You are on page 1of 6

DEFINISI EBM

EBM menggunakan segala pertimbangan bukti ilmiah (evidence)


yang
sahih yang diketahui hingga kini untuk menentukan pengobatan pada
penderita yang sedang kita hadapi. Ini merupakan penjabaran bukti ilmiah
lebih lanjut setelah obat dipasarkan dan seiring dengan pengobatan
rasional.
(Iwan Darmansjah, Pusat Uji Klinik Obat FKUI, 2002)

Menurut Sackett et al. (1996) Evidence-based medicine (EBM)


adalah suatu pendekatan medik yang didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini
untuk kepentingan pelayanan kesehatan penderita. Dengan demikian, dalam
praktek, EBM memadukan antara kemampuan dan pengalaman klinik dengan
bukti-bukti ilmiah terkini yang paling dapat dipercaya.

Merupakan keterpaduan antara (1) bukti-bukti ilmiah yang berasal dari studi yang terpercaya
(best research evidence); dengan (2) keahlian klinis (clinical expertise) dan (3) nilai-nilai yang ada
pada masyarakat (patient values).( Sackett et al, 2000)

Penerapan pendekatan dan metode pembelajaran dalam proses pembelajaran berdasarkan


bukti-bukti ilmiah terbaik yang ada. (Harden et al, 1999)

Suatu sistem atau cara untuk menyaring semua data dan informasi dalam bidang kesehatan. Sehingga
seorang dokter hanya memperoleh informasi yang sahih dan mutakhir untuk mengobati pasiennya.
(Wirjo, 2002)

TUJUAN

Tujuan utama dari EBM adalah membantu proses pengambilan keputusan


klinik, baik untuk kepentingan pencegahan, diagnosis, terapetik, maupun
rehabilitatif yang didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini yang terpercaya dan
dapat dipertanggungjawabkan.
Dengan demikian maka salah satu syarat utama untuk memfasilitasi
pengambilan keputusan klinik yang evidence-based, adalah dengan
menyediakan bukti-bukti ilmiah yang relevan dengan masalah klinik yang
dihadapi serta diutamakan yang berupa hasil meta-analisis, review sistematik,
dan randomised controlled trial (RCT).

LANGKAH-LANGKAH
1. Pasien Mulailah dari pasien, bisa berupa :

• Masalah klinis apa yang dimiliki pasien kita


• Pertanyaan yang dikemukakan oleh pasien kita sehubungan dengan perawatan
penyakitnya

2. Pertanyaan Masalah dari pasien seperti tersebut no 1 kemudian dibuat pertanyaan

3. Sumber Mulailah melakukan pencarian sumber journal melalui internet untuk menjawab
pertanyan tersebut
4. Evaluasi Evaluasi apakah jurnal yang kita peroleh cukup valid , penting dan bisa
diaplikasikan 5. Pasien Aplikasikan temuan berdasarkan bukti ilmiah tersebut ke pasien
dengan mempertimbangkan kepentinga atau kebutuhan pasien dan kemampuan klinis dokter
6. Evaluasi Evaluasi hasil perawatan pasien tersebut

PENERAPAN

PELAyanan KESEhatan : Konsep Evidence Based Medicine merupakan


integrasi dari bukti- bukti penelitian yang terbaik dengan kemampuan klinik dan nilai-
nilaiyang dimiliki pasien. Bukti-bukti penelitian yang terbaik biasanya berasal dari
penelitian-penelitian klinik yang relevan. Kemampuan klinik merupakan komponen yang
penting dalam penerapan konsep EBM, Nilai-nilai yang dimiliki pasien merupakan harapan
dan keinginan pasien saat berobat, dan harus pula diintegrasikan dalam pengambilan
keputusan klinik saat melayani pasien tersebut(5) .

Ketiga elemen dasar tersebut harus diintegrasikan, sehingga dapat


dicapai hasil penatalaksanaan yang optimal dan peningkatan
kualitas hidup.

Penerapan EBM di Pusat pelayanan Kesehatan


Untuk dapat menerapkan pola pengambilan keputusan klinik yang berbasis pada
bukti ilmiah terpercaya diperlukan upaya-upaya yang sistematik, terencana, dan
melibatkan seluruh klinisi di bidang masing-masing. Pelatihan Evidence-based
medicine perlu didukung dengan perangkat lunak dan perangkat keras yang
memadai. Pada saat ini informasi-informasi ilmiah dapat diperoleh secara mudah
dari journal-journal biomedik melalui internet. Oleh sebab itu sudah selayaknya
setiap rumah-sakit melengkapi diri dengan fasilitas-fasilitas untuk searching dan
browsing yang dapat diakses secara mudah oleh para klinisi.
Pertemuan-pertemuan yang diselenggarakan untuk membahas masalah-
masalah klinik hendaknya difasilitasi dengan sumber-sumber informasi yang
memadai. Untuk ini diperlukan staf pendukung yang mampu secara kontinvu
men-down load full text paper dari berbagai journal biomedik. Informasi-
informasi yang ada kemudian dapat digunakan untuk mem-back-up keputusan-
keputusan klinik agar dapat berbasis pada bukti ilmiah yang terpercaya.
Sudah saatnya pula dilakukan sosialisasi secara sistematik kepada seluruh
jajaran pelayanan kesehatan untuk memanfaatkan hasil-hasil studi biomedik
dalam pengambilan keputusan klinik. Pusat-pusat pelayanan kesehatan dapat
bekerjasama dengan pusat-pusat pendidikan tinggi, khususnya Fakultas-fakultas
kedokteran dalam memverifikasi dan menetapkan hasil-hasil penelitian yang
valid yang dapat digunakan untuk pengambilan keputusan klinik.
Hambatan : Hambatan dalam praktek EBM

Hambatan dalam praktek EBM adalah: (1) kurangnya akses ter-


hadap bukti ilmiah, (2) kurangnya pengetahuan dalam telaah
kritis dan metodologi penelitian, (3) tidak adanya dukungan
organisasi, dan (4) tidak adanya dukungan dari para kolega.
Keterbatasan waktu para praktisi menuntut perlunya strategi
dalam praktek EBM, yaitu : (1) pengembangan strategi yang lebih
efisien untuk melacak dan melakukan analisis kritis terhadap
berbagai penelitian (termasuk menilai validitas dan relevansinya),
(2) pengembangan sistem informasi, dan (3) pengembangan
strategi cara belajar EBM. Keterbatasan waktu dan pemahaman
yang tidak memadai atas metodologi penelitian dan biostatistik
menyulitkan penerapan EBM.
Pelacakan pada database pubmed (www.pubmed.com) meng-
gunakan kata kunci hypertension menghasilkan lebih dari
250.000 artikel. Jumlah ini sangat banyak untuk ditelaah satu
demi satu. Penggunaan logika Boolean dengan penggabungan
kata kunci akan membantu mengkerucutkan hasil pencarian.
Pertanyaan yang sering muncul adalah manakah bukti ilmiah
yang paling baik

Secara lebih rinci,EBM merupakan keterpaduan antara best research evidence,clinical


expertise dan patient values. Best research evidence merupakan bukti2 ilmiah yg berasal dari
studi2 dgn metodologi terpercaya yg dilakukan secara benar. Studi yg dimaksud juga harus
menggunakan variabel2 penelitian yg dapat diukur dan dinilai secara obyektif serta
memanfaatkan metode2 pengukuran yg dapat menghindari risiko 'bias' dari peneliti. Utk bisa
menjabarkan EBM dgn baik diperlukan kemampuan klinik (clinical expertise) yg memadai.
Kemampuan tersebut mencakup pengidentifikasian secara cepat kondisi pasien,membuat
perkiraan diagnosis secara cepat dan tepat,mengenali faktor2 yg menyertai,dan
memperkirakan kemungkinan manfaat serta risiko dari bentuk penanganan yg akan diberikan.
Kemampuan klinik ini hendaknya disertai pula dgn pengenalan secara baik terhadap nilai2 yg
dianut dan harapan yg tersirat dari pasien (patient values).

Setiap pasien tentu mempunyai nilai2 tentang status kesehatan dan penyakitnya serta harapan
atas upaya penanganan dan pengobatan yg diterimanya. Hal2 seperti itu harus dipahami benar
oleh dokter agar setiap upaya pelayanan kesehatan yg dilakukan dapat diterima. Oleh karena
itu,terapi harus berdasarkan bukti2 ilmiah yg mempertimbangkan nilai2 subyektif yg dimiliki
pasien.

Alasan penerapan EBM adalah agar dapat memberikan terapi terbaik utk pasien. Selain
itu,makin meningkatnya pengetahuan dan tingkat pendidikan pasien telah menuntut dokter
utk melakukan yg terbaik menurut standar ilmu. EBM juga dapat melindungi dokter dari
tuntutan malpraktek akibat keputusan terapi yg tidak berdasarkan bukti karena EBM
merupakan sumber informasi terdepan mengenai diagnosis,prognosis,terapi dan pencegahan
yg sangat dibutuhkan dalam praktik dokter.

SEJARAH : Ilmu Kedokteran berkembang sangat pesat. Temuan dan hipotesis


yang diajukan pada waktu yang lalu secara cepat digantikan dengan temuan
baru yang segera menggugurkan teori yang ada sebelumnya. Sementara
hipotesis yang diujikan sebelumnya bisa saja segera ditinggalkan karena muncul
pengujian-pengujian hipotesis baru yang lebih sempurna. Sebagai contoh, jika
sebelumnya diyakini bahwa episiotomi merupakan salah satu prosedur rutin
persalinan khususnya pada primigravida, saat ini keyakinan itu digugurkan oleh
temuan yang menunjukkan bahwa episiotomi secara rutin justru sering
menimbulkan berbagai permasalahan yang kadang justru lebih merugikan bagi
quality of life pasien.5,6 Demikian pula halnya dengan temuan obat baru yang
dapat saja segera ditarik dari peredaran hanya dalam waktu beberapa bulan
setelah obat tersebut dipasarkan, karena di populasi terbukti memberikan efek
samping yang berat pada sebagian penggunanya.

Pada waktu yang lampau dalam menetapkan jenis intervensi pengobatan,


seorang dokter umumnya menggunakan pendekatan abdikasi (didasarkan pada
rekomendasi yang diberikan oleh klinisi senior, supervisor, konsulen maupun
dokter ahli) atau induksi (didasarkan pada pengalaman diri sendiri). Kedua
pendekatan tersebut saat ini (paling tidak, dalam 10 tahun terakhir) telah
ditinggalkan dan digantikan dengan pendekatan EBM, yaitu didasarkan pada
bukti-bukti ilmiah yang ditemukan melalui studi-studi yang terpercaya, valid, dan
reliable.

Efek dan khasiat obat yang ditawarkan oleh industri farmasi melalui duta-duta
farmasinya (detailer) umumnya unbalanced dan cenderung misleading atau
dilebih-lebihkan dan lebih berpihak pada kepentingan komersial. Penggunaan
informasi seperti ini juga termasuk dalam pendekatan abdikasi, yang jika
diterima begitu saja akan sangat berisiko dalam proses terapi.7,8

Secara ringkas, ada beberapa alasan utama mengapa EBM diperlukan,


Bahwa informasi up-date mengenai diagnosis, prognosis, terapi dan pencegahan
sangat dibutuhkan dalam praktek sehari-hari. Sebagai contoh, teknologi
diagnostik dan terapetik selalu disempurnakan dari waktu ke waktu, sehingga
bisa saja obat atau teknologi kesehatan yang sebelumnya diketahui terbaik di
masanya dapat segera digantikan oleh obat atau teknologi kesehatan yang lebih
efikasius dan aman.
Bahwa informasi-informasi tradisional (misalnya yang terdapat dalam text-book)
tentang hal-hal di atas sudah sangat tidak adekuat pada saat ini; beberapa
justru sering keliru dan menyesatkan (misalnya informasi dari pabrik obat yang
disampaikan oleh duta-duta farmasi/detailer), tidak efektif (misalnya continuing
medical education yang bersifat didaktik), atau bisa saja terlalu banyak sehingga
justru sering membingungkan (misalnya cukup banyak jenis obat yang di negara
asalnya sudah ditarik tetapi masih tetap beredar di Indonesia tanpa diketahui
oleh praktisi medik).
Dengan bertambahnya pengalaman klinik seseorang maka
kemampuan/ketrampilan untuk mendiagnosis dan menetapkan bentuk terapi
(clinical judgement) juga meningkat. Namun pada saat yang bersamaan,
kemampuan ilmiah (akibat terbatasnya informasi yang dapat diakses) serta
kinerja klinik (akibat hanya mengandalkan pengalaman, yang sering tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah) menurun secara signifikan.
Dengan meningkatnya jumlah pasien, waktu yang diperlukan untuk pelayanan
semakin banyak. Akibatnya, waktu yang dimanfaatkan untuk meng-up date ilmu
(misalnya membaca journal-journal kedokteran atau menghadiri seminar-
seminar ilmiah) sangatlah kurang. Dalam situasi tersebut bisa saja praktisi medik
tidak menyadari bahwa prasat medik yang dilakukan sebenarnya sudah tidak
lagi direkomendasikan pada saat ini. Jika tetap dilakukan, maka secara tidak
sadar yang bersangkutan telah melakukan medical error, atau memberikan jenis
terapi yang sudah usang (obsolete) atau bahkan tidak lagi dianjurkan
(abandoned).

KONSEP : Konsep Evidence Based Medicine (EBM) merupakan integrasi dari


bukti-bukti penelitian yang terbaik dengan kemampuan klinik dan nilai-nilai yang
dimiliki pasien. Bukti-bukti penelitian yang terbaik biasanya berasal dari
penelitian-penelitian klinik yang relevan.

Kemampuan klinik merupakan komponen yang penting dalam penerapan


konsep EBM, Nilai-nilai yang dimiliki pasien merupakan harapan dan keiinginan
yang dimiliki pasien pada saat berobat, dan harus pula diintegrasikan dalam
pengamblan keputusan klinik pada saat melayani pasien tersebut (Sacket,
2000). Ketiga elemen dasar tersebut harus diintegrasikan, sehingga dapat
dicapai hasil penatalaksanaan yang optimal dan peningkatan kualitas hidup

KELEBIHAN : EBM merupakan sirkulus yang diawali dari masalah pasien dan
berakhir pada keuntungan pasien,,, EBM merupakan integrasi kompetensi
profesional seorang dokter, dengan bukti dari penelitian yang sahih, dan
preferensi atau nilai-nilai yang dimiliki sang pasien,,,,

Aspek-aspek

Aspek medik : Fungsinya untuk mengelola penderita.

Aspek ilmiah : Untuk mensurvey keluhan, kelainan fisik, dan terapinya.

Aspek personal : Hubungan dokter dengan penderita menjadi lebih baik, kualitas dan
profesionalisme menjadi lebih baik.

Aspek sosial : Penerapan EBM secara luas akan meningkatkan kesadaran serta perhatian
masyarakat kepada kesehatan. (Soeleman, 2008)
evolusi sistem layanan kesehatan di rumah sakit secara prinsipnya mulai dari yang
bercirikan ’doing things cheaper’ dalam hal ini efficiency pada tahun 1970an pada
waktu krisis keuangan dan gejolak OPEC, kemudian ekonomi mulai pulih dan
masyarakat menuntut layanan kesehatan bercirikan ’doing things better’ dalam hal
ini quality improvement.

Selama dua dekade tersebut manajemen bercorak ’doing things right’ yang
merupakan kombinasi ’doing things cheaper’ dan ’doing things better’. Ternyata
prinsip ’doing things right’ tidak memadai mengikuti perkembangan kemajuan
teknologi maupun tuntutan masyarakat yang semakin kritis; dan prinsip manajemen
‘doing things right’ tersebut telah ketinggalan zaman dan dianggap sebagai prinsip
dan cara manajemen kuno.

Pada abad 21 ini menjelang era globalisasi dibutuhkan tidak hanya ’doing things
right’, akan tetapi juga diperlukan prinsip manajemen ‘doing the right things’ (dikenal
sebagai increasing effectiveness) sehingga kombinasi keduanya disebut sebagai
prinsip manajemen layanan modern ‘doing the right things right’.

You might also like