You are on page 1of 4

D.

HUKUM SEBAGAI ALAT UNTUK MENGUBAH MASYARAKAT


Agent of change atau pelopor perubahan adalah seseorang atau kelompok orang
yang mendapatkan kepercayaan dari masyarakat sebagai pemimpin satu atau Iebih
lembaga-lembaga kemasyarakatan. Cara-cara untuk mempengaruhi masyarakat dengan
sistem yang teratur dan direncanakan terlebih dahulu, dinamakan social engineering atau
social planning. Hukum mempunyai pengaruh langsung atau pengaruh yang tidak
langsung di dalam mendorong terjadinya perubahan sosial. Misalnya, suatu peraturan
yang menentukan sistem pendidikan tertentu bagi warga negara mempunyai pengaruh
secara tidak langsung yang sangat penting bagi terjadinya perubahan-perubahan sosial.
Hukum juga mempunyai pengaruh yg langsung terhadap lembaga kemasyarakatan
yang artinya adalah bahwa terdapat hubungan yang langsung antara hukum dengan
perubahan-perubahan sosial. MA tgl 1 November 1961 memberi putusan Kasasi atas pu-
tusan PN Kabanjahe dan PT Medan yg menolak gugatan seorang wanita thd warisan
orang tuanya atas dasar bahwa hukum adat Karo dengan sistem patrilineal, bahwa: “anak
perempuan dan anak lelaki dari seorang peninggal warisan bersama berhak atas harta
warisan dalam arti bahwa bagian anak lelaki adalah sama dengan anak perempuan." (R.
Subekti dan J. Tamara 1965:85). Walau Putusan MA tersebut mengakibatkan terjadinya
kegoncangan-kegoncangan pada sistem sosial masyarakat Karo, akan tetapi, diakui pula
bahwa pada masa-masa mendatang mau tidak mau pola-pola kewarisan yang hanya
memberikan hak sebagai ahliwaris kepada anak laki-laki saja harus ditinggalkan.
Perlu diperhatikan bahwa perbedaan antara pengaruh langsung dengan
pengaruh tidak langsung dari hukum seringkali tak dapat ditetapkan secara mutlak
atau kadang-kadang dasar pembedaannya agak goyah. Kiranya dapat dikatakan bahwa
kaidah-kaidah hukum sebagai alat untuk mengubah masyarakat mempunyai peranan
penting terutama dalam perubahan-perubahan yang dikehendaki atau perubahan-
perubahan yang direncanakan. (intended change atau planed change). Misalnya,
Ketetapan MPRS No. XLI/1968 yang menetapkan pelaksanaan Rencana Pembangunan
Lima Tahun di Indonesia, merupakan suatu contoh dimana hukum berfungsi atau
berperan secara tidak langsung dalam perubahan sosial yang direncanakan. Akan tetapi,
hasil yang positif tergantung pada kemampuan pelopor perubahan untuk membatasi
kemungkinan-kemungkinan terjadinya disorganisasi sebagai akibat dari perubahan-
perubahan yang terjadi. Kemampuan untuk membatasi terjadinya disorganisasi
selanjutnya tergantung pada suksesnya proses pelembagaan dari unsur-unsur baru yang
menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan tersebut. Berhasil tidaknya proses
pelembagaan tersebut mengikuti formula sebagai berikut, (Selo Soemardjan 1965:26).
(Efektivitas menanam unsur baru) - (Kekuatan yg menentang)
Proses pelembagaan = -------------------------------------------------------------------------------
Kecepatan menanam unsur-unsur yang baru
Efektivitas menanam adalah hasil yang positif dari penggunaan tenaga manusia,
alat-alat, organisasi, dan metode untuk menanamkan lembaga baru di dalam masyarakat.
Usaha menanam sesuatu yang baru, pasti akan memicu kekuatan menentang dari
masyarakat yang akan berpengaruh negatif terhadap kemungkinan berhasilnya proses
pelembagaan. Apabila efektivitas menanam kecil, sedangkan kekuatan menentang dari
masyarakat besar, maka kemungkinan terjadinya sukses dalam proses pelembagaan
menjadi kecil atau bahkan hilang sama sekali demikian sebaliknya
Selain itu ada juga pengaruh dari faktor ketiga, yaitu faktor kecepatan
menanam, yakni panjang atau pendeknya jangka waktu di mana usaha menanam itu
dilakukan dan diharapkan memberikan hasil. Semakin tergesa-gesa orang berusaha

1
menanam dan semakin cepat orang mengharapkan hasilnya, semakin tipis efek proses
pelembagaan di dalam masyarakat, dan sebaliknya. Efek kecepatan usaha-usaha
menanam tersebut, sebenarnya tidak dapat dilihat sendiri, akan tetapi, harus selalu
dihubungkan dengan faktor efektivitas menanamkan unsur-unsur baru.
Dalam contoh adat di Minang Kabau, penggunaan hukum sebagai alat untuk
mengubah masyarakat mau tidak mau harus disesuaikan dengan anggapan-anggapan
masyarakat Apabila suatu hasil positif hendak dicapai. Maka, yang sebaiknya dilakukan,
adalah pertama-tama menelaah bagaimana anggapan-anggapan masyarakat tentang
hukum. Artinya, apakah pada suatu saat fokus masyarakat memang tertuju pada hukum.
Selanjutnya, perlu disoroti bagian-bagian manakah dari suatu sistem hukum yang paling
dihargai oleh bagian terbesar masyarakat pada suatu saat.
Dalam contoh penanganan urbanisasi, ternyata arus urbanisasi tidak dapat ditahan
dengan membuat peraturan-peraturan pembatasan orang-orang menjadi warga kota, tetapi
di tempat asal penduduk tersebut harus pula diterapkan peraturan-peraturan tertentu.

E. HUKUM SEBAGAI SARANA PENGATUR PERIKELAKUAN


Sebagai sarana social engineering, hukum merupakan suatu sarana yang
ditujukan untuk mengubah perikelakuan warga masyarakat, sesuai dengan tujuan-tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya. Salah satu masalah yang dihadapi di dalam bidang ini
adalah masalah soft-development (Gunnar Myrdal 1968: Chapter 2 dan 18), yaitu di
mana hukum-hukum tertentu yang dibentuk dan diterapkan, ternyata tidak efektif. Hal
ini akibat dari adanya faktor-faktor tertentu yang menjadi halangan, baik yang berasal
dari pernbentuk hukum, penegak hukum, para pencari keadilan (justitiabelen), maupun
golongan-golongan lain di dalam masyarakat. Selain pengetahuan yang mantap tentang
sifat hakikat hukum, juga perlu diketahui batas-batas di dalam penggunaan hukum
sebagai sarana (untuk mengubah ataupun mengatur perikelakuan warga masyarakat).
Misalnya, perihal komunikasi hukum. Agar hukum dapat berpengaruh, harus disebarkan
dengan alat-alat komunikasi tertentu baik secara formal (resmi) maupun informal yang
tidak resmi sifatnya. Inilah yang merupakan salah satu batas di dalam penggunaan
hukum sebagai sarana pengubah dan pengatur perikelakuan. Ini termasuk difusi, yaitu
penyebaran dan unsur-unsur kebudayaan tertentu di dalam masyarakat yang
bersangkutan. Proses difusi tersebut, antara lain, dapat dipengaruhi oleh:
1. pengakuan, bahwa unsur kebudayaan yang bersangkutan (di dalam hal ini hukum),
mempunyai kegunaan;
2. ada tidaknya pengaruh dan unsur-unsur kebudayaan lainnya, yang mungkin
merupakan pengaruh negatif ataupun positif;
3. sebagai suatu unsur yang baru, maka hukum tadi mungkin akan ditolak oleh
masyarakat, oleh karena berlawanan dengan fungsi unsur lama;
4. kedudukan dan peranan dari mereka yang rnenyebarluaskan hukum, mempengaruhi
efektivitas hukum di dalam mengubah serta mengatur perikelakuan warga-warga
masyarakat.
Dalam rumusan yang sederhana, masyarakat terdiri dari pribadi-pribadi dan
kelompok-kelompok, yang di dalam kehidupannya berkaitan secara langsung dengan
penentuan pilihan terhadap apa yang ada di dalam lingkungan sekitarnya. Pilihan-
pilihan yang dapat dilakukan, dibatasi oleh suatu kerangka tertentu. Artinya, kalau
dia sampai melampaui batas-batas yang ada, maka mungkin dia menderita dan
sebaliknya. Dengan demikian, maka lingkungan sekelilingnya, menyediakan
pembatasan-pembatasan dan kebebasan-kebebasan bagi pribadi dan kelompok-kelompok

2
sosial. Walaupun manusia selalu memilih, ada kecenderungan bahwa dia mengadakan
pilihan-pilihan yang sama, secara berulang-ulang atau teratur (B.J. Biddle and E.J.
Thomas 1966:4). Hal ini disebabkan oleh karena manusia menduduki posisi-posisi
tertentu dalam masyarakat dan peranannya pada posisi tersebut ditentukan oleh kaidah-
kaidah tertentu. Dengan demikian, kaidah merupakan patokan untuk bertingkah
laku sebagaimana diharapkan (statements of expected behavior).
Seseorang menentukan pilihan-pilihan tertentu dengan mempertimbangkan
anggapan-anggapan tentang apa yang harus dilakukannya (atau harus dilakukan) maupun
anggapan-anggapan tentang yang harus dilakukan oleh lingkungannya. Inilah yang
merupakan struktur normatif yang terdapat pada diri pribadi manusia, yang sekaligus
merupakan potensi di dalam dirinya. Dengan demikian, pokok dalam proses perubahan
perikelakuan melalui kaidah adalah konsepsi tentang kaidah, peranan (role) dan sarana
maupun cara untuk mengusahakan adanya konformitas (conformity-inducing measures).
Peranan adalah suatu sistem kaidah-kaidah yang berisikan patokan perikelakuan,
pada kedudukan-kedudukan tertentu di dalam masyarakat, kedudukan mana dapat
dipunyai pribadi ataupun kelompok. Pribadi yang mempunyai peranan tadi dinamakan
pemegang peranan (role occupant) dan perikelakuannya adalah berperannya
pemegang peranan tadi, dapat sesuai atau mungkin berlawanan dengan apa yang
ditentukan di dalam kaidah-kaidah. Pemegang peranan adalah subyek hukum, sedangkan
peranan merupakan hak dan kewajiban yang berkaitan dengan kepentingan hukum.
Berperannya pemegang peranan merupakan peristiwa hukum yang dapat sesuai atau
berlawanan. Dengan demikian, maka masalah utamanya adalah bagaimana kaidah-
kaidah hukum akan dapat mengatur berperannya pemegang-pemegang peranan tersebut.
Tentang hal tersebut, Hans Kelsen pernah mengemukakan bahwa suatu kaidah
hukum (sekunder) yang berisikan larangan atau suruhan atau kebolehan bagi subyek
hukum, sekaligus merupakan kaidah hukum (primer) bagi penegak hukum untuk
melakukan tindakan terhadap pelanggar-pelanggarnya (Hans Kelsen 1961:58). Kaidah
hukum sekunder hanya merupakan gejala lanjutan dari kaidah hukum primer.
Hukum berproses dengan cara membentuk struktur pilihan-pilihan para pemegang
peranan, melalui aturan-aturan serta sarana-sarana untuk mengusahakan konformitas
(yang antara lain, berwujud sanksi). Proses tadi berjalan dengan cara:
1. penetapan kaidah-kaidah hukum yang harus dipatuhi oleh pemegang peranan;
2. perumusan tugas-tugas penegak hukum untuk melakukan tindakan-tindakan positif
atau negatif, sesuai dengan apakah ada kepatuhan atau pelanggaran terhadap kaidah-
kaidah hukum, sehingga (Hans Kelsen 1961:16)
Oleh karena model dari Kelsen tersebut sangat terbatas ruang lingkupnya, maka
diperlukan kerangka yang lebih luas yang mungkin lebih banyak mempertimbangkan
masalah-masalah di sekitar penegak hukum subyek-subyek hukum lainnya. Untuk
keperluan itu, kiranya akan dapat dikemukakan langkah-langkah atau tahap-tahap yang
didasarkan pada hipotesis-hipotesis sebagai berikut:
1. Para pemegang peranan akan menentukan pilihannya, sesuai dengan anggapan-
anggapan ataupun nilai-nilai mereka terhadap realitas yang menyediakan
kemungkinan-kemungkinan untuk memilih dengan segala konsekuensinya.
2. Salah satu di antara faktor-faktor yang menentukan kemungkinan untuk menjatuhkan
pilihan adalah perikelakuan yang diharapkan dari pihak lain.
3. Harapan terhadap peranan-peranan tertentu dirumuskan oleh kaidah-kaidah.
4. Kaidah-kaidah hukum adalah kaidah-kaidah yang dinyatakan oleh para pelopor
perubahan atau mungkin juga oleh pattern-setting group.

3
5. Kaidah-kaidah hukum yang bertujuan untuk mengubah dan mengatur perikelakuan
dapat dilakukan dengan cara-cara:
a. melakukan imbalan-imbalan secara psikologis bagi pemegang peranan yang
patuh maupun melanggar kaidah-kaidah hukum;
b. merumuskan tugas-tugas penegak hukum untuk bertindak sedemikian rupa,
sehingga sesuai dengan serasi-tidak serasinya perikelakuan pemegang peranan
dengan kaidah-kaidah hukum;
c. mengubah perikelakuan pihak ketiga, yang dapat mempengaruhi perikelakuan
pemegang peranan yang mengadakan interaksi;
d. mengusahakan perubahan pada persepsi, sikap, dan nilai pemegang peranan.
Membentuk hukum yang efektif memang memerlukan waktu yang lama.
Hal itu disebabkan, antara lain karena daya cakupnya yang sedemikian luas, lagi pula
hukum itu harus dapat menjangkau jauh ke muka, sehingga memerlukan pendekatan yang
multi-disipliner. Hukum merupakan bagian dari masyarakat, yang timbul dan berproses
di dalam dan untuk kepentingan masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat dapat
menentukan luas daya cakup hukum, maupun batas kegunaannya.

F. BATAS-BATAS PENGGUNAAN HUKUM


Menurut Roscoe Pound batas-batas kemampuan hukum terletak pada hal-hal:
1. Hukum pada umumnya hanya mengatur kepentingan-keperttingan para warga
masyarakat, yang bersifat lahiriah.
2. Dalam menerapkan sanksi-sanksi yang melekat pada hukum ada batas-batasnya.
3. Lagi pula, untuk melaksanakan isi, maksud, dan tujuan hukum, diperlukan lembaga-
lembaga tertentu. (R. Pound 1965:70)
Faktor-faktor tersebut perlu diperhatikan sekali apabila hukum hendak dipakai
sebagai alat untuk mengubah masyarakat. Akan tetapi, yang lebih penting lagi adalah
pelopor perubahan yang ingin mengubah masyarakat dengan memakai hukum sebagai
alatnya. Untuk jelasnya, maka akan dikemukakan suatu ulasan yang telah disusun oleh
Lon L. Fuller, (L.L. Fuller 1964:33) yang berjudul Eight Ways to Fail.
Cerita tentang Rex (Sosiologi hukum halaman 145 s/d 148) yang disusun dengan
cermat oleh Fuller tersebut mungkin agak sulit untuk dapat dibayangkan kenyataannya,
akan tetapi, hal ini tidaklah berarti cerita tersebut tak akan mungkin terjadi di dalam
kenyataan. Namun demikian, dari cerita tersebut dapatlah ditarik beberapa kondisi yang
harus mendasari suatu sistem hukum agar dapat dipakai sebagai alas untuk mengubah
masyarakat. Kondisi-kondisi tersebut adalah:
1. Hukum merupakan aturan-aturan umum yang tetap, jadi bukan merupakan aturan
yang bersifat ad-hoc.
2. Hukum tersebut harus jelas dan diketahui oleh warga masyarakat yang kepentingan-
kepentingannya diatur oleh hukum tersebut.
3. Sebaiknya dihindari penerapan peraturan-peraturan yang bersifat retroaktif.
4. Hukum tersebut harus dimengerti oleh umum.
5. Tak ada peraturan-peraturan yang saling bertentangan.
6. Pembentukan hukum harus memperhatikan kemampuan warga masyarakat untuk
mematuhi hukum tersebut.
7. Perlu dihindarkan terlalu banyaknya perubahan-perubahan pada hukum, oleh karena
warga masyarakat dapat kehilangan ukuran dan pegangan bagi kegiatan-kegiatannya.
8. Adanya korelasi antara hukum dengan pelaksanaan atau penerapan hukum tersebut.

You might also like