You are on page 1of 27

c 

 
A. Latar belakang
Seorang filsuf China; Lao Chai, pernah berkata bahwa suatu perjalanan yang
bermil-mil jauhnya dimulai dengan hanya satu langkah. Pembaca dari materi ini
juga baru memulai suatu langkah ke dalam lapangan dari suatu bidang ilmu yang
disebut dengan Antropologi. Benda apa yang disebut dengan Antropologi itu?
Beberapa atau bahkan banyak orang mungkin sudah pernah mendengarnya.
Beberapa orang mungkin mempunyai ide-ide tentang Antropologi yang didapat
melalui berbagai media baik cetak maupun elektronik.
Beberapa orang lagi bahkan mungkin sudah pernah membaca literatur-literatur
atau tulisan-tulisan tentang Antropologi. Banyak orang berpikir bahwa para ahli
Antropologi adalah ilmuwan yang hanya tertarik pada peninggalan-peninggalan
masa lalu; Antroplogi bekerja menggali sisa-sisa kehidupan masa lalu untuk
mendapatkan pecahan guci-guci tua, peralatan-peralatan dari batu dan kemudian
mencoba memberi arti dari apa yang ditemukannya itu.
Pandangan yang lain mengasosiasikan Antropologi dengan teori Evolusi dan
mengenyampingkan kerja dari Sang Pencipta dalam mempelajari kemunculan dan
perkembangan mahluk manusia. Masyarakat yang mempunyai pandangan yang
sangat keras terhadap penciptaan manusia dari sudut agama kemudian melindungi
bahkan melarang anak-anak mereka dari Antroplogi dan doktrin-doktrinnya.
Bahkan masih banyak orang awam yang berpikir kalau Antropologi itu bekerja
atau meneliti orang-orang yang aneh dan eksotis yang tinggal di daerah-daerah
yang jauh dimana mereka masih menjalankan kebiasaan-kebiasaan yang bagi
masyarakat umum adalah asing.
Semua pandangan tentang ilmu Antroplogi ini pada tingkat tertentu ada benarnya,
tetapi seperti ada cerita tentang beberapa orang buta yang ingin mengetahui
bagaimana bentuk seekor gajah dimana masing-masing orang hanya meraba
bagian-bagian tertentu saja sehingga anggapan mereka tentang bentuk gajah
itupun menjadi bermacam-macam, terjadi juga pada Antropologi. Pandangan yang
berdasarkan informasi yang sepotong-sepotong ini mengakibatkan kekurang
pahaman masyarakat awam tentang apa sebenarnya Antropologi itu.
Antropologi memang tertarik pada masa lampau. Mereka ingin tahu tentang asal-
mula manusia dan perkembangannya, dan mereka juga mempelajari masyarakat-
masyarakat yang masih sederhana (sering disebut dengan primitif). Tetapi
sekarang Antropologi juga mempelajari tingkah-laku manusia di tempat-tempat
umum seperti di restoran, rumah-sakit dan di tempat-tempat bisnis modern
lainnya. Mereka juga tertarik dengan bentuk-bentuk pemerintahan atau negara
modern yang ada sekarang ini sama tertariknya ketika mereka mempelajari
bentuk-bentuk pemerintahan yang sederhana yang terjadi pada masa lampau atau
masih terjadi pada masyarakat-masyarakat di daerah yang terpencil.
Oleh karena itu, hubungan antara Antropologi dan kebudayaan itu sendiri tidak
dapat dipisah. Sebab, apa yang dicari oleh Antropologi merupakan hasil dari
kebudayaan manusia. Kebudayaan tercipta karena individu manusia itu sendiri
yang berusaha menciptakannya. Seperti kata orang, manusia itu tidak pernah puas
dengan hal yang sudah ia capai. Oleh karena itu, hal itu pulalah yang menjadi
cambuk untuk menciptakan hal-hal baru dalam kehidupannya. Itulah yang
dinamakan kebudayaan.
Tetapi, perlu digarisbawahi bahwa Antropologi bukanlah pemulung yang
memunguti artefak-artefak yang telah ditinggalkan manusia (sampah). Bukan.
Namun, Antropologi merupakan jembatan yang akan menghubungkan suatu pola
kehidupan generasi yang telah berlalu dengan generasi sekarang dan akan datang.

B. Batasan masalah
Dalam penulisan makalah ini penulis akan batasi masalah pembahasan ini agar
tidak terjadi tumpang tindih tentang hal ini, batasan masalah ini adalah sebagai
berikut, sejarah, defenisi antropologi dan olahraga, sosial dan kebudayaan, serta
etika dan moral dalam berolahraga.

BAB II
PEMBAHASAN

Sebelum penulis membahas tentang antrpologi olahraga maka terlebih dahulu


penulis akan menarik benang merah suatu makalah ini tentang sejarah antropologi
agar tidak mengambang dan terlalu mengada-ada rentang pembahasan
pembahasan lebih lanjut.
A. Sejarah
Seperti halnya sosiologi, antropologi sebagai sebuah ilmu juga mengalami
tahapan-tahapan dalam perkembangannya. Koentjaraninggrat menyusun
perkembangan ilmu Antropologi menjadi empat fase sebagai berikut:
- Fase Pertama (Sebelum tahun 1800-an)
Manusia dan kebudayaannya, sebagai bahan kajian Antropologi.
Sekitar abad ke-15-16, bangsa-bangsa di Eropa mulai berlomba-lomba untuk
menjelajahi dunia. Mulai dari Afrika, Amerika, Asia, hingga ke Australia. Dalam
penjelajahannya mereka banyak menemukan hal-hal baru. Mereka juga banyak
menjumpai suku-suku yang asing bagi mereka. Kisah-kisah petualangan dan
penemuan mereka kemudian mereka catat di buku harian ataupun jurnal
perjalanan. Mereka mencatat segala sesuatu yang berhubungan dengan suku-suku
asing tersebut. Mulai dari ciri-ciri fisik, kebudayaan, susunan masyarakat, atau
bahasa dari suku tersebut. Bahan-bahan yang berisi tentang deskripsi suku asing
tersebut kemudian dikenal dengan bahan etnografi atau deskripsi tentang bangsa-
bangsa.
Bahan etnografi itu menarik perhatian pelajar-pelajar di Eropa. Kemudian, pada
permulaan abad ke-19 perhatian bangsa Eropa terhadap bahan-bahan etnografi
suku luar Eropa dari sudut pandang ilmiah, menjadi sangat besar. Karena itu,
timbul usaha-usaha untuk mengintegrasikan seluruh himpunan bahan etnografi.
- Fase Kedua (tahun 1800-an)
Pada fase ini, bahan-bahan etnografi tersebut telah disusun menjadi karangan-
karangan berdasarkan cara berpikir evolusi masyarakat pada saat itu. masyarakat
dan kebudayaan berevolusi secara perlahan-lahan dan dalam jangka waktu yang
lama. Mereka menganggap bangsa-bangsa selain Eropa sebagai bangsa-bangsa
primitif yang tertinggal, dan menganggap Eropa sebagai bangsa yang tinggi
kebudayaannya
Pada fase ini, Antopologi bertujuan akademis, mereka mempelajari masyarakat
dan kebudayaan primitif dengan maksud untuk memperoleh pemahaman tentang
tingkat-tingkat sejarah penyebaran kebudayaan manusia.
- Fase Ketiga (awal abad ke-20)
Pada fase ini, negara-negara di Eropa berlomba-lomba membangun koloni di
benua lain seperti Asia, Amerika, Australia dan Afrika. Dalam rangka
membangun koloni-koloni tersebut, muncul berbagai kendala seperti serangan
dari bangsa asli, pemberontakan-pemberontakan, cuaca yang kurang cocok bagi
bangsa Eropa serta hambatan-hambatan lain. Dalam menghadapinya,
pemerintahan kolonial negara Eropa berusaha mencari-cari kelemahan suku asli
untuk kemudian menaklukannya. Untuk itulah mereka mulai mempelajari bahan-
bahan etnografi tentang suku-suku bangsa di luar Eropa, mempelajari kebudayaan
dan kebiasaannya, untuk kepentingan pemerintah kolonial.
- Fase Keempat (setelah tahun 1930-an)
Pada fase ini, Antropologi berkembang secara pesat. Kebudayaan-kebudayaan
suku bangsa asli yang di jajah bangsa Eropa, mulai hilang akibat terpengaruh
kebudayaan bangsa Eropa.
Pada masa ini pula terjadi sebuah perang besar di Eropa, Perang Dunia II. Perang
ini membawa banyak perubahan dalam kehidupan manusia dan membawa
sebagian besar negara-negara di dunia kepada kehancuran total. Kehancuran itu
menghasilkan kemiskinan, kesenjangan sosial, dan kesengsaraan yang tak
berujung.
Namun pada saat itu juga, muncul semangat nasionalisme bangsa-bangsa yang
dijajah Eropa untuk keluar dari belenggu penjajahan. Sebagian dari bangsa-bangsa
tersebut berhasil mereka. Namun banyak masyarakatnya yang masih memendam
dendam terhadap bangsa Eropa yang telah menjajah mereka selama bertahun-
tahun.
Proses-proses perubahan tersebut menyebabkan perhatian ilmu antropologi tidak
lagi ditujukan kepada penduduk pedesaan di luar Eropa, tetapi juga kepada suku
bangsa di daerah pedalaman Eropa seperti suku bangsa Soami,

B. Defenisi antropologi
Antropologi adalah suatu studi ilmu yang mempelajari tentang manusia baik dari
segi budaya, perilaku, keanekaragaman, dan lain sebagainya. Antropologi adalah
istilah kata bahasa Yunani yang berasal dari kata anthropos dan logos. Anthropos
berarti manusia dan logos memiliki arti cerita atau kata.
Objek dari antropologi adalah manusia di dalam masyarakat suku bangsa,
kebudayaan dan prilakunya. Ilmu pengetahuan antropologi memiliki tujuan untuk
mempelajari manusia dalam bermasyarakat suku bangsa, berperilaku dan
berkebudayaan untuk membangun masyarakat itu sendiri.
Antropologi adalah salah satu cabang ilmu sosial yang mempelajari tentang
budaya masyarakat suatu etnis tertentu. Antropologi lahir atau muncul berawal
dari ketertarikan orang-orang Eropa yang melihat ciri-ciri fisik, adat istiadat,
budaya yang berbeda dari apa yang dikenal di Eropa.
Antropologi lebih memusatkan pada penduduk yang merupakan masyarakat
tunggal, tunggal dalam arti kesatuan masyarakat yang tinggal daerah yang sama,
antropologi mirip seperti sosiologi tetapi pada sosiologi lebih menitik beratkan
pada masyarakat dan kehidupan sosialnya.
Antropologi berasal dari kata Yunani anthropos yang berarti "manusia" atau
"orang", dan logos yang berarti ilmu. Antropologi mempelajari manusia sebagai
makhluk biologis sekaligus makhluk sosial.
Antropologi memiliki dua sisi holistik dimana meneliti manusia pada tiap waktu
dan tiap dimensi kemanusiaannya. Arus utama inilah yang secara tradisional
memisahkan antropologi dari disiplin ilmu kemanusiaan lainnya yang
menekankan pada perbandingan/perbedaan budaya antar manusia. Walaupun
begitu sisi ini banyak diperdebatkan dan menjadi kontroversi sehingga metode
antropologi sekarang seringkali dilakukan pada pemusatan penelitian pada
penduduk yang merupakan masyarakat tunggal. Defenisi Antropologi menurut
beberapa ahli :
‡ William A. Havilland: Antropologi adalah studi tentang umat manusia, berusaha
menyusun generalisasi yang bermanfaat tentang manusia dan perilakunya serta
untuk memperoleh pengertian yang lengkap tentang keanekaragaman manusia.
‡ David Hunter:Antropologi adalah ilmu yang lahir dari keingintahuan yang tidak
terbatas tentang umat manusia.
‡ Koentjaraningrat: Antropologi adalah ilmu yang mempelajari umat manusia
pada umumnya dengan mempelajari aneka warna, bentuk fisik masyarakat serta
kebudayaan yang dihasilkan.
Dari definisi-definisi tersebut, dapat disusun pengertian sederhana antropologi,
yaitu sebuah ilmu yang mempelajari manusia dari segi keanekaragaman fisik serta
kebudayaan (cara-cara berprilaku, tradisi-tradisi, nilai-nilai) yang dihasilkan
sehingga setiap manusia yang satu dengan yang lainnya berbeda-beda.
Macam-Macam Jenis Cabang Disiplin Ilmu Anak Turunan Antropologi :
a) Antropologi Fisik
1. Paleoantrologi adalah ilmu yang mempelajari asal usul manusia dan evolusi
manusia dengan meneliti fosil-fosil.
2. Somatologi adalah ilmu yang mempelajari keberagaman ras manusia dengna
mengamati ciri-ciri fisik.
b) Antropologi Budaya
1. Prehistori adalah ilmu yang mempelajari sejarah penyebaran dan perkembangan
budaya manusia mengenal tulisan.
2. Etnolinguistik antrologi adalah ilmu yang mempelajari suku-suku bangsa yang
ada di dunia / bumi.
3. Etnologi adalah ilmu yang mempelajari asas kebudayaan manusia di dalam
kehidupan masyarakat suku bangsa di seluruh dunia.
4. Etnopsikologi adalah ilmu yang mempelajari kepribadian bangsa serta peranan
individu pada bangsa dalam proses perubahan adat istiadat dan nilai universal
dengan berpegang pada konsep psikologi.
Di samping itu ada pula cabang ilmu antropologi terapan dan antropologi
spesialisasi. Antropology spesialisasi contohnya seperti antropologi politik,
antropologi kesehatan, antropologi ekonomi, dan masih banyak lagi yang lainnya.

C. Defenisi olahraga
Makna olahraga menurut ensiklopedia Indonesia adalah gerak badan yang
dilakukan oleh satu orang atau lebih yang merupakan regu atau rombongan.
Sedangkan dalam Webster¶s New Collegiate Dictonary (1980) yaitu ikut serta
dalam aktivitas fisik untuk mendapatkan kesenangan, dan aktivitas khusus seperti
berburu atau dalam olahraga pertandingan (athletic games di Amerika Serikat)
Menurut Cholik Mutohir olahraga adalah proses sistematik yang berupa segala
kegiatan atau usaha yang dapat mendorong mengembangkan, dan membina
potensi-potensi jasmaniah dan rohaniah seseorang sebagai perorangan atau
anggota masyarakat dalam bentuk permainan, perlombaan/pertandingan, dan
prestasi puncak dalam pembentukan manusia Indonesia seutuhnya yang
berkualitas berdasarkan Pancasila.
Untuk penjelasan pengertian olahraga menurut Edward (1973) olahraga harus
bergerak dari konsep bermain, games, dan sport. Ruang lingkup bermain
mempunyai karakteristik antara lain; a. Terpisah dari rutinitas, b. Bebas, c. Tidak
produktif, d. Menggunakan peraturan yang tidak baku. Ruang lingkup pada games
mempunyai karakteristik; a. ada kompetisi, b. hasil ditentukan oleh keterampilan
fisik, strategi, kesempatan. Sedangkan ruang lingkup sport; permainan yang
dilembagakan.
Tujuan utama olahraga bukanlah pembangunan fisik saja melainkan juga
pembangunan mental dan spiritual. Olahraga (Lama) ialah merupakan suatu
kegiatan yang dilakukan atas pilihan sendiri yang bermaksud menguatkan diri
baik phisik maupun psychis tanpa mengharapkan suatu hasil materiil tetapi
mengharapkan kenaikan prestasi. Olahraga (baru) ialah membentuk manusia
Indonesia Pancasila yang fisik kuat-sehat berprestasi tinggi, yang memiliki
kemampuan mental dan ketrampilan kerja yang kritis kreatif dan sejahtera. Jadi
Olahraga ialah suatu usaha untuk mendorong, membangkitkan, mengembangkan
dan membina kekuatan jasmaniah maupun rokhaniah pada tiap manusia. Lebih
tegas dikatakan bahwa olahraga untuk mempertahankan existensi kemanusiaan
dan untuk melakukan cita-cita hidup bangsa. Olahraga merupakan pembentukan
fisik dan mental

a) Hakikat Olahraga
Olahraga ada beberapa konsep yang perlu dikaji dan dipahami secara mendalam.
Konsep ini bersifat abstrak yaitu µmental image¶. Walau kita tahu bahwa konsep
ini abstrak, tetapi didalam konsep ini ada makna tertentu, walau perbedaan makna
pada setiap individu berbeda-beda tentang ini. Konsep dasar tentang keolahragaan
beragam, seperti bermain (play), Pendidikan jasmani (Physical education),
olahraga (Sport), rekreasi (recreation), tari (dance). Bermain (play) adalah fitrah
manusia yang hakiki sebagai mahluk bermain (homo luden), bermain suatu
kegiatan yang tidak berpretensi apa-apa, kecuali sebagai luapan ekspresi,
pelampiasan ketegangan, atau peniruan peran. Dengan kata lain, aktivitas bermain
dalam nuansa riang dan gembira. Dalam bermain terdapat unsur ketegangan, yang
tidak lepas dari etika seperti semangat fair play yang sekaligus menguji
ketangguhan, keberanian dan kejujuran pemain, walau tanpa wasitpun permainan
anak-anak terlihat belum tercemar. Dalam bermain terdapat unsur ketegangan,
yang tidak lepas dari etika seperti semangat fair play yang sekaligus menguji
ketangguhan, keberanian dan kejujuran pemain, walau tanpa wasitpun permainan
anak-anak terlihat menyenangkan dan gembira ini merupakan bentuk permainan
yang belum tercemar.
Olahraga bersifat netral dan umum, tidak digunakan dalam pengertian olahraga
kompetitif, karena pengertiannya bukan hanya sebagai himpunan aktivitas fisik
yang resmi terorganisasi (formal) dan tidak resmi (informal).
Pendidikan jasmani pada dasarnya bersifat universal, berakar pada pandangan
klasik tentang kesatuan erat antara ³body and mind´, Pendidikan jasmani adalah
bagian integral dari pendidikan melalui aktivitas jasmani yang bertujuan untuk
meningkatkan individu secara organik, neuromuskuler, intelektual dan emosional.
Konsep pendidikan jasmani terfokus pada proses sosialisasi atau pembudayaan via
aktifitas jasmani, permainan dan olahraga. Proses sosialisasi berarti pengalihan
nilai-nilai budaya, perantaraan belajar merupakan pengalaman gerak yang
bermakna dan memberi jaminan bagi partisipasi dan perkembangan seluruh aspek
kepribadian peserta didik. Perubahan terjadi karena keterlibatan peserta didik
sebagai aktor atau pelaku melalui pengalaman dan penghayatan secara langsung
dalam pengalaman gerak sementara guru sebagai pendidik berperan sebagai
³pengarah´ agar kegiatan yang lebih bersifat pendeawsaan itu tidak meleset dari
pencapaian tujuan.
D. Perspektif Antropologi Olahraga
Dalam memahami arti antropologi olahraga, pendidikan jasmani, kita harus juga
mempertimbangkan hubungan antara Pendidikan jasmani dan olahraga (sport)
dengan sebagai istilah yang lebih dahulu populer dan lebih sering digunakan
dalam konteks kegiatan sehari-hari ORKES (Olahraga Kesehatan). Pemahaman
tersebut akan membantu para guru atau masyarakat dalam memahami peranan dan
fungsi pendidikan jasmani secara lebih konseptual.
Olahraga di pihak lain adalah suatu bentuk bermain yang terorganisir dan bersifat
kompetitif. Beberapa ahli memandang bahwa olahraga semata-mata suatu bentuk
permainan yang terorganisasi, yang menempatkannya lebih dekat kepada istilah
pendidikan jasmani. Akan tetapi, pengujian yang lebih cermat menunjukkan
bahwa secara tradisional, olahraga melibatkan aktivitas kompetitif.
Ketika kita menunjuk pada olahraga sebagai aktivitas kompetitif yang
terorganisir, kita mengartikannya bahwa aktivitas itu sudah disempurnakan dan
diformalkan hingga kadar tertentu, sehingga memiliki beberapa bentuk dan proses
tetap yang terlibat. Peraturan, misalnya, baik tertulis maupun tak tertulis,
digunakan atau dipakai dalam aktivitas tersebut, dan aturan atau prosedur tersebut
tidak dapat diubah selama kegiatan berlangsung, kecuali atas kesepakatan semua
pihak yang terlibat. Di atas semua pengertian itu, olahraga adalah aktivitas
kompetitif. Kita tidak dapat mengartikan olahraga tanpa memikirkan kompetisi,
sehingga tanpa kompetisi itu, olahraga berubah menjadi semata-mata bermain
atau rekreasi. Bermain, karenanya pada satu saat menjadi olahraga, tetapi
sebaliknya, olahraga tidak pernah hanya semata-mata bermain; karena aspek
kompetitif teramat penting dalam hakikatnya.
Dalam antropologi olahraga intinya adalah aktivitas atau hubungan satu kelompok
dengan kelompok yang lain. Kita mengartikan antropologi sebagai ujung tombak
berinteraksi yang bersifat universal yang kompetitif, meskipun berinteraksi tidak
harus selalu bersifat ada pertemuan. Berinteraksi bukanlah berarti olahraga dan
pendidikan jasmani, meskipun elemen dari berinteraksi dapat ditemukan di dalam
keduanya.
Di pihak lain, pendidikan jasmani mengandung elemen baik dari sosial maupun
dari olahraga, tetapi tidak berarti hanya salah satu saja, atau tidak juga harus selalu
seimbang di antara keduanya. Sebagaimana dimengerti dari kata-katanya,
pendidikan jasmani adalah aktivitas jasmani yang memiliki tujuan kependidikan
tertentu. Pendidikan Jasmani bersifat fisik dalam aktivitasnya dan penjas
dilaksanakan untuk mendidik. Hal itu tidak bisa berlaku bagi bermain dan
olahraga, meskipun keduanya selalu digunakan dalam proses kependidikan.
Antroplogi olahraga , pendidikan jasmani dan olahraga melibatkan bentuk-bentuk
gerakan, dan ketiganya dapat melumat secara pas dalam konteks pendidikan jika
digunakan untuk tujuan-tujuan kependidikan. Bermain dapat membuat rileks dan
menghibur tanpa adanya tujuan pendidikan, seperti juga olahraga tetap eksis tanpa
ada tujuan kependidikan. Misalnya, olahraga profesional (di Amerika umumnya
disebut athletics) dianggap tidak punya misi kependidikan apa-apa, tetapi tetap
disebut sebagai olahraga. Olahraga dan sosiologi dapat eksis meskipun secara
murni untuk kepentingan berinteraksi dengan kelompok yang lain, untuk
kepentingan pendidikan, atau untuk kombinasi keduanya. berinteraksi dan
pendidikan tidak harus dipisahkan secara eksklusif; keduanya dapat dan harus
beriringan bersama.
E. Pembangunan olahraga bagian integral dari pembangunan bangsa
Lagu Kebangsaan Republik Indonesia yang berjudul ³Indonesia Raya´, yang
dikarang oleh WR. Supratman, syairnya antara lain berbunyi: ³Bangunlah jiwanya
bangunlah badannya´. Sepenggal syair ini menunjukkan bahwa dalam
membangun bangsa, termasuk membangun Sumber Daya Insani (SDI)
menekankan pada pembangunan jiwa dan raga atau jasmani dan rohani.
Kondisi jasmani dan rohani yang kuat akan memberikan landasan yang kuat pula
terhadap pengembangan Sumber Daya Insani. Bangsa yang kuat dan besar
terutama ditentukan oleh kualitas Sumber Daya Insaninya. Banyak faktor untuk
membangun SDI yang kuat, dalam konteks ini olahraga memiliki peran yang
cukup pentingDalam kenyataannya, olahraga telah menjadi bagian dari hidup dan
kehidupan manusia. Persoalannya adalah bagaimana agar olahraga dapat dijadikan
wahana dalam membangun bangsa yang sehat dan kuat jasmani dan rohani. Akan
tetapi di sisi lain masih ditemui banyak kendala dalam pembangunan olahraga.
Pembangunan olahraga di Indonesia masih perlu peningkatan dan pengembangan
lebih lanjut, karena di samping harus mengejar ketinggalan dengan negara-negara
lain, Indonesia juga masih me¬miliki berbagai kendala dalam pembinaannya.
Masalah yang dihadapi dunia olahraga Indonesia, yaitu:
1. Belum optimalnya kemauan politik (political will) pemerintah dalam
menangani olahraga. Hal ini ditandai antara lain: lembaga yang menangani
olahraga belum secara herarkhis-vertikal terpadu; kegiatan olahraga dikenai pajak;
dana terbatas; dan lain-lain.
2. Sistem pembinaan belum terarah. Kurangnya keterpaduan dan kesinambungan
penyusunan pembinaan pendidikan jasmani dan olahraga serta pelaksanaan
operasionalnya mengenai kegiatan pemassalan, pembibitan, dan peningkatan
prestasi sebagai suatu sistem yang saling kait-mengkait. Sebagai indikatornya
antara lain: belum memiliki sistem rekruitmen calon atlet; pemilihan olahraga
prioritas belum tepat; dan lain-lain.
3. Lemahnya kualitas Sumber Daya Insani olahraga. Rendahnya kualitas pelatih
dan kurang optimalnya peran guru pendidikan jasmani di luar sekolah merupakan
sebagian indikator yang menunjukkan rendahnya kualitas.
4. Belum optimalnya peran Lembaga Pendidikan Tinggi Olahraga (LPTO), seperti
Fakultas Ilmu Keolahragaan (FIK); Fakultas/ Jurusan Pendidikan Olahraga dan
Kesehatan (FPOK/JPOK), Program Studi-Program Studi yang menangani disiplin
ilmu keolahragaan dalam Program Pascasarjana. Hal ini ditandai dengan masih
rendahnya kualitas lulusan; banyak SDI yang tidak terlibat dalam kegiatan
olahraga di luar kampus sesuai dengan potensinya, dan lain-lain.
5. Lemahnya peran Lembaga/Bidang Penelitian dan Pengem¬bangan Olahraga.
Indikatornya adalah: perhatian terhadap lembaga tersebut rendah; data tentang
keolahragaan (misalnya data: atlet, pelatih, kelembagaan) belum lengkap; dan
lain-lain.
6. Terbatasnya sarana dan prasarana. Tidak seimbangnya antara pengguna dan
fasilitas yang tersedia, bahkan fasilitas olahraga yang telah ada beralih fungsi, dan
lain-lain.
7. Sulitnya pemanfaatan fasilitas olahraga. Karena terbatasnya fasilitas, maka
berdampak pada sulitnya memanfaatkan fasilitas tersebut. Bahkan untuk
kebutuhan pembelajaran pendidikan jasmani di sekolah pun masih jauh dari
memadai. Untuk fasilitas tertentu, Pengguna harus mambayar.
8. Masih kaburnya pemahaman dan penerapan pendidikan jasmani dan olahraga.
Terutama di sekolah, masih banyak dijumpai pelaksanaan pembelajaran
pendidikan jasmani yang berorientasi pada peningkatan prestasi olahraga. Padahal
seharusnya pendidikan jasmani tersebut diarahkan pencapaian tujuan pendidikan.
Pencapaian prestasi di sekolah dapat dilakukan pada kegiatan ekstrakurikuler.
Berdasarkan beberapa penelitian ditemukan bahwa kondisi kesegaran jasmani
guru-guru pendidikan jasmani rata-rata berkategori ³kurang´*) (Furqon, 2003: 3).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kondisi kesegaran jasmani tersebut terutama
karena sebagian besar guru pendidikan jasmani di sekolah dasar tidak melakukan
aktivitas olahraga secara teratur. Bahkan juga ditemu¬kan faktor lain, yaitu dalam
pelaksanaan mengajarnya pun jarang terlibat atau melibatkan diri dalam aktivitas
fisik. Di sisi lain, kondisi kesegaran jasmani bagi anak usia 11±17 tahun juga
berkategori ³kurang´ (Furqon dan Kunta, 2004: 2).
Melengkapi temuan tersebut, berdasarkan hasil tes pemanduan bakat dengan
Metode Sport Search sebagian besar (> 70 %) potret keberbakatan anak Sala
adalah olahraga yang bersifat individual atau perorangan dan sangat jarang anak
yang memiliki bakat dalam olahraga beregu atau tim (Furqon dan Muhsin, 2000:
5). Kondisi semacam ini kemungkinan besar disebabkan, karena lemahnya
kemampuan gerak dasar dan kemampuan koordinasi gerak anak. Lemahnya
kemampuan gerak tersebut, kemungkinan disebabkan oleh: (1) spesialisasi pada
cabang olahraga tertentu terlalu dini; (2) lemahnya pendidikan jasmani di sekolah
dasar; (3) kegiatan anak di luar sekolah tidak memberikan peluang untuk
bergerak; dan (4) lingkungan yang kurang konduksif, seperti terbatasnya tempat
bermain, hilangnya kesempatan anak untuk berburu, berpetualang, dan lain-lain.
Dalam bidang olahraga kompetitif, yang menekankan pada pencapaian prestasi
yang setinggi-tingginya juga mengalami kemun¬duran. Salah satu indikatornya
adalah sejak SEA Games 1995 di Thailand prestasi Indonesia merosot**). Padahal
sejak Indonesia terlibat dalam SEA Games tahun 1978, Indonesia selalu ranking
satu (Juara Umum).
Berdasarkan fenomena ini menunjukkan bahwa sistem pembangunan olahraga
kurang ada keserasian dan kesinambungan baik secara horisontal maupun secara
vertikal. Dengan kata lain, ada sesuatu yang perlu dibenahi dalam sistem
pembangunan olahraga kita. Oleh karena itu, yang menjadi permasalahan adalah
bagaimana mengoptimalkan peran olahraga sebagai bagian integral dari
pembangunan bangsa? Dan bagaimana memberdayakan olahraga tersebut agar
mampu mendukung pembangunan bangsa?

1) Kendala Dan Potensi


Sebagai bangsa yang tergolong dalam kelompok negara berkembang bahwa
pertumbuhan olahraganya belum menggem¬bi¬rakan, karena penduduknya masih
diliputi suasana meningkatkan pertumbuhan taraf hidup yang lebih baik. Sebagai
akibatnya olah¬raga belum mendapat prioritas utama.
Tempat-tempat berolahraga di lingkungan lembaga pendi¬dikan, lingkungan
pemukiman, dan lingkungan industri di kota-kota besar makin terbatas, bahkan
banyak lapangan olahraga yang sudah ada berubah atau beralih fungsi, sehingga
tidak dapat lagi digunakan untuk berolahraga. Demikian pula kurangnya tenaga
keolahragaan profesional yang mengabdikan diri sepenuhnya pada perkembangan
olahraga, seperti pembina, penggerak, dan pelatih, merupakan kendala pula dalam
pembangunan olahraga.
Di samping kendala yang dihadapi, kita juga memiliki peluang untuk menggalang
potensi yang ada.
Gerakan memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyarakat telah
memperlihatkan perkembangan yang menggembi¬rakan, terutama sejak
dicanangkannya gerakan tersebut. Kondisi ini memiliki potensi yang baik sebagai
dasar dalam pembangunan olah¬raga.
Dari segi jumlah penduduk yang cukup besar, pada dasarnya merupakan sumber
untuk memperoleh bibit-bibit olahragawan yang berpotensi dalam berbagai
cabang olahraga. Tentunya dalam pemanfaatan Sumber Daya Insani ini harus
disesuaikan dengan karakteristik postur tubuh orang Indonesia. Cabang-cabang
olahraga yang tidak atau kurang memerlukan postur tubuh yang tinggi, memiliki
potensi untuk dibina dan dikembangkan, seperti bulutangkis, tinju, tenis meja,
panahan, loncat indah, senam dan lain-lain. Tampaknya kita akan kesulitan untuk
meraih prestasi tingkat internasional, misalnya dalam cabang bola basket, bola
voli, lari 100 meter, dan lain-lain, karena kita kurang atau belum memiliki postur
tubuh yang menguntungkan, walaupun unsur postur tubuh tidak selamanya
menjadi jaminan dalam mencapai prestasi.
Dari segi geografis maupun tersedianya sarana alami yang berupa wilayah darat,
perairan, dan udara Indonesia memungkin¬kan untuk pengembangan berbagai
cabang olahraga.
Dari segi banyaknya olahraga tradisional di masyarakat merupa¬kan kekayaan
budaya bangsa yang dapat dikembangkan, seperti olahraga beladiri, sepak takraw,
olahraga air dan lain-lain.

2) Hakikat Berolahraga
a. Berolahraga Merupakan Bagian dan Kebutuhan Hidup
Salah satu karakteristik makhluk hidup di dunia ini, termasuk manusia adalah
melakukan gerakan. Antara manusia dan aktivitas fisik merupakan dua hal yang
sulit atau tidak dapat dipisahkan. Hal ini dapat dilihat bahwa sejak manusia pada
jaman primitif hingga jaman moderen, aktivitas fisik atau gerak selalu melekat
dalam kehidupan sehari-harinya. Berarti aktivitas fisik selalu dibutuhkan manusia.
Neilson (1978: 3) mengemukakan bahwa manusia berubah sangat sedikit selama
50.000 tahun yang berkaitan dengan organi¬sasi tentang struktur dan fungsi yang
dibawa sejak lahir. Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa perubahan
utama bukan pada manusianya, melainkan pada kebutuhan dan kemampuan untuk
menyesuaikan dengan perubahan-perubahan besar di dalam ling¬kungan alam dan
lingkungan buatan manusia. Manusia berusaha memodifikasi lingkungannya
dengan mencoba-coba, eksplorasi dan dengan eksploitasi.
Pada jaman primitif gerakan pada mulanya merupakan gejala emosional murni
yang dilakukan manusia untuk kesenangan dan komunikasi dengan dewa.
Selanjutnya, gerakan berkembang dari pelaksanaan gerak yang tidak terencana ke
kondisi gerak yang hingar-bingar pada upacara seremonial dan komunikasi untuk
kerja seni. Karena aktivitas gerak sangat penting baik untuk kelang¬sungan hidup
maupun komunikasi dengan dewa, maka aktivitas fisik tersebut merupakan yang
terpenting untuk eksistensi manusia. Oleh karena itu, mereka mulai menyusun
struktur geraknya ke dalam bentuk-bentuk yang bermanfaat, tepat dan sadar.
Semua peristiwa penting dalam siklus kehidupan orang primitif yang memiliki
makna praktis dan religius disimbulkan dalam gerakan-gerakan tubuh yang
terstruktur. Di seluruh periode evolusinya, aktivitas fisik sangat penting untuk
kelangsungan hidup dan tetap penting untuk pertumbuhan dan perkembangan
yang optimum.
Harrow (1977: 5) mengemukakan bahwa ada tujuh pola gerak yang sangat penting
untuk eksistensi orang primitif yang merupakan dasar gerakan keterampilan.
Aktivitas gerak ini adalah inheren dalam diri manusia, yakni lari, lompat/loncat,
memanjat, mengangkat, membawa, menggantung, dan melempar.
Hingga kini aktivitas fisik atau gerak, juga tidak dapat dipi¬sah¬kan dari
kehidupan manusia, karena gerak dipandang sebagai kunci untuk hidup dan untuk
keberadaan dalam semua bidang kehidupan. Jika manusia melakukan gerakan
yang memiliki tujuan tertentu, maka ia mengkoordinasikan aspek-aspek kognitif,
psiko¬motor, dan afektif.
Secara internal, gerak manusia terjadi secara terus menerus, dan secara eksternal,
gerak manusia dimodifikasikan oleh penga¬laman belajar, lingkungan yang
mengitari, dan situasi yang ada. Oleh karena itu, manusia harus disiapkan untuk
memahami fisiologis, psikologis dan sosiologis agar dapat mengenali dan secara
efisien menggunakan komponen-komponen gerak secara keseluruhan. Dengan
demikian, antara manusia dan aktivitas fisik tidak dapat dipisahkan dari
kehidupannya.

b. Olahraga tak Tergantikan Aktivitas Lain


Kemajuan ilmu dan teknologi telah memberikan berbagai perubahan perilaku dan
pola hidup. Salah satu contoh praktis, adanya kemajuan dalam dunia transportasi;
semula orang naik angkutan kereta kuda meningkat ke mobil, dari pesawat
terbang meningkat ke pesawat jet yang mampu menjelajahi ruang angkasa. Secara
umum hasil kemajuan ilmu dan teknologi telah banyak membuat hidup manusia
lebih mudah dan ringan. Demikian juga dalam aktivitas kehidupan sehari hari
sering dijumpai kebanyakan orang yang melakukan aktivitasnya serba mudah dan
ringan, misalnya ke supermarket memilih naik mobil daripada berjalan kaki atau
naik sepeda. Di supermarket pun ke sana ke mari melalui elevator (tangga
berjalan), pergi ke kantor naik mobil bahkan parkirnya sangat dekat dengan pintu
kantornya dan sebagainya.
Dari gambaran singkat tersebut dapat disimpulkan bahwa unsur aktivitas fisik
tidak dominan sehingga telah membuat manusia lebih sedikit mempergunakan
unsur fisiknya daripada unsur yang lain. Pendek kata, hasil perkembangan dan
kemajuan ilmu dan teknologi moderen secara tidak disadari menumbuhkan pola
hidup inaktif (inactive life) atau sedentari (sedentary life), yakni kegiatan orang
sehari-harinya tidak banyak memerlukan aktivitas fisik. Secara umum dapat
dikatakan bahwa keadaan fisik menjadi pasif dan statis, artinya tidak segar baik
jasmaniah maupun rohaniah. Kondisi ini antara lain sebagai akibat dari terus
menerus menghadapi persoalan dan pekerjaan yang sama dan membosan¬kan,
lagi pula tugas pekerjaannya terlalu banyak membuat orang duduk atau diam,
bahkan karena kesibukannya sering kali tidak mempunyai waktu atau kesempatan
untuk melakukan aktivitas jasmani secara teratur.
Uraian tersebut menggambarkan bahwa hampir semua akti¬vitas manusia dapat
digantikan dengan peralatan modern yang dapat mempermudah seseorang untuk
melakukannya dengan efektif dan efisien. Namun, secara tidak disadari ada salah
satu aktivitas jika diganti dengan peralatan atau sarana modern malah berdampak
negatif, yaitu jika seseorang tidak berolahraga. Artinya aktivitas gerak digantikan
atau dilakukan oleh peralatan atau sarana lain. Oleh karena itu, khusus untuk
aktivitas jasmani atau olahraga harus dilakukan oleh setiap orang (dilakukan
sendiri) dan tidak dapat digantikan dengan aktivitas apapun dan oleh siapapun.

c. Berolahraga Mendorong Pola Hidup Aktif


Suatu aktivitas atau pekerjaan rutin yang kurang mendapat¬kan gerak, bila tidak
diimbangi dengan aktivitas yang dapat meng¬gerakkan otot-otot atau organ-organ
tubuh, biasanya akan mudah terkena gangguan kesehatan. Dalam kenyataannya
pola hidup sedentari (pola hidup tanpa aktivitas fisik) telah membawa
kemunduran tingkat kesehatan dan kesegaran jasmani. Kondisi seperti ini
memiliki faktor resiko yang lebih besar terhadap penyakit tertentu.
Dampak pola hidup sedentari yang menjadi masalah kese¬hatan adalah resiko
penyakit jantung yang merupakan salah satu penyebab kematian di Amerika
dewasa ini, bahkan lebih dari separoh disebabkan karena penyakit-penyakit
kardiovaskuler, seperti serangan jantung, tekanan darah tinggi, dan sejenisnya
(Fox, Kirby, dan Fox, 1987: 5). Selanjutnya mereka juga mengatakan bahwa
masalah kesehatan umum lainnya sebagai akibat kurang gerak adalah kegemukan
(obesity). Ternyata timbulnya penyakit kardiovaskuler secara statistik ada
kaitannya dengan faktor kegemukan.
Oleh karena itu salah satu upaya dalam mengatasi masalah kesehatan tersebut
adalah dengan berlatih olahraga secara teratur, karena dengan latihan olahraga
yang teratur dapat mengurangi problem-problem kegemukan dan meningkatkan
kemampuan jantung yang pada gilirannya dapat meningkatkan kesegaran
jasmaninya.
Manusia makin menyadari bahwa olahraga tak dapat dipisah¬kan dari kehidupan
manusia. Apalagi dengan majunya ilmu dan teknologi, olahraga makin
dibutuhkan manusia untuk memelihara keseimbangan hidup.
Perkembangan dan persaingan pembangunan olahraga antar negara makin ketat
dan keras, karena masing-masing negara sekarang ini makin menyadari akan
pentingnya pembangunan olahraga bagi bangsanya, apalagi dalam era globalisasi
sekarang ini.
Salah satu wahana dalam upaya meningkatkan kualitas Sumber Daya Insani
adalah melalui pembangunan olahraga. Olahraga telah terbukti keampuhannya
dalam turut serta membentuk manusia yang berkualitas.

d. Berolahraga sebagai Perwujudan Rasa Syukur


Dengan memperhatikan pentingnya dan dampak berolahraga, serta sebaliknya
dengan memperhatikan resiko bagi yang tidak berolahraga, maka bagi mereka
yang memiliki pola hidup sedentari (artinya, bagi mereka yang tidak
memanfaatkan anugerah ³Nikmat´ dari Yang Maha Kuasa dalam wujud
tersedianya komponen-komponen produksi energi untuk ³gerak´) dapat dikatakan
termasuk dalam golongan orang-orang yang kurang atau tidak bersyukur kepada
Yang Maha Kuasa.
Sebagai ilustrasi sebagaimana yang digambarkan oleh Starnes (1994: 27) yang
menjelaskan bahwa proses tranformasi energi yang terjadi di dalam mitrokondria
(organ sub seluler, tempat di mana energi ATP diproduksi) adalah suatu proses
yang amat efisien. Kebutuhan sel dan jaringan akan ATP sangatlah tinggi, di
mana volume ATP yang diperlukan selama 24 jam untuk orang dewasa dengan
berat badan 68 kilogram kurang lebih 100.000 mmol ATP. Melalui proses
³fosforilasi oksidatif´ di dalam mitokondria, produk hidrolisis ATP (yaitu: ADP +
Pi + E) dengan segera di ³daur ulang´ untuk membentuk kembali ATP.
Sangkot dalam kompas (1994: 11) menyatakan bahwa untuk kebutuhan seluruh
tubuh, setiap hari kita membutuhkan 50-70 kg ATP, sedangkan untuk jantung saja
2-3 kg ATP. Harga ATP per kg saat ini 1.500 dollar AS, jadi setiaphari ATP yang
diproduksi mitokon¬dria mencapai nilai hampir 100.000 dola AS. Luar Biasa, di
dalam tubuh kita ternyata terdapat suatu pabrik kimia dan biologi yang amat
efisien.
Jika tidak terjadi proses ³daur ulang´ maka dibutuhkan konsumsi ATP harian + 50
kilogram sewaktu istirahat. Kita ketahui bahwa harga ATP per kg. pada tahun
1994 adalah US $ 1.500. Jadi setiap hari ATP yang diproduksi oleh mitokondria
yang terdapat di dalam sel-sel tubuh mencapai nilai US $ 75.000. Seandainya kurs
dolar Amerika hari ini Rp. 10.000,- per US dolar, maka tubuh kita dalam kondisi
istirahat, membutuhkan dana sebesar 750 juta rupiah per hari. Hitung berapa umur
kita sekarang (misalnya 54 tahun), artinya 54 x 360 hari = 19.440 hari. Dengan
demikian Rp. 750.000.000,- x 19.440 =Rp. 145.800.000.000,- (148.8 trilyun). Ini
dalam kondisi istirahat, apalagi dalam keadaan beraktivitas (Subhanallah, Allah
Maha Pemurah dan Penyayang).
Jika malas berolahraga, maka fungsi tubuh tidak dapat meme¬lihara nikmat
Tuhan ini. Dengan berolahraga, proses sistem tubuh tersebut, terutama yang
berkaitan dengan produksi sistem energi, akan berfungsi secara efektif dan efisien,
demikian juga sebaliknya. Oleh karena itu, berolahraga secara teratur berarti
merupakan perwujudan rasa syukur kepada Yang Maha Kuasa. Dalam arti, kita
senantiasa berusaha dan memposisikan diri secara proporsional dan benar.

F. Sistem Pembangunan Dan Pembinaan Olahraga


Sistem adalah suatu keseluruhan atau keutuhan yang kom¬pleks atau
terorganisasi; suatu himpunan atau gabungan bagian-bagian yang membentuk
keutuhan yang kompleks atau terpadu. Sistem merupakan seperangkat elemen-
elemen yang saling berhubungan .
Pembangunan olahraga pada dasarnya merupakan suatu pelaksanaan sistem.
Sebagai indikator adalah terwujudnya prestasi olahraga. Prestasi olahraga
merupakan perpaduan dari berbagai aspek usaha dan kegiatan yang dicapai
melalui sistem pembangunan. Tingkat keberhasilan pembangunan olahraga ini
sangat tergantung pada keefektifan kerja sistem tersebut. Makin efektif kerja
sistem, maka akan makin baik kualitas yang dihasilkan, demikian juga sebaliknya.
Pembinaan dan pengembangan pada dasarnya adalah upaya pendidikan baik
formal maupun non formal yang dilaksanakan secara sadar, berencana, terarah,
teratur dan bertanggung jawab dalam rangka memperkenalkan, menumbuhkan,
membimbing dan mengembangankan suatu dasar kepribadian yang seimbang,
utuh dan selaras, dalam rangka memberikan pengetahuan dan keterampilan sesuai
dengan bakat, kecenderungan/keinginan serta kemampuan sebagai bekal untuk
selanjutnya atas prakarsa sendiri menambah meningkatkan dan mengembangkan
dirinya, sesama maupun lingkungannya ke arah tercapainya martabat, mutu dan
kemampuan manusia yang optimal dan pribadi yang mandiri (Abdul Gafur,
1983:46)
Mengkaji sistem pembinaan olahraga di Indonesia pada hakikat¬nya adalah
mengkaji upaya pembinaan Sumber Daya Insani Indonesia. Dengan kata lain,
upaya pembinaan ini tidak dapat dipisahkan dari upaya-upaya pembentukan
manusia Indonesia seutuhnya.
Harre, Ed. (1982: 21) mengemukakan bahwa pembinaan olahraga yang dilakukan
secara sistematik, tekun dan berkelan¬jutan, diharapkan akan dapat mencapai
prestasi yang bermakna. Proses pembinaan memerlukan waktu yang lama, yakni
mulai dari masa kanak-kanak atau usia dini hingga anak mencapai tingkat
efisiensi kompetisi yang tertinggi. Pembinaan dimulai dari program umum
mengenai latihan dasar mengarah pada pengembangan efisiensi olahraga secara
komprehensif dan kemudian berlatih yang dispesialisasikan pada cabang olahraga
tertentu.
a. Olahraga kompetitif
Olahraga kompetitif yang dimaksud adalah berbagai kegiatan yang diarahkan
untuk mencapai prestasi olahraga yang setinggi-tingginya. Olahraga prestasi
biasanya digunakan sebagai alat perjuangan bangsa. Banyak negara yang
memanfaatkan berbagai arena olahraga, seperti Olympic Games, atau Regional
Games sebagai forum propaganda keunggulan bangsa dan memperlihatkan
pembangunan bangsa di negaranya.
Berhasilnya Indonesia meraih satu medali Perak melalui olahraga panahan pada
Olympic Games di Seoul 1988 dan beberapa medali emas, perak dan perunggu
melalui cabang olahraga bulutangkis dan angkat besi ternyata mampu
menunjukkan kepada dunia Internasional melalui prestasi olahraga. Peristiwa
menarik yang lain adalah pada Olympic Games 1956 di Melbourne, Aus¬tralia,
tim sepakbola Indonesia mampu menahan tim sepakbola Rusia. Hanya setelah
perpanjangan waktu, tim Indonesia menga¬lami kekalahan. Dalam Olympic
Games ini Rusia akhirnya sebagai juara. Bagi negara-negara yang memikirkan
kesejahteraan rakyat¬nya jauh ke depan, maka akan menempatkan olahraga pada
urutan prioritas yang penting. Sejak kemerosatan prestasi olahraga Amerika dan
Australia di arena Olympic Games, konggres dan parlemennya turut membahas
bahkan berusaha mengatur pembinaan olahraga di negaranya masing-masing
melalui rancangan undang-undang olahraga.
Penekanan pada peningkatan prestasi tidak hanya sekedar melakukan alih
ketarampilan dari pelatih kepada atlet, melainkan merupakan upaya membina
manusia seutuhnya.
Sistem pembangunan olahraga yang digunakan di Indonesia adalah sistem
piramida, yang meliputi tiga tahap, yaitu (1) pemassalan; (2) pembibitan; dan (3)
peningkatan prestasi. Apabila model perencanaan ini dikaitkan dengan teori
piramida yang terdiri dari (1) pemassalan; (2) pembibitan; dan (3) peningkatan
prestasi,

1. Pemassalan Olahraga
Pemassalan adalah mempolakan keterampilan dan kesegaran jasmani secara
multilateral dan landasan spesialisasi. Pemassalan olahraga bertujuan untuk
mendorong dan menggerakkan masyarakat agar lebih memahami dan menghayati
langsung hakikat dan manfaat olahraga sebagai kebutuhan hidup, khususnya jenis
olahraga yang bersifat mudah, murah, menarik, bermanfaat dan massal. Kaitannya
dengan olahraga prestasi; tujuan pemassalan adalah melibatkan atlet sebanyak-
banyaknya sebagai bagian dari upaya peningkatan prestasi olahraga.
Pemassalan olahraga merupakan dasar dari teori piramida dan sekaligus
merupakan landasan dalam proses pembibitan dan pemanduan bakat atlet.
Pemassalan olahraga berfungsi untuk menumbuhkan kesehatan dan kesegaran
jasmani manusia Indonesia dalam rangka membangun manusia yang berkualitas
dengan menjadikan olahraga sebagai bagian dari pola hidup bangsa Indonesia.
Oleh karena itu, dalam pembangunan olahraga perlu selalu meningkatkan dan
memperluas pemassalan di kalangan bangsa Indonesia dalam upaya membangun
kesehatan dan kesegaran jasmani, mental dan rokhani masyarakat serta
membentuk watak dan kepribadian, displin dan sportivitas yang tinggi, yang
merupakan bagian dari upaya peningkatan kualitas manusia Indonesia.
Pemassalan dapat pula berfungsi sebagai wahana dalam penelusuran bibit-bibit
untuk membentuk atlet berprestasi.
Memasyarakatkan olahraga dan mengolahragakan masyara¬kat merupakan
bentuk upaya dalam melakukan pemassalan olahraga. Dalam olahraga prestasi,
pemassalan seharusnya dimulai pada usia dini.
Bila dikaitkan dengan pertumbuhan dan perkembangan anak, pemassalan sangat
baik jika dimulai sejak masa kanak-kanak, terutama pada akhir masa kanak-kanak
(6-12 tahun). Pada masa ini merupakan tahap perkembangan keterampilan gerak
dasar.

2. Pembibitan Atlet
Pembibitan atlet adalah upaya mencari dan menemukan indi¬vidu-individu yang
memiliki potensi untuk mencapai prestasi olah¬raga di kemudian hari, sebagai
langkah atau tahap lanjutan dari pemassalan olahraga.
Pembibitan yang dimaksud adalah menyemaikan bibit, bukan mencari bibit.
Ibaratnya seorang petani yang akan menanam padi, ia tidak membawa cangkul
mencari bibit ke hutan, tetapi melaku¬kan penyemaian bibit atau membuat bibit
dengan cara tertentu, misalnya dengan memetak sebidang tanah sebagai tempat
pem¬buatan bibit yang akan ditanam.
Pembibian dapat dilakukan dengan melaksanakan identifikasi bakat (Talent
Identification), kemudian dilanjutkan dengan tahap pengembangan bakat (Talent
Development). Dengan cara demi¬kian, maka proses pembibitan diharapkan akan
lebih baik.
Ditinjau dari sudut pertumbuhan dan perkembangan gerak anak, merupakan
kelanjutan dari akhir masa kanak-kanak, yaitu masa adolesensi.
Pelaksanaan pembibitan atlet ini menjadi tanggung jawab pengelola olahraga pada
tingkat eksekutif-taktik dan sekaligus bertanggung jawab pada pembinaan di
tingkat di bawahnya, yaitu pada tahap pemassalan olahraga. Di sini disusun
program yang mampu memunculkan bibit-bibit, baik di tingkat
kotamadya/kabupaten maupun di tingkat propinsi. Adanya kejuaraan-kejuaraan
yang teratur merupakan salah satu cara untuk merangsang dan memacu
munculnya atlet-atlet agar berlatih lebih giat dalam upaya meningkatkan
prestasinya.
3. Peningkatan Prestasi
Prestasi olahraga merupakan puncak penampilan atlet yang dicapai dalam suatu
pertandingan atau perlombaan, setelah melalui berbagai macam latihan maupun
uji coba. Pertandingan/per¬lom¬baan tersebut dilakukan secara periodik dan
dalam waktu tertentu.
Pencapaian prestasi yang setinggi-tingginya merupakan pun¬cak dari segala
proses pembinaan, baik melalui pemassalan mau¬pun pembibitan.
Dari hasil proses pembibitan akan dipilih atlet yang makin menampakkan prestasi
olahraga yang dibina. Di sini peran penge¬lola olahraga tingkat politik-strategik
bertanggung jawab membina atlet-etlet ini yang memiliki kualitas prestasi tingkat
nasional.
Para pengelola olahraga tingkat politik-strategik pada dasar¬nya bertanggung
jawab terhadap sistem pembangunan olahraga secara keseluruhan.
Oleh karena itu, pengorganisasian program pembinaan jangka panjang dapat
dikemukakan bahwa (1) masa kanak-kanak berisi program latihan pemula (junior
awal) yang merupakan usia mulai berolahraga dalam tahap pemassalan; (2) masa
adolesensi berisi program latihan junior lanjut yang merupakan usia spesialisasi
dalam tahap pembibitan; dan (3) masa pasca adolesensi berisi program latihan
senior yang merupakan usia pencapaian prestasi puncak dalam tahap pembinaan
prestasi.

b. Olahraga Non Kompetitif


Pembangunan olahraga termasuk suatu usaha untuk membentuk manusia dalam
totalitasnya, baik jasmaniah maupun rokhaniah, sehingga melalui olahraga dapat
memberikan sumbangan dharma baktinya bagi pembangunan bangsa.
Suatu negara yang ingin membangun bangsa yang sehat, kuat dan segar, maka
perlu menyusun dan melaksanakan suatu sistem pembangunan olahraga secara
menyeluruh yang melibatkan seluruh masyarakat Indonesia. Pembangunan bangsa
tidak akan lengkap atau sempurna tanpa pembangunan olahraga, karena aktivitas
gerak manusia merupakan modal dasar aktivitas manusia dalam pembangunan.
Oleh karena pembangunan bangsa dilaksanakan dalam rangka pembangunan
manusia dan pembangunan seluruh masyarakat Indonesia, maka pembangunan
olahraga dilaksanakan untuk mencapai keserasian, keselarasan dan keseimbangan
antara pertumbuhan fisik-biologis dan pertumbuhan mental spiritual, antara
kemajuan lahiriah dan kepuasan batiniah.
Adapun pembangunan olahraga yang bersifat non kompetitif dapat diarahkan
dalam rangka upaya-upaya sebagai berikut:
1. Pendidikan Bangsa
Olahraga dapat mengembangkan dan membangun kepribadian, watak, budi
pekerti luhur dan moral tinggi serta inisatif. Karena penyelenggaraan pembinaan
olahraga bagi individu dan masyarakat ini, mengandung pendidikan yang positif.

2. Persatuan dan Kesatuan Nasional.


Olahraga dapat menghilangkan rasa kedaerahan dan kesukuan serta mempertebal
rasa persatuan dan kesatuan Nasional. Hal ini dapat terlihat pada pertandingan-
pertandingan atau kejuaraan-kejuaraan olahraga seperti, Pekan Olahraga Nasional
(PON), pertandingan-pertandingan antar negara, dan lain-lain.

3. Pertahanan dan Ketahanan Nasional.


Dengan pembinaan olahraga bagi individu dan masyarakat, khususnya bagi
generasi muda, antara lain meliputi pengarahan, bimbingan dan pengawasan
intensif serta mengikutsertakan manusia secara aktif dalam penyelenggaraan, akan
merupakan proses pendewasaan dan pengembangan kepemimpinan. Manusia
yang berkepribadian tangguh, sehat jasmani dan rokhani merupakan modal
penting bagi pertahanan dan ketahanan Nasional.

4. Rekreasi.
Dalam kehidupan moderen dengan kemajuan ilmu dan teknologi mutakhir, gerak
manusia berkurang, maka untuk memelihara keseimbangan hidup manusia,
kegiatan olahraga yang bersifat rekreatif sangat dibutuhkan.

G. Memberdayakan Potensi Bangsa Dalam Upaya Pembangunan Olahraga


Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan
Pemerintah dan Kewenangan Provinsi sebagai Daerah Otonom dinyatakan bahwa
kewenangan pemerintah pusat dalam bidang olahraga adalah sebagai berikut:
1) Pemberian dukungan untuk pembangunan sarana dan prasarana olahraga;
2) Penetapan pedoman pemberdayaan masyarakat olahraga; dan
3) Penetapan kebijakan dalam penentuan kegiatan-kegiatan olahraga
nasional/internasional.
Untuk itu, berdasarkan wilayah atau daerah, selebihnya menjadi kewenangan
daerah (terutama kota/kabupaten). Implikasinya adalah pemerintah daerah
(propinsi/kota/kabupaten) memiliki keleluasaan dalam menentukan kebijakan
dalam pembangunan olahraga di wilayah/daerahnya sesuai dengan
kewenangannya, tanpa mengabaikan kebijakan pembangunan olahraga secara
nasional.
Agar dalam merumuskan kebijakan pembangunan olahraga dapat dilakukan
dengan baik, maka perlu memperhatikan kondisi dan potensi daerah yang ada.
Khususnya dalam pembinaan olahraga prestasi harus dilakukan kajian dengan
cermat.
Setelah kebijakan pembangunan olahraga dirumuskan, maka langkah selanjutnya
adalah menggali dan menggalang potensi di daerah/masyarakat agar pembinaan
olahraga tersebut secara operasional dapat dilakukan dengan baik.
Pembangunan olahraga bukan hanya tanggung jawab insan-insan olahraga, tetapi
juga merupakan tanggung jawab pemerintah dan masyarakat. Pembangunan
olahraga bukan hanya tanggung jawab pelatih dan atlet, melainkan tanggung
jawab bangsa Indonesia secara keseluruhan.
Ada beberapa hal yang perlu dilakukan kaitannya dengan pembangunan olahraga
di Indonesia, yaitu (1) olahraga dijadikan gerakan nasional (national movement);
(2) perlunya undang-undang keolahragaan; dan (3) perlunya sistem perencanaan
program yang berkesinambungan dan terpadu.

a. Olahraga Dijadikan Gerakan Nasional (National Movement)


Kondisi pembinaan dewasa ini tampaknya masih belum menyentuh sampai
lapisan bawah, yaitu kurang mengakar. Oleh karena itu perlu adanya upaya-upaya
pembenahan.
Tak ada salahnya bila kita mengkaji dari pengalaman bidang lain yang telah
berhasil di negara kita, yaitu keberhasilan gerakan nasional Keluarga Berencana
(KB) yang dicanangkan mulai tahun tujuh puluhan. Kalau kita perhatikan gerakan
KB waktu itu, menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Berkat komitmen dan
usaha yang keras, maka KB sekarang ini bukan hanya disadari pentingnya bagi
pembinaan keluarga, melainkan menjadi kebutuhan individu dan keluarga di
masyrarakat. Bahkan sekarang ini di tingkat RW telah ada sebuah lembaga, yaitu
Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu).
Belajar dari pengalaman gerakan nasional KB, tampaknya tidaklah berlebihan
apabila pembangunan olahraga di Indonesia dijadikan sebagai gerakan nasional
yang benar-benar mengakar sampai ke lapisan bawah. Dalam hal ini upaya
memasyarakatkan olahraga dan menngolahragakan masyarakat dilakukan dengan
membentuk wadah pembinaan atau organisasi sampai tingkat Kecamatan
(misalnya, KONI tingkat Kecamatan).
Sebagai pertimbangan mengenai perlunya KONI tingkat kecamatan adalah karena
ada beberapa potensi yang dapat dikem¬bangkan dan dilibatkan. Hampir di setiap
kecamatan memiliki SD, SMTP dan/atau SMTA. Kondisi ini memungkinkan
untuk membentuk suatu wadah pembinaan olahraga, minimal membentuk klub
olahraga. Bersama-sama dengan tokoh lain, guru-guru pendidikan jasmani yang
ada dapat dilibatkan dan difungsikan sebagai pelatih, sedangkan para siswa dapat
dilibatkan sebagai atlet.
Dalam kenyataannya bahwa munculnya bibit-bibit unggul yang selama ini terjadi
ditemukan di kampung-kampung yang ter¬bukti telah menghasilkan atlet-atlet
tangguh di cabangnya masing-masing, misalnya Icuk Sugiarto, Joko Supriyanto,
Sumardi, Yayuk Basuki dan lain-lain. Hal ini dapat dijadikan pertimbangan dalam
memayungi dan mewadahi munculnya bibit-bibit melalui lembaga atau organisasi
olahraga, setidak-tidaknya di tingkat kecamatan.
Organisasi/lembaga olahraga di tingkat kecamatan ini teru¬tama berupaya
menumbuhkan dan mengelola klub-klub olahraga yang memiliki potensi untuk
dikembangkan. Hal ini didasarkan bahwa keberadaan klub-klub olahraga di
Indonesia telah muncul beberapa puluh tahun yang lalu.
Klub olahraga ini bermunculan di berbagai tempat. Hampir semua cabang
olahraga menyandarkan pembinaannya bersumber dari aktivitas hasil klub sebagai
landasan awal. Dalam kenyataan¬nya, masyarakat olahraga membutuhkan wadah
ini sebagai tempat untuk berlatih dan membina atlet. Namun penanganan yang
tepat agar klub tersebut dapat hidup dalam suasana yang kondusif masih belum
optimal.
Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, bahwa populasi anak usia SD dan
SMTP cukup besar jumlahnya. Oleh karena itu, keberadaan klub-klub olahraga
sangat strategis sebagai upaya menampung minat yang berada di lingkungan
mereka. Dan klub ini tidak akan kekurangan peserta. Perlunya wadah dan lembaga
olahraga tingkat kecamatan ini, tampaknya sangat memungkinkan untuk
ditangani, terutama dalam upaya pemassalan dan pembibitan.

b. Perlunya Undang-Undang Keolahragaan


Kebutuhan akan adanya undang-undang tentang keolahragaan dirasakan sangat
mendesak. Hal ini disebabkan karena pembinaan ataupun pembangunan olahraga
pada dasarnya merupakan suatu sistem. Oleh karena sistem melibatkan berbagai
unsur yang bersifat koordinatif dan terpadu, maka diperlukan adanya pengaturan.
Ada beberapa pertimbangan utama mengenai perlunya undang-undang
keolahragaan, yaitu:
1. Bahwa pembinaan dan pembangunan olahraga merupakan bagian penting dari
pembangunan manusia seutuhnya. Dalam kenyataannya penanganan pembinaan
olahraga di Indonesia belum mendapat penanganan secara proporsional.
2. Berbagai masalah yang selama ini muncul, misalnya pemba¬ngu¬nan sarana
dan prasarana di lingkungan pendidikan, masya¬rakat maupun lingkungan
industri akan sangat efektif apabila diatur dalam undang-undang.
3. Pembinaan olahraga, baik melalui pemassalan, pembibitan, mau¬pun
peningkatan presitasi, makin lama mengalami perkem¬bangan yang makin padat
dan memerlukan pengelolaan yang efektif dan efisien. Di samping itu,
kewenangan dalam pengelolaannya juga memerlukan peraturan yang jelas.
4. Secara umum bahwa perkembangan olahraga bersifat universal tidak dapat
lepas dari perkembangan olahraga internasional. Indonesia sebagai salah satu
bangsa yang menyadari akan pentingnya olahraga bagi kehidupan bangsa, maka
perlu adanya pengaturan untuk menjamin terlaksananya pembangunan olahraga
yang didasarkan pada ketentuan dan peraturan yang berupa legalitas hukum atau
undang-undang.
5. Hampir semua lembaga maupun individu merasa berhak, berwenang dan bebas
mengurus olahraga di Indonesia, sehingga sering terjadi tumpang tindih dan
sering kali terjadi penghamburan dana yang sasarannya tergantung pada si
pemberi dana.
Pentingnya undang-undang olahraga ini telah ditunjukkan tingkat keefektivan dan
keefisienannya oleh negara-negara maju, seperti Amerika dan Australia.

c. Perlunya Sistem Perencanaan dan Pelaksanaan Program Yang


Berkesinambungan dan Terpadu Idealnya pembangunan olahraga di Indonesia
dikelola oleh sebuah departemen yang memiliki struktur organisasi sampai ke
tingkat bawah. Selama ini pembangunan olahraga ditangani oleh Kementerian
Negara Pemuda dan Olahraga, Departemen Pendidikan Nasional, Komite
Olahraga Nasional Indonesia (KONI), dan Badan Pembina Olahraga Profesional
Indonesia (BAPOPI).
Persoalannya adalah bagaimana program dari masing-masing lembaga tersebut
dapat dijalankan dengan baik, dan tidak terjadi tumpang tindih.
Keefektivan suatu sistem pembangunan olahraga sangat tergantung pada sistem
perencanaan. Dalam arti bahwa perencanaan suatu sistem merupakan suatu proses
mempersiapkan hal-hal yang akan dikerjakan pada waktu yang akan datang untuk
mencapai suatu tujuan yang telah ditetapkan sebelumnya. Oleh karena itu,
perencanaan sistem pembangunan olahraga yang matang sangat diperlukan.
Perencanaan pembangunan olahraga seharusnya dipandang sebagai suatu alat
yang dapat membantu para pengelola pembangunan untuk menjadi lebih berdaya
guna dalam melaksanakan tugas dan fungsinya. Perencanaan dapat membantu
pencapaian suatu target atau sasaran secara lebih ekonomis, tepat waktu dan
memberi peluang untuk lebih mudah dikontrol dan dimonitor dalam
pelaksanaannya. Oleh karena itu, perencanaan program yang sistematis dan
sistemik, akan menjadikan program tersebut runtut, terpadu dan
berkesinambungan.

H. Etika Dan Moral Dalam Olahraga


a) Hakikat Etika
Istilah etika dan moral secara etimologis, kata ethics berasal dari kata Yunani,
ethike yang berarti ilmu tentang moral atau karakter. Studi tentang etika itu secara
khas sehubungan dengan prinsip kewajiban manusia atau studi tentang semua
kualitas mental dan moral yang membedakan seseorang atau suku bangsa. Moral
berasal dari kata Latin, mos dan dimaksudkan sebagai adat istiadat atau tata
krama. (Rusli Lutan) Etika tidak mempunyai pretensi untuk secara langsung dapat
membuat manusia menjadi lebih baik. Etika adalah pemikiran sistematis tentang
moralitas, dimana yang dihasilkannya secara langsung bukan kebaikan, melainkan
suatu pengertian yang lebih mendasar dan kritis. (Franz Magnis Suseno,1989).
Lebih lanjut dikatakan bahwa etika adalah sebuah ilmu, bukan sebuah ajaran. Jadi
etika dan ajaran-ajaran moral tidak berada di tingkat yang sama. Untuk
memahami etika, maka kita harus memahami moral. Selanjutnya Suseno
mengatakan bahwa Etika pada hakikatnya mengamati realitas moral secara kritis.
Etika tidak memberikan ajaran, melainkan memeriksa kebiasaan-kebiasaan, nilai-
nilai, norma-norma dan pandangan-pandangan moral secara kritis. Etika menuntut
pertanggung jawabab dan mau menyingkapkankan ke rancuan. Etika tidak
membiarkan pendapat-pendapat moral begitu saja melainkan menuntut agar
pendapat-pendapat moral yang dikemukakan di pertanggung jawabkan. Etika
berusaha untuk menjernihkan permasalahan moral. Dalam etika mengembangkan
diri,
Orang hanya dapat menjadi manusia utuh kalau semua nilai atas jasmani tidak
asing baginya, yaitu nilai-nilai kebenaran dan pengetahuan, kesosialan, tanggung
jawab moral, estetis dan religius. Suatu usaha sangat berharga untuk menyusun
nilai-nilai dan menjelaskan makna bagi manusia dilakukan oleh Max Scheler
dikemukan sebagai berikut : Mengembangkan diri, Melepaskan diri, menerima
diri Freeman menyebutkan bahwa etika terkait dengan moral dan tingkah laku,
menjelaskan aturan yang tepat tentang sikap. Etika merupakan pelajaran dari
tingkah laku ideal dan pengetahuan antara yang baik dan buruk. Etika juga
menggambarkan tindakan yang benar atau salah dan apa yang harus orang
lakukan atau tidak.
Etika penting karena merupakan kesepakatan pada kebiasan manusia, bagaimana
modelnya, bagaimana ia menunjukkan dirinya sendiri, dengan segala sisi baik dan
buruk. Scott Kretchmar mengemukakan etika mendasari tentang cara melihat dan
mempromosikan kehidupan yang baik, tentang mendapatkannya, merayakannya
dan menjaganya. Etika terkait dengan nilai-nilai pemeliharaan seperti kebenaran,
pengetahuan, kesempurnaan, persahabatan dan banyak nilai-nilai lainnya. Etika
juga mengenai rasa belas kasih dan simpati, tentang memastikan kehidupan baik
berbagi dengan lainnya, etika terkait dengan kepedulian terhadap yang lain,
terutama yang tidak punya kedudukan atau kekuatan yang diperlukan untuk
melindungi diri mereka sendiri atau jalan mereka.

b) Hakikat Moral
Istilah moral dikaitkan dengan motif, maksud dan tujuan berbuat. Moral berkaitan
dengan niat. Sedangkan etika adalah studi tentang moral. Sedangkan menurut
Freeman etika terkait dengan moral dan tingkah laku. Lebih lanjut Scott
Kretchmar menyatakan bahwa etika juga mengenai tentang rasa belas kasih dan
simpati-tentang memastikan kehidupan yang baik berbagi dengan lainnya. Suseno
mengatakan bahwa moral selalu mengacu pada baik-buruknya manusia sebagai
manusia. Bidang moral adalah bidang kehidupan manusia dilihat dari segi
kebaikannya sebagai manusia. Norma-norma moral adalah tolokukur untuk
menentukan betul-salahnya sikap dan tindakan manusia dilihat dari segi baik-
buruknya sebagai manusia dan bukan sebagai pelaku peran tertentu dan terbatas.
Selanjutnya dikatakan bahwa ada norma-norma khusus yang hanya berlaku dalam
bidang atau situasi khusus. Seperti bola tidak boleh disentuh oleh pemain
sepakbola, bila permainan berhenti maka aturan itu sudah tidak berlaku. Norma
diatas merupakan norma khusus, sedangkan norma umum ada tiga macam seperti
: norma-norma sopan santun, norma-norma hukum dan norma-norma moral.
Norma sopan santun menyangkut sikap lahiriah manusia.
Norma hukum adalah norma yang dituntut dengan tegas oleh masyarakat karena
perlu demi keselamatan dan kesejahteraan umum. Norma hukum adalah norma
yang tidak dibiarkan dilanggar, orang yang melanggar hukum, pasti akan dikenai
hukuman sebagai sangsi. Tetapi norma hukum tidak sama dengan norma moral.
Bisa terjadi bahwa demi tuntutan suara hati, demi kesadaran moral, orang harus
melanggar hukum. Kalaupun dihukum, hal itu tidak berarti bahwa orang itu
buruk. Hukum tidak dipakai untuk mengukur baik-buruknya seseorang sebagai
manusia, melainkan untuk menjamin tertib umum.
Norma moral adalah tolok ukur yang dipakai masyarakat untuk mengukur
kebaikan seseorang, maka dengan norma-norma moral kita betul-betul dinilai.
Itulah sebab penilaian moral selalu berbobot. Perkembangan moral adalah proses,
dan melalui proses itu seseorang mengadopsi nilai-nilai dan perilaku yang
diterima oleh masyarakat (Bandura, 1977). Pada dasarnya seseorang yang
konsisten menginternalisasi norma dipandang sebagai seseorang yang bermoral.
Para ahli menerapkan apa yang disebut pendekatan ³kantong kebajikan´
(Kohlberg, 1981), teori ini percaya bahwa seseorang mencontoh perilaku orang
lain sebagai model atau tauladan yang ia nilai memiliki sifat-sifat tertentu atau
yang menunjukkan perilaku berlandasan nilai yang diharapkan.
Untuk memahami moral Kohlberg (1981) dan Rest (1986) menyatakan bahwa
pemahaman moral berpengaruh langsung terhadap motivasi dan perilaku namun
memiliki hubungan yang tak begitu kuat. Hubungan erat pada empati, emosi, rasa
bersalah, latar belakang sosial, pengalaman. Suseno melihat terdapat tiga prinsip
dasar dalam moral, yaitu prinsip sikap baik, prinsip keadilan dan prinsip hormat
terhadap diri sendiri.Prinsip sikap baik dimana prinsip ini mendahului dan
mendasari semua prinsip moral lain, dimana sikap yang dituntut dari kita adalah
jangan merugikan siapa saja. Prinsip bahwa kita harus mengusahakan akibat-
akibat baik sebanyak mungkin dan mengusahakan untuk sedapat mungkin
mencegah akibat buruk dari tindakan. Prinsip keadilan dimana keadilan tidak
sama dengan sikap baik, demi menyelamatan gol dari serangan lawan, pemain
belakang menahan dengan tangan, hal itu tetap tidak boleh dengan alasan apapun,
berbuat baik dengan melanggar hak pihak lain tidak dibenarkan. Prinsip hormat
terhadap diri sendiri mengatakan bahwa manusia wajib untuk selalu
memperlakukan diri sebagai suatu yang bernilai pada dirinya sendiri. Prinsip ini
berdasarkan faham bahwa manusia adalah person, pusat berpengertian dan
berkehendak, yang memiliki kebebasan dan suara hati, mahluk berakal budi.

c) Bagaimana kita mengajarkan etika dan nilai moral


Dalam mengajarkan etika dan nilai moral sebaiknya lebih bersifat contoh, pepatah
mengatakan bahwa tindakan lebih baik baik dari kata-kata. Lutan mengatakan
Nilai Moral itu beraneka macam, termasuk loyalitas, kebajikan, kehormatan,
kebenaran, respek, keramahan, integritas, keadilan, kooperasi,tugas dll. Lebih
lanjut dikatakan ada 4 nilai moral yang menjadi inti dan bersifat universal yaitu :

1) Keadilan.
Keadilan ada dalam beberapa bentuk ; distributif, prosedural, retributif dan
kompensasi. Keadilan distributif berarti keadilan yang mencakup pembagian
keuntungan dan beban secara relatif. Keadilan prosedural mencakuppersepsi
terhadap prosedur yang dinilai sportif atau fair dalam menentukan hasil. Keadilan
retributif mencakup persepsi yang fair sehubungan dengan hukuman yang
dijatuhkan bagi pelanggar hukum. Keadilan kompensasi mencakup persepsi
mengenai kebaikan atau keuntungan yang diperoleh penderita atau yang diderita
pada waktu sebelumnya. Seorang wasit bila ragu memutuskan apakah pemain
penyerang berada pada posisi off-side dalam sepakbola, ia minta pendapat penjaga
garis. Semua pemain penyerang akan protes, meskipun akhirnya harus dapat
menerima, jika misalnya wasit dalam kasus lainnya memberikan hukuman
tendangan penalti akibat pemain bertahana menyentuh bola dengan tanganya, atau
sengaja menangkap bola di daerah penalti. Tentu saja ia berusaha berbuat seadil
mungkin. Bila ia kurang yakin, mungkin cukup dengan memberikan hukuman
berupa tendangan bebas.

2) Kejujuran.
Kejujuran dan kebajikan selalu terkait dengan kesan terpercaya, dan terpercaya
selalu terkait dengan kesan tidak berdusta, menipu atau memperdaya. Hal ini
terwujud dalam tindak dan perkataan. Semua pihak percaya bahwa wasit dapat
mempertaruhkan integritasnya dengan membuat keputusan yang fair. Ia
terpercaya karena keputusannya mencerminkan kejujuran.
3) Tanggung Jawab.
Tanggung jawab merupakan nilai moral penting dalam kehidupan bermasyarakat.
Tanggung jawab ini adalah pertanggungan perbuatan sendiri. Seorang atlet harus
bertanggung jawab kepada timnya, pelatihnya dan kepada permainan itu sendiri.
Tanggung jawab ini merupakan nilai moral terpenting dalam olahraga.

4) Kedamaian
Kedamaian mengandung pengertian : a)tidak akan menganiaya, b)mencegah
penganiayaan, c) menghilangkan penganiaan, dan d)berbuat baik. Bayangkan bila
ada pelatih yang mengintrusksikan untuk mencederai lawan agar tidak mampu
bermain.
Freeman dalam buku Physical Education and Sport in A cahanging Society
menyarankan 5 area dasar dari etika yang harus diberikan yaitu : 1) Keadilan dan
persamaan, 2) Respek terhadap diri sendiri. 3) Respek dan pertimbangan terhadap
yang lain, 4) Menghormati peraturan dan kewenangan , 5) Rasa terhadap
perspektif atau nilai relatif. (Freeman,2001;210)
1. Keadilan dan Persamaan
Anak didik atau atlet adalah mengharapkan perlakuan yang adil dan sama. Anak
didik ingin sebuah kesempatan untuk belajar yang sama. Seringkali anak didik
yang di bawah rata-rata dalam olahraga diabaikan.
2. Respek terhadap diri sendiri
Pelajar atau atlet membutuhkan respek terhadap diri sendiri dan imej positif
tentang dirinya untuk menjadi sukses. Pelatih dan pengajar yang melatih semua
anak didiknya dengan sama mengambil langkah tepat dalam setiap arahnya agar
anak didiknya merasa dirinya penting dan layak dimata pengajarnya.
3. Rasa hormat dan kepedulian terhadap orang lain.
Pelajar dan atlet membutuhkan rasa hormat kepada orang lain, apakah teman
sekelasnya, lawan bertanding, guru ataupun pelatihnya. Mereka perlu belajar
tentang bagaimana pentingnya memperlakukan orang lain dengan hormat.

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah penulis uaraikan maka dapat ditarik satu kesimpulah
bahwa Salah satu masalah penting dalam antropologi olahraga adalah bersosial
dan berinteraksi, pendidikan jasmani dan olahraga sebagai salah satu sarana
pendidikan masyarakat / Olahragawan /manusia/ individu untuk memberikan
suatu pemikiran tentang bagaimana cara hidup dengan layak dan sehat jasmani
dan rohani dalam dalam kehidupan bermasyarakat. Mengajarkan Sosiologi
sebaiknya lebih bersifat berinteraksi dengan lingkungan.Tindakan lebih baik dari
kata-kata. Nilai Sosial itu beraneka ragam, termasuk loyalitas, kebajikan,
kehormatan, kebenaran, respek, keramahan, integritas, keadilan, kooperatif dan
mudah berinteraksi dengan masyarakat.
Dalam memahami arti pendidikan jasmani dan, kita harus juga
mempertimbangkan Perspektif antropologi Olahraga, Pendidikan jasmani dan
olahraga (sport) dengan sebagai istilah yang lebih dahulu populer dan lebih sering
digunakan dalam konteks kegiatan sehari-hari. Pemahaman tersebut akan
membantu para guru atau masyarakat dalam memahami peranan dan fungsi
pendidikan jasmani secara lebih konseptual.
Sejak manusia lahir di dunia, ia telah berjuang untuk mempertahankan kehidupan
yang wajar, untuk dapat hidup dengan tenaga dan pikirannya. Untuk itu manusia
memperkembangkan kekuatan fisik dan jasmani supaya badannya cukup kuat dan
tenaganya cukup terlatih, menjadi tangkas untuk melakukan perjuangan hidupnya.
Disamping itu menjadi kebutuhan hidup tiap manusia dan menjadi sifat manusia
untuk mencoba kekuatan dan ketangkasannya dengan manusia-manusia lain.
Pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari sistem pendidikan secara
keseluruhan. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan jasmani harus diarahkan
pada pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Tujuan pendidikan jasmani bukan
aktivitas jasmani itu sendiri, tetapi untuk mengembangkan potensi siswa melalu
aktivitas jasmani.
Olahraga di pihak lain adalah suatu bentuk bermain yang terorganisir dan bersifat
kompetitif. Beberapa ahli memandang bahwa olahraga semata-mata suatu bentuk
permainan yang terorganisasi, yang menempatkannya lebih dekat kepada istilah
pendidikan jasmani. Akan tetapi, pengujian yang lebih cermat menunjukkan
bahwa secara tradisional, olahraga melibatkan aktivitas kompetitif.
Ketika kita menunjuk pada olahraga sebagai aktivitas kompetitif yang
terorganisir, kita mengartikannya bahwa aktivitas itu sudah disempurnakan dan
diformalkan hingga kadar tertentu, sehingga memiliki beberapa bentuk dan proses
tetap yang terlibat. Peraturan, misalnya, baik tertulis maupun tak tertulis,
digunakan atau dipakai dalam aktivitas tersebut, dan aturan atau prosedur tersebut
tidak dapat diubah selama kegiatan berlangsung, kecuali atas kesepakatan semua
pihak yang terlibat.
Di atas semua pengertian itu, olahraga adalah aktivitas kompetitif. Kita tidak
dapat mengartikan olahraga tanpa memikirkan kompetisi, sehingga tanpa
kompetisi itu, olahraga berubah menjadi semata-mata bermain atau rekreasi.
Bermain, karenanya pada satu saat menjadi olahraga, tetapi sebaliknya, olahraga
tidak pernah hanya semata-mata bermain; karena aspek kompetitif teramat penting
dalam hakikatnya.
B. Saran
Berbicara tentang antropologi kaitanya dengan olahraga , maka ada bebarapa
saran yang dapat di garis bawahi oleh penulis dalam makalah ini adalah:
1. Kami sebagai penyusun makalah ini, sangat mengharap atas segala saran ±
saran dan kritikan bagi para pembaca yang kami hormati guna untuk membangun
pada masa yang akan datang untuk menjadi yang lebih baik dalam membenarkan
alur-alur yang semestinya kurang memuaskan bagi tugas yang kami laksanakan.
2. Hubungannya dengan perkembangan antropologi olahraga diharapkan
masyarakat atau anak didik (Atlet) dalam mengembangkan hubungan antara
masyarakat olahraga dan masyarakat dilingkungan olahraga diharapkan dapat
mengetahui arti penting berinteraksi antar masyarakat olahraga dan masyarakat
lingkungan
3. Pendidikan Jasmani, olahraga dan sosiologi tidak bisa dipisahkan karena
ketiganya saling mempengaruhi didalam meningkatkan dinamika sosial-budaya
masyarakat.
4. Pendidikan jasmani merupakan bagian integral dari sistem pendidikan secara
keseluruhan. Oleh karena itu, pelaksanaan pendidikan jasmani harus diarahkan
pada pencapaian tujuan pendidikan tersebut. Tujuan pendidikan jasmani bukan
aktivitas jasmani itu sendiri, tetapi untuk mengembangkan potensi siswa melalu
aktivitas jasmani.
5. Didalam memahami Pendidikan jasmani, olahraga dan sosiologi olahraga harus
tiap individu mampu menjadi anggota kesatuan sosial manusia tanpa kehilangan
pribadinya masing-masing. Pada hakikatnya pendidikan menjadi tanggung jawab
bersama, yakni keluarga, masyarakat, dan sekolah/ lembaga pendidikan. Keluarga
sebagai lembaga pertama dan utama pendidikan, masyarakat sebagai tempat
berkembangnya pendidikan, dan sekolah sebagai lembaga formal dalam
pendidikan.

DAFTAR PUSTAKA

Agung Drs , Aspirasi , semester 1-2, penerbit dan percetakan Pustaka


Manggala,2007.

BOUMAN, P.J. (1976) Sosiologi, Pengertian dan masalah. Yogyakarta, Penerbit


Yayasan Kanisius.

Cooper, K.H. (1994) : Antioxidant Revolution, Thomas Nelson Publishers,


Nashville-Atlanta-London Vancouver.

COSER, L. (1964). The Function of Social Conflict. New York, The Free Press.

DURKHEIM, E. (1966). The Division of Labour (Translation). New York, The


Free Press.

_____________ (1962). Socialism. London, Colliers Books

Giriwijoyo,Y.S.S. (1992) Ilmu Faal Olahraga, Buku perkuliahan Mahasiswa


FPOK-IKIP Bandung.

Giriwijoyo,H.Y.S.S. dan H.Muchtamadji M.Ali (1997) : Makalah : Pendidikan


Jasmani dan Olahraga di Sekolah, Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan,
IKIP Bandung.

Giriwijoyo,H.Y.S.S. (2000) : Olahraga Kesehatan, Bahan perkuliahan Mahasiswa


FPOK-UPI.

Giriwijoyo,H.Y.S.S. (2001) : Makalah : Pendidikan Jasmani dan Olahraga,


kontribusinya terhadap Pertumbuhan dan Perkembangan Peserta Didik, Ma¶had
Al-Zaytun, Haurgeulis, Indramayu, Jawa Barat.

Giriwijoyo,H.Y.S.S. dan Komariyah,L (2007): Makalah : Pendidikan Jasmani dan


Olahraga di Lembaga Pendidikan, Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan
Universitas Pendidikan Indonesia, 2007.

Giriwijoyo,H.Y.S.S. (2008) : Pendidikan Jasmani dan Olahraga di Sekolah Dasar,


Makalah disajikan pada Penataran Guru Pen-Jas, diselenggarakan oleh PERWOSI
Jawa Barat, Maret 2008 di gedung Gymnasium Universitas Pendidikan Indonesia.

GOULDNER, Alvin W. (1973). The Coming Crisis of Western Sociology.


London, Heineman

Gumgum Gumilar, S.Sos., M.Si./ Program Studi Ilmu Komunikasi Unikom

H.Gunawan, Ary. 2006. Sosiologi Pendidikan Suatu Analisis Sosiologi tentang


Pelbagai Problem Pendidikan. Jakarta: Rineka Cipta.

Hartoto. 2008. Defenisi Sosiologi Pendidikan. Online (http://www.fatamorghana.


wordpress.com, diakses 20 Maret 2008).

HINDESS, Barry (ed. 1977). Sociological theories of the Economy. London, the
Mac Millan Press.
Ikhwanuddin Syarif (ed). (2001) Pendidikan untuk Masyarakat Indonesia baru, 70
tahun Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, M.Sc. Ed. Jakarta: Grasindo, 2001.

KAZACIGIL, Ali (ed. 1994). Sociology: State of the Art I. International Social
Sciences Journal, February 1994:139. Paris, Blackwell Publ.

MARX, K. (1956). Selected Writings in Sociology and Social Philosophy.


(Translation by T.B. Bottomore). New York, Mc Graw-Hill Books.

MARTINELLI, alberto (2002). ³Markets, Government and Global Governance´.


Presidential address, ISA XV Congress, Brisbane 2002

MILLS, C, Wright (1961). The Sociological Imagination. New York, Grove


Press, Inc.

MUDIM BE, V.Y. (ed. Dkk, 1996). Open the Social Sciences. Refort of the
Guilbenkian Commission of the Gulbenkian Commission on the Restructuring of
the Social Science. Stanford, Stanford Univ. Press.

PARSONS, Talcot (1951). The Social System; The Major Exposition of the
Author¶s Conceptual Scheme. New York, Free Press.

Richard Tinning, et., al, (2001) Becoming a physical education teacher, Australia:
Printice hall.

SIMMEL, G. (1955). Conflict and the Web of Group Affixations. New York, The
Free Press.

____________ (1950). The sociology of George Simmel. New York, The Free
Press of Glencol

SIMONDS, A.P. (1978). Karl Mennheim¶s Sociology of Knowledge. Oxford,


Clarendom Press
SOROKIN, P.A. (1928). Contemporary Sociological Theories; through the First
Quarter of the 20th Century. New York, Harper Torchbooks.

STEINER, Philippe (2001). ³The Sociology of Economic Knowledge´. The


Return of Economic Sociology in Europe (a. Symposium) dalam European
Journal of Social Theory 4 (4). London, Sage Publications

Sutan Zanti dan Syahniar Syahrun, (1993) Dasar-dasar Kependidikan. Jakarta:


Dirjeb Pend. Tinggi.

WEBER, M. (1964). The Theory of Sociology Imagination. New York, Grove


Press, Inc.
Wendy Kohli (ed).,(1995) Critical Conversations in Pholosophy of Education.
New York: Routledge.
WERTHEIM, W.F. et.al. (ed.s 1955-1957). Indonesian Sociological Studies;
Selected Writings of B. Watson,A.S. (1992): Children in Sports, dalam Textbook
of Science and Medicine in Sport Edited by J.Bloomfield, P.A.Fricker and
K.D.Fitch; Blackwell Scientific Publications.
William H. Freeman, 6th ed. (2001) Physical Education and sport in a changing
society. Boston: Allyn & Bacon.
Schrieke (2 parts). The Haque, W. van Hoeve.
Diposkan oleh gatoetn di 00.05
Reaksi:

You might also like