifat menekan sistem imun, anti radang.
Monitoring Penggunaan Obat
-
Daftar Pustaka
Informatorium Obat Nasional Indonesia 2000. Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Direktorat Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan, 2000
Suharti K Suherman. Adrenokortikotropin, Adrenokortikosteroid, Analog Sintetik dan
Antagonisnya. Dalam: Farmakologi dan Terapi edisi 4, 2004. Bagian Farmakologi Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
Deltasone, Rx List, The Internet Drug Index @ http://www.rxlist.com/cgi/
generic/pred_od.htm
Prednisone, Medline Plus @ www.nlm.nih.gov/medlineplus/
druginfo/medmaster/a601102.html
Prednisone, Drugs.com @ www.drugs.com/prednisone.html
nama dagang
dosis
Prednison adalah kortikosteroid sintetik yang umum diberikan per oral, tetapi dapat juga
diberikan melalui injeksi intra muskular (im, iv), per nasal, atau melalui rektal. Dosis awal sangat
bervariasi, dapat antara 5 – 80 mg per hari, bergantung pada jenis dan tingkat keparahan penyakit
serta respon pasien terhadap terapi. Tetapi umumnya dosis awal diberikan berkisar antara 20 –
80 mg per hari. Untuk anak-anak 1 mg/kg berat badan, maksimal 50 mg per hari. Dosis harus
dipertahankan atau disesuaikan, sesuai dengan respon yang diberikan. Jika setelah beberapa
waktu tertentu hasil yang diharapkan tidak tercapai, maka terapi harus dihentikan dan diganti
dengan terapi lain yang sesuai.
indikasi
Gangguan endokrin
• Insufisiensi adrenokortikal primer atau sekunder (hidrokortison atau kortison merupakan
pilihan pertama, namun analog sintetisnya juga dapat digunakan)
• Hiperplasia adrenal congenital/bawaan
• Hiperkalsernia terkait kanker
• Tiroiditis nonsuppuratif
Penyakit Rheumatoid
Sebagai terapi tambahan untuk penggunaan jangka pendek pada terapi penyakit-penyakit:
• Psoriatic arthritis
• Rheumatoid arthritis, termasuk Rheumatoid arthritis pada anak
• Ankylosing spondylitis
• Bursitis akut dan subakut
• Tenosynovitis nonspesifik akut
• Gouty arthritis akut
• Osteoarthritis pasca-traumatik
• Synovitis of Osteoarthritis
• Epicondylitis
Penyakit-penyakit Kolagen
Apabila keadaan penyakit makin memburuk atau sebagai terapi perawatan pada kasus-kasus:
• Systemic lupus erythematosus
• Systemic-dermatomyositis (polymyositis)
• Acute rheumatic carditis
Penyakit-penyakit kulit tertentu
• Pemphigus
• Bullous dermatitis herpetiformis
• Erythema multiforme parah (Stevens-Johnson syndrome)
• Exfoliative dermatitis
• Mycosis fungoides
• Psoriasis parah
• dermatitis seborrhea parah
Penyakit-penyakit Alergi
Mengendalikan kondisi alergi yang parah yang tidak memberikan hasil yang memadai pada
terapi konvensional:
• Rhinitis yang disebabkan alergi
• Asma bronkhial
• dermatitis kontak
• dermatitis atopik
• Serum sickness
• Reaksi-Reaksi hipersensitivitas terhadap obat
Penyakit-penyakit mata
Penyakit-penyakit mata akut atau kronis yang parah terkait proses alergi atau radang, seperti:
• Allergic cornea marginal ulcers
• Herpes zoster ophthalmicus
• Radang segmen anterior
• Diffuse posterior uveitis and choroiditis
• Sympathetic ophthalmia
• Konjungtivitis alergik
• Keratitis
• Chorioretinitis
• Optic neuritis
• Iritis dan iridocyclitis
Penyakit-penyakit saluran pernafasan
• Symptomatic sarcoidosis
• Loeffler's syndrome yang tidak dapat dikendalikan dengan cara lain
• Berylliosis
• Tuberkulosis yang parah, tetapi harus diberikan bersama dengan kemoterapi anti
tuberculosis yang sesuai
• Aspiration pneumonitis
Penyakit-penyakit Hematologis
• Trombositopenia purpura idiopatik pada orang dewasa
• Trombositopenia sekunder pada orang dewasa
• Anemia hemolitik yang disebabkan Reaksi autoimmun
• Anemia sel darah merah (Erythroblastopenia)
• Anemia hipoplastik congenital/bawaan (erythroid)
Penyakit-penyakit keganasan (neoplastik)
Sebagai terapi paliatif untuk:
• Leukemia dan limfoma pada orang dewasa
• Leukemia akut pada anak-anak
Edema
• Untuk menginduksi diuresis atau remisi proteinuria pada sindroma nefrotik tanpa uremia,
jenis idiopatik atau yang disebabkan oleh lupus eritematosus
Penyakit-penyakit sistem pencernaan
Untuk membantu pasien melewati periode kritis pada penyakit-penyakit:
• Kolitis ulseratif
• Enteritis regional
Penyakit pada Sistem Syaraf
Multiple sclerosis akut yang makin parah
Lain-lain
• Tuberculous meningitis disertai penghambatan subarachnoid, tetapi harus diberikan
bersama-sama dengan kemoterapi antituberculous yang sesuai
• Trichinosis disertai gangguan syaraf atau gangguan miokardial
kontraindikasi
Infeksi jamur sistemik dan hipersensitivitas terhadap prednison atau komponen-komponen obat
lainnya.
efek samping
interaksi
mekanisme kerja
bentuk sediaan
parameter monitoring
stabilitas penyimpanan
informasi pasien
Pasien yang sedang mendapat terapi imunosupresan sedapat mungkin harus menghindari
sumber-sumber infeksi, sebab sistem imunnya sedang tidak berjalan baik. Apabila mendapat
infeksi, harus segera mendapat pertolongan medis tanpa tunda.
Pasien yang sedang dalam terapi imunosupresan sangat rentan terhadap infeksi, antara lain
infeksi oleh virus, bakteri, jamur, protozoa, dan lain-lain. Oleh sebab itu harus benar-benar dijaga
agar terhindar dari sumber infeksi. Kortikosteroid dapat menutupi gejala-gejala infeksi atau
penyakit lain, dan infeksi baru dapat saja terjadi dalam periode penggunaannya. Terapi
kortikosteroid jangka panjang dapat menyebabkan katarak subkapsular posterior, glaucoma,
yang juga dapat merusak syaraf penglihatan, dan dapat memperkuat infeksi mata sekunder yang
disebabkan oleh virus ataupun jamur. Pemberian vaksin hidup ataupun vaksin hidup yang
dilemahkan, merupakan kontraindikasi untuk pasien yang sedang mendapat terapi kortikosteroid
dosis imunosupresan. Vaksin yang dibunuh atau diinaktifkan dapat saja diberikan, tetapi
responnya biasanya tidak memuaskan. Pemberian kortikosteroid pada pasien hipotiroidism
ataupun sirosis biasanya menunjukkan efek kortikosteroid yang lebih kuat. Kortikosteroid harus
diberikan secara sangat berhati-hati pada pasien dengan herpes simpleks okular karena risiko
terjadinya perforasi kornea.
ctm
Indikasi:
Pengobatan pada gejala-gejala alergis, seperti: bersin, rinorrhea, urticaria, pruritis, dll.
Kontra Indikasi:
N/A
Komposisi:
Tiap tablet mengandung:
Chlorpheniramini maleas 4 mg
Efek Samping:
Kadang-kadang menyebabkan rasa ngantuk.
Perhatian:
Selama minum obat ini, jangan mengendarai kendaraan bermotor atau menjalankan mesin.
Takaran Pemakaian:
Dewasa: 3 - 4 kali sehari 0.5 - 1 tablet.
Anak-anak 6 - 12 tahun: 0.5 dosis dewasa.
Anak-anak 1 - 6 tahun: 0.25 dosis dewasa.
Penyimpanan:
Simpan di tempat yang kering dan tertutup rapat.
Jenis: Tablet
Obat ini termasuk obat keras, jadi pemakaiannya harus berhati-hati. Dan kami
manganjurkan untuk mengunakannya hanya jika memang diperlukan. Walaupun
anda, misalnya minum hanya 2 hari sekali... perlu anda ketahui, bahwa sistem
eliminasi obat tubuh manusia tidak sama untuk tiap orangnya. Jika sistem eliminasi
obat tubuh anda lambat, obat / zat ini akan terakumulasi / menumpuk sedikit demi
sedikit dalam organ tubuh dalam. Obat yang menumpuk ini bisa menyebabkan
kerusakan pada organ juga. Jadi sekali lagi kami tekankan untuk memakan obat ini
jika memang anda membutuhkan saja.
Tidak hanya CTM, obat lain juga.
Alergi itu sebenarnya adalah reaksi tubuh kita terhadap zat / sesuatu yang asing
dan berbahaya bagi tubuh kita. Menangani alergi tidak hanya selalu dengan obat.
Kita perlu kaji kembali apa penyebab munculnya reaksi alergi ini, misalnya suatu
makanan atau minuman. Jika mengetahui penyebab, kita bisa melakukan tindakan
preventif, sehingga alergi tidak muncul, 'kan?
Cobalah pola hidup sehat yang cocok dengan tubuh anda, olah raga teratur dan
jaga kebersihan tubuh, rumah dan lingkungan sekitar anda dengan baik.
Cobalah konsultasikan keadaan alergi anda ke dokter anda. Dia akan bisa
mendiagnosa dengan tepat setelah melihat langsung keadaan anda.
Efedrin HCI Dosis
Indikasi : antiasma
Cara pakai : oral
Efedrina (En: Ephedrine; EPH) adalah sympathomimetic amine yang umumnya dipakai sebagai
stimulan, penekan nafsu makan, obat pembantu berkonsentrasi, pereda hidung tersumbat dan
untuk merawat hypotensi yang berhubungan dengan anaesthesia. Efedrina mempunyai struktur
yang sama dengan turunan sintetis Amphetamine dan Methamphetamine. Secara kimia, senyawa
ini adalah alkaloid yang diturunkan dari berbagai tumbuhan bergenus Ephedra (keluarga
Ephedraceae). Bahan ini secara umum dipasarkan dalam bentuk hidroclorida dan sulfat.
*aminofilin
Theophyllinum et Ethylenediaminum. (C7H8N4O2)2,C2H4(NH2)2
Nama Dagang: Amicain, Aminophyllinum, Phyllocontin.
v Indiksai
Asma dan penyakit paru obstruksi kronis.
v Kontra Indikasi
Hipersensitivitas terhadap teofilin dan ethylendiamine.
v Efek Samping
Efek samping yang sering terjadi : Saluran cerna : diare, mual dan muntah; Neurologi : pusing,
sakit kepala, insomnia, dan tremor; Renal : diuresis;
Efek samping serius : Cardiovascular : Atrial fibrilasi, Bradiaritmia apabila administrasi terlalu
cepat dapat menyebabkan Cardiac arrest, Takiaritmia Dermatologic : Erythroderma;
Gastrointestinal : Necrotizing enterocolitis in fetus OR newborn; Immunologic : Immune
hypersensitivity reaction; Neurologic : perdarahan pada intracranial, kejang.
TRISULFA
GOLONGAN
GENERIK
Tiap kaplet : Sulfadiazin 167 mg, Sulfamerazin 167 mg, Sulfadimidin 167 mg.
INDIKASI
KONTRA INDIKASI
Penderita yang peka terhadap Sulfonamida, penderita dengan kerusakan ginjal, wanita hamil dan
menyusui, bayi berusia kurang dari 2 bulan.
EFEK SAMPING
Mual, muntah, anoreksia (kehilangan nafsu makan), reaksi hipersensitif pada kulit, sindroma
Steven-Johnson pada anak, jarang sekali diskrasia darah, diare.
KEMASAN
Kaplet 1000 biji.
DOSIS
Komposisi :
Trisulfapirimida 500 mg
Indikasi :
Pengobatan infeksi disentri, baksiler, meningitis, pneunomia, infeksi saluran kemih, infeksi saluran pencernaan.
Kemasan :
Pot 1.000 kaplet
OBH COMBI PLUS DWS 100ML
Price: Call for Pricing
Top of Form
1085
Bottom of Form
Kandungan
Tiap 5 ml mengandung Succus liq 167mg, Paracetamol 150mg, Ammonium Chloride
50mg, Ephedrine Hydrochloride 2.5 mg, Chlorpheniramine Maleate 1.00mg.Alkohol
2.00%.
Indikasi
Utk meredakan batuk yg disertai gejala-gejala flu, seperti demam, sakit kepala,
hidung tersumbat dan bersin-bersin.
Kontra Indikasi
Penderita dg ggn fungsi hati yg berat. Penderita hipersensitif thd komponen obat
ini.
Efek Samping
Perhatian
Dosis
Dws dan anak-anak diatas 12 thn: 3xsehari 3 sendok takar (5ml)
Interaksi
Penderita dg ggn fungsi hati yg berat. Penderita hipersensitif thd komponen obat
ini.
Kemasan
Penderita dg ggn fungsi hati yg berat. Penderita hipersensitif thd komponen obat
ini.