You are on page 1of 20

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dewasa kini banyak orang-orang yang melakukan nikah sirri. Nikah sirri sudah seperti

tren masa kini di atara beberapa kalangan. Orang-orang yang melakukan nikah sirri dating

dengan berbagai alasan, mulai dari tidak adanya biaya, peraturan Pegawai Negeri Sipil

yang tidak diperbolehkan memiliki istri lebih dari satu, kehamilan di luar nikah dan lain

sebagainya.

Secara syariat islam nikah sirri memang diperbolehkan, akan tetapi mereka tidak

tercatat sebagai suami istri yang sah secara hukum Negara. Hal tersebut menjadikan

pasangan tersebut akan mengalami kesulitan ketika akan mengurus kepentingan sebagai

warga sipil apalagi jika mereka mempunyai anak. Anak tersebut juga akan mengalami

kesulitan ketika akan bersekolah ataupun bekerja nantinya.

Maka dari itu Peradilan Agama Bidang Perkawinan mengajukan RUU Nikah Sirri.

Namun pengajuan RUU ini menuai kontroversi. Ada pihak yang menyetujui RUU ini

karena untuk menghindari penyalah gunaan nikah sirri itu sendiri, adapula pihak yang

memandang RUU yang diajukan tersebut tidak perlu karena pernikahan bukanlah masalah

pidana melainkan masalah perdata.

Berdasarkan uraian di atas, maka penulis akan membahas hukum-hukum mengenai

nikah sirri, baik itu dilihat dari segi agama maupun dari segi hukum di Negara kita dan

dari ketentuan RUU Nikah Sirri.

1
1.2 Rumusan Masalah

Dalam karya tulis ini mengemukakan masalah sebagai berikut:

1.2.1 Apa hukum islam tentang Nikah Siri?

1.2.2 Bagaimana ketentuan RUU tentang Nikah Siri?

1.2.3 Bagaimana Hukum Pernikahan Tanpa Wali?

1.2.4 Bagaimana Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil?

1.3 Tujuan penelitian

Tujuan dari penulisan karya tulis ini adalah:

1.3.1 untuk mengetahui hukum islam tentang Nikah siri.

1.3.2 untuk mengetahui ketentuan RUU tentang Nikah Siri

1.3.3 untuk mengetahui Hukum Pernikahan Tanpa Wali

1.3.4 untuk mengetahui dampak atau kerugian bagi wanita yang melakukan

pernikahan tanpa adanya pencatatan sipil

1.4 Metode penulisan

Metode penulisan karya ilmiah ini untuk menganalisis data atau fakta,caranya :

1. Wawancara,agar dapat mengumpulkan data

2. Penelitian pustaka

Penulis di sini menggunakan beberapa metode yaitu :

2
1.4.1 metode wawancara

Metode wawancara adalah pengumpulan data dengan cara bertanya langsung

kepada narasumber.

1.4.2 metode penelitian pustaka

Metode penelitian pustaka adalah usaha mengumpulkan data dengan membaca

buku sumber sebagai referensi untuk mendapatkan data.

3
BAB II

PEMBAHASAN

2.1Definisi nikah siri

Pernikahan siri sering diartikan oleh masyarakat umum dengan; Pertama; pernikahan

tanpa wali. Pernikahan semacam ini dilakukan secara rahasia (siri) dikarenakan pihak wali

perempuan tidak setuju; atau karena menganggap absah pernikahan tanpa wali; atau hanya

karena ingin memuaskan nafsu syahwat belaka tanpa mengindahkan lagi ketentuan-ketentuan

syariat; kedua, pernikahan yang sah secara agama namun tidak dicatatkan dalam lembaga

pencatatan negara. Banyak faktor yang menyebabkan seseorang tidak mencatatkan

pernikahannya di lembaga pencatatan sipil negara. Ada yang karena faktor biaya, alias tidak

mampu membayar administrasi pencatatan; ada pula yang disebabkan karena takut ketahuan

melanggar aturan yang melarang pegawai negeri nikah lebih dari satu; dan lain sebagainya.

Ketiga, pernikahan yang dirahasiakan karena pertimbangan-pertimbangan tertentu; misalnya

karena takut mendapatkan stigma negatif dari masyarakat yang terlanjur menganggap tabu

pernikahan siri; atau karena pertimbangan-pertimbangan rumit yang memaksa seseorang

untuk merahasiakan pernikahannya.

2.2 Hukum Islam Tentang Nikah Siri

Keinginan pemerintah untuk memberikan fatwa hukum yang tegas terhadap

pernikahan siri, kini telah dituangkan dalam rancangan undang-undang tentang

perkawinan. Sebagaimana penjelasan Nasarudin Umar, Direktur Bimas Islam Depag,

RUU ini akan memperketat pernikahan siri, kawin kontrak, dan poligami.

4
Berkenaan dengan nikah siri, dalam RUU yang baru sampai di meja Setneg,

pernikahan siri dianggap perbuatan ilegal, sehingga pelakunya akan dipidanakan dengan

sanksi penjara maksimal 3 bulan dan denda 5 juta rupiah. Tidak hanya itu saja, sanksi juga

berlaku bagi pihak yang mengawinkan atau yang dikawinkan secara nikah siri, poligami,

maupun nikah kontrak. Setiap penghulu yang menikahkan seseorang yang bermasalah,

misalnya masih terikat dalam perkawinan sebelumnya, akan dikenai sanksi pidana 1 tahun

penjara. Pegawai Kantor Urusan Agama yang menikahkan mempelai tanpa syarat lengkap

juga diancam denda Rp 6 juta dan 1 tahun penjara. [Surya Online, Sabtu, 28 Februari,

1009]

Sebagian orang juga berpendapat bahwa orang yang melakukan pernikahan siri, maka

suami isteri tersebut tidak memiliki hubungan pewarisan. Artinya, jika suami meninggal

dunia, maka isteri atau anak-anak keturunannya tidak memiliki hak untuk mewarisi harta

suaminya. Ketentuan ini juga berlaku jika isteri yang meninggal dunia.

2.3 Ketentuan RUU Tentang Nikah Siri

RUU Nikah Siri - RUU Nikah Siri atau Rancangan Undang-Undang Hukum Materil

oleh Peradilan Agama Bidang Perkawinan yang akan memidanakan pernikahan tanpa

dukeman resmi atau yang biasa disebut sebagai nikah siri, kini tengah memicu kontroversi

ditengah-tengah masyarakat.

Seperti halnya Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) KH Hasyim

Muzadi menilai pemidanaan nikah siri yang diatur dalam Draf RUU Nikah Siri adalah

sebagai langkah tidak benar.

"Saya kira ini tidak benar.Nikah siri cukup diadministrasikan saja. Harusnya yang lebih

dulu dipidanakan itu yang tidak nikah (berhubungan seks di luar nikah).Saya yakin ini ada

agenda tersembunyi untuk melegalkan yang melakukan seks bebas (free sex) dan
5
menyalahkan yang nikah," 2kata Hasyim kepada harian Seputar Indonesia (SI) di Gedung

PBNU Jakarta kemarin.

Pemerintah sejauh ini bersikukuh memperjuangkan draf RUU Nikah Siri yang sudah

masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia

(Menkum HAM) Patrialis Akbar menegaskan, nikah siri perlu diatur agar ada kepastian

hukum dalam pernikahan dan kepastian hukum anak-anak mereka. "Jadi yang bagus kan

nikah itu ada suratnya.

Jadi jangan hanya, maaf ya, dalam tanda kutip, lakilaki itu jangan sekadar make aja

dong.Tanggung jawabnya di mana dong? Lahir batin dong! Kanitu bagian dari

perkawinan, jadi dia harus bertanggung jawab. Kalau punya anak, anaknya jadi tanggung

jawabnya," ujar Patrialis Akbar di sela-sela kunjungan ke LP Anak Kelas II A Tangerang

mendampingi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kemarin.

Untuk diketahui, draf usulan RUU Nikah Siri Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang

Perkawinan menampung pasal tentang nikah siri atau nikah yang tidak tercatat di kantor

urusan agama (KUA). Pasal tersebut menyebutkan, jika seseorang melakukan nikah siri

atau melakukan kawin kontrak,ia dapat diancam dengan pidana penjara.

Pasal 143 RUU UU yang hanya diperuntukkan bagi pemeluk Islam ini menggariskan,

setiap orang yang dengan sengaja melangsungkan perkawinan tidak di hadapan pejabat

pencatat nikah dipidana dengan ancaman hukuman bervariasi, mulai dari enam bulan

hingga tiga tahun dan denda mulai dari Rp6 juta hingga Rp12 juta. Selain kawin siri,draf

RUU juga menyinggung kawin mutah atau kawin kontrak.

Pasal 144 menyebut, setiap orang yang melakukan perkawinan mutah dihukum penjara

selama-lamanya 3 tahun dan perkawinannya batal karena hukum. RUU itu juga mengatur

6
soal perkawinan campur (antardua orang yang berbeda kewarganegaraan). Pasal 142 ayat

3 menyebutkan, calon suami yang berkewarga negaraan asing harus membayar uang

jaminan kepada calon istri melalui bank syariah sebesar Rp500 juta.

Menurut Patrialias,masyarakat harus diberi kesadaran bahwa nikah itu tidak sekadar nikah

atau bohong-bohongan. Menurutnya, banyaknya pria menikah di bawah tangan dan janda-

janda muda menjadi stimulasi agar hal tersebut perlu diatur. Ditegaskan, pengaturan

pernikahan bukan berarti negara ikut campur dalam masalah agama. “Kalau kehidupan

bermasyarakat tidak diatur,masyarakat bisa kacau.

Ya, kalau kehidupan beragama itu misalnya begini, orang mengaji harus mengaji dari jam

sekian sampai sekian, itu baru namanya ikut campur,”jelasnya. Di tempat sama, Menteri

Agama Suryadharma Ali menuturkan bahwa draf RUU tersebut sudah dibuat sekitar lima

tahun lalu atau sebelum dirinya menjabat sebagai Menteri Agama. Karena itu,

pembahasan mengenai nikah siri akan kembali dilihat pasal demi pasal oleh fraksi-fraksi

yang ada di DPR.

Dari daftar inventarisasi masalah yang telah masuk itu,akan muncul berbagai pandangan

mengenai rancangan pasal itu.“Mungkin saja ada yang cocok atau kurang cocok, mungkin

nanti bertemu, pemikiran yang lebih sesuai dari apa yang dikonsepkan sekarang,”ujarnya.

Ketua Umum DPP Partai Persatuan Pembangunan (PPP) ini mengakui, nikah siri dalam

syariah agama disahkan.

Namun dalam peraturan undang-undang hal itu tidak bisa disahkan karena belum tercatat

dalam administrasi negara. Untuk itu, Suryadharma meminta para pelaku nikah siri untuk

7
segera mencatatkan perkawinannya ke KUA. "Mereka harus mencatatkan itu

(pernikahannya ke KUA), bukan berarti nikahnya nggak sah. Bila tidak sah kan berarti

berzina bertahun-tahun," katanya.

Dirjen Bimas Islam Kementerian Agama Nasarudin Umar menjelaskan, maksud draf

RUU tersebut tiada lain hanya untuk menjadikan kewibawaan perkawinan terjaga karena

dalam Islam perkawinan adalah hal yang suci. Selain itu,RUU ini diajukan terkait masalah

kemanusiaan.

Dia berharap, adanya UU ini nantinya akan mempermudah anak mendapatkan haknya

seperti dapat warisan, hak perwalian, pembuatan KTP, paspor,serta tunjangan kesehatan

dan sebagainya. Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menyatakan dukungannya

terhadap draf RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan.Dalam

pandangannya, nikah siri itu lebih banyak merugikan anak-anak dan kaum perempuan.

"Anak-anak yang lahir dari kawin siri itu tidak diakui hukum dan tidak mendapatkan hak

waris," jelasnya di Gedung MK kemarin. Mahfud menyatakan,perempuan yang dinikahi

secara siri tidak diakui oleh hukum sehingga jika seseorang mempunyai dua istri,

kemudian istri pertama adalah hasil pernikahan yang tercatat dan istri kedua adalah hasil

nikah siri,maka istri pertama sangat kuat di hadapan hukum.

"Jika istri pertama mengatakan saya istri yang sah,maka hal itu tidak bisa dilawan dengan

hukum, "jelasnya.Kendati demikian, dia menggariskan bahwa RUU tersebut perlu

didiskusikan. Ketua Umum Fatayat NU Maria Ulfa Anshor juga mendukung langkah

pemerintah mengatur kawin siri. Secara tegas dia menyatakan kawin siri dan kawin

8
kontrak sangat berisiko bagi perempuan untuk menjadi korban.

Dia menolak pendapat yang menyebut pengaturan itu melanggar HAM walaupun

perkawinan merupakan isu privat. “Penegakan HAM bukan berarti semua hal yang terkait

dengan persoalan privat tidak ada aturannya. Negara mengatur dalam rangka memberikan

koridor. Nikah siri bisa berdampak timbulnya ketidakadilan bagi perempuan,”katanya.

Masalah Perdata

Wakil Ketua Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Arwani Faishal

mengingatkan bahwa pernikahan adalah masalah perdata. Karena itu akan menjadi

kezaliman pemerintah jika memenjarakan pelakunya. Dia kemudian membandingkan

dengan pelaku kumpul kebo yang jelas-jelas bertentangan dengan agama mana pun, tapi

tidak pernah dikenai sangsi pidana oleh negara.

"Lho, orang-orang yang menjalankan ajaran agama justru diancam dengan hukuman

penjara? Jika ini terjadi justru negara malah bertindak zalim,"kata Arwani. Menurutnya,

pernikahan siri atau pernikahan yang tidak didaftarkan secara administratif kepada negara

adalah perkara perdata yang tidak tepat jika diancam dengan hukuman penjara. Bahkan

sanksi material (denda) juga tetap memiliki dampak sangat buruk bagi masyarakat.

"Bila mengenakan denda dalam jumlah tertentu untuk orangorang yang melakukan nikah

siri, tentu hal ini dapat menimbulkan ketidakadilan. Bukan masalah bagi mereka yang

punya uang banyak. Namun tidak adil bagi mereka yang secara ekonomi hidupnya pas-

pasan,"kata Arwani. Dalam pandangannya, nikah siri memiliki berbagai dampak positif

(maslahah) dan dampak negatif (mafsadah) yang sama-sama besar.

9
Jika dilegalkan, akan sangat rawan disalahgunakan dan jika tidak diakui akan

bertentangan dengan syariat Islam. "Untuk itu dampak negatif dan positif pernikahan siri

harus dikaji dan disikapi bersama,"katanya.

2.4 Hukum Pernikahan Tanpa Wali

Adapun mengenai fakta pertama, yakni pernikahan tanpa wali; sesungguhnya Islam

telah melarang seorang wanita menikah tanpa wali. Ketentuan semacam ini didasarkan

pada sebuah hadits yang dituturkan dari sahabat Abu Musa ra; bahwasanya Rasulullah

saw bersabda;

‫ال نكاح إال بولي‬ 3

“Tidak sah suatu pernikahan tanpa seorang wali.” [HR yang lima kecuali Imam An

Nasaaiy, lihat, Imam Asy Syaukani, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2648].

Berdasarkan dalalah al-iqtidla’, kata ”laa” pada hadits menunjukkan pengertian ‘tidak

sah’, bukan sekedar ’tidak sempurna’ sebagaimana pendapat sebagian ahli fikih. Makna

semacam ini dipertegas dan diperkuat oleh hadits yang diriwayatkan oleh Aisyah ra,

bahwasanya Rasulullah saw pernah bersabda:

‫ فنكاحها باطل‬, ‫ فنكاحها باطل‬,‫أيما امرأة نكحت بغير إذن وليها فنكاحها باطل‬

“Wanita mana pun yang menikah tanpa mendapat izin walinya, maka pernikahannya

batil; pernikahannya batil; pernikahannya batil”. [HR yang lima kecuali Imam An

Nasaaiy. Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 230 hadits ke 2649].

Abu Hurayrah ra juga meriwayatkan sebuah hadits, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:

10
‫ال تزوج المرأة المرأة ال تزوج نفسها فإن الزانية هي التي تزوج نفسها‬ 4

”Seorang wanita tidak boleh menikahkan wanita lainnya. Seorang wanita juga tidak

berhak menikahkan dirinya sendiri. Sebab, sesungguhnya wanita pezina itu adalah

(seorang wanita) yang menikahkan dirinya sendiri”. (HR Ibn Majah dan Ad Daruquthniy.

Lihat, Imam Asy Syaukaniy, Nailul Authar VI: 231 hadits ke 2649)

Berdasarkan hadits-hadits di atas dapatlah disimpulkan bahwa pernikahan tanpa wali

adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada Allah swt, dan

berhak mendapatkan sanksi di dunia. Hanya saja, syariat belum menetapkan bentuk dan

kadar sanksi bagi orang-orang yang terlibat dalam pernikahan tanpa wali. Oleh karena itu,

kasus pernikahan tanpa wali dimasukkan ke dalam bab ta’zir, dan keputusan mengenai

bentuk dan kadar sanksinya diserahkan sepenuhnya kepada seorang qadliy (hakim).

Seorang hakim boleh menetapkan sanksi penjara, pengasingan, dan lain sebagainya

kepada pelaku pernikahan tanpa wali.

2.5 Nikah Tanpa Dicatatkan Pada Lembaga Pencatatan Sipil

Adapun fakta pernikahan siri kedua, yakni pernikahan yang sah menurut ketentuan

syariat namun tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil; sesungguhnya ada dua

hukum yang harus dikaji secara berbeda; yakni (1) hukum pernikahannya; dan (2) hukum

tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara

Dari aspek pernikahannya, nikah siri tetap sah menurut ketentuan syariat, dan

pelakunya tidak boleh dianggap melakukan tindak kemaksiyatan, sehingga berhak

dijatuhi sanksi hukum. Pasalnya, suatu perbuatan baru dianggap kemaksiyatan dan

berhak dijatuhi sanksi di dunia dan di akherat, ketika perbuatan tersebut terkategori

”mengerjakan yang haram” dan ”meninggalkan yang wajib”. Seseorang baru absah
11
dinyatakan melakukan kemaksiyatan ketika ia telah mengerjakan perbuatan yang haram,

atau meninggalkan kewajiban yang telah ditetapkan oleh syariat.

Begitu pula orang yang meninggalkan atau mengerjakan perbuatan-perbuatan yang

berhukum sunnah, mubah, dan makruh, maka orang tersebut tidak boleh dinyatakan telah

melakukan kemaksiyatan; sehingga berhak mendapatkan sanksi di dunia maupun di

akherat. Untuk itu, seorang qadliy tidak boleh menjatuhkan sanksi kepada orang-orang

yang meninggalkan perbuatan sunnah, dan mubah; atau mengerjakan perbuatan mubah

atau makruh.

Seseorang baru berhak dijatuhi sanksi hukum di dunia ketika orang tersebut;

pertama, meninggalkan kewajiban, seperti meninggalkan sholat, jihad, dan lain

sebagainya; kedua, mengerjakan tindak haram, seperti minum khamer dan mencaci

Rasul saw, dan lain sebagainya; ketiga, melanggar aturan-aturan administrasi negara,

seperti melanggar peraturan lalu lintas, perijinan mendirikan bangunan, dan aturan-aturan

lain yang telah ditetapkan oleh negara.

Berdasarkan keterangan dapat disimpulkan; pernikahan yang tidak dicatatkan di

lembaga pencatatan negara tidak boleh dianggap sebagai tindakan kriminal sehingga

pelakunya berhak mendapatkan dosa dan sanksi di dunia. Pasalnya, pernikahan yang ia

lakukan telah memenuhi rukun-rukun pernikahan yang digariskan oleh Allah swt. Adapun

rukun-rukun pernikahan adalah sebagai berikut; (1) wali, (2) dua orang saksi, dan (3) ijab

qabul. Jika tiga hal ini telah dipenuhi, maka pernikahan seseorang dianggap sah secara

syariat walaupun tidak dicatatkan dalam pencatatan sipil.

Adapun berkaitan hukum tidak mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan

negara, maka kasus ini dapat dirinci sebagai berikut.

12
Pertama, pada dasarnya, fungsi pencatatan pernikahan pada lembaga pencatatan sipil

adalah agar seseorang memiliki alat bukti (bayyinah) untuk membuktikan bahwa dirinya

benar-benar telah melakukan pernikahan dengan orang lain. Sebab, salah bukti yang

dianggap absah sebagai bukti syar’iy (bayyinah syar’iyyah) adalah dokumen resmi yang

dikeluarkan oleh negara. Ketika pernikahan dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil,

tentunya seseorang telah memiliki sebuah dokumen resmi yang bisa ia dijadikan sebagai

alat bukti (bayyinah) di hadapan majelis peradilan, ketika ada sengketa yang berkaitan

dengan pernikahan, maupun sengketa yang lahir akibat pernikahan, seperti waris, hak

asuh anak, perceraian, nafkah, dan lain sebagainya. Hanya saja, dokumen resmi yang

dikeluarkan oleh negara, bukanlah satu-satunya alat bukti syar’iy. Kesaksian dari saksi-

saksi pernikahan atau orang-orang yang menyaksikan pernikahan, juga absah dan harus

diakui oleh negara sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menetapkan bahwa satu-

satunya alat bukti untuk membuktikan keabsahan pernikahan seseorang adalah dokumen

tertulis. Pasalnya, syariat telah menetapkan keabsahan alat bukti lain selain dokumen

tertulis, seperti kesaksian saksi, sumpah, pengakuan (iqrar), dan lain sebagainya.

Berdasarkan penjelasan ini dapatlah disimpulkan bahwa, orang yang menikah siri tetap

memiliki hubungan pewarisan yang sah, dan hubungan-hubungan lain yang lahir dari

pernikahan. Selain itu, kesaksian dari saksi-saksi yang menghadiri pernikahan siri tersebut

sah dan harus diakui sebagai alat bukti syar’iy. Negara tidak boleh menolak kesaksian

mereka hanya karena pernikahan tersebut tidak dicatatkan pada lembaga pencatatan sipil;

atau tidak mengakui hubungan pewarisan, nasab, dan hubungan-hubungan lain yang lahir

dari pernikahan siri tersebut.

Kedua, pada era keemasan Islam, di mana sistem pencatatan telah berkembang

dengan pesat dan maju, tidak pernah kita jumpai satupun pemerintahan Islam yang

mempidanakan orang-orang yang melakukan pernikahan yang tidak dicatatkan pada


13
lembaga pencatatan resmi negara. Lebih dari itu, kebanyakan masyarakat pada saat itu,

melakukan pernikahan tanpa dicatat di lembaga pencatatan sipil. Tidak bisa dinyatakan

bahwa pada saat itu lembaga pencatatan belum berkembang, dan keadaan masyarakat saat

itu belumnya sekompleks keadaan masyarakat sekarang. Pasalnya, para penguasa dan

ulama-ulama kaum Muslim saat itu memahami bahwa hukum asal pencatatan pernikahan

bukanlah wajib, akan tetapi mubah. Mereka juga memahami bahwa pembuktian syar’iy

bukan hanya dokumen tertulis.

Nabi saw sendiri melakukan pernikahan, namun kita tidak pernah menemukan riwayat

bahwa melakukan pencatatan atas pernikahan beliau, atau beliau mewajibkan para shahabat

untuk mencatatkan pernikahan mereka; walaupun perintah untuk menulis (mencatat) beberapa

muamalah telah disebutkan di dalam al-Quran, misalnya firman Allah swt;

َ ْ‫يَاأَيُّهَا الَّ ِذينَ َءا َمنُوا إِ َذا تَدَايَ ْنتُ ْم بِ َد ْي ٍن إِلَى أَ َج ٍل ُم َس ّمًى فَا ْكتُبُوهُ َو ْليَ ْكتُبْ بَ ْينَ ُك ْم َكاتِبٌ بِ ْال َع ْد ِل َواَل يَأ‬
َ ُ‫اتِبٌ أَ ْن يَ ْكت‬ww‫ب َك‬
ُ ‫ هُ هَّللا‬w‫ا عَلَّ َم‬ww‫ب َك َم‬

‫ض ِعيفًا أَوْ اَل يَ ْست َِطي ُع أَ ْن‬


َ ْ‫ق َسفِيهًا أَو‬
ُّ ‫ق هَّللا َ َربَّهُ َواَل يَ ْب َخسْ ِم ْنهُ َش ْيئًا فَإ ِ ْن َكانَ الَّ ِذي َعلَ ْي ِه ْال َح‬
ِ َّ‫ق َو ْليَت‬
ُّ ‫فَ ْليَ ْكتُبْ َو ْليُ ْملِ ِل الَّ ِذي َعلَ ْي ِه ْال َح‬

ُّ َ‫وْ نَ ِمن‬w‫ض‬
‫هَدَا ِء‬w‫الش‬ ِ wَ‫ ٌل َوا ْم َرأَت‬w‫يُ ِم َّل ه َُو فَ ْليُ ْملِلْ َولِيُّهُ بِ ْال َع ْد ِل َوا ْستَ ْش ِهدُوا َش ِهي َدي ِْن ِم ْن ِر َجالِ ُك ْم فَإ ِ ْن لَ ْم يَ ُكونَا َر ُجلَ ْي ِن فَ َر ُج‬
َ ْ‫ان ِم َّم ْن تَر‬w

‫ ِه َذلِ ُك ْم‬wِ‫يرًا إِلَى أَ َجل‬wwِ‫ص ِغيرًا أَوْ َكب‬ َ ْ‫َض َّل إِحْ دَاهُ َما فَتُ َذ ِّك َر إِحْ دَاهُ َما اأْل ُ ْخ َرى َواَل يَأ‬
َ ُ‫ب ال ُّشهَدَا ُء إِ َذا َما ُدعُوا َواَل تَسْأ َ ُموا أَ ْن تَ ْكتُبُوه‬ ِ ‫أَ ْن ت‬

‫ا ٌح‬wwَ‫ْس َعلَ ْي ُك ْم ُجن‬


َ ‫ ِديرُونَهَا بَ ْينَ ُك ْم فَلَي‬wُ‫ ِديرُونَهَا بَ ْينَ ُك ْم ت‬wُ‫ َرةً ت‬w‫اض‬ َ ‫أَ ْق َسطُ ِع ْن َد هَّللا ِ َوأَ ْق َو ُم لِل َّشهَا َد ِة َوأَ ْدنَى أَاَّل تَرْ تَابُوا إِاَّل أَ ْن تَ ُكونَ تِ َج‬
ِ ‫ارةً َح‬

‫ ْي ٍء‬w ‫لِّ َش‬ww‫وا هَّللا َ َويُ َعلِّ ُم ُك ُم هَّللا ُ َوهَّللا ُ بِ ُك‬wwُ‫ق بِ ُك ْم َواتَّق‬ َ ُ‫أَاَّل تَ ْكتُبُوهَا َوأَ ْش ِهدُوا إِ َذا تَبَايَ ْعتُ ْم َواَل ي‬
ٌ ‫و‬w ‫ضا َّر َكاتِبٌ َواَل َش ِهي ٌد َوإِ ْن تَ ْف َعلُوا فَإِنَّهُ فُ ُس‬

‫َعلِي ٌم‬

”Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermu`amalah tidak secara tunai untuk

waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di

antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya

sebagaimana Allah telah mengajarkannya, maka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang

yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa

kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika
14
yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri

tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan

persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki diantaramu). Jika tak ada

dua orang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi

yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka seorang lagi mengingatkannya. Janganlah

saksi-saksi itu enggan (memberi keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu

jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang

demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih dapat menguatkan persaksian dan lebih dekat

kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu, (Tulislah mu`amalahmu itu), kecuali jika

mu`amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tak ada dosa

bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan

janganlah penulis dan saksi saling sulit-menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian),

maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada

Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”.[TQS AL Baqarah

(2):

Ketiga, dalam khazanah peradilan Islam, memang benar, negara berhak menjatuhkan

sanksi mukhalafat kepada orang yang melakukan tindakan mukhalafat. Pasalnya, negara

(dalam hal ini seorang Khalifah dan orang yang diangkatnya) mempunyai hak untuk

menetapkan aturan-aturan tertentu untuk mengatur urusan-urusan rakyat yang belum

ditetapkan ketentuan dan tata cara pengaturannya oleh syariat; seperti urusan lalu lintas,

pembangunan rumah, eksplorasi, dan lain sebagainya. Khalifah memiliki hak dan

berwenang mengatur urusan-urusan semacam ini berdasarkan ijtihadnya. Aturan yang

ditetapkan oleh khalifah atau qadliy dalam perkara-perkara semacam ini wajib ditaati dan

dilaksanakan oleh rakyat. Siapa saja yang melanggar ketetapan khalifah dalam urusan-

urusan tersebut, maka ia telah terjatuh dalam tindakan mukhalafat dan berhak mendapatkan
15
sanksi mukhalafat. Misalnya, seorang khalifah berhak menetapkan jarak halaman rumah

dan jalan-jalan umum, dan melarang masyarakat untuk membangun atau menanam di

sampingnya pada jarak sekian meter. Jika seseorang melanggar ketentuan tersebut, khalifah

boleh memberi sanksi kepadanya dengan denda, cambuk, penjara, dan lain sebagainya.

Khalifah juga memiliki kewenangan untuk menetapkan takaran, timbangan, serta

ukuran-ukuran khusus untuk pengaturan urusan jual beli dan perdagangan. Ia berhak untuk

menjatuhkan sanksi bagi orang yang melanggar perintahnya dalam hal tersebut. Khalifah juga

memiliki kewenangan untuk menetapkan aturan-aturan tertentu untuk kafe-kafe, hotel-hotel,

tempat penyewaan permainan, dan tempat-tempat umum lainnya; dan ia berhak memberi

sanksi bagi orang yang melanggar aturan-aturan tersebut.

Demikian juga dalam hal pengaturan urusan pernikahan. Khalifah boleh saja

menetapkan aturan-aturan administrasi tertentu untuk mengatur urusan pernikahan; misalnya,

aturan yang mengharuskan orang-orang yang menikah untuk mencatatkan pernikahannya di

lembaga pencatatan resmi negara, dan lain sebagainya. Aturan semacam ini wajib ditaati dan

dilaksanakan oleh rakyat. Untuk itu, negara berhak memberikan sanksi bagi orang yang tidak

mencatatkan pernikahannya ke lembaga pencatatan negara. Pasalnya, orang yang tidak

mencatatkan pernikahannya di lembaga pencatatan negara -- padahal negara telah menetapkan

aturan tersebut—telah terjatuh pada tindakan mukhalafat. Bentuk dan kadar sanksi mukhalafat

diserahkan sepenuhnya kepada khalifah dan orang yang diberinya kewenangan.

Yang menjadi catatan di sini adalah, pihak yang secara syar’iy absah menjatuhkan

sanksi mukhalafat hanyalah seorang khalifah yang dibai’at oleh kaum Muslim, dan orang

yang ditunjuk oleh khalifah. Selain khalifah, atau orang-orang yang ditunjuknya, tidak

memiliki hak dan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi mukhalafat. Atas dasar itu, kepala

negara yang tidak memiliki aqad bai’at dengan rakyat, maka kepala negara semacam ini tidak
16
absah menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada rakyatnya. Sebab, seseorang baru berhak ditaati

dan dianggap sebagai kepala negara jika rakyat telah membai’atnya dengan bai’at in’iqad dan

taat. Adapun orang yang menjadi kepala negara tanpa melalui proses bai’at dari rakyat

(in’iqad dan taat), maka ia bukanlah penguasa yang sah, dan rakyat tidak memiliki kewajiban

untuk mentaati dan mendengarkan perintahnya. Lebih-lebih lagi jika para penguasa itu adalah

para penguasa yang menerapkan sistem kufur alas demokrasi dan sekulerisme, maka rakyat

justru tidak diperkenankan memberikan ketaatan kepada mereka.

Keempat, jika pernikahan siri dilakukan karena faktor biaya; maka pada kasus semacam ini

negara tidak boleh mempidanakan dan menjatuhkan sanksi mukhalafat kepada pelakunya.

Pasalnya, orang tersebut tidak mencatatkan pernikahannya dikarenakan ketidakmampuannya;

sedangkan syariat tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya. Oleh karena itu,

Negara tidak boleh mempidanakan orang tersebut, bahkan wajib memberikan pelayanan

pencatatan gratis kepada orang-orang yang tidak mampu mencatatkan pernikahannya di

lembaga pencatatan Negara.

Kelima, pada dasarnya, Nabi saw telah mendorong umatnya untuk menyebarluaskan

pernikahan dengan menyelenggarakan walimatul ‘ursy. Anjuran untuk melakukan walimah,

walaupun tidak sampai berhukum wajib akan tetapi nabi sangat menganjurkan (sunnah

muakkadah). Nabi saw bersabda;

‫َح َّدثَنَا أَوْ لِ ْم َولَوْ بِ َشا ٍة‬

“Adakah walimah walaupun dengan seekor kambing”.[HR. Imam Bukhari dan Muslim]

Banyak hal-hal positif yang dapat diraih seseorang dari penyiaran pernikahan; di

antaranya adalah ; (1) untuk mencegah munculnya fitnah di tengah-tengah masyarakat; (2)

memudahkan masyarakat untuk memberikan kesaksiannya, jika kelak ada persoalan-


17
persoalan yang menyangkut kedua mempelai; (3) memudahkan untuk mengidentifikasi

apakah seseorang sudah menikah atau belum.

Hal semacam ini tentunya berbeda dengan pernikahan yang tidak disiarkan, atau

dirahasiakan (siri). Selain akan menyebabkan munculnya fitnah; misalnya jika perempuan

yang dinikahi siri hamil, maka akan muncul dugaan-dugaan negatif dari masyarakat terhadap

perempuan tersebut; pernikahan siri juga akan menyulitkan pelakunya ketika dimintai

persaksian mengenai pernikahannya. Jika ia tidak memiliki dokumen resmi, maka dalam

semua kasus yang membutuhkan persaksian, ia harus menghadirkan saksi-saksi pernikahan

sirinya; dan hal ini tentunya akan sangat menyulitkan dirinya. Atas dasar itu, anjuran untuk

mencatatkan pernikahan di lembaga pencatatan negara menjadi relevan, demi mewujudkan

kemudahan-kemudahan bagi suami isteri dan masyarakat serta untuk mencegah adanya fitnah.

18
BAB III

PENUTUP

3.1 Kesimpulan

Setelah kami membaca dan meneliti sumber-sumber dalam penyusunan makalah ini

kami mendapatkan kesimpulan bahwa Nikah Siri menurut syariat islam adalah sah jika

dilakukan dengan tata cara islam. Namun secara hukum di Negara kita belum ada kejelasan

tentang perkara ini. Maka Peradilan Agama Bidang Perkawinan mengajukan RUU Nikah Sirri

yang menuai kontroversi. Disatu sisi Nikah Sirri secara syariat Islam adalah sah, namun pada

kenyataannya pernikahan itu tidak akan dicatat petugas sipil sehingga akan menimbulkan

masalah ketika mereka akan mengurus kepentingan sebagai warga sipil. Selain itu Nikah Sirri

juga sedikitnya akan menimbulkan fitnah karena pernikahan tersebut dilaksanakan secara

sembunyi-sembunyi. Untuk para wanita yang melakukan Nikah Sirri, dalam Islam telah

melarang seorang wanita menikah tanpa wali karena dalam hadist telah dikatakan bahwa

pernikahan tanpa wali adalah pernikahan batil. Pelakunya telah melakukan maksiyat kepada

Allah swt, dan berhak mendapatkan sanksi di dunia.

3.2 Saran

Setelah kami menyimpulkan dan menarik garis-garis besar dari masalah Nikah Siri ini

kami dapat meberi saran dari permaslahan tersebut untuk para pembaca. Saran-saran tersebut

adalah sebagai berikut :

 Terlepas dari kontroversi yang ada tentang Nikah Siri, sebaiknya kita menghindari

nikah siri karena dilihat dari segi manapun nikah siri ini tidak memberikan keuntungan

bagi yang melaksanakannya

19
 Dalam islam nikah siri adalah sah jika dilaksanakan sesuai tata cara islam hanya saja

dalam nikah sirri ini pernikahan tidak dicatat di Kantor Urusan Agama yang mana

nantinya akan sulit untuk mengurus segala sesuatu yang berhubungan dengan

kepentingan sebagai warga sipil dan tidak menutup kemungkinan akan terjadi banyak

fitnah

 Kontroversi yang terjadi ditengah-tengah masyarakat tentang nikah sirri sebaiknya

ditanggapi secara objektif agar tidak terjadi bentrok antar kubo pro-kontra

20

You might also like