You are on page 1of 33

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Kultur jaringan merupakan salah satu cara perbanyakan tanaman secara
vegetatif . Kultur jaringan merupakan teknik perbanyakan tanaman dengan cara
mengisolasi bagian tanaman seperti daun, mata tunas, biji serta menumbuhkan
bagian-bagian tersebut dalam media buatan secara aseptik yang kaya nutrisi dan
zat pengatur tumbuh dalam wadah tertutup yang tembus cahaya sehingga bagian
tanaman dapat memperbanyak diri dan bergenerasi menjadi tanaman lengkap.
Penerapan metode kultur jaringan sebagai salah satu rekayasa genetika memerlukan
eksplan yang mampu membentuk kalus atau tunas secara efesien sebagai targetnya. Oleh
karena itu, alternatif teknik kultur jaringan harus dikembangkan sehingga diperoleh
sistem regenerasi in vitro yang mantap baik untuk bahan transformasi genetik maupun
untuk perbanyakan rutin varietas unggul.
Pembentukan kalus dan tunas dari eksplan daun dan biji secara in vitro dapat
dilakukan dengan menginkubasikan eksplan (bahan tanaman yang dikulturkan) dalam
media yang diperkaya dengan zat pengatur tumbuh (zpt). Tersedianya zpt dalam kultur
merupakan salah satu faktor penentu keberhasilan dalam pembentukan tunas dan kalus.
Pola perkembangan eskplan melalui kultur organ dan kultur biji, memerlukan zpt (zat
pengatur tumbuh) untuk merangsang potensi yang ada. Sehingga regenerasi tanaman
secara in vitro ini memerlukan informasi yang tepat mengenai jenis dan konsentrasi zpt
yang perlu ditambahkan dalam media induksi. Auksin merupakan zpt yang sangat
berperan dalam pembentukan kalus dan tunas. George dan Sherrington (1984)
mengatakan bahwa penambahan auksin ke dalam media regenerasi in vitro berfungsi
untuk menginduksi kalus, pembentukan kalus dan embrio somatik.
Jenis zpt 2.4-D, BAP dan NAA adalah efektif untuk menginduksi pembentukan
tunas dan kalus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh ZPT berbagai
konsentrasi terhadap induksi kalus dan tunas melalui eksplan biji dan daun pada tanaman
jeruk sambal (Citrus sp.) secara in vitro.

1
1.2 Perumusan Masalah
Perumusan masalah dari percobaan ini adalah :
a) Bagaimana pengaruh konsentrasi ZPT dalam kultur kalus ?
b) Bagaimana pengaruh konsentrasi ZPT dalam kultur biji ?

1.3 Tujuan Percobaan


Tujuan dari percobaan ini adalah untuk melihat pengaruh konsentrasi
ZPT dalam memperoleh kalus dan biji dari eksplan yang diisolasi dan
ditumbuhkan dalam lingkungan yang terkendali.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 KULTUR JARINGAN


Kultur jaringan bila diartikan ke dalam bahasa Jerman disebut Gewebe
kultur atau tissue culture (Inggris) atau weefsel kweek atau weefsel cultuur
(Belanda). Kultur jaringan atau budidaya in vitro adalah suatu metode untuk
mengisolasi bagian dari tanaman seperti protoplasma, sel, jaringan atau organ
yang serba steril, ditumbuhkan pada media buatan yang steril, dalam botol kultur
yang steril dan dalam kondisi yang aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat
memperbayak diri dan beregenerasi menjadi tanaman yang lengkap.
Dasar teori yang digunakan adalah teori totipotensi yang ditulis oleh
SCHLEIDEN dan SCHWANN (Suryowinoto dan Suryowinoto, 1977) yang
menyatakan bahwa teori totipotensi adalah bagian tanaman yang hidup
mempunyai totipotensi, kalau dibudidayakan di dalam media yang sesuai, akan
dapat tumbuh dan berkembang menjadi tanaman yang sempurna, artinya dapat
bereproduksi, berkembang biak secara normal melalui biji atau spora.
Landasan kultur jaringan didasarkan atas tiga kemampuan dasar dari
tanaman, yaitu:
1. Totipotensi adalah potensi atau kemampuan dari sebuah sel untuk tumbuh dan
berkembang menjadi tanaman secara utuh jika distimulasi dengar benar dan
sesuai. Implikasi dari totipotensi adalah bahwa semua informasi tentang
pertumbuhan dan perkembangan suatu organisme terdapat di dalam sel. Walaupun
secara teoritis seluruh sel bersifat totipotensi, tetapi yang mengekspresikan
keberhasilan terbaik adalah sel yang meristematik.
2. Rediferensiasi adalah kemampuan sel-sel masak (mature) kembali menjadi
ke kondisi meristematik dan dan berkembang dari satu titik pertumbuhan baru
yang diikuti oleh rediferensiasi yang mampu melakukan reorganisasi manjadi
organ baru.
3. Kompetensi menggambarkan potensi endogen dari sel atau jaringan untuk
tumbuh dan berkembang dalam satu jalur tertentu. Cantohnya embrioagenikali

3
kompeten cel adalah kemampuan untuk berkembang menjadi embrio funsional
penuh. Sebaliknya adalah non-kompeten atau morfogenetikali tidak mempunyai
kemampuan.
Teknik kultur jaringan menuntut syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi
dalam pelaksanaannya. Syarat pokok pelaksanaan kultur jaringan adalah
laboratorium dengan segala fasilitasnya. Laboratorium harus menyediakan alat-
alat kerja, sarana pendukung terciptanya kondisi aseptik terkendali dan fasilitas
dasar seperti, air listrik dan bahar bakar. Pelaksanaan kultur jaringan memerlukan
juga perangkat lunak yang memenuhi syarat. Dalam melakukan pelaksanaan
kultur jaringan, pelaksana harus mempunyai latar belakang ilmu-ilmu dasar
tertentu yaitu botani, fisiologi tumbuhan ZPT, kimia dan fisika yang memadai.
Pekerjaan kultur jaringan meliputi: persiapan media, isolasi bahan tanam
(eksplan), sterilisasi eksplan, inokulasi eksplan, aklimatisasi dan usaha
pemindahan tanaman hasil kultur jaringan ke lapang. Pelaksana harus bekerja
dengan teliti dan serius, karena setiap tahapan pekerjaan tersebut memerlukan
penanganan tersendiri dengan dasar pengetahuan tersendiri.
Nutrisi dasar untuk kultur sel tanaman pada dasarnya mirip dengan nutrisi
yang dibutuhkan oleh tanaman itu sendiri. Namun, variasi komposisi nutrisi
tergantung pada sel-sel, jaringan-jaring, organ-organ dan protoplasma serta jenis
tanaman yang akan dikulturkan. Sebelum pembuatan nutrisi media, satu hal yang
sangat penting untuk diketahui terlebih dahulu adalah mengetahui tipe kultur yang
mana yang akan digunakan, misalnya: kalus, sel, organ atau protoplas yang akan
diteliti serta tujuan akhir dari penelitian tersebut. Tipe kultur yang berbeda akan
mempunyai satu atau lebih komposisi media yang unik.
Keberhasilan dalam penggunaan metode kultur jaringan, sangat
bergantung pada media yang digunakan. Media kultur jaringan tanaman
menyediakan tidak hanya unsur hara makro dan mikro, tetapi sumber karbohidrat
yang pada umumnya berupa gula menggantikan karbon yang biasanya dihasilkan
dari atmosfer melalui melalui proses fotosintesis.
Media merupakan faktor penentu dalam perbanyakan dengan kultur
jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang

4
akan diperbanyak. Media yang biasa digunakan terdiri dari garam mineral,
vitamin, dan hormon. Selain itu, diperlukan juga tambahan seperti agar, gula, dan
lain-lain. Zat pengatur tumbuh yang ditambahkan juga bervariasi, baik jenisnya
maupun jumlahnya, tergantung dengan tujuan dari kultur jaringan ynag dilakukan.
Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung reaksi atau botol-botol kaca.
Media yang digunakan juga harus steril dengan cara memanaskannya dengan
autoklaf. Inisiasi adalah pengambilan eksplan dati berbagai tanaman yang akan
dikulturkan. Bagian tanaman yang sering digunakan untuk kegiatan kultur
jaringan adalah tunas. Sterilisasi adalah bahwa segala kegiatan dalam kultur
jaringan harus dilakukan di tempat yang steril, yaitu di laminar air flow dan
menggunakan alat-alat yang juga steril. Sterilisasi juga dilakukan terhadap
peralatan, yaitu menggunakan etanol yang disemprotkan secara merata pada
peralatan yang digunakan. Teknisi yang melakukan kultur jaringan juga harus
steril.
Multiplikasi adalah kegiatan memperbanyak calon tanaman dengan
menanam eksplan pada media. Kegiatan ini dilakukan di laminar air flow untuk
menghindari adanya kontaminasi yang menyebabkan gagalnya pertumbuhan
eksplan. Botol kaca yang telah ditanami eksplan diletakkan pada rak-rak dan
ditempatkan di tempat yang steril dengan suhu kamar.
Pengakaran adalah fase dimana eksplan akan menunjukkan adanya
pertumbuhan akar yang menandai bahwa proses kultur jaringan yang dilakukan
mulai berjalan dengan baik (Suyadi at al, 2003).
Aklimatisasi adalah kegiatan memindahkan eksplan keluar dari ruangan
aseptic ke lingkungan. Pemindahan dilakukan secara hati-hati dan bertahap, yaitu
dengan memberikan sungkup. Sungkup digunakan untuk melindungi bibit dari
udara luar dan serangan hama penyakit karena bibit hasil kultur jaringan sangat
rentan terhadap serangan hama penyakit dan udara luar. Setelah bibit mamou
beradaptasi dengan lingkungan barunya maka secara bertahap sungkup dilepaskan
dan pemeliharaan bibit dilakukan dengan cara yang sama dengan pemeliharaan
bibit generatif.

5
2.2 KULTUR KALUS
Kultur jaringan merupakan metode untuk mengisolasi bagian dari tanaman
seperti protoplas sel, sekelompok sel, jaringan dan organ, serta menumbuhkannya
dalam keadaan aseptik, sehingga bagian-bagian tersebut dapat memperbanyak diri
dan beregenerasi menjadi tanaman lengkap. Proses ini terjadi melalui kalus. Kalus
adalah suatu kumpulan sel amorphous yang terjadi dari sel-sel jaringan yang
membelah diri secara terus menerus. Penelitian pembentukan kalus pada jaringan
terluka pertama kali dilakukan oleh Sinnott pada tahun 1960. Pembentukan kalus
pada jaringan luka dipacu oleh zat pengatur tumbuh auxin dan sitokinin endogen
(Dodds & Roberts, 1983). Secara in vivo, kalus pada umumnya terbentuk pada
bekas-bekas luka akibat serangan infeksi mikro organisme seperti Agrobacterium
tumefaciens, gigitan atau tusukan serangga dan nematoda. Kalus juga dapat
terbentuk sebagai akibat stress (George & Sherrington, 1984). Kalus yang
diakibatkan oleh hasil dari infeksi bakteri Agrobacterium tumefaciens disebut
tumor.
Sel-sel penyusun kalus berupa sel parenkim yang mempunyai ikatan yang
renggang dengan sel-sel lain. Dalam kultur jaringan, kalus dapat dihasilkan dari
potongan organ yang telah steril, di dalam media yang mengandung auksin dan
kadang-kadang juga sitokinin. Organ tersebut dapat berupa kambium vaskular,
parenkim cadangan makanan, perisikle, kotiledon, mesofil daun dan jaringan
provaskular. Kalus mempunyai pertumbuhan yang abnormal dan berpotensi untuk
berkembang menjadi akar, tunas dan embrioid yang nantinya akan dapat
membentuk plantlet.
Beberapa kalus ada yang mengalami pembentukan lignifikasi sehingga
kalus tersebut mempunyai tekstur yang keras dan kompak. Namun ada kalus yang
tumbuh terpisah-pisah menjadi fragmen-fragmen yang kecil, kalus yang demikian
dikenal dengan kalus remah (friable). Warna kalus dapat bermacam-macam
tergantung dari jenis sumber eksplan itu diambel, seperti warna kekuning-
kuningan, putih, hijau, kuning kejingga-jingaan (karena adanya pigmen antosianin
ini terdapat pada kalus kortek umbi wortel). Dalam kultur kalus, kalus homogen
yang tersusun atas sel-sel parenkim jarang dijumpai kecuali pada kultur sel Agave

6
dan Rosa (Narayanaswany (1977 dalam Dodds & Roberts, 1983). Untuk
memperoleh kalus yang homogen maka harus menggunakan eksplan jaringan
yang mempunyai sel-sel yang seragam. Dalam pertumbuhan kalus,
citodiferensiasi terjadi untuk membentuk elemen trachea, buluh tapis, sel gabus,
sel sekresi dan trikoma. Kambium dan periderm sebagai contoh dari proses
hitogenesis dari kultur kallus. Anaman kecil dari pembelahan sel-sel membentuk
meristemoid atau nodul vaskular yang nantinya menjadi pusat dari pembentukan
tunas apikal, primordial akar atau embrioid.
Pada umumnya untuk eksplan yang mempunyai kambium tidak perlu
penambahan ZPT untuk menginduksi terbentuknya kalus karena secara alamiah
pada jaringan berbambium yang mengalami luka akan tumbuh kalus untuk
menutupi luka yang terbuka. Namun pada jkasus lain, menurut Kordan (1959
dalam Dodds & Robert, 1983) keberadaan kambium di dalam eksplan tertentu
dapat menghambat pertumbuhan kalus bila tanpa penambahan zat pengatur
tumbuh eksogen. Penambahan ZPT tersebut dapat satu macam atau lebih
tergantung dari jenis eksplan yang digunakan. Pembelahan sel di dalam eksplan
dapat terjadi tergantung dari ZPT yang digunakan, seperti:
1) auxin;
2) sitokinin;
3) auxin dan sitokinin dan
4) ekstrak senyawa organik komplek alamiah.
Berdasarkan kebutuhan akan zat pengatur tumbuh untuk membentuk
kalus, jaringan tanaman digolongkan dalam 4 kelompok:
 Jaringan tanaman yang membutuhkan hanya auksin selain gula dan garam-
garam mineral untuk dapat membentuk kalus seperti: umbi artichoke.
 Jaringan yang memerlukan auksin dan sitokinin selain gula dan garam-
garam mineral seperti: empulur tembakau.
 Jaringan yang tidak perlu auksin dan sitokinin, hanya gula dan garam-
garam mineral seperti: jaringan kambium.
 Jaringan yang membentuk hanya sitokinin, gula dan garam-garam
mineral seperti parenkim dan xylem akar turnip.

7
Pada umumnya kemampuan pembentukkan kalus dari jaringan tergantung
juga dari :
1. Umur fisiologi dari jaringan waktu diisolasi.
2. Musim pada waktu bahan tanaman diisolasi.
3. Bagian tanamn yang dipakai.
4. Jenis tanaman.
Kalus dapat diinisiasi dari hampir semua bagian tanaman, tetapi organ
yang berbeda menunjukkan kecepatan pembelahan sel yang berbeda pula. Jenis
tanaman yang menghasilkan kalus, meliputi dikotil berdaun lebar, monokotil,
Gymnospermae, pakis dan moss. Bagian tanaman seperti embrio muda, hipokotil,
kotiledon dan batang muda merupakan bagian yang mudah untuk dediferensiasi
dan menghasilkan kalus.
Suatu sifat yang diamati dalam jaringan yang membentuk kalus adalah
bahwa pembelahan sel tidak terjadi pada semua sel dalam jaringan asal, tetapi
hanya sel di lapisan perisfer yang membelah terus menerus sedangkan sel-sel di
tengah tetap quiscent. Faktor-faktor yang menyebabkan inisiasi pembelahan sel
hanya terbatas di lapisan luar dari jaringan kalus, adalah:
 Ketersesediaan oksigen yang lebih tinggi.
 Keluarnya gas CO2.
 Kesediaan hara yang lebih banyak.
 Penghambat yang bersifat folatik lebih capat menguap.
 Cahaya.
Eksplan batang, akar dan daun menghasilkan kalus yang heterogen dengan
berbagai macam sel. Kadang-kadang jaringan yang kelihatannya seragam
histologinya seperti pembuluh tembakau, ternyata menghasilkan kalus dengan sel
yang mempunyai DNA yang berbeda yang mencerminkan level ploidi yang
berbeda. Begitupun pada kultur akar kalus yang dihasilkan dapat berupa
campuran sel dengan tingkat ploidi yang berbeda.
Sel-sel yang heterogen dari jaringan yang komplek menunjukkan
pertumbuhan yang berbeda. Dengan mengubah komposisi media, terjadi seleksi
sel-sel yang mempunyai sifat khusus. Hal ini berarti bahwa media tumbuh

8
menentukan komposisi kalus. Sel yang jumlahnya paling banyak merupakan sel-
sel yang paling cepat membelah dan sel yang paling sedikit adalah sel yang
paling lambat pertumbuhannya. Media seleksi dapat berdasarkan unsur-unsur
hara atau zat pengatur tumbuh yang ditambahkan ke dalam media.
Sel heterogen berasal dari materi asal yang heterogen pula, atau dapat terjadi
karena massa kultur yang panjang melalui sub kultur yang berkali-kali.
Perubahan yang terjadi dapat merupakan:
 Aberasi kromosom
 endo-reduplikasi yang menghasilkan poloploidi
 Amplifikasi gen: jumlah gen untuk suatu sifat tertentu per genome haploid
bertambah.
 Hilangnya suatu gen (deletion)
 Mutasi gen.
 Transposisi urutan DNA (DNA sequences transposition).
Kecepatan perubahan-perubahan dalam kromosom ini, tergantung juga
dari macam media yang digunakan, serta jenis tanamannya. Ketidak-stabilan
kromosom ini menyulitkan aplikasi kultur kalus untuk perbanyakan maupun
untuk produksi bahan-bahan/ persenyawaan sekunder. Sebaliknya ketidak-stabilan
tersebut dapat dipergunakan dalam seleksi dan pemuliaan in vitro, untuk
memperoleh sifat-sifat baru yang menguntungkan seperti resistensi terhadap
penyakit, hilangnya morfologi yang memang tidak diinginkan seperti duri atau
warna pada bunga.
Massa kultur yang ditumbuhkan terlalu lama dalam media yang tetap,
akan menyebabkan terjadinya kehabisan hara dan air. Kehabisan hara dan air
dapat terjadi karena selain terhisap untuk pertumbuhan juga karena media
menguapkan air dari masa ke masa. Kalus tersebut kecuali kehabisan unsur hara,
kalus juga mengeluarkan persenyawaan-persenyawaan hasil metabolisme yang
menghambat pertumbuhan kalus itu sendiri. Untuk menjaga kehidupan dan
perbanyakan yang berkesinambungan, kalus yang dihasilkan perlu
disubkulturkan.

9
Street (1969 dalam Dodds & Robert 1983) menyarankan massa sel yang
dipindahkan pada subkultur harus cukup banyak antara 5-10 mm atau seberat 20-
100 mg, supaya ada pertumbuhan yang cepat dalam media baru. Subkultur
sebaiknya dilakukan 28 hari sekali (4-6 minggu sekali). Namun waktu yang tepat
untuk memindahkan kultur, tergantung dari kecepatan pertumbuhan kalus. Massa
kalus ada 2 macam yaitu massa yang remah (friable) dan kompak. Bila massa
kalus remah maka pemindahan kalus cukup dilakukan dengan menyedok kalus
dengan spatula atau skapel lasung disubkultur ke media baru. Namun bila kalus
kompak mesti dipindah ke petridish steril untuk dipotong-potong dengan skapel
baru disubkultur ke media baru. Kalur yang sudah melai mengalami nekrosis
(pencoklatan) sebaiknya tidak ikut disubkultur karena tidak akan tumbuh dengan
baik.
2.3 KULTUR BIJI (KULTUR EMBRIO)
Pada program pemuliaan tanaman, biasanya dilakukan persilangan buatan
antara tanaman induk (P) untuk menghasilkan hibrid baru. Persilangan buatan
lebih mudah berhasil bila dilakukan antar tanaman dengan hubungan kekerabatan
yang dekat. Untuk memperoleh sifat-sifat yang diinginkan, seringkali penyilangan
dilakukan dengan tanaman liar atau bahkan persilangan dengan varietas yang
berbeda bila sifat-sifat tersebut tidak terdapat pada kerabat dekatnya.
Penyerbukan dan pembuahan dapat berhasil namun setelah persilangan
buatan seringkali dijumpai permasalahan antara lain buah yang terbentuk gugur
saat embrio belum matang, terbentuk buah dengan endosperm yang kecil atau
terbentuk buah dengan embrio yang kecil dan lemah. Kondisi tersebut dapat
menghambat program pemuliaan tanaman karena embrio muda, embrio dengan
endosperm kecil atau embrio kecil dan lemah seringkali tidak dapat berkecambah
secara normal dalam kondisi biasa.
Untuk mengatasi hal tersebut di atas maka embrio tersebut dapat
diselamatkan dan ditanam secara aseptis dalam media buatan sehingga dapat
berkecambah dan menghasilkan tanaman utuh. Teknik untuk menanam embrio
muda ini dikenal dengan sebutan penyelamatan embrio (embryo rescue).

10
Selain teknik penyelamatan embrio ini dikenal juga teknik kultur embrio
(embryo culture), yaitu penanaman embrio dewasa pada media buatan secara
aseptis. Aplikasi kultur embrio ini antara lain perbanyakan tanaman, pematahan
dormansi untuk mempercepat program pemuliaan serta perbanyakan tanaman
yang sulit berkecambah secara alami, misalnya anggrek.
Embryo Culture atau kultur embrio adalah isolasi steril dari embrio muda
(immature embryo) atau embrio dewasa/tua (mature embryo) secara in-vitro
dengan tujuan untuk memperoleh tanaman yang lengkap. Embrio culture adalah
salah satu teknik kultur jaringan yang pertama kali berhasil, sejarahnya:
§ Tahun 1904, seorang ilmuan bernama Hanning berhasil memperoleh tanaman
sempurna dari embryo Cruciferae yang diisolaso secara in-vitro
§ Tahun 1924 adalah saat pertama kali dilakukan penelitian untuk memcahkan
masalah dormansi biji secara in-vitro pada embrio Linum
§ Tahun 1933: Tuckey berhasil memperoleh tanaman dari immature embryo buah
batu.

Berdasarkan tujuan dan jenis embrio yang dikulurkan, kultur embrio digolongkan
menjadi:
1. Kultur Embrio Muda (Immature Embryo Culture).
Tujuan mengkulturkan embrio muda ini adalah menanam embrio yang
terdapat pada buah muda sebelum buah tersebut gugur (mencegah kerusakan
embrio akibat buah gugur) sehingga teknik ini disebut sebagai Embryo Rescue
(Penyelamatan Embrio). Kondisi seperti ini biasanya sering dijumpai pada buah
hasil persilangan, dimana absisi buah kerap kali dijumpai setelah penyerbukan
dan pembuahan. Contohnya adalah pada persilangan anggrek Vanda spathulata
dimana absisi atau gugur buah pada saat buah masih muda yaitu setelah berumur
3 bulan setelah persilangan padahal buah anggrek Vanda spp. Akan mengalami
masak penuh setelah berumur 6 bulan. Apabila buah ini tidak diselamatkan atau
dipetik dan kemudian dikecambahkan maka tidak akan diperoleh buah hasil
persilangan. Perkecambahan biji yang masih muda di lapangan sangat sulit
bahkan pada beberapa kasus hampir tidak mungkin bisa terjadi. Oleh karena itu,

11
buah yang belum tua (2 – 4 bulan) pada anggrek Vanda tersebut kemudian
dipanen dan dikecambahkan secara in-vitro.
Budidaya embrio muda ini lebih sulit dibandingkan dengan budidaya
embrio yang telah dewasa. Embrio yang terdapat dalam biji belum sepenuhnya
berkembang dan belum membentuk radicula dan plumula yang sempurna. Selain
itu, biji velum memiliki endosperm atau cadangan makanan yang memadai dalam
mendukung perkembangan dan perkecambahan embrio. Oleh karena itu, perlu
disediakan media kultur yang memadai bagi perkembangan embrio muda ini.
Pada beberapa kasus kadangkala dijumpai embrio masih dorman sehingga perlu
ditambahkan hormon tanaman yang bisa memecahkan dormansi biji ini, misalnya
Giberellin.

2. Kultur Embryo Dewasa (Mature Embryo Culture)


Kultur embrio dewasa dilakukan dengan membudidayakan embrio yang
telah dewasa. Embrio ini diambil dari buah yang telah masak penuh dengan tujuan
merangsang perkecambahan dan menumbuhkan embrio tersebut secara in-vitro.
Teknik kultur ini umumnya dikenal dengan sebutan Kultur Embrio (Embryo
Culture). Kultur embrio lebih mudah dilakukan dibandingkan dengan
penyelamatan embrio. Hal ini disebabkan karena embrio yang ditanam adalah
embrio yang telah berkembang sempurna sehingga media tanaman yang
digunakan juga sangat sederhana.

2. Kultur Embrio Nonzigotik


Embrio nonzigotik dihasilkan dari kultur organ yang melalui fase
pertumbuhan kalus. Dimulai dari pertumbuhan sel, sel-sel kemudian membentuk
kalus dari kalus akan membentuk globular dan globular ini akan membentuk
bangunan seperti torpedo dan akhirnya terbentuklah embrio nonzigotik. Embrio
nonzigotik tumbuh dari sel tunggal, namun pembentukan tunasnya berasal dari
massa sel. Perbedaan penting mengenai efisiensi teknologi genetik selama
modifikasi sel embriogenik tunggal dapat secara nyata memodifikasi sifat
tanaman dibandingkan yang harus melalui modifikasi genetik terlebih dahulu dari

12
sebuah sel di dalam tunas, hal ini akan mengakibatkan terbentuknya tanaman
chimera (Trigiano & Gray, 2004).

Gambar 45. Embrio nonzigotik dihasilkan dari kultur pollen atau protoplasma
yang nyata berkembang dari sel tunggal (sumber: Taji, Kumar &
Lakshmanan, 2002).

Kedua teknik ini (embryo culture dan embryo rescue) dewasa ini dilakukan untuk
berbagai tujuan, antara lain:
1. Mematahkan dormansi.
Beberapa spesies tanaman memiliki masa dormansi yang panjang,
misalnya cherry, hazel nut, dll. Selain itu ada juga beberapa jenis tanaman
yang bisa menghasilkan biji namun tidak dapat dikecambahkan secara normal
di alam misalnya Musa balbislana. Untuk memecahkan masalah tersebut,
maka biji tanaman ini dapat Dikecambahkan secara in-vitro. Dormansi fisik
dapat dipatahkan dengan cara mengisolasi embrio dari biji lalu
mengecambahkannya, sedangkan dormansi fisiologis dapat dipecahkan
dengan perlakuan kimia seperti penambahan giberellin (GA3) ke dalam media
kultur.
2. Perkecambahan dari tanaman yang memerlukan bantuan parasit.

13
Tanaman anggrek merupakan salah satu contoh tanaman yang bijinya
sangat sulit berkecambah di alam. Biji anggrek sangat kecil dan memiliki
endosperm yang sangat miskin sehingga tidak bisa mendukung
perkecambahan bijinya. Di alam, proses perkecambahan anggrek teresterrial
(tanah) diawali dengan simbiosis antara biji anggrek dengan jamur
(mycorrizha) dimana hifa jamur akan menembus kulit biji dan mensuplai
makanan bagi biji anggrek. Tanpa simbiosa ini, biji anggrek tidak memperoleh
cukup bahan makanan untuk perkecambahannya disebabkan karena
endospermennya yang sangat kecil. Meskipun angrrek epiphyt tidak
memerlukan simbiosa ini, namun biji anggrek epiphyt juga memiliki
endosperm yang amat sangat kecil sehingga sulit berkecambah secara alamiah.
Dengan teknik kultur jaringan (embryo culture), biji anggrek dikecambahkan
secara in-vitro sehingga dewasa ini bisa diperoleh bibit anggrek dengan
mudah. Produksi bibit anggrek dewasa ini merupakan industri yang
berkembang sangat pesat dan menguntungkan. Teknik ini biasanya didahului
dengan persilangan untuk memperoleh silangan-silangan. Dalam setahun,
ribuan silangan baru anggrek bisa diperoleh. Masing-masing nursery biasanya
memiliki pohon induk dengan keunggulan yang berbeda sehingga dihasilkan
beragam varietas baru dengan bentuk dan warna bunga yang beragam.
3. Memperpendek siklus pemuliaan tanaman
Dormansi biji dapat mengambat program pemuliaan tanaman. Pemecahan
dormansi dengan kultur embrio (embryo culture) merupakan salah satu upaya
untuk mempercepat perkecambahan biji hasil pemuliaan tanaman sehingga bisa
mempercepat proses pemuliaan tanaman.
4. Produksi tanaman haploid lewat penyelamatan embrio hasil persilangan
antar jenis tertentu.
Salah satu cara yang dilakukan untuk memperoleh tanaman haploid adalah
silangan antar spesies tertentu. Contohnya adalah persilangan antara Hordeum
vulgare dengan H. bulbosum. Setelah penyilangan yang kemudian diikuti oleh
pembuahan, kromosom H. bulbosum tereliminasi sehingga hanya kromosom
H. bulbosum yang terekspresi, sehingga dapat dihasilkan biji haploid dari

14
silangan ini. Sayangnya persilangan ini mengakibatkan embrio gugur (buah
gugur) sebelum buah tersebut dewasa. Hasil silangan ini (buah haploid) tidak
akan dapat diperoleh apabila buah muda tersebut tidak diselamatkan dengan
cara memanennya sebelum gugur lalu mengecambahkan embrio muda (teknik
embryo rescue) ini secara in-vitro.
5. Mencegah gugurnya buah (embrio) pada buah
Gugurnya buah sebelum buah tersebut dewasa sangat umum ditemukan
pada persilangan. Berbegai macam faktor dapat menyebabkan buah tersebut
gugur sebelum masak. Pada persilangan buah-buah batu, transportasi air dan
hasil fotosintesa dari daun dan batang ke buah terhambat sehingga
mengakibatkan terbentuknya lapisan absisi pada tangkai buah. Akibatnya buah
tidak memperoleh nutrisi yang dibutuhkan untuk perkembangannya sehingga
buah dengan embrio yang terbentuk gugur sebelum dewasa. Teknik embrio
rescue umumnya dilakukan untuk menyelamatkan hasil silangan ini dengan
cara memanen buah muda hasil persilangan sebelum buah gugur kemudian
mengecambahkannya secara in-vitro.
6. Mencegah kehilangan biji setelah persilangan (interspesific)
Persilangan antar varietas tanaman dalam satu spesies seringkali
menghasilkan buah dengan endosperm yang miskin atau embrio lemah dan
berukuran kecil. Biji-biji dengan kondisi demikian seringkali sulit sekali atau
tidak bisa dikecambahkan dalam kondisi normal. Teknik kultur embrio dapat
digunakan untuk membantu perkecambahannya. Hal ini telah dilakukan pada
tomat, padi, barley, kapas, phaseolus.
7. Perbanyakan vegetatif
Embrio dapat digunakan sebagai bahan dasar perbanyakan vegetatif
seperti misalnya pada Poaceae dan paku-pakuan (menggunakan spora)

Teknik embryo culture dan embryo rescue pada dasarnya melibatkan 3


tahapan, yaitu:
1. Sterilisasi Eksplan.

15
Embrio pada prinsipnya berada dalam keadaan steril. Hal ini disebabkan
karena embrio berada di dalam buah (di dalam biji) terlindung oleh jaringan-
jaringan buah dan biji yang berada di luar embrio, antara lain oleh kulit buah,
daging buah dan kulit biji. Keadaan ini menyebabkan sterilisasi embrio tidak
perlu dilakukan. Sterilisasi permukaan perlu dilakukan pada buah ataupun biji
untuk mensterilkan permukaan buah/biji sehingga pada waktu isolasi embrio
tidak terdapat sumber kontaminan. Karena embrio berada di dalam, sterilisasi
dapat dilakukan dengan pembakaran buah/biji atau dengan sterilan kimia
seperti sodium hypochlorite dengan konsentrasi cukup tinggi (>2 %).
2. Isolasi dan Penanaman Embrio
Seringkali masalah timbul saat isolasi embrio terutama untuk embrio berukuran
kecil sehingga isolasinya harus dilakukan di bawah mikroskop. Untuk embrio
berukuran besar, isolasi embrio tidak menjadi masalah. Isoalasi harus
dilakukan secara hati-hati agar embrio tidak rusak dan kehilangan salah satu
atau lebih bagian-bagiannya (radicula, plumula, hypocotil, coleoptyl, dll).
Selain itu harus tetap dijaga juga agar isolasi dilakukan dalam kondisi tetap
aseptis. Embrio yang telah diisolasi selanjutnya ditanam pada media yang telah
dipersiapkan
Media untuk pengecambahan embrio cukup sederhana. Kebutuhan
nutrsisi di dalam media untuk pengecambahan embrio juga lebih sederhana
dibandingkan dengan media untuk tujuan teknik kultur yang lain. Pada
prinsipnya media diperlukan untuk menggantikan peranan endosperm dalam
mendukung perkecambahan embrio dan perkembangan bibit muda mengingat
embrio yang ditanam umumnya telah memiliki radicula dan plumula. Media
yang umum digunakan untuk pengecamahan embrio adalah media Knudson
dan Vacin & Went (untuk anggrek), Media MS dalam ½ konsentrasi garam-
garamnya. Dalam pengecambahan embrio dewasa umumnya vitamin tidak
ditambahkan dalam media, namun sumber karbon tetap diperlukan meskipun
dalam konsentrasi yang lebih rendah (umumnya 20 g/l). Akan tetapi, dalam
pengecambahan emrio muda diperlukan media yang lebih kompleks.
Perkembangan embrio muda perlu didukung pada awalnya sehingga radicula

16
dan plumula dapat berkembang sempurna sebelum embrio ini berkecambah.
Untuk itu, nutrisi yang lebih lengkap berserta vitamin seperti nicotinic acid,
biotin, vitamin C, vitamin B perlu ditambahkan pada media kultur embrio
muda ini.Hormon tanaman umumnya tidak ditambahkan dalam media kultur
embrio karena penambahan hormon tanaman kemungkinan dapat merangsang
terbentuknya kalus pada embrio (Lihat gambar 1). Kalus umumnya tidak
diinginan pada kultur embrio mengingat tujuan kulturnya adalah untuk
merangsang perkecambahan embrio. Pada beberapa kasus, terutama untuk
embrio muda atau embrio yang mengalami dormansi, penambahan Giberellin
dalam media kultur dapat dilakukan. Untuk pengecambahan embrio umumnya
digunakan media padat sehingga agar pada konsentrasi 0,8 sampai 1,6 %
ditambahkan ke dalam media. Media cair kadangkala diperlukan untuk
pengecambahan, misalnya pada embrio kelapa. Kondisi pengecambahan ini
memodifikasi kondisi alamiah perkecambahan buah kelapa dimana nutrisi
tersedia dari endosperm yang cair yaitu berupa air kelapa. Apabila media cair
digunakan untuk pengecambahan, umumnya kultur ditempatkan di atas shaker
(alat penggojok) untuk menghindari kekurangan oksigen pada eksplan yang
dpat menyebabkan eksplan mati.
3. Aklimatisasi
Aklimatisasi dilakukan setelah embrio berkecambah dan diperoleh plantlet
yang siap untuk dipindahkan ke lapangan. Teknik aklimatisasi untuk plantlet hasil
regenerasi kultur embrio pada prinsipnya sama dengan aklimatisasi plantlet hasil
regenerasi dari teknik kultur jaringan lainnya. Hal ini telah dibahas pada bab
sebelumnya (Mikropropagasi).

17
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Alat dan Bahan


Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini yaitu alumunium foil,
aquabides, autoklaf, batang pengaduk, botol selai ( botol kultur ), bunsen, cawan
petri , erlenmeyer, gelas beker 500 ml dan 250 ml, gelas ukur 50 ml dan 10 ml,
hot plate, karet gelang, keranjang, kertas label, kertas pH, kertas sampul, kertas
saring, korek api, laminar air flow cabinet, magnetic strirer, mata pisau ukuran 24,
neraca digital, pipet tetes, pipet ukur, pinset bengkok dan pinset lurus, plastic
ukuran 2 kg, sabut hijau, scalpel, serbet, sikat botol, spatula, sprayer, dan tisu.

Bahan-bahan yang digunakan dalam praktikum ini yaitu agar-agar,


akuades, alcohol 70 % dan 96%, bayclin, gula, NaOH, HCl, larutan hipoklorit 5%
dan 10%, larutan pencuci (sunlight), larutan tween 80, daun dan biji tanaman
jeruk sambal (Citrus sp.) , stok hara makro : NH4NO3 16,5 gr , KNO3 19 gr ,
CaCl2.2H2O 4,4 gr , KH2P04 1,7 gr , MgS04.7H20 3,7 gr , stok besi : Na2 EDTA
0,373 gr , FeSO4.7H2O 0,278 gr , stok hara mikro : ZnSO4.7H2O 0,86 gr ,
MnSO4.4H2O 2,23 gr , H3BO3 0,62 gr , KI 0,083 gr , NaMoO4.2H20 0,0025 gr ,
CuSO4.5H2O 0,0025 gr , CoCl2.6H2O 0,0025 gr , stok vitamin : glisin 0,02 gr ,
mioinositol 1 gr , asam nikotinat 0,005 gr, piridoksin HCl 0,05 gr , thiamin HCl
0,001 gr , ZPT : NAA, BAP, dan 2,4 dikloropenoksiasetat.

3.2 Cara Kerja


3.2.1 Pembuatan Stok
Pembuatan Stok Medium Murashige-Skoog Volume 1 L :
Masing-masing komponen stok makronutrien dilarutkan dengan akuades
sampai 100 ml dan dilakukan pemekatan 10x. Stok besi dicampur menjadi satu

18
dengan cara dilarutkan satu persatu dengan akuades sampai 100 ml dan
dipanaskan. Pemekatan dilakukan 10x. Stok mikronutrien dicampur menjadi satu
dengn cara dilarutkan satu persatu dengan akuades hingga 100 ml dan dilakukan
pemekatan 100x. Stok vitamin dicampur menjadi satu dengan cara dilarutkan
dengan akuades hingga 100 ml. Masing-masing stok makronutrien dan stok besi
serta stok vitamin dipipet sebanyak 10 ml untuk pembuatan 1 L medium. Stok
mikronutrien dipipet sebanyak 1 ml untuk pembuatan 1 L medium.

3.2.2 Pembuatan Media Tanam


Pembuatan medium Murashige-Skoog Volume 1 L :
Akuades sebanyak 300 ml disiapkan di dalam gelas piala 1000 ml.
Sukrosa ditimbang sebanyak 30 gr dan dimasukkan ke dalam gelas piala lalu
diaduk dengan magnetic stirer hingga larut. Stok hara makro A,B,C,D,E dan stok
besi F dipipet masing-masing sebanyak 10 ml. Larutan tersebut dimasukkan
dalam campuran akuades dan sukrosa yang ada di dalam gelas piala. Stok hara
mikro (stok G) dipipet sebanyak 1 ml. Stok vitamin dipipet sebanyak 10 ml. 500
ml akuades disiapkan pada gelas piala lainnya dan agar-agar dimasukkan
sebanyak 7 gr lalu diaduk sambil dipanaskan hingga seluruh agar-agar larut dan
terlihat bening. Larutan yang ada di dalam kedua gelas piala dicampur. Stok ZPT
dipipet dengan konsentrasi BAP 10-6, 10-5 dan 2D 0,10-6 dan 10-5 untuk eksplan
daun jeruk. Stok ZPT dipipet dengan konsentrasi NAA 0,10-6 , 10-7 dan BAP 10-
6 , 10-7 untuk eksplan biji jeruk. Larutan gula, stok dan ZPT dimasukkan ke
dalam larutan agar-agar dan diaduk hingga rata. Bila belum mencapai pH 7
ditambahkan NaOH hingga pH menjadi 7.
Media yang telah jadi tersebut kemudian didiamkan sebentar hingga
dingin dan dimasukkan ke dalam botol kultur dengan volume masing-masing
sebanyak 15-25 ml/botol. Media tersebut dibagi kedalam 20 botol kultur.Botol
kultur ditutup rapat dengan aluminium foil dan diberi label sesuai dengan
kombinasi perlakuan. Media yang telah siap lalu disterilisasi dengan otoklaf.
Media yang telah steril disimpan di dalam ruang penyimpanan.

19
3.2.3 Penanaman Eksplan
1. Penanaman eksplan daun jeruk :
Tanaman eksplan yaitu daun jeruk sambal ( Citrus sp.) diambil daun yang
muda, lalu dicuci dengan air mengalir sehingga tanah yang menempel pada daun
menghilang. Daun direndam dalam air sabun selama 5 menit sambil dibersihkan,
lalu dicuci dengan air mengalir selama 15 menit. Eksplan dicuci dengan akuades
steril, lalu eksplan direndam dalam larutan natrium hipoklorit 10% dan tween 80
sebanyak 2 tetes selama 10 menit. Eksplan direndam dalam natrium hipoklorit 5%
dan tween 80 sebanyak 2 tetes selama 5 menit. Eksplan dibilas dengan akuades
steril sebanyak 3x, lalu dikeringkan dengan kertas saring. Eksplan kemudian
dipotong pada bagian apeks, marginal, basis dan costa dengan ukuran 1x1 cm.
Eksplan ditanam pada media perlakuan, lalu diinkubasi dan dilakukan
pengamatan. Sebelum dilakukan penanaman eksplan, laminar air flow disemprot
dengan alkohol 70%, lalu dibersihkan dengan tisu. Seluruh alat-alat dan bahan
yang akan digunakan dimasukkan ke dalam air flow, kemudian UV dihidupkan
selama 30 menit dan setelah 30 menit dimatikan, lalu dihidupkan blower selama
10 menit.

2. Penanaman eksplan biji jeruk :


Buah jeruk sambal direndam dalam air sabun selama 15 menit, lalu dicuci
di bawah air mengalir selama 15 menit. Buah jeruk dicuci dalam alkohol 96%.
Buah jeruk tersebut dilewatkan di atas nyala bunsen, lalu dibelah dalam cawan
petri yang berisi kertas saring. Biji diambil dan kulit biji terluar dikupas dan biji
siap untuk ditanam pada media perlakuan, lalu diinkubasi dan dilakukan
pengamatan. Sebelum dilakukan penanaman eksplan, laminar air flow disemprot
dengan alkohol 70%, lalu dibersihkan dengan tisu. Seluruh alat-alat dan bahan
yang akan digunakan dimasukkan ke dalam air flow, kemudian UV dihidupkan

20
selama 30 menit dan setelah 30 menit dimatikan, lalu dihidupkan blower selama
10 menit.

3.3 Parameter Pengamatan


Parameter pengamatan yang diamati pada kultur kalus yaitu waktu muncul
kalus pertama kali (pengamatan setelah 1 hari penanaman hingga muncul kalus),
warna kalus dan tekstur kalus. Parameter yang diamati pada kultur organ yaitu
waktu pertama muncul tunas, jumlah tunas, dan jumlah daun.

21
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 KULTUR KALUS


4.1.1 Hasil
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan diperoleh data yang disajikan dalam
tabel 4.1 sebagai berikut.
Tabel 4.1 Hasil pengamatan kultur kalus daun jeruk (Citrus hystix)
Perlakuan Botol ke- Hari ke- Pengamatan
1. 2,4-D 0, BAP 10-6 1 1 Belum respon
2 1 April 2009 Belum respon
3 Belum respon
4 Belum respon

2. 2,4-D 10-6, BAP 1 Belum respon


10-6 2 Belum respon
3 Belum respon
4 Belum respon

1 Belum respon
3. 2,4-D 10-5, BAP 2 Belum respon
10-6 3 Belum respon
4 Belum respon

1 Belum respon
2 Belum respon
4. 2,4-D 0, BAP 10-5 3 Belum respon

22
4 Belum respon

1 Belum respon
2 Belum respon
5. 2,4-D 10-6, BAP 3 Belum respon
10-5 4 Belum respon

1. 2,4-D 0, BAP 10-6 1 2 Kontaminasi


2 2 April 2009 Kontaminasi
3 Kontaminasi
4 Kontaminasi

2. 2,4-D 10-6, BAP 1 Belum respon


10-6 2 Belum respon
3 Belum respon
4 Belum respon

1 Belum respon
3. 2,4-D 10-5, BAP 2 Belum respon
10-6 3 Kontaminasi
4 Belum respon

1 Belum respon
2 Belum respon
4. 2,4-D 0, BAP 10-5 3 Belum respon
4 Belum respon

1 Kontaminasi

23
2 Belum respon
5. 2,4-D 10-6, BAP 3 Belum respon
10-5 4 Belum respon

2. 2,4-D 10-6, BAP 1 3 Daun mengkerut


10-6 2 3 April 2009 Kontaminasi
3 Kontaminasi
4 Belum respon

1 Daun mengkerut
3. 2,4-D 10-5, BAP 2 Belum respon
10-6 4 Daun menguning

1 Daun mengkerut
2 Belum respon
4. 2,4-D 0, BAP 10-5 3 Belum respon
4 Daun mengkerut

2 Kontaminasi
3 Kontaminasi
5. 2,4-D 10-6, BAP 4 Kontaminasi
10-5

2. 2,4-D 10-6, BAP 1 4 Kontaminasi


10-6 4 4 April 2009 Kontaminasi

24
1 Elongasi
3. 2,4-D 10-5, BAP 2 Belum respon
10-6 4 Kontaminasi

1 Kontaminasi
2 Kontaminasi
4. 2,4-D 0, BAP 10-5 3 Elongasi
4 Elongasi

3. 2,4-D 10-5, BAP 1 6 Elongasi


10-6 2 6 April 2009 Elongasi

3 Kontaminasi
4. 2,4-D 0, BAP 10-5 4 Kontaminasi

3. 2,4-D 10-5, BAP 1 7 Kontaminasi


10-6 2 7 April 2009 Elongasi

3. 2,4-D 10-5, BAP 2 8 Kontaminasi


10-6 8 April 2009

4.1.2 PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil yang diperoleh, diketahui bahwa penanaman kultur
kalus dari daun jeruk sambal (Citrus hystix) tidak berhasil untuk pembentukan
kalus. Pengamatan yang telah dilakukan, dengan berbagai konsentrasi banyak
mengalami kontaminasi. Kontaminasi terjadi diakibatkan jamur yang menginfeksi
media kultur. Salah satu faktor pembatas dalam keberhasilan kultur jaringan

25
adalah kontaminasi yang dapat terjadi pada setiap saat dalam masa kultur.
Kontaminasi dapat berasal dari :
1. Eksplan, baik eksternal maupun internal.
2. Organisme kecil yang masuk ke dalam media.
3. Botol kultur atau alat-alat tanam yang kurang steril.
4. Lingkungan kerja dan ruang kultur yang kotor (spora di udara).
5. Kecerobohan dalam pelaksanaan.
Pada umumnya kemampuan pembentukkan kalus dari jaringan tergantung
juga dari:
1. Umur fisiologi dari jaringan waktu diisolasi.
2. Musim pada waktu bahan tanaman diisolasi.
3. Bagian tanaman yang dipakai.
4. Jenis tanaman.
Zat pengatur tumbuh adalah salah satu faktor yang penting diantara faktor
lainnya yang dapat mempengaruhi pertumbuhan organ dari potongan jaringan
yang ditanam baik jenis maupun konsentrasinya (Wattimena (1992) dalam
Wulandari (2004)). Percobaan ini menggunakan konsentrasi ZPT dengan
perbandingan 2,4D dan BAP. Zat pengatur tumbuh dalam hal ini yaitu auksin dan
sitokinin. 2,4 D merupakan salah satu jenis auksin yang berkadar tinggi (Supariati
at al, 2006).
Zat pengatur tumbuh yang digunakan adalah sitokinin dan auksin.
Sitokinin yang biasa digunakan 6-Benzil Amino Purin (BAP) dan kinetin, sedang
auksin yang digunakan adalah IAA, NAA dan IBA. Zat pengatur tumbuh ini
diperlukan untuk pertumbuhan eksplan. Menurut Hendaryono dan Wijayanti
(1994) pembentukan kalus, jaringan kuncup dan jaringan akar ditentukan oleh
penggunaan zat pengatur tumbuh yang tepat baik macam maupun konsentrasinya
(Maryani dan Zamroni, 2005).
Auksin sintetik perlu ditambahkan karena auksin yang terbentuk secara
alami sering tidak mencukupi untuk pertumbuhan jaringan eksplan. Auksin
mempunyai peranan terhadap pertumbuhan sel, dominasi apikal dan pembentukan
kalus. Kisaran konsentrasi auksin yang biasa digunakan adalah 0,01 – 10 ppm

26
(Wulandari at al, 2004). Menurut Yusnita (2004), penambahan auksin yang
mempunyai daya aktivitas kuat seperti 2,4-D sangat dibutuhkan untuk
merangsang pembelahan sel dan pembentukan kalus. Konsentrasi dan auksin yang
dipilih ditentukan antara lain oleh tipe pertumbuhan dan perkembangan eksplan
yang diinginkan (Damayanti at al, 2007).
Kalus adalah suatu kumpulan sel amorphous yang terjadi dari sel-sel
jaringan yang membelah diri secara terus menerus. Penelitian pembentukan kalus
pada jaringan terluka pertama kali dilakukan oleh Sinnott pada tahun 1960.
Pembentukan kalus pada jaringan luka dipacu oleh zat pengatur tumbuh auxin dan
sitokinin endogen (Dodds & Roberts, 1983). Secara in vivo, kalus pada umumnya
terbentuk pada bekas-bekas luka akibat serangan infeksi mikro organisme seperti
Agrobacterium tumefaciens, gigitan atau tusukan serangga dan nematoda. Kalus
juga dapat terbentuk sebagai akibat stress (George & Sherrington, 1984). Kalus
yang diakibatkan oleh hasil dari infeksi bakteri Agrobacterium tumefaciens
disebut tumor (Bhojwani, 1990).
Tujuan kultur kalus adalah untuk memperoleh kalus dari eksplan yang
diisolasi dan ditumbuhkan dalam lingkungan terkendali. Kalus diharapkan dapat
memperbanyak dirinya (massa selnya) secara terus menerus (Kristina, 2008).
Sel-sel penyusun kalus berupa sel parenkim yang mempunyai ikatan yang
renggang dengan sel-sel lain. Dalam kultur jaringan, kalus dapat dihasilkan dari
potongan organ yang telah steril, di dalam media yang mengandung auksin dan
kadang-kadang juga sitokinin. Organ tersebut dapat berupa kambium vaskular,
parenkim cadangan makanan, perisikle, kotiledon, mesofil daun dan jaringan
provaskular. Kalus mempunyai pertumbuhan yang abnormal dan berpotensi untuk
berkembang menjadi akar, tunas dan embrioid yang nantinya akan dapat
membentuk plantlet.

4.2 KULTUR BIJI


4.2.1 Hasil
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan diperoleh data yang disajikan dalam
tabel 4.2 sebagai berikut.

27
Tabel 4.2 Hasil pengamatan kultur biji jeruk (Citrus hystix)
Perlakuan Botol ke- Hari ke- Pengamatan
-6 -
1. NAA 10 , BAP 10 1 1 Belum respon
7
2 22 April 2009 Belum respon
3 Belum respon

1 Belum respon
2. NAA 0, BAP 10-6 2 Belum respon
3 Belum respon

1 Belum respon
3. NAA 10-7, BAP 2 Belum respon
10-6
1 Belum respon
2 Belum respon
4. NAA 10-6, BAP 10-
6
1 Belum respon
2 Belum respon

5. NAA 10-6, BAP 10-


6

1. NAA 10-6, BAP 10- 1 2 Biji mengelupas


7
2 23 April 2009 Kontaminasi
3 Kontaminasi

1 Kontaminasi
2. NAA 0, BAP 10-6 2 Kontaminasi
3 Kulit biji terkelupas

1 Kontaminasi
3. NAA 10-7, BAP 2 Belum respon

28
10-6
1 Belum respon
2 Kulit biji terkelupas
4. NAA 10-6, BAP 10-
6
1 Kulit biji terkelupas
2 Kulit biji terkelupas

5. NAA 10-6, BAP 10-


6

1. NAA 10-6, BAP 10- 1 4 Kontaminasi


7
25 April 2009
3 Kontaminasi
2. NAA 0, BAP 10-6
2 Tumbuh tunas kecil
3. NAA 10-7, BAP
10-6 1 Kontaminasi
2 Tumbuh tunas kecil
4. NAA 10-6, BAP 10-
6
1 Kontaminasi
2 Tumbuh tunas kecil

5. NAA 10-6, BAP 10-


6

1. NAA 10-7, BAP 2 7 Tumbuh tunas kecil


10-6 28 April 2009
2 Tumbuh tunas kecil
2. NAA 10-6, BAP 10-
6
2 Tumbuh tunas kecil

3. NAA 10-6, BAP 10-


6

1. NAA 10-7, BAP 10- 2 9 Tunas semakin besar

29
6
30 April 2009
2 Tumbuh daun
2. NAA 10-6, BAP 10-
6
2 Tumbuh daun tunas

3. NAA 10-6, BAP 10-


6

1. NAA 10-7, BAP 10- 2 16 Tumbuh individu baru


6
7 Mei 2009 pada semua eksplan.
2 Daun tumbuh semakin
2. NAA 10-6, BAP 10- besar
6
2

3. NAA 10-6, BAP 10-


6

1. NAA 10-7, BAP 10- 2 21 Batang semakin tinggi,


6
12 Mei 2009 daun lebar.

2 Batang semakin tinggi,


2. NAA 10-6, BAP 10- daun lebar. Muncul 2
6
tunas baru

2 Batang semakin tinggi,


daun lebar. Muncul 3
3. NAA 10-6, BAP 10- tunas baru
6

1. NAA 10-7, BAP 10-6 2 23 Eksplan tumbuh


14 Mei 2009 semakin besar menjadi
individu

2. NAA 10-6, BAP 10- 2 Daun lebar dan batang


6
tinggi. 2 tunas baru

30
tumbuh makin besar

2 3 tunas baru tumbuh


3. NAA 10-6, BAP 10- makin besar
6

1. NAA 10-7, BAP 10- 2 25 Eksplan tumbuh


6
16 Mei 2009 semakin besar menjadi
individu utuh

2 Tunas tumbuh menjadi


2. NAA 10-6, BAP 10- individu yang besar
6

4.2.2 Pembahasan
Berdasarkan hasil percobaan yang ditunjukkan oleh tabel 4.2, dapat
diketahui bahwa pada pada kultur biji buah jeruk (Citrus hystix) diperoleh 2
eksplan yang dapat tumbuh pada konsentrasi yang berbeda yaitu konsetrasi NAA
10-7 dan BAP 10-6 serta konsentrasi NAA 10-6 dan BAP 10-6 . hasil yang diperoleh
adalah eksplan dari kultur biji ini dapat tumbuh hingga membentuk individu baru
dan lebih besar dari hari sebelumnya.
Kultur embrio adalah isolasi steril dari embrio muda (immature embryo)
atau embrio dewasa/tua (mature embryo) secara in-vitro dengan tujuan untuk
memperoleh tanaman yang lengkap (Bhojwani, 1990).
Berdasarkan percobaan tersebut, maka diperoleh data pada tabel 4.2
bahwa eksplan biji mampu berdiferensiasi membentuk tunas dan tumbuh menjadi
individu yang memiliki organ lengkap. Biji buah jeruk sambal ini memiliki bentuk
daun yang bulat dan lebar, batang kecil serta akar pendek. Percobaan ini juga
menghasilkan tunas-tunas baru. Berdasarkan percobaan tersebut, maka diperoleh
data pada tabel 4.2 bahwa eksplan biji mampu berdiferensiasi membentuk tunas
dan tumbuh menjadi individu yang memiliki organ lengkap. Biji buah jeruk
sambal ini memiliki bentuk daun yang bulat dan lebar, batang kecil serta akar
pendek. Percobaan ini juga menghasilkan tunas-tunas baru

31
Eksplan biji yang digunakan ini, dibuang kulit luar biji agar memudahkan
embrio untuk berkembang membentuk tunas. Selain itu mempercepat
perkecambahan dan mematahkan dormansi biji akibat terbungkus kulit yang tebal.
Kultur embrio, pertumbuhan dan perkembangan embrio dari biji jeruk ini
dipengaruhi oleh zat pengatur tumbuh, yaitu auksin dan sitokinin. Auksin yang
digunakan yaitu NAA dan sitokinin yang digunakan yaitu BAP.

BAB V
PENUTUP

Kesimpulan
Kesimpulan dari percobaan yang telah dilakukan, yaitu sebagai berikut:
a. Percobaan ini tidak menghasilkan kalus disebabkan oleh kontaminasi
jamur
b. Kultur biji menghasilkan individu baru serta membentuk anakan
c. Factor kontaminasi dan zat pengatur tumbuh sebagai penentu keberhasilan
kultur kalus dan kultur biji
d. ZPT yang digunakan pada kultur kalus, auksin lebih tinggi sitokinin
e. ZPT yang digunakan pada kultur biji, BAP dan IAA seimbang

32
DAFTAR PUSTAKA

Damayanti, D., Sudarsono, Ika M., dan M. Herman., 2007, Regenerasi Pepaya
melalui Kultur In Vitro, Agrobiogen 3(2), hal. 49-54
Bhojwani, 1990. Plant Tissue Culture: Application & Limitatio
Maryani. Y dan Zamroni, 2005, Penggandaan Tunas Krisan Melalui Kultur
Jaringan, Ilmu Pertanian 12 (1), hal : 51 - 55
Kristina, N.N dan Dedi Surachman, 2008, Multiplikasi Tunas dan Aklimatisasi
Pegagan (Centella asiatica L.) Periode Kultur Lima Tahun, Jurnal Littri
14(1), hal:30-35
Supriati,Y., Ika Mariska, dan Mujiman, 2006, Multiplikasi Tunas Belimbing Dewi
(Averrhoa carambola) melalui Kultur In Vitro, Buletin Plasma Nutfah
12(2), Hal:50-55
Suyadi. A, Aziz-Purwantoro dan Sri Trisnowati, 2003, Penggandaan Tunas
Abaca Melalui Kultur Meristem, Ilmu Pertanian 10(2), hal:11-16
Wulandari S., Wan Syafii dan Yossilia, 2004, Respon Eksplan Daun Tanaman
Jeruk Manis (Citrus sinensis L.) Secara In Vitro Akibat Pemberian NAA
Dan BA, Jurnal Biogenesis 1(1), hal: 21-25
Mariska, I., 2002, Perkembangan Penelitian Kultur In Vitro pada Tanaman
Industri, Pangan, dan Hortikultura, Agrobio 5(2), hal. 45-50

33

You might also like