You are on page 1of 4

Biografi KH.

Ahmad Badawi
Ahmad Badawi lahir di Kauman, Yogyakarta pada tanggal 5 Februari
1902 sebagai putra ke-4. Ayahnya bernama KH. Muhammad Fakih (yang
merupakan salah satu Pengurus Muhammadiyah pada tahun 1912 sebagai
Komisaris), sedangkan ibunya bernama Nyai H. Sitti Habibah (yang
merupakan adik kandung dari KH. Ahmad Dahlan). Jika dirunut silsilah
dari garis ayah, maka Badawi memiliki garis keturunan dari Panembahan Senopati. Dalam
keluarga Badawi sangat kental dengan ditanamkan nilai-nilai agama. Dan ini sangat
mempengaruhi perilaku hidup dan etika kesehariannya. Di antara saudara-saudaranya,
Badawi memiliki kelebihan, yaitu senang berorganisasi. Hobinya ini menjadi ciri khusus
baginya yang tumbuh sedari masih remaja, yaitu ketika ia masih menempuh pendidikan.
Sejak masih belajar mengaji di pondok-pondok pesantren, dia sering membuat kelompok
belajar/ organisasi yang mendukung kelancaran proses mengajinya.
Usia dininya dilalui dengan belajar mengaji pada ayahnya sendiri. Pada tahun 1908-
1913 menjadi santri di Pondok Pesantren Lerab Karanganyar. Di pesantren ini ia belajar
banyak tentang nahwu dan sharaf. Pada tahun 1913-1915 ia belajar kepada ustadz KH.
Dimyati di Pondok Pesantren Termas Pacitan. Di pesantren ini, ia dikenal sebagai santri
yang pintar berbahasa Arab (Nahwu dan Sharaf) yang telah didapat di Pondok Lerab. Dan
pada tahun 1915-1920 Ahmad badawi mondok di Pesantren Besuk, di Wangkal Pasuruan.
Akhirnya ia mengakhiri pencarian ilmu agama di Pesantren Kauman dan Pesantren
Pandean di Semarang pada tahun 1920-1921. Sedangkan pendidikan formalnya hanya
didapatkan di Madrasah Muhammadiyah yang didirikan oleh KH. Ahmad Dahlan di
Kauman Yogyakarta, kemudian berubah menjadi Standaarschool dan kemudian menjadi
Sekolah Dasar.
Tumbuhnya organisasi-organisasi kebangsaan ketika usia Badawi masih remaja
membuatnya harus pandai-pandai untuk menentukan pilihan aktivitas organisasi. Masing-
masing organisasi berupaya menggalang anggota-anggotanya dengan berbagai macam cara
untuk bersatu mengusir pemerintah kolonial Belanda dengan berbagai variasi sesuai dengan
misi dan visi organisasinya.
Keinginannya untuk mengamalkan dan mengajarkan ilmu yang telah dipelajarinya
dari berbagai pesantren akhirnya mengantarkannya pada Muhammadiyah sebagai
pilihannya dalam beraktivitas. Hal ini dilatarbelakangi oleh misi, visi, dan orientasi
Muhammadiyah selaras dengan cita-cita Badawi. Keberadaannya di Muhammadiyah lebih
diperjelas dengan tercatatnya ia di buku Anggota Muhammadiyah Nomor 8543 pada
tanggal 25 September 1927. Keanggotaan ini diperbarui pada zaman Jepang sehingga ia
ditempatkan pada nomor 2 tertanggal 15 Februari 1944 (Jusuf Anis, tt, p. 25).
Pada masa perjuangan, Badawi pernah memasuki Angkatan Perang Sabil (APS). Ia
turut beroperasi di Sanden Bantul, Tegallayang, Bleberan, Kecabean Kulon Progo. Pada
tahun 1947-1949, Badawi menjadi Imam III APS bersama dengan KH. Mahfudz sebagai
Imam I dan KRH. Hadjid selaku Imam II untuk Daerah Istimewa Yogyakarta. Dia juga
pernah menjadi anggota Laskar Rakyat Mataram atas instruksi dari Sri Sultan Hamengku
Buwono IX, dan bergabung di Batlyon Pati dan Resimen Wiroto, MPP Gedongan. Pada
tahun 1950, Badawi dikukuhkan sebagai Wakil Ketua Majelis Syuro Masyumi di
Yogyakarta. Di partai ini, ia tidak banyak perannya, karena partai ini kemudian
membubarkan diri.
Semenjak ia berkiprah di Muhammadiyah, ia lebih leluasa mengembangkan potensi
dirinya untuk bertabligh. Keinginan ini dijalankan melalui kegiatan sebagai guru di sekolah
(madrasah) dan melalui kegiatan dakwah lewat pengajian dan pembekalan ke-
Muhammadiyah-an. Prestasi di bidang tabligh telah mengantarkan Badawi untuk dipercaya
menjadi Ketua Majlis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada tahun 1933. Pada
tahun-tahun berikutnya, ia juga diserahi amanat untuk menjadi Kepala Madrasah Za'imat
(yang kemudian digabung dengan Madrasah Mualimat pada tahun 1942). Di Madrasah
Mualimat ia mempunyai obsesi untuk memberdayakan potensi wanita, sehingga mereka
akan bisa menjadi mubalighat yang handal di daerahnya.
Semenjak itu, keberadaan Badawi tidak diragukan lagi. Di Pimpinan Pusat
Muhammadiyah ia selalu terpilih dan ditetapkan menjadi wakil ketua. Kemudian pada
waktu Muktamar Muhammadiyah ke-35 di Jakarta, Badawi terpilih menjadi Ketua
Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1962-1965, dan pada Muktamar Muhammadiyah
ke-36 di Bandung terpilih lagi menjadi Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode
1965 - 1968.
Citra politik Muhammadiyah pada periode kepemimpinan Badawi memang sedang
tersudut, karena banyaknya anggota Muhammadiyah yang menjadi anggota dan pengurus
Masyumi yang saat itu sedang menjadi target penghancuran oleh rezim Orde Lama. Citra
ini memang sengaja dihembus-hembuskan oleh PKI, bahwa Muhammadiyah dituduh anti-
Pancasila, anti-NASAKOM, dan pewaris DI/TII. Muhammadiyah saat berhadapan dengan
adanya banyak tekanan politik masa Orde Lama.
Menghadapi realitas politik seperti itu, Muhammadiyah akhirnya dipaksa berhadapan
dengan urusan-urusan politik praktis. Muhammadiyah sendiri kurang leluasa dalam
beradaptasi dan berinteraksi dengan sistem politik yang dibangun Orde Lama. Akhirnya
Muhammadiyah mengambil kebijakan politik untuk turut serta terlibat dalam urusan-urusan
kenegaraan. Meski demikian, realitas menunjukkan bahwa Muhammadiyah hanya mampu
mengerem laju pengaruh komunis di masa Orde Lama yang kurang mengedepankan nilai
agama dan moralitas bangsa.
Kebijakan Muhammadiyah seperti itu akhirnya membawa kedekatan Badawi dengan
Presiden Soekarno. Semenjak 1963, Badawi diangkat menjadi Penasehat Pribadi Presiden
di bidang agama. Perlu diperhatikan bahwa kedekatan Badawi dengan Soekarno bukan
untuk mencari muka Muhammadiyah di mata Presiden. KHA. Badawi sangat bijak dan
pintar dalam meloby Presiden dengan nuansa agamis. KHA. Badawi tidak menjilat dan
menjadi antek Soekarno seperti yang dilakukan oleh tokoh-tokoh lain. Ia memiliki prinsip
agama yang kuat, sehingga Muhammadiyah mengamanatkan kepadanya untuk mendekati
Soekarno. Kedekatan ini juga dirasakan oleh Soekarno, bahwa dirinya sangat memerlukan
nasehat-nasehat agama. Oleh karenanya bila KHA. Badawi memberikan masukan-masukan
yang disampaikan secara bijak, Soekarno sangat memperhatikannya. Bahkan Menteri-
menterinyapun diminta turut memperhatikan fatwa Badawi.
Bagi Muhammadiyah, hal ini sangat menguntungkan. Fitnahan terhadap
Muhammadiyah yang bernada negatif terus jalan, maka hal itu harus diimbangi dengan
upaya mengikisnya. Soekarno sendiri sadar bahwa Muhammadiyah senafas dan seiraman
dengan Masyumi, ia tetap membutuhkan kehadiran Muhammadiyah. Bahkan ia semakin
menyukainya atau untuk ballance of power policy (PP. Muhammadiyah, tt, halaman 6).
Iktikad baik Soekarno ini menunjukkan bahwa dirinya sangat memerlukan kahadiran
Muhammadiyah untuk mengimbangi keberadaan PNI, NU, dan PKI yang dirasanya lebih
dekat.
Nasehat-nasehat politik yang diberikan Badawi sangat berbobot dipandang dari
kacamata Islam. Secara relatif ia bisa mengendalikan Presiden Soekarno agar tidak terseret
terlalu jauh dari pengaruh-pengaruh komunis yang menggerogotinya. Siraman rohani
disampaikannya kepada Soekarno tidak terikat oleh ruang dan waktu. Di mana ada
kesempatan, Badawi memberikan nasehatnya kepada Presiden. Pada tahun 1968, ia
diangkat menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung. Pengangkatan ia berdasar pada
prestasinya ketika memimpin Muhamadiyah (1962-1965 dan 1965-1968) dan pengalaman
ia menjadi Penasehat Pribadi Presiden Soekarno di bidang agama. Di DPA, ia memberikan
nasehat kepada Presiden Soeharto di bidang agama Islam. Di Dewan Pertimbangan Agung,
KHA. Badawi sebenarnya sedikit memberikan nasehatnya pada awal Orde Baru. Hal ini
dikarenakan kondisi fisiknya yang sudah melemah. Penyakit yang disandangnya kurang
memungkinkan fisiknya yang sudah tua untuk turut berkiprah lebih banyak dalam
memberikan sumbangsihnya kepada negara dan bangsa.
Di samping sebagai pemimpin, Badawi juga produktif sebagai penulis. Karya-karya
tulis yang telah dihasilkannya antara lain ialah Pengadjian Rakjat,Kitab Nukilan Sju'abul-
Imam (bahasa Jawa),Kitab Nikah (huruf Pegon dan berbahasa Jawa),Kitab Parail (huruf
Latin berbahasa Jawa),Kitab Manasik Hadji (bahasa Jawa),Miah Hadits (bahasa Arab),
Mudzakkirat fi Tasji'il Islam (bahasa Arab),Qawaidul-Chams (bahasa Arab),Menghadapi
Orla (Bahasa Indonesia) dan Djadwal Waktu Shalat untuk selama2nja (HM.Jusuf Anis,tt:
27).
Badawi meninggal pada hari Jum'at 25 April 1969 pada pukul 09.45 di Rumah Sakit
PKU Muhammadiyah Yogyakarta. Upaya kedokteran tidak bisa menghadang takdir Allah
yang telah ditentukan atasnya. Di saat meninggal, Badawi masih menjabat sebagai anggota
Dewan Pertimbangan Agung dari tahun 1968. Sedang di Muhammadiyah ia ditempatkan
sebagai Penasehat PP. Muhammadiyah periode 1969-1971 berdasar hasil Muktamar
Muhammadiyah ke-37 di Yogyakarta.

You might also like