You are on page 1of 16

BAB I

PENDAHULUAN
Di negara maju, sirosis hati merupakan penyebab kematian terbesar ketifa
pada pasien yang berusia 45 – 46 tahun (setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker).
Diseluruh dunia sirosis menempati urutan ke tujuh penyebab kematian. Sekitar
25.000 orang meninggal setiap tahun akibat penyakit ini. Sirosis hati merupakan
penyakit hati yang sering ditemukan dalam ruang perawatan Bagian Penyakit Dalam.
Perawatan di Rumah
Sakit sebagian besar kasus terutama ditujukan untuk mengatasi berbagai
penyakit yang ditimbulkan seperti perdarahan saluran cerna bagian atas, koma
peptikum, hepatorenal sindrom, dan asites, Spontaneous bacterial peritonitis serta
Hepatosellular carsinoma. Gejala klinis dari sirosis hati sangat bervariasi, mulai dari
tanpa gejala sampai dengan gejala yang sangat jelas. Apabila diperhatikan, laporan di
negara maju, maka kasus Sirosis hati yang datang berobat ke dokter hanya kira-kira
30% dari seluruh populasi penyakit ini, dan lebih kurang 30% lainnya ditemukan
secara kebetulan ketika berobat untuk penyakit lain, sisanya ditemukan saat atopsi.
BAB II
PEMBAHASAN
Hati
Hati (bahasa Yunani: ἡπαρ, hēpar)
merupakan kelenjar terbesar di dalam tubuh,
terletak dalam rongga perut sebelah kanan,
tepatnya di bawah diafragma. Berdasarkan
fungsinya, hati juga termasuk sebagai alat
ekskresi. Hal ini dikarenakan hati membantu
fungsi ginjal dengan cara memecah beberapa
senyawa yang bersifat racun dan
menghasilkan amonia, urea, dan asam urat dengan memanfaatkan nitrogen dari asam
amino. Proses pemecahan senyawa racun oleh hati disebut proses detoksifikasi.
Lobus hati terbentuk dari sel parenkimal dan sel non-parenkimal. Sel
parenkimal pada hati disebut hepatosit, menempati sekitar 80% volume hati dan
melakukan berbagai fungsi utama hati. 40% sel hati terdapat pada lobus sinusoidal.
Hepatosit merupakan sel endodermal yang terstimulasi oleh jaringan mesenkimal
secara terus-menerus pada saat embrio hingga berkembang menjadi sel parenkimal.
Selama masa tersebut, terjadi peningkatan transkripsi mRNA albumin sebagai
stimulan proliferasi dan diferensiasi sel endodermal menjadi hepatosit.
Lumen lobus terbentuk dari SEC dan ditempati oleh 3 jenis sel lain, seperti
sel Kupffer, sel Ito, limfosit intrahepatik seperti sel pit. Sel non-parenkimal
menempati sekitar 6,5% volume hati dan memproduksi berbagai substansi yang
mengendalikan banyak fungsi hepatosit.
Filtrasi merupakan salah satu fungsi lumen lobus sinusoidal yang
memisahkan permukaan hepatosit dari darah, SEC memiliki kapasitas endositosis
yang sangat besar dengan berbagai ligan seperti glikoprotein, kompleks imun,
transferin dan seruloplasmin. SEC juga berfungsi sebagai sel presenter antigen yang
menyediakan ekspresi MHC I dan MHC II bagi sel T. Sekresi yang terjadi meliputi
berbagai sitokina, eikosanoid seperti prostanoid dan leukotriena, endotelin-1,
nitrogen monoksida dan beberapa komponen ECM.
Sel Ito berada pada jaringan perisinusoidal, merupakan sel dengan banyak
vesikel lemak di dalam sitoplasma yang mengikat SEC sangat kuat hingga
memberikan lapisan ganda pada lumen lobus sinusoidal. Saat hati berada pada
kondisi normal, sel Ito menyimpan vitamin A guna mengendalikan kelenturan
matriks ekstraselular yang dibentuk dengan SEC, yang juga merupakan kelenturan
dari lumen sinusoid.
Sel Kupffer berada pada jaringan intrasinusoidal, merupakan makrofaga
dengan kemampuan endositik dan fagositik yang mencengangkan. Sel Kupffer
sehari-hari berinteraksi dengan material yang berasal saluran pencernaan yang
mengandung larutan bakterial, dan mencegah aktivasi efek toksin senyawa tersebut
ke dalam hati. Paparan larutan bakterial yang tinggi, terutama paparan LPS, membuat
sel Kupffer melakukan sekresi berbagai sitokina yang memicu proses peradangan
dan dapat mengakibatkan cedera pada hati. Sekresi antara lain meliputi spesi oksigen
reaktif, eikosanoid, nitrogen monoksida, karbon monoksida, TNF-α, IL-10, sebagai
respon kekebalan turunan dalam fasa infeksi primer.
Sel pit merupakan limfosit dengan granula besar, seperti sel NK yang
bermukim di hati. Sel pit dapat menginduksi kematian seketika pada sel tumor tanpa
bergantung pada ekspresi antigen pada kompleks histokompatibilitas utama.
Aktivitas sel pit dapat ditingkatkan dengan stimulasi interferon-γ.
Selain itu, pada hati masih terdapat sel T-γδ, sel T-αβ dan sel NKT.
Sel punca
Selain hepatosit dan sel non-parenkimal, pada hati masih terdapat jenis sel
lain yaitu sel intra-hepatik yang sering disebut sel oval, dan hepatosit duktular.
Regenerasi hati setelah hepatektomi parsial, umumnya tidak melibatkan sel
progenitor intra-hepatik dan sel punca ekstra-hepatik (hemopoietik), dan bergantung
hanya kepada proliferasi hepatosit. Namun dalam kondisi saat proliferasi hepatosit
terhambat atau tertunda, sel oval yang berada di area periportal akan mengalami
proliferasi dan diferensiasi menjadi hepatosit dewasa. Sel oval merupakan bentuk
diferensiasi dari sel progenitor yang berada pada area portal dan periportal, atau
kanal Hering, dan hanya ditemukan saat hati mengalami cedera. Proliferasi yang
terjadi pada sel oval akan membentuk saluran ekskresi yang menghubungkan area
parenkima tempat terjadinya kerusakan hati dengan saluran empedu. Epimorfin,
sebuah morfogen yang banyak ditemukan berperan pada banyak organ epitelial,
nampaknya juga berperan pada pembentukan saluran empedu oleh sel punca hepatik.
Setelah itu sel oval akan terdiferensiasi menjadi hepatosit duktular. Hepatosit
duktular dianggap merupakan sel transisi yang terkait antara lain dengan:
 metaplasia duktular dari hepatosit parenkimal menjadi epitelium biliari intra-
hepatik
 konversi metaplasia dari epitelium duktular menjadi hepatosit parenkimal
 diferensiasi dari sel punca dari silsilah hepatosit
tergantung pada jenis gangguan yang menyerang hati.
Pada model tikus dengan 70% hepatektomi, dan induksi regenerasi hepatik
dengan asetilaminofluorena-2, ditemukan bahwa sel punca yang berasal dari sumsum
tulang belakang dapat terdiferensiasi menjadi hepatosit, dengan mediasi hormon G-
CSF sebagai kemokina dan mitogen. Regenerasi juga dapat dipicu dengan D-
galaktosamina.
Sel imunologis
Hati juga berperan dalam sistem kekebalan dengan banyaknya sel imunologis
pada sistem retikuendotelial yang berfungsi sebagai tapis antigen yang terbawa ke
hati melalui sistem portal hati. Perpindahan fasa infeksi dari fasa primer menjadi fasa
akut, ditandai oleh hati dengan menurunkan sekresi albumin dan menaikkan sekresi
fibrinogen. Fasa akut yang berkepanjangan akan berakibat pada simtoma
hipoalbuminemia dan hiperfibrinogenemia.
Pada saat hati cedera, sel darah putih akan distimulasi untuk bermigrasi
menuju hati dan bersama dengan sel Kupffer mensekresi sitokina yang membuat
modulasi perilaku sel Ito. Sel TH1 memproduksi sitokina yang meningkatkan respon
kekebalan selular seperti IFN-gamma, TNF, dan IL-2. Sel TH2 sebaliknnya akan
memproduksi sitokina yang meningkatkan respon kekebalan humoral seperti IL-4,
IL-5, IL-6, IL-13 dan meningkatkan respon fibrosis. Sitokina yang disekresi oleh sel
TH1 akan menghambat diferensiasi sel T menjadi sel TH2, sebaliknya sitokina sekresi
TH2 akan menghambat proliferasi sel TH1. Oleh sebab itu respon kekebalan sering
dikatakan terpolarisasi ke respon kekebalan selular atau humoral, namun belum
pernah keduanya.
Fungsi hati
Berbagai jenis tugas yang dijalankan oleh hati, dilakukan oleh hepatosit.
Hingga saat ini belum ditemukan organ lain atau organ buatan atau peralatan yang
mampu menggantikan semua fungsi hati. Beberapa fungsi hati dapat digantikan
dengan proses dialisis hati, namun teknologi ini masih terus dikembangkan untuk
perawatan penderita gagal hati.
Sebagai kelenjar, hati menghasilkan:
 empedu yang mencapai ½ liter setiap hari. Empedu merupakan cairan
kehijauan dan terasa pahit, berasal dari hemoglobin sel darah merah yang
telah tua, yang kemudian disimpan di dalam kantong empedu atau diekskresi
ke duodenum. Empedu mengandung kolesterol, garam mineral, garam
empedu, pigmen bilirubin, dan biliverdin. Sekresi empedu berguna untuk
mencerna lemak, mengaktifkan lipase, membantu daya absorpsi lemak di
usus, dan mengubah zat yang tidak larut dalam air menjadi zat yang larut
dalam air. Apabila saluran empedu di hati tersumbat, empedu masuk ke
peredaran darah sehingga kulit penderita menjadi kekuningan. Orang yang
demikian dikatakan menderita penyakit kuning.
 sebagian besar asam amino
 faktor koagulasi I, II, V, VII, IX, X, XI
 protein C, protein S dan anti-trombin.
 trigliserida melalui lintasan lipogenesis
 kolesterol
 insulin-like growth factor 1 (IGF-1), sebuah protein polipeptida yang
berperan penting dalam pertumbuhan tubuh dalam masa kanak-kanak dan
tetap memiliki efek anabolik pada orang dewasa.
 enzim arginase yang mengubah arginina menjadi ornitina dan urea. Ornitina
yang terbentuk dapat mengikat NH³ dan CO² yang bersifat racun.
 trombopoietin, sebuah hormon glikoprotein yang mengendalikan produksi
keping darah oleh sumsum tulang belakang.
 Pada triwulan awal pertumbuhan janin, hati merupakan organ utama sintesis
sel darah merah, hingga mencapai sekitar sumsum tulang belakang mampu
mengambil alih tugas ini.
 albumin, komponen osmolar utama pada plasma darah.
 angiotensinogen, sebuah hormon yang berperan untuk meningkatkan tekanan
darah ketika diaktivasi oleh renin, sebuah enzim yang disekresi oleh ginjal
saat ditengarai kurangnya tekanan darah oleh juxtaglomerular apparatus.
 enzim glutamat-oksaloasetat transferase, glutamat-piruvat transferase dan
laktat dehidrogenase
Selain melakukan proses glikolisis dan siklus asam sitrat seperti sel pada umumnya,
hati juga berperan dalam metabolisme karbohidrat yang lain:
 Glukoneogenesis, sintesis glukosa dari beberapa substrat asam amino, asam
laktat, asam lemak non ester dan gliserol. Pada manusia dan beberapa jenis
mamalia, proses ini tidak dapat mengkonversi gliserol menjadi glukosa.
Lintasan dipercepat oleh hormon insulin seiring dengan hormon tri-
iodotironina melalui pertambahan laju siklus Cori.
 Glikogenolisis, lintasan katabolisme glikogen menjadi glukosa untuk
kemudian dilepaskan ke darah sebagai respon meningkatnya kebutuhan
energi oleh tubuh. Hormon glukagon merupakan stimulator utama kedua
lintasan glikogenolisis dan glukoneogenesis menghindarikan tubuh dari
simtoma hipoglisemia. Pada model tikus, defisiensi glukagon akan
menghambat kedua lintasan ini, namun meningkatkan toleransi glukosa.[18]
Lintasan ini, bersama dengan lintasan glukoneogenesis pada saluran
pencernaan dikendalikan oleh kelenjar hipotalamus.
 Glikogenesis, lintasan anabolisme glikogen dari glukosa.
dan pada lintasan katabolisme:
 degradasi sel darah merah. Hemoglobin yang terkandung di dalamnya
dipecah menjadi zat besi, globin, dan heme. Zat besi dan globin didaur ulang,
sedangkan heme dirombak menjadi metabolit untuk diekskresi bersama
empedu sebagai bilirubin dan biliverdin yang berwarna hijau kebiruan. Di
dalam usus, zat empedu ini mengalami oksidasi menjadi urobilin sehingga
warna feses dan urin kekuningan.
 degradasi insulin dan beberapa hormon lain.
 degradasi amonia menjadi urea
 degradasi zat toksin dengan lintasan detoksifikasi, seperti metilasi.
Hati juga mencadangkan beberapa substansi, selain glikogen:
 vitamin A (cadangan 1–2 tahun)
 vitamin D (cadangan 1–4 bulan)
 vitamin B12 (cadangan 1-3 tahun)
 zat nesi
 zat tembaga.
Struktur

Permukaan inferior

Hati manusia dewasa mempunyai berat antara 1.3 - 3.0 kilogram. Ia adalah organ
lembut berwarna perang kemerahan. Hati merupakan organ kedua terbesar manusia
(organ terbesar adalah kulit) dan kelenjar terbesar dalam tubuh manusia.

Ia terletak di bawah diafragma di sebelah kanan badan manusia. Sebahagian besar


permukaan hati terletak di dalam sangkar toraks bagi melindunginya daripada
kecederaan. ia juga menjadi alas bagi pundi hempedu yang menyimpan hempedu.

Secara anatomi, hati dapat dibahagikan kepada empat lobus iaitu lobus kanan (right
lobe), lobus kiri (left lobe), caudate lobe, dan quadrate lobe. Lihat gambar untuk
penerangan yang lebih jelas.

Mikrostruktur

Hati terdiri daripada koleksi unit-unit mikroskopik yang dipanggil lobul (jangan
dikelirukan dengan lobus di atas) yang setiapnya berbentuk heksagon (secara kasar).
Lobul-lobul ini merupakan pusat pemprosesan utama bagi hati. Di sinilah hati
menjalankan fungsi-fungsinya seperti menyahtoksik darah dan menghasilkan
hempedu. Berikut adalah salur-salur yang berhubung dengan setiap lobul hati:

 Portal triad yang terdiri daripada 3 salur iaitu:


o Hepatic portal capilarry atau kapilari portal hati. Ia membawa darah dari
vena portal hepar ke lobul hati.
o Arteri hati yang membekalkan darah beroksigen kepada lobul-lobul hati.
o Duktus hempedu yang membawa cecair hempedu dari lobul ke pundi
hempedu untuk disimpan.
 Vena hati yang membawa darah terdeoksigen dari hati. Terdapat dua vena hati iaitu
vena hati kanan dan vena hati kiri. Kedua-dua vena ini bersambung terus dengan
vena kava inferior

Fungsi

Berikut adalah fungsi-fungsi hati:

 Mengawal aras glukosa darah dengan menyimpan glikogen di dalam hati.


 Menyimpan vitamin dan garam mineral tertentu.
 Mengawalatur metabolisme karbohidrat, lipid dan asid amino.
 Menghasilkan hempedu yang akan disimpan di dalam pundi hempedu.
 Menghasilkan protein-protein plasma tertentu seperti albumin.
 Menghasilkan faktor-faktor pembekuan darah I (fibrinogen), II (protrombin), V, VII,
IX, X and XI
 Menyahtoksik bahan-bahan beracun terutama dadah dan bahan-bahan bernitrogen
seperti ammonia.
 Sebagai tempat penghasilan sel-sel darah merah fetus.
 Menguraikan molekul hemoglobin tua.
 Menyingkirkan hormon-hormon berlebihan.

Sirosis Hepatis
Sirosis Hepatis adalah penyakit hati kronis yang tidak diketahui penyebabnya
dengan pasti. Telah diketahui bahwa penyakit ini merupakan stadium terakhir dari
penyakit hati kronis dan terjadinya pengerasan dari hati (Sujono H, 2002).
Menurut SHERLOCK : secara anatomis Sirosis Hepatis ialah terjadinya
fibrosis yang sudah meluas dengan terbentuknya nodul-nodul pada semua bagian hati
dan terjadinya fibrosis tidak hanya pada satu lobulus saja.
Patogenesis
Mekanisme terjadinya proses yang berlangsung terus mulai dari hepatitis
virus menjadi Sirosis Hepatis belum jelas. Patogenesis yang mungkin terjadi yaitu :
1. Mekanis
2. Immunologis
3. Kombinasi keduanya
Namun yang utama adalah terjadinya peningkatan aktivitas fibroblast dan
pembentukan jaringan ikat.
 
Mekanis
Pada daerah hati yang mengalami nekrosis konfluen, kerangka reticulum
lobul yang mengalami kolaps akan berlaku sebagai kerangka untuk terjadinya daerah
parut yang luas. Dalam kerangka jaringan ikat ini, bagian parenkim hati yang
bertahan hidup berkembang menjadi nodul regenerasi.
 
Teori Imunologis
Sirosis Hepatis dikatakan dapat berkembang dari hepatitis akut jika melalui
proses hepatitis kronik aktif terlebih dahulu. Mekanisme imunologis mempunyai
peranan penting dalam hepatitis kronis. Ada 2 bentuk hepatitis kronis :
-       Hepatitis kronik tipe B
-       Hepatitis kronik autoimun atau tipe NANB
Proses respon imunologis pada sejumlah kasus tidak cukup untuk
menyingkirkan virus atau hepatosit yang terinfeksi, dan sel yang mengandung virus
ini merupakan rangsangan untuk terjadinya proses imunologis yang berlangsung
terus sampai terjadi kerusakan sel hati.
Dari kasus-kasus yang dapat dilakukan biopsy hati berulang pada penderita
hepatitis kronik aktif ternyata bahwa proses perjalanan hepatitis kronis bisa
berlangsung sangat lama. Bisa lebih dari 10 tahun.
 
Patofisiologi
Ada 2 faktor yang mempengaruhi terbentuknya asites pada penderita Sirosis
Hepatis, yaitu :
o Tekanan koloid plasma yang biasa bergantung pada albumin di dalam serum.
Pada keadaan normal albumin dibentuk oleh hati. Bilamana hati terganggu
fungsinya, maka pembentukan albumin juga terganggu, dan kadarnya
menurun, sehingga tekanan koloid osmotic juga berkurang. Terdapatnya
kadar albumin kurang dari 3 gr % sudah dapat merupakan tanda kritis untuk
timbulnya asites.
o Tekanan vena porta. Bila terjadi perdarahan akibat pecahnya varises
esophagus, maka kadar plasma protein dapat menurun, sehingga tekanan
koloid osmotic menurun pula, kemudian terjadilah asites. Sebaliknya bila
kadar plasma protein kembali normal, maka asitesnya akan menghilang
walaupun hipertensi portal tetap ada (Sujono Hadi). Hipertensi portal
mengakibatkan penurunan volume intravaskuler sehingga perfusi ginjal pun
menurun. Hal ini meningkatkan aktifitas plasma rennin sehingga aldosteron
juga meningkat. Aldosteron berperan dalam mengatur keseimbangan
elektrolit terutama natrium . dengan peningkatan aldosteron maka terjadi
terjadi retensi natrium yang pada akhirnya menyebabkan retensi cairan.
Klasifikasi
SHERLOCK secara morfologi membagi Sirosis Hepatis berdasarkan besar kecilnya
nodul, yaitu:
-       Makronoduler (Irreguler, multinoduler)
-       Mikronoduler (regular, monolobuler)
-       Kombinasi keduanya
 
Etiologi
Penyebab yang pasti dari Sirosis Hepatis sampai sekarang belum jelas.
1. Faktor keturunan dan malnutrisi
WATERLOO (1997) berpendapat bahwa factor kekurangan nutrisi
terutama kekurangan protein hewani menjadi penyebab timbulnya Sirosis
Hepatis. Menurut CAMPARA (1973) untuk terjadinya Sirosis Hepatis ternyata
ada bahan dalam makanan, yaitu kekurangan alfa 1-antitripsin.
2. Hepatitis virus
Hepatitis virus sering juga disebut sebagai salah satu penyebab dari Sirosis
Hepatis. Dan secara klinik telah dikenal bahwa hepatitis virus B lebih banyak
mempunyai kecenderungan untuk lebih menetap dan memberi gejala sisa serta
menunjukkan perjalanan yang kronis bila dibandingkan dengan hepatitis virus A.
penderita dengan hepatitis aktif kronik banyak yang menjadi sirosis karena
banyak terjadi kerusakan hati yang kronis.
Sebagaimana kita ketahui bahwa sekitar 10 % penderita hepatitis virus B
akut akan menjadi kronis. Apalagi bila pada pemeriksaan laboratories ditemukan
HBs Ag positif dan menetapnya e-Antigen lebih dari 10 minggu disertai tetap
meningginya kadar asam empedu puasa lebih dari 6 bulan, maka mempunyai
prognosis kurang baik (Sujono Hadi).
3. Zat hepatotoksik
Beberapa obat-obatan dan zat kimia dapat menyebabkan terjadinya
kerusakan fungsi sel hati secara akut dan kronik. Kerusakan hati secara akut
akan berakibat nekrosis atau degenerasi lemak. Sedangkan kerusakan kronik
akan berupa Sirosis Hepatis. Pemberian bermacam obat-obatan hepatotoksik
secara berulang kali dan terus menerus. Mula-mula akan terjadi kerusakan
setempat, kemudian terjadi kerusakan hati yang merata, dan akhirnya dapat
terjadi Sirosis Hepatis. Zat hepatotoksik yang sering disebut-sebut adalah
alcohol. Efek yang nyata dari etil-alkohol adalah penimbunan lemak dalam hati
(Sujono Hadi).
4. Penyakit Wilson
Suatu penyakit yang jarang ditemukan, biasanya terdapat pada orang-orang
muda dengan ditandai Sirosis Hepatis, degenerasi ganglia basalis dari otak, dan
terdapatnya cincin pada kornea yang berwarna coklat kehijauan disebut Kayser
Fleiscer Ring. Penyakit ini diduga disebabkan defisiensi bawaan dan
sitoplasmin.
5. Hemokromatosis
Bentuk sirosis yang terjadi biasanya tipe portal. Ada 2 kemungkinan
timbulnya hemokromatosis, yaitu :
a) sejak dilahirkan, penderita mengalami kenaikan absorpsi dari Fe.
b) kemungkinan didapat setelah lahir (aquisita), misalnya dijumpai pada
penderita dengan penyakit hati alkoholik. Bertambahnya absorpsi dari Fe,
kemungkinan menyebabkan timbulnya Sirosis Hepatis.
6. Sebab-sebab lain
a) kelemahan jantung yang lama dapat menyebabkan timbulnya sirosis
kardiak.      Perubahan fibrotik dalam hati terjadi sekunder terhadap
anoksi dan nekrosis sentrilibuler.
b) sebagai akibat obstruksi yang lama pada saluran empedu akan dapat
menimbulkan sirosis biliaris primer. Penyakit ini lebih banyak dijumpai
pada kaum wanita.
c) penyebab Sirosis Hepatis yang tidak diketahui dan digolongkan dalam
sirosis kriptogenik. Penyakit ini banyak ditemukan di Inggris (menurut
Reer 40%, Sherlock melaporkan 49%). Penderita ini sebelumnya tidak
menunjukkan tanda-tanda hepatitis atau alkoholisme, sedangkan dalam
makanannya cukup mengandung protein.
Gambaran klinik
Menurut Sherlock, secara klinis, Sirosis Hepatis dibagi atas 2 tipe, yaitu :
o sirosis kompensata atau latent chirrosis hepatic
o sirosis dekompensata atau active chirrosis hepatic
Atau
o Sirosis Hepatis tanpa kegagalan faal hati dan hipertensi portal. Sirosis
Hepatis ini mungkin tanpa gejala apapun, tapi ditemukan secara
kebetulan pada hasil biopsy atau pemeriksaan laparoskopi
o Sirosis Hepatis dengan kegagalan faal hati dan hipertensi portal. Pada
penderita ini sudah ada tanda-tanda kegagalan faal hati misalnya ada
ikterus, perubahan sirkulasi darah, kelainan laboratirim pada tes faal hati.
Juga ditemukan tanda-tanda hipertensi portal, misalnya asites,
splenomegali, venektasi di perut.

Laboratorium
Urine
Dalam urin terdapat urobilinogen, juga terdapat bilirubin bila penderita ada
ikterus. Pada penderita dengan asites, maka ekskresi natrium berkurang, dan pada
penderita yang berat ekskresinya kurang dari 3 meq (0,1).
Tinja
Mungkin terdapat kenaikan sterkobilinogen. Pada penderita ikterus ekskresi
pigmen empedu rendah.
Darah
Biasanya dijumpai normositik normokromik anemia yang ringan, kadang-
kadang dalam bentuk makrositer, yang disebabkan kekurangan asam folat dan
vitamin B12 atau karena splenomegali. Bilamana penderita pernah mengalami
perdarahan gastrointestinal, maka akan terjadi hipokromik anemia. Juga dijumpai
leukopeni bersama trombositopeni. Waktu protombin memanjang dan tidak dapat
kembali normal walaupun telah diberi pengobatan dengan vitamin K. gambaran
sumsum tulang terdapat makronormoblastik dan terjadi kenaikan plasma sel pada
kenaikan kadar globulin dalam darah.
Tes faal hati
Penderita sirosis banyak mengalami gangguan tes faal hati, lebih-lebih lagi
bagi penderita yang sudah disertai tanda-tanda hipertensi portal. Hal ini tampak jelas
menurunnya kadar serum albumin <3,0% sebanyak 85,92%, terdapat peninggian
serum transaminase >40 U/l sebanyak 60,1%. Menurunnya kadar tersebut di atas
adalah sejalan dengan hasil pengamatan jasmani, yaitu ditemukan asites sebanyak
85,79%.
 
Komplikasi
            Komplikasi yang sering timbul pada penderita Sirosis Hepatis diantaranya
adalah:
1. Perdarahan Gastrointestinal
            Setiap penderita Sirosis Hepatis dekompensata terjadi hipertensi portal, dan
timbul varises esophagus. Varises esophagus yang terjadi pada suatu waktu mudah
pecah, sehingga timbul perdarahan yang massif. Sifat perdarahan yang ditimbulkan
adalah muntah darah atau hematemesis biasanya mendadak dan massif tanpa
didahului rasa nyeri di epigastrium. Darah yang keluar berwarna kehitam-hitaman
dan tidak akan membeku, karena sudah tercampur dengan asam lambung. Setelah
hematemesis selalu disusul dengan melena (Sujono Hadi). Mungkin juga perdarahan
pada penderita Sirosis Hepatis tidak hanya disebabkan oleh pecahnya varises
esophagus saja. FAINER dan HALSTED pada tahun 1965 melaporkan dari 76
penderita Sirosis Hepatis dengan perdarahan ditemukan 62% disebabkan oleh
pecahnya varises esofagii, 18% karena ulkus peptikum dan 5% karena erosi lambung.
2. Koma hepatikum
            Komplikasi yang terbanyak dari penderita Sirosis Hepatis adalah koma
hepatikum. Timbulnya koma hepatikum dapat sebagai akibat dari faal hati sendiri
yang sudah sangat rusak, sehingga hati tidak dapat melakukan fungsinya sama sekali.
Ini disebut sebagai koma hepatikum primer. Dapat pula koma hepatikum timbul
sebagai akibat perdarahan, parasentese, gangguan elektrolit, obat-obatan dan lain-
lain, dan disebut koma hepatikum sekunder.
Pada penyakit hati yang kronis timbullah gangguan metabolisme protein, dan
berkurangnya pembentukan asam glukoronat dan sulfat. Demikian pula proses
detoksifikasi berkurang. Pada keadaan normal, amoniak akan diserap ke dalam
sirkulasi portal masuk ke dalam hati, kemudian oleh sel hati diubah menjadi urea.
Pada penderita dengan kerusakan sel hati yang berat, banyak amoniak yang bebas
beredar dalam darah. Oleh karena sel hati tidak dapat mengubah amoniak menjadi
urea lagi, akhirnya amoniak menuju ke otak dan bersifat toksik/iritatif pada otak.
3. Ulkus peptikum
            Menurut TUMEN timbulnya ulkus peptikum pada penderita Sirosis Hepatis
lebih besar bila dibandingkan dengan penderita normal. Beberapa kemungkinan
disebutkan diantaranya ialah timbulnya hiperemi pada mukosa gaster dan duodenum,
resistensi yang menurun pada mukosa, dan kemungkinan lain ialah timbulnya
defisiensi makanan.
4. Karsinoma hepatoselular
            SHERLOCK (1968) melaporkan dari 1073 penderita karsinoma hati
menemukan 61,3 % penderita disertai dengan Sirosis Hepatis. Kemungkinan
timbulnya karsinoma pada Sirosis Hepatis terutama pada bentuk postnekrotik ialah
karena adanya hiperplasi noduler yang akan berubah menjadi adenomata multiple
kemudian berubah menjadi karsinoma yang multiple.
5. Infeksi
            Setiap  penurunan kondisi badan akan mudah kena infeksi, termasuk juga
penderita sirosis, kondisi badannya menurun. Menurut SCHIFF, SPELLBERG
infeksi yang sering timbul pada penderita sirosis, diantaranya adalah : peritonitis,
bronchopneumonia, pneumonia, tbc paru-paru, glomeluronefritis kronik,
pielonefritis, sistitis, perikarditis, endokarditis, erysipelas maupun septikemi.
Source:
 

BAB III
KESIMPULAN
Mengingat pengobatan sirosis hati hanya merupakan simptomatik dan mengobati penyulit, maka
prognosa SH bisa jelek. Namun penemuan sirosis hati yang masih terkompensasi mempunyai
prognosa yang baik. Oleh karena itu ketepatan diagnosa dan penanganan yang tepat sangat dibutuhkan
dalam penatalaksanaan sirosis hati.

DAFTAR PUSTAKA
Sujono Hadi.Dr.Prof.,Sirosis Hepatis dalam Gastroenterologi. Edisi 7. Bandung ;
2002. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid 1 FKUI, Jakarta ; 2000
www.wikimedia.com. Hati. 2007.

You might also like