You are on page 1of 22

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam perkawinan, menjanda adalah hal yang biasa terjadi baik karena perceraian

maupun kematian. Didalam hukum adat kita mengenal garis keturunan keibuan,

kebapaan, dan keibu-bapaan yang mana mempunyai pengaruh yang berbeda terhadap

kedudukan janda.

Hal yang menarik dalam mempelajari kedudukan janda, karena dalam pandangan

sebagian masyarakat, perempuan mempunyai kedudukan yang rendah apalagi dalam

hal perkawinan stelsel kebapaan dengan uang jujur dimana perempuan dipandang

sebagai barang belian. Berbeda dengan perkawinan stelsel kebapaan yang berlaku

dalam sebagain persekutuan hukum. Di Indonesia pihak laki laki tetap mempunyai

kedudukan yang tinggi.


B. Rumusan Masalah

Adapun rumusan masalah dari latar belakang tersebut adalah :

1. Dalam KUH Perdata, kedudukan suami/istri adalah seimbang dan dibuka

2. kemungkinan mengadakan perjanjian perkawinan sebelum perkawinan

berlangsung.

3. Dalam hal ini perempuan /janda berhak menjadi waris dan dalan hal tertentu

berhak meniadakan perceraian.

4. Sama halnya dengan UU perkawinan No. 1/74, perkawinan juga memandang

hak suami istri dengan kedudukan yang seimbang. Akan tetapi dalam hal

waris bagi istrinya demikian sebaliknya.

5. Dari sisi lain yang mana sudut hukum Islam, yang di Indonesia merupakakn

agama yang paling besar penganutnya, kedudukan istri juga dianggap sebagai

waris dari suaminya, kedudukan istri/janda dalam hukum adat, dengan

mengingat bahwa dewasa ini masih banyak warga masyarakat yang

mempertahankan hukum adatnya

6. bagaimana konsekwensinya dengan perundang-undangan di Indonesia.


C. Tujuan

untuk memperoleh gambaran yang jelas tentang kedudukan istri dalam hukum adat

serta hubungannya dengan istri yang telah ditinggalkan suami (janda). Penulisan ini

juga bertujuan untuk mempelajari lebih jauh tentang kedudukan istri/janda dan

bagaimana kenyataannya dalam lapangan persekutuan hukum adat di Indonesia, hal

ini dimaksudkan untuk lebih mengetahui kedududkan janda/istri hubungannya

dengan perundang-undangan Indonesia dewasa ini.

D. Metode

1. Metode Penelitian

Dalam penelitian terhadap perkawinan menjanda kami menggunakan beberapa

metode, antara lain:

a. Observasi

Observasi seringkali diartikan sebagai suatu aktifitas.yakni memperhatikan sesuatu

hanya dengan mata telanjang. Di dalam pengertian psikologi, observasi meliputi

kegiatan pemusatan perhatian dengan sesuatu objek dengana menggunakan seluruh

panca indera. Observasi dapat dilakukan melalui penglihatan, penciuman,

pendengaran, peraba, dan pengecap. Semua kegiatan ini dinamakan observasi atau
pengamatan langsung. Observasi baru dapat dikatakan sebagai alat kumpul data,

apabila observasi tersebut memenuhi beberapa kriteria berikut ini:

1. Pengamatan telah direncanakan secara sistematis

2. Pengamatan harus berkaitan dengan tujuan penelitian

3. Pengamatan harus dicatat secara sistematis

4. Pengamatan dapat dicek dan dikontrol kebenarannya

Jenis – jenis observasi

- Observasi partisipasi

Dalam melakukan pengamatan, pengamat ikut terlibat dalam kegiatan yang sedang

diamatinya sehingga pengamat memperoleh data yang sebenarnya.

- Observasi simulasi

Dalam melakukan observasi simulasi, si pengamat diharapkan dapat mensimulasikan

keinginannya kepada responden. Dengan ini, responden dapat memberikan informasi

yang sesuai dengan keinginan si pengamat. Selain alat mencatat atau format tertentu,

digunakan alat bantu lain, seperti kamera, slide, dan perekam suara. Dengan alat –

alat tersebut, banyak objek pengamatan yang dapat direkam sehingga pengumpulan

data dapat lebih akurat.


Dalam kegiatan ini kami menggunakan metode observasi simulasi dengan cara

mencatat semua data – data yang kami peroleh. Selain itu dalam pengumpulan data

kami juga menggunakan alat bantu berupa kamera.

b. Wawancara

Untuk mendapatkan data melalui wawancara, perlu persiapan yang matang karena

mungkin kita perlu mengeksplorasi jawaban – jawaban yang diharapkan dari

responden pertanyaan yang akan diajukan sewaktu wawancara harus sudah

dipersiapkan dengan matang. Sikap ketika datang, keramahan, kesabaran, dan

keseluruhan penampilan peneliti akan sangat berpengaruh terhadap isi jawaban

responden. Dalam melakukan wawancara, sebaiknya pewawancara menggunakan alat

bantu, seperti alat tulis dan perekam. Ditinjau dari pelaksanaannya, maka wawancara

dibedakan atas 3 macam:

- Wawancara bebas

Dalam wawancara jenis ini, pewawancara secara bebas bertanya apa saja tanpa harus

menggunakan acuan pertanyaan.

- Wawancara terpimpin

Pada wawancara jenis ini, pewawancara membawa sederetan pertanyaan lengkap dan

terperinci, seperti wawancara terstruktur (pedoman wawancara yang disusun secara

terperinci).
- Wawancara bebas terpimpin

Wawancara jenis ini merupakan kombinasi dari wawancara bebas dan wawancara

terpimpin.

Dalam pengumpulan data yang kami lakukan, kami menggunakan metode wawancara

terpimpin karena kami sudah terlebih dahulu membuat pertanyaan yang akan

diajukan pada saat wawancara. Alat bantu yang kami gunakan dalam metode ini

berupa alat tulis untuk mencatat hasil wawancara.

c. Studi Kepustakaan

Studi kepustakaan merupakan suatu kegiatan pengumpulan data dan informasi dari

berbagai sumber, seperti buku yang memuat berbagai ragam kajian teori yang sangat

dibutuhkan peneliti, majalah, naskah, kisah sejarah, dan dokumen. Termasuk di

dalamnya adalah rekaman berita dari radio, televisi, dan media elektronik lainnya.

Pengumpulan data melalui metode ini mempunyai kelemahan sebagai berikut.

1.Informasi yang ada mungkin tidak dapat memenuhi kebutuhan penelitian karena

dikumpulkan orang lain.

2.Sulit menilai akurasi informasi.

3.Informasi sudah usang dan tidak relevan dengan situasi saat ini. Namun

penggunaan metode ini dinilai lebih mudah dan praktis.


BAB II

KERANGKA TEORI DAN LANDASAN

BERPIKIR

A. Kerangka Teori

1 . Pengertian Hukum Adat

Hukum adat dengan kedudukannya sebagai hukum asli bangsa Indonesia yang

merupakan perwujudan nilai-nilai hidup yang berkembang didalam masyarakat

Indonesia sendiri. Hukum adat sebagai ruang pembangun hukum Indonesia.

Sehingga hukum adat diletakkan sebagai pondasi dasar. Hukum adat adalah

sistem hukum asli Indonesia yang memiliki karakter yang berbeda dengan

sistem hukum barat namaun mencerminkan karakteristik masyarakat Indonesia itu

sendiri. adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas

bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah.


2. Perkawinan menurut Hukum Adat di Masyarakat

Indonesia

Tujuan perkawinan dalam adat adalah melanjutkan keturunan yang dalam

masyarakat yang berdasar organisasi clan. Perkawinan ini bertujuan untuk

meneruskan clannya. Di dalam masyarakat adat dikenal 3 (tiga) macam susunan

kekeluargaan yang mana mendasari bentuk-bentuk perkawinan dalam adat.

Adapun bentuk perkawinan yang dimaksud adalah :

1. Perkawinan dengan hukum kebapaan

2. Perkawinan dengan hukum keibuaan

3. Perkawinan dengan hukum keibu-bapaan

Menurut para sarjana hukum, perkawinan yang pertamam kali adalah hukum

keibuan.Ada beberapa alasan yang dikemukaan para sarjana antara lain oleh Wilken

dalam bukunya : opstelen overhet adat recht. Sebagaimana dikutip oleh datuk Usman,

SH; dalam bukunya, DIktat Hukum Adat II.

Disana dikemukakan beberapa alasan yaitu :

1. Dari cara manusia kuno stelsel keibuan sangat mungkin muncul oleh karena pada

masa tersebut perkawinan belumlah teratur maka seseorang hanya mengenal ibunya

dan ada kemungkinan tidak mengenal bapaaknya

2. Dalam stelsel kebapaan ada beberapa istilah yang bila diartikan seolah-olah hukum

kebapaan lahir dari keibuaan misalnya : Sabutuha – satu perut ditanah batak Berasal
Dari satu perut di Minangkabau Senina-satu nenek di Tanah Karo.

Terlepas dari hal bentuk perkawinan mana yang pertama lahir,ketiga bentuk

perkawinan di atas masih dapat dijumpai eksistensinya dilingkuingan – lingkungan

persekutuan hukum adat di Indonesia.

Selain berpengaruh pada sistem kekerabatan,hukum perkawinan ini juga memberi

hak-hak istimewa kepada pihak-pihak dalam perkawinan dalam hal-hal tertentu,

misalnya hubungan anak, harta kawin, pewarisan, dan sebagainya.

3. Sistem perkawinan adat

Berikut ini akan diuraikan sekilas tentang bentuk perkawinan diatas.

1. Perkawinan dengan sistim hukum kebapaan

Sifat perkawinan yang terpenting dalam stelsel kebapaan ini adalah pembayaran uang

jujurnya. Dengan perkawinan ini, pihak perempuan lepas dari ikatan kekeluargaanya

dan masuk dalam keluarga/clan pihak laki-laki/suaminya. Untuk mengembalikan

keseimbangan magisch ini, maka pihak laki-laki harus menyerahkan barang jujur

kepada pihak keluarga perempuan. Pada masa awalnya, barang jujur ini adalah

berupa benda yang sifatnya magisch akan tetapi lama kelamaan, barang jujur dapat

diganti dengan uang. Oleh karena barang jujur dapat diganti dengan uang maka

seolah-olah barang jujur berubah fungsi sebagai harga untuk membayar.


Beberapa kalangan memandang, seolah-olah istri/perempuan dalam stelsel kebapaan

sebagai barang belian yang oleh sebab itu punya kedudukan yang rendah dalam

masyarakat. Akan tetapi bila kita lihat dari sejarah,uang jujur ini adalah merupakan

suatu lembaga yang penting.

2. Perkawinan dengan sistem hukum keibuan

Di Indonesia sistem perkawinan dengan hukum keibuan ini dapat kita jumpai pada

masyarakat Minangkabau. Masyarakat Minangkabau yang terdiri dari Clan

Matrilineal dimana kedudukan wanita penting dan tinggi didalam rumah tanggapun

juga didlaam rapat-rapat clannya. Akan tetapi orang laki-laki juga diakui dan tinggi

didalam sistem perkawinan keibuan ini. Disisni kedudukan laki-laki adalah sebagai

orang yang dihormati dan orang ynag memegang kekuasaan.

Seorang laki-laki adalah berkuasa didalam kaumnya karena pihak laki-laki adalah

pengawas dari harta waris (mamak kepala waris) sedangkan dalam Clan isterinya,

pihak laki-laki termasuk orang yang dihormati karena meski pihak laki-laki tetap

berada dalam golongan sanak saudaranya namum ia berhak bergaul dengan kerabat

si isteri sebagai orang sumando (ipar).

Dalam hal warisan hanya pihak perempuanlah yang berhak menjadi pewaris, tetapi

pada kejataannya pihak laki-laki seolah-olah berhak mewarisi karena mamak kepala

waris adlah kepala pengawas harta pusaka. Pengawasan dalam hal ini adalah

termasuk tentang cara-cara pemakaian harta pusaka tadi. Oleh karena mamak harus
tinggal dirumah isterinya sebagaimana semua suami tinggal dengan isterinya maka

tugas mamak kepala waris ini sehari-harinya dapat diberikan kepada laki-laki yang

tinggal dalam kaumnya ya g sudah barang tentu adalah : tungganai atau ipar

(sumando) yang tertua.

4. Sistem perkawinan adat

Sistem perkawinan menurut hukum adat ada 3 macam :

1. Sistim Endogami

Yaitu suatu sistim perkawinan yang hanya memperbolehkan seseorang

melakukan perkawinan dengan seorang dari suku keluarganya sendiri

2. Sistim Eksogami

Yaitu suatu sistim perkawinan yang mengharuskan seseorang melakukan

perkawinan dengan seorang dari luar suku keluarganya.

3. Sistim Eleutherpgami

Yatu sistim perkawinan yang tidak mengenal larangan atau keharusan seperti

halnya dalam sistim endogami ataupun exogami


B. Landasan Berpikir

Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat yang masih menjunjung tinggi

adat dan kebudayaan asal mereka. Begitu juga dengan hukum adatnya, termasuk

hukum adat perkawinan. Disetiap adat memiliki hukum perkawinan yang berbeda-

beda, adat perkawinan dari masing-masing darerah turun menurun dan mereka masih

berpegang teguh dengan cara perkawinan mereka sesuai dengan adatnya


BAB III

ANALISA DAN PEMBAHASAN

A. KEDUDUKAN JANDA DALAM HAL PERCERAIAN

Dalam hukum adat, mengenai perceraian ini tidak lazim diatur karena menurut

hukum adat perkawinan adalah suatu yang magish dan tabu untuk melakukan

perceraian. Dalm hal perceraian tidak dapat dihindari maka kedudukan janda/isteri

para pihak dalam perkawinan adalah sangat tergantung pada bentuk perkawinan

tersebut.

Perkawinan dengan stelsel keibuan misalnya dengan perceraian tidak hak si

isteri/janda untuk meneruskan garis keturunan pada anak-anak yang lahir. Sedangkan

dalam harta gana-gini biasanya patuh pada pihak yang memelihara anak yaitu pihak

isteri/janda. Suami sebagai orang asing dalam clan isteri tidak mendapat harta gana-

gini karena perceraian kecuali harta benda asal dan pendapatan asal selama

perkawinan berlangsung.

Harta benda asal ini maksudnya adalah segala harta benda yang didapatnya dengan

usaha sendiri (tanpa bantuan isteri/suami) selama dalam perkawinan. Beberapa

halnya dengan stelsel kebapaan, dimana dengan perceraian juga tidak mengurangi
haknya atas garis keturunan anak-anak selama perkawinanpun dengan harta/barang

asal siisteri, berhak untuk diambil sendiri oleh si isteri dan atau kembali kepada

kerabat si isteri.

B. KEDUDUKAN JANDA DALAM HAL KEMATIAN SUAMI

Dalam stelsel kebapaan yang mana perkawinan dilangsungkan dengan membayar

uang jujur, kedudukan isteri adalah kurang dihargai pada daerah tertentu. Hal ini

dapat dibuktikan dengan adanya kewajiban bagi janda untuk melakukan leviraat

huwelijk. Akan tetapi bila kita lihat lebih dekat dalam hal perkawinan stelsel kebapaa

ini, kedudukan isteripun dengan janda adalah sangat istimewa.

Bagi orang Tapanuli misalnya kedudukan isteripun dengan janda yang ditinggalkan

mati suami dalam clan dan marga suami lebih tinggi dibandingkan dengan kedudukan

anak perempuan yang menjadi kakak atau adik dari suami. Hal ini kita lihat bahwa

dalam DALIHAN NATOLU, pihak boru harus hormat [ada pihak hula-hula].

Dalam hal ini kedudukan isteripun dengan janda dalam perkawinan jujur stelsel

kebapaan tidaklah seperti pandangan sebagaian ahli hukum adat. Tentang leveraat

huwelijk dilakukan adalah untuk menjamin kebutuhan hidup dari si janda, disamping

untuk mempertahankan keturunan marga. Ini juga sebagai bukti bahwa kedudukan

isteri/janda adalah tinggi dimana seorang perempuan akan punya kebanggan yang

melebihi kebanggan lain apabila ia telah dapat melahirkan anak dan dalam stelsel
kebapaan anak laki-laki adalah terbaik. Yang lebih menarik adalah kedudukan jandfa

dalam keluarga dengan stelsel keibu-baan, dimana kedudukan suami-istri dan anak

laki-laki serta anak perempuan adalah sama. Dalam hal ini janda yang ditinggal

mendiang suaminya berhak menguasai harta peninggalan dengan status hukum

Vruchgenot rech, hal ini mengakibatkan bahwa kedudukan para ahli waristerhalangi

dengan hak janda tersebut.

Menyangkut tentang kedudukannya dalam keluarga janda menjadi pengurus bagi

anak-anak dan harta peninggalan. Hak mana hanya sekedar pengurusan tanpa berhak

mengalihkannya, kecuali dalam hal-hal tertentu dengan izin dari ahli waris janda

boleh mengalihkannya. Namun untuk melindungi pihak ketiga yang dengan itikad

baik,hukum adat menentukan, bahwapenjualan barang peninggalan oleh janda tanpa

izin ahli waris tidaklah batal, melainkan tetap sah, sedangkan akibat lain yang timbul

diantara mereka (para waris dan janda) adalah masalah intern yang diselesaikan

dengan permufakatan diantara mereka.

C. DALAM HAL LAPANGAN HARTA PERKAWINAN

Seperti telah diuraikan diatas bahwa dalam lapangan harta perkawinan,Janda karena

perceraian tidak punya hak apa-apa kecuali harta/barang asal yang

dimilikinya,sedangkan dalam hal harta gana-gini janda tidak punya hak. Berbeda

dengan janda karena kematian suami, dia punya kedudukan yang agak

istimewa,jikalau misalnya anak-anak telah mencar semua istri sebagai janda tinggal
sendiri didalam rumahtangga yang ditinggaslkan oleh almarhum suaminya berhak

tetap tinggal di rumah tangga itu dengan hak untuk menguasai harta bendayang di

tinggalkan jika ia memerlukannnya untuk kehidupannyaKeputusan Raad va yustisi di

Jakarta tanggal 26 Mei 1939 (T.151 hal 193)menetapkan janda tidak dianggap

sebagai waris almarhum suaminya, akan tetapi ia berhak menerima penghasilan dari

harta peninggalan si suami, jika ternyata harta gana-gini tidak mencukupi dan ia

berhak untuk terus hidup sedapat-dapatnya seperti keadaan pada waktu perkawinan.

Akan tetapi dalam hal-hal tertentu janda dapat dikecualikan dari ketentuan tersebut

diatas. Misalnya dalam susunan kasanak-saudaraan pada garis keturunan ibu. Seperti

di Minangkabau dimana isteri tidak memerlukan nafkah dari harta peninggalan

suaminya.

Oleh karena kematian suaminya, seorang janda mempunyai hak antara lain :

a. Selama hidupnya atau selama dia belum kawin lagi, janda tadi berhak untuk

mengurus harta peninggalan suaminya. Pengurus ini tidak dapat dicabut.

b. Janda dalam hal harta peninggalan (barang asal suami, barang asal isteri dan harta

gono-gini) dibolehkan membagi-bagikan antara semua anak. Dalam hal ini anak-anak

wajib memelihara ibunya.

c. Janda berhak menguasai harta peninggalan dalam hal sebagiannya guna

kepentingan rumah tangga. Dalam hal si janda kawin lagi dan atau meninggal dunia

maka harta peninggalan tersebut dibagi para ahli warisnya.


D. TENTANG JANDA TAK PUNYA ANAK

Kedudukan janda yang tak punya anak adalah sangat perlu untuk ditelaah mengingat

dalam hukum adat janda bukanlah sebagai ahli waris dari suami. Hal yang lebih

penting dan erat hubungannya adalah bilamana suami punya anak dari isteri yang

lain.

Menurut Ter Haar bahwa pangkal pikiran hukum adat adalah isteri sebagai orang luar

tidak punya hak sebagai waris, akan tetapi sebagai isteri dia berhak mendapat napkah

dari harta peninggalan selama ia membutuhkannya.

Di Minangkabau misalnya yang berdasarkan garis keturunan ibu Moeder Rechttelijk

isteri tidak membutuhkan napkah dari harta peninggalan suami. Dalam hal ini janda

mendapat bagian dari harta peninggalan suami bukanlah sebagai waris melainkan hak

untuk menarik penghasilan (Veruchtgenoot) dari harta peninggalan suami seumur

hidupnya selama ia memerlukan untuk nafkahnya. Janda dapat pula diberi bagian

yang lanyak sekaligus dari harta peninggalan suami.

Adakalanya harta peninggalan dibiarkan tetap berada pada janda termasuk segala

barang asal dari suami, akan tetapai barang tersebut boleh pula dibagi-bagi para

waris, asal saja kehidupan sijanda tetap terpelihara. Dalam hal janda kawin lagi

dengan orang lain maka ia keluar dari rumah tangga bekas suaminya dan menjadi

anggota keluarga baru. Bial terjadi demikian barang gono-gini dapat dibagi antara

para waris disatu pihak dan janda dipihak lain sedangkan barang asal suami tetap

berada hanya pada ahli waris suami.


Jadi pemberian sebagai harta peninggalan kepada janda bukanlah karena

pewarisan akan tetapi hanya atas dasar pemukatan dari para ahli waris suami.

E. Perceraian menurut hukum adat dan UU No 1 th 1974

Masyarakat adat pada umumnya memandang perceraian sebagai suatu yang wajib

dihindari. Perceraian menurut adat merupakan problema sosial dan yuridis.

Perceraian adalah suatu yang tidak dikehendaki atau dilarang.

Pasal 39 mengatakan :

Bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah

pengadilan yang bersangkutan tidak mendamaikan kedua pihak, danuntuk

melakukan perceraian harus cukup alasan bahwa suami istritidak dapat hidup

rukun sebagai suami istri.

Alasan atau sebab- sebab perceraian di dalam penjelasan pasal 39 Undang-

undang No. 1 Tahun 1974 :

1. Setelah satu pihak berbuat zina, pemabuk, pemadat, penjudi, dan lain

sebagainya yang sukar disembuhkan.

2. Salah satu pihak menunggalkan yang lain selama dua tahun berturut-

turuttanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal di luar

kemampuan.
3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hubungan yang

lebih erat setelah perkawinan berlangsung.

4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaanberat yang

membahayakan pihak lain.

5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan

tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai suami- istri.

6. terjadi perselisihan terus menerus antara suami istri an tidak ada harapan akan

hidup lagi dan tidak ada harapan akan hidup lagi dalam rumah tangga.
BAB IV

SIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari uraian diatas ditarik kesimpulan :

1. Hukum adat mengenal bentuk-bentuk hukum perkawinan, yang mana

mempengaruhi kedudukan janda dan ahli warisnya.

2. Dalam hal janda adalah sebagai ahli waris atau tidak, tergantung kepada keputusan

hakim yang menetapkannya karena dalam hukum adat tidak ditemukan suatu

kepastian hukum yang umum berlaku.

3. Walaupun hukum adat memandang janda bukan sebagai ahli waris namun janda

berhak atas nafkah hidupnya sepanjang dan nyata-nyata dia membutuhkannya dan

berhak untuk menahan dan atau menguasai barang asal suaminya jika barang gono-

gini tidak mencukupi.

4. Pengecualian dalam hal persatuan rumah tangga lekas gugur dimana hak untuk

menahan harta asal suami dan nafkah untuk janda tidak berlaku tetapi ia hanya berhak

atas pemberian ahli waris suami.


B. SARAN

1. Kedudukan janda harus lebih diperhatikan mengingat tugas seseorang ibu adalah

mulia.

2. Agar pelaksanaan kedudukan suami-isteri adalah sama dan seimbang sebagaimana

diamanatkan Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 ditindak lanjuti dengan

peraturan perundang-undangan
DAFTAR PUSTAKA

Soepomo, R. Prof, Dr, SH. Bab-Bab Tentang Hukum Adat, Pradnya Paramith,

Cet 12, 1989

Datuk Usman, SH. Diktat Kuliah Hukum Adat I, Usu Press

Subekti, R, SH, Prof. Kitab Unudang-Undang Perdata

Imam Sudyat, SH, Prof. Hukum Adat Sketsa Asas, Liberty Yogyakarta, Cet 2,

1981

http://id.wikipedia.org/wiki/Hukum_adat

http://www.scribd.com/doc/9771640/Materi-Karya-Ilmiah-

http://id.wikipedia.org/wiki/Upacara_pernikahan#Adat_Sunda

You might also like